Katolik

istilah "Katolik"

Kata "katolik" (καθολικός, katolikos; Latin: catholicus)[1][2] berasal dari frasa Yunani καθόλου (katolou), yang berarti "sarwa sekalian", "secara keseluruhan", atau "am", gabungan kata κατά (kata), yang berarti "perihal", dan kata ὅλος (holos), yang berarti "sarwa".[3][4] Istilah "Katolik" (dengan huruf k besar) pertama kali digunakan pada permulaan abad ke-2 sebagai sebutan bagi seantero Dunia Kristen.[5] Dalam ranah eklesiologi, istilah ini memiliki sejarah yang panjang dan digunakan dengan berbagai makna.

Di Indonesia, kata ini dapat berarti "hal ihwal agama Kristen Katolik" maupun "hal ihwal ajaran dan amalan bersejarah Gereja Barat".[note 1][6] Kata ini digunakan banyak orang Kristen sebagai sebutan bagi Gereja Semesta atau segenap orang yang beriman kepada Yesus Kristus tanpa pandang denominasi,[7][8] dan digunakan pula dengan makna yang lebih sempit sebagai sebutan bagi kekatolikan, yang mencakup beberapa gereja bersejarah dengan keyakinan-keyakinan pokok yang sama. Katolikos, gelar pemimpin tertinggi di sejumlah Gereja Timur, juga berasal dari akar kata yang sama.

Istilah ini sudah lekat pada nama persekutuan Kristen terbesar di dunia, yakni Gereja Katolik. Tiga cabang utama agama Kristen di Dunia Timur, yakni Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Persia, senantiasa menyebut diri Katolik, seturut tradisi rasuli dan syahadat Nikea. Jemaat-jemaat Anglikan, Lutheran, dan sejumlah jemaat Metodis percaya bahwa gereja-gereja mereka juga "Katolik", dalam arti merupakan kelanjutan dari Gereja Perdana sedunia yang didirikan oleh rasul-rasul Kristus. Kendati demikian, tiap-tiap Gereja memaknai istilah "Gereja Katolik" secara berbeda-beda. Sebagai contoh, baik Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, maupun Gereja Persia menegaskan bahwa denominasinya adalah kelanjutan dari Gereja Perdana sedunia, sementara semua denominasi lain hanyalah pecahannya.

Keyakinan-keyakinan yang menjadi ciri khas kekatolikan, yakni keyakinan-keyakinan anutan sebagian besar umat Kristen yang menyebut diri "Katolik", mencakup episkopalisme, yakni memuliakan para uskup selaku rohaniwan tertinggi dalam agama Kristen,[9] dan penerimaan syahadat Nikea tahun 381. Kekatolikan juga dianggap sebagai salah satu dari keempat ciri Gereja,[10] sebagaimana tercantum dalam salah satu butir syahadat Nikea yang berbunyi "aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik."

Pada Abad Pertengahan maupun Zaman Modern, terjadi pergeseran makna istilah Katolik Barat dan Katolik Timur. Sebelum Skisma Timur-Barat tahun 1054, kedua istilah ini hanya bermakna beda wilayah, karena hanya ada satu kekatolikan, yang mencakup umat Kristen penutur bahasa Latin di Dunia Barat maupun umat Kristen penutur bahasa Yunani di Dunia Timur. Sesudah Skisma Timur-Barat, makna istilah-istilah ini kian ruwet, dan memunculkan beberapa tata istilah yang paralel tetapi saling bertentangan.[11]

Etimologi

Cikal bakal istilah katolik adalah kata katolikos, kata sifat dalam bahasa Yunani yang berarti "semesta". Langsung dari bahasa aslinya, atau via bahasa Latin Akhir, istilah katolik masuk ke dalam bermacam-macam bahasa lain, dan menjadi dasar pembentukan berbagai istilah teologi semisal katolikisme (bahasa Latin Akhir: catholicismus) dan kekatolikan (bahasa Latin Akhir: catholicitas).

Istilah "katolikisme" adalah kata benda mujarad yang dibentuk dari kata sifat "katolik". Padanannya dalam bahasa Yunani Modern adalah καθολικισμός (katolikismos), yang biasanya mengacu pada Gereja Katolik. Istilah "katolik", "katolikisme", dan "kekatolikan" sangat erat kaitannya dengan penggunaan istilah "Gereja Katolik".

Bukti tertua penggunaan istilah ini adalah Surat kepada Jemaat di Smirna dari Santo Ignasius, Uskup Antiokhia, yang ditulis sekitar tahun 108 dan dialamatkan kepada umat Kristen di kota Smirna. Dalam surat ini, Santo Ignasius mengimbau umat Kristen agar tetap erat bersatu dengan uskup mereka, dalam kalimat yang berbunyi "alangkah baiknya jika di mana saja uskup hadir, sidang jemaat pun turut hadir, sehingga sama seperti di mana saja Yesus Kristus hadir, hadir pula Gereja Katolik."[12][13]

