Orang Tionghoa Indonesia

kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki garis keturunan Tionghoa (baik penuh maupun sebagian)
(Dialihkan dari Suku Tionghoa)

Orang Tionghoa-Indonesia[catatan 1] adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[7] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Orang Tionghoa-Indonesia
印度尼西亞華人 / 印尼華人
印度尼西亚华人 / 印尼华人
John Lie
Oei Tjoe Tat
Basuki Tjahaja Purnama
Mari Elka Pangestu
Amir Syamsuddin
Kwik Kian Gie
Ciputra
James Riady
Tedy Jusuf
Tjhai Chui Mie
Marcus Fernaldi Gideon
Rich Brian
Jumlah populasi
2.832.510 (2010)[1]
1.2% dari populasi Indonesia
Daerah dengan populasi signifikan

Serta populasi diaspora yang besar di:
 Malaysia[2]
 Singapura[2]
 Australia[3][4]
 Taiwan[5]
 Belanda
 Hong Kong
 Amerika Serikat
Bahasa
Agama
[6]
Kelompok etnik terkait
Tionghoa Perantauan

Asal kata sunting

Wilayah pemukiman yang penduduknya mayoritas orang Tionghoa lazim disebut Pecinan (dalam bahasa Inggris konsep yang setara adalah "Chinatown", dan dalam Tionghoa modern disebut Tángrén Jiē, alias Jalan Tenglang.[8][9]:13

Populasi di Indonesia sunting

Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]

Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15]

Sejarah sunting

Masa-masa awal sunting

 
Seorang pedagang jalanan Tionghoa pada tahun 1854 (litografi berdasarkan lukisan Auguste van Pers)
 
Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.

Orang dari Cina daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.

Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.

Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Cina pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Cina.[16]

Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibu kota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[17] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[18] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[19]

Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Supadi, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Cina selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Cina, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.[20]

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

 
Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten

Era kolonial sunting

 
Sepasang mempelai Tionghoa di Salatiga, circa 1918

Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[21]

 
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia

Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[22]

Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[23][24][2] Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

 
Daerah Pecinan di Banjarmasin.
 
Kelenteng Tua Pek Kong di Ketapang.

Budaya Tionghoa-Indonesia sunting

Bahasa sunting

Empat kelompok utama bahasa Tionghoa di Indonesia adalah Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Mandarin, Hakka, dan Kantonis. Selain itu, orang-orang Teochew berbicara dengan bahasa mereka sendiri yang memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan Hokkien. Namun, perbedaan antara keduanya menonjol di luar wilayah asalnya. Ada sekitar 2,2 juta penutur asli dari pelbagai varietas bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur varietas Min Selatan (termasuk Hokkien dan Teochew); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur dari varietas Timur Min (termasuk bahasa Fuzhou). Selain itu, sekitar 20.000 berbicara dengan dialek bahasa Indonesia yang berbeda.

Busana sunting

Baju Koko sunting

Baju koko merupakan baju model Tiongkok yang kerahnya bulat tertutup, modelnya seperti piyama. Biasanya digunakan oleh Muslim Tionghoa.[butuh rujukan]

Cheongsam sunting

Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam.[25]

Seni Pertunjukan sunting

Barongsai sunting

Barongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, namun ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenian budaya barongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan seni barongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, namun juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[26]

Liang Liong sunting

Tari Naga atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga' sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.

Wayang Potehi sunting

Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. Potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.

Wushu sunting

Wushu secara harafiah berarti "seni bertempur/bela diri". Ini juga merupakan istilah lain dari kungfu yang lebih dahulu populer, yang berarti "ahli" dalam bidang tertentu. Kata Wushu berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri (Martial Art). Wushu juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, pengobatan, beladiri, pernapasan, pikiran dan mental. Semua aliran kung fu atau seni bela diri yang berasal dari China tradisional, baik keras atau lembut dapat disebut Wushu. Wushu keras termasuk tinju selatan Nanquan dan tinju panjang Changquan. Wushu lembut termasuk tinju Taiji, Telapak Baguazhang, dan tinju xingyiquan. Adapun seni beladiri Wushu yang telah dikembangkan oleh orang-orang etnis Tionghoa yang menetap di wilayah Asia Tenggara (terutama Indonesia) sering kali disebut dengan istilah Kuntao.[27]

Festival sunting

Festival Qingming sunting

Festival Qingming merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat. Festival ini masih sering dirayakan di Kepulauan Bangka Belitung.

