Kleopatra
Kleopatra VII Filopator (bahasa Yunani: Κλεοπᾰ́τρᾱ Φιλοπάτωρ, Kleopátrā Filopátōr;[5] lahir 69 SM – meninggal 10 atau 12 Agustus 30 SM)[note 2] adalah penguasa aktif terakhir Kerajaan Wangsa Ptolemaios di tanah Mesir.[note 4] Kleopatra juga seorang diplomat, laksamana, administrator, poliglot,[note 5] dan pujangga ilmu pengobatan.[6] Selaku putri wangsa Ptolemaios, Kleopatra adalah keturunan dari pendiri wangsanya, Ptolemaios I Soter, salah seorang mantan senapati Yunani Makedonia sekaligus pengiring Aleksander Agung. Sepeninggal Kleopatra, Mesir dijadikan salah satu provinsi Kekaisaran Romawi. Perubahan status Mesir ini menandai akhir dari Zaman Helenistik yang bermula pada masa pemerintahan Aleksander Agung (336–323 SM).[note 6] Bahasa ibunya adalah bahasa Yunani Koine, dan ia adalah penguasa pertama dari wangsa Ptolemaios yang mempelajari bahasa Mesir.[note 5]
Kleopatra VII Filopator | |||||
---|---|---|---|---|---|
Ratu Kerajaan Wangsa Ptolemaios | |||||
Berkuasa | 51 – 10 atau 12 Agustus 30 SM (21 tahun)[4][note 2] | ||||
Pendahulu | Ptolemaios XII Auletes | ||||
Penerus | Ptolemaios XV Kaisarion | ||||
Penguasa bersama | Ptolemaios XII Auletes (s. 80–58 SM - 55–51 SM) Ptolemaios XIII Teos Filopator (51–s. 47 SM) Ptolemaios XIV (47 SM–44 SM) Ptolemaios XV Kaisarion (44 SM – 30 SM) | ||||
Kelahiran | Permulaan tahun 69 SM Aleksandria, Kerajaan Wangsa Ptolemaios | ||||
Kematian | 10 atau 12 Agustus 30 SM (usia 39 tahun)[note 2] Aleksandria, Mesir | ||||
Pemakaman | Tidak diketahui (mungkin di Mesir) | ||||
Pasangan | Ptolemaios XIII Teos Filopator Ptolemaios XIV Markus Antonius | ||||
Keturunan | Ptolemaios XV Filopator Filometor Kaisar, Kaisarion Aleksandros Helios Kleopatra Selene, Ratu Mauretania Ptolemaios XVI Filadelfos | ||||
| |||||
Dinasti | Ptolemaik | ||||
Ayah | Ptolemaios XII Auletes | ||||
Ibu | Tidak diketahui, mungkin Kleopatra VI Trifaina (dikenal pula sebagai Kleopatra V Trifaina)[note 3] |
Kleopatra VII dalam hieroglif | |||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Qlwpdrt | |||||||||||||||||||
Wr(.t)-nb(.t)-nfrw-3ḫ(t)-sy Tuan putri kesempurnaan, cemerlang dalam kebijaksanaan | |||||||||||||||||||
Wr.t-twt-n-jt=s Orang besar, citra suci ayahanda | |||||||||||||||||||
Qlwpdrt nṯrt mr(t) jts Dewi Kleopatra kesayangan ayahanda |
Bagian dari sebuah serial tentang |
Romawi kuno dan kejatuhan Republik |
---|
Bagian dari seri tentang |
Kleopatra VII |
---|
Pada tahun 58 SM, Kleopatra diduga tinggal bersama ayahnya, Ptolemaios XII, yang hidup dalam pembuangan di Roma setelah digulingkan dari takhta melalui pemberontakan oleh Berenike IV, putri sulung Ptolemaios XII. Berenike IV dieksekusi mati pada tahun 55 SM setelah Ptolemaios XII kembali ke Mesir dengan membawa bala tentara Romawi untuk mengembalikan kekuasaannya. Sepeninggal Ptolemaios XII pada tahun 51 SM, Kleopatra dan adiknya laki-lakinya, Ptolemaios XIII, naik takhta menjadi penguasa bersama. Di kemudian hari, timbul perseteruan di antara keduanya, sampai-sampai meletuskan perang saudara. Saat itu juga sedang meletus Perang Saudara Yulius Kaisar di Romawi antara Pompeyus dan Yulius Kaisar. Setelah Pompeyus kalah dalam Pertempuran Farsalos, negarawan Romawi itu melarikan diri ke Mesir, yang berstatus negara gundal Republik Romawi. Ptolemaios XIII menyuruh orang membunuh Pompeyus pada saat Yulius Kaisar menduduki kota Aleksandria dalam rangka mengejar buronan Romawi itu. Selaku Konsul Republik Romawi, Yulius Kaisar berusaha mendamaikan Ptolemaios XIII dengan Kleopatra, tetapi Poteinos, penasihat utama Ptolemaios XIII, menilai syarat-syarat perdamaian yang ditetapkan Yulius Kaisar lebih menguntungkan pihak Kleopatra, sehingga bala tentara Ptolemaios XIII (di kemudian hari dikuasai oleh adik perempuan Kleopatra, Arsinoe IV) dikerahkan untuk mengepung Yulius Kaisar dan Kleopatra di istana Aleksandria. Aksi pengepungan ini berakhir setelah tiba bala bantuan dari Pergamon dan Yudea pada permulaan tahun 47 SM. Ptolemaios XIII akhirnya gugur dalam Pertempuran Sungai Nil, dan Arsinoe IV dihukum menjalani pembuangan di Efesus. Kleopatra dan adik laki-lakinya, Ptolemaios XIV, dinobatkan menjadi penguasa bersama atas tanah Mesir oleh Yulius Kaisar, yang kala itu telah terpilih menjadi Diktator Republik Romawi. Yulius Kaisar menjalin hubungan asmara dengan Kleopatra, dan menghasilkan seorang putra yang diberi nama Kaisarion (Ptolemaios XV). Kleopatra mengadakan lawatan ke Roma selaku ratu negara gundal Republik Romawi pada tahun 46 dan 44 SM. Selama lawatannya di kota itu, ia tinggal di vila milik Yulius Kaisar. Ketika Yulius Kaisar tewas terbunuh pada tahun 44 SM, Kleopatra berusaha agar Kaisarion diakui sebagai ahli waris mendiang ayahnya, tetapi yang akhirnya diakui sebagai ahli waris adalah Oktavianus, putra dari kemenakan Yulius Kaisar, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Agustus setelah dinobatkan menjadi Kaisar Romawi yang pertama pada tahun 27 SM. Kleopatra kemudian menyuruh orang membunuh Ptolemaios XIV, dan menobatkan Kaisarion menjadi penguasa bersama atas tanah Mesir.
Dalam Perang Saudara Liberator (43–42 SM), Kleopatra berpihak pada Triumviratus II (persekutuan triwira kali kedua) yang dibentuk oleh Oktavianus, Markus Antonius dan Markus Emilius Lepidus. Setelah bertemu di Tarsos pada tahun 41 SM, Kleopatra dan Markus Antonius menjalin hubungan asmara yang membuahkan tiga orang putra-putri, yakni pasangan kembar Aleksandros Helios dan Kleopatra Selene II, serta Ptolemaios Filadelfos. Markus Antonius memanfaatkan kewenangannya selaku salah seorang triwira untuk mengeksekusi mati Arsinoe IV atas permintaan Kleopatra. Markus Antonius kian bergantung pada Kleopatra sebagai sumber dana maupun bala bantuan semasa menginvasi Kekaisaran Partia dan Kerajaan Armenia. Pada 34 SM, putra-putri Kleopatra dan Markus Antonius dipermaklumkan sebagai penguasa atas sejumlah wilayah Romawi yang sebelumnya berada di bawah kewenangan Markus Antonius. Tindakan ini dikenal dengan nama Donasi Aleksandria. Peristiwa ini, ditambah pula dengan tindakan Markus Antonius menikahi Kleopatra setelah menceraikan Oktavia, kakak Oktavianus, menyulut perang terakhir Republik Romawi. Setelah melakukan perang propaganda, Oktavianus memaksa sekutu-sekutu Markus Antonius yang duduk di dalam Senat Romawi untuk menyingkir dari Roma pada tahun 32 SM, dan mengumumkan perang terhadap Kleopatra. Armada tempur Markus Antonius dan Kleopatra dikalahkan dalam Pertempuran Aktion pada tahun 31 SM, oleh panglima kubu Oktavianus, Markus Vipsanius Agripa. Bala tentara Oktavianus menginvasi Mesir pada tahun 30 SM, dan berhasil mengalahkan bala tentara Markus Antonius, yang akhirnya bunuh diri. Ketika mengetahui bahwa Oktavianus berniat memboyongnya ke Roma untuk dipertontonkan dalam pawai kemenangannya, Kleopatra pun memutuskan untuk bunuh diri dengan menggunakan racun. Menurut keyakinan umum, Kleopatra bunuh diri dengan cara dipatuk ular beludak.
Nama besar Kleopatra terabadikan dalam bentuk karya-karya seni rupa, baik yang kuno maupun modern, dan kejadian-kejadian yang pernah ia alami semasa hidup diabadikan dalam karya-karya sastra maupun media lainnya. Hal-ihwal pribadinya dijabarkan dalam karya-karya tulis historiografi Romawi dan puisi-puisi Latin. Pada umumnya puisi-puisi Latin ini menimbulkan kesan yang kurang baik mengenai dirinya, dan kesan semacam inilah yang di kemudian hari disiarkan oleh karya-karya sastra Abad Pertengahan dan Abad Renaisans. Di bidang seni rupa Abad Kuno, sosok Kleopatra dimunculkan pada kepingan-kepingan uang logam keluaran Romawi dan Kerajaan Wangsa Ptolemaios, arca-arca, patung-patung dada, relief-relief, karya-karya seni ukir kaca, karya-karya seni ukir kameo dan lukisan-lukisan. Sosoknya juga ditampilkan dalam karya-karya seni budaya Abad Renaisans dan karya-karya seni budaya berlanggam Barok, yang meliputi karya-karya seni pahat, seni lukis, seni puisi, serta seni pementasan seperti sandiwara Antonius dan Kleopatra (1608) karya William Shakespeare, dan opera Giulio Cesare in Egitto (1724) gubahan Georg Friedrich Händel. Pada Zaman Modern, sosok Kleopatra muncul dalam karya-karya seni rupa terapan maupun seni rupa murni, karya-karya seni pertunjukan satire burlesque, film-film produksi Hollywood semisal Cleopatra (1963), dan gambar-gambar merek sejumlah barang dagangan, semenjak Kleopatra menjadi ikon budaya pop Egiptomania pada Era Victoria di Britania.
Etimologi
Nama Kleopatra (aksara Yunani: Κλεοπάτρα) berasal dari nama Yunani Kuno yang berarti "muruah ayahanda".[7] Nama ini dibentuk dari gabungan kata kléos (aksara Yunani: κλέος) yang berarti "muruah" atau "kehormatan", dan kata patḗr (aksara Yunani: πατήρ) yang berarti "ayah". Bentuk maskulin dari nama ini dapat berupa Kleopatros (aksara Yunani: Κλεόπατρος) atau Patroklos (aksara Yunani: Πάτροκλος).[8] Kleopatra juga merupakan nama adik perempuan Aleksander Agung (Kleopatra dari Makedonia), dan nama istri Meleagros (Kleopatra Alkione) dalam mitologi Yunani.[9] Nama ini mulai dipakai di kalangan wangsa Ptolemaios setelah Ptolemaios V Epifanes menikahi Kleopatra I Sira, seorang putri wangsa Seleukos.[10][11] Kleopatra menyandang gelar Tea Filopatora (aksara Yunani: Θεά Φιλοπάτωρα) yang berarti "dewi pengasih ayahanda."[12][13][note 7]
Riwayat hidup
Latar belakang
Firaun-firaun dari wangsa Ptolemaios dinobatkan oleh Imam Besar Ptah di kota Memfis, tetapi bermastautin di Aleksandria, kota multibudaya bercorak Yunani yang didirikan oleh Aleksander Agung, tokoh termasyhur asal Makedonia.[15][16][17][note 8] Firaun-firaun wangsa Ptolemaios bertutur dalam bahasa Yunani, dan memerintah Mesir selayaknya kepala-kepala monarki Yunani Helenistik, bahkan menolak mempelajari bahasa asli Mesir.[18][19][20][note 5] Kleopatra justru berbeda; ia sudah mampu bertutur dalam beberapa macam bahasa saat mencapai usia dewasa, dan menjadi penguasa pertama dari wangsa Ptolemaios yang belajar bahasa Mesir.[21][22][20][note 9] Ia juga mampu bertutur dalam bahasa Etiopia, bahasa Trogodit, bahasa Ibrani (atau bahasa Aram), bahasa Arab, bahasa Suriah (mungkin bahasa Suryani), bahasa Media, bahasa Partia, dan bahasa Latin, meskipun orang-orang Romawi sezamannya lebih suka bercakap-cakap dengannya dalam bahasa Yunani Koine, bahasa ibunya.[22][20][23][note 10] Bahasa-bahasa yang dikuasai Kleopatra selain bahasa Yunani, bahasa Mesir, dan bahasa Latin, mencerminkan hasratnya untuk menguasai kembali daerah-daerah di Afrika Utara dan Asia Barat yang pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[24]
Campur tangan Romawi dalam urusan pemerintahan Mesir sudah berlangsung lama sebelum masa pemerintahan Kleopatra.[25][26][27] Ptolemaios IX Latiros mangkat pada penghujung tahun 81 SM, dan digantikan oleh putrinya, Berenike III.[28][29] Penentangan yang muncul di lingkungan istana terhadap gagasan penobatan seorang perempuan menjadi kepala monarki tanpa pendamping membuat Berenike III terpaksa bersedia untuk menikah dan memerintah bersama-sama dengan saudara sepupu sekaligus anak tirinya, Ptolemaios XI Aleksandros II, sesuai dengan arahan Diktator Republik Romawi, Sula.[28][29] Tak seberapa lama selepas menikah pada tahun 80 SM, Ptolemaios XI menyuruh orang membunuh Berenike III, tetapi ia sendiri akhirnya tewas dihakimi massa dalam kerusuhan yang dipicu oleh peristiwa pembunuhan Berenike III.[28][30][31] Ptolemaios XI, dan mungkin pamannya, Ptolemaios IX, atau mungkin pula ayahnya, Ptolemaios X Aleksandros I, menjadikan Kerajaan Wangsa Ptolemaios sebagai jaminan pinjaman dana dari Republik Romawi, sehingga pemerintah Republik Romawi memiliki landasan hukum untuk mengambil alih pemerintahan Mesir, yang sudah berstatus negara gundalnya, ketika Ptolemaios XI mangkat dibunuh.[28][32][33] Meskipun demikian, pemerintah Republik Romawi justru memutuskan untuk memecah wilayah Kerajaan Wangsa Ptolemaios, dan membagi-bagikannya kepada anak-anak Ptolemaios IX di luar pernikahan. Siprus diserahkan kepada Ptolemaios dari Siprus, sementara Mesir diserahkan kepada Ptolemaios XII Auletes.[28][30]
Masa kecil
Kleopatra VII lahir pada awal tahun 69 SM sebagai putri pasangan Firaun Ptolemaios XII Auletes dan seorang perempuan yang tidak diketahui namanya.[34][note 11] Mungkin saja ibu Kleopatra adalah permaisuri Ptolemaios XII, Kleopatra VI Trifaina (juga dikenal sebagai Kleopatra V Trifaina),[35][17][note 3] yakni ibu dari kakak Kleopatra, Berenike IV Epifaneia.[36][37][38][note 12] Nama Kleopatra Trifaina tidak lagi disebut-sebut dalam catatan-catatan resmi kerajaan beberapa bulan setelah kelahiran Kleopatra pada tahun 69 SM.[39][40] Tiga anak Ptolemaios XII yang paling kecil, yakni Arsinoe IV, Ptolemaios XIII Teos Filopator, dan Ptolemaios XIV,[36][37][38] lahir sepeninggal permaisurinya.[41][42] Guru pribadi Kleopatra semasa kecil adalah Filostratos, yang mengajarinya seni berpidato dan ilmu filsafat Yunani.[43] Sewaktu remaja, Kleopatra agaknya menuntut ilmu di Mouseion, lembaga ilmu pengetahuan dan seni budaya Helenistik di Aleksandria yang juga mencakup Perpustakaan besar kota itu.[44][45]
Masa pemerintahan dan pembuangan Ptolemaios XII
Pada tahun 65 SM, Sensor Markus Lisinius Krasus mengemukakan pendapatnya di hadapan Senat Republik Romawi bahwa Roma sepatutnya menganeksasi Mesir, tetapi usulannya maupun usulan serupa dari Tribun Servilius Rulus pada tahun 63 SM ditolak oleh senat.[46][47] Ptolemaios XII menanggapi ancaman kemungkinan aneksasi ini dengan menawarkan imbalan dan hadiah-hadiah mewah kepada para negarawan Romawi yang memiliki kekuasaan besar semisal Pompeyus sewaktu berperang melawan Mitridates VI dari Pontos, dan juga kepada Yulius Kaisar setelah terpilih menjadi konsul pada tahun 59 SM.[48][49][50][note 13] Meskipun demikian, perilaku hidup boros Ptolemaios XII membuatnya jatuh bangkrut sehingga terpaksa berhutang pada cukong Romawi, Gayus Rabirius Postumus.[51][52][53]
Pada tahun 58 SM, Republik Romawi menganeksasi Siprus. Dengan dakwaan pidana perompakan, pihak Romawi mendesak Ptolemaios dari Siprus, adik laki-laki Ptolemaios XII, untuk bunuh diri alih-alih menjalani hukuman pembuangan di Pafos.[56][57][53][note 15] Ptolemaios XII memutuskan untuk tidak mengungkit-ungkit kematian adiknya di muka umum. Sikap seperti ini, ditambah pula dengan penyerahan wilayah kekuasaan turun-temurun wangsa Ptolemaios kepada Republik Romawi, membuat Ptolemaios XII kehilangan kepercayaan rakyatnya, yang kala itu sudah tidak puas dengan kebijakan-kebijakan ekonominya.[56][58][59] Ptolemaios XII kemudian dipaksa meninggalkan Mesir. Mula-mula ia pindah ke Rodos, kemudian ke Athena, dan akhirnya ke vila milik Triwira Pompeyus di daerah perbukitan Albanus, dekat Preneste, Italia.[56][57][60][note 16] Ptolemaios XII tinggal hampir setahun lamanya di tempat yang terletak di kawasan sekitar kota Roma itu, agaknya ditemani oleh putrinya, Kleopatra, yang kala itu berumur sekitar 11 tahun.[56][60][note 17] Berenike IV mengirim rombongan perutusan ke Roma guna mengukuhkan kekuasaannya sekaligus mencegah pemulihan kekuasaan ayahnya, tetapi Ptolemaios XII mengirim pembunuh untuk menewaskan kepala rombongan perutusan itu. Peristiwa ini sengaja ditutup-tutupi oleh orang-orang kuat di Roma yang mendukungnya.[61][52][62][note 18] Manakala Senat Romawi menolak memberi bekal dan sepasukan tentara untuk menemani kepulangannya ke Mesir, Ptolemaios XII memutuskan untuk meninggalkan Roma pada penghujung tahun 57 SM, dan pindah ke Kuil Artemis di Efesus.[63][64][65]
Para cukong Romawi yang memodali Ptolemaios XII bertekad mengembalikannya ke tampuk kekuasaan.[66] Pompeyus membujuk Aulus Gabinius, Wali Negeri Romawi atas Suriah, untuk menginvasi Mesir dan memulihkan kekuasaan Ptolemaios XII dengan imbalan 10.000 talenta.[66][67][68] Meskipun melanggar hukum Romawi, Aulus Gabinius mengerahkan pasukannya untuk menginvasi Mesir pada musim semi tahun 55 SM melalui Yudea, wilayah kekuasaan wangsa Hasmonayim, tempat bala tentara yang dipimpin orang-orang Romawi itu dipasoki perbekalan oleh Antipatros orang Edom, ayah Herodes Agung, atas perintah Hurqanos II.[66][69] Selaku seorang perwira muda dalam jajaran pasukan berkuda, Markus Antonius kala itu bertugas di bawah pimpinan Aulus Gabinius. Watak kepemimpinannya tampak menonjol tatkala mencegah Ptolemaios XII membantai habis warga Pelousion, juga ketika menyelamatkan jenazah Arkelaos, suami Berenike IV, yang gugur dalam pertempuran, serta memastikan agar jenazah Arkelaos dimakamkan secara layak sesuai dengan statusnya sebagai raja.[70][71] Kleopatra, yang kala itu sudah berumur 14 tahun, tentunya juga ikut dalam rombongan bala tentara Romawi yang bergerak menuju Mesir. Bertahun-tahun kemudian, Markus Antonius mengakui bahwa pada saat itulah ia pertama kali jatuh cinta pada Kleopatra.[70][72]
Aulus Gabinius dihadapkan ke sidang mahkamah di Roma atas dakwaan penyalahgunaan kewenangan, dan diputuskan tidak bersalah, tetapi dalam sidang mahkamah kedua yang mengadilinya atas dakwaan menerima suap, ia diputuskan bersalah dan dijatuhi hukum buang. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 48 SM, ia dipanggil pulang dari pembuangan oleh Yulius Kaisar.[73][74] Markus Lisinius Krasus menjadi Wali Negeri Suriah yang baru menggantikan Aulus Gabinius, dan memperluas wilayah kewenangannya sampai ke Mesir, tetapi akhirnya tewas dibunuh orang Partia dalam Pertempuran Karai pada tahun 53 SM.[73][75] Ptolemaios XII menjatuhkan hukuman mati terhadap Berenike IV berikut para hartawan pendukungnya, dan menyita seluruh harta kekayaan mereka.[76][77][78] Ia mengizinkan Pasukan Gabiniani, garnisun Romawi titipan Aulus Gabinius yang sebagian besar personelnya adalah orang-orang Jermani dan Galia, untuk bertidak keras terhadap masyarakat di jalanan kota Aleksandria, dan mengangkat Gayus Rabirius Postumus, cukong Romawi yang sudah lama memodalinya itu, menjadi menteri keuangan.[76][79][80][note 19] Dalam setahun, Gayus Rabirius Postumus ditempatkan di bawah penjagaan ketat, lalu diberangkatkan pulang ke Roma setelah keselamatan nyawanya terancam akibat tindakan-tindakannya yang menguras habis sumber-sumber daya tanah Mesir.[81][82][78][note 20] Meskipun disibukkan dengan semua permasalahan ini, Ptolemaios XII masih menyempatkan diri untuk menyusun sepucuk surat wasiat berisi penunjukan Kleopatra dan Ptolemaios XIII sebagai ahli waris bersama atas takhta Mesir, menyelenggarakan pengerjaan proyek-proyek besar seperti pembangunan Kuil Edfu dan pembangunan sebuah kuil di Dendera, serta memulihkan stabilitas perekonomian Mesir.[83][82][84][note 21] Menurut keterangan yang terukir pada dinding Kuil Hathor di Dendera, Kleopatra diangkat menjadi pemangku raja oleh Ptolemaios XII pada tanggal 31 Mei, tahun 52 SM.[85][86][87][note 22] Sampai akhir hayatnya, Ptolemaios XII tak kunjung tuntas melunasi utang-utangnya pada Gayus Rabirius Postumus, sehingga sisanya menjadi beban tanggungan para penggantinya, Kleopatra dan Ptolemaios XIII.[81][74]
Naik takhta
Ptolemaios XII mangkat tak lama sebelum tanggal 22 Maret 51 SM, yakni hari keberangkatan Kleopatra ke Hermontis, yang terletak di dekat kota Tebai, untuk meresmikan penyembahan seekor banteng Baka baru, yang dipercaya sebagai perantara dewa Montu dalam agama Mesir Kuno. Pelayaran Kleopatra ke Hermontis ini merupakan tindakan perdananya selaku penguasa Mesir yang baru.[5][88][89][note 23] Tak seberapa lama selepas naik takhta, Kleoparta sudah harus menghadapi sejumlah permasalahan berat dan keadaan genting, antara lain bencana kelaparan akibat musim kemarau serta rendahnya tingkat luapan banjir tahunan Sungai Nil, dan perilaku sewenang-wenang para personel Pasukan Gabiniani, garnisun Romawi yang ditempatkan di Mesir oleh Aulus Gabinianus, yang kala itu sudah menganggur dan hidup berbaur dengan masyarakat Mesir.[90][91] Selain mewarisi sisa utang ayahnya, Kleopatra juga berutang 17,5 juta drakma pada Republik Romawi.[92]
Pada tahun 50 SM, Markus Kalpurnius Bibulus, Prokonsul Suriah, mengutus kedua putranya yang paling besar ke Mesir, agaknya untuk berunding dengan Pasukan Gabiniani sekaligus untuk merekrut mereka menjadi prajurit demi mempertahankan wilayah Suriah dari serangan orang Partia.[93] Pasukan Gabiniani justru menyiksa dan membunuh keduanya, mungkin karena diam-diam dihasut oleh para pejabat licik dalam majelis istana Kleopatra.[93][94] Kleopatra mengirim para personel Pasukan Gabiniani yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan utusan Suriah sebagai tawanan kepada Markus Kalpurnius Bibulus untuk diadili, tetapi ia justru mengirim kembali para terdakwa ini kepada Kleopatra sambil mengecamnya karena telah mencampuri urusan pengadilan para terdakwa yang merupakan kewenangan khusus Senat Republik Romawi.[95][94] Markus Kalpurnius Bibulus, yang berpihak pada Pompeyus dalam Perang Saudara Yulius Kaisar, gagal menghalangi pendaratan armada tempur Yulius Kaisar di Yunani, sehingga Yulius Kaisar kelak dapat leluasa bergerak menuju Mesir untuk membekuk Pompeyus.[95]
Semenjak tanggal 29 Agustus 51 SM, nama Kleopatra mulai dicantumkan dalam dokumen-dokumen resmi sebagai penguasa tunggal atas Kerajaan Wangsa Ptolemaios. Penyebutan dirinya sebagai penguasa tunggal dalam dokumen-dokumen resmi ini membuktikan bahwa Kleopatra menolak memerintah bersama-sama dengan Ptolemaios XIII.[92][94][96] Kleopatra mungkin pula menikah dengan Ptolemaios XIII,[75] tetapi tidak ada catatan mengenai hal ini.[5] Kawin sumbang yang dipraktikkan oleh wangsa Ptolemaios dalam bentuk perkawinan antar saudara kandung bermula dari pernikahan antara Ptolemaios II dan kakaknya, Arsinoe II.[97][98][99] Adat kawin sumbang yang sudah lama dipraktikkan di kalangan kerabat kerajaan Mesir ini dipandang keji oleh orang-orang Yunani kala itu,[97][98][99][note 24] tetapi sudah dianggap sebagai bentuk perjodohan yang lumrah bagi para penguasa dari wangsa Ptolemaios pada masa pemerintahan Kleopatra.[97][98][99]
Sekalipun ditolak oleh Kleopatra, Ptolemaios XIII masih didukung oleh orang-orang kuat, terutama Poteinos, seorang kasim yang pernah menjadi guru pribadinya semasa kanak-kanak, dan yang kala itu telah menjadi wali sekaligus bendaharanya.[100][91][101] Orang-orang lain yang turut bersekongkol melawan Kleopatra adalah Akilas, salah seorang senapati utama, dan Teodotos dari Kios, salah seorang guru pribadi Ptolemaios XIII.[100][102] Kleopatra agaknya sempat pula menjalin persekutuan dengan adik laki-lakinya, Ptolemaios XIV, tetapi pada musim gugur tahun 50 SM, Ptolemaios XIII mulai menguasai kancah perseteruan sehingga mulai berani menandatangani dokumen-dokumen mendahului Kleopatra, disusul pula dengan penetapan permulaan masa pemerintahannya pada tahun 49 SM.[5][103][104][note 25]
Pembunuhan Pompeyus
Pada musim panas tahun 49 SM, Kleopatra beserta bala tentaranya masih berjuang melawan Ptolemaios XIII di dalam kota Aleksandria ketika putra Pompeyus yang bernama Nyeus Pompeyus datang meminta bala bantuan atas nama ayahnya.[103] Yulius Kaisar pulang ke Italia dari medan perang di Galia dengan menyeberangi Sungai Rubiko pada bulan Januari 49 SM, sehingga membuat Pompeyus dan para pendukungnya terpaksa menyingkir ke Yunani.[105][106] Dalam maklumat bersama yang agaknya merupakan maklumat bersama terakhir yang dikeluarkan oleh Kleopatra dan Ptolemaios XIII, kedua penguasa Mesir ini berkenan mengabulkan permintaan Nyeus Pompeyus, dan mengerahkan 60 buah kapal berikut 500 pasukan prajurit, termasuk Pasukan Gabiniani. Tindakan ini membantu mengurangi sebagian dari beban utang Mesir pada Republik Romawi.[105][107] Namun, penulis Romawi Lukanus mengklaim bahwa pada awal tahun 48 SM, Pompeyus mengangkat Ptolemaios XIII sebagai satu-satunya penguasa Mesir yang sah; entah benar atau tidak, tetapi hal ini memaksa Kleopatra mundur dari Aleksandria dan berlindung di daerah Tebai.[108][109][110] Pada musim semi tahun 48 SM, Kleopatra melakukan lawatan ke Suriah Romawi bersama adik perempuannya, Arsinoe IV, dalam rangka menghimpun bala tentara yang akan dikerahkan untuk menginvasi Mesir.[111][104][112] Kleopatra pulang ke Mesir membawa bala tentara, tetapi pergerakannya menuju kota Aleksandria dirintangi oleh bala tentara Ptolemaios XIII yang juga mengerahkan sejumlah personel Pasukan Gabiniani untuk memeranginya, sehingga Kleopatra beserta bala tentaranya terpaksa berkemah di luar kota Pelousion yang terletak di kawasan timur Delta Nil.[113][104][114]