Semenjak separuh akhir abad ke-2, kata "katolik" mulai digunakan dengan makna "ortodoks" (bukan bidah), "karena umat Katolik mengaku mengajarkan kebenaran yang seutuhnya dan mewakili segenap Gereja, sementara bidah timbul akibat tindakan sebagian pihak yang melebih-lebihkan satu butir kebenaran dan pada hakikatnya bersifat parsial dan lokal".[14] Pada tahun 380, Kaisar Teodosius I menetapkan bahwa istilah "Kristen Katolik" hanya boleh digunakan oleh orang-orang yang seiman dengan Paus Damasus I di Roma dan Paus Petrus di Aleksandria.[15] Banyak pujangga Gereja Perdana lainnya yang mengembangkan penggunaan istilah "katolik" dalam kaitannya dengan agama Kristen, antara lain Santo Sirilus, Uskup Yerusalem (ca. 315–386), dan Santo Agustinus, Uskup Hipo (354–430).

Sejarah pemakaian istilah

Santo Ignasius, Uskup Antiokhia

 
Istilah "Gereja Katolik" (secara harfiah berarti "Gereja Semesta") untuk pertama kalinya digunakan oleh Santo Ignasius, Uskup Antiokhia (ca. 50–140), dalam Surat kepada Jemaat di Smirna (ca. 110).[16] Ia wafat di kota Roma, dan relikuinya disemayamkan di dalam Basilika San Clemente al Laterano.

Bukti tertulis yang paling tua dari penggunaan istilah "Gereja Katolik" adalah Surat kepada Jemaat di Smirna yang ditulis oleh Santo Ignasius, Uskup Antiokhia, sekitar tahun 107, dan dialamatkan kepada umat Kristen di kota Smirna. Ia mengimbau umat Kristen agar tetap erat bersatu dengan uskup mereka melalui kalimat suratnya yang berbunyi "alangkah baiknya jika di mana saja uskup hadir, sidang jemaat pun turut hadir, sehingga sama seperti di mana saja Yesus Kristus hadir, hadir pula Gereja Katolik."[12][17][18]

Sehubungan dengan makna frasa ini bagi Santo Ignasius, J.H. Srawley mengemukakan bahwa:

Inilah kemunculan perdana frasa 'Gereja Katolik' (ἡ καθολικὴ ἐκκλησία) dalam karya sastra Kristen. Makna asali kata ini adalah 'semesta'. Itulah sebabnya Yustinus Martir (Dialog dengan Trifo. 82) membahas 'kebangkitan semesta atau kebangkitan umum' dengan menggunakan kata-kata ἡ καθολικὴ ἀνάστασις. Demikian pula di sini Gereja semesta dikontraskan dengan Gereja partikular di Smirna. Yang Ignasius maksudkan dengan Gereja Katolik adalah 'himpunan semua jemaat Kristen' (Swete, Apostles Creed, hlm. 76). Jadi, surat kepada Gereja di Smirna juga ditujukan kepada semua jemaat Gereja Katolik yang kudus di mana saja berada. Dan makna purba 'semesta' tak kunjung lepas dari kata ini, kendati menjelang akhir abad ke-2 kata ini mulai mendapat makna sekunder 'ortodoks', lawan dari 'bidah'. Itulah sebabnya kata ini dipakai dalam Kanon Kitab Suci terdahulu, fragmen Muratori (ca. 170 M), manakala menyebut karya-karya tulis bidah tertentu sebagai karya-karya tulis yang 'tidak diterima dalam Gereja Katolik'. Demikian pula Sirilus asal Yerusalem, pada abad ke-4, mengemukakan bahwa Gereja disebut Katolik bukan hanya 'karena tersebar ke seluruh dunia', melainkan juga 'karena mengajarkan secara utuh tanpa kurang satu apa pun semua ajaran yang perlu diketahui umat manusia'. Makna sekunder ini tumbuh keluar dari makna asalinya karena umat Katolik mengaku mengajarkan kebenaran yang seutuhnya, dan mewakili segenap Gereja, sementara bidah muncul lantaran sebagian pihak melebih-lebihkan satu butir kebenaran serta pada hakikatnya bersifat parsial dan lokal.[19][20]

Santo Ignasius menggunakan istilah Gereja Katolik sebagai sebutan bagi Gereja semesta. Bagi Santo Ignasius, ahli-ahli bidah tertentu pada zamannya, yang menyangkal bahwa Yesus adalah maujud bendawi yang sungguh-sungguh menderita sengsara dan mengalami maut, dan malah berkata bahwa "ia cuma tampak seolah-olah menderita sengsara" (Surat kepada Jemaat di Smirna, 2), bukanlah umat Kristen yang sesungguhnya.[21]

Pemakaian pada abad ke-2 selain oleh Santo Ignasius

Istilah "Katolik" juga digunakan dalam naskah Kemartiran Polikarpus (tahun 155), dan dalam Kanon Muratori (sekitar tahun 177).

