Soekarno

Presiden Indonesia ke-1 (1945–1967)
(Dialihkan dari Bung Karno)
Ini adalah versi stabil, terperiksa pada tanggal 14 Juni 2025.

Ir. Soekarno (Ejaan Republik: Sukarno; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970),[cat. 1] biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno adalah seorang negarawan, orator, dan Presiden Indonesia pertama yang menjabat sejak tahun 1945 sampai 1967. Ia menjabat sebagai presiden setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama wakilnya, Mohammad Hatta.[7]:11, 81[8]:26-32 Selain dikenal sebagai "Bapak Proklamator", Soekarno dikenal juga sebagai pencetus Pancasila, dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.[8][9]

Soekarno
Potret resmi, ca 1949
Presiden Indonesia ke-1
Masa jabatan
18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967
Perdana Menteri
Daftar
Wakil PresidenMohammad Hatta (1945—1956)
Pengganti
Soeharto
Sebelum
Presiden Republik Indonesia Serikat
Masa jabatan
27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Perdana MenteriMohammad Hatta
Wakil PresidenMohammad Hatta
Sebelum
Pengganti
Dirinya sendiri
(sebagai Presiden Indonesia)
Perdana Menteri Indonesia ke-12
Masa jabatan
9 Juli 1959 – 25 Juli 1966
Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia ke-5
Masa jabatan
1959–1966
Informasi pribadi
Lahir
Koesno Sosrodihardjo

(1901-06-06)6 Juni 1901
Soerabaja, Oost Java, Hindia Belanda[2]
Meninggal21 Juni 1970(1970-06-21) (umur 69)
Jakarta, Indonesia
Sebab kematianGangguan ginjal
MakamBendogerit, Sananwetan, Blitar
8°05′05″S 112°10′34″E / 8.0846185°S 112.1761243°E / -8.0846185; 112.1761243
KewarganegaraanIndonesia
Partai politikPartai Nasional Indonesia (1927—1931)
Suami/istri
Daftar
Anak
Daftar
Orang tua
Profesi
  • Insinyur
  • politikus
  • guru
Tanda tangan
IMDB: nm0837705 Discogs: 5485119 Find a Grave: 8538034 Modifica els identificadors a Wikidata
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini
Video luar
Arsip Konferensi Asia-Afrika di Bandung
Konfrensi Asia Afrika oleh Humas Arsip Nasional RI.

Soekarno adalah pemimpin perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ia adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia selama masa kolonial dan menghabiskan lebih dari satu dekade di tahanan Belanda hingga dibebaskan oleh penjajah Jepang dalam Perang Dunia II. Soekarno dan rekan-rekan nasionalisnya berkolaborasi dengan Jepang untuk mendapatkan dukungan bagi upaya perang Jepang dari penduduk, sebagai imbalan atas bantuan Jepang dalam menyebarkan ide-ide nasionalis. Setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Sukarno diangkat menjadi presiden. Ia memimpin perlawanan Indonesia terhadap upaya penjajahan kembali Belanda melalui cara diplomatik dan militer hingga pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Oleh karena itu, ia diberi gelar "Bapak Proklamasi."[10]

Setelah Era Demokrasi Liberal Indonesia atau demokrasi parlementer, Soekarno mendirikan sistem otokrasi yang disebut "Demokrasi Terpimpin" pada tahun 1959. Pada awal tahun 1960-an Soekarno memulai serangkaian kebijakan luar negeri yang agresif dengan tajuk anti-imperialisme dan secara pribadi memperjuangkan Gerakan Non-Blok. Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya ketegangan dengan Barat dan hubungan yang lebih dekat dengan Uni Soviet. Setelah peristiwa seputar Gerakan 30 September tahun 1965, jenderal militer Soeharto mengambil alih kendali negara dalam penggulingan pemerintah yang dipimpin Soekarno oleh militer yang didukung Barat. Hal ini diikuti oleh penindasan terhadap kaum kiri yang nyata dan yang dianggap beraliran kiri, termasuk eksekusi terhadap anggota partai Komunis dan orang-orang yang diduga bersimpati pada beberapa pembantaian dengan dukungan dari CIA[11] dan SIS,[12] mengakibatkan sekitar 500.000 hingga lebih dari 1.000.000 kematian.[13][14][15][16] Pada tahun 1967, Soeharto resmi memangku jabatan presiden, menggantikan Soekarno, yang tetap berada dalam tahanan rumah hingga meninggal pada tahun 1970.