Di Yunani, bala tentara Yulius Kaisar menggempur bala tentara Pompeyus dalam Pertempuran Farsalos pada tanggal 9 Agustus 48 SM. Bala tentara Pompeyus nyaris seluruhnya binasa, dan Pompeyus sendiri terpaksa melarikan diri ke Tirus, Lebanon.[113][115][116][note 26] Karena merasa akrab dengan wangsa Ptolemaios, Pompeyus memutuskan untuk mencari suaka ke Mesir dan membentuk angkatan bersenjata yang baru di negeri itu,[117][116][114][note 27] tetapi para penasihat Ptolemaios XIII khawatir Pompeyus akan menjadikan Mesir sebagai pangkalan kekuatan tempurnya dalam suatu perang saudara bangsa Romawi yang berlarut-larut.[117][118][119] Dengan tipu muslihat yang dirancang oleh Teodotos, Pompeyus dipancing melalui undangan tertulis untuk mendarat di dekat Pelousion, lantas disergap dan ditikam hingga tewas pada tanggal 28 September 48 SM.[117][115][120][note 28] Ptolemaios XIII merasa telah berhasil unjuk gigi sekaligus meredakan ketegangan dengan memenggal dan mengawetkan kepala jenazah Pompeyus, lalu mengirimkannya kepada Yulius Kaisar yang tiba di Aleksandria pada awal bulan Oktober dan menjadikan istana kerajaan sebagai tempat tinggalnya.[121][122][123][note 28] Yulius Kaisar mengungkapkan dukacita dan kegusarannya atas peristiwa pembunuhan Pompeyus, serta mengimbau Ptolemaios XIII maupun Kleopatra untuk membubarkan bala tentara masing-masing dan berdamai satu sama lain.[121][124][123][note 29]
Kedekatan dengan Yulius Kaisar
Ptolemaios XIII memimpin pasukannya memasuki kota Aleksandria, bertentangan dengan imbauan Yulius Kaisar untuk terlebih dahulu membubarkan dan meninggalkan tentaranya.[125][126] Kleopatra mula-mula mengirim utusan-utusannya menghadap Yulius Kaisar, tetapi konon setelah mendengar kabar bahwa Yulius Kaisar gemar menjalin hubungan asmara dengan perempuan-perempuan bangsawan, Kleopatra akhirnya datang sendiri ke Aleksandria untuk bertatap muka secara langsung dengan Yulius Kaisar.[125][127][126] Sejarawan Lucius Kasius Dio meriwayatkan bahwa Kleopatra menghadap Yulius Kaisar tanpa sepengetahuan Ptolemaios XIII, tampil dengan dandanan yang memesona, dan memikat hati Yulius Kaisar dengan budi bahasanya.[125][128][129] Sejarawan Ploutarkos meriwayatkan peristiwa ini dalam bentuk yang lain sama sekali, bahkan mungkin hanya dongeng belaka, yakni bahwasanya Kleopatra digulung dengan tilam dan diselundupkan ke dalam istana demi berjumpa dengan Yulius Kaisar.[125][130][131][note 30]
Ketika mengetahui bahwa kakaknya berada di dalam istana dan sedang beramah-tamah dengan Yulius Kaisar, Ptolemaios XIII berusaha menghasut warga Aleksandria untuk mengobarkan kerusuhan, tetapi akhirnya dibekuk oleh Yulius Kaisar yang mampu menjinakkan kerumunan perusuh dengan kefasihannya berpidato.[132][133][134] Yulius Kaisar selanjutnya membawa Kleopatra dan Ptolemaios XIII ke hadapan sidang majelis warga kota Aleksandria, lalu membacakan surat wasiat dari mendiang Ptolemaios XII—sebelumnya disimpan oleh Pompeyus—yang menetapkan Kleopatra dan Ptolemaios XIII sebagai ahli waris bersama atas takhta Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[135][133][127][note 31] Yulius Kaisar juga hendak menobatkan kedua adik mereka, Arsinoe IV dan Ptolemaios XIV, menjadi penguasa bersama atas Siprus, agar memuskilkan peluang munculnya penguasa tandingan yang merasa berhak menduduki takhta Mesir, sekaligus untuk mengobati kekecewaan rakyat Kerajaan Wangsa Ptolemaios akibat pencaplokan Pulau Siprus oleh Republik Romawi pada tahun 58 SM.[136][133][137][note 31]
Karena menilai upaya rujuk yang dirancang Yulius Kaisar ini lebih menguntungkan Kleopatra ketimbang Ptolemaios XIII, dan karena memperkirakan bala tentara Ptolemaios XIII yang berkekuatan 20.000 personel termasuk Pasukan Gabiniani akan mampu mengalahkan pasukan Yulius Kaisar yang tanpa sokongan dan hanya terdiri atas 4.000 personel, senapati Poteinos yang berada di Aleksandria bersama Ptolemaios XIII memutuskan untuk memanggil bala tentara di bawah pimpinan Akilas ke Aleksandria untuk menyerang Yulius Kaisar maupun Kleopatra.[136][133][138][note 32] Setelah Yulius Kaisar berhasil mengeksekusi mati Poteinos setelah mengetahui rencananya mendatangkan tentara Akilas, dan Arsinoe IV kemudian menggabungkan kekuatan tempurnya dengan kekuatan tempur yang dipimpin Akilas dan dipermaklumkan sebagai ratu. Tak seberapa lama kemudian, Arsinoe IV memerintahkan guru pribadinya yang bernama Ganimedes untuk membunuh Akilas dan mengambil alih jabatannya selaku senapati.[139][140][141][note 33] Ganimedes selanjutnya memperdaya Yulius Kaisar untuk mengutus Ptolemaios XIII, mantan tahanannya, selaku juru runding, yang akhirnya malah bergabung dengan bala tentara Arsinoe IV.[139][142][143] Tindakan ini mengakibatkan Yulius Kaisar dan Kleopatra dikepung di dalam istana Aleksandria sampai dengan tahun berikutnya, yakni tahun 47 SM.[144][124][145][note 34]
Antara bulan Januari dan bulan Maret tahun 47 SM, bala bantuan Yulius Kaisar tiba di Mesir, termasuk pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Mitridates dari Pergamon dan Antipatros orang Edom.[139][124][146][note 35] Ptolemaios XIII dan Arsinoe IV menarik mundur bala tentara mereka ke Sungai Nil, tetapi tak mampu mengelak dari serangan Yulius Kaisar. Ptolemaios XIII mencoba meloloskan diri dengan perahu, tetapi perahu yang ditumpanginya terbalik dan ia sendiri tewas tenggelam.[147][124][148][note 36] Ganimedes mungkin gugur dalam pertempuran, Teodotos tertangkap bertahun-tahun kemudian di Asia oleh Markus Yunius Brutus lalu dieksekusi mati, sementara Arsinoe IV dipaksa menjadi bahan tontonan khalayak ramai dalam pawai kemenangan Yulius Kaisar di Roma sebelum menjalani pembuangan di Kuil Artemis, Efesus.[149][150][151] Kleopatra justru berdiam diri di dalam istana dan sama sekali tidak melibatkan diri dalam segala hiruk-pikuk ini, mungkin sekali karena ia tengah mengandung anak hasil hubungan asmaranya dengan Yulius Kaisar semenjak bulan September 47 SM.[152][153][154]
Masa jabatan Yulius Kaisar sebagai konsul telah berakhir pada penghujung tahun 48 SM.[149] Meskipun demikian, Antonius, perwira bawahannya, mengusahakan agar Yulius Kaisar terpilih menjadi diktator untuk masa jabatan satu tahun, yakni sampai dengan bulan Oktober tahun 47 SM. Dengan demikian Yulius Kaisar memiliki kewenangan untuk menuntaskan sengketa wangsa Ptolemaios di Mesir.[149] Demi mencegah terulangnya permasalahan yang pernah dihadapi kakak Kleopatra, Berenike IV, akibat naik takhta menjadi penguasa tunggal perempuan, Yulius Kaisar menobatkan adik laki-laki Kleopatra yang baru berumur 12 tahun, yakni Ptolemaios XIV, menjadi penguasa bersama-sama dengan Kleopatra yang sudah berumur 22 tahun. Kedua adik-beradik ini menikah sekadar untuk memenuhi syarat menjadi pasangan penguasa di mata rakyat, tetapi Kleopatra tetap hidup bersama dengan Yulius Kaisar.[155][124][146][note 37] Tidak diketahui secara pasti bilamana Siprus dikembalikan kepada wangsa Ptolemaios, tetapi Kleopatra diketahui menempatkan wali negeri di pulau itu pada tahun 42 SM.[156][146]
Konon kabarnya Yulius Kaisar ikut serta dalam pelayaran tamasya Kleopatra menyusuri Sungai Nil untuk melihat-lihat sekian banyak bangunan megah yang didirikan oleh bangsa Mesir,[124][157][158] tetapi mungkin saja kabar ini hanyalah sebuah dongeng romantis belaka yang mencerminkan kebiasaan orang-orang kaya Romawi di masa-masa kemudian, bukan peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi.[159] Sejarawan Gayus Suetonius Trankuilus merawikan kisah pelayaran tamasya itu secara lebih terperinci lagi. Ia bahkan menyebutkan bahwa wahana yang dipakai dalam pelayaran itu adalah Talamegos, tongkang pesiar yang dibangun atas perintah Ptolemaios IV. Pada masa pemerintahan Ptolemaios IV, tongkang ini memiliki panjang sekitar 90 m, dengan tinggi mencapai 24 m. Laksana sebuah vila terapung, Talamegos diperlengkapi dengan bilik-bilik perjamuan, bilik-bilik pribadi, bilik-bilik pemujaan, dan selasar di sekeliling dua geladaknya.[159][160] Yulius Kaisar tentunya akan bersedia diajak ikut serta dalam pelayaran menyusuri Sungai Nil semacam ini, karena ia adalah seorang peminat ilmu bumi yang sudah tamat membaca karya-karya tulis Eratostenes dan Piteas. Mungkin saja ia berniat mencari tahu letak hulu Sungai Nil, tetapi pulang sebelum sampai ke Etiopia.[161][162]
Yulius Kaisar bertolak meninggalkan Mesir sekitar bulan April 47 SM, agaknya dalam rangka menanggulangi rongrongan terhadap kekuasaan Romawi di Anatolia yang dilakukan oleh Farnakes II, putra Raja Mithridates VI, penguasa Kerajaan Pontos.[163] Mungkin pula Yulius Kaisar tidak ingin dilihat orang sedang bersama-sama dengan Kleopatra pada saat persalinan anak mereka, mengingat statusnya sebagai suami sah Kalpurnia, seorang perempuan Romawi dari golongan terpandang.[163][157] Ia meninggalkan tiga legiun di Mesir, yang di kemudian hari ditambah lagi menjadi empat legiun, di bawah pimpinan Libertus Rufio untuk melindungi kedudukan Kleopatra yang rentan diserang, tetapi mungkin pula untuk memata-matainya.[163][164][165]
Kaisarion, putra Kleopatra yang diyakini sebagai hasil hubungan asmaranya dengan Yulius Kaisar, lahir pada tanggal 23 Juni 47 SM, dan mula-mula diberi nama "Firaun Kaisar". Nama inilah yang terabadikan pada sebuah tugu prasasti di Serapeion kota Memfis.[166][124][167][note 38] Mungkin karena pernikahannya dengan Kalpurnia tak kunjung menghasilkan keturunan, Yulius Kaisar tidak menggembar-gemborkan kelahiran Kaisarion di muka umum (tetapi mungkin diam-diam mengakui Kaisarion sebagai putranya).[168][note 39] Di lain pihak, Kleopatra berulang kali mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Yulius Kaisar adalah ayah dari Kaisarion.[168][169][170]
Kleopatra dan Ptolemaios XIV melakukan lawatan ke Roma sekitar penghujung tahun 46 SM, mungkin tanpa membawa serta Kaisarion, dan menginap di vila milik Yulius Kaisar yang terletak di dalam kawasan Horti Caesaris (taman Kaisar).[172][167][173][note 40] Sama seperti mendiang ayah mereka, Kleopatra maupun Ptolemaios XIV dianugerahi status resmi sebagai "kawan dan mitra rakyat Romawi" (bahasa Latin: socius et amicus populi Romani) oleh Yulius Kaisar, dan dengan demikian menjadikan mereka penguasa-penguasa gundal yang setia pada Roma.[174][175][176] Orang-orang mendatangi vila milik Yulius Kaisar yang terletak di seberang Sungai Tiber untuk menjumpai Kleopatra. Salah seorang di antaranya adalah Senator Cicero yang mendapat kesan bahwa Kleopatra adalah pribadi yang angkuh.[177][178] Sosigenes dari Aleksandria, salah seorang ahli majelis istana Kleopatra, membantu Yulius Kaisar menyusun Kalender Yulius, sistem penanggalan baru yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 45 SM.[179][180][181] Di dalam Templum Veneris Genetricis (kuil Bunda Venus) di Forum Caesaris (alun-alun Kaisar), yang diresmikan pada tanggal 25 September 46 SM, disemayamkan sebuah arca emas Kleopatra (tersimpan setidaknya sampai dengan abad ke-3 M). Arca ini menampilkan Kleopatra, ibu dari putra Yulius Kaisar, sebagai Venus, dewi ibu bangsa Romawi.[182][180][183] Arca ini juga merupakan cara halus untuk memasukkan pemujaan Isis, dewi bangsa Mesir, ke dalam agama bangsa Romawi.[177]
Keberadaan Kleopatra di kota Roma mungkin sekali turut berdampak pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada perayaan Luperkalia, sebulan sebelum Yulius Kaisar terbunuh.[184][185] Markus Antonius berlagak hendak memasang diadem di kepala Yulius Kaisar, sementara Yulius Kaisar berlagak menolak diperlakukan demikian. Lakon ini agaknya sengaja direkayasa sebagai ikhtiar untuk mencari tahu seberapa besar penerimaan rakyat Romawi terhadap jabatan raja ala Helenistik.[184][185] Cicero, yang turut hadir dalam perayaan itu, secara berseloroh menanyakan dari mana datangnya diadem itu, yang jelas-jelas menyindir ratu wangsa Ptolemaios yang sangat dibencinya.[184][185] Yulius Kaisar terbunuh pada Idus Martiae (hari Purnama bulan Maret, bertepatan dengan tanggal 15 Maret 44 SM), tetapi Kleopatra tetap tinggal di Roma sampai sekitar pertengahan bulan April, karena berharap Kaisarion akan diakui sebagai ahli waris Yulius Kaisar.[186][187][188] Namun dalam surat wasiatnya, Yulius Kaisar ternyata menetapkan Oktavianus, putra dari kemenakan perempuannya, sebagai ahli waris utamanya. Oktavianus tiba di Italia sekitar waktu Kleopatra memutuskan untuk pulang ke Mesir.[186][187][189] Beberapa bulan kemudian, Ptolemaios XIV tewas diracun orang suruhan Kleopatra, dan Kaisarion naik takhta menjadi penguasa Mesir bersama-sama dengan ibunya.[190][191][170][note 41]
Kleopatra dalam perang saudara Liberator
Oktavianus, Markus Antonius, dan Markus Emilius Lepidus membentuk persekutuan triwira yang kedua pada tahun 43 SM. Masing-masing triwira terpilih untuk menjalani masa jabatan selama lima tahun dengan tugas memulihkan ketertiban dalam negeri dan menyeret komplotan pembunuh Yulius Kaisar ke hadapan mahkamah.[193][194] Kleopatra menerima surat permohonan bala bantuan, baik dari Gayus Kasius Lonjinus, salah seorang anggota komplotan pembunuh Yulius Kaisar, maupun dari Publius Kornelius Dolabela, Prokonsul Suriah sekaligus salah seorang pendukung setia Yulius Kaisar.[193] Kleopatra memutuskan untuk mengirim surat penolakan kepada Gayus Kasius Lonjinus dengan dalih kerajaannya sedang berkutat dengan seabrek permasalahan dalam negeri. Pada saat yang sama, ia mengerahkan empat legiun yang ditinggalkan Yulius Kaisar di Mesir untuk membantu Publius Kornelius Dolabela,[193][195] tetapi Gayus Kasius Lonjinus merebut kendali empat legiun ini di Palestina sebelum sempat bergabung dengan Yulius Kaisar.[193][195] Manakala Serapion, Wali Negeri Siprus bawahan Kleopatra, membelot ke kubu Gayus Kasius Lonjinus dan menyediakan kapal-kapal bagi kepentingannya, Kleopatra memutuskan untuk memimpin pelayaran armada miliknya menuju Yunani guna membantu Oktavianus dan Markus Antonius secara pribadi, tetapi kapal-kapal armada Kleopatra mengalami kerusakan parah akibat diamuk badai Laut Tengah sehingga terlambat datang untuk membantu memenangkan pertempuran.[193][196] Pada musim gugur tahun 42 SM, Markus Antonius akhirnya berjaya mengalahkan bala tentara komplotan pembunuh Yulius Kaisar dalam Pertempuran Filipi di Yunani. Kekalahan ini membuat para pemimpin komplotan pembunuh Yulius Kaisar, yakni Gayus Kasius Lonjinus dan Markus Yunius Brutus, bunuh diri.[193][197]
Pada penghujung tahun 42 SM, Oktavianus sudah menguasai hampir seluruh kawasan barat dari wilayah kekuasaan Republik Romawi, dan Markus Antonius sudah menguasai kawasan timurnya, sementara Markus Emilius Lepidus kian jauh terpinggirkan.[198] Pada musim panas tahun 41 SM, Markus Antonius menjadikan kota Tarsos di Anatolia sebagai lokasi markasnya, dan beberapa kali mengirimkan surat panggilan kepada Kleopatra untuk datang menghadap. Meskipun mula-mula menolak mentah-mentah, Kleopatra akhirnya bersedia memenuhi panggilan untuk menghadap setelah dibujuk oleh Kuintus Delius, utusan Markus Antonius.[199][200] Pertemuan dengan Markus Antonius membuka peluang bagi Kleopatra untuk menjernihkan kesalahpahaman orang yang mengira bahwa ia menyokong Gayus Kasius Lonjinus selama berlangsungnya perang saudara bangsa Romawi, dan juga untuk membahas hal-ihwal pertukaran wilayah kekuasaan di kawasan Syam, tetapi Markus Antonius ternyata berhasrat pula untuk menjalin kedekatan pribadi dengan Ratu Mesir itu.[201][200][note 42] Kleopatra berlayar memudiki Sungai Kidnos menuju Tarsos dengan tongkang Talamegos, dan menjamu Antonius beserta perwira-perwira bawahannya dalam pesta perjamuan mewah yang digelar selama dua malam di atas tongkang pesiar itu.[202][203] Kleopatra berhasil membersihkan citranya dari prasangka sebagai penyokong Gayus Kasius Lonjinus dengan pernyataan bahwa ia sungguh-sungguh sudah berusaha membantu Publius Kornelius Dolabela di Suriah. Ia juga berhasil membujuk Markus Antonius untuk memerintahkan eksekusi mati terhadap adiknya, Arsinoe IV, yang hidup dalam pembuangan di Efesus.[204][205] Mantan Wali Negeri Siprus, bawahan Kleopatra yang membelot ke kubu lawan itu, juga diserahkan kepada Kleopatra untuk dieksekusi mati.[204][206]
Kedekatan dengan Markus Antonius
Sebelum bertolak meninggalkan Tarsos, Kleopatra menyempatkan diri mengundang Markus Antonius untuk berkunjung ke Mesir. Markus Antonius memenuhi undangan ini dengan melakukan lawatan ke Aleksandria pada bulan November 41 SM.[204][207] Kedatangan Markus Antonius dielu-elukan oleh warga kota Aleksandria, baik karena jasa-jasanya memulihkan kekuasaan Ptolemaios XII, maupun karena datang ke Mesir tanpa membawa pasukan pendudukan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Yulius Kaisar.[208][209] Di Mesir, Markus Antonius kembali menikmati gaya hidup mewah raja-raja sebagaimana yang pernah ia kecapi di atas tongkang pesiar Kleopatra ketika berlabuh di Tarsos.[210][206] Ia juga memerintahkan para bawahannya, semisal Publius Ventidius Basus, untuk mengusir bangsa Partia dari wilayah Anatolia dan Suriah.[209][211][212][note 43]
Kleopatra memilih Markus Antonius menjadi pasangan penghasil keturunan bukannya tanpa pertimbangan yang matang, karena Markus Antonius dianggap orang sebagai tokoh Romawi yang paling berkuasa sepeninggal Yulius Kaisar.[213] Selaku seorang triwira, Markus Antonius juga berwenang mengembalikan daerah-daerah bekas jajahan wangsa Ptolemaios, yang kala itu dikuasai oleh Republik Romawi, kepada Kleopatra.[214][215] Meskipun Kilikia dan Siprus diketahui sudah dikuasai oleh Kleopatra pada tanggal 19 November 38 SM, serah terimanya mungkin sudah dilakukan pada musim dingin tahun 41–40 SM, semasa Kleopatra melewatkan waktu bersama-sama dengan Markus Antonius.[214]
Pada musim semi tahun 40 SM, Markus Antonius bertolak meninggalkan Mesir guna menanggulangi kemelut di Suriah. Wali Negeri Suriah, Lucius Decidius Saksa tewas dibunuh, dan bala tentaranya diambil alih oleh Kuintus Labienus, mantan perwira bawahan Gayus Kasius Lonjinus yang kala itu telah mengabdi pada Kekaisaran Partia.[216] Kleopatra menyiapkan 200 kapal untuk digunakan Markus Antonius dalam rangka pemulihan keamanan di Suriah, sekaligus untuk membayar wilayah-wilayah yang baru diserahkan kepadanya.[216] Keduanya baru bertemu kembali pada tahun 37 SM, tetapi Kleopatra senantiasa bersurat-suratan dengan Markus Antonius, bahkan ada bukti yang menyiratkan bahwa Kleopatra menyusupkan seorang mata-mata ke dalam rombongannya.[216] Pada penghujung tahun 40 SM, Kleopatra melahirkan sepasang anak kembar yang diakui Markus Antonius sebagai anak kandungnya, yakni seorang putra yang diberi nama Aleksandros Helios dan seorang putri yang diberi nama Kleopatra Selene.[217][218] Helios (Matahari) dan Selene (Bulan) melambangkan bermulanya zaman baru penyegaran kembali masyarakat,[219] serta menyiratkan harapan Kleopatra bahwa Markus Atonius akan mengulangi tindakan kepahlawanan Aleksander Agung dengan menaklukkan bangsa Partia.[209]
Usaha Markus Antonius memerangi bangsa Partia di kawasan timur wilayah kekuasaan Republik Romawi terganggu oleh Perang Perusia (41–40 SM). Perang melawan Oktavianus ini dikobarkan oleh Fulvia, istri Markus Antonius yang berambisi menjadikan suaminya sebagai pemimpin Roma tanpa tanding.[219][220] Pernah ada dugaan bahwa Fulvia bertindak demikian karena ingin memisahkan Markus Antonius dari Kleopatra, tetapi sesungguhnya konflik ini sudah timbul di Italia sebelum Kleopatra bertemu dengan Markus Antonius di Tarsos.[221] Fulvia dan adik Markus Antonius, Lucius Antonius, pada akhirnya dikepung oleh Oktavianus di Perusia (sekarang Perugia, Italia), dan dijatuhi hukum buang dari Italia. Fulvia wafat di Sikion, Yunani, dalam perjalanan menemui Markus Antonius.[222] Kematian Fulvia yang mendadak itu bermuara pada pemulihan hubungan baik antara Oktavianus dan Markus Antonius di Brundisium, Italia, pada bulan September 40 SM.[222][209] Kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak di Brundisium mengukuhkan kekuasaan Markus Antonius atas wilayah kekuasaan Republik Romawi yang terletak di sebelah timur Laut Ionia, tetapi juga mewajibkannya untuk melepaskan Italia, Hispania, dan Galia, serta menikahi Oktavia Muda, kakak Oktavianus, bakal saingan Kleopatra.[223][224]
Pada bulan Desember 40 SM, Kleopatra menyambut kedatangan Herodes yang tak disangka-sangka ke Aleksandria. Situasi Yudea yang sedang bergolak telah memaksa Herodes untuk mengungsi ke Aleksandria.[225] Herodes telah diangkat menjadi salah seorang tetrarkes (caturprabu) Yudea oleh Markus Antonius, tetapi tak lama kemudian ia sudah harus berseteru dengan Antigonos II Matatias, Raja Yudea dari wangsa Hasmonayim, wangsa raja-raja yang sudah lama memerintah Yudea.[225] Antigonos II Matatiyas telah memenjarakan Fasael, abang sekaligus rekan caturprabu Herodes, yang dieksekusi mati sewaktu Herodes mengungsi ke istana Kleopatra.[225] Kleopatra berniat mengerahkan pasukan bagi kepentingannya, tetapi Herodes menolak uluran bantuan itu dan berangkat ke Roma. Di kota Roma, Triwira Oktavianus dan Triwira Markus Antonius mengangkatnya menjadi Raja Yudea.[226][227] Kebijakan ini membuat Herodes berseberangan dengan Kleopatra, yang ingin menguasai kembali bekas wilayah Kerajaan Wangsa Ptolemaios yang kala itu telah menjadi wilayah Kerajaan Wangsa Herodes.[226]
Kedekatan antara Markus Antonius dan Kleopatra agaknya merenggang setelah Markus Antonius menikahi Oktavia, dan pernikahan mereka melahirkan dua orang putri, yakni Antonia Besar yang lahir pada tahun 39 SM dan Antonia Kecil yang lahir pada tahun 36 SM, serta memindahkan markasnya ke kota Athena.[231] Meskipun demikian, kedudukan Kleopatra di Mesir tetap tak tergoyahkan.[209] Saingannya, Herodes, tengah disibukkan oleh peperangan saudara di Yudea dan benar-benar membutuhkan banyak bantuan dari pihak Romawi, tetapi sama sekali tidak ada pertolongan yang mereka dapatkan dari Kleopatra.[231] Karena masa jabatan Markus Antonius dan Oktavianus selaku triwira telah berakhir pada tanggal 1 Januari 37 SM, Oktavia menyelenggarakan sebuah pertemuan di Tarentum yang menghasilkan keputusan untuk memperpanjang masa jabatan mereka secara resmi sampai dengan tahun 33 SM.[232] Dengan dua legiun yang diserahkan Oktavianus dan seribu orang prajurit yang dipinjamkan Oktavia, Markus Antonius bertolak menuju Antiokhia dan bersiap sedia memerangi bangsa Partia.[233]
Antonius memanggil Kleopatra ke Antiokhia untuk membicarakan perkara-perkara yang sifatnya mendesak, semisal kerajaan Herodes dan dukungan dana bagi usahanya memerangi bangsa Partia.[233][234] Kleopatra membawa serta putra-putri kembarnya yang kala itu berumur tiga tahun ke Antiokhia. Di kota inilah Markus Antonius melihat anak-anak ini untuk pertama kalinya, dan mungkin di kota ini pula keduanya diberi nama Helios dan Selene sebagai bagian dari rencana ambisius Markus Antonius dan Kleopatra terkait masa depan.[235][236] Dalam rangka menciptakan stabilitas di Dunia Timur, Markus Antonius tidak saja memperluas wilayah kekuasaan Kleopatra,[234] tetapi juga membentuk wangsa-wangsa penguasa baru dan raja-raja gundal baru yang nantinya akan setia padanya, tetapi justru lebih lama berkuasa daripada dirinya sendiri.[237][215][note 45]