Santo Sirilus, Uskup Yerusalem

 
Santo Sirilus, Uskup Yerusalem

Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan pendapat J.H. Srawley di atas, Sirilus, Uskup Yerusalem (ca. 315–386), yang kini dihormati sebagai santo oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan persekutuan gereja-gereja Anglikan, membedakan kelompok umat Kristen yang ia sebut "Gereja Katolik" dari kelompok-kelompok lain yang juga menyebut diri ἐκκλησία (eklesia), yang berarti sidang jemaat atau Gereja, sebagai berikut:

Lantaran kata Eklesia digunakan sebagai sebutan untuk berbagai macam hal, sebagaimana yang tertulis mengenai khalayak ramai di gedung kesenian kota Efesus, yang bunyinya "dengan kata-kata itu ia membubarkan kumpulan rakyat itu" (Kisah Para Rasul 19:41), dan karena sah-sah saja orang mengatakan bahwa ada Gereja para durjana, maksudnya jemaat-jemaat ahli bidah, yakni para pengikut Markion, para pengikut Manikeus, dan bidah-bidah selebihnya, untuk itulah iman mengamankan butir ini sehingga sampai kepada kamu sekarang, yakni butir yang bunyinya "dan akan Gereja Katolik yang satu dan kudus", supaya kamu dapat menghindarkan diri dari pertemuan-pertemuan durjana mereka, dan senantiasa tinggal di dalam Gereja Katolik yang kudus, tempat kamu dilahirkan kembali. Dan apabila kamu kelak bepergian dan singgah di kota-kota, jangan cuma bertanya di manakah rumah Tuhan, karena jemaat-jemaat duniawi juga berusaha menyebut liang-liang mereka sebagai rumah-rumah Tuhan. Jangan pula cuma bertanya di manakah Gereja, melainkan bertanyalah di manakah Gereja Katolik. Karena inilah nama istimewa Gereja yang kudus ini, bunda kita sekalian, mempelai Tuhan Kita Yesus Kristus, Putra Tunggal Allah.

— Kumpulan Ceramah Agama, XVIII, 26.[22]

Kaisar Teodosius I

 
Kaisar Romawi, Teodosius I

Teodosius I, Kaisar Romawi dari tahun 379 sampai tahun 395, menetapkan agama Kristen "Katolik" sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi, dalam Maklumat Tesalonika tanggal 27 Februari 380, yang berbunyi:

Bahwa sesungguhnya kami menghendaki agar segala bangsa, yang tunduk di bawah kerahiman dan daulat kami, senantiasa menganut agama yang diwartakan kepada bangsa Romawi oleh Petrus Sang Rasul suci, yakni agama yang dengan tekun dikekalkan turun-temurun, dan yang kini dianut oleh Sri Begawan Damasus serta Petrus, Uskup Aleksandria, pribadi yang suci lagi rasuli. Selaras dengan taklimat rasul-rasul, dan ajaran Kitab Injil, marilah kita sekalian berimankan Allah Yang Maha Esa: Bapa, Putra, dan Roh Kudus, yang setara keagungannya, dalam Ketritunggalan Maha Kudus. Kami benarkan pemeluk-pemeluk agama ini untuk menyandang gelar Kristen Katolik. Sedangkan pihak-pihak lain, yang menurut hemat kami, adalah orang-orang kurang waras yang bebal, kami perintahkan untuk ditandai dengan sebutan nista sebagai ahli-ahli bidah, dan kami ingatkan agar jangan sampai berani menyebut tempat-tempat berhimpun mereka sebagai gereja. Mereka diancam pertama-tama dengan siksa laknat ilahi, dan yang kedua, dengan pidana yang akan kami jatuhkan seturut kewenangan kami, berpadankan kehendak surga.[23]

— Undang-Undang Teodosius XVI.i.2

Santo Hieronimus

Pada tahun 418, Santo Hieronimus menulis sepucuk surat kepada Santo Agustinus, Uskup Hippo, berisi kalimat yang berbunyi, "engkau terkenal di seantero dunia. Umat Katolik menghormati dan menghargai engkau selaku salah seorang tokoh yang menegakkan kembali iman purba"[24]

Santo Agustinus, Uskup Hippo

 
Santo Agustinus, Uskup Hipo

Tak seberapa lama kemudian, Santo Agustinus, Uskup Hipo (354–430), menggunakan pula istilah "Katolik" sebagai pembeda Gereja "sejati" dari jemaat-jemaat ahli bidah:

Di dalam Gereja Katolik, ada banyak hal lain yang memang pantas membuatku betah tinggal di haribaannya. Mufakat antarpribadi dan antarbangsa membuatku tetap bertahan di dalam Gereja. Demikian pula kewibawaannya, yang diteguhkan oleh mukjizat-mukjizat, disuburkan oleh pengharapan, dibesarkan oleh cinta kasih, dan dimapankan oleh zaman. Alih kepemimpinan para imam membuatku tetap bertahan, mulai dari takhta Rasul Petrus sendiri, yang diberi amanat oleh Tuhan kita pascakebangkitan-Nya untuk menggembalakan kawanan domba-Nya (Yohanes 21:15–19), sampai dengan jawatan uskup yang ada sekarang ini.

Dan akhirnya, yang membuatku tetap bertahan adalah nama Katolik itu sendiri, yang bukan tanpa alasan, mengingat ada begitu banyak bidah, tetap dipertahankan Gereja, sehingga sekalipun semua ahli bidah berharap disebut Katolik, bilamana ada orang asing yang menanyakan tempat berhimpun Gereja Katolik, tak seorang pun dari mereka yang berani menunjuk bilik sembahyang atau rumah ibadatnya sendiri.

