Kekaisaran Romawi

periode Romawi kuno setelah era Republik

Kekaisaran Romawi (Latin: Imperium Romanum; bahasa Yunani Koine: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων, translit. Basileía tôn Rhōmaíōn) adalah periode pasca-Republik dari peradaban Romawi kuno, dicirikan dengan pemerintahan yang dipimpin oleh kaisar, dan kepemilikan wilayah kekuasaan yang luas di sekitar Laut Tengah di Eropa, Afrika, dan Asia. Republik berusia 400 tahun yang mendahuluinya telah melemah dan tidak stabil akibat serangkaian perang saudara dan konflik politik, ketika Julius Caesar dinobatkan sebagai diktator seumur hidup dan kemudian dibunuh pada tahun 44 SM. Perang saudara dan pengeksekusian terus berlangsung, yang berpuncak pada kemenangan Oktavianus, putra angkat Caesar, atas Mark Antony dan Kleopatra dalam Pertempuran Actium serta ditaklukkannya Mesir. Setelah peristiwa-peristiwa di atas, kekuasaan Oktavianus menjadi tak tergoyahkan dan pada tahun 27 SM, Senat Romawi secara resmi memberinya kekuasaan penuh dan gelar baru Augustus, yang secara efektif menandai berakhirnya Republik Romawi.

Kekaisaran Romawi

  • Imperium Romanum
  • Senatus populusque Romanus (SPQR)
    Senat dan Rakyat Romawi[n 1]
  • Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων (bahasa Yunani Koine)
    Basileía tôn Rhōmaíōn
27 SM–395 M (bersatu)
395–476 (Barat)
330–1453 (Timur)
Bendera Kekaisaran Romawi
Vexillum SPQR
dengan lambang kekaisaran aquila
{{{coat_alt}}}
Kekaisaran Romawi tahun 117 M pada masa kejayaan, saat kematian Trajanus.[1]
Kekaisaran Romawi tahun 117 M pada masa kejayaan, saat kematian Trajanus.[1]
StatusKekaisaran
Ibu kota
Bahasa resmiLatin Klasik
Bahasa yang umum digunakanLatin Vulgar
Agama
PemerintahanPrincipatus/Dominatus
Kaisar 
• 27 SM – 14 M
Augustus (pertama)
• 98–117
Trajanus
• 284–305
Diokletianus
• 306–337
Konstantinus I
• 379–395
Theodosius I
• 475–476
Romulus Augustusa
• 527–565
Yustinianus I
• 1449–1453
Konstantinus XIb
LegislatifSenat
Era SejarahAntikuitas klasik sampai antikuitas akhir
32–30 SM
30–2 SM
• Masa kejayaan
Kekaisaran
117 M
293
• Konstantinopel
menjadi ibu kota kekaisaran
330
• Pembagian Timur–Barat
terakhir
395
• Pemecatan Romulus Augustus
476
1202–1204
29 Mei 1453
Luas
25 SM[3][4]2.750.000 km2 (1.060.000 sq mi)
117[3][5]5.000.000 km2 (1.900.000 sq mi)
390[3]4.400.000 km2 (1.700.000 sq mi)
Populasi
• 25 SM[3][4]
56800000
Mata uangSestertiusc
Didahului oleh
Digantikan oleh
Republik Romawi
ksrKekaisaran
Romawi Timur
ksrKekaisaran
Romawi Barat
Sekarang bagian dari
  • a Umumnya dianggap sebagai kaisar terakhir Kekaisaran Barat.
  • b Kaisar terakhir Kekaisaran Timur (Bizantium)
  • c Disingkat "HS". Harga dan nilai dinyatakan dalam sertersius, untuk denominasi mata uang menurut periode, lihat di bawah.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Pemerintahan Kekaisaran Romawi bertahan selama kira-kira 500 tahun. Dua abad pertama kekaisaran ditandai dengan periode kemakmuran dan kestabilan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dikenal dengan Pax Romana atau "Perdamaian Romawi". Setelah kemenangan Oktavianus, luas Kekaisaran meningkat secara drastis. Setelah pembunuhan Caligula pada tahun 41, Senat dianggap berkeinginan untuk memulihkan kekuasaan Republik, tetapi Garda Praetorian memproklamirkan Claudius sebagai kaisar. Di bawah pemerintahan Claudius, Kekaisaran melakukan perluasan besar-besaran pertamanya sejak Augustus. Setelah penerus Claudius, Nero, memutuskan bunuh diri pada tahun 68, Kekaisaran mengalami masa perang saudara singkat dan terjadinya pemberontakan besar di Yudea, ketika empat jenderal legiun berbeda menyatakan diri sebagai Kaisar. Vespasianus berhasil meraih kemenangan pada tahun 69 dan mendirikan Dinasti Flavianus, sebelum digantikan oleh putranya Titus, yang membuka Colosseum tak lama setelah meletusnya Gunung Vesuvius. Masa jabatannya yang singkat diteruskan oleh saudaranya Domitianus, yang memerintah selama 15 tahun sebelum akhirnya dibunuh pada tahun 96. Senat kemudian menunjuk kaisar pertama dari Lima Kaisar Baik. Kekaisaran Romawi mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Trajanus, kaisar kedua dari dinasti Nerva-Antonine.

Periode peningkatan kekacauan dan kemerosotan dimulai pada masa pemerintahan Commodus. Terbunuhnya Commodus tahun 192 memicu terjadinya Perang Lima Kaisar, yang dimenangkan oleh Septimius Severus. Pembunuhan Alexander Severus pada tahun 235 memicu Krisis Abad Ketiga, saat 26 pria dinyatakan sebagai Kaisar oleh Senat Romawi selama lima puluh tahun. Kekaisaran berhasil distabilkan pada masa pemerintahan Diokletianus dengan diperkenalkannya Tetrarki, yang ditandai dengan empat Kaisar memerintah Romawi secara bersamaan. Kebijakan ini pada akhirnya gagal, menyebabkan pecahnya perang saudara yang kemudian dimenangkan oleh Konstantinus I, yang mengalahkan saingannya dan menjadi penguasa tunggal Kekaisaran. Konstantinus kemudian memindahkan ibu kota Romawi timur ke Bizantium, yang kelak berganti nama menjadi Konstantinopel untuk menghormati sang Kaisar. Konstantinopel tetap menjadi ibu kota Kekaisaran Timur sampai tahun 1453. Konstantinus juga menetapkan Kristen sebagai agama negara. Setelah kematian Theodosius I, Kaisar terakhir yang memerintah Kekaisaran bersatu, kekuasaan Kekaisaran perlahan melemah akibat penyalahgunaan kekuasaan, perang saudara, invasi dan migrasi bangsa Barbar, reformasi militer, dan depresi ekonomi. Penjarahan Roma pada tahun 410 oleh suku Visigoth dan tahun 455 oleh bangsa Vandal semakin mempercepat keruntuhan Kekaisaran Barat, dan pelengseran Kaisar Romulus Augustulus pada tahun 476 oleh Odoaker dianggap menandai akhir dari Kekaisaran Barat. Kekaisaran Romawi Timur tetap bertahan selama seribu tahun berikutnya, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Turki Utsmani pada tahun 1453.

Kekaisaran Romawi merupakan salah satu kekuatan ekonomi, budaya, politik, dan militer paling berpengaruh di dunia pada masanya. Kekaisaran ini menjadi kekaisaran terbesar pada masa antikuitas klasik dan salah satu kekaisaran terluas dalam sejarah dunia. Pada masa pemerintahan Trajanus, luas wilayah Kekaisaran mencapai 5 juta kilometer persegi[3][6] dan menjadi penguasa bagi hampir 70 juta penduduk, atau 21% dari keseluruhan penduduk dunia pada saat itu. Usianya yang panjang dan wilayahnya yang luas mengakibatkan pengaruh Kekaisaran Romawi seperti bahasa Latin dan Yunani, budaya, agama, penemuan, arsitektur, filosofi, hukum, dan bentuk pemerintahan bertahan abadi di negara-negara penerusnya. Pada masa abad pertengahan Eropa, upaya bahkan dilakukan untuk mendirikan penerus Kekaisaran Romawi, termasuk negara Tentara Salib, Kekaisaran Rumania, dan Kekaisaran Romawi Suci. Melalui penjelajahan yang dilakukan oleh Imperium Spanyol, Prancis, Portugis, Belanda, Italia, Jerman, Britania, dan Belgia, kebudayaan Romawi dan Yunani, atau yang saat ini dikenal dengan kebudayaan Barat, ikut tersebar ke seluruh dunia dan berperan penting dalam perkembangan dunia modern.

Sejarah sunting

Roma telah mulai memperluas wilayahnya tak lama setelah berdirinya Republik pada abad ke-6 SM, meskipun tidak meluas ke luar Italia sampai abad ke-3 SM. Dengan demikian, Romawi sebenarnya telah menjadi sebuah "kekaisaran" jauh sebelum diperintah oleh seorang Kaisar.[7] Dalam konteks modern, Republik Romawi bukanlah sebuah negara-bangsa, melainkan jaringan kota-kota yang diizinkan mengatur dirinya sendiri (meskipun tingkat kemerdekaan yang diperoleh dari Senat Romawi bervariasi) dan provinsi-provinsi yang dikelola oleh seorang komandan militer. Wilayah-wilayah ini tidak diperintah oleh Kaisar, tetapi oleh magistrat yang dipilih setiap tahun (biasanya oleh Konsul Romawi) sebagai penghubung dengan Senat.[8] Karena berbagai sebab, abad ke-1 SM merupakan masa pergolakan politik dan militer yang pada akhirnya menyebabkan Republik diperintah oleh seorang Kaisar.[9] Kekuatan militer konsul tercantum dalam konsep hukum Romawi "imperium", yang secara harfiah bermakna "perintah" (meskipun dalam arti militer).[10] Kadang-kadang, seorang konsul yang dianggap berhasil diberi gelar kehormatan Imperator (komandan), dan kata inilah yang kemudian menjadi asal usul kata "Emperor" (dan "Empire"), karena gelar ini awalnya selalu diberikan kepada Kaisar saat mereka naik takhta.[11]

 
Augustus dari Prima Porta
(awal abad ke-1 M)

Romawi telah mengalami serangkaian panjang konflik internal, konspirasi dan perang saudara sejak akhir abad ke-2 SM dan seterusnya, bersamaan dengan perluasan wilayah besar-besaran ke luar Italia. Menjelang akhir periode ini, pada tahun 44 SM, Julius Caesar diangkat sebagai diktator seumur hidup sebelum akhirnya dibunuh. Faksi pembunuh Caesar diusir dari Roma dan dikalahkan dalam Pertempuran Phillipi pada tahun 42 SM oleh pasukan yang dipimpin Mark Antony dan putra angkat Caesar, Oktavianus. Antony dan Oktavianus tidak sepakat mengenai pembagian Romawi dan pasukan Oktavianus berhasil mengalahkan pasukan Antony dan Kleopatra dalam Pertempuran Actium tahun 31 SM. Pada tahun 27 SM, Senat dan Rakyat Roma mengangkat Oktavianus sebagai princeps ("warga negara pertama") dengan prokonsul imperium, dan dengan demikian memulai Principatus (zaman pertama dalam sejarah Kekaisaran Romawi, dimulai dari tahun 27 SM sampai 284 M), serta memberinya nama Augustus ("yang dimuliakan"). Meskipun konstitusi lama tetap dilaksanakan, Augustus pada kenyataannya mendominasi urusan konstitusional. Pemerintahan Augustus mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung selama satu abad, dan dianggap memulai periode kemakmuran dan perdamaian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh sebab itu, ia sangat dicintai dan dianggap layak memegang jabatan sebagai raja de facto, kalau tidak de jure. Pada tahun-tahun pemerintahannya, tatanan konstitusional baru dibentuk, sehingga setelah kematiannya, tatanan konstitusional baru ini tetap dilaksanakan seperti sebelumnya ketika Tiberius dinobatkan sebagai Kaisar baru. 200 tahun masa pemerintahan yang dimulai sejak Augustus secara tradisional dikenal dengan Pax Romana ("Perdamaian Romawi"). Selama periode ini, kejayaan Kekaisaran bertambah dengan meningkatnya kestabilan sosial dan kemakmuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemberontakan di provinsi-provinsi jarang terjadi, tetapi ketika terjadi, pemberontakan berlangsung dengan "sengit dan cepat",[12] seperti yang terjadi di Britania dan Galia. Perang Yahudi-Romawi yang berlangsung selama 60 tahun pada paruh kedua abad pertama adalah perang hebat yang terjadi pada awal kekaisaran, baik dari segi lama peperangan ataupun kekerasan yang dilakukan.[13]

Keberhasilan Augustus dalam menciptakan prinsip-prinsip pergantian takhta dinasti terhalang oleh sejumlah pewaris yang berbakat dan hidup lebih lama; dinasti Julio-Klaudianus memiliki empat kaisar yang memerintah Romawi–Tiberius, Caligula, Klaudius, dan Nero. Dinasti ini digulingkan pada tahun 69 M dalam Perang Empat Kaisar, yang dimenangkan oleh Vespasianus. Vespasianus menjadi pendiri dinasti Flavianus yang berumur pendek, diikuti oleh dinasti Nerva–Antonine yang melahirkan "Lima Kaisar Baik": Nerva, Trajanus, Hadrianus, Antoninus Pius, dan filsuf Marcus Aurelius. Dalam pandangan sejarawan dan pengamat kontemporer Yunani Dio Cassius, naik takhtanya kaisar Commodus pada tahun 180 M menandai peralihan dari "kerajaan emas menjadi kerajaan besi"[14]–komentar terkenal yang menyebabkan beberapa sejarawan, terutama Edward Gibbon, berpendapat bahwa pemerintahan Commodus menandai dimulainya kemerosotan Kekaisaran Romawi.

Pada tahun 212, pada masa pemerintahan Caracalla, kewarganegaraan Romawi diberikan kepada semua penduduk merdeka di seluruh Kekaisaran. Namun, meskipun kebijakan ini diberlakukan secara universal dan bisa dibilang sukses, dinasti Severan yang berkuasa sesudahnya membawa Romawi ke masa-masa penuh gejolak–masa-masa pemerintahan terkelam ketika kaisar berkuasa selalu mengakhiri jabatannya dengan dibunuh atau dieksekusi. Menjelang keruntuhannya, Kekaisaran Romawi dihadapkan pada Krisis Abad Ketiga, suatu periode yang ditandai oleh banyaknya invasi, konflik sipil, depresi ekonomi, dan serangan wabah.[15] Dalam mendefinisikan zaman sejarah, krisis ini dipandang sebagai peralihan dari periode Antikuitas Klasik menuju Antikuitas Akhir. Diokletianus (memerintah 284-305) membawa Kekaisaran kembali ke ambang keruntuhan, tetapi ia menolak peran princeps dan menjadi kaisar pertama yang ditunjuk secara teratur sebagai dominus, master, atau lord.[16] Ini menandai akhir dari "Principatus" dan awal dari "Dominatus". Pada masa pemerintahan Diokletianus juga berlangsung upaya Kekaisaran dalam melawan ancaman dari agama Kristen dengan terjadinya Penganiayaan Besar. Kondisi monarki absolut yang berawal pada masa pemerintahan Diokletianus tetap bertahan sampai jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476.

Diokletianus membagi Kekaisaran menjadi empat wilayah yang masing-masingnya diperintah oleh seorang Kaisar berbeda (Tetrarki).[17] Yakin bahwa ia telah mengatasi semua permasalahan di Roma, Diokletianus turun takhta bersama rekan-rekan kaisarnya, dan Tetrarki-pun runtuh. Takhta kemudian diambil alih oleh Konstantinus, yang menjadi kaisar pertama yang memeluk agama Kristen dan menetapkan Konstantinopel sebagai ibu kota baru Kekaisaran Timur. Pada dekade pemerintahan dinasti Konstantinianus dan Valentinianus, Kekaisaran dibagi menjadi poros barat dan timur, dengan pusat kekuasaan berada di Roma dan Konstantinopel. Masa pemerintahan Julianus, yang berupaya untuk mengembalikan agama Helenistik dan Romawi Klasik, hanya berlangsung sebentar dan digantikan oleh Kaisar Kristen. Theodosius I, kaisar terakhir yang memerintah Timur dan Barat, wafat pada tahun 395 M setelah menjadikan Kristen sebagai agama resmi Kekaisaran.[18]

Kekaisaran Romawi mulai melemah pada awal abad ke-5 akibat membludaknya migrasi dan invasi bangsa Jermanik yang membuat Kekaisaran kewalahan untuk menampung dan melawan para pendatang ini. Kebanyakan kronologi menetapkan akhir Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476, ketika Romulus Augustulus dipaksa untuk menyerahkan takhta kepada panglima perang Jermanik Odoaker.[19] Dengan menempatkan dirinya di bawah kekuasaan Kaisar Timur, bukannya menobatkan dirinya sebagai Kaisar (seperti yang dilakukan oleh pemimpin suku Jermanik lainnya setelah menggulingkan kaisar), Odoaker mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Barat dengan memutus garis takhta Kaisar Barat. Kontrol Kekaisaran Timur di Barat mulai berkurang pada abad berikutnya. Kekaisaran Timur—yang saat ini dikenal dengan Kekaisaran Bizantium, namun pada saat itu masih disebut dengan "Kekaisaran Romawi" atau beragam nama lainnya—berakhir pada tahun 1453 setelah kematian Konstantinus XI dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani.[20]

Geografi dan demografi sunting

Kekaisaran Romawi adalah salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah, dengan wilayah kekuasaan yang saling bersebelahan di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah.[21] Frasa bahasa Latin imperium sine fine ("kekaisaran tanpa ujung"[22]) menunjukkan ideologi tidak ada waktu ataupun ruang yang membatasi Kekaisaran. Dalam puisi epik Vergil, Aeneid, disebutkan bahwa kekaisaran yang tidak terbatas ini dianugerahkan kepada bangsa Romawi oleh dewa agung Jupiter.[23] Klaim kekuasaan universal ini diperkukuh dan diperbarui ketika Kekaisaran berada di bawah pemerintahan Kristen pada abad ke-4.[24]

Pada kenyataannya, sebagian besar ekspansi Romawi dilakukan pada masa Republik, meskipun sebagian Eropa utara ditaklukkan pada abad ke-1 M, ketika kontrol Romawi di Eropa, Afrika, dan Asia semakin kuat. Pada masa pemerintahan Augustus, sebuah peta dunia ditampilkan untuk pertama kalinya di hadapan khalayak di Roma, sebanding dengan komposisi karya geografi politik paling komprehensif yang selamat dari zaman kuno, Geographica karya penulis Yunani Strabo.[25] Saat Augustus wafat, karyanya ini (Res Gestae) tetap digunakan sebagai pedoman untuk mengkaji masyarakat dan tempat-tempat di dalam Kekaisaran.[26] Geografi, sensus, dan pemeliharaan catatan-catatan tertulis merupakan perhatian utama administrasi Kekaisaran Romawi.[27]

 
Reruntuhan Tembok Hadrian di Inggris utara.