Berdasarkan rencana ini, Kleopatra mendapatkan wilayah-wilayah bekas jajahan Kerajaan Wangsa Ptolemaios yang cukup penting di kawasan Syam, yakni seluruh Fenisia (Lebanon) kecuali Tirus dan Sidon yang tetap dikuasai Romawi.[238][215][234] Ia mendapatkan pula kota Ptolemais Ako (Sekarang Akko, Israel), kota yang didirikan oleh Ptolemaios II.[238] Karena masih memiliki pertalian darah dengan wangsa Selelukos, ia dianugerahi daerah Koile Siria yang terletak di kawasan hulu Sungai Orontes.[239][234] Ia bahkan diserahi daerah sekitar kota Yerikho di Palestina, tetapi daerah ini ia jual dan sewa balik kepada Herodes.[240][227] Raja orang Nabati, Malkos I (saudara sepupu Herodes), harus merelakan sebagian wilayah Kerajaan orang Nabati untuk diserahkan kepada Kleopatra, yakni daerah sekitar Teluk Aqabah di Laut Merah, termasuk Ailana (sekarang Aqabah, Yordania).[241][227] Di sebelah barat, Kleopatra diserahi Kirene yang terletak di pesisir pantai Libya, serta Itanos dan Olous yang terletak di Kreta Romawi.[242][234] Meskipun pemerintahannya masih diselenggarakan oleh para pamong praja Romawi, daerah-daerah ini tetap saja menambah kemakmuran kerajaannya dan mendorongnya untuk memaklumkan bermulanya masa pemerintahan yang baru dengan pencantuman dua tanggal yang berbeda pada uang logam yang ia terbitkan pada tahun 36 SM.[243][244]
Perluasan wilayah Kerajaan Wangsa Ptolemaios oleh Markus Antonius dengan cara melepaskan negeri-negeri jajahan yang diperintah langsung oleh bangsa Romawi dimanfaatkan baik-baik oleh seterunya, Oktavianus, yang mendayagunakan penentangan masyarakat di Roma terhadap tindakan memperbesar kekuasaan seorang ratu bangsa asing dengan merugikan bangsa sendiri.[245] Dengan beralasan bahwa Markus Antonius menyia-nyiakan Oktavia, istrinya yang berbangsa Romawi dan berbudi luhur, Oktavianus menganugerahkan keistimewaan sacrosanctus (hak untuk dikeramatkan) kepada Oktavia maupun Livia, istrinya sendiri.[245] Sekitar 50 tahun sebelumnya, Kornelia Afrikana, putri Syipio Afrikanus, menjadi perempuan Romawi pertama yang didirikan arcanya di alun-alun selagi masih hidup.[243] Oktavia dan Livia kini menyusul diberi penghargaan yang sama. Mungkin sekali arca-arca mereka didirikan di alun-alun Kaisar untuk menyaingi arca Kleopatra yang didirikan oleh Yulius Kaisar.[243]
Pada tahun 36 SM, Kleopatra mendampingi Markus Antonius sampai ke Sungai Efrat dalam perjalanannya menginvasi Kekaisaran Partia.[246] Ia kemudian pulang ke Mesir, mungkin karena sedang hamil tua.[247] Pada musim panas tahun 36 SM, Kleopatra melahirkan Ptolemiaios Filadelfos, putra kedua yang ia lahirkan bagi Markus Antonius.[247][234]
Usaha Markus Antonius memerangi bangsa Partia pada tahun 36 SM berbalik menjadi bencana lantaran berbagai sebab, khususnya pengkhianatan Artavasdes II dari Armenia, yang membelot ke pihak Partia.[248][215][249] Setelah kehilangan sekitar 30.000 personel, lebih besar daripada jumlah korban jiwa yang diderita kubu Markus Lisinius Krasus dalam pertempuran Karai (suatu aib yang hendak ia balaskan terhadap bangsa Partia), Markus Antonius akhirnya sampai ke Leukokome yang terletak di dekat kota Beritus (sekarang Beirut, Lebanon) pada bulan Desember, lantas bermabuk-mabukan sebelum Kleopatra tiba membawa dana dan sandangan bagi pasukannya yang babak belur.[248][250] Karena ingin menghindari risiko-risiko yang harus ia hadapi jika pulang ke Roma, Markus Antonius bertolak menuju Aleksandria bersama-sama dengan Kleopatra untuk menengok putranya yang baru lahir.[248]
Donasi Aleksandria
Pada tahun 35 SM, Markus Antonius sekali lagi bersiap sedia memerangi bangsa Partia, dan sasarannya kali ini adalah Armenia, sekutu Kekaisaran Partia. Pada masa persiapan ini pula Oktavia tiba di Athena membawa serta 2.000 orang prajurit, konon untuk menyokong usaha Markus Antonius, tetapi mungkin sekali tindakan Oktavia ini sengaja direkayasa oleh Oktavianus untuk mempermalukan Markus Antonius yang mengalami kerugian besar dalam aksi militer sebelumnya.[253][254][note 46] Markus Antonius menerima bala bantuan ini, tetapi melarang Oktavia untuk bepergian ke negeri-negeri yang terletak di sebelah timur Athena selagi ia dan Kleopatra melakukan lawatan bersama ke Antiokhia. Seusai lawatan bersama ini, Markus Antonius mendadak membatalkan persiapan perang tanpa alasan yang jelas, dan undur ke Aleksandria.[253][254] Sekembalinya Oktavia ke Roma, Oktavianus mulai mencitrakan kakaknya itu sebagai istri yang disia-siakan oleh Markus Antonius, meskipun Oktavia menolak meninggalkan rumah tangga dan kaum keluarga Markus Antonius.[255][215] Oktavianus semakin merasa percaya diri setelah menyingkirkan seteru-seterunya di kawasan barat, termasuk Senapati Sekstus Pompeyus dan bahkan Triwira Markus Lepidus, yang menjadi tahanan rumah selepas memberontak melawan Oktavianus di Sisilia.[255][215][250]
Pada tahun 34 SM, Markus Antonius mengutus Kuintus Delius ke Armenia untuk berunding dengan Raja Artavasdes II mengenai kemungkinan pembentukan persekutuan Armenia-Mesir melalui pernikahan putri raja Armenia dengan Aleksandros Helios, putra Markus Antonius dan Kleopatra.[256][257] Karena perundingan menemui jalan buntu, Markus Antonius pun mengerahkan bala tentaranya ke Armenia, melumpuhkan kekuatan tempur kerajaan itu, dan menawan raja beserta kerabat kerajaan Armenia.[256][258] Markus Antonius kemudian menggelar pawai militer di Aleksandria, meniru pawai kemenangan bala tentara Romawi, dan berarak memasuki kota Aleksandria dalam dandanan laksana dewa Dionisos sambil mengendarai kereta perang untuk mempersembahkan para tawanan agung kepada Kleopatra, yang duduk di atas sebuah singgasana emas berlapik perak.[256][259] Peristiwa ini dikecam keras di Roma sebagai tindakan menyelewengkan upacara adat bangsa Romawi yang luhur demi menyenangkan hati seorang Ratu Mesir.[256]
Dalam sebuah acara yang digelar di Gimnasion tak lama sesudah pawai kemenangan, Kleopatra hadir dengan dandanan laksana dewi Isis dan memaklumkan bahwa dirinya adalah Ratu Segala Raja yang memerintah bersama-sama putranya, Kaisarion, Raja Segala Raja. Aleksandros Helios dipermaklumkan sebagai Raja Armenia, Media, dan Partia, bahkan Ptolemaios Filadelfos yang baru berumur dua tahun pun dipermaklumkan sebagai Raja Suriah dan Silisia,[263][264][265] sementara Kleopatra Selene dipermaklumkan sebagai penguasa Kreta dan Kirene.[266][267] Markus Antonius dan Kleopatra mungkin pula dinikahkan dalam acara ini.[266][265][note 47] Markus Antonius mengirim laporan ke Roma yang berisi permintaan pengesahan atas klaim-klaim wilayah ini, yang dikenal sebagai peristiwa Donasi Aleksandria. Oktavianus ingin menyebarluaskan laporan ini untuk maksud-maksud propaganda, tetapi kedua Konsul Republik Romawi, yang sama-sama merupakan pendukung Markus Antonius, menyensornya dari pandangan publik.[268][267]
Menjelang akhir tahun 34 SM, Markus Antonius dan Oktavianus mulai saling menyerang dalam perang propaganda sengit yang baru berakhir bertahun-tahun kemudian.[269][267][170][note 48] Markus Antonius mengklaim bahwa seterunya itu telah menyingkirkan Markus Lepidus secara tidak sah dari persekutuan triwira mereka dan menghalanginya menghimpun kekuatan tempur di Italia, sementara Oktavianus menuduh Markus Antonius telah melanggar hukum dengan menawan Raja Armenia, menikahi Kleopatra padahal masih berstatus sebagai suami sah dari Oktavia, dan keliru menyatakan Kaisarion alih-alih Oktavianus sebagai ahli waris Yulius Kaisar.[269][267] Segala macam tuduhan dan desas-desus yang terkait dengan perang propaganda ini telah membentuk anggapan umum mengenai Kleopatra mulai dari kesusastraan zaman Kaisar Agustus sampai ke berbagai media pada Zaman Modern.[270][271] Konon kabarnya Kleopatra mengendalikan akal pikiran Markus Antonius dengan tenung dan jampi-jampi, bahkan sama berbahayanya dengan sosok Helene dari Troya, yang diriwayatkan Homeros, dalam urusan menghancurkan peradaban.[272] Dalam syair gubahannya, Satirae, Horasius mengabadikan sebuah keterangan bahwasanya Kleopatra pernah melarutkan sebutir mutiara senilai 2,5 juta drakma ke dalam cuka hanya demi memenangkan taruhan dalam sebuah pesta perjamuan malam.[273] Tuduhan yang mengatakan bahwa Markus Antonius telah mencuri kitab-kitab koleksi Perpustakaan Pergamon guna mengisi kembali Perpustakaan Aleksandria di kemudian hari terbukti sebagai fitnah belaka yang dikarang oleh Gayus Kalvinius Sabinus.[274]
Pertempuran Aktion
Dalam pidatonya di hadapan Senat Romawi pada hari pertama masa jabatannya selaku konsul, yakni pada tanggal 1 Januari 33 SM, Oktavianus mendakwa Markus Antonius telah merongrong kemerdekaan dan kesatuan wilayah Republik Romawi selayaknya seorang budak dari ratu negeri timur junjungannya.[275] Sebelum masa berlaku imperium bersama yang diemban Markus Antonius dan Oktavianus berakhir pada tanggal 31 Desember 33 SM, Markus Antonius mempermaklumkan Kaisarion sebagai ahli waris sejati dari Yulius Kaisar dalam rangka menjatuhkan Oktavianus.[275] Pada tanggal 1 Januari 32 SM, para pendukung Markus Antonius, yakni Gayus Sosius dan Nyeus Domisius Ahenobarbus, terpilih menjadi konsul.[276] Pada tanggal 1 Februari 32 SM, Gayus Sosius menyampaikan pidato berapi-api berisi kecaman terhadap Oktavianus, yang kala itu sudah kembali berstatus warga negara biasa tanpa jabatan di pemerintahan, dan mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan menjatuhkannya.[276][277] Dalam sidang senator berikutnya, Oktavianus memasuki balai sidang Senat Romawi diiringi pengawal-pengawal bersenjata dan mengajukan dakwaan-dakwaannya terhadap kedua konsul.[276][278] Tindakan ini mampu menciutkan nyali para penentangnya sampai-sampai pada keesokan harinya, kedua konsul dan lebih dari 200 orang senator yang masih mendukung Markus Antonius meninggalkan kota Roma untuk bergabung dengan Markus Antonius.[276][278][279]
Markus Antonius dan Kleopatra melakukan lawatan bersama ke Efesus pada tahun 32 SM. Di kota ini pula Kleopatra menyumbang 200 kapal dari keseluruhan 800 kapal tempur yang berhasil dikumpulkan Markus Antonius.[276] Domisius Ahenobarbus, yang khawatir masyarakat akan termakan hasutan propaganda Oktavianus, mencoba membujuk Markus Antonius agar tidak mengikutsertakan Kleopatra dalam perang melawan Oktavianus.[280][281] Publius Kanidius Krasus mementahkan usaha Domisius Ahenobarbus ini dengan mengatakan bahwa Kleopatra adalah penyandang dana perang dan seorang kepala monarki yang cakap.[280][281] Kleopatra menolak menuruti Markus Antonius yang memintanya pulang ke Mesir, karena berpandangan bahwa dengan menghambat pergerakan Oktavianus di Yunani, ia dapat mempertahankan Mesir dengan lebih mudah.[280][281] Keteguhan pendirian Kleopatra untuk terlibat dalam pertempuran membela Yunani mengakibatkan tokoh-tokoh Romawi terkemuka membelot ke pihak Oktavianus, misalnya Domisius Ahenobarbus dan Lucius Munasius Plankus.[280][278]
Pada musim semi tahun 32 SM, Markus Antonius dan Kleopatra melakukan lawatan bersama ke Athena. Di kota ini Kleopatra membujuk Markus Antonius untuk mengirimkan surat cerai resmi kepada Oktavia.[280][278][265] Tindakan ini mendorong Munasius Plankus menyarankan Oktavianus untuk menyita surat wasiat Markus Antonius yang disimpan oleh para Perawan Vesta.[280][278][267] Meskipun harus melanggar hak hukum dan kekeramatan, Oktavianus merampas surat wasiat itu dari kuil Vesta, dan memanfaatkannya sebagai senjata pamungkas dalam perang propaganda melawan Markus Antonius dan Kleopatra.[280][267] Oktavianus menggembar-gemborkan bagian-bagian tertentu dari isi surat wasiat itu, semisal pernyataan bahwa Kaisarion ditetapkan sebagai ahli waris Yulius Kaisar, pernyataan bahwa Donasi Aleksandria sudah sah menurut hukum, pesan Markus Antonius untuk dimakamkan bersebelahan dengan Kleopatra di Mesir alih-alih di Roma, dan pernyataan bahwa Aleksandria akan dijadikan ibu kota baru Republik Romawi.[282][278][267] Untuk memamerkan kesetiaannya kepada Roma, Oktavianus memutuskan untuk membangun gedung makam pribadi di Campus Martius (alun-alun dewa Mars).[278] Posisi hukum Oktavianus juga meningkat setelah terpilih menjadi konsul pada tahun 31 SM.[278] Dengan menyingkap isi surat wasiat Markus Antonius kepada khalayak ramai, Oktavianus berhasil mendapatkan casus belli (dalih untuk memaklumkan perang), dan Roma pun akhirnya memaklumkan perang terhadap Kleopatra,[282][283][284] bukannya Markus Antonius.[note 49] Dalih hukum untuk memaklumkan perang bukanlah penguasaan wilayah baru oleh Kleopatra, yakni bekas-bekas wilayah jajahan Romawi yang dijadikan wilayah kekuasaan dari putra-putri hasil hubungannya dengan Markus Antonius, melainkan kenyataan bahwa ia memberi dukungan militer kepada seorang warga negara Republik Romawi biasa, karena masa bakti Markus Antonius sebagai triwira kala itu telah berakhir.[285]
Kekuatan armada tempur Markus Antonius dan Kleopatra lebih besar dibanding yang dimiliki Oktavianus, tetapi tidak semua awak kapal tempur di kubu Markus Antonius dan Kleopatra sudah cukup terlatih, beberapa orang di antaranya mungkin awak kapal dagang, sementara seluruh personel di kubu Oktavianus adalah prajurit profesional.[286][281] Markus Antonius ingin menyeberangi Laut Adriatik dan menghadang Oktavianus di Tarentum atau Brundisium,[287] tetapi Kleopatra, yang lebih mementingkan pertahanan Mesir, memutuskan untuk langsung menyerbu Italia.[288][281] Sepanjang musim dingin, Markus Antonius dan Kleopatra bermarkas di Patrai, Yunani, kemudian pindah ke Aktion yang terletak di sisi selatan Teluk Ambrakia pada musim semi tahun 31 SM.[288][287]
Kleopatra dan Markus Antonius didukung oleh sejumlah raja sekutu, tetapi Kleopatra sudah telanjur berseteru dengan Herodes, dan musibah gempa bumi di Yudea dijadikan dalih oleh Herodes untuk tidak ikut serta berperang.[289] Mereka juga kehilangan dukungan dari Malkos I, yang kelak terbukti berdampak pada kekalahan Markus Antonius.[290] Markus Antonius dan Kleopatra kalah dalam beberapa pertempuran kecil melawan Oktavianus di sekitar Aktion pada musim panas tahun 31 SM, sementara orang-orang di kubu Markus Antonius terus-menerus membelot ke kubu Oktavianus, termasuk Kuintus Delius yang sudah lama berkawan dengan Markus Antonius[290], juga Amintas, Raja Galatia, dan Deiotaros, Raja Paflagonia, sekutu-sekutu Markus Antonius.[290] Meskipun beberapa orang di kubu Markus Antonius menyarankan agar pertempuran laut dihentikan dan kekuatan tempur ditarik mundur ke pedalaman, Kleopatra justru bersikeras melancarkan serangan di laut guna menghalangi armada Oktavianus mendekati Mesir.[291]
Pada tanggal 2 September 31 SM, kekuatan tempur laut Oktavianus, di bawah pimpinan Markus Vipsanius Agripa, bertarung melawan kekuatan tempur laut Markus Antonius dan Kleopatra dalam Pertempuran Aktion.[291][287][283] Dari atas kapal bendera Antonias, Kleopatra mengarahkan pergerakan 60 kapal di mulut Teluk Ambrakia[291] dari total 500 kapal yang dikerahkan.[292] Kapal-kapal ini agaknya sengaja ditempatkan di belakang armada oleh para perwira bawahan Markus Antonius dengan maksud menyingkirkan Kleopatra dari kancah pertempuran.[291] Markus Antonius memerintahkan agar kapal-kapal mereka harus membawa serta layar sehingga dapat melaju bilamana harus mengejar atau meloloskan diri dari kejaran musuh. Kleopatra, yang senantiasa mengutamakan pertahanan Mesir, memanfaatkan layar-layar ini untuk bergerak dengan gesit melewati perairan tempat pertempuran sedang sengit-sengitnya berkecamuk lalu memundurkan pasukannya ke Peloponesos sebagai suatu langkah stategis.[293][294][295] Burstein mengemukakan dalam tulisannya bahwa di kemudian hari para pujangga Romawi yang bersikap berat sebelah menuduh Kleopatra telah bersikap pengecut dan lari meninggalkan Markus Antonius, tetapi mungkin saja tujuan sesungguhnya dari tindakan membawa serta layar di atas kapal ini adalah untuk menerobos blokade dan menyelamatkan sebanyak mungkin kapal-kapal armada mereka.[295] Markus Antonius mengikuti pergerakan Kleopatra dan naik ke atas kapalnya yang bercirikan layar ungu Tirus, dan bersama-sama berlayar meninggalkan pertempuran menuju Tainaron.[293] Konon kabarnya Markus Antonius sengaja mendiamkan Kleopatra sepanjang pelayaran yang memakan waktu tiga hari ini, sampai akhirnya salah seorang dari biti-biti perwara Kleopatra di Tainaron memohon padanya untuk bercakap-cakap dengan Kleopatra.[296] Pertempuran Aktion berlangsung tanpa kehadiran Kleopatra dan Markus Antonius sampai dengan pagi hari tanggal 3 September, berakhir dengan kemenangan Oktavianus dan disusul pembelotan besar-besaran para perwira, prajurit, dan raja-raja sekutu ke kubu Oktavianus.[296][294][297]
Kejatuhan dan akhir hayat
Pada saat Oktavianus menduduki Athena, Markus Antonius dan Kleopatra mendarat di Paraitonion, Mesir,[296][299] kemudian berpisah jalan. Markus Antonius berangkat ke Kirene untuk menghimpun lebih banyak pasukan, sementara Kleopatra berlayar ke pelabuhan Aleksandria untuk menciptakan kesan palsu bahwa pihaknyalah yang memenangkan perang di Yunani.[296] Tidak dapat dipastikan apakah pada saat itulah ia mengeksekusi mati Raja Artavasdes II dan mengirim kepalanya kepada Artavasdes I, Raja Media Atropatene, seteru Artavasdes II, sebagai bagian dari usahanya untuk menjalin persekutuan.[300][301]
Lucius Pinarius, Wali Negeri Kirene yang diangkat oleh Markus Antonius, sudah lebih dahulu mendengar kabar kemenangan Oktavianus dalam Pertempuran Aktion sebelum para juru warta yang diutus Markus Antonius tiba di kediamannya.[300] Setelah memerintahkan eksekusi mati terhadap para juru warta ini, Lucius Pinarius membelot ke kubu Oktavianus dengan menyerahkan empat legiun yang dibawahinya, yakni legiun-legiun yang diincar Markus Antonius.[300] Mendengar kabar buruk ini, Markus Antonius nyaris sudah bunuh diri andaikata tidak dicegah oleh para perwira stafnya.[300] Di Aleksandria, ia membangun sebuah rumah tempat menyepi di pulau Faros yang ia beri nama Timoneion (wisma Timon), diambil dari nama Timon dari Athena, filsuf Yunani yang dikenal berpaham sinisme dan misantropia (benci sesama manusia).[300] Herodes, yang secara pribadi menyarankan Markus Antonius seusai Pertempuran Aktion untuk mengkhianati Kleopatra, berkunjung ke Rodos untuk menghadap Oktavianus dan menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan raja karena kesetiaannya pada Markus Antonius.[302] Oktavianus terkesan dengan pernyataan dan watak setia Herodes sehingga mengizinkannya untuk tetap menjadi Raja Yudea. Keputusan ini membuat Markus Antonius dan Kleopatra kian terkucilkan.[302]
Mungkin Kleopatra mulai menganggap Markus Antonius sebagai beban belaka, ketika ia bersiap-siap untuk melepas Mesir kepada putranya, Kaisarion, pada pada akhir musim panas tahun 31 SM.[303] Kleopatra berencana menyerahkan takhta kepada Kaisarion, menarik armadanya dari Laut Tengah ke Laut Merah, lalu bertolak ke luar negeri, mungkin untuk tetirah di India.[303][301] Rencana ini akhirnya batal karena kapal-kapal armada Kleopatra dibakar oleh Malkos I atas anjuran Kuintus Didius, Wali Negeri Suriah yang diangkat oleh Oktavianus. Pembakaran kapal merupakan bentuk balas dendam Malkos I terhadap Kleopatra, pemicu utama perang antara dirinya dan Herodes, yang telah membuatnya merugi.[303][301] Dengan demikian Kleopatra tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain tetap tinggal di Mesir dan bernegosiasi dengan Oktavianus.[303] Konon kabarnya semenjak saat itu ia mulai menguji keampuhan berbagai macam racun pada para narapidana bahkan pada pelayan-pelayannya sendiri, tetapi kabar ini mungkin sekali hanyalah propaganda kubu Oktavianus yang baru disiarkan di kemudian hari.[304]
Atas perintah Kleopatra, Kaisarion mulai menjalani pelatihan selaku seorang efebos (taruna akademi militer). Keputusan ini, serta keterangan dari relief pada sebuah tugu prasasti di Koptos yang bertarikh 21 September 31 SM, menunjukkan bahwa kala itu Kleopatra sedang mempersiapkan putranya menjadi penguasa tunggal Mesir.[305] Untuk menunjukkan rasa kesetiakawanannya, Markus Antonius juga mengirim Markus Antonius Antilus, putra dari perkawinannya dengan Fulvia, untuk menjalani pelatihan sebagai efebos pada waktu yang sama.[303] Markus Antonius dan Kleopatra mengirim pesan dan dutanya masing-masing kepada Oktavianus, yang kala itu masih bermarkas di Rodos, tetapi Oktavianus hanya mengirim balasan kepada Kleopatra.[304] Kleopatra meminta agar anak-anaknya dibenarkan mewarisi tanah Mesir, dan Markus Antonius dibiarkan hidup sebagai orang buangan di Mesir. Kleopatra juga mengirim hadiah-hadiah mahal dan berjanji akan memberikan sejumlah uang di kemudian hari.[304][301] Oktavianus mengutus diplomatnya yang bernama Tirsos ke Mesir setelah Kleopatra mengancam akan membakar diri bersama sejumlah besar harta kekayaannya di dalam sebuah gedung makam yang kala itu sedang dikerjakan.[306] Tirsos membujuk Kleopatra untuk membunuh Markus Antonius demi keselamatan nyawa Kleopatra sendiri. Markus Antonius dapat mengendus rencana kotor itu, dan memerintahkan agar Tirsos didera serta dipulangkan kepada Oktavianus tanpa kesepakatan apa-apa.[307]
Setelah negosiasi panjang tanpa hasil, Oktavianus akhirnya bertolak dari Rodos dalam rangka menginvasi Mesir pada musim semi tahun 30 SM.[308] Setelah singgah di bandar Ptolemais di Fenisia untuk mengambil perbekalan segar yang disediakan sekutu barunya, Herodes, bagi bala tentaranya,[309] Oktavianus bergerak ke arah selatan dan merebut bandar Pelousion dalam waktu yang singkat. Sementara itu, Kornelius Galus bergerak dari Kirene ke arah timur, dan mengalahkan kekuatan tempur Markus Antonius di dekat Paraitonion.[310][311] Oktavianus dengan cepat bergerak menuju Aleksandria, tetapi Markus Antonius datang kembali dan berhasil mengalahkan bala tentara Oktavianus yang sudah kelelahan di luar hipodromos kota itu.[310][311] Meskipun demikian, pada tanggal 1 Agustus 30 SM, armada Markus Antonius membelot kepada Oktavianus, disusul pasukan berkudanya.[310][294][312] Kleopatra bersembunyi di dalam gedung makamnya, ditemani para pengawalnya yang setia, lalu mengirim kabar kepada Markus Antonius bahwa ia telah bunuh diri.[310][313][314] Markus Antonius, yang terguncang mendengar kabar itu, menikam perutnya sendiri dan menjemput ajal pada umur 53 tahun.[310][294][301] Menurut Ploutarkos, Markus Antonius masih meregang nyawa ketika dibawa ke gedung makam Kleopatra, sehingga masih sempat berkata kepada Kleopatra bahwa ia gugur dengan mulia. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Markus Antonius menasihati Kleopatra agar lebih percaya pada Gayus Prokuleyus daripada anak-anak buah Oktavianus yang lain.[310][315][316] Meskipun demikian, justru Gayus Prokuleyuslah yang menyusup ke dalam gedung makam dengan menggunakan tangga dan membekuk Kleopatra untuk mencegahnya membakar diri bersama harta kekayaannya.[317][318] Kleopatra diizinkan membalsem dan menyemayamkan jenazah Markus Antonius di dalam gedung makamnya sebelum dikawal pulang ke istana.[317][301]
Oktavianus memasuki Aleksandria, menduduki istana, dan menawan tiga anak Kleopatra yang paling kecil.[317][319] Sejarawan Romawi, Titus Livius, meriwayatkan bahwa ketika bertatap muka dengan Oktavianus, tanpa tedeng aling-aling Kleopatra berkata, "aku tidak sudi diarak dalam pawai kemenangan" (bahasa Yunani: οὑ θριαμβεύσομαι, ou triambéusomai). Kalimat ini adalah salah satu dari segelintir ucapan lisan Kleopatra yang diabadikan dalam catatan sejarah.[320][321] Oktavianus berjanji akan membiarkannya tetap hidup tetapi tidak menjelaskan apa-apa mengenai rencananya terhadap masa depan Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[322] Ketika diberi tahu oleh seorang mata-mata bahwa tiga hari lagi Oktavianus akan memberangkatkannya bersama anak-anaknya ke Roma, Kleopatra pun segera bersiap-siap untuk bunuh diri lantaran tak sudi diarak dalam pawai kemenangan bala tentara Romawi seperti yang pernah dialami oleh mendiang adiknya, Arsinoe IV.[322][294][301] Kleopatra bunuh diri pada bulan Agustus 30 SM, saat berumur 39 tahun, tetapi tidak diketahui secara pasti apakah ia bunuh diri di istana atau di gedung makamnya.[323][324][note 2] Konon ia ditemani oleh dua orang abdi setianya, Eiras dan Karmion, yang juga bunuh diri.[322][325] Oktavianus dikabarkan sangat murka akibat peristiwa ini, tetapi memerintahkan agar jenazah Kleopatra dimakamkan menurut adat istiadat kerajaan, sebelah-menyebelah dengan jenazah Markus Antonius di dalam gedung makamnya.[322][326][327] Olimpos, tabib pribadi Kleopatra, tidak menjelaskan sebab-musabab kematiannya, tetapi menurut keyakinan umum, Kleopatra tewas termakan racun setelah membiarkan dirinya dipatuk seekor aspis atau ular kobra Mesir.[328][329][301] Ploutarkos meriwayatkan kembali kisah dipatuk ular ini, tetapi mengungkapkan pula dugaannya bahwa Kleopatra memasukkan racun ke dalam tubuhnya melalui goresan dengan menggunakan alat khusus (bahasa Yunani: κνῆστις, knêstis, arti harfiah: duri, serutan keju). Menurut Kasius Dio, Kleopatra mencocokkan racun ke dalam tubuhnya dengan sebatang jarum (βελόνη,belónē), sementara menurut Strabo, Kleopatra menggunakan semacam salep beracun.[330][329][331][note 50] Tidak ada bekas-bekas bisa ular pada jenazahnya, tetapi memang ada bekas-bekas luka kecil pada lengannya yang mungkin disebabkan oleh tusukan jarum.[328][331][327]