Sebanyak dan sepenting itulah ikatan-ikatan mulia yang terkandung dalam nama Kristen itu, yang membuat seorang beriman tetap bertahan di dalam Gereja Katolik, karena memang sudah sepatutnya demikian ... Bagi kamu, yang tidak punya hal-hal seperti ini untuk memikat maupun untuk membuatku tetap bertahan... Tak seorang pun dapat memisahkanku dari iman yang mengikat akal budiku dengan ikatan-ikatan yang sedemikian banyak dan sedemikian erat pada agama Kristen... Bagiku, aku tidak akan percaya pada injil kecuali digerakkan oleh kewibawaan Gereja Katolik.

— Santo Agustinus (354–430): Melawan Surat Manikeus yang Berjudul Asas, Bab 4: Bukti-Bukti Iman Katolik.[25]

Santo Vinsensius asal Lerins

Rekan sezaman Santo Agustinus, Santo Vinsensius asal Lerins, menulis sepucuk risalah dengan nama samaran Peregrinus pada tahun 434, yang dikenal dengan judul Commonitoria (memorandum). Kendati menegaskan bahwa, sama seperti tubuh manusia, ajaran Gereja terus tumbuh dan berkembang seraya teguh mempertahankan jati dirinya (bagian 54-59, bab XXIII),[26] ia mengemukakan bahwa:

Dalam Gereja Katolik sendiri, harus dipastikan secermat mungkin bahwa kita berpegang pada iman yang dianut di mana-mana, senantiasa, dan oleh semua orang. Karena itulah makna 'katolik' yang paling tegas, sebagaimana yang dinyatakan oleh nama itu sendiri dan alasan yang melandasi pernyataannya, yakni mencakup umat sejagat. Inilah kaidah yang harus kita turuti jika kita menganut kesemestaan, kepurbaan, dan kesepahaman. Kita menganut kesemestaan jika kita mengaku bahwa iman yang satu itulah iman yang benar, yakni iman yang diakui oleh Gereja di seluruh dunia. Kita menganut kepurbaan jika kita tidak menyimpang sedikit pun dari tafsir-tafsir yang nyata-nyata sudah kesohor dipegang teguh oleh para pitarah dan bapa-bapa suci kita. Demikian pula kita menganut kesepahaman jika dalam kepurbaan itu sendiri kita berpegang pada definisi-definisi dan ketentuan-ketentuan yang sudah dimufakati semua orang atau setidaknya hampir semua imam dan doktor.

— Sebuah Memorandum akan Kepurbaan dan Kesemestaan Iman Katolik dalam Menghadapi Kebaruan-Kebaruan Duniawi Sekalian Bidah, bagian 6, akhir bab II[27]

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur

Pada abad-abad permulaan sejarah agama Kristen, mayoritas umat Kristen, yakni umat Kristen penganut ajaran-ajaran yang terangkum dalam syahadat Nikea, terikat oleh satu kekatolikan tunggal dan tidak terbagi-bagi, yang mempersatukan umat Kristen penutur bahasa Latin di Dunia Barat dan umat Kristen penutur bahasa Yunani di Dunia Timur. Kala itu, istilah "Katolik Timur" dan "Katolik Barat" hanya mengandung makna perbedaan letak geografis, dan pada umumnya cuma berkaitan dengan perbedaan bahasa tutur antara Dunia Timur dan Dunia Barat. Kendati sering kali timbul selisih pendapat seputar teologi dan hal ihwal gerejawi antarpusat agama Kristen, kekatolikan bersama tetap lestari sampai dengan timbulnya sengketa besar antara abad ke-9 sampai abad ke-11. Sesudah peristiwa Skisma Timur-Barat, gagasan tentang kekatolikan bersama pun retak. Masing-masing kubu yang bersengketa mulai mengembangkan peristilahan sendiri.[11]

Semua sengketa besar seputar teologi dan hal ihwal gerejawi, baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat, selalu saja dibarengi usaha masing-masing pihak yang bersengketa untuk menafikan hak lawan menyebut diri dengan istilah "Katolik". Sesudah Roma menambahkan kata Filioque ke dalam syahadat Nikea, umat Kristen Ortodoks di Dunia Timur mulai menyebut para pendukung penambahan Filioque di Dunia Barat sebagai "orang Latin", karena menganggap mereka bukan lagi bagian dari "umat Katolik".[11]

Menurut pandangan yang paling mengemuka di Gereja Ortodoks Timur, segenap umat Kristen di Dunia Barat, yang menerima penambahan Filioque berikut pneumatologi yang tidak ortodoks, bukan lagi bagian dari umat Katolik. Pandangan ini dianut dan dianjurkan oleh ahli hukum kanon kenamaan Gereja Ortodoks Timur, Teodoros Balsamon, Batrik Antiokhia. Pada tahun 1190, Teodoros Balsamon menulis sebagai berikut:

