Orang Tionghoa-Indonesia
Artikel harus menyertakan terjemahan dari frasa dalam bahasa non-Indonesia yang terkandung didalam artikel ini dengan menggunakan {{lang}}, {{transliteration}} untuk alih-bahasa, dan {{IPA}} untuk transkripsi IPA. Lihat kode ISO 639 untuk bantuan parameter. |
Orang Tionghoa-Indonesia[catatan 1] adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[7] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Jumlah populasi | |
---|---|
3,280,000 (2020)[1]
1.2% dari populasi Indonesia | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Serta populasi diaspora yang besar di: Malaysia[2] Singapura[2] Australia[3][4] Taiwan[5] Belanda Hong Kong Amerika Serikat | |
Bahasa | |
Agama | |
[6]
| |
Kelompok etnik terkait | |
Tionghoa Perantauan |
Pengelompokan
suntingMasyarakat Tionghoa-Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan garis keturunannya[siapa?]:
- Masyarakat Tionghoa-Indonesia keturunan penuh (Mandarin: 印尼華人 / 印尼华人 [Yìnní huárén] atau disebut 華僑 / 华侨 [Huáqiáo]/[Hoakiao] oleh orang Tionghoa Indonesia (endonim))
Merupakan sebuah kelompok masyarakat Tionghoa Warga Negara Indonesia (WNI) yang lahir dan besar di Indonesia, dan tidak ada garis keturunan campuran dengan orang non-Tionghoa-Indonesia dalam silsilahnya, masyarakat ini umumnya bersuku Hokkien, Khek/Hakka, Tiociu, Kanton, dsb.[butuh rujukan]. Mereka dapat dibagi lagi ke dalam kelompok orang Totok (yang masih mengikuti tradisi leluhur, dan bisa berbicara salah satu bahasa Tionghoa; biasanya WNI Tionghoa generasi pertama atau kedua), dan orang babah atau baba, yang sudah berasimilasi dan tidak lagi mengikuti tradisi serta tidak dapat berbicara bahasa Tionghoa.
- Masyarakat Tionghoa-Indonesia keturunan parsial (Mandarin: 印尼華裔 / 印尼华裔 [Yìnní huáyì])
Merupakan sebuah kelompok masyarakat yang memiliki garis keturunan campuran antara suku bangsa di Indonesia dengan suku bangsa di Tiongkok (Han maupun lainnya). Kelompok ini biasanya membentuk komunitas baru yang kemudian membentuk suatu identitas etnis tersendiri, contoh dari etnis yang terbentuk dari kelompok masyarakat ini ialah Suku Peranakan (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), Suku Benteng (di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), dsb.
- Masyarakat Cina yang hidup di Indonesia (Mandarin: 中國人 / 中国人 [Zhōngguó rén] atau disebut 華僑 / 华侨 (Huáqiáo) oleh orang Tiongkok)
Merupakan kelompok masyarakat warga negara Tiongkok yang hidup dan menetap di negara Indonesia. Kelompok ini masuk ke dalam kategori ekspatriat yang biasanya berupa pekerja (dikategorikan sebagai pekerja asing), maupun menikah dengan seorang Warga Negara Indonesia.
Orang WNI Tionghoa-Indonesia dapat tinggal di Indonesia, maupun tinggal di luar negeri, termasuk di Cina (sebagian Tionghoa Indonesia kembali ke Cina karena terpaksa memilih kewarganegaraan, pada era Orde Lama, atau karena sukarela: studi, bekerja, wisata, ataupun menikah), Amerika Utara, Eropa, Asia Tenggara, dan negara-negara lainnya. Di luar Indonesia, identitas mereka (dan orang-orang Indonesia dari suku lainnya) biasanya melebur menjadi "orang Indonesia" saja, atau Warga Negara Indonesia, tanpa embel-embel etnis.