Kekaisaran Romawi mencapai ekspansi terluasnya di bawah pemerintahan Trajanus (98–117),[28] meliputi wilayah seluas 5 juta kilometer persegi yang saat ini terbagi menjadi 40 negara modern berbeda.[29] Jumlah penduduknya secara tradisional diperkirakan 55–60 juta jiwa,[30] atau seperenam hingga seperempat dari keseluruhan penduduk dunia pada saat itu.[31] Hal ini menjadikan Kekaisaran Romawi sebagai entitas politik dengan jumlah penduduk terbanyak di Barat hingga pertengahan abad ke-19.[32] Kajian demografi terbaru berpendapat bahwa jumlah penduduk Romawi pada puncaknya mencapai 70 juta hingga lebih dari 100 juta jiwa.[33] Tiga kota terbesar di Kekaisaran—Roma, Aleksandria, dan Antiokhia— berukuran hampir dua kali lipat dari ukuran kota-kota Eropa pada awal abad ke-17.[34]

Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Christopher Kelly:

Dahulu kekaisaran membentang dari Tembok Hadrian di wilayah berhujan Inggris utara ke tepi sungai Efrat di Suriah; dari sungai besar RhineDanube, yang mengalir di sepanjang wilayah subur, di wilayah datar Eropa dari Negara-Negara Rendah sampai ke Laut Hitam; melintasi dataran kaya di pesisir Afrika Utara dan belahan Lembah Nil di Mesir. Kekaisaran benar-benar mengelilingi Mediterania ... yang dijuluki oleh para penakluknya dengan mare nostrum—'laut kita'.[30]

Penerus Trajanus, Hadrianus, menerapkan kebijakan mempertahankan ketimbang memperluas wilayah kekaisaran. Pada masa pemerintahannya, perbatasan (fines) ditandai dan garis perbatasan (limites) dijaga tentara Romawi.[35] Perbatasan yang paling dijaga ketat adalah wilayah yang paling tidak stabil.[36] Tembok Hadrian, yang memisahkan wilayah Romawi dari wilayah yang mereka anggap rentan terhadap ancaman barbar, adalah monumen perbatasan utama yang masih selamat hingga saat ini.[37]

Bahasa sunting

Bahasa Kekaisaran Romawi adalah Latin. Menurut Virgil, bahasa Latin merupakan sumber persatuan dan tradisi bangsa Romawi.[38] Hingga pemerintahan Aleksander Severus (222–235), akta kelahiran dan surat wasiat warga Romawi harus ditulis dalam bahasa Latin.[39] Latin adalah bahasa resmi pengadilan dan militer di seluruh Kekaisaran,[40] tetapi penggunaannya tidak dipaksakan secara resmi kepada masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Romawi.[41] Kebijakan ini bertentangan dengan yang dilakukan oleh Aleksander Agung, yang bertujuan menjadikan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi di seluruh kekaisarannya.[42] Sebagai konsekuensi dari penaklukkan Aleksander, bahasa Yunani Koine telah menjadi bahasa pergaulan di Mediterania timur dan Asia Minor.[43] "Perbatasan linguistik" membagi Barat Latin dan Timur Yunani melalui semenanjung Balkan.[44]

 
Sebuah papirus dari abad ke-5 yang memuat teks pidato Cicero, ditulis dalam bahasa Latin dan Yunani.[45]

Warga Romawi yang menempuh pendidikan elite mempelajari bahasa Yunani sebagai bahasa sastra, dan sebagian besar pria kelas atas mampu menuturkan bahasa Yunani.[46] Kaisar-kaisar dari dinasti Julio-Klaudianus mendorong penggunaan bahasa Latin yang benar dan berstandar tinggi (Latinitas), pergerakan linguistik yang di dunia modern dikenal dengan bahasa Latin Klasik, dan lebih menyukai penggunaan bahasa Latin dalam urusan-urusan resmi.[47] Klaudius berupaya untuk membatasi penggunaan bahasa Yunani, dan bahkan mencabut kewarganegaraan orang-orang yang tidak menguasai bahasa Latin. Meskipun demikian, Klaudius, yang menguasai kedua bahasa tersebut, masih menuturkan bahasa Yunani ketika berbicara dengan perwakilan Yunani di Senat.[47] Suetonius menjuluki sang Kaisar dengan "bilingualis kami".[48]

Di Kekaisaran Timur, dokumen resmi dan pengadilan secara teratur diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dari Latin.[49] Penggunaan bahasa ini secara berdampingan bisa ditemui pada prasasti-prasasti dwibahasa, yang terkadang ditulis bolak-balik antara bahasa Yunani dan Latin.[50] Setelah semua penduduk merdeka di Kekaisaran diberi hak untuk memilih bahasa yang hendak mereka tuturkan pada tahun 212 M, sebagian besar warga Romawi tidak menguasai bahasa Latin, meskipun mereka masih diwajibkan untuk mengetahui setidaknya tanda baca, dan bahasa Latin tetap saja menjadi penanda "keromawian".[51]

Reformasi lainnya dilakukan pada masa pemerintahan kaisar Diokletianus (284–305), yang berupaya untuk kembali menjadikan bahasa Latin sebagai "bahasa kekuasaan."[52] Pada awal abad ke-6, kaisar Justinianus berupaya untuk menegaskan kembali status bahasa Latin sebagai bahasa hukum, meskipun pada saat itu Latin tidak lagi memiliki pijakan sebagai bahasa pergaulan di Timur.[53]

Bahasa daerah dan warisan linguistik sunting

 
Prasasti dwibahasa Latin-Punisia di teater Leptis Magna, Afrika Romawi (kini Libya).

Studi menunjukkan adanya penggunaan bahasa daerah secara berkelanjutan selain bahasa Yunani dan Latin, terutama di Mesir, yang didominasi oleh Koptik, dan di wilayah-wilayah militer di sepanjang sungai Rhine dan Danube. Para hakim Romawi juga menunjukkan kepedulian terhadap bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Punisia, Galia, dan Aram untuk memastikan pemahaman hukum dan pengucapan sumpah yang benar.[54] Di provinsi Afrika, Punisia digunakan sebagai legenda koin pada masa pemerintahan Tiberius (abad ke-1 M), dan prasasti berbahasa Punisia muncul di bangunan-bangunan umum pada abad ke-2 M, beberapa di antaranya bilingual dengan bahasa Latin.[55] Di Suriah, tentara Tadmur bahkan menggunakan dialek Aram sebagai inskripsi, bertentangan dengan peraturan yang menetapkan Latin sebagai bahasa militer.[56]

Papirus Arsip Babatha adalah contoh sugestif penerapan multilingualisme di Kekaisaran Romawi. Papirus ini, yang dinamakan menurut seorang wanita Yahudi di provinsi Arabia dan berasal dari tahun 93-132 M, sebagian besarnya menggunakan bahasa Aram (bahasa daerah setempat) dan ditulis dalam aksara Yunani dengan pengaruh bahasa Semit dan Latin.[57]

Dominasi bahasa Latin di kalangan kaum elite terpelajar turut menghambat keberlangsungan bahasa lisan, karena hampir semua kebudayaan di dalam Kekaisaran Romawi bersifat lisan.[58] Di Barat, bahasa Latin, atau bentuk lisannya disebut dengan Latin Vulgar, secara bertahap menggantikan bahasa Keltik dan Italik yang dulunya berakar dari rumpun bahasa Indo-Eropa. Adanya persamaan sintaks dan kosakata turut mempermudah pengadopsian bahasa Latin.[59] Bahasa Basque, yang bukan cabang bahasa Indo-Eropa, berhasil bertahan dari dominasi Latin di wilayah Pyrenees.[60]

Setelah desentralisasi kekuasaan politik pada akhir zaman kuno, Latin berkembang secara kedaerahan menjadi sejumlah rumpun bahasa seperti rumpun bahasa Roman, yang meliputi bahasa Spanyol, Portugis, Prancis, Italia, dan Rumania. Sebagai bahasa internasional pendidikan dan sastra, Latin tetap menjadi media aktif untuk berekspresi dalam bidang diplomasi dan pengembangan intelektual sejak Humanisme Renaisans hingga abad ke-17, dan dalam bidang hukum dan di kalangan Gereja Katolik Roma sampai saat ini.[61]

Meskipun bahasa Yunani tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantium, persebaran linguistik bahasa ini di Romawi Timur lebih kompleks. Mayoritas penduduk penutur bahasa Yunani tinggal di kepulauan dan semenanjung Yunani, di Anatolia barat, kota-kota besar, dan di sebagian kecil wilayah pesisir.[62] Seperti Yunani dan Latin, bahasa Trakian berakar dari bahasa Indo-Eropa, serta beberapa bahasa di Anatolia yang saat ini sudah punah, dibuktikan melalui prasasti-prasasti yang berasal dari era Kekaisaran.[63] Beragam bahasa Afro-Asia—terutama Koptik di Mesir dan Aram di Suriah dan Mesopotamia—tak pernah tergantikan oleh bahasa Yunani. Di samping itu, penggunaan internasional bahasa Yunani adalah salah satu faktor yang turut berperan dalam penyebaran agama Kristen, misalnya penggunaan bahasa Yunani dalam Surat-Surat Paulus.[64]

Masyarakat sunting

 
Perjamuan multigenerasi yang tergambar dalam lukisan dinding dari Pompeii (abad ke-1 M).

Kekaisaran Romawi adalah kekaisaran yang sangat multikultural, dengan "kapasitas kohesif yang mengagumkan" untuk menciptakan rasa identitas bersama yang meliputi beragam masyarakat di dalam sistem politiknya untuk jangka waktu yang lama.[65] Upaya Romawi dalam membangun monumen publik dan ruang komunal yang diperuntukkan bagi semua warga—seperti forum, amfiteater, trek balapan dan pemandian umum—membantu menumbuhkan rasa "keromawian" (Romanness).[66]

Masyarakat Romawi memiliki hierarki sosial yang beragam dan saling tumpang tindih, yang tidak bisa dijelaskan secara akurat oleh konsep "kelas" pada zaman modern.[67] Perang saudara yang berlangsung selama dua dekade sebelum Augustus naik ke tampuk kekuasaan mengakibatkan masyarakat Roma berada dalam situasi kebingungan dan pergolakan,[68] tetapi tidak berdampak secara langsung terhadap redistribusi kekayaan dan kekuasaan sosial. Dari perspektif masyarakat kelas bawah, puncak tersebut semata-mata ditambahkan ke piramida sosial.[69] Hubungan personal—patronasi, persahabatan (amicitia), keluarga, pernikahan—tetap memengaruhi cara kerja politik dan pemerintahan, sama seperti pada masa Republik.[70] Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Nero, adalah hal yang tidak biasa jika menemukan seorang bekas budak yang lebih kaya dari warga negara merdeka, atau seorang penunggang kuda yang lebih berkuasa dari seorang senator.[71]

Kekaburan atau difusi hierarki yang lebih kaku pada masa Republik menyebabkan meningkatnya mobilitas sosial pada masa Kekaisaran,[72] baik mobilitas ke atas maupun ke bawah, hingga ke tingkat yang melampaui kehidupan sosial masyarakat kuno lainnya yang terdokumentasikan dengan baik.[73] Wanita, warga negara merdeka, dan budak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan dan menggunakan pengaruh melalui cara-cara yang sebelumnya tidak tersedia bagi mereka.[74] Kehidupan sosial di Kekaisaran Romawi, terutama bagi mereka yang memiliki sumber daya pribadi terbatas, semakin terbantu dengan adanya proliferasi perkumpulan sukarela dan persaudaraan (collegium dan Sodales), yang dibentuk untuk berbagai tujuan: serikat profesional dan pedagang, grup veteran, persaudaraan religius, klub minum dan makan,[75] rombongan seni pertunjukan,[76] dan penyelenggara pemakaman.[77]

 
Warga Mesir Romawi (potret mumi Fayum).

Status hukum sunting

Menurut yuris Gaius, perbedaan utama dalam "hukum individu" Romawi adalah penggolongan manusia menjadi dua status, yakni merdeka (liberi) dan budak (servi).[78] Status hukum warga merdeka dapat didefinisikan lebih lanjut melalui kewarganegaraan mereka. Pada awal kekaisaran, hanya pria tertentu yang berhak menerima status kewarganegaraan Romawi, yang memungkinkan mereka untuk memilih, mencalonkan diri untuk jabatan pemerintahan, dan menjadi imamat. Sebagian besar warga negara memiliki hak yang terbatas (ius Latinum, "hak-hak Latin"), tetapi masih berhak memperoleh perlindungan hukum dan hak-hak lainnya yang tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Orang-orang merdeka yang tidak dianggap sebagai warga negara namun tinggal di wilayah Romawi menyandang status peregrini, atau non-Romawi.[79] Pada tahun 212 M, dengan diberlakukannya dekret Constitutio Antoniniana, Kaisar Caracalla memberi status kewarganegaraan kepada seluruh penduduk merdeka di wilayah Kekaisaran. Egalitarianisme hukum ini membutuhkan revisi dari hukum yang telah ada untuk membedakan antara warga negara dan non-warga negara.[80]

Wanita sebagai entitas hukum sunting

Wanita Romawi yang terlahir merdeka dianggap sebagai warga negara, baik di Republik maupun di Kekaisaran, tetapi tidak memiliki hak pilih, tidak diperbolehkan memegang jabatan politik, atau bertugas di militer. Status kewarganegaraan seorang ibu menentukan status kewarganegaraan anak-anaknya, seperti yang ditunjukkan dalam frasa ex duobus civibus Romanis natos ("anak-anak lahir dari dua warga negara Romawi").[81] Wanita Romawi tetap menggunakan nama keluarganya (nomen) seumur hidup. Anak-anak paling sering memakai nama ayahnya, namun terkadang juga mengambil sebagian nama ibunya, atau bahkan sepenuhnya menggunakan nama ibu ketimbang nama ayah.[82]

 
Patung perunggu seorang wanita yang sedang membaca (abad ke-1 M).

Bentuk arkais pernikahan manus ketika wanita tunduk pada perintah suaminya umumnya telah ditinggalkan pada era Kekaisaran, dan wanita yang sudah menikah tetap memiliki seluruh harta yang ia bawa ke rumah suaminya. Secara teknis, seorang wanita tetap berada di bawah kewenangan hukum ayahnya, meskipun ia telah pindah ke rumah suaminya, dan ketika ayahnya meninggal dunia, maka ia secara hukum menjadi wanita bebas.[83] Kebijakan ini merupakan salah satu faktor yang membuat wanita Romawi menikmati kebebasan yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kebudayaan kuno lainnya dan bahkan hingga zaman modern:[84] meskipun ia bertanggung jawab kepada ayahnya secara hukum, ia bebas dari pengawasan langsung dalam kehidupan sehari-hari,[85] dan suaminya tidak memiliki kekuatan hukum atas dirinya.[86] Di Romawi, menjadi suatu kebanggaan bagi seorang wanita yang menikah hanya satu kali dalam hidupnya (univira); ada sedikit stigma sosial yang melekat terhadap perceraian, atau menikah kembali setelah bercerai atau ditinggal mati suami.[87]

Anak perempuan memiliki hak waris yang sama dengan anak laki-laki jika ayah mereka meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat.[88] Seorang ibu di Romawi juga berhak memiliki kekayaan pribadi dan menjualnya jika menurutnya tidak sesuai, berhak menulis surat wasiatnya sendiri, dan memberikan pengaruh besar kepada anak-anaknya bahkan ketika mereka dewasa.[89]

Sebagai bagian dari program Augustan untuk mengembalikan nilai moral dan tatanan sosial, undang-undang moral berupaya untuk mengatur perilaku perempuan dalam rangka mempromosikan"nilai-nilai keluarga". Perzinaan, yang menjadi urusan pribadi keluarga pada masa Republik, telah dikriminalisasikan pada masa Kekaisaran,[90] dan secara luas diartikan sebagai "kegiatan seks terlarang (stuprum) yang terjadi antara warga negara pria dengan seorang wanita yang sudah menikah, atau antara seorang wanita yang sudah menikah dengan pria yang bukan suaminya".[91] Kemampuan melahirkan didorong oleh pemerintah: seorang wanita yang telah melahirkan tiga anak dianugerahkan penghargaan simbolis dan diberikan kebebasan hukum yang lebih besar (ius trium liberorum).

Karena status hukumnya sebagai warga negara dan besarnya tingkat emansipasi, wanita di Kekaisaran Romawi bisa memiliki harta sendiri, melakukan kontrak kerja, dan terlibat dalam bisnis,[92] termasuk bisnis pengapalan, manufaktur, dan peminjaman uang. Prasasti yang ditemukan di seluruh Kekaisaran menuliskan penghormatan terhadap wanita sebagai dermawan yang mendanai pekerjaan umum, yang menunjukkan bahwa wanita Romawi bisa mengumpulkan dan menghabiskan kekayaannya sendiri; sebagai contoh, pembangunan Arch of the Sergii didanai oleh Salvia Postuma, seorang wanita anggota keluarga bangsawan, dan bangunan terbesar di forum di Pompeii didanai oleh Eumachia, seorang imam wanita Venus.[93]

Budak dan hukum sunting

Pada saat Augustus berkuasa, sebanyak 35 persen warga Italia adalah budak,[94] sehingga menjadikan Roma sebagai salah satu dari lima "kota budak" bersejarah, yang mana budak berjumlah sekurang-kurangnya seperlima dari total penduduk dan memainkan peran penting dalam perekonomian.[95] Perbudakan adalah lembaga kompleks yang turut mendukung struktur sosial tradisional Romawi serta memberikan kontribusi terhadap utilitas ekonomi.[96] Di wilayah perkotaan, budak mungkin sama profesionalnya dengan seorang guru, dokter, koki, dan akuntan, selain kebanyakan budak tidak terlatih dan terampil yang bekerja di rumah tangga atau pabrik. Pertanian dan industri, seperti penggilingan dan pertambangan, sangat mengandalkan eksploitasi budak. Di luar Italia, jumlah budak diperkirakan 10 sampai 20 persen dari jumlah penduduk, lebih jarang di Mesir Romawi tetapi lebih terkonsentrasi di beberapa wilayah Yunani. Perluasan lahan pertanian dan industri oleh Kekaisaran turut memengaruhi praktik-praktik perbudakan yang sudah ada di provinsi-provinsi Romawi.[97] Meskipun lembaga-lembaga perbudakan dianggap sudah memudar pada abad ke-3 dan ke-4, perbudakan tetap menjadi bagian integral dari masyarakat Romawi hingga abad ke-5. Perbudakan berhenti secara bertahap pada abad ke-6 dan ke-7 bersamaan dengan kemunduran pusat-pusat perkotaan di Barat dan disintegrasi perekonomian Kekaisaran yang menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap tenaga budak.[98]

 
Seorang budak memegang tablet tulis untuk tuannya (relief sarkofagus dari abad ke-4 M).

Hukum yang mengatur perbudakan di Kekaisaran Romawi "sangat rumit".[99] Di bawah hukum Romawi, budak dianggap properti dan tidak memiliki hukum perorangan. Mereka bisa dikenakan hukuman fisik yang tidak biasa dikenakan pada warga negara, eksploitasi seksual, penyiksaan, dan eksekusi kilat. Seorang budak secara hukum tidak bisa diperkosa, karena pemerkosaan hanya bisa dilakukan terhadap orang-orang merdeka; pemerkosa budak dapat dituntut oleh pemiliknya karena telah merusak "propertinya", sesuai dengan Hukum Aquilia.[100] Budak tidak memiliki hak untuk menikah secara sah (conubium), tetapi hubungan antara sepasang budak terkadang diakui, dan jika kedua budak tersebut dibebaskan, maka mereka bisa menikah secara sah.[101] Setelah Perang Budak pada zaman Republik, undang-undang pada masa pemerintahan Augustus dan penerusnya semakin menekan dan membatasi jumlah serikat budak, dan perintah untuk memburu budak buronan.[102]

Secara teknis, budak tidak diperkenankan untuk memiliki properti,[103] tetapi seorang budak yang bekerja menjalankan bisnis memiliki akses terhadap harta atau dana seseorang (peculium) yang keuntungannya bisa ia gunakan seolah-olah hartanya sendiri. Istilah "harta" ini beragam, tergantung pada tingkat kepercayaan dan kerja sama antara pemilik dan budak: seorang budak yang memiliki kecakapan bisnis bisa dengan lebih mudah menghasilkan keuntungan, dan mungkin diperbolehkan untuk memiliki peculium yang bisa ia gunakan untuk membayar budak lainnya.[104] Budak juga memiliki hierarki di rumah atau di tempat kerjanya, yakni ketika seorang budak juga bertindak sebagai tuan bagi budak lainnya.[105]

Seiring waktu, perlindungan hukum yang diperoleh budak semakin meningkat, termasuk hak untuk mengajukan keluhan terhadap tuan mereka. Dalam nota pembelian, terdapat klausul yang menjelaskan bahwa budak tidak boleh dipekerjakan sebagai pelacur, karena kebanyakan pelacur di Romawi kuno adalah budak.[106] Berkembangnya perdagangan budak kasim pada akhir abad ke-1 menyebabkan dikeluarkannya undang-undang yang melarang pengebirian budak jika bertentangan dengan keinginannya."[107]

Perbudakan di Romawi tidak didasarkan pada "ras" dalam pengertian modern.[108] Ketika perbudakan sedang meluas pada masa Republik, tawanan perang merupakan sumber utama yang dijadikan budak. Di antara para tawanan perang yang dijadikan budak, penaklukkan Yunani telah membawa sejumlah budak yang sangat terampil dan berpendidikan ke Roma. Budak juga diperjualbelikan di pasar-pasar, dan terkadang dijual oleh bajak laut Sisilia. Penelantaran bayi dan menjual diri sendiri sebagai budak yang umum terjadi di kalangan warga miskin adalah sumber perbudakan lainnya.[109] Vernae, sebaliknya, adalah budak "asli Romawi" yang lahir dari budak wanita di rumah tangga perkotaan, di perkebunan, atau wilayah pertanian. Meskipun mereka tidak memiliki status hukum khusus, pemilik yang menganiaya atau gagal menjaga para vernae ini akan mendapat cibiran sosial, karena para vernae sudah dianggap sebagai bagian dari familia, rumah tangga keluarga, atau dalam beberapa kasus mungkin sebenarnya anak dari pria merdeka dalam keluarga tersebut.[110]

Budak yang berbakat dan memiliki kecakapan bisnis mungkin mampu mengumpulkan peculium yang cukup besar untuk membebaskan diri mereka dari perbudakan (manumisi). Manumisi ini cukup sering terjadi sehingga pada abad ke-2 SM, hukum (Lex Fufia Caninia) disahkan untuk membatasi jumlah budak yang boleh dibebaskan oleh si pemilik atas keinginannya sendiri.[111]

Bekas budak sunting

 
Cinerary urn untuk mantan budak Tiberius Klaudius Chryseros dan dua wanita, kemungkinan istri dan putrinya.