Selama bertahun-tahun, jemaat Barat yang dulu gilang gemilang, yakni Gereja Roma, telah terceraikan dari persekutuan rohani dengan empat kebatrikan lain, dan telah memisahkan dirinya sendiri dengan menerima adat istiadat dan dogma-dogma yang asing bagi Gereja Katolik dan bagi umat Ortodoks ... Dengan demikian, tidak seorang Latin pun boleh dikuduskan oleh tangan imam melalui Misteri Ilahi Nirmala sebelum lebih dulu membuat pernyataan bahwa ia bersedia menjauhkan diri dari dogma-dogma dan adat istiadat Latin, serta bersedia mengikuti amalan umat Ortodoks.[28]

Di lain pihak, para teolog Barat menganggap umat Ortodoks Timur sebagai kaum yang terceraikan. Hubungan Gereja Timur dan Gereja Barat semakin direnggangkan oleh peristiwa-peristiwa tragis seperti Pembantaian orang Latin pada tahun 1182, dan Penjarahan Konstantinopel pada tahun 1204. Peristiwa-peristiwa berdarah ini disusul oleh usaha-usaha rujuk yang gagal (baca Konsili Lyon II, Konsili Firenze, Persatuan Brest, Persatuan Užhorod). Pada Akhir Abad Pertengahan dan Awal Zaman Modern, peristilahan bertambah ruwet, sehingga memunculkan beberapa tata istilah yang paralel tetapi saling bertentangan, dan masih bertahan sampai sekarang dengan segala keruwetannya.

Pada Awal Zaman Modern, istilah khusus "Akatolik" banyak digunakan di Dunia Barat sebagai sebutan bagi orang-orang yang dianggap menganut pandangan-pandangan teologi bidah dan amalan-amalan gerejawi yang menyimpang. Pada masa kontrareformasi, istilah Akatolik digunakan oleh warga Gereja Katolik yang fanatik sebagai sebutan bagi umat Kristen Protestan maupun umat Kristen Ortodoks Timur. Istilah ini dianggap sangat menista sampai-sampai muktamar Gereja Ortodoks Serbia tahun 1790 di Temeswar memutuskan untuk mengajukan permohonan resmi kepada Kaisar Romawi Suci, Leopold II, agar sudi melarang pemakaian istilah "Akatolik".[29]

Pemakaian mutakhir

Kristen Katolik

Secara umum, sebutan Gereja Katolik merujuk pada Gereja Katolik Roma. Kata Roma diatributkan pada Gereja ini karena Gereja Katolik mengimani Paus yang berkedudukan di kota Roma, Italia sebagai kepala gereja yang kelihatan, wakil Yesus Kristus di bumi, dimana kristus yang merupakan kepala utama gereja yang tak kelihatan. Paus adalah penerus Petrus turun temurun yang tidak terputuskan, pengganti St.Petrus saat ini dijabat oleh Paus Fransiskus, yang menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri karena alasan kesehatan pada tahun 2013 lalu. Menurut tradisi gereja, Petrus menjadi uskup Roma dan menjadi martir di sana. Gereja Katolik dengan penambahan kata Roma sendiri sebenarnya tidak pernah menjadi nama resmi yang digunakan oleh Gereja Katolik, .

Kristen Ortodoks

Ketiga cabang agama Kristen di Dunia Timur, yakni Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Persia, masih tetap menyebut dirinya Katolik, sejalan dengan tradisi-tradisi rasuli dan syahadat Nikea.[30] Gereja Ortodoks Timur menjunjung tinggi ajaran-ajaran purba Kekatolikan Ortodoks Timur, dan lumrah memakai istilah Katolik, seperti pada judul Katekismus Lengkap Gereja Orthodox, Katolik, Timur. Sama halnya dengan Gereja Ortodoks Koptik, yang termasuk dalam persekutuan Kristen Ortodoks Oriental, dan yang menganggap persekutuannya sebagai "Gereja Sejati Tuhan Yesus Kristus".[31] Tak satu pun Gereja Timur, Ortodoks maupun Oriental, yang berniat meninggalkan tradisi-tradisi purba kekatolikannya masing-masing.

Kristen Protestan mazhab Lutheran

Pengakuan Iman Augsburg, yang tercantum dalam Buku Mufakat, kumpulan ajaran Kristen Protestan mazhab Lutheran, mengajarkan bahwa "iman yang dianut Martin Luther beserta pengikut-pengikutnya bukanlah iman yang baru, melainkan iman katolik yang sejati, dan gereja-gereja mereka merupakan gereja katolik atau gereja semesta yang sejati".[32] Tatkala membabarkan Pengakuan Iman Augsburg pada tahun 1530 di hadapan Kaisar Romawi Suci, Karl V, para pengikut Martin Luther dengan penuh keyakinan "membuktikan bahwa tiap-tiap butir iman dan amalan di dalamnya pertama-tama benar menurut seluruh Kitab Suci, dan selanjutnya juga benar menurut ajaran bapa-bapa Gereja maupun konsili-konsili".[32]

Kristen Protestan

Kebanyakan gereja reformasi dan pascareformasi menggunakan istilah Katolik (sering kali dengan huruf k kecil) sebagai sebutan bagi keyakinan bahwa segenap umat Kristen adalah bagian dari Gereja yang esa tanpa pandang denominasi. Sebagai contoh, dalam bab XXV dari Pengakuan Iman Westminster tercantum kalimat "katolik atau Gereja semesta". Dengan tafsir kata "katolik" (semesta) semacam inilah gereja-gereja tersebut memaknai frasa "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik" dalam syahadat Nikea, frasa "iman Katolik" dalam syahadat Atanasius, dan frasa "Gereja Katolik yang kudus" dalam syahadat para rasul.