Nama

Soekarno lahir di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur dengan nama Kusno (Koesno) yang diberikan oleh orangtuanya.[7] Akan tetapi, karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[7][17]:35-36 Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[7][17] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[17]

Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda).[17]:32 Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun.[17]:32 Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

Achmed Soekarno

Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?"[18] karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian penamaan di Indonesia, terutama nama Jawa, yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.

Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[19] Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia[20] dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata.

Kehidupan

Masa kecil dan remaja

 
Rumah masa kecil Bung Karno

Soekarno dilahirkan di Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (1873–1945) dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai (1881–1958).[7] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[7] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[7] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[21]:4-6, 247-251 Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[7]

Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[7] Di Mojokerto, ayahnya memasukkan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[21] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).[7] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.[7] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[7] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[7] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[7] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[7] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[7] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[21]

 
Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja
 
Soekarno bersama mahasiswa pribumi TH Bandung tahun 1923. Baris belakang dari kiri ke kanan: M. Anwari, Soetedjo, Soetojo, Soekarno, R. Soemani, Soetono, R. M. Koesoemaningrat, Djokoasmo, Marsito. Duduk di depan: Soetoto, M. Hoedioro, Katamso.

Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921,[22] bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[3]:38 setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[3]:38 dan tamat pada tahun 1926.[23] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.[3]:37 Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".[3]:37 Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[24]:167 selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[24]:167

Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[7] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Silsilah keluarga

Silsilah keluarga
 
 
Raden Soekemi Sosrodihardjo
 
Ida Ayu Nyoman Rai
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Soekarno (1901-1970)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Oetari (menikah 1921;berpisah 1923)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Inggit Garnasih (menikah 1923)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Fatmawati (menikah 1943)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Guntur (l.1944)
 
Megawati (l.1947)
 
_Rachmawati_ (l.1950)
 
_Sukmawati_ (l.1952)
 
___Guruh___ (l.1953)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hartini (menikah 1952)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Taufan (1951-1981)
 
Bayu (l.1958)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Ratna (menikah 1962)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kartika (l.1967)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Haryati (menikah 1963)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Ayu
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Yurike Sanger (menikah 1964)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kartini Manoppo
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Totok (l.1967)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Heldy Djafar (menikah 1966)
 
 
 
 

Perjuangan awal kemerdekaan

Soekarno pertama kali mengenal ide-ide nasionalis saat hidup di bawah pemerintahan Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian, ketika menjadi mahasiswa di Bandung, ia membenamkan dirinya dalam filsafat politik Eropa, Amerika, nasionalis, komunis, dan agama, yang pada akhirnya mengembangkan karyanya memiliki ideologi politik swasembada ala sosialis Indonesia. Ia mulai menata ide-idenya sebagai Marhaenisme, yang diambil dari nama Marhaen, seorang petani Indonesia yang ia temui di wilayah selatan Bandung, yang memiliki sebidang tanah kecil dan menggarapnya sendiri, sehingga menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Di universitas, Soekarno mulai mengorganisasi klub belajar untuk mahasiswa Indonesia, Algemeene Studieclub, yang bertentangan dengan klub mahasiswa yang didominasi oleh mahasiswa Belanda.

Keterlibatan dalam Partai Nasional Indonesia

Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama teman-temannya dari Algemeene Studieclub mendirikan partai pro-kemerdekaan, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Soekarno terpilih sebagai pemimpin pertama. Partai ini menganjurkan kemerdekaan bagi Indonesia, dan menentang imperialisme dan kapitalisme karena berpendapat bahwa kedua sistem tersebut memperburuk kehidupan rakyat Indonesia. Partai ini juga menganjurkan sekularisme dan persatuan di antara berbagai etnis di Hindia Belanda, untuk membentuk Indonesia yang bersatu. Soekarno juga berharap bahwa Jepang akan memulai perang melawan kekuatan barat dan Jawa kemudian dapat memperoleh kemerdekaannya dengan bantuan Jepang. PNI mulai menarik sejumlah besar pengikut, khususnya di kalangan pemuda lulusan universitas yang menginginkan kebebasan dan kesempatan yang lebih luas yang tidak diberikan kepada mereka dalam sistem politik kolonialisme Belanda yang rasis dan konstriktif. Hal ini terjadi segera setelah disintegrasi Sarekat Islam pada awal tahun 1920-an dan hancurnya Partai Komunis Indonesia setelah pemberontakan yang gagal pada tahun 1926.[25]

Penangkapan, persidangan, dan pemenjaraan

Penangkapan dan persidangan

 
Soekarno bersama rekan-rekan terdakwa dan pengacaranya pada saat persidangannya di Bandung, 1930