Roma berbeda dengan negara-kota Yunani dalam mengizinkan budak yang telah dibebaskan untuk menjadi warga negara. Setelah dibebaskan, seorang budak yang dulunya dimiliki oleh warga negara Romawi tidak hanya menikmati kebebasan pasif dari pemiliknya, tetapi juga memperoleh kebebasan politik aktif (libertas), termasuk hak untuk memberi suara.[112] Budak yang telah memperoleh libertas disebut dengan libertus ("orang bebas," untuk wanita: liberta), sedangkan mantan tuannya akan menjadi patron (patronus, pelindung): kedua belah pihak masih tetap memiliki kewajiban adat dan hukum satu sama lainnya. Dalam kelas sosial, budak yang telah bebas disebut dengan libertini, meskipun di kemudian hari para penulis lebih suka menggunakan istilah libertus dan libertinus.[113]

Seorang libertinus tidak berhak memegang jabatan publik atau imamat tertinggi negara, tetapi ia bisa memainkan peran imam dalam kultus kaisar. Seorang libertinus juga tidak boleh menikahi wanita dari keluarga berpangkat senator, ataupun meraih pangkat senator secara sah, tetapi pada awal Kekaisaran, banyak bekas budak yang memegang jabatan kunci di birokrasi pemerintahan, sehingga Kaisar Hadrianus membatasi partisipasi mereka secara hukum.[114] Anak-anak yang lahir dari bekas budak akan berstatus merdeka dengan hak kewarganegaraan penuh.

Kesuksesan para bekas budak—baik dari segi pengaruh politik ataupun dari segi kekayaan—merupakan karakteristik masyarakat Kekaisaran awal. Kemakmuran kelompok berprestasi tinggi yang berasal dari bekas budak disebutkan dalam prasasti-prasasti di seluruh Kekaisaran, dan melalui kepemilikan sejumlah rumah mewah di Pompeii, misalnya House of the Vettii. Keberadaan bekas budaknouveau riche dikisahkan lewat karakter Trimalchio dalam Satyricon karya Petronius, yang ditulis pada masa pemerintahan Nero.

Kelas sosial sunting

Kata Latin ordo (jamak: ordines) mengacu pada perbedaan sosial yang bisa diterjemahkan dalam beragam kata seperti "kelas", "ordo", dan "peringkat", meskipun tak ada yang benar-benar mendekati makna sebenarnya. Salah satu tujuan sensus Romawi adalah untuk menentukan ke dalam ordo mana seseorang harus digolongkan. Dua ordines tertinggi di Roma adalah ordo senator dan penunggang kuda. Di luar Roma, dekurion, juga dikenal dengan curiales (bahasa Yunani: bouleutai), adalah ordo tertinggi di tiap-tiap kota.

 
Fragmen sarkofagus yang menggambarkan Gordianus III dan para senat (abad ke-3)

"Senator" bukanlah merupakan jabatan terpilih di Romawi kuno; seseorang memperoleh izin untuk masuk Senat setelah ia diangkat dan menjabat selama satu periode sebagai magistrat eksekutif. Seorang senator juga harus memenuhi syarat kepemilikan properti senilai 1 juta sestertii, yang ditentukan melalui sensus.[115] Kaisar Nero memberi hadiah uang dalam jumlah besar kepada beberapa calon senator dari keluarga-keluarga kuno yang terlalu miskin untuk memenuhi syarat pengangkatan sebagai senator. Tidak semua pria yang memenuhi syarat ordo senatorius bisa dipilih untuk mengisi kursi Senat, yang juga mensyaratkan hukum domisili di wilayah Roma. Kaisar sering kali mengisi kekosongan jabatan 600 anggota Senat melalui kesepakatan tertentu.[116] Putra senator secara otomatis masuk ordo senatorius, tetapi ia juga mesti memiliki kemampuan dan memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai Senat. Seorang senator bisa diberhentikan karena melanggar standar moral; sebagai contoh, ia dilarang menikahi bekas budak atau bertarung di arena.[117]

Pada masa Nero, kebanyakan senator berasal dari Roma dan wilayah Italia lainnya, dengan sebagian kecil dari semenanjung Iberia dan Prancis selatan; para pria dari provinsi penutur bahasa Yunani di Timur mulai bergabung dengan Senat pada masa pemerintahan Vespasianus.[118] Senator pertama dari provinsi paling Timur, Kapadokia, diangkat oleh Kaisar Marcus Aurelius.[119] Pada masa dinasti Severanus (193–235), sekitar separuh anggota Senat adalah orang Italia.[120] Pada abad ke-3 M, persyaratan harus berdomisili di Roma tidak lagi dianggap praktis, dan prasasti-prasasti yang ditemukan membuktikan bahwa para senator yang aktif berpolitik mewakili tanah air mereka masing-masing (patria).[117]

Senator memiliki aura prestise dan merupakan kelas pemerintahan tradisional yang meraih kejayaan melalui cursus honorum, atau jenjang karier politik. Meskipun demikian, penunggang kuda di Kekaisaran sering kali memiliki kekayaan dan kekuatan politik yang lebih besar jika dibandingkan dengan senator. Keanggotaan dalam ordo ekuestrian berdasarkan pada jumlah harta yang dimiliki; di Roma, pada awalnya equites atau kesatria digolongkan menurut kemampuan mereka dalam melayani Kekaisaran sebagai prajurit berkuda, meskipun layanan kavaleri merupakan fungsi yang terpisah dalam Kekaisaran.[121] Jika hasil sensus menunjukkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari 400.000 sesterces dan tiga generasi yang lahir sebagai warga merdeka, maka orang tersebut dianggap memenuhi syarat untuk menjadi penunggang kuda.[122] Sensus pada tahun 28 SM menemukan sejumlah besar pria yang memenuhi syarat, dan dalam sensus tahun 14 M, sekitar seribu penunggang kuda terdaftar di wilayah Cadiz dan Padua.[123] Penunggang kuda meraih kejayaan melalui jenjang karier militer (tres militiae) hingga menjadi prefek dan prokurator berkedudukan tinggi di dalam pemerintahan Kekaisaran.[124]

Masuknya orang-orang dari provinsi ke dalam ordo ekuestrian dan senator merupakan aspek mobilitas sosial pada tiga abad pertama pemerintahan Kekaisaran.[125] Aristokrasi Romawi berdasarkan pada persaingan. Tidak seperti kebangsawanan Eropa di kemudian hari, keluarga Romawi tidak bisa mewariskan statusnya secara turun-temurun atau melalui gelar.[126] Menjadi anggota ordines yang lebih tinggi memang mendatangkan perbedaan dan keistimewaan, tetapi di sisi lain juga mendatangkan tanggung jawab besar. Pada zaman kuno, perkembangan sebuah kota tergantung pada warga terpandang yang mendanai pekerjaan-pekerjaan umum, acara, dan jasa (munera), bukannya tergantung pada penerimaan pajak yang umumnya dimanfaatkan untuk mendukung kemiliteran. Untuk mempertahankan statusnya, seseorang harus mengeluarkan harta pribadi yang cukup besar.[127] Decurion (dewan kota) berperan penting dalam menjalankan fungsi-fungsi kota di Kekaisaran. Jika posisi dewan kota mengalami kekosongan, orang-orang yang berkuasa di Senat akan diberhentikan oleh pemerintah pusat, menyerahkan kursi mereka dan kembali ke kota masing-masing untuk menjadi dewan kota. Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan kehidupan sipil.[128]

Kelak di Kekaisaran, gelar dignitas ("layak, terpandang") yang disematkan pada senator dan penunggang kuda diperhalus lagi dengan gelar seperti vir illustris, "pria termasyhur".[129] Sebutan clarissimus (bahasa Yunani: lamprotatos) digunakan untuk mengacu pada dignitas senator tertentu dan anggota keluarganya, termasuk para wanita.[130] "Pangkat" untuk penunggang kuda sangat banyak. Orang-orang yang melayani Kekaisaran diberi pangkat berdasarkan bayaran (sexagenarius, 60.000 sesterces per tahun; centenarius, 100.000; ducenarius, 200.000). Gelar eminentissimus, "paling unggul" (bahasa Yunani: exochôtatos) diberikan pada penunggang kuda yang telah menjadi prefek Praetorian. Pangkat penunggang kuda tertinggi adalah perfectissimi, "paling terkemuka" (bahasa Yunani: diasêmotatoi), sedangkan yang paling rendah adalah egregii, "luar biasa" (bahasa Yunani: kratistos).[131]

Ketidakadilan sunting

 
Seorang pria terhukum diserang oleh macan tutul di arena (mozaik abad ke-3 dari Tunisia).

Setelah prinsip-prinsip hukum kesetaraan warga negara pada masa Republik memudar, hak-hak sosial dan simbolis masyarakat Romawi secara tidak resmi terbagi menjadi dua golongan, yakni orang-orang yang mendapat penghormatan lebih besar (honestiores) dan rakyat biasa (humiliores). Secara umum, honestiores adalah anggota dari tiga "ordo" tertinggi, termasuk jabatan perwira militer tertentu.[132] Pemberian hak kewarganegaraan universal pada tahun 212 diduga telah meningkatkan dorongan untuk berkompetisi di kalangan kelas atas, umumnya untuk menunjukkan superioritas mereka atas warga negara lainnya, terutama dalam sistem peradilan.[133]

Pemberian hukuman tergantung pada pengadilan dari pejabat resmi yang menilai "kelayakan" (dignitas) terdakwa: seorang honestior bisa membayar denda jika divonis bersalah melakukan kejahatan, sedangkan humilior akan menerima cambukan.[134]

Hukuman mati, yang jarang dijatuhkan kepada pria merdeka pada masa Republik,[135] bisa berlangsung dengan cepat dan tanpa rasa sakit pada warga negara Kekaisaran yang dianggap "lebih terhormat", sedangkan warga negara biasa yang dianggap lebih rendah mungkin terlebih dahulu dianiaya dan dikenakan penyiksaan yang sebelumnya hanya diberlakukan kepada budak, misalnya penyaliban dan diperlakukan seperti binatang di hadapan penonton di arena.[136] Pada awal Kekaisaran, orang-orang yang pindah ke agama Kristen bisa kehilangan posisi sebagai honestiores, terutama jika mereka menolak memenuhi tanggung jawab sebagai warga negara karena aspek agama, dan juga menjadi subjek hukuman yang menciptakan kondisi kemartiran.[137]

Pemerintahan dan militer sunting

 
Forum Gerasa (kini Jerash, Yordania), dengan kolom menandai jalan tertutup (stoa) untuk kios penjual, dan sebuah ruangan setengah lingkaran sebagai tempat bicara publik.

Tiga elemen utama dalam Kekaisaran Romawi adalah pemerintahan pusat, militer, dan pemerintahan provinsi.[138] Militer mengontrol suatu wilayah semasa perang, tetapi setelah kota atau rakyatnya menjadi bagian dari Romawi, tugas militer ini beralih kepada kepolisian, yang fungsinya melindungi warga negara Romawi (setelah 212 M semua penduduk bebas di Kekaisaran), melindungi lahan pertanian yang memberi mereka makan, dan tempat-tempat ibadah.[139] Tanpa instrumen modern seperti komunikasi dan pemusnahan massal, warga Romawi tidak akan memiliki kekuatan atau sumber daya yang cukup untuk memaksakan kekuasaan mereka dengan kekuatan sendiri. Kerja sama dengan elite penguasa lokal diperlukan untuk menjaga ketertiban, mengumpulkan informasi, dan meraup pendapatan. Warga Romawi sering kali memanfaatkan perpecahan politik dengan mendukung salah satu faksi ketimbang yang lainnya: dalam pandangan Plutarch, "ini merupakan perselisihan antara faksi di kota-kota yang menyebabkan dicabutnya pemerintahan-mandiri".[140]

Masyarakat yang menunjukkan loyalitas pada Romawi bisa menegakkan hukum mereka sendiri, berhak mengumpulkan pajak secara kedaerahan, dan bahkan dibebaskan dari pajak Romawi. Hak-hak hukum dan kemerdekaan merupakan insentif yang diperoleh jika bisa mempertahankan hubungan yang baik dengan Roma.[141] Pemerintahan Romawi memang terbatas, tetapi efisien dalam mengelola sumber daya yang tersedia.[142]

Pemerintahan pusat sunting

Dominasi kaisar berdasarkan pada konsolidasi kekuasaan tertentu dari sejumlah pejabat Republik, termasuk tribune rakyat yang tidak dapat diganggu gugat dan wewenang censor untuk memanipulasi hierarki masyarakat Romawi.[143] Kaisar juga menobatkan dirinya sebagai otoritas keagamaan sentral seperti Pontifex Maximus, dan memiliki hak terpusat untuk menyatakan perang, mengesahkan perjanjian, dan berunding dengan pemimpin asing.[144] Meskipun fungsi ini terdefenisikan dengan sangat jelas pada masa Principatus, kekuasaan kaisar dari waktu ke waktu menjadi makin kurang konstitusional dan lebih monarki, sehingga melahirkan era Dominatus.[145]

 
Antoninus Pius (memerintah 138–161) mengenakan toga (Hermitage Museum).

Kaisar memiliki kewenangan tertinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil keputusan, tetapi pada awal Principatus, ia masih bisa berhubungan dengan orang-orang dari seluruh lapisan masyarakat, dan menangani secara pribadi urusan-urusan resmi dan petisi. Birokrasi yang ada di sekeliling kaisar dibentuk secara bertahap.[146] Kaisar-kaisar dari dinasti Julio-Klaudian mengandalkan badan penasihat resmi yang tidak hanya beranggotakan para senator dan penunggang, tetapi juga budak dan bekas budak tepercaya.[147] Setelah pemerintahan Nero, pengaruh tidak resmi para budak dan bekas budak dianggap mencurigakan, dan dewan kaisar (consilium) dibentuk secara resmi demi pemerintahan yang lebih transparan.[148] Meskipun senat berperan sebagai pembuat kebijakan sampai akhir dinasti Antonine, para penunggang kuda atau kesatria memainkan peran yang semakin penting dalam consilium.[149] Para wanita dari keluarga kaisar sering kali turun tangan langsung dalam pengambilan keputusan kaisar. Plotina memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan kedua suaminya, Trajanus dan penerusnya, Hadrianus. Pengaruhnya ini ditunjukkan lewat surat-suratnya yang dipublikasikan secara resmi, sebagai tanda bahwa kewenangan sang kaisar dipengaruhi dan didengarkan oleh rakyatnya.[150]

Rakyat bisa bertemu dengan kaisar dalam acara-acara harian seperti resepsi (salutatio), acara penghormatan tradisional yang dilakukan oleh bekas budak kepada patronnya; perjamuan umum yang digelar di istana; dan upacara keagamaan. Rakyat biasa yang tidak memiliki kesempatan ini bisa menyalurkan penghormatan atau ketidakpuasan mereka terhadap kaisar secara berkelompok dalam acara-acara pertandingan yang diselenggarakan di arena besar.[151] Pada abad ke-4, setelah pusat-pusat perkotaan mengalami kemerosotan, kaisar penganut Kristen menjadi tokoh utama yang mengeluarkan peraturan umum, dan tidak lagi menanggapi petisi perorangan.[152]

Meskipun senat bisa melakukan pembunuhan dan pemberontakan terbuka untuk menentang kehendak kaisar, hal ini tidak pernah terjadi pada masa restorasi Augustusan dan bahkan pada masa-masa penuh gejolak yang dikenal dengan Tahun Empat Kaisar, dan dengan demikian tetap mempertahankan sentralitas politik simbolis pada masa Principatus.[153] Senat bertugas mengesahkan peraturan kaisar, dan kaisar memerlukan senat yang berpengalaman sebagai legasi (legatus) untuk mengisi posisi jenderal, diplomat, dan administrator.[154] Keberhasilan karier seseorang ditentukan oleh kompetensinya sebagai administrator, dan selebihnya ditentukan oleh kaisar.[155]

Sumber praktis kekuasaan kaisar adalah militer. Para legiun digaji oleh bendahara Kekaisaran, dan bersumpah setiap tahunnya untuk setia kepada kaisar (sacramentum).[156] Kematian seorang kaisar sering kali menimbulkan ketidakpastian dan krisis. Kebanyakan kaisar menunjuk sendiri pengganti mereka, biasanya anggota keluarga terdekat atau mengadopsi pewaris. Kaisar baru harus mampu memperoleh pengakuan secara cepat terkait dengan status dan kewenangannya untuk menstabilkan lanskap politik. Tidak ada kaisar yang berharap bisa hidup, apalagi bisa memerintah, tanpa dukungan dan loyalitas dari Garda Praetoria dan legiun. Untuk mendapatkan kesetiaan mereka, beberapa kaisar bahkan membayar donativum, yakni hadiah berupa uang. Secara teori, Senat berhak untuk memilih kaisar baru, tetapi hak ini dibatasi oleh aklamasi dari para tentara dan Garda Praetoria.[157]

Militer sunting

 
Kekaisaran Romawi pada masa Hadrianus (memerintah 117–138) menunjukkan lokasi pengerahan legiun Romawi pada tahun 125 M.

Prajurit angkatan darat Kekaisaran Romawi adalah orang-orang profesional yang aktif bertugas secara sukarela selama 20 tahun dan lima tahun sebagai prajurit cadangan. Transisi menjadi petugas militer profesional telah dimulai pada akhir masa Republik, dan merupakan salah satu dari banyak hal yang mengalami pergeseran dalam republikanisme, yang mana prajurit yang telah menempuh wajib militer harus melaksanakan tanggung jawab mereka sebagai warga negara untuk membela tanah air dalam peperangan terhadap ancaman tertentu. Di Kekaisaran Romawi, militer sendiri adalah karier penuh-waktu.[158]

Misi utama militer Romawi pada awal kekaisaran adalah menjaga keberlangsunganPax Romana.[159] Tiga divisi utama militer Kekaisaran adalah:

  • Garnisun di Roma, yang mencakup Garda Praetoria dan vigiles yang berfungsi sebagai polisi dan pemadam kebakaran;
  • Angkatan darat provinsi, terdiri dari legiun Romawi dan pasukan pembantu yang disediakan oleh provinsi (auxilia);
  • Angkatan laut.

Tersebarnya garnisun militer di seluruh Kekaisaran adalah pengaruh utama dalam proses perubahan dan asimilasi budaya yang dikenal dengan "Romanisasi," terutama dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.[160] Pengetahuan mengenai militer Romawi diperoleh dari sumber-sumber seperti teks sastra Yunani dan Romawi, koin dengan tema militer, papirus yang memuat tulisan-tulisan militer, monumen seperti Kolom Trajanus dan gerbang lengkung kemenangan, yang kesemuanya menampilkan gambaran artistik para pria sedang bertempur ataupun peralatan militer, arkeologi pemakaman militer, medan pertempuran, perkemahan, serta prasasti, termasuk diploma militer, epitaf, dan dedikasi.[161]

Melalui reformasi militernya, yang meliputi melebur atau membubarkan satuan militer yang kesetiaannya dipertanyakan, Augustus mengubah dan meregulalisasikan legiun, termasuk menetapkan pola paku sepatu pada telapak sepatu prajurit.[162] Satu legiun dibagi menjadi sepuluh kohort, masing-masingnya terdiri dari enam centuria, dengan satu centuria terbagi menjadi sepuluh skuat (contubernia). Jumlah persisnya legiun Kekaisaran yang diukur berdasarkan logistik diperkirakan berkisar antara 4.800 hingga 5.280 legiun.[163]

 
Panel relief dari Kolom Trajanus menunjukkan pembangunan sebuah benteng dan sambutan dari kedutaan Dacia.