Istilah "Katolik Roma" atau "Gereja Katolik Roma" menyiratkan bahwa Gereja yang mengikuti Sri Paus dan berpusat di Roma bukanlah satu-satunya Gereja Katolik, dan bahwasanya gereja-gereja lain pun berhak disebut "Gereja Katolik", misalnya Gereja Anglikan. Asumsi semacam ini tidak diterima oleh Gereja Roma, yang lazim menyebut dirinya "Gereja Katolik" tanpa embel-embel lain, dan tidak mengakui kesahihan penggunaan nama ini oleh pihak lain.

Istilah ini juga digunakan dengan makna gereja pelestari jawatan uskup yang masih dapat dirunut asal usulnya sampai pada para rasul, dan yang menganggap dirinya sebagai bagian dari satu kumpulan katolik (semesta) umat beriman. Gereja-gereja yang menganggap dirinya Katolik tetapi bukan Katolik Roma antara lain gereja-gereja Anglikan[33] dan gereja-gereja Lutheran,[32] yang menegaskan bahwa mereka adalah gereja-gereja yang Terbarukan sekaligus Katolik. Gereja Katolik Lama dan bermacam-macam jemaat yang disamaratakan dengan sebutan gereja-gereja Katolik Mandiri juga mengaku Katolik. Jemaat-jemaat Katolik Tradisionalis bukan saja menganggap dirinya "Katolik" melainkan juga "Katolik Roma sejati", sekalipun tidak menjalin persekutuan dengan Gereja Roma.

Beberapa gereja menggunakan istilah "Katolik" sebagai tanda bahwa gereja mereka berbeda haluan dengan gereja-gereja Protestan yang bermazhab Kalvinis maupun Puritan, antara lain segolongan umat Anglikan yang lazim disebut umat Anglo-Katolik, jemaat-jemaat Neo-Lutheran pada abad ke-19, jemaat-jemaat Lutheran Gereja Tinggi atau gereja-gereja Katolik Injili pada abad ke-20, dan lain-lain.

Umat Kristen Metodis dan Kristen Presbiterian meyakini bahwa cikal bakal denominasi mereka adalah para rasul dan Gereja Perdana, tetapi tidak mengaku sebagai penerus tatanan Gereja Purwa semisal jawatan uskup. Kendati demikian, kedua gereja ini meyakini bahwa mereka adalah bagian dari gereja katolik (semesta). Menurut Harper's New Monthly Magazine:

Berbagai macam sekte Protestan tidak dapat merupakan satu gereja karena tidak saling bersekutu...tiap-tiap gereja Protestan, baik Metodis maupun Baptis, atau gereja Protestan apa saja, berada dalam persekutuan paripurna dengan dirinya sendiri di mana saja berada, sama seperti Gereja Katolik Roma, dan oleh karena itulah Gereja Katolik Roma tidak lebih istimewa maupun lebih unggul selain dalam hal angka. Lebih jauh lagi, oleh karena itu pula terang-benderang bahwa Gereja Roma tidak lebih Katolik dari segi apa pun dibanding sebuah gereja Metodis atau sebuah gereja Baptis.[34]

— Henry Mills Alden, Harper's New Monthly Magazine Jilid 37, Terbitan 217-222

Dengan demikian, ditinjau dari satu sudut pandang, bagi orang-orang yang "terbilang warga Gereja," istilah Katolik Metodis, atau Katolik Presbiterian, atau Katolik Baptis, adalah istilah-istilah yang sama wajarnya dengan istilah Katolik Roma.[35] Istilah itu cuma berarti himpunan umat Kristen di seluruh dunia yang sepaham dengan mereka dalam urusan keagamaan, dan menerima format-format gerejawi yang sama pula.[35]

Kristen Katolik Mandiri

Sebagian umat Katolik Mandiri mengakui bahwa uskup Roma adalah primus inter pares di antara para uskup, dan berkeyakinan bahwa konsiliarisme diperlukan untuk mengekang ultramontanisme. Kendati demikian, mereka tidak diakui sebagai umat Katolik oleh Gereja Katolik.

Penghidaran pemakaian istilah

Sejumlah gereja Protestan dengan sengaja menghindari pemakaian istilah ini, sampai-sampai ada banyak jemaat Lutheran yang nekat mengganti kata "katolik" dalam syahadat dengan kata "Kristen".[36][37][38] Gereja-gereja Protestan di Indonesia memakai kata "am" (Arab: عَام, ʿām) sebagai ganti istilah "Katolik" dalam syahadat. Gereja-Gereja Ortodoks memang turut prihatin terhadap klaim-klaim jawatan kepausan Katolik Roma, tetapi tidak sependapat dengan sebagian umat Protestan perihal hakikat Gereja sebagai satu tubuh.