Kegiatan PNI menarik perhatian pemerintah kolonial, dan pidato serta pertemuan Soekarno sering kali disusupi dan diganggu oleh agen polisi rahasia kolonial (Politieke Inlichtingendienst). Akhirnya, Soekarno dan para pemimpin penting PNI lainnya ditangkap pada tanggal 29 Desember 1929 oleh otoritas kolonial Belanda dalam serangkaian penggerebekan di seluruh Jawa. Soekarno sendiri ditangkap saat sedang berkunjung ke Yogyakarta. Selama persidangannya di gedung pengadilan Landraad Bandung dari bulan Agustus hingga Desember 1930, Soekarno menyampaikan serangkaian pidato politik panjang yang menyerang kolonialisme dan imperialisme, bertajuk Indonesia Menggoegat (Indonesia Accuses).[26]

Hukuman dan penjara

Pada bulan Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara, yang dijalani di penjara Sukamiskin di Bandung. Namun pidatonya mendapat liputan luas dari media, dan karena tekanan kuat dari unsur-unsur liberal di Belanda dan Hindia Belanda, Soekarno dibebaskan lebih awal pada tanggal 31 Desember 1931. Dengan ini Saat itu, ia telah menjadi pahlawan populer yang dikenal luas di seluruh Indonesia.

Namun, selama ia dipenjara, PNI terpecah belah akibat penindasan pemerintah kolonial dan pertikaian internal. PNI yang asli dibubarkan oleh Belanda, dan mantan anggotanya membentuk dua partai berbeda; Partai Indonesia (Partindo) di bawah rekan Soekarno, Sartono yang mempromosikan agitasi massa, dan Pendidikan Nasionalis Indonesia (PNI Baru) di bawah Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir, dua orang nasionalis yang baru saja kembali dari studi di Belanda, dan mempromosikan strategi jangka panjang dalam menyediakan pendidikan modern kepada masyarakat Indonesia yang tidak berpendidikan untuk mengembangkan elit intelektual yang mampu memberikan perlawanan efektif terhadap pemerintahan Belanda. Setelah berusaha mendamaikan kedua partai untuk membentuk satu front persatuan nasionalis, Soekarno memilih menjadi ketua Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Partindo tetap mempertahankan keselarasan dengan strategi agitasi massa langsung yang dilakukan Soekarno, dan Soekarno tidak setuju dengan Perjuangan jangka panjang berbasis kader Hatta. Hatta sendiri meyakini kemerdekaan Indonesia tidak akan terjadi semasa hidupnya, sedangkan Soekarno meyakini strategi Hatta mengabaikan fakta bahwa politik hanya dapat melakukan perubahan nyata melalui pembentukan dan pemanfaatan kekuatan (machtsvorming en machtsaanwending).[25]

Selama periode ini, untuk menghidupi dirinya dan partai secara finansial, Soekarno kembali ke dunia arsitektur, membuka biro Soekarno & Roosseno bersama junior universitasnya, Roosseno. Dia juga menulis artikel untuk surat kabar partai, Fikiran Ra'jat (Pikiran Rakyat). Saat bermarkas di Bandung, Soekarno sering bepergian ke seluruh Jawa untuk menjalin kontak dengan kaum nasionalis lainnya. Aktivitasnya semakin menarik perhatian PID Belanda. Pada pertengahan tahun 1933, Soekarno menerbitkan serangkaian tulisan berjudul Mentjapai Indonesia Merdeka (“Mencapai Indonesia Merdeka”). Karena tulisan ini, ia ditangkap oleh polisi Belanda saat mengunjungi rekan nasionalisnya, Mohammad Hoesni Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933.

Diasingkan

Kali ini, untuk mencegah pemberian platform kepada Soekarno untuk menyampaikan pidato politik, gubernur jenderal garis keras Jonkheer, Bonifacius Cornelis de Jonge menggunakan kekuatan daruratnya untuk mengirim Soekarno ke pengasingan internal tanpa pengadilan. Pada tahun 1934, Soekarno dikapalkan bersama keluarganya (termasuk Inggit Garnasih), ke kota terpencil Ende, di pulau Flores. Selama berada di Flores, ia memanfaatkan kebebasan bergeraknya yang terbatas untuk mendirikan teater anak-anak. Di antara anggotanya adalah politisi masa depan Frans Seda. Karena wabah malaria di Flores, pemerintah Belanda memutuskan untuk memindahkan Soekarno dan keluarganya ke Bencoolen (sekarang Bengkulu) di pantai barat Sumatra, pada bulan Februari 1938.

Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Hassan Din, ketua organisasi Muhammadiyah setempat, dan dia diizinkan untuk mengajar agama di sekolah lokal milik Muhammadiyah. Salah satu muridnya adalah Fatmawati yang berusia 15 tahun, putri Hassan Din. Ia menjalin hubungan asmara dengan Fatmawati, yang ia beralasan dengan menyatakan ketidakmampuan Inggit Garnasih menghasilkan anak selama hampir 20 tahun pernikahan mereka. Soekarno masih berada di pengasingan Bengkulu ketika Jepang menyerbu kepulauan pada tahun 1942.

Perang Dunia II dan pendudukan Jepang

Pendudukan Jepang

Latar belakang dan invasi

 
Soekarno di rumah di pengasingan, Bengkulu

Pada awal tahun 1929, selama Kebangkitan Nasional Indonesia, Soekarno dan rekan pemimpin nasionalis Indonesia Mohammad Hatta (kemudian Wakil Presiden), pertama kali meramalkan Perang Pasifik dan Perang Pasifik. peluang yang mungkin diberikan oleh kemajuan Jepang di Indonesia demi tujuan kemerdekaan Indonesia.[27] Pada bulan Februari 1942, Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda dengan cepat mengalahkan pasukan Belanda yang berbaris, mengangkut bus dan truk Soekarno dan rombongannya tiga ratus kilometer dari Bengkulu ke Padang, Sumatera Barat. Mereka bermaksud menahannya dan mengirimnya ke Australia namun tiba-tiba meninggalkannya untuk menyelamatkan diri ketika pasukan Jepang mendekat di Padang.[28]

Kerja sama dengan Jepang

 
Soekarno berjabat tangan dengan Direktur Dalam Negeri Jepang untuk pendudukan Hindia Belanda, Jendral Moichiri Yamamoto, September 1944

Jepang mempunyai arsip mereka sendiri mengenai Soekarno. Pada 18 Maret 1942, Soekarno memenuhi undangan komandan Jepang di Sumatera Kolonel Fujiyama di Bukittingi. yang ingin memanfaatkannya untuk mengorganisir dan menenangkan rakyat Indonesia. Soekarno menyanggupi, dan sebaliknya, ingin memanfaatkan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan bagi Indonesia: "Terpujilah Tuhan, Tuhan menunjukkan kepadaku jalannya; di lembah Ngarai (Sianok) itu aku berkata: Ya, Indonesia Merdeka hanya bisa dicapai dengan Dai Nippon ... Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, aku melihat diriku di cermin Asia."[29] Pada bulan Juli 1942, Soekarno tiba di Jakarta dan ia bersatu kembali dengan para pemimpin nasionalis lainnya yang baru-baru ini dibebaskan oleh Jepang, termasuk Mohammad Hatta. Di sana, ia bertemu dengan Panglima Jepang Jenderal Hitoshi Imamura, yang meminta Soekarno dan kaum nasionalis lainnya untuk menggalang dukungan dari masyarakat Indonesia untuk membantu upaya perang Jepang.

Soekarno bersedia mendukung Jepang, dengan imbalan platform bagi dirinya untuk menyebarkan ide-ide nasionalis kepada masyarakat luas.[30][31] Sebaliknya Jepang membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya alam Indonesia untuk membantu upaya perangnya. Jepang merekrut jutaan orang, terutama dari Jawa, untuk melakukan kerja paksa romusha. Mereka terpaksa membangun rel kereta api, lapangan terbang, dan fasilitas lainnya untuk Jepang di Indonesia hingga Burma. Selain itu, Jepang meminta beras dan makanan lain yang diproduksi oleh petani Indonesia untuk memasok pasukan mereka, sekaligus memaksa petani untuk menanam tanaman minyak jarak untuk digunakan sebagai bahan bakar dan pelumas penerbangan.[32][33][34]