Asal kata
suntingKata Tionghoa (atau Tionghwa) merupakan bahasa Hokkien untuk kata Zhonghua. Dalam bahasa Mandarin terdapat istilah Zhonghua minzu (Hanzi sederhana: 中华民族; Hanzi tradisional: 中華民族) yang berarti "bangsa Tionghoa", yaitu suatu bangsa yang berasal dari negeri Zhongguo (Hanzi sederhana: 中国; Hanzi tradisional: 中國), atau Cina (menurut bahasa Hokkien), atau yang dikenal di Dunia Barat sebagai negeri China.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.[per kapan?][butuh rujukan]
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.[butuh rujukan]
Wilayah pemukiman yang penduduknya mayoritas orang Tionghoa lazim disebut Pecinan (dalam bahasa Inggris konsep yang setara adalah "Chinatown", dan dalam Tionghoa modern disebut 唐人街; pinyin: Tángrén Jiē, alias Jalan Tenglang.[8][9]
Populasi di Indonesia
suntingBerdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]
Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15]
Daerah asal di Cina
suntingRamainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk subgrup (minxi 民系):
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[butuh rujukan]
Daerah konsentrasi
suntingSebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
- Hakka – Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Bengkulu Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat (bagian utara), Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon, dan Jayapura.
- Hainan – Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Hokkien – Sumatera Utara, Riau (Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar, dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, Ambon dan Saumlaki.
- Kantonis – Jakarta, Medan, Makassar, dan Manado.
- Hokchia – Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin, dan Surabaya).
- Tiochiu – Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat bagian selatan (khususnya di Pontianak, dan Ketapang).
Di Tangerang, Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa, Sunda dan Melayu.
Sejarah
suntingMasa-masa awal
suntingOrang dari Cina daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Cina pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Cina.[16]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibu kota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[17] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[18] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[19]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Cina selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Cina, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.[20]
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Era kolonial
suntingPada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[21]
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[22] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[23][24][2] Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pendidikan
suntingKebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
suntingTarget pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
suntingPemerintah kolonial Belanda makin khawatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Tiongkok, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
suntingPada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
suntingOrde Lama
suntingPada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibu kota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Orde Baru
suntingSelama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi
suntingReformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Budaya Tionghoa-Indonesia
suntingBab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Bahasa
suntingEmpat kelompok utama bahasa Tionghoa di Indonesia adalah Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Mandarin, Hakka, dan Kantonis. Selain itu, orang-orang Teochew berbicara dengan bahasa mereka sendiri yang memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan Hokkien. Namun, perbedaan antara keduanya menonjol di luar wilayah asalnya. Ada sekitar 2,2 juta penutur asli dari pelbagai varietas bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur varietas Min Selatan (termasuk Hokkien dan Teochew); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur dari varietas Timur Min (termasuk bahasa Fuzhou). Selain itu, sekitar 20.000 berbicara dengan dialek bahasa Indonesia yang berbeda.
Busana
suntingBaju Koko
suntingBaju koko merupakan baju model Tiongkok yang kerahnya bulat tertutup, modelnya seperti piyama. Biasanya digunakan oleh Muslim Tionghoa. [butuh rujukan]
Cheongsam
suntingCheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam (Hanzi:.. 长衫 / 長衫, 'kemeja panjang / baju'). [25]
Seni Pertunjukan
suntingBarongsai
suntingBarongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, namun ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenian budaya barongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan seni barongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, namun juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[26]
Liang Liong
suntingTari Naga (karakter sederhana: 舞龙; karakter tradisional: 舞龍; pinyin: wǔ lóng) atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén) sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.
Wayang Potehi
suntingWayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong), dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.
Wushu
suntingWushu (武術 atau 武术; Hanzi: wǔshù) secara harafiah berarti "seni bertempur/bela diri". Ini juga merupakan istilah lain dari kungfu yang lebih dahulu populer, yang berarti "ahli" dalam bidang tertentu. Kata Wushu berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri (Martial Art). Wushu juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, pengobatan, beladiri, pernapasan, pikiran dan mental. Semua aliran kung fu atau seni bela diri yang berasal dari China tradisional, baik keras atau lembut dapat disebut Wushu. Wushu keras termasuk tinju selatan Nanquan dan tinju panjang Changquan. Wushu lembut termasuk tinju Taiji, Telapak Baguazhang, dan tinju xingyiquan. Adapun seni beladiri Wushu yang telah dikembangkan oleh orang-orang etnis Tionghoa yang menetap di wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia) sering kali disebut dengan istilah Kuntao.[27]
Festival
suntingFestival Qingming
suntingFestival Qingming 清明節 merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat. Festival ini masih sering dirayakan di Kepulauan Bangka Belitung.
Imlek
suntingImlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama (Tionghoa: 正月; Pinyin: zhēng yuè) di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五暝 元宵節 pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī 除夕 yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.
Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia
suntingKerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946–1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.[28]
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu:
- Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.[29]
- Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember.[30]
- Jakarta, tahun 1967. Koran- koran berbahasa Tionghoa ditutup oleh pemerintah.[30]
- April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti-Tionghoa di Jakarta.[30]
- Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
- Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
- Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.[31]
- Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Tionghoa di setiap barang/ media cetak di Indonesia.[32]
- Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
- Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
- Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[33][34]
- Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[35]
- Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.[36]
- Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Tionghoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
- Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang suku peranakan Tionghoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko Tionghoa.[37]
- Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang keturunan Tionghoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi. Hal itu menyulut emosi massa warga pribumi yang kemudian menghakimi Benny Karre hingga tewas, belum puas, kerusuhan pun meledak, toko-toko Tionghoa dibakar, dirusak dan dihancurkan, sambil meneriakkan provokasi dengan kata-kata rasis.[28]
- Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti-Tionghoa.[28]
- Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massa terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.[28][33]
- 5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.[28][33]
- Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti-Tionghoa. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti-Tionghoa paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.[28][33]
- Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghoa.[28][33][38]
- Tanjungbalai, 29-30 Juli 2016. Kerusuhan Tanjungbalai, Sumatera Utara, meliputi aksi pengrusakan, penjarahan dan pembakaran yang menyasar rumah, tempat-tempat ibadah dan balai yayasan sosial Tionghoa. Kerusuhan terjadi akibat adanya unsur provokasi dengan ujaran kebencian di media sosial yang memuat isu SARA terkait keluhan volume pengeras suara masjid dari salah seorang warga keturunan tionghoa yang kemudian mengundang aksi massa. Kerugian akibat kejadian itu ditaksir mencapai hingga sedikitnya ratusan juta rupiah.[39]
Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia
suntingBagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Peran Ekonomi
suntingImplikasi peran ekonomi warga Tionghoa dalam berbagai sektor termasuk usaha, investasi, dan kontribusi positif pada ekonomi negara. Implikasi tersebut tidak hanya menjadi pelaku utama dalam bisnis besar dan investasi, tetapi juga berperan sebagai penggerak ekonomi lokal melalui usaha mikro, kecil, dan menengah. Warga Tionghoa juga terlibat dalam tenaga kerja di berbagai sektor, memberikan kontribusi pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi tersebut melalui pembayaran pajak mendukung keuangan negara, dan implikasi dalam perdagangan membantu mengembangkan pasar domestik dan memperluas akses ke pasar internasional. Kemitraan dan jaringan bisnis yang dibangun oleh warga Tionghoa turut memfasilitasi pertukaran ekonomi dan teknologi antara Indonesia dan negara-negara lain, memperkuat posisi Indonesia dalam panggung ekonomi global.
Peran Sosial Budaya dan Pendidikan
suntingDidirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, di mana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 – 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah di mana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 miliar rupiah.[butuh rujukan]
Lihat pula
suntingCatatan
sunting- ^ Biasanya juga disebut sebagai Tenglang (Hokkien: Tn̂g-lâng), Tengnang (Tiochiu), Thong ngin (Hakka), Tonning (Fuqing), Tòhng yàn (bahasa Kantonis). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana: 华人). Istilah Tangren berasal dari nama Dinasti Tang, sementara istilah orang Han (Hanzi Tradisional: 漢人, Hanzi Sederhana: 汉人, Hanyu Pinyin: Hànrén, "orang Han") berasal dari nama Dinasti Han. Slang bahasa Inggris: Chindo; singkatan dari bahasa Inggris: Chinese Indonesian (Post, The Jakarta. "Why it's important to talk about Chinese-Indonesians or Chindos". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-12-09.)
Referensi
sunting- ^ "Berapakah Jumlah Sesungguhnya Populasi Tionghoa di Indonesia?". nationalgeographic.grid.id. 5 June 2021. Diakses tanggal 22 August 2023.
- ^ a b Thomas Fuller (12 December 1998). "Indonesia's Ethnic Chinese Find a Haven For Now, But Their Future Is Uncertain: Malaysia's Wary Welcome". The New York Times. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Stephen Gapps. "A Complicated Journey: Chinese, Indonesian, and Australian Family Histories". Australian National Maritime Museum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 May 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Terri McCormack (2008). "Indonesians". Dictionary of Sydney. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ "Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-18. Diakses tanggal 5 Februari 2022.