Sakramen

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus Kristus menginstitusikan tujuh sakramen, tidak lebih dan tidak kurang, baik menurut Kitab Suci [39] maupun Tradisi Suci dan sejarah Gereja.[40] Adapun sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik Roma sebagai berikut:

Dalam ajaran Katolik, sakramen adalah berkat penyelamatan khusus yang oleh Yesus Kristus diwariskan kepada gereja. Santo Agustinus menyebut sakramen sebagai "tanda kelihatan dari rahmat Allah yang tidak kelihatan".[41]

Katolik di Indonesia

Penyebaran agama Katolik sudah dimulai sejak kedatangan Portugis di Indonesia yang dilakukan oleh beberapa misionaris pada abad ke-16 dan abad ke-17 di bagian timur seperti di Maluku dan Flores, NTT. Agama katolik baru memasuki tanah Jawa pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels di Batavia awal abad-19 dengan didirikan gereja pertama di sana pada tahun 1807 dan disertai dengan diakuinya oleh Vatikan. Pada tahun 2010, 6.907.873 orang (2.9%) dari total penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 orang, beragama Katolik.[42]

Baca juga

Keterangan dan rujukan

Keterangan

  1. ^ Gereja Barat mencakup Gereja Katolik (Roma), gereja-gereja Protestan yang memiliki pertalian sejarah dengan Gereja Katolik, dan gereja-gereja Katolik mandiri yang baru belakangan memisahkan diri.