Pada abad ke-9, suku-suku Jermanik berhasil menyapu bersih tiga legiun penuh dalam Pertempuran Hutan Teutoburg. Peristiwa buruk ini mengurangi jumlah legiun menjadi 25. Jumlah keseluruhan legiun kemudian bertambah lagi dan selama 300 tahun berikutnya, jumlahnya selalu di atas atau di bawah 30.[164] Angkatan darat memiliki sekitar 300.000 prajurit pada abad ke-1, dan di bawah 400.000 pada abad ke-2, "secara signifikan lebih kecil" jika dibandingkan dengan pasukan gabungan dari wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Pada kenyataannya, tak lebih dari 2% pria dewasa di Kekaisaran yang bertugas di angkatan darat Romawi.[165]

Augustus juga membentuk Garda Praetoria: sembilan kohor yang tugasnya menjaga perdamaian umum dan ditempatkan di Italia. Dengan gaji yang lebih besar daripada anggota legiun, Garda Praetoria hanya bertugas selama enam belas tahun.[166]

Auxilia (pasukan pembantu) direkrut dari kalangan non-warga negara. Ditempatkan di satuan yang lebih kecil dari satuan kohor, prajurit auxilia ini digaji lebih sedikit dari legiun, dan setelah bertugas selama 25 tahun, para prajurit diberi status kewarganegaraan Romawi, yang bisa diwariskan kepada putra mereka. Menurut Tacitus,[167] jumlah auxilia kira-kira sama dengan jumlah legiun. Jika dihitung secara keseluruhan, Auxilia ini berjumlah sekitar 125.000, yang dibagi menjadi 250 resimen auxilia.[168] Kavaleri Romawi pada awal Kekaisaran umumnya ditempatkan di wilayah Keltik, Jermanik, atau Spanyol Romawi. Beberapa peralatan pelatihan dan persenjataan, seperti pelana tanduk-empat, berasal dari Keltik, sebagaimana yang dicatat oleh Arrian dan ditunjukkan melalui bukti arkeologi.[169]

Angkatan laut Romawi (Latin: classis, "armada") tidak hanya membantu memasok dan mengangkut para legiun, tetapi juga membantu melindungi perbatasan di sepanjang sungai Rhine dan Danube. Tugas lainnya adalah melindungi rute perdagangan maritim penting dari ancaman bajak laut. Angkatan laut berpatroli di Laut Tengah, sebagian pesisir Atlantik Utara, dan Laut Hitam. Meskipun demikian, angkatan darat tetap dianggap cabang yang lebih senior dan bergengsi.[170]

Pemerintahan provinsi sunting

 
Arena Pula di Kroasia adalah salah satu amfiteater Romawi terbesar dan paling utuh yang tersisa.

Wilayah yang ditaklukkan bisa menjadi sebuah provinsi melalui tiga tahap, yakni membuat daftar kota-kota, melakukan sensus penduduk, dan menyurvei lahan.[171] Pencatatan lebih lanjut termasuk pencatatan kelahiran dan kematian, perumahan, transaksi, pajak, dan proses yuridis.[172] Pada abad ke-1 dan ke-2, pemerintah pusat mengutus sekitar 160 pejabat setiap tahunnya ke luar Italia.[173] Di antara para pejabat ini termasuk "gubernur Romawi", atau disebut juga dengan magistrat terpilih di Roma yang memerintah provinsi senatorial atas nama rakyat Romawi; atau gubernur, biasanya berasal dari kalangan penunggang kuda, yang memerintah imperium mereka atas nama kaisar di provinsi yang berada di luar kontrol senator, terutama Mesir Romawi.[174] Seorang gubernur harus memiliki akses terhadap rakyat yang ia perintah, meskipun ia bisa melimpahkan berbagai tugas.[175] Di samping itu, staf gubernur memiliki tugas minimal: petugas resmi (apparitor), termasuk liktor, bentara, utusan, scriba, pengawal, legatus, baik dari kalangan sipil maupun militer (biasanya penunggang kuda), serta teman-teman gubernur, yang berasal dari beragam usia dan pengalaman yang mendampingi gubernur secara tidak resmi.[175]

Pejabat lainnya ditunjuk sebagai penyelia keuangan pemerintah.[173] Memisahkan tanggung jawab fiskal dari tanggung jawab hukum dan administrasi adalah reformasi yang dilakukan pada masa Kekaisaran. Di bawah Republik, gubernur provinsi dan pemungut pajak bisa lebih leluasa memanfaatkan penduduk setempat untuk mengeruk keuntungan pribadi.[176] Prokurator, yang kewenangannya pada awalnya berbentuk "ekstra konstitusional dan ekstra yudisial", juga ikut mengelola harta milik negara dan milik pribadi kaisar (res privata).[175] Karena jumlah pejabat pemerintahan Romawi sedikit, provinsi yang membutuhkan bantuan atas permasalahan sengketa hukum atau kasus pidana bisa meminta bantuan dari warga Romawi yang dianggap memiliki kapasitas resmi, misalnya prokurator atau petugas kepolisian, serta pejabat senturion rendahan dan polisi militer.[177]

Hukum Romawi sunting

Pengadilan Romawi memegang yurisdiksi asli atas kasus-kasus yang melibatkan warga negara Romawi di seluruh kekaisaran, namun ada juga beberapa fungsionaris yudisial yang memberlakukan hukum Romawi secara seragam di provinsi-provinsi. Sebagian besar wilayah kekaisaran Timur telah memiliki kode hukum dan prosedur peradilan yang tersusun baik.[178] Secara umum, sudah menjadi kebijakan Romawi untuk menghormati mos regionis ("tradisi daerah" atau "hukum adat") dan menganggap hukum lokal sebagai sumber preseden hukum dan kestabilan sosial.[179] Adanya kompabilitas antara hukum Romawi dengan hukum lokal dianggap mencerminkan ius gentium, "hukum bangsa-bangsa" atau hukum internasional yang sebanding dengan perpaduan antara hukum umum dan hukum adat di berbagai masyarakat dunia.[180] Jika keputusan hukum provinsi bertentangan dengan hukum Romawi atau kebiasaan, pengadilan Romawi akan melakukan banding, dan kaisar memegang kewenangan untuk mengambil keputusan akhir.[181]

Di Kekaisaran Barat, hukum dikelola dengan dasar kedaerahan atau kesukuan, dan hak kepemilikan pribadi mungkin merupakan hal yang baru pada era Romawi, terutama di kalangan bangsa Keltik. Hukum Romawi memfasilitasi pengumpulan kekayaan pribadi oleh kalangan elite pro-Romawi yang memiliki hak-hak istimewa sebagai warga negara.[182] Pemberian status kewarganegaraan universal pada semua penduduk merdeka di seluruh Kekaisaran pada tahun 212 menyebabkan diterapkannya hukum Romawi secara seragam, menggantikan kode hukum adat yang sebelumnya diberlakukan kepada non-warga negara. Upaya Kaisar Diokletianus untuk menstabilkan Kekaisaran setelah Krisis Abad Ketiga antara lain dengan cara mengeluarkan dua kompilasi hukum utama dalam waktu empat tahun, yakni Kodeks Gregorianus dan Kodeks Hermogenianus, yang bertujuan memandu para pejabat provinsi dalam menetapkan standar hukum yang konsisten.[183]

Penerapan hukum Romawi di seluruh Eropa Barat menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi hukum Barat, yang tercermin dalam penggunaan terminologi hukum Latin dalam hukum modern.

Perpajakan sunting

Perpajakan pada masa Kekaisaran Romawi bernilai 5 persen dari produk bruto.[29] Tarif pajak yang dibayar oleh seseorang umumnya berkisar dari 2 sampai 5 persen.[184] Kode pajak Romawi "membingungkan dan rumit" jika dilihat dari sistem pajak langsung dan tidak langsung; sebagian orang membayar pajak dengan uang dan sebagian dengan barang. Pajak untuk provinsi lebih spesifik, atau untuk jenis usaha seperti perikanan dan kolam penguapan garam; pajak untuk usaha ini mungkin diberlakukan untuk waktu yang terbatas.[185] Pengumpulan pajak dibenarkan oleh kebutuhan untuk memelihara angkatan perang,[186] dan pembayar pajak terkadang mendapat pengembalian dana jika tentara mendapatkan surplus dari barang rampasan perang.[187] Pajak dalam bentuk barang (natura) diberlakukan di wilayah-wilayah penghasil uang, terutama bagi orang-orang yang memasok makanan atau barang ke perkemahan tentara.[188]

 
Personifikasi Sungai Nil dan anaknya, dari Kuil Serapis dan Isis di Roma (abad ke-1 M).

Sumber utama penerimaan pajak langsung adalah individu, yang membayar pajak pungutan dan pajak atas kepemilikan lahan.[184] Orang-orang tertentu yang memenuhi syarat bisa memperoleh keringanan pajak, misalnya petani Mesir dapat mendaftarkan lahan milik mereka sebagai lahan kosong, tergantung pada pola banjir Sungai Nil.[189] Wajib pajak ditentukan melalui sensus, yang menghitung jumlah anggota keluarga dan jumlah harta yang dimiliki oleh suatu rumah tangga, termasuk kepemilikan lahan pertanian dan tempat tinggal.[189]

Sumber utama penerimaan pajak tidak langsung adalah portoria, pungutan dan bea yang dikenakan pada kegiatan ekspor dan impor, termasuk di provinsi-provinsi.[184] Pajak khusus dikenakan pada kegiatan perdagangan budak. Menjelang akhir pemerintahannya, Augustus menetapkan pajak perdagangan budak senilai 4 persen,[190] yang kemudian oleh Nero dialihkan pemungutannnya dari pembeli ke pemasok budak, yang menanggapinya dengan cara menaikkan harga budak.[191] Pemilik yang membebaskan budaknya juga diwajibkan membayar "pajak pembebasan", yang nilainya 5 persen dari harga budak.[192]

Pajak warisan yang besarnya 5 persen dari kekayaan bersih diberlakukan ketika seorang warga Romawi mewariskan hartanya kepada orang lain yang bukan anggota keluarga dekatnya. Penerimaan dari pajak perumahan mewah dan dari pajak penjualan yang besarnya satu persen digunakan untuk membayar uang pensiunan veteran (aerarium militare).[184] Pajak yang rendah membantu bangsawan Romawi meningkatkan kekayaan mereka, yang jumlahnya menyamai atau bahkan melebihi jumlah pendapatan pemerintah pusat. Seorang kaisar terkadang mengisi pundi-pundi harta pribadinya dengan cara menyita rumah-rumah mewah milik warga "super-kaya". Pada periode selanjutnya, perlawanan warga kaya yang menolak membayar pajak menjadi salah satu faktor yang bersumbangsih terhadap keruntuhan Kekaisaran.[31]

Ekonomi sunting

Moses Finley adalah pendukung utama pandangan primitif yang menyatakan bahwa perekonomian Romawi "tidak berkembang dan tidak maju", yang dicirikan dengan pertanian subsisten; pusat-pusat perkotaan yang lebih banyak mengonsumsi ketimbang memproduksi dari segi industri dan perdagangan; pengrajin berstatus rendah; perkembangan teknologi yang lamban; dan "kurangnya rasionalitas ekonomi".[193] Sedangkan pandangan saat ini mengenai kondisi perekonomian Romawi lebih kompleks. Penaklukkan wilayah memicu dilakukannya reorganisasi pemanfaatan lahan dalam skala besar, yang berakibat terjadinya surplus dan spesialisasi pertanian, terutama di Afrika Utara.[194] Beberapa kota dikenal atas kegiatan industri atau perdagangan, dan skala bangunan di wilayah perkotaan menunjukkan adanya konstruksi industri yang signifikan.[194] Papirus dari masa Romawi memuat metode akuntansi kompleks yang mencerminkan unsur rasionalisme ekonomi[195] dan Kekaisaran yang sangat berorientasi pendapatan.[196] Meskipun sarana komunikasi dan transportasi terbatas pada zaman kuno, transportasi pada abad ke-1 dan ke-2 berkembang dengan pesat, dan rute-rute perdagangan saling menghubungkan perekonomian antar daerah.[197] Kontrak penawaran bagi prajurit, yang menyebar di seluruh Kekaisaran, dimanfaatkan oleh para pemasok lokal di sekitar pangkalan militer (castrum) di seluruh provinsi dan di sepanjang perbatasan.[198] Kekaisaran Romawi dianggap maju dari segi jaringan perekonomian daerah, yang berdasarkan pada bentuk "kapitalisme politik", dengan negara mengawasi dan mengatur kegiatan perdagangan untuk meraup pendapatan.[199] Pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak sebanding dengan perekonomian modern, lebih maju dari sebagian besar masyarakat lainnya sebelum industrialisasi.[195]

Secara sosial, dinamisme ekonomi membuka jalan bagi mobilitas sosial di Kekaisaran Romawi. Status sosial tidak tergantung pada kelahiran, patronasi, keberuntungan, atau bahkan keterampilan luar biasa. Meskipun nilai aristokrasi melekat di kalangan masyarakat elite tradisional, kecenderungan yang kuat terhadap plutokrasi dapat dilihat dalam bentuk persyaratan kekayaan saat melakukan sensus. Prestise bisa diperoleh melalui investasi kekayaan dalam bentuk perkebunan besar, perumahan, barang-barang mewah seperti perhiasan dan perak, hiburan publik, monumen peringatan bagi anggota keluarga atau rekan kerja, dan tempat pemujaan seperti altar. Serikat buruh (collegia) dan perusahaan (corpora) memberikan dukungan bagi keberhasilan individu melalui jaringan, mengajarkan praktik usaha yang sehat, dan kemauan untuk bekerja.[200]

Mata uang dan perbankan sunting

Denominasi mata uang

Kekaisaran pada masa awal sangat produktif menghasilkan uang hingga mendekati tingkat universal, dalam artian penggunaan uang dari segi harga dan utang.[201] Sestertius (jamak: sestertii, dilambangkan dengan HS) adalah satuan dasar untuk menghitung harga pada abad ke-4,[202] sedangkan denarius perak, yang setara dengan empat sestertii, mulai digunakan dalam bidang akuntansi pada masa pemerintahan dinasti Severanus.[203] Koin terkecil yang beredar pada masa Romawi adalah perunggu as (jamak: asses), atau setara dengan seperempat sestertius.[204] Bullion dan ingot tidak dihitung sebagai pecunia, "uang," dan hanya digunakan dalam batas transaksi bisnis atau pembelian tanah. Warga Romawi pada abad ke-1 dan ke-2 menghitung jumlah koin, bukannya menimbang—yang menunjukkan bahwa sebuah koin bernilai karena bentuknya, bukan karena kandungan logamnya. Kecenderungan penggunaan uang fiat di kalangan warga Romawi menyebabkan menurunnya nilai mata uang Romawi yang berdampak terhadap perekonomian Kekaisaran di kemudian hari.[205] Standardisasi uang di seluruh Kekaisaran turut mempromosikan perdagangan dan integrasi pasar.[206] Tingginya jumlah mata uang logam yang beredar meningkatkan persediaan uang untuk dibelanjakan dan ditabung.[207]

Roma tidak memiliki bank sentral, dan pengaturan sistem perbankan sangat minim. Bank pada zaman klasik biasanya menyimpan lebih sedikit cadangan uang daripada jumlah total simpanan nasabah. Bank biasanya memiliki modal yang terbatas, dan sering kali hanya memiliki satu modal pokok, meskipun ada juga bank yang memiliki enam sampai lima belas modal pokok. Seneca menyatakan bahwa siapapun yang terlibat dalam kegiatan perdagangan membutuhkan bantuan kredit.[208]

 
Solidus yang diterbitkan pada masa pemerintahan Konstantinus II.[209]

Seorang bankir profesional (argentarius, coactor argentarius, atau nummularius) menerima dan memegang deposito untuk jangka waktu tertentu atau tidak terbatas, dan meminjamkan uang kepada pihak ketiga.[210] Para elite senator juga terlibat dalam kegiatan perbankan, baik sebagai kreditur ataupun debitur, yang meminjamkan harta kekayaan pribadi mereka atas dasar hubungan sosial.[211] Pemegang utang bisa menggunakan uang pinjaman sebagai alat pembayaran dengan cara mentransfernya kepada pihak lain, tanpa adanya uang tunai yang berpindah tangan. Meskipun di Romawi kuno jarang terjadi transaksi dokumenter atau "kertas", sistem perbankan di seluruh Kekaisaran juga mengizinkan pertukaran uang dalam jumlah besar tanpa adanya transfer fisik koin, umumnya untuk menghindari risiko perpindahan uang tunai dalam jumlah besar, terutama melalui laut. Satu-satunya ketekoran kredit serius yang diketahui pernah terjadi pada awal Kekaisaran adalah krisis kredit pada tahun 33 M, yang mengakibatkan sejumlah senator berada dalam kondisi berisiko; pemerintah pusat menyelamatkan pasar dengan cara meminjam uang sebanyak100 juta HS ke berbagai bank (mensae), yang dilakukan oleh kaisar Tiberius.[212] Secara umum, modal yang tersedia melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh peminjam.[213] Pemerintah pusat sendiri tidak meminjam uang, dan tidak memiliki utang negara untuk mendanai defisit dari cadangan kas.[214]

Kaisar dari dinasti Antonine dan Severanus secara keseluruhan telah menurunkan nilai mata uang, terutama denarius, karena adanya tekanan untuk melunasi gaji militer.[215] Inflasi mendadak yang terjadi pada masa pemerintahan Commodus membahayakan pasar kredit.[213] Pada pertengahan abad ke-2, persediaan uang koin meningkat tajam.[216] Berbagai kondisi pada masa Krisis Abad Ketiga—seperti menurunnya perdagangan jarak jauh, gangguan operasi pertambangan, dan dipindahkannya koin emas ke luar kekaisaran oleh musuh yang menginvasi wilayah-wilayah Romawi—mengurangi jumlah uang yang beredar dan melemahkan sektor perbankan pada tahun 300 M.[217] Meskipun sejak dahulu mata uang Romawi berbentuk uang fiat atau mata uang fidusia, kelesuan ekonomi mulai mengedepan pada masa pemerintahan Aurelianus, dan para bankir kehilangan kepercayaan terhadap uang koin resmi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Diokletianus memperkenalkan solidus emas dan melakukan reformasi moneter, namun pasar kredit Kekaisaran tidak pernah pulih sepenuhnya.[213]

Pertambangan dan metalurgi sunting

 
Lanskap yang dihasilkan oleh teknik pertambangan ruina montium di Las Médulas, Spanyol Romawi, salah satu tambang emas terpenting di Kekaisaran Romawi.