- ^ Siagian, Oscar (2017-10-26). "WNI Keturunan Tionghoa Bisa 'Lebih Indonesia Dibanding Suku Bangsa Lain'". BBC.com. Diakses tanggal 2022-02-24.
- ^ sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-29, diakses tanggal 13 Agustus 2008
- ^ Hoy, William J (1943). "Chinatown derives its own street names". California Folklore Quarterly. 2 (April): 71–75. doi:10.2307/1495551. ISSN 1556-1283. JSTOR 1495551.
- ^ Yung, Judy and the Chinese Historical Society of America (2006). San Francisco's Chinatown. Arcadia Publishing. ISBN 978-07385-3130-4.
- ^ Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat, ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
- ^ Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey, ed. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99.
- ^ Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-16, diakses tanggal 18 Agustus 2008
- ^ "Ohio University". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-10. Diakses tanggal 2007-02-28.
- ^ "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa-Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses tanggal 2010-05-10.
本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaPoston and Wong
- ^ Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
- ^ Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV. Artikel pada laman Majapahit Kingdom Diarsipkan 2022-03-12 di Wayback Machine.
- ^ Ada yang berpendapat kelenteng ini dibangun oleh orang dari Tuban, suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[1]
- ^ "Zulkifli AA. Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Surabaya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-15. Diakses tanggal 2012-07-15.
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163.
- ^ Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
- ^ Fadillah, Arie Sunaryo,Danny Adriadhi Utama ,Ramadhian; Fadillah, Ramadhian; Sunaryo, Arie (24 Januarin 2020). Pratomo, Angga Yudha, ed. "Geger Pecinan, Saat Laskar Tionghoa-Jawa Bersatu Melawan VOC". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Januari 2022.
- ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-11-13.
- ^ Teniwut, Meilani (2023-01-13). "Model Baju Changsan untuk Perayaan Imlek Tahun 2023". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-01-15.
- ^ Indonesia, INI BARU (ALE/SA) (2018-02-16). "Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini". INI BARU Indonesia. Inibaru.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-20.
- ^ "Sejarah Wushu, Dari Tes Masuk Militer Hingga Cabang Olahraga". kumparan. kumparanSPORT.
- ^ a b c d e f g [Purdey, Jemma. "Anti-Chinese violence in Indonesia, 1996-1999," Honolulu: University of Hawai'i Press, 2006].
- ^ [Tan, Giok-Lan, "The Chinese of Sukabumi", Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Dept. of Asian Studies, Cornell University, 1963].
- ^ a b c [Coppel, Charles. "Indonesian Chinese in Crisis," Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978].
- ^ Catatan lama ketidak adilan sosial dan kerusuhan sosial 5 Agustus 1973, diakses dari situs Socio-politica.com
- ^ Kronik Dasar Hukum Pendirian Rezim Pelarangan Buku, diakses dari situs elsam.or.id[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c d e [Siegel, James T. "Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1986].
- ^ [Siegel, James T. “Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998, in Jakarta,” dalam Violence and the State in Suharto's Indonesia, ed. Benedict Anderson (Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2001.].
- ^ Sejarah Masuknya Etnis Tionghoa di Surabaya, hal 19, diakses dari situs Sunan-Ampel.ac.id[pranala nonaktif permanen]
- ^ "Rusuh Gara-gara Orang Gila, Arsip Berita Gatra yang ditulis dalam bentuk email di Indopub". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 2013-05-16.
- ^ [Ang, Ien. "On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West," London: Routledge, 2006].
- ^ [Heryanto, Ariel. "State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging," London: Routledge, 2006].
- ^ Detail Kejadian Kerusuhan di Tanjung Balai, diakses dari situs tirto.id
Bibliografi
suntingSumber tersier
sunting- Heidhues, Mary Somers (1999), "Indonesia", dalam Pan, Lynn, The Encyclopedia of the Chinese Overseas, Cambridge, M.A.: Harvard University Press, hlm. 151–168, ISBN 978-0-674-25210-3.
- Ma, Rosey Wang (2005), "Hui Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 113–124, ISBN 978-0-387-29904-4.
- McKeown, Adam (2005), "Chinese Diaspora", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 65–76, ISBN 978-0-387-29904-4.
- Nagata, Judith (1999), "Indonesians", dalam Magocsi, Paul R., Encyclopedia of Canada's Peoples, Toronto, ON: University of Toronto Press, hlm. 723–726, ISBN 978-0-8020-2938-6.