Kleopatra memanfaatkan saat-saat terakhirnya menjelang bunuh diri untuk mengungsikan Kaisarion ke daerah Mesir Hulu, mungkin pula disertai rencana pelarian ke Nubia, Etiopia, atau India.[332][333][311] Kaisarion diperdaya untuk pulang ke Aleksandria dengan janji palsu bahwa Oktavianus akan mengizinkannya menjadi raja. Ia sempat memerintah sebagai Firaun Ptolemaios XV selama 18 hari sebelum akhirnya dieksekusi mati atas perintah Oktavianus pada tanggal 29 Agustus 30 SM.[334][335][336][note 51] Oktavianus diyakinkan oleh nasihat filsuf Areios Didimos bahwasanya dunia ini hanya dapat menampung satu orang kaisar.[337][note 52] Dengan runtuhnya Kerajaan Wangsa Ptolemaios, maka didirikanlah Provinsi Mesir di bawah pemerintahan bangsa Romawi,[338][294][339][note 53] yang menandai akhir dari Zaman Helenistik.[340][341][note 6] Pada bulan Januari 27 SM, Oktavianus berganti nama menjadi Agustus (bahasa Latin: Augustus, yang mulia) dan menghimpun kekuasaan konstitusional yang menjadikannya Kaisar Romawi pertama, sekaligus menandai awal Zaman Principatus dalam sejarah Kekaisaran Romawi.[342]
Peranan selaku kepala monarki
Sebagaimana lazimnya para penguasa Makedonia Abad Kuno, Kleopatra memerintah Mesir beserta tanah-tanah jajahannya semisal Siprus selaku seorang kepala monarki yang berkuasa mutlak, dan mengemban kewenangan selaku satu-satunya pembuat undang-undang di kerajaannya.[343] Ia adalah kepala pemuka agama di wilayah kekuasaannya, yang memimpin upacara-upacara pemujaan dewa-dewi Mesir maupun Yunani.[344] Ia menyelenggarakan kegiatan pembangunan berbagai macam kuil pemujaan dewa-dewi Mesir dan Yunani,[345] sebuah sinagoge bagi umat Yahudi di Mesir, dan bahkan membangun gedung Kaisareion Aleksandria, tempat orang memuja Yulius Kaisar, pelindung sekaligus kekasihnya.[346][347] Kleopatra secara langsung menangani urusan-urusan administratif di wilayah kekuasaannya.[348] Ia menanggulangi kegentingan seperti bencana kelaparan dengan memerintahkan lumbung-lumbung kerajaan membagi-bagikan bahan pangan kepada rakyat yang kelaparan dilanda musim kemarau pada permulaan masa pemerintahannya.[349] Meskipun sistem ekonomi terpimpin yang ia terapkan hanya tinggal cita-cita besar yang tak banyak terwujud,[350] pemerintahannya telah berupaya memberlakukan pengendalian harga, pengenaan bea, dan monopoli negara atas barang-barang tertentu, mematok nilai tukar yang tetap terhadap mata uang asing, serta menegakkan aturan hukum ketat yang mewajibkan para petani untuk bermukim di desa masing-masing selama musim tanam dan musim panen.[351][352][353] Gejolak keuangan yang tampak jelas di depan mata mendorong Kleopatra menurunkan nilai uang logam keluaran masa pemerintahannya, yang terdiri atas uang perak dan uang perunggu tetapi tanpa uang emas seperti yang dahulu kala pernah diterbitkan oleh beberapa penguasa dari wangsa Ptolemaios.[354]
Tinggalan sejarah
Anak cucu
Sesudah Kleopatra bunuh diri, ketiga putra-putrinya yang masih hidup, yakni Kleopatra Selene II, Aleksandros Helios, dan Ptolemaios Filadelfos, diberangkatkan ke Roma bersama dengan kakak Oktavianus, yakni Oktavia Muda, mantan istri ayah mereka, yang telah ditunjuk menjadi wali mereka.[359][360] Kleopatra Selene II dan Aleksandros Helios hadir dalam pawai kemenangan Oktavanus pada tahun 29 SM.[359][236] Aleksandros Helios dan Ptolemaios Filadelfos tidak lagi terdengar kabar beritanya selepas pawai kemenangan itu.[359][236] Oktavia menjodohkan Kleopatra Selene II dengan Yuba II, putra Raja Yuba I, penguasa Kerajaan Numidia di Afrika Utara yang telah dijadikan salah satu provinsi Romawi pada tahun 46 SM oleh Yulius Kaisar, lantaran dukungan yang diberikan Yuba I kepada Pompeyus.[361][360][319] Setelah Yuba II dan Kleopatra Selene II menikah pada tahun 25 SM, Kaisar Agustus mengangkat mereka menjadi pasangan penguasa baru Mauretania. Mereka membangun kembali Yol, kota tua bangsa Kartago, menjadi ibu kota Kerajaan Mauretania dengan nama baru Kaisarea (bahasa Latin: Caesarea Mauretaniae, sekarang Cherchell, Aljazair).[361][236] Kleopatra Selene II mendatangkan banyak cerdik pandai, seniman, dan penasihat dari istana mendiang ibunya di Aleksandria, untuk mengabdi padanya di Kaisarea, yang mulai diresapi budaya Yunani Helenistik semenjak masa pemerintahannya.[362] Ia juga memberi nama Ptolemaios dari Mauretania kepada putranya untuk menghormati nama besar wangsa Ptolemaios, leluhur mereka.[363][364]
Kleopatra Selene II mangkat sekitar tahun 5 SM, dan setelah Yuba II menyusul pada tahun 23 atau 24 M, putra mereka yang bernama Ptolemaios, naik takhta menjadi Raja Mauretania berikutnya.[363][365] Meskipun demikian, Ptolemaios akhirnya dieksekusi mati atas perintah Kaisar Kaligula pada tahun 40 M, mungkin atas dakwaan mencetak uang sendiri dan mempergunakan lambang-lambang kebesaran yang dikhususkan bagi Kaisar Romawi secara tidak sah.[366][367] Ptolemaios dari Mauretania adalah kepala monarki terakhir yang diketahui berasal dari nasab raja-raja wangsa Ptolemaios, sekalipun Ratu Zenobia, penguasa Kekaisaran Palmira, negara yang berdaulat selama jangka waktu singkat dalam kurun waktu berlangsungnya Krisis Abad Ketiga, juga mengaku sebagai keturunan Kleopatra.[368][369] Penyembahan terhadap Kleopatra masih bertahan sampai selambat-lambatnya tahun 373 M, yakni tahun ketika Petesenufe, seorang juru tulis Mesir yang mengerjakan Kitab Isis, mengungkapkan bahwa ia "menyaluti arca Kleopatra dengan emas."[370]
Sastra dan historiografi Romawi
Meskipun kehidupan Kleopatra diriwayatkan dalam hampir lima puluh karya tulis historiografi Romawi dari Abad Kuno, sebagian besar riwayat-riwayat ini hanya berupa keterangan ringkas tentang Pertempuran Aktion, tindakan bunuh diri yang dilakukannya, dan warta propaganda dari masa pemerintahan Kaisar Agustus yang menjelek-jelekkan dirinya.[372] Meskipun bukan biografi Kleopatra, Riwayat Antonius yang disusun oleh Ploutarkos pada abad pertama tarikh Masehi merupakan karya tulis peninggalan Abad Kuno yang memuat keterangan paling lengkap mengenai kehidupan Kleopatra.[373][374][375] Ploutarkos, yang hidup seabad sesudah Kleopatra, mendasarkan karya tulisnya pada sumber-sumber primer, misalnya keterangan dari Filotas dari Amfisa, yang diizinkan memasuki istana Kerajaan Wangsa Ptolemaios, keterangan dari tabib pribadi Kleopatra yang bernama Olimpos, dan keterangan dari Kuintus Delius, salah seorang sahabat dekat Markus Antonius dan Kleopatra.[376] Karya tulis Ploutarkos merangkumi keterangan-keterangan mengenai pribadi Kleopatra dari sudut pandang Kaisar Agustus—yang menjadi keterangan baku pada masa hidupnya—maupun keterangan-keterangan dari sumber-sumber lain, misalnya laporan-laporan saksi mata.[373][375] Sejarawan Romawi keturunan Yahudi, Flavius Yosefus, yang menyusun karya-karya tulisnya pada abad pertama tarikh Masehi, menyajikan keterangan berharga mengenai kehidupan Kleopatra yang diperoleh melalui hubungan diplomatik antara Kleopatra dan Herodes Agung.[377][378] Meskipun demikian, keterangan Flavius Yosefus mengenai Kleopatra terlalu bertumpu pada memoar Herodes dan keterangan bias Nikolaos dari Damaskus, guru pribadi putra-putri Kleopatra di Aleksandria sebelum pindah ke Yudea dan mengabdi pada Herodes sebagai penasihat sekaligus panitera.[377][378] Sejarah Romawi (bahasa Yunani: Ῥωμαϊκὴ Ἱστορία, Romaike Historia; bahasa Latin: Historia Romana) yang diterbitkan oleh pejabat negara sekaligus sejarawan Kasius Dio pada awal abad ke-3 M, menyajikan catatan sejarah yang berkesinambungan mengenai masa pemerintahan Kleopatra, meskipun tidak mampu sepenuhnya menghadirkan segala kerumitan Dunia Helenistik menjelang akhir keberadaannya.[377]
Nama Kleopatra nyaris tidak disebut-sebut dalam De Bello Alexandrino (Perihal Perang Aleksandria), memoar peninggalan seorang perwira staf bawahan Yulius Kaisar yang tidak diketahui namanya.[381][382][383][note 55] Senator Cicero, yang mengenal Kleopatra secara pribadi, menyajikan keterangan mengenai Kleopatra tanpa sanjungan dan puji-pujian dalam karya-karya tulisnya.[381] Verjilius, Horasius, Propersius, dan Ovidius, pujangga-pujangga Romawi yang berkarya pada masa pemerintahan Kaisar Agustus, melestarikan anggapan-anggapan negatif mengenai Kleopatra yang disetujui oleh rezim yang berkuasa kala itu,[381][384] meskipun Verjilius memunculkan gagasan mengenai Kleopatra sebagai sosok pribadi yang lekat dengan kisah percintaan dan melodrama kepahlawanan.[385][note 56] Horasius juga menganggap tindakan bunuh diri yang dilakukan Kleopatra adalah keputusan yang tepat.[386][384] Anggapan Horasius ini kelak disambut baik pada Akhir Abad Pertengahan oleh Geoffrey Chaucer.[387][388] Para sejarawan seperti Strabo, Veleyus, Valerius Maksimus, Plinius Tua, dan Apianus, tidak menyajikan keterangan selengkap Ploutarkos, Flavius Yosefus, maupun Kasius Dio, tetapi mengungkap beberapa perincian mengenai kehidupan Kleopatra yang tidak dijumpai dalam catatan-catatan sejarah lainnya.[381][note 57] Tulisan-tulisan pada kepingan uang logam Kerajaan Wangsa Ptolemaios keluaran masa pemerintahan Kleopatra dan beberapa dokumen papirus Mesir mencerminkan sudut pandang Kleopatra, tetapi materi-materi sumber semacam ini sangat terbatas dibanding karya-karya sastra Romawi.[381][389][note 58] Sisa-sisa dari Libika, karya tulis yang disusun atas perintah Raja Yuba II, menantu Kleopatra, sekilas memberi gambaran tentang kemungkinan adanya sekumpulan materi historiografi yang mendukung sudut pandang Kleopatra.[381]
Mungkin jenis kelamin Kleopatralah yang menjadi alasan mengapa dirinya digambarkan sebagai seorang anak di bawah umur atau pribadi yang kurang penting dalam karya-karya tulis historiografi mengenai Mesir dan Dunia Yunani-Romawi, baik yang berasal dari Abad Kuno maupun dari Abad Pertengahan, bahkan juga yang berasal dari Zaman Modern.[390] Sebagai contoh, sejarawan Ronald Syme (1903–1989) berpendapat bahwa Kleopatra tidak begitu berarti di mata Yulius Kaisar, dan bahwasanya usaha propaganda yang dilakukan Oktavianuslah yang menjadikan dirinya terkesan sangat penting.[390] Meskipun dalam anggapan umum, Kleopatra adalah salah seorang perempuan perayu ulung, ia hanya diketahui pernah menjalin hubungan intim dengan dua orang lelaki saja, yakni Yulius Kaisar dan Markus Antonius, dua tokoh Romawi yang paling terkemuka kala itu, yang agaknya merupakan ikhtiarnya untuk memastikan kelangsungan hidup wangsanya.[391][392] Ploutarkos menggambarkan Kleopatra sebagai sosok yang lebih memikat hati dengan kepribadiannya yang kuat dan budi bahasanya yang memukau ketimbang dengan kecantikan jasmaninya[393][17][394][note 59]
Penggambaran sosok Kleopatra dalam seni budaya
Dalam seni rupa Abad Kuno
Arca
Sosok Kleopatra diabadikan dalam berbagai macam karya seni rupa Abad Kuno, baik yang berlanggam Mesir maupun yang berlanggam Yunani-Helenistik dan Romawi.[397] Karya-karya seni yang masih ada sekarang ini mecakup arca-arca, patung-patung dada, relief-relief, gambar-gambar cetakan uang logam,[397][371] dan ukiran-ukiran kameo kuno,[398] semisal ukiran kameo Kleopatra bersama Markus Antonius dalam langgam Helenistik yang kini tersimpan di Museum Altes, Berlin.[1] Citra-citra Kleopatra yang dibuat semasa hidupnya adalah hasil karya seniman-seniman dari dalam maupun luar negeri Mesir. Sebagai contoh, sebuah arca Kleopatra berukuran besar dari perunggu bersepuh emas pernah disemayamkan di dalam kuil Bunda Venus di Roma, dan menjadi arca tokoh terkemuka pertama yang disemayamkan bersebelahan dengan arca dewata di dalam sebuah kuil Romawi selagi tokoh yang bersangkutan masih hidup.[3][182][399] Arca ini di semayamkan di dalam kuil Bunda Venus atas perintah Yulius Kaisar, dan aman bersemayam di kuil yang sama setidak-tidaknya sampai abad ke-3 M. Mungkin arca ini bisa bertahan sedemikian lamanya berkat perlindungan dari Kaisar, dan Kaisar Agustus pun tidak memerintahkan penyingkiran atau penghancuran karya-karya seni di Aleksandria yang menggambarkan sosok Kleopatra.[400][401]
Sehubungan dengan peninggalan arca-arca buatan Romawi, sebuah arca Kleopatra berlanggam Romawi seukuran manusia asli ditemukan di sekitar Tomba di Nerone, Roma, yang terletak di tepi jalan Via Cassia, dan kini tersimpan di Museo Pio-Clementino, bagian dari Museum Vatikan.[1][379][380] Dalam karya tulisnya, Riwayat Antonius, Ploutarkos mengungkapkan bahwa arca-arca Markus Antonius yang dipajang di tempat-tempat umum dirubuhkan atas perintah Kaisar Agustus, tetapi arca-arca Kleopatra tetap dijaga dengan baik sesudah kemangkatannya berkat jasa sahabatnya, Arkibios, yang mempersembahkan 2.000 talenta kepada Kaisar Agustus demi mencegah penghancuran arca-arca Kleopatra.[402][370][326]
Sejak era 1950-an, para ahli telah memperdebatkan perihal benar tidaknya arca Venus Eskuilin—arca dewi Venus yang ditemukan pada tahun 1874 di Bukit Eskuilin di Roma, dan tersimpan di Palazzo dei Conservatori Museum Kapitolin—adalah arca Kleopatra, ditilik dari bentuk tatanan rambut dan wajah arca, diadem kerajaan yang jelas terlihat pada kepala arca, dan ouraios kobra Mesir yang meliliti jambangan di samping arca.[403][404] Pihak-pihak yang menentang teori ini beralasan bahwa bentuk wajah pada patung tersebut lebih kurus ketimbang patung potret Berlin, dan berpendapat bahwa agaknya mustahil sosok Kleopatra ditampilkan dalam bentuk arca telanjang dewi Venus (atau dewi Afroditi, bagi orang Yunani).[396][404] Namun sosok Kleopatra juga pernah ditampilkan dalam bentuk sebuah arca khas Mesir sebagai dewi Isis,[405] dan dalam bentuk gambar pada beberapa uang logam keluaran masa pemerintahannya sebagai Venus-Afroditi.[406][407] Ia juga pernah berdandan sedemikian rupa agar terlihat laksana dewi Afroditi ketika menghadap Markus Antonius di Tarsos.[203] Pada umumnya arca Venus Eskuilin diyakini sebagai arca tiruan buatan Romawi pada pertengahan abad pertama tarikh Masehi berdasarkan arca asli buatan Yunani pada abad ke-1 SM yang dihasilkan oleh sanggar seni Pasiteles.[404]
Gambar pada uang logam
Kepingan-kepingan uang logam yang sintas dari masa pemerintahan Kleopatra terdiri atas contoh-contoh kepingan keluaran tiap-tiap tahun pemerintahannya, mulai dari tahun 51 sampai dengan tahun 30 SM.[408] Kleopatra, satu-satunya ratu wangsa Ptolemaios yang menerbitkan uang logam dengan gambar dirinya sendiri, hampir dapat dipastikan telah mengilhami pasangannya, Yulius Kaisar, untuk menjadi orang Romawi pertama yang menampilkan gambar diri pada uang logam yang dikeluarkan semasa hidupnya.[406][note 60] Kleopatra juga adalah ratu asing pertama yang gambarnya ditampilkan pada kepingan mata uang Romawi.[409] Kepingan-kepingan uang logam yang berasal dari kurun waktu pernikahannya dengan Markus Antonius, yang juga menampilkan gambar Markus Antonius, menampilkan sosok Kleopatra dengan hidung akuilinus (hidung paruh burung elang) dan dagu menonjol mirip suaminya.[3][410] Gambar wajah keduanya memang sengaja dimirip-miripkan, sesuai dengan kelaziman artistik kala itu, dengan maksud menciptakan kesan betapa serasinya pasangan kerajaan ini.[3][397] Raut wajahnya yang tegas dan nyaris kelaki-lakian pada kepingan-kepingan uang logam ini benar-benar jauh berbeda dari raut wajahnya yang lebih halus, lembut, dan mungkin dibagus-baguskan dalam karya-karya seni pahat berlanggam Mesir maupun Helenistik.[397][411][412] Gambar wajahnya yang terkesan kelaki-lakian pada cetakan mata uang terlihat mirip dengan wajah mendiang ayahnya, Ptolemaios XII Auletes,[413][112] dan mungkin juga mirip dengan wajah salah seorang leluhur wangsanya, Arsinoe II (316–260 SM),[2][414] bahkan mirip dengan penggambaran sosok ratu-ratu terdahulu seperti Hatsyepsut dan Nefertiti.[412] Agaknya demi maksud-maksud politik, raut wajah Antonius bukan saja sengaja dibuat tampak serasi dengan raut wajah Kleopatra, melainkan juga sengaja dibuat terlihat mirip dengan raut wajah para leluhur pendiri wangsa Ptolemaios asal Yunani Makedonia, agar rakyat Kleopatra tidak merasa asing dengan sosok Markus Antonius selaku kerabat kerajaan Mesir.[397]
Tulisan pada kepingan-kepingan uang logam ini adalah huruf dan perkataan Yunani, tetapi dalam bentuk nominatif sebagaimana bentuk kata yang tertera pada uang-uang logam Romawi, bukannya genetif sebagaimana yang lazim tertera pada uang-uang logam Yunani. Huruf-hurufnya pun ditata sepanjang tepi uang logam sehingga tampak membentuk lingkaran, bukannya disusun mendatar atau menurun sebagaimana lazimnya susunan huruf pada uang-uang logam Yunani.[397] Tampilan-tampilan semacam ini memperlihatkan persenyawaan budaya Romawi dan Helenistik, dan mungkin pula merupakan suatu bentuk pernyataan kepada rakyat, sekalipun masih diragukan oleh para ahli modern, tentang keunggulan Markus Antonius atas Kleopatra atau sebaliknya.[397] Diana Kleiner berpendapat bahwa pada salah satu kepingan uang logam yang memuat gambar pasangan ini, Kleopatra sengaja membuat gambar raut wajahnya terkesan lebih kelaki-lakian dibanding gambar-gambarnya yang lain, dan terlihat lebih patut menjadi seorang ratu gundal Romawi ketimbang seorang penguasa Helenistik.[411] Sesungguhnya Kleopatra sudah lama memerintahkan agar gambar raut wajahnya pada uang logam dibuat terlihat kelaki-lakian sebelum menjalin hubungan asmara dengan Markus Antonius, sebagaimana yang tampak pada kepingan-kepingan uang logam yang dicetak di Askelon manakala Kleopatra menjalani masa pembuangan singkat di Suriah dan kawasan Syam. Menurut Joann Fletcher, gambar wajah Kleopatra yang terkesan kelaki-lakian pada uang-uang logam cetakan Askelon ini merupakan usahanya, selaku pengganti yang sah dari seorang penguasa laki-laki wangsa Ptolemaios, untuk terlihat mirip dengan ayahnya, Ptolemaios XII Auletes.[112][415]
Berbagai macam uang logam, semisal kepingan perak tetradrakma yang dicetak dalam kurun waktu sesudah pernikahannya dengan Markus Antonius pada tahun 37 SM, menampilkan gambar Kleopatra mengenakan diadem kerajaan dengan tatanan rambut 'semangka'.[3][415] Paduan tata rambut semangka dan diadem juga tampak pada dua buah patung kepala dari batu pualam yang masih lestari hingga saat ini.[416][371][417][note 61] Tatanan rambut ini, dengan gelung pada tengkuk, serupa dengan gambar tatanan rambut para leluhur wangsanya, Arsinoe II dan Berenike II, pada kepingan uang logam.[3][418] Selepas lawatannya ke Roma pada kurun waktu 46–44 SM, tatanan rambut ini mulai digemari kaum perempuan Romawi yang menjadikannya salah satu bentuk tatanan rambut mereka, tetapi kemudian tergantikan oleh bentuk tatanan rambut yang lebih sederhana dan terlihat polos pada masa pemerintahan Kaisar Agustus yang konservatif.[3][416][417]
Patung dada dan patung kepala Yunani-Romawi
Di antara peninggalan patung-patung dada dan patung-patung kepala berlanggam Yunani-Romawi,[note 62] patung yang dikenal dengan sebutan "Kleopatra Berlin" dan yang kini tersimpan di antara koleksi Antikensammlung Berlin di Museum Altes, masih utuh bagian hidungnya, sementara patung kepala yang dikenal dengan sebutan "Kleopatra Vatikan" dan yang kini tersimpan di Museum Vatikan, sudah kehilangan bagian hidungnya.[419][420][421][note 63] Baik Kleopatra Berlin maupun Kleopatra Vatikan tampak mengenakan diadem kerajaan, memiliki bentuk wajah yang serupa, dan mungkin pula serupa dengan wajah patung perunggu Kleopatra di kuil Bunda Venus.[420][422][421][note 64] Kedua patung kepala ini diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-1 SM dan ditemukan di vila-vila Romawi yang bertebaran di sepanjang jalan Via Appia, Italia. Kleopatra Vatikan sendiri ditemukan dalam penggalian di vila marga Kuintilius.[3][419][421][note 65] Francisco Pina Polo mengemukakan dalam tulisannya bahwa uang-uang logam keluaran masa pemerintahan Kleopatra menampilkan gambar dirinya yang sesungguhnya, dan mengemukakan pula bahwa patung potret di Berlin dipastikan serupa tampak sampingnya dengan gambar-gambar pada uang logam, lengkap dengan rambut yang disisir ke belakang kepala lalu disanggul pada tengkuk, diadem pada kepalanya, dan hidung yang serupa paruh burung elang.[423] Patung potret Kleopatra ketiga yang dinilai asli oleh para ahli kini tersimpan di Museum Arkeologi Cherchell, Aljazair.[401][416][356] Patung potret ini juga tampak mengenakan diadem kerajaan dan memiliki bentuk wajah yang serupa dengan patung-patung kepala Kleopatra di Berlin dan Vatikan, tetapi tatanan rambutnya lebih unik dan mungkin saja sesungguhnya adalah patung potret dari Kleopatra Selene II, putri Kleopatra.[356][424][230][note 44] Patung berbahan batu pualam Paros, yang juga diduga sebagai patung Kleopatra, tampak mengenakan hiasan kepala burung nazar khas Mesir, dan kini tersimpan di Museum Kapitolin.[425] Patung yang ditemukan di dekat sebuah sanggar pemujaan dewi Isis di Roma ini diperkirakan berasal dari abad ke-1 SM, dan mungkin saja merupakan hasil karya seni Romawi maupun Mesir-Helenistik.[426]
Salah satu karya seni pahat lain yang mungkin saja menggambarkan sosok Kleopatra adalah patung berbahan batu gamping yang kini tersimpan di British Museum, London. Meskipun demikian, boleh jadi patung ini hanyalah penggambaran sosok seorang perempuan yang ikut serta dalam rombongan lawatan Kleopatra ke Roma.[1][416] Bentuk wajah patung potret ini mirip dengan patung-patung potret lain yang diduga sebagai patung potret Kleopatra (termasuk bentuk hidung mancung mirip paruh burung elang), tetapi tanpa diadem kerajaan dan memiliki tatanan rambut yang berbeda.[1][416] Meskipun demikian, patung kepala di British Museum, yang pernah menjadi bagian dari sebuah arca utuh ini, mungkin saja merupakan penggambaran sosok Kleopatra pada umur yang berbeda, dan mungkin pula merupakan usaha Kleopatra untuk menghindari pemakaian tanda-tanda kebesaran kerajaan (yakni diadem) demi terlihat lebih akrab di mata warga Roma yang negaranya berbentuk republik.[416] Duane W. Roller menduga bahwa patung kepala di British Museum, berikut patung-patung kepala yang tersimpan di Museum Mesir, Kairo, di Museum Kapitolin, dan di antara koleksi pribadi Maurice Nahmen (1868–1948), sekalipun memiliki bentuk wajah dan tatanan rambut yang serupa dengan patung potret di Berlin tetapi tanpa diadem kerajaan, mungkin sekali menggambarkan sosok para anggota majelis istana kerajaan, bahkan mungkin pula menggambarkan sosok perempuan-perempuan Romawi yang meniru-niru tatanan rambut populer Kleopatra.[427]
-
Kleopatra, pertengahan abad ke-1 SM, dengan tatanan rambut "semangka" dan diadem kerajaan khas Helenistik di kepalanya, kini tersimpan di Museum Vatikan[1][3][428]
-
Kleopatra Vatikan, tampak samping
-
Kleopatra, pertengahan abad ke-1 SM, menampilkan Kleopatra dengan tatanan rambut "semangka" dan diadem kerajaan khas Helenistik di kepalanya, kini tersimpan di Museum Altes[1][3][428]
-
Kleopatra Berlin, tampak samping
Lukisan