Wilayah pertambangan utama di Kekaisaran Romawi adalah Spanyol (emas, perak, tembaga, timah, timbal); Galia (emas, perak, besi); Britania (besi, timbal, timah); Provinsi Danubia (emas, besi); Makedonia dan Thrace (emas, perak); serta Asia Kecil (emas, perak, besi, timah). Pertambangan dalam skala besar—dari endapan aluvial dan melalui pertambangan pit terbuka dan pertambangan bawah tanah—dilakukan pada masa pemerintahan Augustus hingga abad ke-3 M, sebelum ketidakstabilan Kekaisaran mengganggu produksi pertambangan. Tambang emas Dacia misalnya, yang tidak bisa lagi dieksploitasi oleh Romawi setelah provinsi tersebut memberontak pada tahun 271. Pertambangan kembali diintensifkan hingga batas tertentu pada abad ke-4 M.[218]

Pertambangan hidraulis, yang dijuluki oleh Pliny dengan ruina montium ("reruntuhan gunung"), menyebabkan logam dasar dan logam mulia bisa diekstrak pada skala industri-proto.[219] Total produksi besi per tahun adalah 82.500 ton.[220] Tembaga diproduksi sebanyak 15.000 ton per tahun,[221] dan timbal 80.000 ton,[222] jumlah produksi terbesar yang tak tertandingi hingga Revolusi Industri pada abad ke-19.[223] Spanyol sendiri menyumbangkan sekitar 40 persen dari pangsa produksi timah dunia.[224] Produksi timbal yang tinggi adalah produk sampingan dari pertambangan perak yang produksinya mencapai 200 ton per tahun.[225] Pada puncaknya di pertengahan abad ke-2 M, persediaan perak Romawi diperkirakan mencapai 10.000 ton, atau lima sampai sembilan kali lebih besar dari gabungan produksi perak di Eropa abad pertengahan dan masa Kekhalifahan pada tahun 800 M.[226] Sebagai tanda perkembangan industri logam Romawi, pencemaran timbal di lapisan es Greenland pada masa Kekaisaran empat kali lipat lebih parah jika dibandingkan dengan masa prasejarah, dan menurun lagi setelah runtuhnya Kekaisaran.[227]

Transportasi dan komunikasi sunting

Kekaisaran Romawi menguasai wilayah-wilayah di sekeliling Laut Tengah, yang mereka sebut sebagai "laut kami" (mare nostrum).[228] Kapal layar Romawi berlayar mengarungi Laut Tengah dan sungai-sungai besar di seluruh Kekaisaran, termasuk Guadalquivir, Ebro, Thames, Rhône, Rhine, Tiber dan Nil.[229] Transportasi air lebih disukai karena mengangkut barang dagangan melalui jalur darat lebih sulit.[230] Keberadaan alat transportasi seperti kereta kuda, roda, dan kapal layar menunjukkan adanya sejumlah besar tukang kayu terampil.[231]

Transportasi darat memanfaatkan sistem jalan Romawi yang maju. Pajak yang dibayar oleh masyarakat antara lain digunakan untuk penyediaan personel, hewan, atau kendaraan bagi cursus publicus, jasa transportasi dan pos milik negara yang didirikan oleh Kaisar Augustus.[188] Stasiun relai didirikan di sepanjang jalan setiap tujuh sampai dua belas mil, dan kemudian berkembang menjadi desa atau pos perdagangan.[232] Mansio (jamak: mansiones) adalah waralaba stasiun jasa milik swasta yang dibentuk oleh birokrasi kekaisaran untuk membantu tugas-tugas cursus publicus. Staf pendukung yang dipekerjakan di mansio antara lain pemilik keledai, sekretaris, pandai besi, pembuat gerobak, dokter hewan, dan sejumlah kecil polisi militer dan kurir. Jarak antar mansiones ditentukan oleh seberapa jauh sebuah gerobak bisa bepergian dalam sehari.[232] Bagal adalah binatang yang paling sering digunakan untuk menarik gerobak, yang mampu melakukan perjalanan hingga 4 mil per jam.[233] Sebagai contoh cepatnya proses komunikasi, seorang penyampai pesan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya sembilan hari untuk bepergian ke Roma dari Mainz di provinsi Germania Superior, bahkan untuk urusan mendesak.[234] Selain mansiones, beberapa kedai minum juga menawarkan jasa penginapan serta makanan dan minuman; salah satu catatan di penginapan menunjukkan adanya biaya untuk pemesanan anggur, roti, pakan bagal, dan jasa pelacuran.[235]

Perdagangan dan komoditas sunting

Selain antar provinsi, perdagangan di Kekaisaran Romawi juga meluas ke luar perbatasan hingga ke wilayah-wilayah seperti Tiongkok dan India.[236] Komoditas utama yang diperdagangkan adalah gandum.[237] Perdagangan dengan Tiongkok umumnya dilakukan lewat darat di sepanjang Jalur Sutra; perdagangan dengan India juga dilakukan melalui laut dari pelabuhan Mesir di Laut Merah. Barang lainnya yang diperdagangkan adalah minyak zaitun, berbagai bahan makanan, garum (saus ikan), budak, bijih dan benda logam olahan, serat dan tekstil, kayu, tembikar, gelas, keramik, papirus, rempah-rempah dan materia medica, gading, mutiara, dan batu permata.[238]

Meskipun sebagian besar provinsi mampu memproduksi anggur, varietal daerah lebih disukai dan anggur adalah barang utama yang diperdagangkan. Kekurangan persediaan vin ordinaire jarang terjadi.[239] Pemasok anggur utama untuk kota Roma adalah pantai barat Italia, Galia selatan, wilayah Tarrakonensis di Spanyol, dan Kreta. Aleksandria, kota terbesar kedua, mengimpor anggur dari Laodikea di Suriah dan Aegea.[240] Pada tingkat ritel, rumah minum atau toko khusus anggur (vinaria) menjual anggur di kendi-kendi yang bisa langsung diminum di tempat, dengan harga sesuai kualitas.[241]

Tenaga kerja dan pekerjaan sunting

 
Para pekerja di pabrik pengolahan kain, lukisan dari fullonica Veranius Hypsaeus di Pompeii.

Prasasti-prasasti mencatat 268 pekerjaan berbeda di kota Roma, dan 85 di Pompeii.[242] Asosiasi profesional atau serikat buruh (collegia) dibentuk untuk beragam profesi dan pekerjaan, termasuk nelayan (piscatores), pedagang garam (salinatores), pengecer minyak zaitun (olivarii), penghibur (scaenici), penjual ternak (pecuarii), tukang emas (aurifices), buruh pengangkut (asinarii atau muliones), dan pemotong batu (lapidarii).[243] Beberapa collegium ada yang dibentuk khusus bagi pekerjaan tertentu, misalnya satu collegium di Roma dibatasi hanya untuk pengrajin gading dan kayu sitrun.[244]

Pekerjaan yang dilakukan budak dibagi menjadi lima kategori umum, yakni pekerjaan rumah tangga, setidaknya terdapat 55 pekerjaan rumah tangga berbeda yang dicatat oleh epitaf; pelayan publik atau kekaisaran; pelayan dan pengrajin di perkotaan; pertanian; dan pertambangan.[245] Narapidana dimanfaatkan sebagai buruh di pertambangan atau penggalian, dengan kondisi pekerjaan yang terkenal brutal.[246] Dalam praktiknya, ada sedikit pemisahan pekerjaan antara budak dan bekas budak,[247] dan sebagian besar pekerja buta huruf atau tidak memiliki keahlian khusus.[248] Sejumlah besar buruh bekerja di sektor pertanian; dalam sistem industri pertanian Italia (latifundia), kebanyakan pekerjanya adalah budak, tetapi di wilayah Kekaisaran lainnya, buruh tani yang berasal dari kalangan budak tidak begitu penting jika dibandingkan dengan tenaga kerja terampil yang secara teknis tidak diperbudak.[247]

Produksi tekstil dan pakaian adalah salah satu sumber pekerjaan utama. Tekstil dan pakaian jadi diperdagangkan di kalangan rakyat di seantero Kekaisaran. Produk tekstil sering kali dinamakan sesuai nama pengusaha atau kota tertentu, tidak seperti "label" busana.[249] Busana siap pakai dengan kualitas lebih baik diekspor oleh pengusaha (negotiatores atau mercatores) yang umumnya merupakan warga kota di pusat-pusat produksi.[250] Pakaian jadi disalurkan oleh agen penjualan ke pelanggan-pelanggan potensial, atau oleh vestiarii, penyalur pakaian yang kebanyakan adalah bekas budak; atau bisa juga dijajakan oleh pedagang keliling.[250] Di Mesir, produsen tekstil bisa membuka usaha kecil-kecilan dengan mempekerjakan pekerja magang, pekerja bebas yang diberi upah, dan budak.[251] Buruh yang mewarnai (coloratores) dan membersihkan pakaian (fullones) memiliki serikat kerja tersendiri.[252] Centonarii adalah serikat pekerja yang diperuntukkan khusus bagi produksi tekstil dan daur ulang pakaian lama menjadi potongan perca.[253]

PDB dan distribusi pendapatan sunting

Sejarawan ekonomi memberikan perhitungan yang beragam mengenai produk domestik bruto (PDB) Romawi pada masa Principatus.[254] Dengan menggunakan sampel tahun 14, 100, dan 150 M, perkiraan PDB per kapita Kekaisaran Romawi berkisar dari 166 sampai 380 HS. PDB per kapita Italia diperkirakan 40[255] sampai 66 persen[256] lebih tinggi dari PDB wilayah lainnya di Kekaisaran karena adanya transfer pajak dari provinsi-provinsi dan besarnya pendapatan warga elite di ibu kota.

Berdasarkan model ekonomi Scheidel–Friesen, total pendapatan tahunan yang dikumpulkan oleh Kekaisaran mencapai 20 miliar HS, dengan sekitar 5 persen dihasilkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Rumah tangga elite, yang jumlahnya 1,5 persen dari keseluruhan penduduk, menyumbangkan sekitar 20 persen pendapatan negara. 20 persen selebihnya dihasilkan oleh 10 persen penduduk yang tergolong dalam kelompok non-elite kelas menengah. Sisanya, "sebagian besar" penduduk menyumbangkan lebih dari setengah total pendapatan negara, meskipun bersifat subsisten.[257]

Arsitektur dan teknik sunting

 
Amfiteater Kekaisaran Romawi.
 
Konstruksi Amfiteater Flavianus, lebih dikenal dengan nama Colosseum, yang mulai dibangun pada masa pemerintahan Vespasianus.

Kontribusi utama Romawi dalam bidang arsitektur adalah gerbang lengkung, lorong, dan kubah. Bahkan setelah 2.000 tahun berlalu, beberapa struktur Romawi masih berdiri kukuh karena metode pembuatan semen dan beton yang canggih.[258][259] Jalan Romawi dianggap sebagai jenis jalan yang paling maju hingga abad ke-19. Sistem jalan membantu memfasilitasi kepolisian militer, komunikasi, dan perdagangan. Jalan-jalan tersebut tahan terhadap banjir dan gangguan lingkungan lainnya. Bahkan setelah runtuhnya pemerintah pusat, beberapa jalan masih digunakan selama lebih dari seribu tahun.

Jembatan Romawi adalah salah satu jembatan pertama yang dibangun dengan struktur besar dan tahan lama, yang terbuat dari batu dengan gerbang lengkung sebagai struktur dasar. Sebagian besar jembatan juga menggunakan beton. Jembatan Romawi terbesar adalah Jembatan Trajanus di sungai Danube, yang dibangun oleh Apollodorus dari Damaskus dan menjadi jembatan terpanjang yang pernah dibangun selama lebih dari satu milenium.[260]

Bangsa Romawi membangun banyak bendungan dan waduk untuk menampung air, misalnya Bendungan Subiako, yang menjadi sumber air bagi Anio Novus, salah satu akuaduk terbesar di Roma.[261] Romawi membangun 72 bendungan di Semenanjung Iberia, dan banyak lagi di seluruh Kekaisaran, beberapa di antaranya masih digunakan sampai saat ini. Beberapa bendungan tanggul terkenal dibangun di Britania Romawi, termasuk di Longovisium (Lanchester).

 
Akuaduk Pont du Gard, yang melintasi Sungai Gardon di Prancis selatan, adalah salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Bangsa Romawi membangun sejumlah akuaduk (saluran air). Dalam risalah yang ditulis oleh Frontinus, seorang curator aquarum (komisaris air) pada masa pemerintahan Nerva, disebutkan mengenai pentingnya administrasi dalam menjaga pasokan air. Pipa-pipa batu mengalirkan air dari mata air dan waduk yang jauh hanya dengan memanfaatkan gravitasi. Setelah melewati akuaduk, air ditampung di tangki-tangki dan dialirkan melalui pipa ke air mancur umum, pemandian, toilet, atau tempat-tempat industri.[262] Akuaduk utama di kota Roma adalah Aqua Claudia dan Aqua Marcia.[263] Sistem kompleks yang dibangun untuk memasok air ke Konstantinpel memiliki saluran air sepanjang 336 km.[264] Akuaduk Romawi dibangun dengan toleransi yang sangat baik, dan dengan standar teknologi yang tak tertandingi hingga zaman modern.[265] Romawi juga menggunakan Akuaduk dalam kegiatan operasional pertambangan di seluruh kekaisaran, misalnya di Las Medulas dan Dolaucothi di Wales Selatan.[266]

Kaca insulator (atau "kaca ganda") digunakan dalam pembangunan pemandian umum. Rumah-rumah warga elite pada waktu cuaca dingin dilengkapi dengan hipokaust, sejenis pemanas sentral. Masyarakat Romawi adalah masyarakat pertama yang merakit semua komponen penting mesin uap, yang telah dimulai sejak Hero membangun aeolipile.[267]

Kehidupan sehari-hari sunting

Kota dan negara sunting

Di dunia kuno, sebuah kota dipandang sebagai tempat peradaban "dirancang, disusun, dan dihias dengan benar".[268] Augustus menggalakkan program pembangunan besar-besaran di Roma, membangun tempat-tempat pameran karya seni yang menampilkan ideologi kekaisaran, dan menata ulang kota menjadi lingkungan (vici) yang dikelola pada tingkat lokal oleh petugas kepolisian dan pemadam kebakaran.[269] Fokus arsitektur monumental pada masa Augustus adalah Campus Martius, sebuah ruang terbuka di luar pusat kota yang awalnya diperuntukkan bagi olahraga berkuda dan latihan fisik bagi kaum muda. Altar Augustusan Peace (Ara Pacis Augustae) terletak di sana, serta sebuah obelisk yang didatangkan dari Mesir yang berfungsi sebagai penunjuk arah (gnomon) dari horologium. Dengan adanya taman terbuka, Campus menjadi salah satu tempat yang paling menarik untuk dikunjungi di kota Roma.[270]

Perencanaan kota dan gaya hidup perkotaan dipengaruhi oleh Yunani sejak periode awal,[271] dan di Kekaisaran Timur, kekuasaan Romawi meningkatkan dan membentuk pembangunan daerah di kota-kota yang telah memiliki karakter Helenistik yang kuat. Kota-kota seperti Athena, Aphrodisias, Ephesus dan Gerasa mengubah beberapa aspek arsitektur perencanaan kota agar sesuai dengan ide-ide kekaisaran. Selain itu, kota-kota tersebut juga menunjukkan identitas dan keunggulan daerah mereka masing-masing.[272] Di daerah Kekaisaran Barat yang dihuni oleh penduduk berbahasa Keltik, Romawi menggalakkan pembangunan pusat-pusat perkotaan dengan membangun kuil batu, forum, air mancur monumental, dan amfiteater, umumnya dibangun di dalam atau di dekat permukiman berdinding bernama oppida yang telah ada sebelumnya.[273] Urbanisasi di Afrika Romawi meluas ke kota-kota di sepanjang pantai Yunani dan Punik.[232]

 
Aquae Sulis di Bath, Inggris: bentuk arsitektur di atas tiang di lantai dasar dibangun setelahnya.

Jaringan kota-kota di seluruh Kekaisaran (coloniae, municipia, civitates, atau dalam bahasa Yunani disebut dengan poleis) merupakan kekuatan kohesif utama pada masa Pax Romana.[274] Pada abad ke-1 dan ke-2 M, propaganda kekaisaran memaksa bangsa Romawi untuk "menanamkan kebiasaan pada masa-masa damai".[275] Pakar sejarah klasik Clifford Ando menyatakan:

Sebagian besar perlengkapan budaya terkenal berkaitan dengan budaya kekaisaran—pemujaan publik dan permainan dan perjamuan sipil, kompetisi bagi para seniman, pembicara, dan atlet, serta pendanaan sebagian besar bangunan umum dan tempat pameran seni—dibiayai oleh individu pribadi, yang pendanaannya bertujuan untuk membantu membenarkan kekuatan ekonomi dan hukum mereka."[276]

Apologetikus Kristen Tertulianus menyatakan bahwa dunia pada abad ke-2 lebih tertib dan terpelihara dengan baik daripada zaman sebelumnya: "Dimana-mana ada rumah, dimana-mana ada orang, dimana-mana ada res publica, persemakmuran, dimana-mana ada kehidupan".[277] Kemunduran kota-kota dan kehidupan masyarakat pada abad ke-4, yakni ketika warga kelas atas tidak mampu atau menolak mendanai pekerjaan umum, adalah salah satu faktor yang turut mendorong keruntuhan Kekaisaran.[278]

 
Toilet umum (latrinae) dari Ostia Antica.

Di kota Roma, kebanyakan penduduk tinggal di bangunan apartemen bertingkat (insulae) yang umumnya kumuh dan mudah terbakar. Fasilitas umum—seperti pemandian (thermae), toilet yang dilengkapi dengan air mengalir (latrinae), air mancur (nymphea) yang berasal dari air tawar,[279] dan tempat hiburan besar seperti arena balap kereta dan kombat gladiator—dibangun terutama sekali untuk masyarakat umum yang tinggal di insulae.[280] Fasilitas serupa juga dibangun di kota-kota di seluruh Kekaisaran, dan beberapa struktur terbaik Romawi masih berdiri kukuh di Spanyol, Prancis selatan, dan Afrika utara.

Pemandian umum memiliki fungsi higienis, sosial, dan budaya.[281] Mandi adalah bentuk sosialisasi utama dalam kehidupan sehari-hari warga Romawi yang dilakukan pada sore hari sebelum makan malam.[282] Pemandian Romawi dicirikan dengan serangkaian kamar yang memiliki tiga suhu yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk kamar latihan dan angkat beban, sauna, spa eksfoliasi, lapangan bola, atau kolam renang luar ruangan.[283] Pemandian memiliki pemanas hipokaus: lantai digantungkan di atas saluran udara panas yang memberikan kehangatan.[284] Mandi telanjang dan bercampur antara pria dan wanita adalah hal yang lumrah pada masa awal Kekaisaran, meskipun beberapa pemandian telah menyediakan fasilitas atau jam mandi yang terpisah untuk pria dan wanita. Pemandian umum adalah bagian dari budaya perkotaan di seluruh provinsi, namun pada akhir abad ke-4, kamar mandi pribadi mulai menggantikan pemandian umum.[285] Ajaran Kristiani menganjurkan untuk pergi ke pemandian demi kesehatan dan kebersihan, bukan demi kesenangan semata,[286] Kristen juga melarang beraneka ragam pertandingan (ludi), yang merupakan bagian dari festival keagamaan yang mereka anggap "pagan". Tertullianus berkata bahwa umat Kristen tidak hanya menarik diri dari kegiatan mandi bersama, tetapi juga menarik diri dari kegiatan masyarakat dan perdagangan.[287]

 
Rekonstruksi taman rumah berdasarkanHouse of the Vettii.

Keluarga kaya dari Roma biasanya memiliki dua atau lebih rumah, tempat peristirahatan (domus, jamak: domūs) dan sekurang-kurangnya satu rumah mewah (vila) di luar kota. Domus adalah rumah keluarga yang dimiliki secara pribadi, dan biasanya dilengkapi dengan kamar mandi pribadi (balneum),[288] tetapi bukanlah tempat untuk mengasingkan diri dari kehidupan publik.[289] Meskipun beberapa lingkungan di Roma memiliki banyak rumah-rumah mewah, warga kaya tidak tinggal di kompleks terpisah. Rumah warga kaya dimaksudkan untuk bisa dilihat dan mudah diakses. Atrium berfungsi sebagai ruang resepsi tempat paterfamilias (kepala rumah tangga) berjumpa dengan tamu-tamunya setiap pagi, mulai dari kalangan keluarga kaya hingga keluarga miskin yang menerima bantuan amal.[290] Rumah pribadi juga berfungsi sebagai tempat ibadah keluarga, memiliki kuil yang dihiasi dengan lukisan leluhur keluarga.[291] Rumah-rumah yang terletak di sepanjang jalan umum yang sibuk dan menghadap ke jalan raya sering kali disewakan sebagai pertokoan (tabernae).[292][293]

 
Burung dan air mancur di taman, dengan oscilla (topeng gantung)[294] di atasnya, dalam lukisan dari Pompeii

Sebaliknya, vila adalah tempat untuk melarikan diri dari hiruk pikuk kota, dan dalam literatur digambarkan sebagai gaya hidup yang menyeimbangkan peradaban intelektual dan kepentingan artistik (otium) dengan apresiasi terhadap alam dan siklus agrikultural.[295] Idealnya, sebuah vila terletak di lokasi-lokasi yang memiliki pemandangan bagus, yang dibingkai oleh desain arsitektur mewah.[296] Vila umumnya berlokasi di kompleks perumahan pekerja, atau di "kota-kota resor" yang terletak di pinggir pantai seperti Pompeii dan Herculaneum.