Rujukan

  1. ^ "Catholic" . Oxford English Dictionary (edisi ke-Online). Oxford University Press.  Templat:OEDsub
  2. ^ (bdk. Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon) Diarsipkan 2008-10-28 di Wayback Machine.
  3. ^ "Online Etymology Dictionary". Etymonline.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-05. Diakses tanggal 2011-09-16. 
  4. ^ "On Being Catholic Diarsipkan 2011-02-22 di Wayback Machine.," oleh Claire Anderson M.Div.
  5. ^   Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Catholic". Encyclopædia Britannica. 5 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 532. 
  6. ^ "catholic". Oxford University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 24 Desember 2014. 
  7. ^ "Beliefs and Social Issues, FAQ". United Methodist Church. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-07. Diakses tanggal 12 Desember 2009. 
  8. ^ "ELCA Terminology". Evangelical Lutheran Church in America. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-11-03. Diakses tanggal 12 Desember 2009. 
  9. ^ F.L. Cross, Oxford Dictionary of the Christian Church, 1977:175.
  10. ^ Christliche Religion, Oskar Simmel Rudolf Stählin, 1960, 150
  11. ^ a b c Inventing Latin Heretics: Byzantines and the Filioque in the Ninth Century di Google Books
  12. ^ a b "Chapter VIII.—Let nothing be done without the bishop". Christian Classics Ethereal Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-05-11. Diakses tanggal 21 November 2008. 
  13. ^ Angle, Paul T. (2007). The Mysterious Origins of Christianity. Wheatmark, Inc. ISBN 978-1-58736-821-9. 
  14. ^ "Ignatius Epistle to the Smyrnaeans". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-25. Diakses tanggal 2008-11-08. 
  15. ^ "Medieval Sourcebook: Theodosian Code XVI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-27. Diakses tanggal 2008-11-08. 
  16. ^ John Meyendorff, Catholicity and the Church, St Vladimirs Seminary Press, 1997, ISBN 0-88141-006-3, hlm. 7
  17. ^ Angle, Paul T. (2007). The Mysterious Origins of Christianity. Wheatmark, Inc. ISBN 9781587368219. 
  18. ^ J. H. Srawley (1900). "Ignatius Epistle to the Smyrnaeans". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-25. Diakses tanggal 2007-06-24. 
  19. ^ [J.H. Srawley, The Epistles of St. Ignatius, Bishop of Antioch, jld. II,] hlmn. 41-42
  20. ^ edisi lain Diarsipkan 2021-02-25 di Wayback Machine., hlm.97
  21. ^ "Sebagaimana keyakinan orang-orang tertentu yang tak beriman, bahwasanya Ia cuma tampak seolah-olah menderita sengsara, karena mereka pun cuma tampak seolah-olah Kristen". Santo Ignasius mengemukakan bahwa ahli-ahli bidah ini tidak mengimani realitas tubuh Kristus, yang sungguh-sungguh menderita sengsara dan dibangkitkan kembali, katanya "mereka tidak mengakui Ekaristi sebagai daging Juru Selamat kita Yesus Kristus, yang menderita sengsara atas dosa-dosa kita, dan yang dibangkitkan kembali Sang Bapa, lantaran kemahabaikan-Nya" (Surat kepada Jemaat di Smirna, 7). Santo Ignasius menyebut mereka "binatang buas dalam wujud manusia, yang bukan saja tidak boleh kamu sambut, melainkan juga sedapat-dapatnya tidak kamu temui" (Surat kepada Jemaat di Smirna, 4).
  22. ^ "Catechetical Lecture 18 (Ezekiel xxxvii)". newadvent.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-20. Diakses tanggal 2012-03-31. 
  23. ^ Bettenson, Henry (1967). Documents of the Christian Church. Oxford University Press US. hlm. 22. ISBN 9780195012934. 
  24. ^ TeSelle, Eugene (1970). Augustine the Theologian. London. hlm. 343. ISBN 978-0-223-97728-0.  Maret 2002 edisi: ISBN 1-57910-918-7.
  25. ^ "Chapter 5.—Against the Title of the Epistle of Manichæus". Christian Classics Ethereal Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-31. Diakses tanggal 21 November 2008. 
  26. ^ Vincent of Lerins. "A Commonitory for the Antiquity and Universality of the Catholic Faith Against the Profane Novelties of All Heresies". Christian Classics Ethereal Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-02. Diakses tanggal 2012-03-05. 
  27. ^ Vincent of Lerins. "A Commonitory for the Antiquity and Universality of the Catholic Faith Against the Profane Novelties of All Heresies". Christian Classics Ethereal Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-02. Diakses tanggal 2012-03-05. 
  28. ^ Heresy and the Making of European Culture: Medieval and Modern Perspectives di Google Books hlm. 42
  29. ^ Радња Благовештенског сабора народа србског у Сремским Карловцима di Google Books hlm. 210
  30. ^ Catholicity and the Church di Google Books
  31. ^ "Characteristics of Our Coptic Church" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-01-22. Diakses tanggal 2019-09-02. 
  32. ^ a b c Ludwig, Alan (12 September 2016). "Luther's Catholic Reformation" (dalam bahasa English). The Lutheran Witness. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-14. Diakses tanggal 2019-08-31. Ketika para pengikut Martin Luther menjelaskan Pengakuan Iman Augsburg di hadapan Kaisar Karl V pada tahun 1530, mereka menunjukkan dengan cermat bahwa tiap-tiap butir iman dan amalan di dalamnya pertama-tama benar menurut Kitab Suci, dan selanjutnya juga benar menurut ajaran bapa-bapa Gereja, konsili-konsili, bahkan hukum kanon Gereja Roma. Mereka dengan berani menyatakan bahwa “inilah ikhtisar ajaran kami, yang jelas-jelas tidak menyimpang sedikitpun dari Kitab Suci, atau dari Gereja Katolik, atau dari Gereja Roma, sejauh yang dapat diketahui dari para penyusunnya” (AC XXI Penutup 1). Dalil yang melandasi Pengakuan Iman Augsburg adalah keyakinan bahwa iman yang dianut Martin Luther beserta pengikut-pengikutnya bukanlah iman yang baru, melainkan iman katolik yang sejati, dan bahwasanya gereja-gereja mereka merupakan gereja katolik atau gereja semesta yang sejati. Bahkan sesungguhnya, Gereja Romalah yang sudah menyimpang dari iman purwa dan amalan Gereja Katolik (baca AC XXIII 13, XXVIII 72 dan bagian-bagian lain). 
  33. ^ "The Book of Common Prayer - The Athanasian Creed". The Church of England. 18 January 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-14. 
  34. ^ Alden, Henry Mills (1868). Harper's new monthly magazine, Volume 37, Issues 217-222. Harper's Magazine Co. Diakses tanggal 2007-03-25. Berbagai macam sekte Protestan tidak dapat merupakan satu gereja karena tidak saling bersekutu...tiap-tiap gereja Protestan, baik Metodis maupun Baptis, atau gereja Protestan apa saja, berada dalam persekutuan paripurna dengan dirinya sendiri di mana saja berada, sama seperti Gereja Katolik Roma, dan oleh karena itulah Gereja Katolik Roma tidak lebih istimewa maupun lebih unggul selain dalam hal angka. Lebih jauh lagi, oleh karena itu pula terang-benderang bahwa Gereja Roma tidak lebih Katolik dari segi apa pun dibanding sebuah gereja Metodis atau sebuah gereja Baptis. 
  35. ^ a b Harper's magazine, Volume 37. Harper's Magazine Co. 1907. Diakses tanggal 2007-03-25. Bagi orang-orang yang "terbilang warga Gereja," istilah Katolik Metodis, atau Katolik Presbiterian, atau Katolik Baptis, adalah istilah-istilah yang sama wajarnya dengan istilah Katolik Roma. Istilah itu cuma berarti himpunan umat Kristen di seluruh dunia penganut pandangan agama yang sama dengan mereka, dan menerima format-format gerejawi yang sama pula. 
  36. ^ "Nicene Creed". The Lutheran Church, Missouri Synod. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 May 2008. Diakses tanggal 2007-06-24. 
  37. ^ "Nicene Creed". Wisconsin Evangelical Lutheran Synod. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 January 2008. Diakses tanggal 24 June 2007. 
  38. ^ "Nicene Creed". International Lutheran Fellowship. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2007-06-24. 
  39. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-29. Diakses tanggal 2007-07-20. 
  40. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-08-12. Diakses tanggal 2007-07-20. 
  41. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-19. Diakses tanggal 2007-07-20. 
  42. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-24. Diakses tanggal 2014-08-24. 

Lihat pula

Pranala luar