Di dalam Rumah Markus Fabius Rufus di situs arkeologi kota Pompeii, Italia, terdapat sebuah lukisan dinding dari pertengahan abad ke-1 SM yang menampilkan sosok dewi Venus sedang menggendong Kupido di antara sepasang daun pintu kuil berukuran raksasa. Mungkin sekali lukisan ini adalah penggambaran sosok Kleopatra sebagai perwujudan Bunda Venus bersama putranya, Kaisarion.[404][429] Agaknya waktu pemesanan pembuatan lukisan ini bertepatan dengan waktu pendirian kuil Bunda Venus di alun-alun Kaisar pada bulan September 46 SM, yakni tempat ditegakkannya sebuah arca bersepuh emas, yang menggambarkan sosok Kleopatra, atas perintah Yulius Kaisar.[404][429] Agaknya arca bersepuh emas inilah yang dijadikan patokan dalam pembuatan karya-karya seni pahat maupun seni lukis yang menggambarkan dirinya, misalnya lukisan Venus dan Kupido yang ditemukan di situs kota Pompeii.[404][430] Dalam lukisan ini, sosok Venus tampak mengenakan diadem kerajaan di kepalanya, dan wajahnya terlihat sangat mirip dengan wajah patung dada Kleopatra Vatikan. Pada pipi kiri patung Kleopatra Vatikan ditemukan gurat-gurat yang diduga sebagai bekas tatahan untuk melepaskan sebelah lengan patung Kupido yang dahulu menempel pada pipi patung Kleopatra.[404][431][421][note 66] Pintu masuk ke bilik tempat lukisan ini ditemukan telah ditutupi dengan tembok oleh pemilik rumah. Tindakan penutupan bilik ini mungkin disebabkan oleh kekhawatiran pemilik rumah selepas Kaisarion dieksekusi mati atas perintah Oktavianus pada tahun 30 SM, manakala tindakan memajang gambar-gambar putra Kleopatra secara terang-terangan dapat menuai antipati dari rezim Romawi yang baru.[404][432] Di balik diadem kencana bertatahkan sebutir batu permata merah tampak sehelai kerudung terawang dengan lekuk-lekuk yang menyiratkan bahwa rambut di bawah kerudung itu telah ditata sedemikian rupa agar menyerupai alur-alur pada kulit buah semangka, yakni tatanan rambut kesukaan Kleopatra.[431][note 67] Kulitnya yang seputih gading, wajahnya yang bundar, hidung akuilinnya yang panjang, dan matanya yang bundar lagi besar merupakan bentuk-bentuk umum dalam penggambaran sosok dewa-dewi Romawi maupun sesembahan wangsa Ptolemaios.[431] Roller menegaskan bahwa "hampir tak diragukan lagi lukisan ini adalah lukisan Kleopatra dan Kaisarion di sela daun-daun pintu kuil Venus di alun-alun Yulius (bahasa Latin: Forum Iulium, nama lain dari alun-alun Kaisar), dan dengan demikian merupakan satu-satunya lukisan Kleopatra dari masa hidupnya yang masih ada sekarang ini."[404]
Ada pula sebuah lukisan lain dari situs kota Pompeii yang diduga sebagai lukisan Kleopatra dan Kaisarion. Lukisan ini terdapat di bangunan bersejarah yang disebut Casa di Giuseppe II, dan diperkirakan berasal dari permulaan abad pertama tarikh Masehi. Baik Kleopatra maupun Kaisarion tampak mengenakan diadem kerajaan, sementara Kleopatra tampak tengah berbaring sambil menenggak racun untuk bunuh diri.[298][436][note 68] Awalnya lukisan ini diduga menggambarkan sosok Sofonisba, bangsawati Kartago yang bunuh diri dengan cara menenggak racun atas permintaan kekasihnya, Masinisa, Raja Numidia, menjelang akhir Perang Punika II (218–201 SM).[298] Alasan-alasan yang memperkuat dugaan bahwa lukisan ini menggambarkan Kleopatra adalah kenyataan bahwa keluarga Kleopatra menjalin hubungan yang erat dengan kerabat kerajaan Numidia, Masinisa berkawan baik dengan Ptolemaios VIII, dan anak perempuan Kleopatra sendiri menikah dengan pangeran Numidia yang bernama Yuba II.[298] Kisah Sofonisba sendiri sudah lekang dari ingatan orang ketika lukisan ini dibuat, sementara peristiwa bunuh diri Kleopatra jauh lebih terkenal.[298] Tidak ada ular beludak dalam lukisan ini, tetapi banyak orang Romawi beranggapan bahwa ia memang mati karena racun tetapi bukan dengan cara digigit ular beludak.[437] Pintu berdaun ganda pada latar belakang, yang ditempatkan jauh lebih tinggi dari sosok-sosok dalam lukisan, mengingatkan orang pada denah rancangan makam Kleopatra di Aleksandria.[298] Seorang pelayan laki-laki tampak memegang tiruan mulut buaya Mesir (mungkin pegangan sebuah baki berukir), sementara seorang laki-laki lain yang berdiri di sebelahnya tampak berpakaian selayaknya seorang Romawi.[298]
Pada tahun 1818, sebuah lukisan enkaustik (lukisan berbahan lelehan malam atau damar) yang kini sudah hilang, ditemukan di kuil Serapis, dalam lingkungan Vila Hadrianus, di dekat Tivoli, Lazio, Italia. Dalam lukisan ini, Kleopatra tampak sedang melakukan bunuh diri dengan cara membiarkan dadanya yang terbuka dipatuk seekor ular beludak.[433] Uji kimiawi terhadap lukisan ini pada tahun 1822 menunjukkan bahwa medium lukisan terdiri atas sepertiga malam dan dua pertiga damar.[433] Ketebalan lukisan pada bagian dada telanjang Kleopatra maupun bagian tubuh yang terbungkus pakaian dilaporkan sama dengan lukisan-lukisan potret mumi Fayum.[438] Sebuah gambar gravir baja yang diterbitkan oleh John Sartain pada tahun 1885 berusaha mereka ulang lukisan enkaustik ini sesuai dengan penggambarannya yang termaktub dalam laporan arkeologi, yakni menampilkan Kleopatra dalam balutan pakaian dan perhiasan buatan Mesir, khas penghujung Zaman Helenistik,[439] serta mahkota seri (mahkota menyerupai pancaran sinar matahari) raja-raja wangsa Ptolemaios, sebagaimana yang tampak dalam gambar-gambar diri mereka pada uang-uang logam keluaran masa pemerintahannya masing-masing.[435] Setelah Kleopatra bunuh diri, Oktavianus memerintahkan orang membuat lukisan ini, lalu mengaraknya sebagai ganti Kleopatra dalam pawai kemenangannya di Roma.[438][332][308] Lukisan potret pascamati Kleopatra ini mungkin ikut terbawa bersama sejumlah besar karya seni dan harta benda yang diboyong dari Roma oleh Kaisar Hadrianus untuk menghias vila pribadinya, yakni tempat lukisan ini ditemukan di dalam sebuah kuil Mesir.[433][note 69]
Sebuah lukisan panel Romawi dari situs kota Herculaneum, Italia, yang diperkirakan berasal dari abad pertama tarikh Masehi, juga diduga sebagai lukisan Kleopatra.[54][440] Dalam lukisan ini, Kleopatra tampak mengenakan diadem kerajaan, dan mengenakan anting-anting dengan bandul berbentuk bola. Rambutnya yang berwarna merah atau merah kecokelat-cokelatan disanggul pada tengkuk[note 70] dan dihiasi cocok-cocok sanggul bertatah mutiara,[441] sementara warna kulit wajah dan lehernya yang putih tampak semakin menonjol karena warna latar belakang lukisan yang hitam kelam.[54] Rambut dan bentuk wajahnya serupa dengan rambut dan bentuk wajah patung potret Berlin dan patung potret Vatikan maupun gambar pada kepingan-kepingan uang logam keluaran masa pemerintahannya.[54] Sebuah lukisan perempuan sedada dengan ikat kepala biru tampak sangat mirip dengan lukisan panel Herculaneum. Lukisan yang terdapat di Rumah Kebun Buah (di situs kota Pompeii) ini menampilkan corak-corak khas seni lukis Mesir, misalnya sfinks berlanggam Yunani, dan mungkin saja dihasilkan oleh seniman yang membuat lukisan panel dari Herculaneum.[54]
Jambangan Portland
Jambangan Portland adalah sebuah jambangan kaca berukir buatan Romawi yang diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Kaisar Agustus, dan kini tersimpan di British Museum. Sebagian ukiran pada jambangan ini ditafsirkan sebagai penggambaran sosok Kleopatra dan Markus Antonius.[442][443] Menurut tafsiran ini, separuh ukiran menampilkan sosok Kleopatra sedang memegang lengan Markus Antonius dan menariknya agar mendekat. Seekor ular beludak (aspis) terlihat muncul dari sela paha Kleopatra, dewa cinta Eros melayang-layang di atas kepalanya, dan Anton, tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal marga Antonius (bahasa Latin: Gens Antonia), tampak cemas melihat keturunannya, Markus Antonius, sedang melangkah menuju kebinasaan.[442] Separuh ukiran lagi diduga menampilkan sosok Oktavia yang ditelantarkan oleh suaminya, Markus Antonius, tetapi diperhatikan oleh adiknya, Kaisar Agustus.[442] Jika tafsiran ini benar, maka Jambangan Portland tentunya dibuat tidak lebih awal dari tahun 35 SM, yakni tahun ketika Markus Antonius memulangkan istrinya, Oktavia, ke Italia, lalu hidup bersama dengan Kleopatra di Aleksandria.[442]
Seni rupa asli Mesir
Patung dada Kleopatra di Museum Kerajaan Ontario adalah sebuah patung dada Kleopatra berlanggam Mesir.[444] Patung yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-1 SM ini mungkin adalah karya seni pahat pertama yang menampilkan sosok Kleopatra sebagai seorang dewi sekaligus Firaun Mesir.[444] Mata patung juga tampak menonjol, mirip dengan mata arca-arca tiruan Romawi dari arca-arca buatan Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[445] Dinding luar kuil Hathor, dalam gugus bangunan kuil Dendera yang terletak di dekat Dendera, Mesir, dihiasi relief-relief khas Mesir yang menggambarkan sosok Kleopatra bersama putranya yang masih belia, Kaisarion, dalam wujud orang dewasa sekaligus seorang firaun, tampak sedang menghaturkan sesaji kepada para dewa.[446][447] Setelah Kleopatra mangkat, Kaisar Agustus memerintahkan agar namanya dipahatkan pada relief ini.[446][448]
Sebuah arca basal hitam besar setinggi 41 inci (1,04 m) buatan Kerajaan Wangsa Ptolemaios, yang kini tersimpan di Museum Pertapaan, Sankt-Peterburg, diduga menggambarkan sosok Arsinoe II, permaisuri Ptolemaios II, tetapi hasil analisis mutakhir menunjukkan bahwa arca ini mungkin menggambarkan sosok Kleopatra, karena tutup kepalanya dihiasi tiga buah ouraios, lebih banyak dibanding dua buah ouraios yang pernah dikenakan Arsione II sebagai lambang kedaulatannya atas wilayah Mesir Hulu dan Mesir Hilir.[402][398][395] Arca basal ini juga tampak menggenggam kornukopia (dikeras) bercabang dua, sama seperti yang tampak pada kepingan-kepingan uang logam bergambar wajah Arsinoe II maupun Kleopatra.[402][395] Dalam karya tulisnya yang berjudul Kleopatra und die Caesaren (2006), Bernard Andreae menyimpulkan bahwa, sama seperti potret-potret Kleopatra lainnya yang sengaja dibagus-baguskan, arca basal ini tidak menampilkan bentuk wajah yang sesungguhnya, dan oleh karena itu tidak menyingkap banyak hal mengenai rupa asli Kleopatra.[449][note 71] Adrian Goldsworthy mengemukakan dalam tulisannya bahwa sekalipun karya-karya seni rupa ini menggambarkannya dalam dandanan khas Mesir, Kleopatra tentu hanya akan berdandan ala pribumi "dalam rangka menghadiri upacara-upacara tertentu" saja, dan sehari-hari justru berdandan selayaknya seorang kepala monarki Yunani, termasuk mengenakan ikat kepala khas Yunani, sebagaimana yang tampak pada patung-patung dada Yunani-Romawi yang menggambarkan dirinya.[450]
Dalam gambaran Abad Pertengahan dan Awal Zaman Modern
Reputasi Kleopatra sebagai salah satu ikon budaya populer pada Zaman Modern[371] terbentuk berkat penggambaran dirinya dalam pertunjukan-pertunjukan teater semenjak Abad Renaisans, maupun dalam lukisan-lukisan dan film-film.[452] Penggambaran-penggambaran ini sering kali melebihi kenyataan mengenai Kleopatra yang termaktub dalam karya-karya tulis historiografi Abad Kuno, dan jauh lebih mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai Kleopatra ketimbang keterangan dari karya-karya tulis Abad Kuno itu sendiri.[453] Geoffrey Chaucer, penyair Inggris pada abad ke-14, dalam The Legend of Good Women (Riwayat Perempuan-Perempuan Budiman), menghadirkan sosok Kleopatra dalam konteks Dunia Kristen Abad Pertengahan.[454] Sosok Kleopatra yang memadu kasih asmara nan luhur dengan Markus Antonius, kesatria perkasa pujaan hatinya, sebagaimana yang digambarkan oleh Geoffrey Chaucer, telah ditafsirkan pada Zaman Modern sebagai olok-olok belaka atau sindiran penuh prasangka buruk terhadap kaum perempuan.[454] Meskipun demikian, Geoffrey Chaucer menonjolkan kedekatan khusus yang hanya pernah terjalin antara Kleopatra dan dua orang pria saja sebagai tanda bahwa Kleopatra bukanlah seorang perempuan penggoda, dan menyusun karya tulisnya itu dengan salah satu maksud untuk menafikan citra negatif Kleopatra dalam De Mulieribus Claris (Perihal Perempuan-Perempuan Terkemuka) dan De Casibus Virorum Illustrium (Perihal Nasib Lelaki-Lelaki Ternama), dua kumpulan riwayat tokoh-tokoh masyhur dalam bahasa Latin, karya Giovanni Boccaccio, penyair Italia pada abad ke-14.[455][388] Bernardino Cacciante, tokoh humanis Abad Renaisans, dengan karya tulisnya yang terbit pada tahun 1504, Libretto apologetico delle donne (Risalah Pembelaan Kaum Perempuan), adalah orang Italia pertama yang membela reputasi Kleopatra dan mencela kesan menghakimi serta prasangka buruk terhadap kaum perempuan yang terkandung dalam karya-karya tulis Giovanni Boccaccio.[456] Karya-karya tulis historiografi Islam, yang disusun dalam bahasa Arab, mengulas tentang masa pemerintahan Kleopatra, misalnya Padang Emas karya Al-Mas'udi dari abad ke-10, meskipun karya tulis ini secara keliru meriwayatkan bahwa Oktavianus mangkat tak lama sesudah Kleopatra bunuh diri.[457]
Sosok Kleopatra ditampilkan dalam miniatur naskah-naskah beriluminasi, misalnya miniatur karya Maestro Boucicaut pada tahun 1409 yang menggambarkan jenazah Kleopatra dan Markus Antonius terbujur dalam peti mati batu khas Gothik.[387] Di bidang seni rupa, penggambaran sosok Kleopatra dalam wujud arca perempuan yang hendak bunuh diri dalam keadaan tanpa busana mula-mula dilakukan oleh pematung-pematung abad ke-16, Bartolommeo Bandinelli dan Alessandro Vittoria.[458] Gambar-gambar cetak perdana yang menampilkan sosok Kleopatra meliputi gambar-gambar rancangan seniman-seniman Abad Renaisans, Raffaello Sanzio dan Michelangelo Buonarroti, demikian pula gambar-gambar cukil kayu abad ke-15 dalam terbitan karya-karya tulis Giovanni Boccaccio yang disertai ilustrasi.[459]
Di bidang seni pertunjukan, kemangkatan Ratu Elizabeth I di Inggris pada tahun 1603, dan penerbitan surat-surat yang konon ditulis oleh Kleopatra di Jerman pada tahun 1606, mengilhami Samuel Daniel untuk mengubah dan menerbitkan kembali pada tahun 1607, naskah sandiwara Cleopatra yang ia tulis pada tahun 1594 .[460] Penerbitan naskah karya Samuel Daniel ini disusul oleh penerbitan naskah sandiwara Antonius dan Cleopatra karya William Shakespeare, yang mula-mula dipentaskan pada tahun 1608. Sandiwara Antonius dan Cleopatra menciptakan kesan yang agak tidak senonoh mengenai pribadi Kleopatra, bertolak belakang dengan citra Ratu Elizabeth.[461] Sosok Kleopatra juga ditampilkan dalam opera-opera, misalnya opera Giulio Cesare in Egitto (Yulius Kaisar di Mesir) gubahan George Frideric Handel pada tahun 1724, yang mengisahkan hubungan asmara antara Yulius Kaisar dan Kleopatra.[462]
Gambaran Zaman Modern
Pada Era Victoria di Inggris, Kleopatra sering kali dikait-kaitkan dengan berbagai aspek budaya Mesir Kuno, dan gambar dirinya dimanfaatkan dalam usaha pemasaran berbagai barang keperluan sehari-hari semisal lampu minyak, gambar-gambar litografi, kartu pos, dan rokok.[463] Novel-novel fiksi seperti Cleopatra (1889) karya H. Rider Haggard dan Une nuit de Cléopâtre (1838) karya Théophile Gautier menggambarkan Ratu Mesir ini sebagai seorang perempuan asal Dunia Timur yang menggairahkan dan terkesan mistis, sementara novel Cleopatra (1894) karya egiptolog Georg Ebers lebih berpatokan pada data sejarah.[463][464] Para penulis sandiwara, Victorien Sardou asal Prancis dan George Bernard Shaw asal Belgia, mengarang sandiwara-sandiwara mengenai Kleopatra, sementara pertunjukan-pertunjukan burlesque seperti Antony and Cleopatra karya F. C. Burnand menghadirkan gambaran satire dari sosok Kleopatra, karena pertunjukan-pertunjukan jenaka ini menghubung-hubungkan pribadi dan lingkungan tempat tinggalnya dengan suasana Zaman Modern.[465] Sandiwara Antonius dan Cleopatra karya William Shakespeare dianggap sebagai bentuk yang baku pada era Victoria.[466] Sedemikian populernya sandiwara ini sampai-sampai muncul anggapan bahwa lukisan tahun 1885 karya Lawrence Alma-Tadema menggambarkan pertemuan Antonius dan Kleopatra di atas tongkang pesiarnya di Tarsos, meskipun Lawrence Alma-Tadema menyingkap dalam sepucuk surat pribadi bahwa lukisan ini sesungguhnya menggambarkan perjumpaan mereka yang berikutnya di Aleksandria.[467] Dalam cerita pendek berjudul Malam-Malam di Mesir yang ia tulis pada tahun 1825 tetapi tak kunjung ia rampungkan itu, Alexander Pushkin mempopulerkan pernyataan sejarawan Romawi abad ke-4, Sekstus Aurelius Viktor, yang sebelumnya nyaris tak dihiraukan orang, bahwasanya Kleopatra melacurkan diri kepada para lelaki yang bersedia membayar dengan nyawa.[468][469] Kleopatra juga dikagumi orang di luar Dunia Barat dan Timur Tengah, karena Yan Fu (1854–1921), cendekiawan Tiongkok pada zaman wangsa Qing, menyusun sebuah biografi yang panjang mengenai dirinya.[470]
Robbing Cleopatra's Tomb (bahasa Prancis: Cléopâtre) arahan sutradara Georges Méliès, sebuah film bisu produksi Prancis bergenre horor keluaran tahun 1899, adalah film pertama yang menampilkan peran karakter Kleopatra.[471] Film-film Hollywood dari abad ke-20 dipengaruhi oleh media era Victoria, yang turut membentuk perwatakan Kleopatra yang diperankan oleh Theda Bara dalam film Cleopatra (1917), Claudette Colbert dalam film Cleopatra (1934), dan Elizabeth Taylor dalam film Cleopatra (1963).[472] Selain perannya sebagai seorang ratu "vampir", peran Theda Bara sebagai Kleopatra juga diisi dengan kesan-kesan yang lazim ditampilkan dalam lukisan orientalis abad ke-19, semisal perilaku despotis, dicampur dengan seksualitas perempuan yang terbuka dan mengandung bahaya.[473] Watak Kleopatra yang diperankan oleh Claudette Colbert dijadikan model glamor dalam penjualan barang-barang bertema Mesir di toko-toko serba ada pada era 1930-an, yang menyasar kaum perempuan penggemar film.[474] Pada tahap persiapan pembuatan film tentang Kleopatra yang dibintangi oleh Elizabeth Taylor, majalah-majalah wanita yang terbit pada awal era 1960-an mengiklankan cara-cara pemakaian kosmetik, busana, perhiasan, dan tatanan rambut agar mendapatkan penampilan khas "Mesir" yang serupa dengan penampilan Ratu Kleopatra dan Ratu Nefertiti.[475] Pada akhir abad ke-20, tak hanya terdapat empat puluh tiga film terpisah yang berkaitan dengan Kleopatra, tetapi juga sekitar dua ratus sandiwara dan novel, empat puluh lima opera, dan lima balet.[476]
Karya tulis
Meskipun mitos-mitos seputar Kleopatra tak kunjung lekang di media populer, banyak sekali segi penting dari perjalanan kariernya yang tidak umum diketahui orang, misalnya saja kepemimpinannya selaku laksamana armada tempur, tindakan-tindakan administratif yang pernah ia lakukan, dan karya-karya tulisnya di bidang ilmu pengobatan Yunani Kuno.[372] Hanya penggalan-penggalan dari keseluruhan isi naskah saja yang masih tersisa dari karya-karya tulis di bidang ilmu pengobatan dan perawatan kecantikan yang dinisbahkan kepada Kleopatra, semisal yang dilestarikan oleh Klaudios Galenos, yakni resep ramuan-ramuan untuk mengobati gangguan kesehatan rambut, kebotakan, dan ketombe, serta sedaftar takaran dan ukuran yang diperlukan untuk meramu obat-obatan.[477][20][478] Aetios dari Amida menisbahkan sebuah resep ramuan sabun wangi kepada Kleopatra, sementara Paulos dari Aigina melestarikan petunjuk-petunjuk pewarnaan dan pengeritingan rambut yang konon berasal dari Kleopatra.[477] Meskipun demikian, penisbahan beberapa karya tulis tertentu kepada Kleopatra diragukan ketepatannya oleh Ingrid D. Rowland, yang mengemukakan bahwa "Berenike yang disebut Kleopatra", pujangga yang dikutip karyanya oleh Metrodora, tabib perempuan Romawi abad ke-3 atau ke-4, agaknya telah keliru ditafsirkan oleh para cendekiawan Abad Pertengahan sebagai orang yang sama dengan Kleopatra.[479]
Silsilah
Kleopatra adalah putri wangsa Ptolemaios asal Yunani Makedonia,[9][480][481][note 72] Darah Eropa wangsa ini berasal dari kawasan utara Yunani.[482] Ditilik dari silsilah ayahnya, Ptolemaios XII Auletes, Kleopatra adalah keturunan dari dua orang pengawal utama Aleksander Agung, Raja Makedonia, yakni Senapati Ptolemaios I Soter, pendiri Kerajaan Wangsa Ptolemaios di tanah Mesir, dan Seleukos I Nikator, tokoh Yunani Makedonia yang mendirikan Kekaisaran Wangsa Seleukos di Asia Barat.[9][483][484][note 73] Meskipun garis nasab ayahnya dapat ditelusuri, jati diri ibu Kleopatra justru tidak diketahui.[485][486][487][note 74] Kleopatra mungkin saja adalah putri kandung Kleopatra VI Trifaina (dikenal pula sebagai Kleopatra V Trifaina),[note 3] yakni adik sepupu[488] atau adik kandung sekaligus permaisuri Ptolemaios XII.[14][486][489][note 75]
Kleopatra I Sira adalah satu-satunya kerabat wangsa Ptolemaios yang dapat dipastikan mewarisi darah selain Yunani dari beberapa orang leluhurnya, karena ia adalah keturunan dari Apama, perempuan asal Persia Sogdiana yang dipersunting Seleukos I Nikator menjadi permaisurinya.[490][491][note 76] Pada umumnya diyakini bahwa para anggota wangsa Ptolemaios tidak kawin-mawin dengan pribumi Mesir.[38][492][note 77] Michael Grant mengemukakan bahwa hanya ada satu orang perempuan Mesir yang diketahui menjadi gundik salah seorang Ptolemaios, dan tidak ada perempuan Mesir yang diketahui pernah diperistri oleh seorang Ptolemaios. Oleh karena itu Michael Grant berkesimpulan bahwa mungkin sekali tak setetes pun darah Mesir mengalir di dalam nadi Kleopatra, sehingga "sudah sepatutnya ia menyebut dirinya orang Yunani."[490][note 78] Stacy Schiff mengemukakan dalam tulisannya bahwa Kleopatra adalah anak jati Yunani Makedonia dengan sedikit campuran darah Persia, mengingat putra-putra wangsa Ptolemaios sangat jarang mengambil perempuan Mesir menjadi gundik.[493][note 79] Duane W. Roller menduga bahwa Kleopatra adalah putri kandung seorang perempuan berdarah campuran, separuh Yunani Makedonia dan separuh Mesir, yang berasal dari keluarga besar imam-imam dewa Ptah (hipotesis ini tidak diterima secara umum dalam kajian ilmiah mengenai Kleopatra),[note 80] tetapi mengemukakan pula bahwa sekalipun berdarah campuran, Kleopatra lebih membangga-banggakan darah Yunani yang diwarisinya selaku putri wangsa Ptolemaios.[494][note 81]
Pernyataan-pernyataan bahwa Kleopatra adalah seorang anak luar nikah tidak pernah muncul dalam propaganda Romawi yang bertujuan menjelek-jelekan dirinya.[495][496][note 82] Strabo adalah satu-satunya sejarawan Abad Kuno yang berpendapat bahwa anak-anak Ptolemaios XII yang lahir sesudah Berenike IV, termasuk Kleopatra, adalah anak-anak luar nikah.[495][496][497] Kleopatra V (atau Kleopatra VI) tersingkir dari lingkungan istana Ptolemaios XII pada penghujung tahun 69 SM, beberapa bulan sesudah Kleopatra lahir, sementara tiga anak Ptolemaios XII yang paling kecil lahir ketika permaisurinya tidak lagi berada di istana.[39] Tingginya angka perkawinan sekerabat di kalangan wangsa Ptolemaios tampak jelas dalam penjabaran silsilah Kleopatra di bawah ini.[note 83] Bagan silsilah di bawah ini juga menunjukkan bahwa Kleopatra V, permaisuri Ptolemaios XII, adalah putri pasangan Ptolemaios X Aleksandros I dan Berenike III, sehingga terhitung masih bersepupu dengan suaminya. Akan tetapi Kleopatra V juga mungkin saja adalah putri Ptolemaios IX Latiros, dan dengan demikian adalah adik kandung atau adik seayah dari suaminya.[488] Kesimpangsiuran keterangan dalam sumber-sumber primer dari Abad Kuno juga telah membuat para ahli menomori nama permaisuri Ptolemaios XII ini menjadi Kleopatra V maupun Kleopatra VI. Mungkin pula Kleopatra VI sesungguhnya adalah putri Ptolemaios XII, sehingga sejumlah ahli menyimpulkan bahwa Kleopatra V sudah wafat pada tahun 69 SM, bukannya kembali ke istana dan naik takhta bersama-sama Berenike IV pada tahun 58 SM (ketika Ptolemaios XII hidup dalam pembuangan di Roma).[498][53]
Lihat pula
- Amanirena, Ratu Negeri Kusy di masa hidup Kleopatra yang berperang melawan bangsa Romawi di Mesir dan Nubia (sekarang Sudan)
- Jarum-jarum Kleopatra, tiga buah obelisk Mesir Kuno di tiga tempat yang berbeda (London, Kota New York, Paris). Nama ketiga obelisk ini berasal dari nama Kleopatra meskipun tidak memiliki kaitan apa-apa dengannya
Keterangan
- ^ Validasi lebih lanjut mengenai "Kleopatra Berlin" dapat dibaca dalam Polo 2013, hlm. 184–186, Roller 2010, hlm. 54, 174–175, Jones 2006, hlm. 33, dan Hölbl 2001, hlm. 234.