Program pembaruan perkotaan pada masa pemerintahan Augustus, dan pertumbuhan penduduk Roma hingga mencapai satu juta jiwa, telah diekspresikan dalam banyak karya seni. Banyak puisi-puisi yang memuji kehidupan ideal para petani dan penggembala. Interior rumah sering kali dihiasi dengan lukisan taman, air mancur, pemandangan, ornamen tumbuhan,[296] dan hewan, terutama burung dan hewan laut, yang dilukis dengan cukup akurat.[297] Penyair Augustusan Horace menulis karya satir mengenai dikotomi nilai-nilai perdesaan dan perkotaan melalui fabelnya The Town Mouse and the Country Mouse, yang sering diceritakan kembali sebagai dongeng anak-anak.[298]

Pada tingkat yang lebih praktis, pemerintah pusat berperan aktif dalam mendukung pertanian.[299] Memproduksi makanan adalah prioritas utama dalam pemanfaatan lahan.[300] Pertanian skala besar (latifundia) mencapai skala ekonomi yang mampu menopang kehidupan perkotaan dan menyerap tenaga kerja.[299] Petani kecil meraup keuntungan dari perkembangan pasar lokal dan pusat-pusat perdagangan. Teknik pertanian seperti rotasi tanaman dan pembiakan selektif disebarluaskan ke seluruh Kekaisaran, dan tanaman-tanaman baru diperkenalkan dari satu provinsi ke provinsi lainnya, misalnya kacang polong dan kubis yang diperkenalkan ke Britania.[301]

 
Kios roti, dari lukisan dinding warga Pompeii.

Menjaga suplai makanan untuk kota Roma telah menjadi masalah politik utama pada masa akhir Republik, ketika negara mulai memberikan sedekah gandum (annona) kepada warga negara yang terdaftar untuk menerimanya.[299] Sekitar 200.000–250.000 pria dewasa di Roma menerima sedekah gandum, atau sekitar 33 kg per bulan dan total 100.000 ton per tahun, terutama di Sisilia, Afrika Utara, dan Mesir.[302] Sedekah gandum ini menghabiskan biaya sekurang-kurangnya 15 persen dari total penerimaan negara,[299] tetapi mampu memperbaiki kondisi hidup keluarga kelas bawah,[303] dan mensubsidi warga kaya dengan cara memperbolehkan pekerja untuk menghabiskan lebih banyak pendapatan mereka untuk membeli anggur dan minyak zaitun yang diproduksi di perkebunan milik tuan tanah.[299]

Sedekah gandum juga memiliki nilai simbolis, yang menegaskan mengenai posisi kaisar sebagai dermawan universal dan hak bagi semua warga negara untuk memperoleh "buah-buahan hasil dari penaklukan".[299] Annona, fasilitas umum, dan hiburan spektakuler memperburuk kondisi kehidupan masyarakat kelas bawah Romawi dan memicu kerusuhan sosial. Penulis satir Juvenal memandang istilah "roti dan sirkus" (panem et circenses) sebagai simbol dari hilangnya kebebasan politik pada masa Republik:[304]

Masyarakat sudah lama membuang rasa kepeduliannya: orang-orang yang pernah diberi perintah, konsul, legiun dan semua yang lainnya, kini tak lagi ikut campur dan hanya mendambakan dua hal: roti dan sirkus (makanan dan hiburan).[305]

Makanan dan minuman sunting

Kebanyakan apartemen di Roma tidak memiliki dapur, meskipun sebagian memiliki kompor arang yang bisa digunakan untuk memasak.[306] Makanan siap saji dijual di pub dan bar, losmen, dan kios makanan (tabernae, cauponae, popinae, thermopolia).[307] Makanan restoran tersedia untuk kelas bawah; santapan bercita rasa tinggi hanya bisa ditemui di pesta makan malam yang diadakan di rumah-rumah mewah yang memiliki juru masak (archimagirus) dan staf dapur terlatih,[308] atau pada perjamuan makan yang diselenggarakan oleh klub sosial (collegia).[309]

Kebanyakan warga Roma mengonsumsi sekurang-kurangnya 70 persen dari kalori harian mereka dalam bentuk sereal dan kacang-kacangan.[310] Puls (pottage, makanan berkuah kental) dianggap sebagai makanan asli Romawi.[311] Pottage gandum bisa dicampur dengan sayuran cincang, potongan daging, keju, atau tumbuh-tumbuhan sehingga menghasilkan hidangan yang mirip dengan polenta atau risotto.[312]

 
Sebuah taberna Ostia untuk makan dan minum; lukisan memudar di atas konter menggambarkan telur, zaitun, buah, dan lobak.[313]

Penduduk perkotaan dan militer lebih suka mengonsumsi gandum dalam bentuk roti.[314] Penggilingan dan oven biasanya digabung dalam satu kompleks pembuatan roti.[315] Pada masa pemerintahan Aurelianus, negara mulai membagikan annona (sedekah makanan) sebagai jatah harian dalam bentuk roti yang diproduksi di pabrik-pabrik negara, dan juga menambahkan minyak zaitun, anggur, dan daging babi sebagai makanan sedekah.[316]

Pentingnya diet yang baik untuk kesehatan diakui oleh penulis-penulis medis Romawi seperti Galen (abad ke-2 M), yang dijabarkannya dalam risalah On Barley Soup. Pandangan terhadap gizi dipengaruhi oleh aliran pemikiran seperti teori humoral.[317]

Kesusastraan Romawi umumnya menceritakan mengenai kebiasaan makan malam di kalangan kelas atas,[318] yang menganggap makan malam (cena) memiliki fungsi sosial.[319] Para tamu dalam acara makan malam dihibur di ruang makan indah berhias (triclinium), sering kali dilengkapi dengan pemandangan taman peristal. Para tamu duduk santai di sofa, bersandar pada siku kiri. Pada akhir masa Republik, para wanita makan, berbaring, dan minum anggur bersama para pria.[320]

Penggambaran yang paling terkenal mengenai makanan Romawi mungkin adalah pesta makan malam Trimalchio dalam Satyricon, sebuah ekstravaganza fiksi yang memiliki sedikit kemiripan dengan kehidupan warga kelas kaya.[321] Penyair Martial menjelaskan mengenai hidangan makan malam yang lebih rinci, dimulai dengan gustatio ("mencicipi" atau "pembangkit selera"), yang terdiri dari salad daun mallow, selada, daun bawang cincang, mint, arugula, makerel yang dicampur dengan rue, irisan telur, dan dada babi yang diasinkan. Hidangan utama terdiri dari potongan daging kambing, kacang, sayuran, ayam, dan ham, diikuti oleh hidangan penutup berupa buah-buahan segar dan anggur.[322] Ungkapan bahasa latin untuk hidangan makan malam lengkap adalah ab ovo usque mala, atau "dari telur sampai apel", serupa dengan ungkapan bahasa Inggris "from soup to nuts" ("dari sup sampai kacang").[323]

 
Lukisan makanan dalam mosaik abad ke-2 M.

Sebuah buku tebal yang memuat beraneka resep Romawi dikenal dengan Apicius, ditulis oleh beberapa tokoh dari zaman kuno.[324] Pakar kuliner Romawi terlibat dalam perburuan liar unggas seperti burung merak dan flamingo, ikan besar seperti mullet, dan kerang. Bumbu-bumbu masakan mewah dibawa oleh armada ke kekaisaran dari negeri jauh, mulai dari perbatasan Parthia hingga ke Selat Gibraltar.[325]

Penyaringan masakan yang dikonsumsi menjadi pertanda kemajuan peradaban atau penurunan dekaden.[326] Sejarawan kekaisaran Tacitus membandingkan kemewahan meja makan warga Roma dengan kesederhanaan makanan bangsa Jermanik yang hanya berupa daging liar segar, buah busuk, dan keju, berbeda jauh dengan hidangan Romawi yang terbuat dari bumbu impor dan saus bercita rasa tinggi.[327] Karena pentingnya peran pemilik tanah dalam budaya Romawi, hasil tani seperti gandum, kacang-kacangan, sayur, dan buah sering kali dianggap sebagai makanan yang lebih beradab daripada daging. Hidangan Mediterania seperti roti, anggur, dan minyak disucikan oleh penganut Kristen Romawi, sedangkan mengonsumsi daging Jermanik dianggap sebagai tindakan paganisme,[328] karena merupakan hasil dari pengurbanan hewan.

Beberapa filsuf dan pemuka Kristen menolak tuntutan jasmani dan kenikmatan makanan, dan melaksanakan puasa sebagai cara yang ideal.[329] Makanan menjadi lebih sederhana setelah merosotnya kehidupan perkotaan di Barat, terganggunya rute perdagangan,[330] dan warga kaya mulai pindah ke perumahan di pinggiran kota.[331] Karena gaya hidup perkotaan terkait erat dengan dekadensi, Gereja secara resmi membatasi kerakusan,[331] dan berburu serta pastoralisme dipandang sebagai cara hidup yang luhur dan sederhana.[332]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Cara lain untuk menyebut "Kekaisaran Romawi" di kalangan orang Romawi dan Yunani adalah Res publica Romana atau Imperium Romanorum (juga dalam bahasa Yunani: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων – Basileíā tôn Rhōmaíōn – ["Domini (harfiah: 'kerajaan') kerajaan"]) dan Romania. Res publica berarti "persemakmuran" Romawi dan bisa mengacu baik pada era Republik maupun Kekaisaran. Imperium Romanum (atau Romanorum) mengacu pada perluasan wilayah oleh penguasa Romawi. Populus Romanus ("Rakyat Romawi") sering digunakan untuk menyebut negara Romawi oleh negara-negara lain. Istilah Romania awalnya adalah istilah sehari-hari untuk menyebut wilayah kekaisaran, juga berfungsi sebagai nama kolektif untuk menyebut penduduknya, yang muncul dalam sumber-sumber Yunani dan Latin dari abad ke-4 dan kemudian dibawa ke Kekaisaran Bizantium (lihat R. L. Wolff, "Romania: The Latin Empire of Constantinople" dalam Speculum 23 (1948), hlm. 1–34 dan terutama hlm. 2–3).