Untuk mendapatkan kerja sama dari penduduk Indonesia dan untuk mencegah perlawanan terhadap tindakan tersebut, Jepang menempatkan Soekarno sebagai ketua [gerakan organisasi massa 3A Jepang (Tiga-A). Pada bulan Maret 1943, Jepang membentuk organisasi baru bernama Poesat Tenaga Rakjat (POETERA) di bawah Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansjoer. Organisasi-organisasi ini bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap perekrutan romusha, permintaan produk makanan, dan untuk mempromosikan sentimen pro-Jepang dan anti-Barat di kalangan masyarakat Indonesia. Soekarno yang menciptakan istilah Amerika kita setrika, Inggris kita linggis untuk mempromosikan sentimen anti-Sekutu. Pada tahun-tahun berikutnya, Soekarno merasa malu atas perannya dalam pemerintahan romusha. Selain itu, permintaan makanan oleh Jepang menyebabkan kelaparan yang meluas di Jawa, yang menewaskan lebih dari satu juta orang pada tahun 1944–1945. Menurutnya, hal ini merupakan pengorbanan yang perlu dilakukan demi kemerdekaan Indonesia di masa depan.[30][31] Ia juga terlibat dalam pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho (Pasukan Tentara Relawan Indonesia) melalui pidato-pidato yang disiarkan di radio Jepang dan jaringan pengeras suara di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera. Pada pertengahan tahun 1945, unit-unit ini berjumlah sekitar dua juta dan bersiap untuk mengalahkan Pasukan Sekutu yang dikirim untuk merebut kembali Jawa.

laporan ABC tahun 1966 yang meneliti aliansi Soekarno antara Kekaisaran Jepang dan gerakan nasionalis Indonesia

Sementara itu, Soekarno akhirnya menceraikan Inggit yang menolak keinginan suaminya untuk berpoligami. Dia diberi rumah di Bandung dan uang pensiun seumur hidupnya. Pada tahun 1943, ia menikah dengan Fatmawati. Mereka tinggal di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, yang disita dari pemilik Belanda sebelumnya dan diberikan kepada Soekarno oleh Jepang. Rumah ini nantinya menjadi tempat berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Pada tanggal 10 November 1943, Soekarno dan Hatta dikirim dalam tur 17 hari di Jepang, di mana mereka diberi penghargaan oleh Kaisar Hirohito dan minum anggur serta makan malam di rumah Perdana Menteri Hideki Tojo di Tokyo. Pada tanggal 7 September 1944, ketika perang tidak menguntungkan Jepang, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, meskipun tanggalnya belum ditentukan.[35] Pengumuman ini, menurut sejarah resmi AS, dipandang sebagai pembenaran besar atas kolaborasi Soekarno dengan Jepang.[36] AS pada saat itu menganggap Soekarno sebagai salah satu "pemimpin kolaborator terkemuka."[37]

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

 
Soekarno saat berkunjung ke Makassar, 30 April 1945

Pada tanggal 29 April 1945, ketika Filipina dibebaskan oleh pasukan Amerika, Jepang mengizinkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah kuasi legislatif yang terdiri dari 67 perwakilan dari sebagian besar kelompok etnis di Indonesia. Soekarno diangkat sebagai ketua BPUPKI dan ditugaskan memimpin pembahasan untuk mempersiapkan dasar negara Indonesia masa depan. Untuk memberikan platform yang umum dan dapat diterima untuk menyatukan berbagai faksi yang berselisih di BPUPKI, Soekarno merumuskan pemikiran ideologisnya yang dikembangkan selama dua puluh tahun sebelumnya ke dalam lima prinsip. Pada tanggal 1 Juni 1945, ia memperkenalkan seperangkat lima prinsip, yang dikenal sebagai Pancasila, dalam sidang gabungan BPUPKI yang diadakan di bekas Gedung Volksraad (sekarang disebut Gedung Pancasila).

Pancasila, seperti yang disampaikan Soekarno dalam pidato BPUPKI, terdiri dari lima prinsip yang menurut Soekarno umum dianut oleh seluruh rakyat Indonesia:[38]

  1. Nasionalisme, di mana negara kesatuan Indonesia akan terbentang dari Sabang sampai Merauke, meliputi seluruh bekas Hindia Belanda.
  2. Internasionalisme, artinya Indonesia harus menghargai hak asasi manusia dan berkontribusi terhadap perdamaian dunia, serta tidak boleh terjerumus ke dalam fasisme chauvinistik seperti yang dilakukan oleh Jerman Nazi yang meyakini superioritas ras Arya
  3. Demokrasi, yang diyakini Soekarno selalu ada dalam darah bangsa Indonesia melalui praktik musyawarah untuk muafakat, sebuah demokrasi ala Indonesia yang berbeda dengan liberalisme ala Barat.
  4. Keadilan sosial, suatu bentuk sosialisme populis di bidang ekonomi dengan oposisi gaya Marxis terhadap kapitalisme bebas. Keadilan sosial juga dimaksudkan untuk memberikan pemerataan perekonomian bagi seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan dominasi ekonomi penuh oleh Belanda dan Tiongkok pada masa kolonial.
  5. Ketuhanan, dimana semua agama diperlakukan sama dan mempunyai kebebasan beragama. Soekarno memandang masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang spiritual dan religius, namun pada hakikatnya toleran terhadap perbedaan keyakinan agama.