- ^ a b c d Berdasarkan perhitungan tarikh menurut data historis, Theodore Cressy Skeat mengemukakan dalam Skeat 1953, hlm. 98–100 bahwa Kleopatra mangkat pada tanggal 12 Agustus 30 SM. Burstein 2004, hlm. 31 mengajukan tarikh yang sama dengan hasil perhitungan Theodore Skeat, sementara Dodson & Hilton 2004, hlm. 277 mendukung tarikh ini dengan berpendapat bahwa Kleopatra mangkat sekitar tarikh tersebut. Sumber-sumber yang menyatakan bahwa Kleopatra mangkat pada tanggal 10 Agustus 30 SM adalah Roller 2010, hlm. 147–148, Fletcher 2008, hlm. 3, dan Anderson 2003, hlm. 56.
- ^ a b c Grant 1972, hlm. 3–4, 17, Fletcher 2008, hlm. 69, 74, 76, Jones 2006, hlm. xiii, Preston 2009, hlm. 22, Schiff 2011, hlm. 28 dan Burstein 2004, hlm. 11 memberi sebutan Kleopatra V Trifaina bagi permaisuri Ptolemaios XII Auletes, sementara Dodson & Hilton 2004, hlm. 268–269, 273 dan Roller 2010, hlm. 18 memberinya sebutan Kleopatra VI Trifaina, sebagai akibat dari kesimpangsiuran keterangan dalam sumber-sumber primer mengenai dua tokoh perempuan ini, yang mungkin saja adalah satu orang yang sama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Whitehorne 1994, hlm. 182, Kleopatra VI mungkin adalah salah seorang putri Ptolemaios XII yang disebut-sebut namanya pada tahun 58 SM sebagai penguasa Mesir bersama-sama dengan adiknya, Berenike IV (sewaktu Ptolemaios XII tinggal dalam pembuangan di Roma), sementara permaisuri Ptolemaios XII, Kleopatra V, mungkin wafat seawal-awalnya pada musim dingin tahun 69–68 SM, manakala namanya mulai hilang dari catatan-catatan sejarah. Roller 2010, hlm. 18–19 menduga bahwa permaisuri Ptolemaios XII, yang ia beri sebutan Kleopatra VI, hanya sekadar menghilang dari lingkungan istana selama satu dasawarsa setelah diusir dengan alasan yang tidak diketahui, dan akhirnya kembali untuk memerintah bersama-sama dengan putrinya, Berenike IV. Fletcher 2008, hlm. 76 menerangkan bahwa warga Aleksandria memakzulkan Ptolemaios XII dan menobatkan "putri paling besarnya, Berenike IV, dan sebagai penguasa pendamping, Kleopatra V Trifaina dipanggil pulang dari pembuangan setelah 10 tahun lamanya tersingkir dari lingkungan istana. Meskipun para sejarawan yang terkemudian menduga bahwa tentu ada putri-putri lain dari Ptolemaios XII Auletes sehingga menomorinya sebagai 'Kleopatra VI', tampaknya ia hanyalah Kleopatra V yang kembali ke lingkungan istana untuk untuk bertakhta menggantikan saudara sekaligus mantan suaminya, Ptolemaios XII Auletes."
- ^ Putra Kleopatra, Kaisarion, memang masih mewarisi gelarnya sebagai firaun, tetapi tidak lagi memiliki kewenangan memerintah.
- ^ a b c Penolakan para penguasa dari wangsa Ptolemaios untuk bertutur dalam bahasa asli Mesir, yakni bahasa Mesir Akhir, adalah penyebab digunakannya bahasa Yunani Kuno (bahasa Yunani Koine) bersama-sama dengan bahasa Mesir Akhir dalam dokumen-dokumen resmi kerajaan semisal Batu Rosetta ("Programa Radio 4 – Sejarah Dunia dalam 100 Benda, Para Pendiri Kekaisaran (300 SM – 1 M), Batu Rosetta". BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-23. Diakses tanggal 2010-06-07.).Sebagaimana yang dijelaskan oleh Burstein 2004, hlm. 43–54, Aleksandria pada zaman wangsa Ptolemaios dianggap sebagai sebuah polis (negara kota) yang terpisah dari negeri Mesir, dengan kewarganegaraan yang dikhususkan bagi orang-orang Yunani dan Makedonia Kuno, tetapi juga menampung bermacam-macam suku bangsa lain, teristimewa orang Yahudi, juga orang Mesir, orang Suriah, dan orang Nubia.Validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 3.Macam-macam bahasa yang dikuasai Kleopatra dapat dibaca dalam Roller 2010, hlm. 46–48 dan Burstein 2004, hlm. 11–12.Validasi lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi wangsa Ptolemaios dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 3.
- ^ a b Grant 1972, hlm. 5–6 mengemukakan bahwa Zaman Helenistik, yang bermula pada masa pemerintahan Aleksander Agung (336–323 SM), berakhir dengan kemangkatan Kleopatra pada tahun 30 SM. Michael Grant menegaskan bahwa bangsa Romawi menganggap bangsa Yunani Helenistik telah mengalami kemerosotan dan kehilangan kebesaran yang diwarisinya dari Zaman Yunani Klasik. Anggapan ini masih tetap lestari, bahkan muncul dalam karya-karya tulis historiografi modern. Sehubungan dengan Mesir Helenistik, Grant berpendapat bahwa "Kleopatra VII, dengan mengambil hikmah dari segala tindakan para leluhurnya kala itu, agaknya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Namun ia dan orang-orang sezamannya pada abad pertama SM dihadapkan pada permasalahan tersendiri yang berbeda dari permasalahan yang pernah dihadapi oleh para leluhurnya. Andaikata 'Zaman Helenistik' (yang sering kali kita anggap berakhir sekitar masa hidupnya) masih tetap bertahan, akankah ada zaman kejayaan Yunani jenis apa saja yang tetap bertahan, manakala bangsa Romawi sudah menjadi kekuatan yang dominan? Inilah pertanyaan yang senantiasa membebani pikiran Kleopatra. Namun sudah barang tentu ia sama sekali tidak menganggap bahwa zaman kebesaran Yunani sudah berakhir, dan berniat untuk berusaha semampunya untuk memastikan kelestariannya."
- ^ Tyldesley 2017 menerjemahkan gelar Kleopatra VII Tea Filopator menjadi "Kleopatra, Dewi Penyayang Ayahanda".
- ^ Penjelasan menyeluruh mengenai pendirian Aleksandria oleh Aleksander Agung, dan sifatnya yang sangat khas Yunani Helenistik pada zaman wangsa Ptolemaios, bersama sebuah hasil survei mengenai bermacam-macam suku bangsa yang mendiaminya, dapat dibaca dalam Burstein 2004, hlm. 43–61.Validasi lebih lanjut mengenai pendirian Aleksandria oleh Aleksander Agung dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 6.
- ^ Keterangan lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 20, 256, catatan kaki 42.
- ^ Daftar bahasa yang dikuasai Kleopatra sebagaimana diriwayatkan oleh sejarawan Abad Kuno, Ploutarkos, dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 33–34, sumber ini juga menyebutkan bahwa para penguasa Mesir dari wangsa Ptolemaios lambat laun tidak lagi menggunakan bahasa Makedonia Kuno.
- ^ Grant 1972, hlm. 3 berpendapat bahwa Kleopatra lahir pada akhir tahun 70 SM atau awal tahun 69 SM.
- ^ Keterangan yang simpang siur dalam karya-karya tulis ilmiah mebuat sebagian orang beranggapan bahwa Kleopatra VI adalah putri Ptolemaios XII, sementara ada pula yang beranggapan bahwa Kleopatra VI adalah permaisuri Ptolemaios XII, atau tokoh yang sama dengan Kleopatra V, Jones 2006, hlm. 28 berpendapat bahwa Ptolemaios XII menurunkan enam orang anak, sementara menurut Roller 2010, hlm. 16, hanya lima orang anak.
- ^ Keterangan dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 12–13. Pada tahun 1972, Michael Grant memperhitungkan bahwa 6.000 talenta, yakni jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Ptolemaios XII demi mendapatkan gelar "kawan dan mitra rakyat Romawi" dari dua orang triwira, Pompeyus dan Yulius Kaisar, kira-kira setara nilainya dengan £7 juta atau 17 juta dolar Amerika Serikat, kurang lebih sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan pajak Kerajaan Wangsa Ptolemaios selama setahun.
- ^ Fletcher 2008, hlm. 87 menjelaskan lebih lanjut mengenai lukisan dari Herculaneum ini sebagai berikut: "Rambut Kleopatra ditata oleh penata rambutnya yang piawai, Eiras. Meskipun seperangkat rambut palsu yang tampak kaku dan terdiri atas tiga bagian gaya rambut lurus yang panjang wajib ia kenakan bilamana tampil di hadapan rakyat Mesir, tatanan rambutnya sehari-hari adalah 'tatanan rambut semangka' yang lebih praktis dan tidak aneh-aneh, yaitu rambut asli diuraikan ke arah tengkuk sedemikian rupa sehingga menyerupai corak jalur-jalur pada kulit buah semangka kemudian digelung pada tengkuk. Tatanan rambut yang menjadi ciri khas Arsinoe II dan Berenike II ini sudah tidak lazim lagi dipakai selama hampir dua abad sampai akhirnya dihidupkan kembali oleh Kleopatra; tetapi selaku orang yang berpaham tradisional sekaligus seorang inovator, ia memakai tatanan rambut ini tanpa berkerudung kain halus sebagaimana para pendahulunya. Dan jika kedua pendahulunya itu berambut pirang seperti Aleksander Agung, maka Kleopatra mungkin malah berambut sebagaimana yang tampak pada lukisan potret seorang perempuan mengenakan diadem kerajaan dikelilingi corak-corak hias khas Mesir yang telah teridentifikasi sebagai sebagai potret Kleopatra."
- ^ Informasi mengenai latar belakang politik dari tindakan aneksasi Romawi atas Siprus, yakni tindakan yang didasarkan atas keputusan Senat Romawi atas usulan Publius Klodius Pulker, dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 13–14.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 15–16.
- ^ Fletcher 2008, hlm. 76–77 nyaris tidak meragukan keterangan ini: "Auletes, yang dimakzulkan pada akhir musim panas tahun 58 SM dan mengkhawatirkan keselamatan nyawanya itu, melarikan diri meninggalkan istana dan kerajaannya, meskipun tidak seorang diri saja. Karena salah satu sumber Yunani mengungkapkan bahwa ia ditemani oleh 'salah seorang dari antara putri-putrinya', dan karena putri tertuanya, Berenike IV, sedang memerintah selaku kepala monarki, dan putri terkecilnya, Arisone, masih bayi, maka pada umumnya diduga bahwa yang menemaninya adalah putri tengah sekaligus anak kesayangannya, Kleopatra, yang baru berumur sebelas tahun."
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 16.
- ^ Informasi lebih lanjut mengenai Gayus Rabirius Postumus, si cukong Romawi, dan mengenai Pasukan Gabiniani yang ditempatkan Aulus Gabinianus di Mesir, dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 18–19.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 18.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca di Grant 1972, hlm. 19–20, 27–29.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 28–30.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 88–92 dan Jones 2006, hlm. 31, 34–35.Fletcher 2008, hlm. 85–86 berpendapat bahwa peristiwa gerhana matahari sebagian, yang terjadi pada tanggal 7 Maret 51 SM, bertepatan dengan kemangkatan Ptolemaios XII sekaligus penobatan Kleopatra. Kemangkatan Ptolemaios XII sengaja dirahasiakan oleh Kleopatra, dan baru diberitahukan kepada Senat Republik Romawi berbulan-bulan kemudian dalam sebuah pesan yang mereka terima pada tanggal 30 Juni 51 SM.Meskipun demikian, Grant 1972, hlm. 30 mengklaim bahwa Senat sudah diberitahu perihal kemangkatan Ptolemaios XII pada tanggal 1 Agustus 51 SM. Michael Grant menduga Ptolemaios XII mungkin saja masih hidup selambat-lambatnya sampai dengan bulan Mei, sementara sebuah sumber Mesir mengungkapkan bahwa ia masih memerintah bersama Kleopatra pada tanggal 15 Juli 51 SM, meskipun mungkin sekali pada tanggal tersebut Kleopatra sesungguhnya "menutup-nutupi perihal kemangkatan ayahnya" agar ia dapat mengukuhkan kekuasaannya atas Mesir.
- ^ Pfrommer & Towne-Markus 2001, hlm. 34 mengulas tentang perkawinan sedarah antara Ptolemaios II dan Arsinoe II sebagai berikut: "Ptolemaios Keraunos, yang berhasrat menjadi Raja Makedonia ... menewaskan anak-anak Arsinoë yang masih kecil di depan mata ibu mereka. Sang Permaisuri yang telah kehilangan kerajaan itu melarikan diri ke tanah Mesir, disongsong oleh saudara kandungnya, Ptolemaios II. Namun karena tidak puas hanya tinggal sebagai tamu di istana wangsa Ptolemaios, ia membuat permaisuri Ptolemaios II dihukum buang ke Mesir Hulu dan menikahi adik kandungnya itu sekitar tahun 275 SM. Meskipun dianggap sebagai perbuatan keji oleh bangsa Yunani, kawin sumbang semacam ini dibenarkan oleh adat-istiadat bangsa Mesir. Akibatnya, masyarakat terpecah menjadi dua kubu mengikuti pandangan mereka terhadap perkawinan ini. Kubu yang mendukung menyanjung-nyanjung pasangan ini sebagai pengejawantahan perkawinan kahyangan antara dewa Zeus dan dewi Hera, sementara kubu yang menentang tak henti-hentinya menghujani mereka dengan berbagai celaan kasar. Salah seorang pencela yang paling sarkastis, yakni seorang penyair yang pandai merangkai kata-kata yang tajam menusuk, terpaksa melarikan diri dari Aleksandria demi menyelamatkan nyawanya. Penyair malang itu akhirnya dibekuk oleh bala tentara laut Kerajaan Wangsa Ptolemaios di perairan lepas pantai Pulau Kreta, dikurung dalam sebuah sangkar besi, lantas ditenggelamkan. Tindakan ini serta tindakan-tindakan serupa agaknya mampu meredakan hujan celaan."
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 92–93.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 96–97 dan Jones 2006, hlm. 39.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 39–41.
- ^ a b Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 98 dan Jones 2006, hlm. 39–43, 53–55.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 98–100 dan Jones 2006, hlm. 53–55.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Burstein 2004, hlm. 18 dan Fletcher 2008, hlm. 101–103.
- ^ a b Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 113.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 118.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Burstein 2004, hlm. 76.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Burstein 2004, hlm. xxi, 19 dan Fletcher 2008, hlm. 118–120.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 119–120.Terkait peristiwa pengepungan Aleksandria, Burstein 2004, hlm. 19 berpendapat bahwa bala bantuan Yulius Kaisar tiba pada bulan Januari, tetapi Roller 2010, hlm. 63 berpendapat bahwa bala bantuan ini datang pada bulan Maret.
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Anderson 2003, hlm. 39 dan Fletcher 2008, hlm. 120.
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 121 dan Jones 2006, hlm. xiv.Roller 2010, hlm. 64–65 berpendapat bahwa ketika itu (tahun 47 SM) Ptolemaios XIV berumur 12 tahun, sementara Burstein 2004, hlm. 19 berpendapat bahwa Ptolemaios XIV baru berumur 10 tahun.
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Anderson 2003, hlm. 39 dan Fletcher 2008, hlm. 154, 161–162.
- ^ Roller 2010, hlm. 70 menulis tentang hubungan anak-beranak antara Yulius Kaisar dan Kaisarion sebagai berikut: "Perihal hubungan anak-beranak antara Yulius Kaisar dan Kaisarion ini menjadi berbelit-belit dalam perang propaganda antara Markus Antonius dan Oktavianus pada penghujung era 30-an SM–kubu yang satu merasa perlu membuktikan bahwa Yulius Kaisar adalah ayah kandung Kaisarion, sementara kubu yang lain merasa perlu untuk menyangkalinya–sehingga tanggapan Yulius Kaisar sendiri mengenai hal ini menjadi mustahil untuk dipastikan sekarang ini. Informasi yang sintas nyaris bertentangan: konon Yulis Kaisar menyangkal dalam surat wasiatnya tetapi diam-diam mengakui Kaisarion sebagai putranya, dan mengizinkan pemakaian nama Kaisarion. Sahabat Yulius Kaisar, Gayus Opius, bahkan menulis sebuah risalah yang membuktikan bahwa Kaisarion bukanlah putra Yulius Kaisar, dan Gayus Helvius Sina–penyair yang dibunuh oleh para perusuh yang dibangkitkan amarahnya oleh pidato Markus Antonius dalam upacara pemakaman Yulius Kaisar–pada tahun 44 SM menyiapkan rancangan undang-undang yang mengizinkan Yulius Kaisar mengambil istri sebanyak yang dikehendakinya demi menghasilkan keturunan. Meskipun sebagian besar pembahasan mengenai hal ini baru muncul sepeninggal Yulius Kaisar, tampaknya ia sendiri berkeinginan sedapat mungkin menutup-nutupi kelahiran Kaisarion tetapi tidak dapat berbuat apa-apa ketika Kleopatra berulang kali menggembar-gemborkannya."
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. xiv, 78.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 214–215.
- ^ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Burstein 2004, hlm. 23, Kleopatra menampilkan dirinya sebagai Isis, dewi bangsa Mesir, dalam wujud Afroditi dewi bangsa Yunani, yang sedang menjumpai Osiris, pasangan dewatanya, dalam wujud Dionisos, dewa bangsa Yunani, yakni dewa yang dikait-kaitkan dengan Markus Antonius oleh pendeta-pendeta kuil Artemis di Efesus sebelum pertemuannya dengan Kleopatra. Sejumlah kepingan uang logam yang sintas dari masa pemerintahan Kleopatra juga memuat gambaran dirinya sebagai Venus-Afroditi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fletcher 2008, hlm. 205.
- ^ Informasi lebih lanjut perihal Publius Ventidius Basus dan kemenangannya atas bala tentara Partia dalam Pertempuran Gunung Gindaros dapat dibaca dalam Kennedy 1996, hlm. 80–81.
- ^ a b c Ferroukhi 2001a, hlm. 219 memuat pembahasan terperinci mengenai patung dada ini berikut ambiguitasnya, dengan mengungkapkan bahwa patung ini mungkin menampilkan sosok Kleopatra, tetapi lebih mungkin menampilkan sosok putrinya, Kleopatra Selene II. Kleiner 2005, hlm. 155–156 berpendapat bahwa patung ini adalah patung Kleopatra, bukan putrinya, sementara Varner 2004, hlm. 20 hanya menyebutkan bahwa rupa patung ini mungkin saja mirip dengan Kleopatra. Roller 2003, hlm. 139 mencermati bahwa patung ini dapat saja merupakan patung potret Kleopatra maupun Kleopatra Selene II, dan berpendapat bahwa ambiguitas yang sama juga berlaku untuk patung kepala lainnya dari Cherchel yang tampak mengenakan kerudung. Sehubungan dengan patung kepala yang berkerudung ini, Ferroukhi 2001b, hlm. 242 menilai bahwa mungkin saja patung ini adalah patung potret Kleopatra, bukan Kleopatra Selene II, yang berasal dari permulaan abad pertama tarikh Masehi, dan juga berpendapat bahwa bentuk wajahnya yang kelaki-lakian, anting-antingnya, dan toga (kerudung merupakan bagian dari toga) yang dikenakannya menunjukkan bahwa patung ini dibuat dengan maksud menampilkan sosok seorang bangsawati Numidia. Fletcher 2008, gambar-gambar antara hlm. 246 sampai hlm. 247 tidak sependapat sehubungan dengan patung kepala berkerudung, dan berpendapat bahwa patung ini dibuat atas perintah Kleopatra Selene II di kota Yol (Caesarea Mauretaniae) sebagai potret ibunya, Kleopatra.