- Penny, Janet; Gunawan, Tuti (2001), "Indonesians", dalam Jupp, James, The Australian People: An Encyclopedia of the Nation, Its People and Their Origins (edisi ke-2nd), Cambridge, M.A.: Cambridge University Press, hlm. 439–441, ISBN 978-0-521-80789-0.
- Reid, Anthony (1999), "Chinese and Southeast Asian interactions", dalam Pan, Lynn, The Encyclopedia of the Chinese Overseas, Cambridge, M.A.: Harvard University Press, hlm. 51–53, ISBN 978-0-674-25210-3.
- Reid, Anthony (2007), "Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State", dalam Chirot, Daniel; Reid, Anthony, Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, Seattle: University of Washington Press, hlm. 33–73, ISBN 978-0-295-97613-6.
- Tan, Mely G. (2005), "Ethnic Chinese in Indonesia", dalam Ember, Melvin; Ember, Carol R.; Skoggard, Ian, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World, New York, N.Y.: Springer Science+Business Media, hlm. 795–807, ISBN 978-0-387-29904-4.
- Walrond, Carl (4 March 2009), Indonesians, Auckland: Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand.
- Wibowo, Agustinus (2024). Kita dan Mereka. Jakarrta: Mizan Pustaka.
Sumber sekunder
sunting- Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Bakhtiar (2008), "Chinese Indonesians in Indonesia and the Province of Riau Archipelago: A Demographic Analysis", dalam Suryadinata, Leo, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 17–47, ISBN 978-981-230-834-4.
- Borschberg, Peter, ed. (2004), Iberians in the Singapore-Melaka area and adjacent regions (16th to 18th century), 14 (edisi ke-illustrated), Wiesbaden, Germany: Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 978-3-447-05107-1, diakses tanggal 14 December 2011
- Chang, Yau Hoon (16 October 2010), "Mapping 'Chinese' Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion", Asia Pacific Education Review, 12 (3): 403–411, doi:10.1007/s12564-010-9144-7, diakses tanggal 15 February 2012.
- Chua, Christian (2008), Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital, Routledge Contemporary Southeast Asia Series, London: Routledge, ISBN 978-0-415-45074-4.
- Coppel, Charles A. (2002), Studying Ethnic Chinese in Indonesia, Asian Studies Monograph Series, Singapore: Singapore Society of Asian Studies, ISBN 978-9971-9904-0-4.
- Cunningham, Clark E. (2008), "Unity and Diversity among Indonesian Migrants to the United States", dalam Ling, Huping, Emerging Voices: Experiences of Underrepresented Asian Americans, Piscataway, N.J.: Rutgers University Press, hlm. 90–108, ISBN 978-0-8135-4341-3.
- Dawis, Aimee (2009), The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The Relationship Between Collective Memory and the Media, Amherst, N.Y.: Cambria Press, ISBN 978-1-60497-606-9.
- East Asia Analytical Unit (1995), Overseas Chinese Business Networks in Asia, Canberra: Department of Foreign Affairs and Trade, ISBN 978-0-642-22960-1.
- Gernet, Jacques (1996), A History of Chinese Civilization (edisi ke-2nd), Cambridge, M.A.: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-49781-7.
- Guillot, C.; Lombard, Denys; Ptak, Roderich, ed. (1998), From the Mediterranean to the China Sea: miscellaneous notes, Wiesbaden, Germany: Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 978-3-447-04098-3, diakses tanggal 14 December 2011.
- Heidhues, Mary Somers (2001), "Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories", dalam Reid, Anthony, Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 164–182, ISBN 978-0-8248-2446-4.
- Hoon, Chang-Yau (2006), "'A Hundred Flowers Bloom': The Re-emergence of the Chinese Press in Post-Suharto Indonesia", dalam Sun, Wanning, Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 91–118, ISBN 978-0-415-35204-8.
- Kahin, Audrey, ed. (1991), Indonesia: The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life, Ithaca, N.Y.: Cornell Southeast Asia Program, ISBN 978-99936-0-446-4.
- Lewis, M. Paul, ed. (2005), "Indonesia", Ethnologue: Languages of the World (edisi ke-15th), Dallas, T.X.: SIL International, ISBN 978-1-55671-159-6, diakses tanggal 26 January 2010.