Pada tanggal 22 Juni, unsur-unsur Islam dan nasionalis dari BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan), yang merumuskan Gagasan Soekarno ke dalam lima butir Pancasila, dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta:[39]

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islambbagi para pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab'
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam musyawarah perwakilan
  5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

Karena adanya tekanan dari unsur Islam, maka sila pertama menyebutkan kewajiban umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam (syariah). Namun Sila final sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak mengacu pada hukum Islam demi persatuan bangsa. Penghapusan syariah dilakukan oleh Mohammad Hatta berdasarkan permintaan perwakilan Kristen Alexander Andries Maramis, dan setelah berkonsultasi dengan perwakilan Islam moderat Teuku Mohammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.[40]

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang mengizinkan pembentukan badan yang lebih kecil, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebuah komite beranggotakan 21 orang yang bertugas menciptakan struktur pemerintahan khusus untuk negara Indonesia masa depan. Pada tanggal 9 Agustus, pimpinan tertinggi PPKI (Soekarno, Hatta, dan KRT Radjiman Wediodiningrat), dipanggil oleh Panglima Pasukan Ekspedisi Selatan Jepang, Marsekal Lapangan Hisaichi Terauchi, ke Da Lat, 100 km dari Saigon. Marsekal Lapangan Terauchi memberikan kebebasan kepada Soekarno untuk melanjutkan persiapan kemerdekaan Indonesia, bebas dari campur tangan Jepang. Setelah minum dan makan, rombongan Soekarno diterbangkan kembali ke Jakarta pada 14 Agustus. Tanpa sepengetahuan para tamu, bom atom telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dan Jepang sedang mempersiapkan penyerahan.

Penyerahan Jepang

Keesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus, Jepang menyatakan penerimaan mereka terhadap persyaratan Deklarasi Potsdam dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sore hari itu, Soekarno menerima informasi ini dari para pemimpin kelompok pemuda dan anggota PETA Chairul Saleh, Soekarni, dan Wikana, yang telah mendengarkan siaran radio Barat. Mereka mendesak agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, saat Jepang sedang kebingungan dan sebelum kedatangan pasukan Sekutu. Menghadapi pergantian peristiwa yang cepat ini, Soekarno menunda-nunda. Dia takut akan pertumpahan darah karena tanggapan bermusuhan dari Jepang terhadap tindakan tersebut dan prihatin dengan kemungkinan pembalasan Sekutu di masa depan.

Penculikan ke Rengasdengklok

Pada dini hari tanggal 16 Agustus, ketiga pemimpin pemuda tersebut, karena tidak sabar dengan keragu-raguan Soekarno, menculiknya dari rumahnya dan membawanya ke sebuah rumah kecil di Rengasdengklok, Karawang, milik sebuah keluarga Tionghoa dan ditempati oleh PETA. Di sana mereka memperoleh komitmen Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan keesokan harinya. Malamnya, para pemuda mengantar Soekarno kembali ke rumah Laksamana Tadashi Maeda, perwira penghubung angkatan laut Jepang di kawasan Menteng Jakarta, yang bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia. Di sana, ia dan asistennya Sajoeti Melik menyiapkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Revolusi Nasional (1945–1949)

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

 
Soekarno didampingi Mohammad Hatta (kanan), memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dini hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno kembali ke rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, di mana Mohammad Hatta bergabung dengannya. Sepanjang pagi, selebaran dadakan yang dicetak oleh PETA dan golongan pemuda menginformasikan kepada masyarakat bahwa proklamasi akan segera dilakukan. Akhirnya pada pukul 10 pagi, Soekarno dan Hatta melangkah ke teras depan, tempat Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di hadapan 500 orang massa. Bangunan paling bersejarah ini kemudian diperintahkan untuk dibongkar oleh Soekarno sendiri, tanpa alasan yang jelas.[41]

Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, PPKI mendeklarasikan susunan dasar pemerintahan Negara Republik Indonesia yang baru:

  1. Mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden serta kabinetnya.
  2. Memberlakukan UUD Indonesia Tahun 1945, yang pada saat itu tidak menyertakan referensi apapun terhadap hukum Islam.
  3. Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (Komite Nasional Indonesia Poesat/KNIP) untuk membantu presiden sebelum pemilihan parlemen.