- ^ Menurut Roller 2010, hlm. 91–92, raja-raja gundal yang diangkat oleh Markus Antonius adalah Herodes (Raja Yudea), Amintas (Raja Galatia), Polemon (Raja Pontos), dan Arkelaos (Raja Kapadokia).
- ^ Bringmann 2007, hlm. 301 mengemukakan bahwa Oktavia Minor mengerahkan 1.200 orang prajurit untuk membantu Markus Antonius, bukan 2.000 orang prajurit sebagaimanya yang disebutkan dalam Roller 2010, hlm. 97–98 dan Burstein 2004, hlm. 27–28
- ^ Roller 2010, hlm. 100 mengemukakan bahwa tidaklah jelas diketahui apakah Markus Antonius dan Kleopatra benar-benar pernah menikah. Burstein 2004, hlm. 29 mengemukakan bahwa pernikahan ini memeteraikan persekutuan Markus Antonius dan Kleopatra disaksikan oleh khalayak ramai, dan sebagai bentuk penentangannya terhadap Oktavianus, Markus Antonius menceraikan Oktavia pada tahun 32 SM. Uang logam yang dikeluarkan oleh Markus Antonius dan Kleopatra menampilkan gambar keduanya sebagaimana lazimnya pasangan kerajaan Helenistik, seperti yang dijelaskan oleh Roller 2010, hlm. 100.
- ^ Jones 2006, hlm. xiv mengemukakan bahwa "Oktavianus melancarkan perang propaganda terhadap Markus Antonius dan Kleopatra, dengan menonjol-nonjolkan status Kleopatra sebagai perempuan dan orang asing yang ingin ikut memanfaatkan kekuasaan Romawi."
- ^ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Jones 2006, hlm. 147, "secara politik, posisi Oktavianus sangatlah genting jika ingin berseteru secara terang-terangan dengan Markus Antonius. Ia berhati-hati untuk tidak menimbulkan kesan ingin mengorbankan perang saudara, karena masyarakat Romawi sudah cukup sengsara akibat perang saudara selama bertahun-tahun, sehingga bisa-bisa Oktavianus kehilangan dukungan jika nekat memaklumkan perang terhadap seorang rekan senegara."
- ^ Dalam terjemahan catatan Ploutarkos maupun Kasius Dio, Jones 2006, hlm. 194–195 menulis bahwa alat khusus yang dipakai untuk mencocok kulit Cleopatra adalah sebatang cocok sanggul.
- ^ Menurut Roller 2010, hlm. 149 dan Skeat 1953, hlm. 99–100, masa pemerintahan singkat Kaisarion sebagai penguasa nominal itu berlangsung selama 18 hari pada bulan Agustus 30 SM. Namun Duane W. Roller, mengulangi pendapat Theodore Cressy Skeat, menegaskan bahwa masa pemerintahan Kaisarion "pada dasarnya hanyalah kisah khayal belaka yang dikarang oleh para penulis tawarikh Mesir untuk mengisi senjang waktu antara kematian Kleopatra dan bermulanya pemerintahan resmi bangsa Romawi atas Mesir (dengan Oktavianus sebagai firaunnya yang baru)," dengan mengutip risalah-risalah semisal Stromata yang ditulis oleh Klemens dari Aleksandria (Roller 2010, hlm. 149, 214, footnote 103).Sebagaimana yang diterjemahkan oleh Jones 2006, hlm. 187, Ploutarkos hanya meriwayatkan secara samar-samar bahwa "di kemudian hari, Oktavianus memerintahkan orang untuk membunuh Kaisarion, sesudah Kleopatra mangkat."
- ^ Sebagaimana yang diterjemahkan oleh Jones 2006, hlm. 187, Ploutarkos meriwayatkan bahwa Areios Didimos berkata "terlalu banyak kaisar itu tidak baik". Agaknya ucapan inilah yang mendorong Oktavianus untuk memerintahkan agar Kaisarion dieksekusi mati.
- ^ Berbeda dari provinsi Romawi yang lain, Oktavianus menjadikan Mesir sebagai wilayah yang dikuasainya secara pribadi. Senat Romawi dilarang mencampuri urusan pemerintahan Mesir, dan Oktavianus sendiri yang memilih orang-orang dari kalangan Eques (kaum kesatria) yang dianggapnya tepat untuk menduduki jabatan wali negeri (bahasa Latin: praefectus, kepala pemerintahan). Orang pertama yang diangkat Oktavianus menjadi Wali Negeri Mesir adalah Kornelius Galus. Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Southern 2014, hlm. 185 dan Roller 2010, hlm. 151.
- ^ Walker 2001, hlm. 312 mengulas tentang relief timbul pada pinggan perak bersepuh emas ini dalam tulisannya sebagai berikut: "Sebentuk bulan sabit bersepuh emas tampak menonjol di atas tumpukan isi kornukopia, bertengger di puncak sebutir buah pinus. Di sekelilingnya menyembul buah-buah delima yang sudah terkupas dan tandan-tandan buah anggur. Pada tanduk kemakmuran ini terukir gambar Helios (Sang Surya), dalam wujud seorang pemuda bermantel pendek, dengan tatanan rambut khas Aleksander Agung, dan berkas-berkas cahaya memancar mengelilingi kepalanya... Lambang-lambang pada kornukopia ini sesungguhnya dapat ditafsirkan merujuk mengacu pada wangsa raja-raja Ptolemaios, khususnya pada Kleopatra Selene, yang dilambangkan dengan bulan sabit, dan pada saudara kembarnya, Aleksandros Helio, yang tidak diketahui lagi kabar beritanya sesudah Mesir ditaklukkan. Relief ular beludak agaknya masih berkaitan dengan relief harimau kumbang dan lambang-lambang kesuburan yang tampak di sana-sini, alih-alih melambangkan peristiwa bunuh diri Kleopatra VII. Lembaran kulit kepala gajah dapat mengacu pada status Kleopatra Selene selaku penguasa Mauretania bersama Yuba II. Kemiripan rupanya dengan arca kepala bertudung dari Cherchell menguatkan dugaan bahwa sosok perempuan dalam relief timbul ini adalah Kleopatra Selene, dan banyak di antara lambang-lambang yang tampak pada pinggan ini juga tampak pada kepingan-kepingan uang logam yang dikeluarkan oleh Yuba II."
- ^ Jones 2006, hlm. 60 memaparkan perkiraannya bahwa pengarang De Bello Alexandrino, karya tulis berbahasa Latin dalam bentuk prosa yang disusun pada kurun waktu antara tahun 46 sampai tahun 43 SM, adalah Aulus Hirtius, perwira militer bawahan Yulius Kaisar.
- ^ Burstein 2004, hlm. 30 menulis bahwasanya Verjilius, dalam wiracarita Aeneis gubahannya, menggambarkan perlawanan terhadap Kleopatra dalam Pertempuran Aktion "sebagai suatu benturan peradaban di mana Oktavianus dan dewa-dewi Romawi berusaha melindungi Italia dari usaha penaklukan yang dilakukan oleh Kleopatra dan dewa-dewi barbar berkepala binatang dari Mesir."
- ^ Informasi lebih lanjut dan kutipan-kutipan dari keterangan Stabo mengenai Kleopatra dalam karya tulisnya, Geografika, dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 28–30.
- ^ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Chauveau 2000, hlm. 2–3, materi-materi sumber dari Mesir yang diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Kleopatra mencakup sekitar 50 lembar dokumen papirus yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sebagian besar berasal dari kota Herakleopolis, dan hanya beberapa lembar saja yang berasal dari Al-Fayyum, ditulis dengan menggunakan aksara rakyat Mesir. Secara keseluruhan, dokumen-dokumen papirus ini adalah kumpulan peninggalan tertulis asli Mesir yang jauh lebih kecil dibanding kumpulan-kumpulan sejenis yang berasal dari masa pemerintahan raja-raja wangsa Ptolemaios lainnya.
- ^ Gambaran mengenai sosok Kleopatra dari Plutarkos, yang mengemukakan bahwa kecantikan Kleopatra tidaklah "sungguh-sungguh tiada bandingannya" tetapi ia memiliki kepribadian yang mampu membuat orang lain "terpesona" dan "tergugah", dapat dibaca dalam Jones 2006, hlm. 32–33.
- ^ Fletcher 2008, hlm. 205 mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut: "Kleopatra adalah satu-satunya putri wangsa Ptolemaios yang menerbitkan uang logam dengan menampilkan gambar diri sendiri, beberapa di antaranya menampilkan gambar dirinya sebagai Venus-Afroditi. Yulius Kaisar pun kemudian meniru tindakannya itu dan, dengan langkah yang sama nekatnya, menjadi orang Romawi pertama yang menampilkan gambar diri pada uang logam selagi masih hidup, tetapi menampilkan gambar profilnya disertai tulisan 'Parens Patriae', 'Bapak Tanah Air'."
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Raia & Sebesta 2017.
- ^ Kalangan akademik berbeda pendapat mengenai apakah patung-patung potret ini sepatutnya disebut "patung kepala" ataukah "patung dada". Sebagai contoh, Raia & Sebesta 2017 secara ekslusif menggunakan istilah "patung kepala", sementara Grout 2017b lebih suka menggunakan istilah "patung dada".
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Curtius 1933, hlm. 182–192, Walker 2008, hlm. 348, Raia & Sebesta 2017, dan Grout 2017b.
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grout 2017b dan Roller 2010, hlm. 174–175.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Curtius 1933, hlm. 182–192, Walker 2008, hlm. 348, dan Raia & Sebesta 2017.
- ^ Dugaan bahwa pipi kiri Kleopatra Vatikan pernah tersambung dengan tangan Kupido sebelum akhirnya dipisahkan pertama kali dikemukakan oleh Ludwig Curtius pada tahun 1933. Diana E. E. Kleiner mendukung dugaan ini. Baca Kleiner 2005, hlm. 153, Walker 2008, hlm. 40, dan Curtius 1933, hlm. 182–192. Jika Kleiner 2005, hlm. 153 menduga bahwa tonjolan bahwa tonjolan pada puncak patung kepala pualam ini adalah bekas pahatan uraeus yang sudah patah, maka Curtius 1933, hlm. 187 menduganya sebagai bekas pahatan sebutir batu permata.
- ^ Curtius 1933, hlm. 187 mengemukakan dalam tulisannya bahwa tonjolan rusak pada garis rambut dan diadem pada patung Kleopatra Vatikan agaknya pernah dihiasi pahatan menyerupai sebutir batu permata. Walker 2008, hlm. 40 langsung membandingkannya dengan lukisan permata merah pada diadem dewi Venus, yang mungkin sekali adalah lukisan Kleopatra, dalam fresko kota Pompeii.
- ^ Informasi lebih lanjut mengenai lukisan di Casa di Giuseppe II di situs kota Pompeii, dan kemungkinan Kleopatra dikenali sebagai salah satu sosok dalam lukisan ini, dapat dibaca dalam Pucci 2011, hlm. 206–207, footnote 27.
- ^ Dalam Pratt & Fizel 1949, hlm. 14–15, Frances Pratt dan Becca Fizel menolak gagasan yang dikemukakan oleh beberapa cendekiawan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 bahwasanya lukisan ini mungkin dibuat oleh seorang seniman Italia pada Abad Renaisans. Pratt dan Fizel menggarisbawahi langgam klasik lukisan ini sebagaimana yang terabadikan dalam uraian-uraian tertulis dan gambar gravir baja. Keduanya berpendapat bahwa ini agaknya mustahil seorang pelukis Abad Renaisans akan menciptakan sebuah karya seni enkaustik, setelah bersusah payah meneliti seluk-beluk pakaian dan perhiasan Mesir pada Zaman Helenistik sebagaimana yang tampak dalam lukisan ini, kemudian dengan sengaja menguburnya di bawah reruntuhan kuil Mesir di Vila Hadrianus.
- ^ Menurut Walker & Higgs 2001, hlm. 314–315, rambut Kleopatra berwarna cokelat kemerah-merahan, sementara Fletcher 2008, hlm. 87 menggambarkan rambut Kleopatra berwarna merah menyala, Fletcher 2008, gambar-gambar dan judul gambar antara hlm. 246 sampai hlm. 247 pun menggambarkannya sebagai seorang perempuan berambut merah.
- ^ Preston 2009, hlm. 305 juga sampai pada kesimpulan yang sama mengenai tampilan asli Mesir dari karya-karya seni yang menggambarkan sosok Kleopatra: "Selain pahatan-pahatan kuil tertentu, yang bagaimanapun juga dibuat dalam gaya khas firaun yang dibagus-baguskan dan tak banyak menyingkap rupa asli Kleopatra, satu-satunya gambar wajah Kleopatra yang pasti adalah yang terdapat pada kepingan-kepingan uang logam. Patung kepala dari pualam yang tersimpan di Vatikan adalah salah satu dari tiga patung yang pada umumnya, meskipun tidak secara universal, diterima para ahli sebagai gambaran rupa Kleopatra."
- ^ Informasi lebih lanjut tentang garis nasab Yunani Makedonia dari Kleopatra dapat dibaca dalam Pucci 2011, hlm. 201, Grant 1972, hlm. 3–5, dan Royster 2003, hlm. 47–49.
- ^ Informasi dan validasi lebih lanjut perihal pendirian Mesir Helenistik oleh Aleksander Agung, dan perihal garis nasab Kleopatra yang berasal dari Ptolemaios I Soter, dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 7–8 dan Jones 2006, hlm. 3.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Grant 1972, hlm. 3–4 dan Burstein 2004, hlm. 11.
- ^ Informasi lebih lanjut dapat dibaca dalam Fletcher 2008, hlm. 69, 74, 76.
- ^ Perihal garis nasab Sogdiana dari Apama, permaisuri Seleukos I Nikator, dapat dibaca dalam Holt 1989, hlm. 64–65, catatan kaki 63.
- ^ Sebagaimana yang dijelaskan oleh Burstein 2004, hlm. 47–50, suku-suku bangsa utama di Mesir pada zaman wangsa Ptolemaios adalah Mesir, Yunani, dan Yahudi, masing-masing dipisahkan dari yang lain berdasarkan hukum, bermukim di kawasan permukiman tersendiri, dan dilarang melakukan pernikahan beda suku bangsa, di kota-kota multibudaya, yakni Aleksandria, Naukratis, dan Ptolemaida Ermia. Meskipun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Fletcher 2008, hlm. 82, 88–93, jabatan imamat pribumi Mesir berkaitan erat raja-raja pelindungnya dari wangsa Ptolemaios, sampai-sampai Kleopatra diduga memiliki seorang saudara sepupu tiri berkebangsaan Mesir, yakni Pasyerienptah III, Imam Besar Ptah di Memfis, Mesir.
- ^ Grant 1972, hlm. 5 berpendapat bahwa nenek Kleopatra, yakni ibu dari Ptolemaios XII, mungkin seorang perempuan keturunan Suriah (tetapi mengakui pula bahwa "sangat mungkin perempuan ini masih terhitung peranakan Yunani"), tetapi sudah pasti bukan seorang perempuan pribumi Mesir, karena sepanjang sejarah wangsa Ptolemaios hanya ada satu orang perempuan Mesir yang diketahui pernah menjadi gundik dari salah seorang penguasa dari wangsa Ptolemaios.
- ^ Schiff 2011, hlm. 42 lebih jauh lagi berpendapat bahwa, ditilik dari garis nasabnya, Kleopatra tidak berkulit gelap, meskipun mencermati pula bahwa Kleopatra tidak tergolong berkulit cerah di kalangan wangsa Ptolemaios, malah kulitnya sewarna dengan madu. Sebagai buktinya ia mengemukakan bahwa sanak saudara Kleopatra digambarkan memiliki kulit yang sewarna dengan madu sehingga "mungkin pula Kleopatra memiliki kulit dengan warna serupa." Goldsworthy 2010, hlm. 127, 128 setuju dengan pendapat ini, dan berkesimpulan bahwa sebagai seorang perempuan keturunan Makedonia dengan sedikit campuran darah Suriah, mungkin sekali Kleopatra tidak berkulit gelap (karena propaganda Romawi tidak pernah menyebut demikian), dan menulis bahwa "warna kulit yang lebih terang jauh lebih mungkin, menilik garis nasabnya," tetapi juga mencermati bahwa Kleopatra bisa saja memiliki "warna kulit yang agak gelap, khas kawasan Laut Tengah" karena berdarah campuran. Grant 1972, hlm. 5 setuju dengan dugaan Goldsworthy perihal warna kulit Kleopatra, bahwasanya meskipun hampir dapat dipastikan bukan warna kulit khas Mesir, Kleopatra memiliki warna kulit yang agak gelap karena berdarah campuran Yunani dan Persia, serta mungkin juga Suriah. Preston 2009, hlm. 77 setuju dengan pendapat Grant bahwa, ditilik dari garis nasabnya, Kleopatra "nyaris pasti berambut gelap dan berwarna kulit zaitun."
- ^ Informasi lebih lanjut perihal jati diri ibu Kleopatra dapat dibaca dalam Burstein 2004, hlm. 11, Fletcher 2008, hlm. 73, Goldsworthy 2010, hlm. 127, 128, Grant 1972, hlm. 4, dan Roller 2010, hlm. 165-166. Joann Fletcher berpendapat bahwa hipotesis ini meragukan dan kurang bukti. Menurut Stanley M. Burstein, bukti tidak langsung yang kuat menyiratkan bahwa ibu Kleopatra boleh jadi adalah salah seorang anggota keluarga imam dewa Ptah, tetapi para sejarawan pada umumnya berasumsi bahwa ibu Kleopatra adalah Kleopatra V Trifaina, permaisuri Ptolemaios XII. Adrian Goldsworthy menyepelekan gagasan yang mengatakan bahwa ibu Kleopatra adalah anggota keluarga imam Mesir sebagai gagasan yang "murni hasil terkaan" belaka. Michael Grant berpendapat bahwa Kleopatra V mungkin sekali adalah ibu dari Kleopatra VII. Duane W. Roller mencermati bahwa meskipun Kleopatra mungkin saja adalah putri keluarga imam dewa Ptah, tokoh utama lainnya yang juga mungkin merupakan putri keluarga imam dewa Ptah adalah Kleopatra VI, dengan mempertahankan ketidakpastian yang berpangkal pada "tersingkirnya" Kleopatra VI yang "mengaburkan pokok permasalahan."
- ^ Schiff 2011, hlm. 2 sepakat dengan pendapat ini, dan menyimpulkan bahwa Kleopatra "menjunjung tinggi tradisi keluarga." Sebagaimana yang dicermati oleh Dudley 1960, hlm. 57, Kleopatra dan sanak saudaranya adalah "[para] pengganti firaun-firaun pribumi yang, melalui suatu birokrasi yang sangat tertata, mengeksploitasi sedemikian banyaknya sumber-sumber daya alam di Lembah Sungai Nil."
- ^ Grant 1972, hlm. 4 berpendapat bahwa jika benar Kleopatra adalah seorang anak haram, "sekian banyak seterunya di kalangan bangsa Romawi tentunya sudah menyebarluaskan aib ini keseluruh dunia."
- ^ Bagan silsilah dan pembahasan singkat mengenai tokoh-tokoh di dalamnya dapat dibaca dalam Dodson & Hilton 2004, hlm. 268–281. Aidan Dodson dan Dyan Hilton menyebut Kleopatra V sebagai Kleopatra VI dan menyebut Kleopatra Selene dari Suriah sebagai Kleopatra V Selene. Garis titik-titik pada bagan silsilah di bawah ini menunjukkan hubungan anak-beranak yang mungkin sekali benar tetapi masih diperdebatkan.
Rujukan
- ^ a b c d e f g h Raia & Sebesta (2017).
- ^ a b Art Institute of Chicago (2016).
- ^ a b c d e f g h i j Grout (2017b).
- ^ Burstein (2004), hlm. xx–xxiii, 155.
- ^ a b c d Hölbl (2001), hlm. 231.
- ^ Roller (2010), hlm. 1.
- ^ Royster (2003), hlm. 48.
- ^ Muellner ().
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 15–16.
- ^ Roller (2010), hlm. 15–16, 39.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 55–57.
- ^ Burstein (2004), hlm. 15.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 84, 215.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 18.
- ^ Roller (2010), hlm. 32–33.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 1, 3, 11, 129.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 11.
- ^ Roller (2010), hlm. 29–33.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 1, 5, 13–14, 88, 105–106.
- ^ a b c d Burstein (2004), hlm. 11–12.
- ^ Schiff (2011), hlm. 33.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 46–48.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 5, 82, 88, 105–106.
- ^ Roller (2010), hlm. 46–48, 100.
- ^ Roller (2010), hlm. 38–42.
- ^ Burstein (2004), hlm. xviii, 10.
- ^ Grant (1972), hlm. 9–12.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 17.
- ^ a b Grant (1972), hlm. 10–11.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xix.
- ^ Grant (1972), hlm. 11.
- ^ Burstein (2004), hlm. 12.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 74.
- ^ Roller (2010), hlm. 15.
- ^ Jones (2006), hlm. xiii, 28.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 16.
- ^ a b Anderson (2003), hlm. 38.
- ^ a b c Fletcher (2008), hlm. 73.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 18–19.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 68–69.
- ^ Roller (2010), hlm. 19.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 69.
- ^ Roller (2010), hlm. 45–46.
- ^ Roller (2010), hlm. 45.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 81.
- ^ Roller (2010), hlm. 20.
- ^ Burstein (2004), hlm. xix, 12–13.
- ^ Roller (2010), hlm. 20–21.
- ^ Burstein (2004), hlm. xx, 12–13.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 74–76.
- ^ Roller (2010), hlm. 21.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 13.
- ^ a b c Fletcher (2008), hlm. 76.
- ^ a b c d e Walker & Higgs (2001), hlm. 314–315.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 87, gambar-gambar beserta keterangan gambar antara hlmn. 246–247.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 22.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xx, 13, 75.
- ^ Burstein (2004), hlm. 13, 75.
- ^ Grant (1972), hlm. 14–15.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 76–77.
- ^ Roller (2010), hlm. 23.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 77–78.
- ^ Roller (2010), hlm. 23–24.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 78.
- ^ Grant (1972), hlm. 16.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 24.
- ^ Burstein (2004), hlm. xx, 13.
- ^ Grant (1972), hlm. 16–17.
- ^ Burstein (2004), hlm. 13, 76.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 24–25.
- ^ Burstein (2004), hlm. 76.
- ^ Burstein (2004), hlm. 23, 73.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 25.
- ^ a b Grant (1972), hlm. 18.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xx.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 25–26.
- ^ Burstein (2004), hlm. 13–14, 76.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 11–12.
- ^ Burstein (2004), hlm. 13–14.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 11–12, 80.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 26.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 14.
- ^ Roller (2010), hlm. 26–27.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 80, 85.
- ^ Roller (2010), hlm. 27.
- ^ Burstein (2004), hlm. xx, 14.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 84–85.
- ^ Roller (2010), hlm. 53, 56.
- ^ Burstein (2004), hlm. xx, 15–16.
- ^ Roller (2010), hlm. 53–54.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 16–17.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 53.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 54–56.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 16.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 56.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 91–92.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 36–37.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 5.
- ^ a b c Grant (1972), hlm. 26–27.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 56–57.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 73, 92–93.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 92–93.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 57.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. xx, 17.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 58.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 94–95.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 95.
- ^ Roller (2010), hlm. 58–59.
- ^ Burstein (2004), hlm. 17.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 95–96.
- ^ Roller (2010), hlm. 59.
- ^ a b c Fletcher (2008), hlm. 96.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 59–60.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 97–98.
- ^ a b Bringmann (2007), hlm. 259.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxi, 17.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 60.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 98.
- ^ Jones (2006), hlm. 39–43, 53.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 17–18.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 60–61.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 259–260.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxi, 18.
- ^ a b c d e f g Bringmann (2007), hlm. 260.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 61.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 100.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 18.
- ^ Hölbl (2001), hlm. 234–235.
- ^ Jones (2006), hlm. 56–57.
- ^ Hölbl (2001), hlm. 234.
- ^ Jones (2006), hlm. 57–58.
- ^ Roller (2010), hlm. 61–62.
- ^ a b c d Hölbl (2001), hlm. 235.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 112–113.
- ^ Roller (2010), hlm. 26, 62.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 62.
- ^ Burstein (2004), hlm. 18, 76.
- ^ Burstein (2004), hlm. 18–19.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 63.
- ^ Hölbl (2001), hlm. 236.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 118–119.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 76.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 119.
- ^ Roller (2010), hlm. 62–63.
- ^ Hölbl (2001), hlm. 235–236.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 19.
- ^ Roller (2010), hlm. 63–64.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 19, 76.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 64.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 19–21, 76.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 172.
- ^ Roller (2010), hlm. 64, 69.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 19–20.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 120.
- ^ Roller (2010), hlm. 64–65.
- ^ Roller (2010), hlm. 65.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 19–20.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 125.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 65–66.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 126.
- ^ Roller (2010), hlm. 66.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 108, 149–150.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 67.
- ^ Burstein (2004), hlm. 20.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 153.
- ^ Roller (2010), hlm. 69–70.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxi, 20.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 70.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 162–163.
- ^ a b c Jones (2006), hlm. xiv.
- ^ Ashton (2001b), hlm. 164.
- ^ Roller (2010), hlm. 71.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 179–182.
- ^ Roller (2010), hlm. 21, 57, 72.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 20, 64.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 181–182.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 72.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 194–195.
- ^ Roller (2010), hlm. 72, 126.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 21.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 201–202.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 72, 175.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 195–196, 201.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 72–74.
- ^ a b c Fletcher (2008), hlm. 205–206.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 74.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxi, 21.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 207–213.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 213–214.
- ^ Roller (2010), hlm. 74–75.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 22.
- ^ Roller (2010), hlm. 77–79, Gambar 6.
- ^ a b c d e f Roller (2010), hlm. 75.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 21–22.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 22.
- ^ Burstein (2004), hlm. 22–23.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 22–23.
- ^ Roller (2010), hlm. 76.
- ^ Roller (2010), hlm. 76–77.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxi, 23.
- ^ Roller (2010), hlm. 77.
- ^ Roller (2010), hlm. 77–79.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 23.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 79.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxi, 24, 76.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 24.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 24.
- ^ Roller (2010), hlm. 79–80.
- ^ a b c d e Burstein (2004), hlm. 25.
- ^ Roller (2010), hlm. 77–79, 82.
- ^ Bivar (1983), hlm. 58.
- ^ Brosius (2006), hlm. 96.
- ^ Roller (2010), hlm. 81–82.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 82–83.
- ^ a b c d e f Bringmann (2007), hlm. 301.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 83.
- ^ Roller (2010), hlm. 83–84.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 25.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 84.
- ^ Burstein (2004), hlm. 73.