Referensi sunting

  1. ^ Bennett, J. Trajan: Optimus Princeps. 1997. Fig. 1. Regions east of the Euphrates river were held only in the years 116–117.
  2. ^ Constantine I (306–337 AD) by Hans A. Pohlsander. Written 2004-01-08. Retrieved 2007-03-20.
  3. ^ a b c d Taagepera, Rein (1979). "Size and Duration of Empires: Growth-Decline Curves, 600 B.C. to 600 A.D". Social Science History. Duke University Press. 3 (3/4): 118. doi:10.2307/1170959. JSTOR 1170959. 
  4. ^ John D. Durand, Historical Estimates of World Population: An Evaluation, 1977, hlm. 253–296.
  5. ^ Turchin, Peter; Adams, Jonathan M.; Hall, Thomas D (December 2006). "East-West Orientation of Historical Empires" (PDF). Journal of world-systems researc h. 12 (2): 219–229. ISSN 1076-156X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-29. Diakses tanggal 12 August 2010. 
  6. ^ Turchin, Peter; Adams, Jonathan M.; Hall, Thomas D (December 2006). "East-West Orientation of Historical Empires" (PDF). Journal of world-systems researc h. 12 (2): 219–229. ISSN 1076-156X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-29. Diakses tanggal 12 August 2010. 
  7. ^ Christopher Kelly, The Roman Empire: A Very Short Introduction (Oxford University Press, 2006), hlm. 4ff.; Claude Nicolet, Space, Geography, and Politics in the Early Roman Empire (University of Michigan Press, 1991, originally published in French 1988), hlm. 1, 15; T. Corey Brennan, The Praetorship in the Roman Republic (Oxford University Press, 2000), hlm. 605 et passim; Clifford Ando, "From Republic to Empire," in The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World (Oxford University Press, hlm. 39–40.
  8. ^ Clifford Ando, "The Administration of the Provinces," in A Companion to the Roman Empire (Blackwell, 2010), hlm. 179.
  9. ^ Nicolet, Space, Geography, and Politics in the Early Roman Empire, hlm. 1, 15; Olivier Hekster and Ted Kaizer, preface to Frontiers in the Roman World. Proceedings of the Ninth Workshop of the International Network Impact of Empire (Durham, 16–19 April 2009) (Brill, 2011), hlm. viii; Andrew Lintott, The Constitution of the Roman Republic (Oxford University Press, 1999), hlm. 114; W. Eder, "The Augustan Principate as Binding Link," in Between Republic and Empire (University of California Press, 1993), hlm. 98.
  10. ^ John Richardson, "Fines provinciae," in Frontiers in the Roman World, hlm. 10.
  11. ^ Richardson, "Fines provinciae," in Frontiers in the Roman World, hlm. 1–2.
  12. ^ Mary T. Boatwright, Hadrian and the Cities of the Roman Empire (Princeton University Press, 2000), hlm. 4.
  13. ^ Yaron Z. Eliav, "Jews and Judaism 70–429 CE," in A Companion to the Roman Empire (Blackwell, 2010), hlm. 571.
  14. ^ Dio Cassius 72.36.4, Loeb edition translated E. Cary
  15. ^ Brown, hlm., The World of Late Antiquity, London 1971, hlm. 22.
  16. ^ Adrian Goldsworth, How Rome Fell: Death of a Superpower (Yale University Press, 2009), hlm. 405–415.
  17. ^ Potter, David. The Roman Empire at Bay. 296–98.
  18. ^ Chester G. Starr, A History of the Ancient World, Second Edition. Oxford University Press, 1974. hlm. 670–678.
  19. ^ Isaac Asimov. Asimov's Chronology of the World. Harper Collins, 1989. hlm. 110.
  20. ^ Asimov, hlm. 198.
  21. ^ Kelly, The Roman Empire, hlm. 3.
  22. ^ Nicolet, Space, Geography, and Politics in the Early Roman Empire, hlm. 29; translated as "power without end" in Pat Southern, The Roman Empire from Severus to Constantine (Routledge, 2001), hlm. 16.
  23. ^ Vergil, Aeneid 1.278; Nicolet, Space, Geography, and Politics, hlm. 29; David J. Mattingly, Imperialism, Power, and Identity: Experiencing the Roman Empire (Princeton University Press, 2011), hlm. 15; G. Moretti, "The Other World and the 'Antipodes': The Myth of Unknown Countries between Antiquity and the Renaissance," in The Classical Tradition and the Americas: European Images of the Americas (Walter de Gruyter, 1993), hlm. 257; Southern, The Roman Empire from Severus to Constantine, hlm. 16.
  24. ^ Prudentius (348–413) in particular Christianizes the theme in his poetry, as noted by Marc Mastrangelo, The Roman Self in Late Antiquity: Prudentius and the Poetics of the Soul (Johns Hopkins University Press, 2008), hlm. 73, 203. St. Augustine, however, distinguished between the secular and eternal "Rome" in The City of God. See also J. Rufus Fears, "The Cult of Jupiter and Roman Imperial Ideology," Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II.17.1 (1981), hlm. 136 et passim, on how Classical Roman ideology influenced Christian Imperial doctrine; Peter Fibiger Bang, "The King of Kings: Universal Hegemony, Imperial Power, and a New Comparative History of Rome," in The Roman Empire in Context: Historical and Comparative Perspectives (John Wiley & Sons, 2011); and the Greek concept of globalism (oikouménē).
  25. ^ Nicolet, Space, Geography, and Politics, hlm. 7–8.
  26. ^ Nicolet, Space, Geography, and Politics, hlm. 9, 16.
  27. ^ Nicolet, Space, Geography, and Politics, hlm. 10–11.
  28. ^ Southern, The Roman Empire from Severus to Constantine, hlm. 14.
  29. ^ a b Keith Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," in The Dynamics of Ancient Empires : State Power from Assyria to Byzantium (Oxford University Press, 2009), hlm. 183.
  30. ^ a b Kelly, The Roman Empire, hlm. 1.
  31. ^ a b Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 184.
  32. ^ Raymond W. Goldsmith,"An Estimate of the Size and Structure of the National Product of the Early Roman Empire", Review of Income and Wealth, 30.3 (1984), hlm. 263–288, especially hlm. 263.
  33. ^ Walter Scheidel: Population and demography, Princeton/Stanford Working Papers in Classics, Version 1.0, April 2006, hlm. 9
  34. ^ W.V. Harris, "Trade," in The Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 721.
  35. ^ Southern, The Roman Empire from Severus to Constantine, hlm. 14–16.
  36. ^ Olivier Hekster and Ted Kaizer, preface to Frontiers in the Roman World. Proceedings of the Ninth Workshop of the International Network Impact of Empire (Durhan, 16–19 April 2009) (Brill, 2011), hlm. viii.
  37. ^ Greg Woolf, editor, Cambridge Illustrated History of the Roman World (Cambridge: Ivy Press, 2003), hlm. 340; Thorsten Opper, Hadrian: Empire and Conflict (Harvard University Press, 2008), hlm. 64; Nic Fields, Hadrian's Wall AD 122–410, which was, of course, at the bottom of Hadrian's garden. (Osprey Publishing, 2003), hlm. 35.
  38. ^ Vergil, Aeneid 12.834 and 837; Bruno Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," translated by James Clackson, in A Companion to the Latin Language (Blackwell, 2011), hlm. 549, 563; J.N. Adams, "Romanitas and the Latin Language," Classical Quarterly 53.1 (2003), hlm. 184.
  39. ^ Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 186–187.
  40. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 554, 556.
  41. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549; Charles Freeman, The Greek Achievement: The Foundation of the Western World (New York: Penguin, 1999), hlm. 389–433.
  42. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549, citing Plutarch, Life of Alexander 47.6.
  43. ^ Fergus Millar, A Greek Roman Empire: Power and Belief under Theodosius II (408–450) (University of California Press, 2006), hlm. 279; Warren Treadgold, "A History of the Byzantine State and Society" (Stanford University Press, 1997), hlm. 5.
  44. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553.
  45. ^ Cicero, In Catilinam 2.15, P.Ryl. I 61 "recto".
  46. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 550–552.
  47. ^ a b Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 552.
  48. ^ Suetonius, Life of Claudius 42.
  49. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553–554.
  50. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 556; Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 200.
  51. ^ Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 185–186, 205.
  52. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 560.
  53. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 562–563.
  54. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 558–559.
  55. ^ Richard Miles, "Communicating Culture, Identity, and Power," in Experiencing Power: Culture, Identity and Power in the Roman Empire (Routledge, 200), hlm. 58–59.
  56. ^ Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 199.
  57. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553–555.
  58. ^ Miles, "Communicating Culture, Identity, and Power," hlm. 59–60.
  59. ^ Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 550; Stefan Zimmer, "Indo-European," in Celtic Culture: A Historical Encyclopedia (ABC-Clio, 2006), hlm. 961; Leonard A. Curchin, "Literacy in the Roman Provinces: Qualitative and Quantitative Data from Central Spain," American Journal of Philology 116.3 (1995), hlm. 464.
  60. ^ Karmele Rotaetxe, "Basque as a Literary Language," in A Comparative History of Literatures in the Iberian Peninsula (John Benjamins, 2010), hlm. 446.
  61. ^ Françoise Waquet, Latin, Or, The Empire of the Sign: From the Sixteenth to the Twentieth Century (Verso, 2001; originally published 1998 in French), hlm. 1–2; Kristian Jensen, "The Humanist Reform of Latin and Latin Teaching," in The Cambridge Companion to Renaissance Humanism (Cambridge University Press, 1996, 2003), hlm. 63–64.
  62. ^ Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, hlm. 5.
  63. ^ Miles, "Communicating Culture, Identity, and Power," hlm. 58; Treadwell, A History of the Byzantine State and Society, hlm. 5–7.
  64. ^ Treadgold, A History of the Byzantine State, hlm. 5.
  65. ^ Michael Peachin, introduction to The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World (Oxford University Press, 2011) hlm. 12.
  66. ^ Peachin, introduction to The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 16.
  67. ^ Peachin, introduction to The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 9, citing particularly Géza Alföldy, Römische Sozialgeschichte (pertama diterbitkan 1975) on "the innate, potent, and widely institutionalized hierarchic character of Roman society," and hlm. 21–22 (note 45 on the problems of "class" as a term).
  68. ^ Peter Garnsey and Richard Saller, The Roman Empire: Economy, Society and Culture (University of California Press, 1987), hlm. 107.
  69. ^ Carlos F. Noreña,Imperial Ideals in the Roman West: Representation, Circulation, Power (Cambridge University Press, 2011), hlm. 7.
  70. ^ Peachin, introduction to The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 4–5.
  71. ^ Aloys Winterling, Politics and Society in Imperial Rome (John Wiley & Sons, 2009, originally published 1988 in German), hlm. 11, 21.
  72. ^ Richard hlm. Saller, Personal Patronage under the Early Empire (Cambridge University Press, 1982, 2002), hlm. 123, 176, 183 et passim; Anne Duncan, Performance and Identity in the Classical World (Cambridge University Press, 2006), hlm. 164.
  73. ^ Meyer Reinhold, Studies in Classical History and Society (Oxford University Press, 2002), hlm. 25ff. and 42.
  74. ^ Richard Saller, "Status and patronage", Cambridge Ancient History: The High Empire, A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), hlm. 18.
  75. ^ Peachin, introduction to The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 17, 20.
  76. ^ Fergus Millar, "Empire and City, Augustus to Julian: Obligations, Excuses and Status," Journal of Roman Studies 73 (1983), hlm. 81–82.
  77. ^ Maureen Carroll, Spirits of the Dead: Roman Funerary Commemoration in Western Europe (Oxford University Press, 2006), hlm. 45–46.
  78. ^ Bruce W. Frier and Thomas A.J. McGinn, A Casebook on Roman Family Law (Oxford University Press: American Philological Association, 2004), hlm. 14; Gaius, Institutiones 1.9 = Digest 1.5.3.
  79. ^ Frier and McGinn, A Casebook of Family Law, hlm. 31–32.
  80. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 177.
  81. ^ The civis ("citizen") stands in explicit contrast to a peregrina, a foreign or non-Roman woman: A.N. Sherwin-White, Roman Citizenship (Oxford University Press, 1979), hlm. 211 and 268; Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, hlm. 31–32, 457, et passim. In the form of legal marriage called conubium, the father's legal status determined the child's, but conubium required that both spouses be free citizens. A soldier, for instance, was banned from marrying while in service, but if he formed a long-term union with a local woman while stationed in the provinces, he could marry her legally after he was discharged, and any children they had would be considered the offspring of citizens—in effect granting the woman retroactive citizenship. The ban was in place from the time of Augustus until it was rescinded by Septimius Severus in 197 AD. See Sara Elise Phang, The Marriage of Roman Soldiers (13 B.C.–A.D. 235): Law and Family in the Imperial Army (Brill, 2001), hlm. 2, and Pat Southern, The Roman Army: A Social and Institutional History (Oxford University Press, 2006), hlm. 144.
  82. ^ Beryl Rawson, "The Roman Family," in The Family in Ancient Rome: New Perspectives (Cornell University Press, 1986), hlm. 18.
  83. ^ Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, hlm. 19–20.
  84. ^ Eva Cantarella, Pandora's Daughters: The Role and Status of Women in Greek and Roman Antiquity (Johns Hopkins University Press, 1987), hlm. 140–141; J.P. Sullivan, "Martial's Sexual Attitudes," Philologus 123 (1979), hlm. 296, specifically on sexual freedom.
  85. ^ Rawson, "The Roman Family," hlm. 15.
  86. ^ Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, hlm. 19–20, 22.
  87. ^ Susan Treggiari, Roman Marriage: Iusti Coniuges from the Time of Cicero to the Time of Ulpian (Oxford University Press, 1991), hlm. 258–259, 500–502 et passim.
  88. ^ David Johnston, Roman Law in Context (Cambridge University Press, 1999), chapter 3.3; Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, Chapter IV; Yan Thomas, "The Division of the Sexes in Roman Law," in A History of Women from Ancient Goddesses to Christian Saints (Harvard University Press, 1991), hlm. 134.
  89. ^ Beth Severy, Augustus and the Family at the Birth of the Empire (Routledge, 2002; Taylor & Francis, 2004), hlm. 12.
  90. ^ Severy, Augustus and the Family, hlm. 4.
  91. ^ Ini merupakan standar ganda: seorang wanita menikah hanya boleh berhubungan seks dengan suaminya, tetapi seorang pria menikah tidak dianggap berzina bila ia berhubungan seks dengan seorang pelacur, budak, atau seseorang dari status marjinal. Lihat Thomas McGinn, "Concubinage and the Lex Iulia on Adultery," Transactions of the American Philological Association 121 (1991), hlm. 342; Martha C. Nussbaum, "The Incomplete Feminism of Musonius Rufus, Platonist, Stoic, and Roman," in The Sleep of Reason: Erotic Experience and Sexual Ethics in Ancient Greece and Rome (University of Chicago Press, 2002), hlm. 305, noting that custom "allowed much latitude for personal negotiation and gradual social change"; Elaine Fantham, "Stuprum: Public Attitudes and Penalties for Sexual Offences in Republican Rome," in Roman Readings: Roman Response to Greek Literature from Plautus to Statius and Quintilian (Walter de Gruyter, 2011), hlm. 124, citing Papinian, De adulteriis I and Modestinus, Liber Regularum I. Eva Cantarella, Bisexuality in the Ancient World (Yale University Press, 1992, 2002, originally published 1988 in Italian), hlm. 104; Catherine Edwards, The Politics of Immorality in Ancient Rome (Cambridge University Press, 2002), hlm. 34–35.
  92. ^ Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, hlm. 461; W.V. Harris, "Trade," in The Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 733.
  93. ^ Margaret L. Woodhull, "Matronly Patrons in the Early Roman Empire: The Case of Salvia Postuma," in Women's Influence on Classical Civilization (Routledge, 2004), hlm. 77.
  94. ^ Keith Bradley, Slavery and Society at Rome (Cambridge University Press, 1994), hlm. 12.
  95. ^ Masyarakat budak lainnya adalah Athena kuno, dan pada era modern Brasil, Karibia, dan Amerika Serikat; Bradley, Slavery and Society at Rome, hlm. 12.
  96. ^ Bradley, Slavery and Society at Rome, hlm. 15.
  97. ^ W.V. Harris, "Demography, Geography and the Sources of Roman Slaves," Journal of Roman Studies 89 (1999) 62–75, especially hlm. 65 on Roman Egypt. For background on pre-Roman slavery in some areas brought under provincial rule, see Timothy Taylor, "Believing the Ancients: Quantitative and Qualitative Dimensions of Slavery and the Slave Trade in Later Prehistoric Eurasia," World Archaeology 33.1 (2001) 27–43.
  98. ^ Kyle Harper, Slavery in the Late Roman World, AD 275–425 (Cambridge University Press, 2011), hlm. 10–16 et passim.
  99. ^ Frier and McGinn, A Casebook of Family Law, hlm. 7.
  100. ^ Thomas A.J. McGinn, Prostitution, Sexuality and the Law in Ancient Rome (Oxford University Press, 1998), hlm. 314; Jane F. Gardner, Women in Roman Law and Society (Indiana University Press, 1991), hlm. 119.
  101. ^ Frier and McGinn, A Casebook on Roman Law, hlm. 31, 33.
  102. ^ Christopher J. Fuhrmann, Policing the Roman Empire: Soldiers, Administration, and Public Order (Oxford University Press, 2012), hlm. 21–41.
  103. ^ Frier and McGinn, A Casebook on Roman Family Law, hlm. 21.
  104. ^ Richard Gamauf, "Slaves Doing Business: The Role of Roman Law in the Economy of a Roman Household," in European Review of History 16.3 (2009) 331–346.
  105. ^ Bradley, Slavery and Society at Rome, hlm. 2–3.
  106. ^ McGinn, Prostitution, Sexuality, and the Law, hlm. 288ff.
  107. ^ Ra'anan Abusch, "Circumcision and Castration under Roman Law in the Early Empire," in The Covenant of Circumcision: New Perspectives on an Ancient Jewish Rite (Brandeis University Press, 2003), hlm. 77–78; Peter Schäfer, The History of the Jews in the Greco-Roman World (Routledge, 1983, 2003), hlm. 150.
  108. ^ Frier and McGinn, A Casebook of Family Law, hlm. 15; Stefan Goodwin, Africa in Europe: Antiquity into the Age of Global Expansion (Lexington Books, 2009), vol. 1, hlm. 41 ("Roman slavery was a nonracist and fluid system").
  109. ^ Harris, "Demography, Geography and the Sources of Roman Slaves," hlm. 62 et passim.
  110. ^ Beryl Rawson, "Children in the Roman Familia," in The Family in Ancient Rome" New Perspectives (Cornell University Press, 1986, 1992), hlm. 186–188, 190; K.R. Bradley, "On the Roman Slave Supply and Slavebreeding," in,Classical Slavery (Frank Cass, 1987), hlm. 72, and Slavery and Society at Rome, hlm. 34, 48–50.
  111. ^ Bradley, Slavery and Society at Rome, hlm. 10.
  112. ^ Fergus Millar, The Crowd in Rome in the Late Republic (University of Michigan, 1998, 2002), hlm. 23, 209.
  113. ^ Henrik Mouritsen, The Freedman in the Roman World (Cambridge University Press, 2011), hlm. 36; Adolf Berger, entry on libertus, Encyclopedic Dictionary of Roman Law (American Philological Society, 1953, 1991), hlm. 564.
  114. ^ Berger, entry on libertinus, Encyclopedic Dictionary of Roman Law, hlm. 564.
  115. ^ Walter Eck, "Emperor, Senate and Magistrates," in Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 217–218; Ronald Syme, Provincial At Rome: and Rome and the Balkans 80 BC-AD 14 (University of Exeter Press, 1999), hlm. 12–13.
  116. ^ Eck, "Emperor, Senate and Magistrates," hlm. 215, 221–222; Millar, "Empire and City," hlm. 88. The standard complement of 600 was flexible; twenty quaestors, for instance, held office each year and were thus admitted to the Senate regardless of whether there were "open" seats.
  117. ^ a b Millar, "Empire and City," hlm. 88.
  118. ^ Eck, "Emperor, Senate and Magistrates," hlm. 218–219.
  119. ^ Namanya adalah Tiberius Claudius Gordianus; Eck, "Emperor, Senate and Magistrates," hlm. 219.
  120. ^ Ramsey MacMullen, "Provincial Languages in the Roman Empire," American Journal of Philology 87.1 (1966), hlm. 16.
  121. ^ The relation of the equestrian order to the "public horse" and Roman cavalry parades and demonstrations (such as the Lusus Troiae) is complex, but those who participated in the latter seem, for instance, to have been the equites who were accorded the high-status (and quite limited) seating at the theatre by the Lex Roscia theatralis. Senators could not possess the "public horse." See T.P. Wiseman, "The Definition of Eques Romanus," Historia 19.1 (1970) 67–83, especially hlm. 78–79.
  122. ^ Wiseman, "The Definition of Eques Romanus," hlm. 71–72, 76.
  123. ^ Ancient Gades, in Roman Spain, and Patavium, in the Celtic north of Italy, were atypically wealthy cities, and having 500 equestrians in one city was unusual. Strabo 3.169, 5.213; Wiseman, "The Definition of Eques Romanus," hlm. 75–76, 78.
  124. ^ Andrew Fear, "War and Society," in The Cambridge History of Greek and Roman Warfare: Rome from the Late Repblic to the Late Empire (Cambridge University Press, 2007), vol. 2, hlm. 214–215; Julian Bennett, Trajan: Optimus Princeps (Indiana University Press, 1997, 2001, 2nd ed.), hlm. 5.
  125. ^ Millar, "Empire and City," hlm. 87–88.
  126. ^ Hopkins, The Political Economy of the Roman Empire, hlm. 188; Millar, "Empire and City," hlm. 87–88.
  127. ^ Millar, "Empire and City," hlm. 96.
  128. ^ Wolfgang Liebeschuetz, "The End of the Ancient City," in The City in Late Antiquity (Taylor & Francis, 2001), hlm. 26–27.
  129. ^ Millar, "Empire and City," hlm. 90, calls them "status-appellations."
  130. ^ Millar, "Empire and City," hlm. 91.
  131. ^ Millar, "Empire and City," hlm. 90.
  132. ^ Koenraad Verboven, "The Associative Order: Status and Ethos among Roman Businessmen in Late Republic and Early Empire," Athenaeum 95 (2007), hlm. 870–72; Dennis hlm. Kehoe, "Law and Social Formation in the Roman Empire," in The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 153.
  133. ^ Kehoe, "Law and Social Formation in the Roman Empire," hlm. 153; .Judith Perkins, "Early Christian and Judicial Bodies," in (Walter de Gruyter, 2009), hlm. 245–246 (terutama akibat dampak Constitutio Antoniniana); Garrett G. Fagan, "Violence in Roman Social Relations," in The Oxford Handbook of Social Relations, hlm. 475.
  134. ^ Kehoe, "Law and Social Formation in the Roman Empire," hlm. 153.
  135. ^ Judy E. Gaughan, Murder Was Not a Crime: Homicide and Power in the Roman Republic (University of Texas Press, 2010), hlm. 91 et passim; Gordon hlm. Kelly, A History of Exile in the Roman Republic (Cambridge University Press, 2006), hlm. 8 et passim.
  136. ^ K.M. Coleman, "Fatal Charades: Roman Executions Staged as Mythology Enactments," Journal of Roman Studies 80 (1990), hlm. 55–57.
  137. ^ Kehoe, "Law and Social Formation in the Roman Empire," hlm. 153–154; O.F. Robinson, Penal Practice and Penal Policy in Ancient Rome (Routledge, 2007), hlm. 108.
  138. ^ Yann Le Bohec, The Imperial Roman Army, translated by Raphael Bate (Routledge, 2000, originally published 1989 in French), hlm. 8.
  139. ^ Le Bohec, The Imperial Roman Army, hlm. 14–15.
  140. ^ Plutarch, Moralia Moralia 813c and 814c; Clifford Ando, "The Administration of the Provinces," in A Companion to the Roman Empire (Blackwell, 2010), hlm. 181–182; Edward N. Luttwak, The Grand Strategy of the Roman Empire: From the First Century A.D. to the Third (Johns Hopkins University Press, 1976, 1979), hlm. 30.
  141. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 184.
  142. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 181.
  143. ^ Abbott, 354
  144. ^ Abbott, 345
  145. ^ Abbott, 341
  146. ^ Fergus Millar, "Emperors at Work," in Rome, the Greek World, and the East: Government, Society, and Culture in the Roman Empire (University of North Carolina Press 2004), vol. 2, hlm. 3–22, especially hlm. 4 and 20.
  147. ^ Walter Eck, "The Emperor and His Advisors," Cambridge Ancient History (Cambridge University History, 2000), hlm. 195ff.
  148. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 205–209.
  149. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 202–203, 205, 210.
  150. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 211.
  151. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 212.
  152. ^ Millar, "Empire and City, Augustus to Julian," hlm.76.
  153. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 215.
  154. ^ Eck, "The Emperor and His Advisors," hlm. 215; Winterling, Politics and Society in Imperial Rome, hlm. 16.
  155. ^ Hopkins, The Political Economy of the Roman Empire, hlm. 188.
  156. ^ Goldsworthy, Adrian (2003). "The Life of a Roman Soldier". The Complete Roman Army. London: Thames & Hudson. hlm. 80. ISBN 0-500-05124-0. 
  157. ^ Winterling, Politics and Society in Imperial Rome, hlm. 16.