Visi Soekarno terhadap UUD Indonesia tahun 1945 terdiri dari Pancasila. Filsafat politik Soekarno pada dasarnya merupakan perpaduan unsur-unsur Marxisme, nasionalisme dan Islam. Hal ini tercermin dalam usulan Pancasila versinya yang diajukannya kepada BPUPKI dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.[40]

Soekarno berpendapat, seluruh prinsip bangsa dapat terangkum dalam ungkapan gotong royong.[42] Parlemen Indonesia, yang didirikan berdasarkan konstitusi asli (dan kemudian direvisi), terbukti tidak dapat diatur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang tidak dapat didamaikan antara berbagai faksi sosial, politik, agama dan etnis.[43]

Revolusi dan Masa Bersiap

Pada hari-hari setelah proklamasi, berita kemerdekaan Indonesia disebarkan melalui radio, surat kabar, selebaran, dan dari mulut ke mulut meskipun ada upaya dari tentara Jepang untuk meredam berita tersebut. Pada tanggal 19 September, Soekarno berpidato di hadapan satu juta orang di Lapangan Ikada Jakarta (sekarang bagian dari Lapangan Merdeka) untuk memperingati satu bulan kemerdekaan, yang menunjukkan tingginya tingkat dukungan rakyat terhadap Republik baru, setidaknya di Jawa dan Sumatra. Di kedua pulau ini, pemerintahan Soekarno dengan cepat membangun kendali pemerintahan sementara sebagian besar tentara Jepang yang tersisa mundur ke barak mereka menunggu kedatangan pasukan Sekutu. Periode ini ditandai dengan serangan terus menerus oleh kelompok bersenjata pribumi terhadap orang-orang Eropa, Tionghoa, Kristen, bangsawan pribumi dan siapa saja yang mereka anggap menentang kemerdekaan Indonesia.[44][45] Kasus yang paling serius adalah Revolusi Sosial di Aceh dan Sumatera Utara, di mana sejumlah besar bangsawan Aceh dan Melayu dibunuh oleh kelompok Islam (di Aceh) dan massa yang dipimpin komunis (di Sumatera Utara), dan "Perselingkuhan Tiga Wilayah" di pantai barat laut Jawa Tengah di mana sejumlah besar bangsawan Eropa, Tionghoa, dan pribumi dibantai oleh massa. Insiden berdarah ini berlanjut hingga akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946, dan mulai mereda ketika otoritas Partai Republik mulai mengerahkan dan mengkonsolidasi kendali.[46]

Pemerintahan Soekarno awalnya menunda pembentukan tentara nasional, karena takut akan perlawanan terhadap pasukan pendudukan Sekutu dan keraguan mereka mengenai apakah mereka mampu membentuk aparat militer yang memadai untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang direbut. Anggota berbagai kelompok milisi yang terbentuk pada masa pendudukan Jepang seperti PETA dan Heiho yang dibubarkan, pada saat itu didorong untuk bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Baru pada bulan Oktober 1945 BKR direformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai respons terhadap meningkatnya kehadiran Sekutu dan Belanda di Indonesia. TKR sebagian besar mempersenjatai diri dengan menyerang pasukan Jepang dan menyita senjata mereka.

Karena pemindahan tiba-tiba Jawa dan Sumatra dari Komando Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur yang dikuasai Amerika ke Komando Asia Tenggara pimpinan Lord Louis Mountbatten yang dikuasai Inggris, tentara Sekutu pertama (Batalion 1 Seaforth Highlanders) baru tiba di Jakarta pada akhir September 1945. Pasukan Inggris mulai menduduki kota-kota besar di Indonesia pada bulan Oktober 1945. Komandan Divisi 23 Inggris, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, mengatur komando di bekas istana gubernur jenderal di Jakarta. Christison menyatakan bahwa ia bermaksud untuk membebaskan seluruh tawanan perang Sekutu dan memungkinkan kembalinya Indonesia ke status sebelum perang, yaitu sebagai koloni Belanda. Pemerintah Republik bersedia bekerja sama dalam pembebasan dan pemulangan tawanan perang sipil dan militer Sekutu, dengan membentuk Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang (POPDA) untuk tujuan ini. POPDA, bekerja sama dengan Inggris, memulangkan lebih dari 70.000 tawanan perang dan interniran Jepang dan Sekutu pada akhir tahun 1946. Namun, karena kelemahan militer Republik Indonesia, Soekarno mencari kemerdekaan dengan mendapatkan pengakuan internasional atas negara barunya daripada terlibat dalam pertempuran dengan pasukan militer Inggris dan Belanda.