- Phoa, Liong Gie (1992), "The Changing Economic Position of the Chinese in Netherlands India", dalam Fernando, M. R.; Bulbeck, David, Chinese Economic Activity in Netherlands India: Selected Translations from the Dutch, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 5–18, ISBN 978-981-3016-21-7.
- Pratiwo (2007), "Seeking the Spirit of the Age: Chinese Architecture in Indonesia Today", dalam Nas, Peter J. M., The Past in the Present: Architecture in Indonesia, Leiden: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, hlm. 73–83, ISBN 978-90-6718-296-6.
- Purdey, Jemma (2006), Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-3057-1.
- Reid, Anthony (2001), "Flows and Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia", Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 15–50, ISBN 978-0-8248-2446-4.
- Robison, Richard (1986), "The Emergence of a Capitalist Class: Chinese-Owned Capital", Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin, hlm. 271–322, ISBN 978-0-04-909024-8.
- Sen, Krishna (2006), "'Chinese' Indonesians in National Cinema", dalam Sun, Wanning, Media and the Chinese Diaspora: Community, Communications and Commerce, London: Routledge, hlm. 119–136, ISBN 978-0-415-35204-8.
- Setiono, Benny G. (2003), Tionghoa dalam Pusaran Politik [Indonesia's Chinese Community under Political Turmoil], Jakarta: Elkasa, ISBN 978-979-96887-4-3.
- Skinner, G. William (1963), "The Chinese Minority", dalam McVey, Ruth, Indonesia, Survey of World Cultures, New Haven, C.T.: Yale University Southeast Asia Studies, hlm. 97–117, OCLC 411723.
- Suryadinata, Leo (1999), "The Ethnic Chinese Issue and National Integration in Indonesia" (PDF), Trends in Southeast Asia, Singapore, ISSN 0219-3213, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 14 June 2011.
- Suryadinata, Leo (2002), "Democracy and Ethnic Chinese Politics", Election and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 126–138, ISBN 978-981-230-121-5.
- Suryadinata, Leo (2008), "Chinese Indonesians in an Era of Globalization: Some Major Characteristics", dalam Suryadinata, Leo, Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 1–16, ISBN 978-981-230-834-4.
- Suryadinata, Leo, ed. (2004), Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture, and Multiculture, Singapore: Marshall Cavendish, ISBN 978-981-210-298-0.
- Suryadinata, Leo (1984), Dilema Minoritas Tionghoa [Dilemma of the Chinese Minority], Jakarta: Grafiti Pers, OCLC 11882266.
- Suryadinata, Leo; Arifin, Evi Nurvidya; Ananta, Aris (2003), "The Ethnic Chinese: A Declining Percentage", Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Indonesia's Population Series, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 73–102, ISBN 978-981-230-218-2.
- Tan, Mely G. (2002), "Chinese Dietary Culture in Indonesian Urban Society", dalam Wu, David Y. H.; Cheung, Sidney C. H., The Globalization of Chinese Food, Honolulu, H.I.: University of Hawaii Press, hlm. 152–169, ISBN 978-0-8248-2582-9.
- Tan, Mely G. (2008), Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan [Ethnic Chinese in Indonesia: Collected Writings] (dalam bahasa Inggris and Bahasa Indonesia), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-689-5.
- Widodo, Johannes (2007), "The Chinese Diaspora's Urban Morphology and Architecture in Indonesia", dalam Nas, Peter J. M., The Past in the Present: Architecture in Indonesia, Leiden: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, hlm. 67–72, ISBN 978-90-6718-296-6.
Sumber primer
sunting- Hellwig, Tineke; Tagliacozzo, Eric, ed. (2009), The Indonesia Reader: History, Culture, Politics , Durham, N.C.: Duke University Press, ISBN 978-0-8223-4424-7.
- Suryadinata, Leo, ed. (1997), Political Thinking of the Indonesian Chinese, 1900–1995: A Sourcebook (edisi ke-2nd), Singapore: Singapore University Press, ISBN 978-9971-69-201-8.
Pranala luar
suntingPranala luar pada artikel ini mungkin tidak sesuai dengan kebijakan atau pedoman Wikipedia. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan membuang pranala luar yang berlebihan dan tidak sesuai. |
- (Indonesia) Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
- (Indonesia) Budaya, Sejarah & Tradisi Tionghoa
- (Indonesia) Budaya Tionghoa Diarsipkan 2010-12-29 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Seputar Info Tradisi dan Budaya Tionghoa