- ^ Roller (2010), hlm. 84–85.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 85.
- ^ Roller (2010), hlm. 85–86.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 25, 73.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 86.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 86–87.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. 26.
- ^ Fletcher (2008), image plates between hlmn. 246–247.
- ^ Ferroukhi (2001b), hlm. 242.
- ^ a b c Roller (2003), hlm. 139.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 89.
- ^ Roller (2010), hlm. 89–90.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 90.
- ^ a b c d e f Burstein (2004), hlm. xxii, 25–26.
- ^ Roller (2010), hlm. 90–91.
- ^ a b c d Burstein (2004), hlm. 77.
- ^ Roller (2010), hlm. 91–92.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 92.
- ^ Roller (2010), hlm. 92–93.
- ^ Roller (2010), hlm. 93–94.
- ^ Roller (2010), hlm. 94, 142.
- ^ Roller (2010), hlm. 94.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 95.
- ^ Burstein (2004), hlm. 26–27.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 94–95.
- ^ Roller (2010), hlm. 95–96.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 96.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 97.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 27.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 27.
- ^ Classical Numismatic Group ().
- ^ Gurval (2011), hlm. 57.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 97–98.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 27–28.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 98.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 99.
- ^ Burstein (2004), hlm. 28.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii, 28.
- ^ Burstein (2004), hlm. 28–29.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 133–134.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 33.
- ^ a b Reece (2017), hlm. 201–202.
- ^ Roller (2010), hlm. 99–100.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 301–302.
- ^ a b c Burstein (2004), hlm. xxii, 29.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 100.
- ^ a b c d e f g Burstein (2004), hlm. 29.
- ^ Roller (2010), hlm. 100–101.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 129–130.
- ^ Roller (2010), hlm. 130.
- ^ Burstein (2004), hlm. 65–66.
- ^ Roller (2010), hlm. 130–131.
- ^ Roller (2010), hlm. 132.
- ^ Roller (2010), hlm. 133.
- ^ a b Bringmann (2007), hlm. 302.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 134.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 302–303.
- ^ a b c d e f g h Bringmann (2007), hlm. 303.
- ^ Burstein (2004), hlm. 29–30.
- ^ a b c d e f g Roller (2010), hlm. 135.
- ^ a b c d e Burstein (2004), hlm. 30.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 136.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxii, 30.
- ^ Jones (2006), hlm. 147.
- ^ Roller (2010), hlm. 136–137.
- ^ Roller (2010), hlm. 137, 139.
- ^ a b c Bringmann (2007), hlm. 303–304.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 137.
- ^ Roller (2010), hlm. 137–138.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 138.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 139.
- ^ Shuckburgh 1917, hlm. 780-784.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 139–140.
- ^ a b c d e f Bringmann (2007), hlm. 304.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 30–31.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 140.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii–xxiii, 30–31.
- ^ a b c d e f g Roller (2010), hlm. 178–179.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxii–xxiii.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 141.
- ^ a b c d e f g h Burstein (2004), hlm. 31.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 141–142.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 142.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 143.
- ^ Roller (2010), hlm. 142–143.
- ^ Roller (2010), hlm. 143–144.
- ^ Roller (2010), hlm. 144.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. xxiii, 31.
- ^ Roller (2010), hlm. 144–145.
- ^ a b c d e f Roller (2010), hlm. 145.
- ^ a b c Southern (2009), hlm. 153.
- ^ Southern (2009), hlm. 153–154.
- ^ Southern (2009), hlm. 154.
- ^ Jones (2006), hlm. 184.
- ^ Southern (2009), hlm. 154–155.
- ^ Jones (2006), hlm. 184–185.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 146.
- ^ Jones (2006), hlm. 185–186.
- ^ a b Southern (2009), hlm. 155.
- ^ Roller (2010), hlm. 146–147, 213, catatan kaki #83.
- ^ Gurval (2011), hlm. 61.
- ^ a b c d Roller (2010), hlm. 147.
- ^ Roller (2010), hlm. 147–148.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 31–32.
- ^ Jones (2006), hlm. 194.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 65.
- ^ a b Jones (2006), hlm. 194–195.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 148–149.
- ^ a b Anderson (2003), hlm. 56.
- ^ Roller (2010), hlm. 148.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 31–32.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 149.
- ^ Burstein (2004), hlm. 32.
- ^ Roller (2010), hlm. 149–150.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 32.
- ^ Skeat (1953), hlm. 99–100.
- ^ Roller (2010), hlm. 150.
- ^ Roller (2010), hlm. 150–151.
- ^ Jones (2006), hlm. 197–198.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 1.
- ^ Grant (1972), hlm. 5–6.
- ^ Bringmann (2007), hlm. 304–307.
- ^ Grant (1972), hlm. 6–7.
- ^ Burstein (2004), hlm. 34.
- ^ Chauveau (2000), hlm. 69–71.
- ^ Roller (2010), hlm. 104, 110–113.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 216–217.
- ^ Burstein (2004), hlm. 33–34.
- ^ Roller (2010), hlm. 103–104.
- ^ Burstein (2004), hlm. 39–41.
- ^ Chauveau (2000), hlm. 78–80.
- ^ Roller (2010), hlm. 104–105.
- ^ Burstein (2004), hlm. 37–38.
- ^ Roller (2010), hlm. 106–107.
- ^ Ferroukhi (2001a), hlm. 219.
- ^ a b c Kleiner (2005), hlm. 155–156.
- ^ Roller (2003), hlm. 141–142.
- ^ Walker (2001), hlm. 312–313.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 153.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 32, 76–77.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 153–154.
- ^ Roller (2010), hlm. 154–155.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 155.
- ^ Burstein (2004), hlm. 32, 77.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 32, 77.
- ^ Roller (2010), hlm. 155–156.
- ^ Burstein (2004), hlm. xxiii, 32, 77–78.
- ^ Roller (2010), hlm. 156.
- ^ Burstein (2004), hlm. 32, 69, 77–78.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 151.
- ^ a b c d Anderson (2003), hlm. 36.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 7.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 7–8.
- ^ Burstein (2004), hlm. 67, 93.
- ^ a b Jones (2006), hlm. 32.
- ^ Roller (2010), hlm. 7–8, 44.
- ^ a b c Roller (2010), hlm. 8.
- ^ a b Gurval (2011), hlm. 57–58.
- ^ a b Lippold (1936), hlm. 169–171.
- ^ a b Curtius (1933), hlm. 184 ff. Abb. 3 Taf. 25—27..
- ^ a b c d e f Roller (2010), hlm. 8–9.
- ^ Burstein (2004), hlm. 93.
- ^ Jones (2006), hlm. 60–62.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 67.
- ^ Gurval (2011), hlm. 66–70.
- ^ Gurval (2011), hlm. 65–66.
- ^ a b Anderson (2003), hlm. 54.
- ^ a b Burstein (2004), hlm. 68.
- ^ Chauveau (2000), hlm. 2–3.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 1–2.
- ^ Roller (2010), hlm. 2.
- ^ Burstein (2004), hlm. 63.
- ^ Roller (2010), hlm. 3.
- ^ Anderson (2003), hlm. 37–38.
- ^ a b c Ashton (2008), hlm. 83–85.
- ^ a b Polo (2013), hlm. 186, 194 footnote10.
- ^ a b c d e f g Sabino & Gross-Diaz (2016).
- ^ a b Roller (2010), hlm. 176.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 195–196.
- ^ Roller (2010), hlm. 72, 151, 175.
- ^ a b Varner (2004), hlm. 20.
- ^ a b c Grout (2017a).
- ^ Polo (2013), hlm. 186, 194 catatan kaki 10.
- ^ a b c d e f g h i j Roller (2010), hlm. 175.
- ^ Ashton (2008), hlm. 83.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 205.
- ^ Meadows & Ashton (2001), hlm. 178.
- ^ Roller (2010), hlm. 182–186.
- ^ Roller (2010), hlm. 107.
- ^ Jones (2006), hlm. 31, 34.
- ^ a b Kleiner (2005), hlm. 144.
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 104.
- ^ Roller (2010), hlm. 18, 182.
- ^ Roller (2010), hlm. 185.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 182.
- ^ a b c d e f g Walker & Higgs (2017).
- ^ a b Fletcher (2008), hlm. 195.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 87.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 174–175.
- ^ a b Polo (2013), hlm. 185–186.
- ^ a b c d Fletcher (2008), hlm. 198–199.
- ^ Kleiner (2005), hlm. 151–153, 155.
- ^ Polo (2013), hlm. 184–186.
- ^ Preston (2009), hlm. 305.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 199–200.
- ^ Ashton (2001a), hlm. 217.
- ^ Roller (2010), hlm. 175–176.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 174-175.
- ^ a b c Walker (2008), hlm. 35, 42–44.
- ^ Walker (2008), hlm. 35, 44.
- ^ a b c Walker (2008), hlm. 40.
- ^ Walker (2008), hlm. 43–44.
- ^ a b c d Pratt & Fizel (1949), hlm. 14–15.
- ^ Plutarch (1920), hlm. 9.
- ^ a b Sartain (1885), hlm. 41, 44.
- ^ Elia (1955), hlm. 3–7.
- ^ Roller (2010), hlm. 148, 178–179.
- ^ a b Pratt & Fizel (1949), hlm. 14.
- ^ Pratt & Fizel (1949), hlm. 15.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 87, gambar-gambar beserta judul gambar dari hlm. 246 sampai hlm. 247.
- ^ Fletcher (2008), gambar-gambar dan judul gambar antara hlm. 246 sampai hlm. 247.
- ^ a b c d e Roller (2010), hlm. 178.
- ^ Walker (2004), hlm. 41–59.
- ^ a b Ashton (2002), hlm. 39.
- ^ Ashton (2002), hlm. 36.
- ^ a b Kleiner (2005), hlm. 87.
- ^ Roller (2010), hlm. 113–114, 176–177.
- ^ Roller (2010), hlm. 113–114.
- ^ Polo (2013), hlm. 194 footnote11.
- ^ Goldsworthy (2010), hlm. 8.
- ^ Anderson (2003), hlm. 11–36.
- ^ Roller (2010), hlm. 6–7.
- ^ Roller (2010), hlm. 6–9.
- ^ a b Gurval (2011), hlm. 73–74.
- ^ Anderson (2003), hlm. 51–54.
- ^ Anderson (2003), hlm. 54–55.
- ^ Jones (2006), hlm. 271–274.
- ^ Anderson (2003), hlm. 60.
- ^ Anderson (2003), hlm. 51, 60–62.
- ^ Rowland (2011), hlm. 232.
- ^ Rowland (2011), hlm. 232–233.
- ^ Woodstra, Brennan & Schrott (2005), hlm. 548.
- ^ a b Wyke & Montserrat (2011), hlm. 173–174.
- ^ Pucci (2011), hlm. 201.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 173–177.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 173.
- ^ DeMaria Smith (2011), hlm. 161.
- ^ Jones (2006), hlm. 260–263.
- ^ Pucci (2011), hlm. 198, 201.
- ^ Hsia (2004), hlm. 227.
- ^ Jones (2006), hlm. 325.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 172–173, 178.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 178–180.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 181–183.
- ^ Wyke & Montserrat (2011), hlm. 172–173.
- ^ Pucci (2011), hlm. 195.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 50–51.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 81–82.
- ^ Rowland (2011), hlm. 141–142.
- ^ Jones (2006), hlm. xiii, 3, 279.
- ^ Burstein (2004), hlm. 3, 34, 36, 43, 63–64.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 1, 23.
- ^ Burstein (2004), hlm. 3, 34, 36, 51.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 23, 37–42.
- ^ Roller (2010), hlm. 15–16, 164–166.
- ^ a b Jones (2006), hlm. xiii.
- ^ Dodson & Hilton (2004), hlm. 273.
- ^ a b Dodson & Hilton (2004), hlm. 268–269, 273.
- ^ Burstein (2004), hlm. 11, 75.
- ^ a b Grant (1972), hlm. 5.
- ^ Fletcher (2008), hlm. 56, 73.
- ^ Burstein (2004), hlm. 69–70.
- ^ Schiff (2011), hlm. 2, 42.
- ^ Roller (2010), hlm. 15, 18, 166.
- ^ a b Grant (1972), hlm. 4.
- ^ a b Roller (2010), hlm. 165.
- ^ Burstein (2004), hlm. 11, 69.
- ^ Whitehorne (1994), hlm. 182.
Sumber
Sumber daring
- Sabino, Rachel; Gross-Diaz, Theresa (2016), Cat. 22 Tetradrachm Portraying Queen Cleopatra VII, Art Institute of Chicago, doi:10.13140/RG.2.2.23475.22560, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-06, diakses tanggal 6 March 2018.
- Radio 4 Programmes – A History of the World in 100 Objects, Empire Builders (300 BC – 1 AD), Rosetta Stone, BBC, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-23, diakses tanggal 7 June 2010.
- Mark Antony and Cleopatra, Classical Numismatic Group, 17 May 2010, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-29, diakses tanggal 25 March 2018.
- Grout, James (1 April 2017a), Basalt Statue of Cleopatra, Encyclopaedia Romana (University of Chicago), diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-13, diakses tanggal 7 March 2018.
- Grout, James (1 April 2017b), Was Cleopatra Beautiful?, Encyclopaedia Romana (University of Chicago), diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-28, diakses tanggal 6 March 2018.
- Muellner, Leonard, A Poetic Etymology of Pietas in the Aeneid, Center for Hellenic Studies, Harvard University, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-09, diakses tanggal 9 April 2018.
- Plutarch (1920), Plutarch's Lives, diterjemahkan oleh Bernadotte Perrin, Cambridge, MA: Harvard University Press (Perseus Digital Library, Tufts University), diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-07, diakses tanggal 8 March 2018.
- Raia, Ann R.; Sebesta, Judith Lynn (September 2017), The World of State, College of New Rochelle, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-06, diakses tanggal 6 March 2018.
- Tyldesley, Joyce (6 December 2017), Cleopatra, Queen of Egypt, Encyclopædia Britannica, diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-30, diakses tanggal 18 May 2018.
- Walker, Susan; Higgs, Peter (2017) [2001], Portrait Head, British Museum, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-06, diakses tanggal 6 March 2018.
- Reece, Steve (2017), "Cleopatra Couldn't Spell (And Neither Can We!)", dalam Groton, Anne Harmar, Ab Omni Parte Beatus: Classical Essays in Honor of James M. May, Mundelein, Illinois: Bolchazy-Carducci Publishers, hlm. 201–220, ISBN 9780865168435, LCCN 2017002236, OCLC 969973660, diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-19, diakses tanggal 2 September 2018.
Sumber cetak
- Anderson, Jaynie (2003), Tiepolo's Cleopatra, Melbourne: Macmillan, ISBN 9781876832445, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Ashton, Sally-Ann (2001a), "194 Marble head of a Ptolemaic queen with vulture headdress", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 217, ISBN 9780691088358.
- Ashton, Sally-Ann (2001b), "163 Limestone head of Cleopatra VII", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 164, ISBN 9780691088358.
- Ashton, Sally-Ann (Spring 2002), "Identifying the ROM's 'Cleopatra'", Rotunda, Toronto: Royal Ontario Museum: 36–39, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Ashton, Sally-Ann (2008), Cleopatra and Egypt, Oxford: Blackwell, ISBN 9781405113908.
- Bivar, A.D.H. (1983), "The Political History of Iran Under the Arsacids", dalam Yarshater, Ehsan, Cambridge History of Iran, Volume 3(1): The Seleucid, Parthian, and Sasanian periods, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 21–99, ISBN 9780521200929.
- Bringmann, Klaus (2007) [2002], A History of the Roman Republic (dalam bahasa English), diterjemahkan oleh W. J. Smyth, Cambridge: Polity Press, ISBN 9780745633718, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-12, diakses tanggal 2018-09-19.
- Brosius, Maria (2006), The Persians: An Introduction, London & New York: Routledge, ISBN 9780415320894.
- Burstein, Stanley M. (2004), The Reign of Cleopatra, Westport, CT: Greenwood Press, ISBN 9780313325274.
- Caygill, Marjorie (2009), Treasures of the British Museum, London: British Museum Press (Trustees of the British Museum), ISBN 9780714150628.
- Chauveau, Michel (2000) [1997], Egypt in the Age of Cleopatra: History and Society Under the Ptolemies (dalam bahasa English), diterjemahkan oleh David Lorton, Ithaca, NY: Cornell University Press, ISBN 9780801485763, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Curtius, Ludwig (1933), "Ikonographische Beitrage zum Portrar der romischen Republik und der Julisch-Claudischen Familie", RM (dalam bahasa German), 48: 182–243, OCLC 633408511.
- DeMaria Smith, Margaret Mary (2011), "HRH Cleopatra: the Last of the Ptolemies and the Egyptian Paintings of Sir Lawrence Alma-Tadema", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 150–171, ISBN 9780520243675.
- Dodson, Aidan; Hilton, Dyan (2004), The Complete Royal Families of Ancient Egypt, London: Thames & Hudson, ISBN 9780500051283.
- Dudley, Donald (1960), The Civilization of Rome, New York: New American Library, ISBN 9781258450540.
- Elia, Olga (1955), "La tradizione della morte di Cleopatra nella pittura pompeiana", Rendiconti dell’Accademia di archeologia, lettere e belle arti (dalam bahasa Italian), 30: 3–7.
- Ferroukhi, Mafoud (2001a), "197 Marble portrait, perhaps of Cleopatra VII's daughter, Cleopatra Selene, Queen of Mauretania", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 219, ISBN 9780691088358.
- Ferroukhi, Mafoud (2001b), "262 Veiled head from a marble portrait statue", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 242, ISBN 9780691088358.
- Fletcher, Joann (2008), Cleopatra the Great: The Woman Behind the Legend, New York: Harper, ISBN 9780060585587.
- Goldsworthy, Adrian Keith (2010), Antony and Cleopatra, New Haven, CT: Yale University Press, ISBN 9780300165340.
- Grant, Michael (1972), Cleopatra, London: Weidenfeld and Nicolson; Richard Clay (the Chaucer Press), ISBN 9780297995029.
- Gurval, Robert A. (2011), "Dying Like a Queen: the Story of Cleopatra and the Asp(s) in Antiquity", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 54–77, ISBN 9780520243675.
- Higgs, Peter (2001), "Searching for Cleopatra's image: classical portraits in stone", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 200–209, ISBN 9780691088358.
- Holt, Frank L. (1989), Alexander the Great and Bactria: the Formation of a Greek Frontier in Central Asia, Leiden: E. J. Brill, ISBN 9789004086128, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Hölbl, Günther (2001) [1994], A History of the Ptolemaic Empire, diterjemahkan oleh Tina Saavedra, London: Routledge, ISBN 9780415201452.
- Hsia, Chih-tsing (2004), C.T. Hsia on Chinese Literature, New York: Columbia University Press, ISBN 9780231129909.
- Jones, Prudence J. (2006), Cleopatra: a sourcebook, Norman, Oklahoma: University of Oklahoma Press, ISBN 9780806137414, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Kennedy, David L. (1996), "Parthia and Rome: eastern perspectives", dalam Kennedy, David L.; Braund, David, The Roman Army in the East, Ann Arbor: Cushing Malloy Inc., Journal of Roman Archaeology: Supplementary Series Number Eighteen, hlm. 67–90, ISBN 9781887829182
- Kleiner, Diana E. E. (2005), Cleopatra and Rome, Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, ISBN 9780674019058, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Lippold, Georg (1936), Die Skulpturen des Vaticanischen Museums (dalam bahasa German), 3, Berlin: Walter de Gruyter & Co., OCLC 803204281, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-17, diakses tanggal 2018-04-14.
- Meadows, Andrew; Ashton, Sally-Ann (2001), "186 Bronze coin of Cleopatra VII", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 178, ISBN 9780691088358.
- Pfrommer, Michael; Towne-Markus, Elana (2001), Greek Gold from Hellenistic Egypt, Getty Museum Studies on Art, Los Angeles: Getty Publications (J. Paul Getty Trust), ISBN 9780892366330, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-22, diakses tanggal 2018-09-19.
- Pina Polo, Francisco (2013), "The Great Seducer: Cleopatra, Queen and Sex Symbol", dalam Knippschild, Silke; García Morcillo, Marta, Seduction and Power: Antiquity in the Visual and Performing Arts, London: Bloomsbury Academic, hlm. 183–197, ISBN 9781441190659, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Pratt, Frances; Fizel, Becca (1949), Encaustic Materials and Methods, New York: Lear Publishers, OCLC 560769, diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-19, diakses tanggal 2018-04-14.
- Preston, Diana (2009), Cleopatra and Antony: Power, Love, and Politics in the Ancient World, New York: Walker and Company, ISBN 9780802717382.
- Pucci, Giuseppe (2011), "Every Man's Cleopatra", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 195–207, ISBN 9780520243675.
- Roller, Duane W. (2003), The World of Juba II and Kleopatra Selene: Royal Scholarship on Rome's African Frontier, New York: Routledge, ISBN 9780415305969.
- Roller, Duane W. (2010), Cleopatra: a biography, Oxford: Oxford University Press, ISBN 9780195365535.
- Rowland, Ingrid D. (2011), "The Amazing Afterlife of Cleopatra's Love Potions", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 132–149, ISBN 9780520243675.
- Royster, Francesca T. (2003), Becoming Cleopatra: The Shifting Image of an Icon, New York: Palgrave MacMillan, ISBN 9781403961099
- Sartain, John (1885), On the Antique Painting in Encaustic of Cleopatra: Discovered in 1818, Philadelphia: George Gebbie & Co., OCLC 3806143.
- Schiff, Stacy (2011), Cleopatra: A Life, UK: Random House, ISBN 9780753539569.
- Skeat, T. C. (1953), "The Last Days of Cleopatra: A Chronological Problem", The Journal of Roman Studies, 43: 98–100, doi:10.2307/297786, JSTOR 297786.
- Southern, Patricia (2014) [1998], Augustus (edisi ke-2nd), London: Routledge, ISBN 9780415628389.
- Southern, Patricia (2009) [2007], Antony and Cleopatra: The Doomed Love Affair That United Ancient Rome and Egypt, Stroud, Gloucestershire: Amberley Publishing, ISBN 9781848683242.
- Varner, Eric R. (2004), Mutilation and Transformation: Damnatio Memoriae and Roman Imperial Portraiture, Leiden: Brill, ISBN 9789004135772.
- Walker, Susan (2004), The Portland Vase, British Museum Objects in Focus, British Museum Press, ISBN 9780714150222, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Walker, Susan (2008), "Cleopatra in Pompeii?", Papers of the British School at Rome, 76: 35–46; 345–8, JSTOR 40311128, diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-10, diakses tanggal 2018-04-14.
- Walker, Susan (2001), "324 Gilded silver dish, decorated with a bust perhaps representing Cleopatra Selene", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 312–313, ISBN 9780691088358.
- Walker, Susan; Higgs, Peter (2001), "325 Painting with a portrait of a woman in profile", dalam Walker, Susan; Higgs, Peter, Cleopatra of Egypt: from History to Myth, Princeton, N.J.: Princeton University Press (British Museum Press), hlm. 314–315, ISBN 9780691088358.
- Whitehorne, John (1994), Cleopatras, London: Routledge, ISBN 9780415058063
- Woodstra, Chris; Brennan, Gerald; Schrott, Allen (2005), All Music Guide to Classical Music: The Definitive Guide to Classical Music, Ann Arbor, MI: All Media Guide (Backbeat Books), ISBN 9780879308650, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22, diakses tanggal 2018-04-14.
- Wyke, Maria; Montserrat, Dominic (2011), "Glamour Girls: Cleomania in Mass Culture", dalam Miles, Margaret M., Cleopatra : a sphinx revisited, Berkeley: University of California Press, hlm. 172–194, ISBN 9780520243675.
- Shuckburgh, Evelyn Shirley (1917). A History of Rome to the Battle of Actium (dalam bahasa Inggris). New York: Macmillan and Company.
Bacaan tambahan
- Bradford, Ernle Dusgate Selby (2000). Cleopatra. Penguin Group. ISBN 9780141390147.
- Flamarion, Edith; Bonfante-Warren, Alexandra (1997). Cleopatra: The Life and Death of a Pharaoh. Harry Abrams. ISBN 9780810928053.
- Foss, Michael (1999). The Search for Cleopatra. Arcade Publishing. ISBN 9781559705035.
- Fraser, P.M. (1985). Ptolemaic Alexandria. 1–3 (edisi ke-reprint). Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198142782.
- Lindsay, Jack (1972). Cleopatra. New York: Coward-McCann. OCLC 671705946.
- Nardo, Don (1994). Cleopatra. Lucent Books. ISBN 9781560060239.
- Pomeroy, Sarah B. (1984). Women in Hellenistic Egypt: from Alexander to Cleopatra. New York: Schocken Books. ISBN 9780805239119.
- Southern, Pat (2000). Cleopatra. Tempus. ISBN 9780752414942.
- Syme, Ronald (1962) [1939]. The Roman Revolution. Oxford University Press. OCLC 404094.
- Volkmann, Hans (1958). Cleopatra: a Study in Politics and Propaganda. T.J. Cadoux, trans. New York: Sagamore Press. OCLC 899077769.
- Weigall, Arthur E. P. Brome (1914). The Life and Times of Cleopatra, Queen of Egypt. Edinburgh: Blackwood. OCLC 316294139.
Pranala luar
Cari tahu mengenai Kleopatra pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |
- Gambaran Romawi Kuno mengenai Kleopatra VII, Ratu Mesir, di YouTube
- Kleopatra di In Our Time di BBC. (listen now)
- Kleopatra (1852), buku bacaan kanak-kanak Zaman Victoria karya Jacob Abbott, edisi Project Gutenberg
- "Kematian Misterius Kleopatra" di Discovery Channel
- Kleopatra VII di BBC History
- Kleopatra VII di Ancient History Encyclopedia
- Eubanks, W. Ralph. (1 November 2010). "Bagaimana Sejarah dan Hollywood Keliru Memahami 'Kleopatra'". National Public Radio (NPR) (sebuah ulasan buku Cleopatra: A Life, karya Stacy Schiff).
- Jarus, Owen (13 Maret 2014). "Kleopatra: Fakta & Biografi". Live Science.
- Watkins, Thayer. "Lini Masa Kehidupan Kleopatra Diarsipkan 2021-08-13 di Wayback Machine.." Universitas Negeri San Jose.
- Draycott, Jane (22 Mei 2018). "Anak Perempuan Kleopatra: Jika Antonius dan Kleopatra terabadikan dalam sejarah dan dalam budaya populer, anak-anak mereka sama sekali dilupakan orang. Anak perempuan mereka, Kleopatra Selene, menjadi seorang penguasa penting atas usaha sendiri." History Today.
Kleopatra Lahir: 69 SM Meninggal: 30 SM
| ||
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Ptolemaios XII |
Ratu Mesir 51–30 SM bersama dengan Ptolemaios XII, Ptolemaios XIII, Ptolemaios XIV, Ptolemaios XV |
Jabatan dihapuskan Mesir dianeksasi Republik Romawi |