Imlek sunting

Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.

Tokoh Tionghoa-Indonesia sunting

Lihat pula sunting

Catatan sunting

  1. ^ Biasanya juga disebut sebagai Tenglang (Hokkien: Tn̂g-lâng), Tengnang (Tiochiu), Thong ngin (Hakka), Tonning (Fuqing), Tòhng yàn (bahasa Kantonis). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana: 华人). Istilah Tangren berasal dari nama Dinasti Tang, sementara istilah orang Han (Hanzi Tradisional: 漢人, Hanzi Sederhana: 汉人, Hanyu Pinyin: Hànrén, "orang Han") berasal dari nama Dinasti Han. Slang bahasa Inggris: Chindo; singkatan dari Inggris: Chinese Indonesian (Post, The Jakarta. "Why it's important to talk about Chinese-Indonesians or Chindos". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-12-09. )

Referensi sunting

  1. ^ "Chinese Diaspora". 
  2. ^ a b Thomas Fuller (12 December 1998). "Indonesia's Ethnic Chinese Find a Haven For Now, But Their Future Is Uncertain: Malaysia's Wary Welcome". The New York Times. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 
  3. ^ Stephen Gapps. "A Complicated Journey: Chinese, Indonesian, and Australian Family Histories". Australian National Maritime Museum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 May 2018. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 
  4. ^ Terri McCormack (2008). "Indonesians". Dictionary of Sydney. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 
  5. ^ "Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-18. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 
  6. ^ Siagian, Oscar (2017-10-26). "WNI Keturunan Tionghoa Bisa 'Lebih Indonesia Dibanding Suku Bangsa Lain'". BBC.com. Diakses tanggal 2022-02-24. 
  7. ^ sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-29, diakses tanggal 13 Agustus 2008 
  8. ^ Hoy, William J (1943). "Chinatown derives its own street names". California Folklore Quarterly. 2 (April): 71–75. doi:10.2307/1495551. JSTOR 1495551. 
  9. ^ Yung, Judy and the Chinese Historical Society of America (2006). San Francisco's Chinatown. Arcadia Publishing. ISBN 978-07385-3130-4. 
  10. ^ Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat, ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2. 
  11. ^ Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey, ed. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99. 
  12. ^ Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-16, diakses tanggal 18 Agustus 2008 
  13. ^ "Ohio University". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-10. Diakses tanggal 2007-02-28. 
  14. ^ "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa-Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses tanggal 2010-05-10. 本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。 
  15. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Poston and Wong
  16. ^ Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
  17. ^ Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV. Artikel pada laman Majapahit Kingdom Diarsipkan 2022-03-12 di Wayback Machine.
  18. ^ Ada yang berpendapat kelenteng ini dibangun oleh orang dari Tuban, suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[1]
  19. ^ "Zulkifli AA. Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Surabaya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-15. Diakses tanggal 2012-07-15. 
  20. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163. 
  21. ^ Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
  22. ^ Fadillah, Arie Sunaryo,Danny Adriadhi Utama ,Ramadhian; Fadillah, Ramadhian; Sunaryo, Arie (24 Januarin 2020). Pratomo, Angga Yudha, ed. "Geger Pecinan, Saat Laskar Tionghoa-Jawa Bersatu Melawan VOC". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Januari 2022. 
  23. ^ http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
  24. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-11-13. 
  25. ^ Teniwut, Meilani (2023-01-13). "Model Baju Changsan untuk Perayaan Imlek Tahun 2023". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-01-15. 
  26. ^ Indonesia, INI BARU (ALE/SA) (2018-02-16). "Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini". INI BARU Indonesia. Inibaru.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-20. 
  27. ^ "Sejarah Wushu, Dari Tes Masuk Militer Hingga Cabang Olahraga". kumparan. kumparanSPORT. 

Bacaan lanjutan sunting

Pranala luar sunting