  158. ^ J.C. Edmondson, "Dynamic Arenas: Gladiatorial Presentations in the City of Rome and the Construction of Roman Society during the Early Empire," in Roman Theater and Society (University of Michigan Press, 1996), hlm. 111–112.
  159. ^ Olivier J. Hekster, "Fighting for Rome: The Emperor as a Military Leader," in Impact of the Roman Army (200 BC–AD 476) (Brill, 2007), hlm. 96.
  160. ^ Le Bohec, The Imperial Roman Army, hlm. 9.
  161. ^ Le Bohec, The Imperial Roman Army, hlm. 10–14.
  162. ^ Jonathan Roth, "The Size and Organization of the Roman Imperial Legion," Historia 43.3 (1994), hlm. 348.
  163. ^ Roth, "The Size and Organization of the Roman Imperial Legion," hlm. 361–362 et passim.
  164. ^ The complete Roman army by Adrian Goldsworthy, 2005 chapter The Army of the Principate, hlm.183; ISBN 0-500-05124-0
  165. ^ Keith Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," in The Dynamics of Ancient Empires : State Power from Assyria to Byzantium (Oxford University Press, 2009), hlm. 196.
  166. ^ Rome and Her Enemies published by Osprey, 2005, part 3: Early Empire 27BC–AD235, chapter 9: The Romans, section: Remuneration, hlm. 183; ISBN 978-1-84603-336-0
  167. ^ Tacitus Annales IV.5
  168. ^ Goldsworthy (2003) 51
  169. ^ Peter Connolly, "A Reconstruction of a Roman Saddle," Britannia 17 (1986) 343–355; Peter Connolly and Carol van Driel Murray, "The Roman Cavalry Saddle," Britannia 22 (1991) 33–50.
  170. ^ The complete Roman army by Adrian Goldsworthy 2003, chapter After Service, hlm.114; ISBN 0-500-05124-0
  171. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 183.
  172. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 177–179. Most government records that are preserved come from Roman Egypt, where the climate preserved the papyri.
  173. ^ a b Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 179.
  174. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 179. The exclusion of Egypt from the senatorial provinces dates to the rise of Octavian before he became Augustus: Egypt had been the stronghold of his last opposition, Mark Antony and his ally Cleopatra.
  175. ^ a b c Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 180.
  176. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 179, 187.
  177. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 180; Christopher J. Fuhrmann, Policing the Roman Empire: Soldiers, Administration, and Public Order (Oxford University Press, 2012), hlm. 197, 214, 224.
  178. ^ Peter Garnsey and Richard Saller, The Roman Empire: Economy, Society and Culture (University of California Press, 1987), hlm. 110.
  179. ^ Garnsey and Saller, The Roman Empire: Economy, Society and Culture, hlm. 110; Clifford Ando, "The Administration of the Provinces," in A Companion to the Roman Empire (Blackwell, 2010), hlm. 184–185.
  180. ^ Adda B. Bozeman, Politics and Culture in International History from the Ancient Near East to the Opening of the Modern Age (Transaction Publishers, 2010, 2nd ed., originally published 1960 by Princeton University Press), hlm. 208–20
  181. ^ Garnsey and Saller, The Roman Empire: Economy, Society and Culture, hlm. 110; Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 184–185. This practice was established in the Republic; see for instance the case of Contrebian water rights heard by G. Valerius Flaccus as governor of Hispania in the 90s–80s BC.
  182. ^ Garnsey and Saller, The Roman Empire, hlm. 110–111.
  183. ^ Elizabeth DePalma Digeser, The Making of a Christian Empire: Lactantius and Rome (Cornell University Press, 2000), hlm. 53.
  184. ^ a b c d Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 187.
  185. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 185–187.
  186. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 185; Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 184.
  187. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 185.
  188. ^ a b Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 188.
  189. ^ a b Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 186.
  190. ^ Cassius Dio 55.31.4.
  191. ^ Tacitus, Annales 13.31.2.
  192. ^ This was the vicesima libertatis, "the twentieth for freedom"; Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 187.
  193. ^ David Mattingly, "The Imperial Economy," in A Companion to the Roman Empire (Blackwell, 2010), hlm. 283.
  194. ^ a b Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 285.
  195. ^ a b Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 286.
  196. ^ Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 292.
  197. ^ Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 285–286, hlm. 296f.
  198. ^ Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 296.
  199. ^ Mattingly, "The Imperial Economy," hlm. 286, 295.
  200. ^ Koenraad Verboven, "The Associative Order: Status and Ethos among Roman Businessmen in the Late Republic and Early Empire," Athenaeum 95 (2007), preprint. Diarsipkan 2013-06-16 di Wayback Machine.
  201. ^ David Kessler and Peter Temin, "Money and Prices in the Early Roman Empire," in The Monetary Systems of the Greeks and Romans, in The Monetary Systems of the Greeks and Romans (Oxford University Press, 2008), n.p.
  202. ^ Kenneth W. Hart, Coinage in the Roman Economy, 300 B.C. to A.D. 700 (Johns Hopkins University Press, 1996), hlm. 135.
  203. ^ Mireille Corbier, "Coinage and Taxation: The State's Point of View, A.D. 193–337," in Cambridge Ancient History: The Crisis of Empire, A.D. 193–197 (Cambridge University Press, 2005), vol. 12, hlm. 333.
  204. ^ Colin Wells, The Roman Empire (Harvard University Press, 1984, 1992), hlm. 8.
  205. ^ W.V. Harris, "The Nature of Roman Money," in The Monetary Systems of the Greeks and Romans, n.p.
  206. ^ Kessler and Temin, "Money and Prices in the Early Roman Empire," n.p.
  207. ^ Walter Scheidel, "The Monetary Systems of the Han and Roman Empires", in: Scheidel, Walter, ed. (2009): Rome and China. Comparative Perspectives on Ancient World Empires (Oxford University Press, 2009), New York, ISBN 978-0-19-533690-0, hlm. 137–207, especially hlm. 205.
  208. ^ Harris, "The Nature of Roman Money," n.p.
  209. ^ J. Rufus Fears, "The Theology of Victory at Rome: Approaches and Problem," Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II.17.2 (1981), hlm. 752 and 824, and in the same volume, "The Cult of Virtues and Roman Imperial Ideology," hlm. 908.
  210. ^ Jean Andreau, Banking and Business in the Roman World (Cambridge University Press, 1999), hlm. 2.
  211. ^ Andreau, Banking and Business in the Roman World, hlm. 2; Harris, "The Nature of Roman Money," n.p.
  212. ^ Tacitus, Annales 6.17.3.
  213. ^ a b c Harris, "The Nature of Roman Money," in The Monetary Systems of the Greeks and Romans, n.p.
  214. ^ Richard Duncan-Jones, Money and Government in the Roman Empire (Cambridge University Press, 1994), hlm. 3–4.
  215. ^ Hart, Coinage in the Roman Economy, 300 B.C. to A.D. 700, hlm. 125–136.
  216. ^ Hart, Coinage in the Roman Economy, 300 B.C. to A.D. 700, hlm. 128–129.
  217. ^ Harris, "The Nature of Roman Money," in The Monetary Systems of the Greeks and Romans, n.p.; Hart, Coinage in the Roman Economy, 300 B.C. to A.D. 700, hlm. 128–129.
  218. ^ "Mining," in Late Antiquity: A Guide to the Postclassical World hlm. 579.
  219. ^ Wilson, Andrew (2002): "Machines, Power and the Ancient Economy", The Journal of Roman Studies, Vol. 92, hlm. 1–32 (17–21, 25, 32)
  220. ^ Craddock, Paul T. (2008): "Mining and Metallurgy", in: Oleson, John Peter (ed.): The Oxford Handbook of Engineering and Technology in the Classical World, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-518731-1, hlm. 108; Sim, David; Ridge, Isabel (2002): Iron for the Eagles. The Iron Industry of Roman Britain, Tempus, Stroud, Gloucestershire, ISBN 0-7524-1900-5, hlm. 23; Healy, John F. (1978): Mining and Metallurgy in the Greek and Roman World, Thames and Hudson, London, ISBN 0-500-40035-0, hlm. 196. Assumes a productive capacity of c. 1.5 kg per capita. Healy, John F. (1978): Mining and Metallurgy in the Greek and Roman World, Thames and Hudson, London, ISBN 0-500-40035-0, hlm. 196
  221. ^ Hong, Sungmin; Candelone, Jean-Pierre; Patterson, Clair C.; Boutron, Claude F. (1996): "History of Ancient Copper Smelting Pollution During Roman and Medieval Times Recorded in Greenland Ice", Science, Vol. 272, No. 5259, hlm. 246–249 (366–369); cf. also Wilson, Andrew (2002): "Machines, Power and the Ancient Economy", The Journal of Roman Studies, Vol. 92, hlm. 1–32 (25–29)
  222. ^ Hong, Sungmin; Candelone, Jean-Pierre; Patterson, Clair C.; Boutron, Claude F. (1994): "Greenland Ice Evidence of Hemispheric Lead Pollution Two Millennia Ago by Greek and Roman Civilizations", Science, Vol. 265, No. 5180, hlm. 1841–1843; Callataÿ, François de (2005): "The Graeco-Roman Economy in the Super Long-Run: Lead, Copper, and Shipwrecks", Journal of Roman Archaeology, Vol. 18, hlm. 361–372 (361–365); Settle, Dorothy M.; Patterson, Clair C. (1980): "Lead in Albacore: Guide to Lead Pollution in Americans", Science, Vol. 207, No. 4436, hlm. 1167–1176 (1170f.); cf. also Wilson, Andrew (2002): "Machines, Power and the Ancient Economy", The Journal of Roman Studies, Vol. 92, hlm. 1–32 (25–29)
  223. ^ Callataÿ, François de (2005): "The Graeco-Roman Economy in the Super Long-Run: Lead, Copper, and Shipwrecks", Journal of Roman Archaeology, Vol. 18, hlm. 361–372 (361–369); Hong, Sungmin; Candelone, Jean-Pierre; Patterson, Clair C.; Boutron, Claude F. (1996): "History of Ancient Copper Smelting Pollution During Roman and Medieval Times Recorded in Greenland Ice", Science, Vol. 272, No. 5259, hlm. 246–249 (247, fig. 1 and 2; 248, table 1); Hong, Sungmin; Candelone, Jean-Pierre; Patterson, Clair C.; Boutron, Claude F. (1994): "Greenland Ice Evidence of Hemispheric Lead Pollution Two Millennia Ago by Greek and Roman Civilizations", Science, Vol. 265, No. 5180, hlm. 1841–1843; Settle, Dorothy M.; Patterson, Clair C. (1980): "Lead in Albacore: Guide to Lead Pollution in Americans", Science, Vol. 207, No. 4436, hlm. 1167–1176 (1170f.)
  224. ^ Hong, Sungmin; Candelone, Jean-Pierre; Patterson, Clair C.; Boutron, Claude F. (1994). "Greenland Ice Evidence of Hemispheric Lead Pollution Two Millennia Ago by Greek and Roman Civilizations". Science. 265 (5180): 1841–1843. doi:10.1126/science.265.5180.1841. PMID 17797222. 
  225. ^ Patterson, C. C. (1972): "Silver Stocks and Losses in Ancient and Medieval Times", The Economic History Review, Vol. 25, No. 2, hlm. 205–235 (228, table 6); Callataÿ, François de (2005): "The Graeco-Roman Economy in the Super Long-Run: Lead, Copper, and Shipwrecks", Journal of Roman Archaeology, Vol. 18, hlm. 361–372 (365f.)
  226. ^ Patterson, C. C. (1972): "Silver Stocks and Losses in Ancient and Medieval Times", The Economic History Review, Vol. 25, No. 2, hlm. 205–235 (216, table 2); Callataÿ, François de (2005): "The Graeco-Roman Economy in the Super Long-Run: Lead, Copper, and Shipwrecks", Journal of Roman Archaeology, Vol. 18, hlm. 361–372 (365f.)
  227. ^ Hopkins, The Political Economy of the Roman Empire, hlm. 197.
  228. ^ Kevin Greene, The Archaeology of the Roman Economy hlm. 17.
  229. ^ W.V. Harris, "Trade," in The Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 713.
  230. ^ Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 714.
  231. ^ Roger Bradley Ulrich, Roman Woodworking (Yale University Press, hlm. 1–2.
  232. ^ a b c Stambaugh, The Ancient Roman City, hlm. 253.
  233. ^ Ray Laurence, "Land Transport in Roman Italy: Costs, Practice and the Economy," in Trade, Traders and the Ancient City (Routledge, 1998), hlm. 129.
  234. ^ Keith Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," in The Dynamics of Ancient Empires : State Power from Assyria to Byzantium (Oxford University Press, 2009), hlm. 187.
  235. ^ Holleran, Shopping in Ancient Rome, hlm. 142.
  236. ^ Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 713.
  237. ^ Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 710.
  238. ^ Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 717–729.
  239. ^ Mireille Corbier, "Coinage, Society, and Economy," in Cambridge Ancient History: The Crisis of Empire, A.D. 193–337 (Cambridge University Press, 2005), vol. 12, hlm. 404; Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 719.
  240. ^ Harris, "Trade," in CAH 11, hlm. 720.
  241. ^ Holleran, Shopping in Ancient Rome, hlm. 146–147.
  242. ^ Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 196.
  243. ^ Verboven, "The Associative Order: Status and Ethos among Roman Businessmen," preprint hlm. 18, 23.
  244. ^ Eborarii and citriarii: Verboven, "The Associative Order: Status and Ethos among Roman Businessmen," preprint hlm. 21.
  245. ^ "Slavery in Rome," in The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome (Oxford University Press, 2010), hlm. 323.
  246. ^ "Slavery in Rome," in The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome, hlm. 323.
  247. ^ a b Garnsey and Saller, The Roman Empire: Economy, Society and Culture, hlm. 111.
  248. ^ Peter Temin, "The Labor Market of the Early Roman Empire," Journal of Interdisciplinary History 34.1 (2004), hlm. 517.
  249. ^ A.H.M. Jones, "The Cloth Industry under the Roman Empire," Economic History Review 13.2 (1960), hlm. 184–185.
  250. ^ a b Jones, "The Cloth Industry under the Roman Empire,"p. 192.
  251. ^ Jones, "The Cloth Industry under the Roman Empire," hlm. 188–189.
  252. ^ Jones, "The Cloth Industry under the Roman Empire," hlm. 190–191.
  253. ^ Vout, "The Myth of the Toga," hlm. 212. The college of centonarii is an elusive topic in scholarship, since they are also widely attested as urban firefighters; see Jinyu Liu, Collegia Centonariorum: The Guilds of Textile Dealers in the Roman West (Brill, 2009). Liu sees them as "primarily tradesmen and/or manufacturers engaged in the production and distribution of low- or medium-quality woolen textiles and clothing, including felt and its products."
  254. ^ Scheidel, Walter; Morris, Ian; Saller, Richard, eds. (2007): The Cambridge Economic History of the Greco-Roman World, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-78053-7
  255. ^ Lo Cascio, Elio; Malanima, Paolo (Dec. 2009): "GDP in Pre-Modern Agrarian Economies (1–1820 AD). A Revision of the Estimates", Rivista di storia economica, Vol. 25, No. 3, hlm. 391–420 (391–401)
  256. ^ Maddison 2007, hlm. 47–51
  257. ^ Walter Scheidel and Steven J. Friesen, "The Size of the Economy and the Distribution of Income in the Roman Empire," Journal of Roman Studies 99 (2006), hlm. 62–63.
  258. ^ W. L. MacDonald, The Architecture of the Roman Empire, rev. ed. Yale University Press, New Haven, 1982, fig. 131B; Lechtman and Hobbs "Roman Concrete and the Roman Architectural Revolution"
  259. ^ Vitruvius, De Arch. Book 1, preface. section 2
  260. ^ Encyclopaedia Britannica, Apollodorus of Damascus, "Greek engineer and architect who worked primarily for the Roman emperor Trajan."
    George Sarton (1936), "The Unity and Diversity of the Mediterranean World", Osiris 2: 406–463 [430]
    Giuliana Calcani, Maamoun Abdulkarim (2003). Apollodorus of Damascus and Trajan's Column: From Tradition to Project. L'Erma di Bretschneider. hlm. 11. ISBN 88-8265-233-5. ... focusing on the brilliant architect Apollodorus of Damascus. This famous Syrian personage represents ... 
    Hong-Sen Yan, Marco Ceccarelli (2009). International Symposium on History of Machines and Mechanisms: Proceedings of HMM 2008. Springer. hlm. 86. ISBN 1-4020-9484-1. He had Syrian origins coming from Damascus 
  261. ^ (Smith 1970, hlm. 60f.); (Smith 1971, hlm. 26); Schnitter 1978, hlm. 28
  262. ^ Chandler, Fiona "The Usborne Internet Linked Encyclopedia of the Roman World", page 80. Usborne Publishing 2001
  263. ^ Forman, Joan "The Romans", page 34. Macdonald Educational Ltd. 1975
  264. ^ J. Crow 2007 "Earth, walls and water in Late Antique Constantinople" in Technology in Transition AD 300–650 in ed. L.Lavan, E.Zanini & A. Sarantis Brill, Leiden
  265. ^ Greene 2000, 39
  266. ^ Jones, R. F. J. and Bird, D. G., Roman gold-mining in north-west Spain, II: Workings on the Rio Duerna, Journal of Roman Studies 62 (1972): 59–74.
  267. ^ With the crank and connecting rod system, all elements for constructing a steam engine (invented in 1712)—Hero's aeolipile (generating steam power), the cylinder and piston (in metal force pumps), non-return valves (in water pumps), gearing (in water mills and clocks)—were known in Roman times.Ritti, Grewe & Kessener 2007, hlm. 156, fn. 74
  268. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 192.
  269. ^ Paul Rehak, Imperium and Cosmos: Augustus and the Northern Campus Martius (University of Wisconsin Press, 2006), hlm. 4ff.
  270. ^ Rehak, Imperium and Cosmos, hlm. 7–8.
  271. ^ John E. Stambaugh, The Ancient Roman City (Johns Hopkins University Press, 1988), hlm. 23ff. and 244
  272. ^ Rubina Raja, Urban Development and Regional Identity in the Eastern Roman Provinces 50 BC–AD 250 (Museum Tusculanum Press, 2012), with conclusions hlm. 215–218; Daniel Sperber, The City in Roman Palestine (Oxford University Press, 1998).
  273. ^ Stambaugh, The Ancient Roman City, hlm. 252–253; Brenda Longfellow, Roman Imperialism and Civic Patronage: Form, Meaning and Ideology in Monumental Fountain Complexes (Cambridge University Press, 2011), hlm. 2. Julius Caesar first applied the Latin word oppidum to this type of settlement, and even called Avaricum (Bourges, France), a center of the Bituriges, an urbs, "city." Archaeology indicates that oppida were centers of religion, trade (including import/export), and industrial production, walled for the purposes of defense, but they may not have been inhabited by concentrated populations year-round: see D.W. Harding, The Archaeology of Celtic Art (Routledge, 2007), hlm. 211–212; John Collis, "'Celtic' Oppida," in A Comparative Study of Thirty City-state Cultures (Danske Videnskabernes Selskab, 2000), hlm. 229–238; Celtic Chiefdom, Celtic State: The Evolution of Complex Social Systems in (Cambridge University Press, 1995, 1999), hlm. 61.
  274. ^ Millar, "Empire and City, Augustus to Julian," hlm. 79.
  275. ^ Vergil, Aeneid 6.852; Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 192.
  276. ^ Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 185–186.
  277. ^ Tertulianus, De anima 30.3 (ubique domus, ubique populus, ubique respublica, ubique uita), as cited and framed by Ando, "The Administration of the Provinces," hlm. 185.
  278. ^ Millar, "Empire and City, Augustus to Julian,", hlm. 76ff.
  279. ^ Longfellow, Roman Imperialism and Civic Patronage, hlm. 1.
  280. ^ Jones, Mark Wilson Principles of Roman Architecture. New Haven: Yale University Press, 2000.
  281. ^ Harry B. Evans, Water Distribution in Ancient Rome (University of Michigan Press, 1994, 1997), hlm. 9–10.
  282. ^ Garrett G. Fagan, "Socializing at the Baths," in The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World (Oxford University Press, 2011), hlm. 366.
  283. ^ Garrett G. Fagan, "The Genesis of the Roman Public Bath: Recent Approaches and Future Directions," American Journal of Archaeology 105.3 (2001), hlm. 404.
  284. ^ Fagan, "The Genesis of the Roman Public Bath," hlm. 404.
  285. ^ Roy Bowen Ward, "Women in Roman Baths," Harvard Theological Review 85.2 (1992) 125–147, especially hlm. 137, 140.
  286. ^ Ward, "Women in Roman Baths." hlm. 142–143.
  287. ^ Tertullian, Apologeticum 42, as cited by Roy Bowen Ward, "Women in Roman Baths," Harvard Theological Review 85.2 (1992), hlm. 125.
  288. ^ Fagan, "The Genesis of the Roman Public Bath," hlm. 417.
  289. ^ John R. Clarke, The Houses of Roman Italy, 100 B.C.-A.D. 250: Ritual, Space, and Decoration (University of California Press, 1992), hlm. 1–2.
  290. ^ Rehak, Imperium and Cosmos, hlm. 8.
  291. ^ Clarke, The Houses of Roman Italy, hlm. 11–12.
  292. ^ Clarke, The Houses of Roman Italy, hlm. 2.
  293. ^ Stambaugh, The Ancient Roman City, hlm. 144, 147; Clarke, The House of Roman Italy, hlm. 12, 17, 22ff.
  294. ^ Rabun Taylor, "Roman oscilla: An Assessment," RES: Anthropology and Aesthetics 48 (2005) 83–105.
  295. ^ Elaine K. Gazda, introduction to Roman Art in the Private Sphere: Architecture and Décor of the Domus, Villa, and Insula (University of Michigan Press, 1991, 1994), hlm. 9.
  296. ^ a b Clarke, The Houses of Roman Italy, hlm. 19.
  297. ^ See various articles in The Natural History of Pompeii, edited by Wilhemina Feemster Jashemski and Frederick G. Meyer (Cambridge University Press, 2002).
  298. ^ Horace, Satire 2.6; Niklas Holzberg, The Ancient Fable: An Introduction (Indiana University Press, 2002, originally published 2001 in German), hlm. 35; Smith Palmer Bovie, introduction to Horace. Satires and Epistles (University of Chicago Press, 2002), hlm. 92–93.
  299. ^ a b c d e f Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 191.
  300. ^ Peter Garnsey, "The Land," in The Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 679.
  301. ^ Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 195–196.
  302. ^ Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 191, reckoning that the surplus of wheat from the province of Egypt alone could meet and exceed the needs of the city of Rome and the provincial armies.
  303. ^ T.P. Wiseman, "The Census in the First Century B.C.", Journal of Roman Studies 59 (1969), hlm. 73.
  304. ^ Catherine Keane, Figuring Genre in Roman Satire (Oxford University Press, 2006), hlm. 36; Eckhart Köhne, "Bread and Circuses: The Politics of Entertainment," in Gladiators and Caesars: The Power of Spectacle in Ancient Rome (University of California Press, 2000), hlm. 8.
  305. ^ Juvenal, Satire 10.77–81.
  306. ^ John E. Stambaugh, The Ancient Roman City (Johns Hopkins University Press, 1988), hlm. 144, 178; Kathryn Hinds, Everyday Life in the Roman Empire (Marshall Cavendish, 2010), hlm. 90.
  307. ^ Claire Holleran, Shopping in Ancient Rome: The Retail Trade in the Late Republic and the Principate (Oxford University Press, 2012), hlm. 136ff.
  308. ^ Seo, "Cooks and Cookbooks," in The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome, hlm. 299.
  309. ^ Patrick Faas, Around the Roman Table: Food and Feasting in Ancient Rome (University of Chicago Press, 1994, 2005), hlm. 29.
  310. ^ Peter Garnsey, "The Land," in Cambridge Ancient History: The High Empire A.D. 70–192 (Cambridge University Press, 2000), vol. 11, hlm. 681.
  311. ^ Pliny the Elder, Natural History 19.83–84; Emily Gowers, The Loaded Table: Representation of Food in Roman Literature (Oxford University Press, 1993, 2003), hlm. 17; Seo, "Food and Drink, Roman," in The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome, hlm. 198.
  312. ^ Stambaugh, The Ancient Roman City, hlm. 144.
  313. ^ Holleran, Shopping in Ancient Rome, hlm. 136–137.
  314. ^ Garnsey, "The Land," CAH 11, hlm. 681.
  315. ^ Holleran, Shopping in Ancient Rome, hlm. 134–135.
  316. ^ Stambaugh, The Ancient Roman City, hlm. 146; Hopkins, "The Political Economy of the Roman Empire," hlm. 191; Holleran, Shopping in Ancient Rome, hlm. 134.
  317. ^ Mark Grant, Galen on Food and Diet (Routledge, 2000), hlm. 7, 11 et passim.
  318. ^ Veronika E. Grimm, "On Food and the Body," in A Companion to the Roman Empire, hlm. 354.
  319. ^ Grimm, "On Food and the Body," hlm. 356.
  320. ^ Matthew B. Roller, Dining Posture in Ancient Rome (Princeton University Press, 2006), hlm. 96ff.
  321. ^ Grimm, "On Food and the Body," hlm. 359.
  322. ^ Joan hlm. Alcock, Food in the Ancient World (Greenwood Press, 2006), hlm. 184.
  323. ^ John Donahue, The Roman Community at Table during the Principate (University of Michigan Press, 2004, 2007), hlm. 9.
  324. ^ Cathy K. Kaufman, "Remembrance of Meals Past: Cooking by Apicius' Book," in Food and the Memory: Proceedings of the Oxford Symposium on Food and Cooker hlm. 125ff.
  325. ^ Suetonius, Life of Vitellius 13.2; Gowers, The Loaded Table, hlm. 20.
  326. ^ Seo, "Food and Drink, Roman," in The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome, hlm. 201.
  327. ^ Tacitus, Germania 23; Gowers, The Loaded Table, hlm. 18.
  328. ^ Montanari, "Romans, Barbarians, Christians," hlm. 166.
  329. ^ Grimm, "On Food and the Body," hlm. 365–366.
  330. ^ "Foodstuff," in Late Antiquity, hlm. 455; Montanari, "Romans, Barbarians, Christians," hlm. 165–167.
  331. ^ a b "Foodstuff," in Late Antiquity, hlm. 455.
  332. ^ Montanari, "Romans, Barbarians, Christians," hlm. 165–167.

Sumber sunting

Bacaan lanjutan sunting

Pranala luar sunting