Soekarno sadar bahwa masa lalunya sebagai kolaborator Jepang dan kepemimpinannya di Putera yang disetujui Jepang pada masa pendudukan akan membuat negara-negara Barat tidak mempercayainya. Untuk membantu mendapatkan pengakuan internasional serta untuk mengakomodasi tuntutan dalam negeri akan keterwakilan, Soekarno "mengizinkan" pembentukan sistem pemerintahan parlementer, di mana seorang perdana menteri mengendalikan urusan sehari-hari pemerintahan, sedangkan Soekarno sebagai presiden tetap menjadi tokoh boneka. Perdana menteri dan kabinetnya akan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat dan bukan kepada presiden. Pada tanggal 14 November 1945, Soekarno mengangkat Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri pertama; dia adalah seorang politikus lulusan Eropa yang tidak pernah terlibat dengan otoritas pendudukan Jepang.

Pada akhir tahun 1945, para administrator Belanda yang memimpin pemerintahan di pengasingan Hindia Belanda dan tentara yang pernah melawan Jepang mulai kembali dengan nama Administrasi Sipil Hindia Belanda (NICA), dengan perlindungan Inggris. Mereka dipimpin oleh Hubertus Johannes van Mook, seorang administrator kolonial yang telah mengungsi ke Brisbane, Australia. Tentara Belanda yang pernah menjadi tawanan perang di bawah pemerintahan Jepang dibebaskan dan dipersenjatai kembali. Baku tembak antara tentara Belanda dan polisi pendukung pemerintahan Republik yang baru segera terjadi. Hal ini segera meningkat menjadi konflik bersenjata antara pasukan Republik yang baru dibentuk yang dibantu oleh sejumlah massa pro-kemerdekaan dan pasukan Belanda dan Inggris. Pada tanggal 10 November, pertempuran skala penuh pecah di Surabaya antara Brigade Infanteri ke-49 dari Angkatan Darat India Britania dan milisi nasionalis Indonesia. Pasukan Inggris-India didukung oleh angkatan udara dan angkatan laut. Sekitar 300 tentara India terbunuh (termasuk komandan mereka Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby), begitu pula ribuan anggota milisi nasionalis dan warga Indonesia lainnya. Baku tembak terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan di Jakarta, termasuk percobaan pembunuhan Perdana Menteri Sjahrir oleh orang-orang bersenjata Belanda. Untuk menghindari ancaman ini, Soekarno dan sebagian besar pemerintahannya berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Di sana, pemerintah Republik mendapat perlindungan dan dukungan penuh dari Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono IX. Yogyakarta akan tetap menjadi ibu kota Republik hingga akhir perang pada tahun 1949. Sjahrir tetap di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Inggris.[47]

Rangkaian awal pertempuran pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946 membuat Inggris menguasai kota-kota pelabuhan besar di Jawa dan Sumatra. Pada masa pendudukan Jepang, pulau-pulau terluar (tidak termasuk Jawa dan Sumatra) diduduki oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun), yang tidak mengizinkan mobilisasi politik penduduk pulau. Akibatnya, hanya ada sedikit aktivitas Partai Republik di kepulauan ini pasca proklamasi. Pasukan Australia dan Belanda dapat dengan cepat menguasai pulau-pulau ini tanpa banyak pertempuran pada akhir tahun 1945 (tidak termasuk perlawanan I Gusti Ngurah Rai di Bali, pemberontakan di Sulawesi Selatan, dan pertempuran di wilayah Hulu Sungai Kalimantan Selatan). Sementara itu, wilayah pedalaman di Jawa dan Sumatra tetap berada di bawah kendali Partai Republik.

Karena ingin menarik tentaranya keluar dari Indonesia, Inggris mengizinkan masuknya pasukan Belanda dalam jumlah besar ke Indonesia sepanjang tahun 1946. Pada bulan November 1946, semua tentara Inggris telah ditarik dari Indonesia. Mereka digantikan dengan lebih dari 150.000 tentara Belanda. Inggris mengirimkan Lord Archibald Clark Kerr, 1st Baron Inverchapel dan Miles Lampson, 1st Baron Killearn untuk membawa Belanda dan Indonesia ke meja perundingan. Hasil perundingan tersebut adalah Perjanjian Linggadjati yang ditandatangani pada bulan November 1946, di mana Belanda mengakui de facto kedaulatan Republik atas Jawa, Sumatera, dan Madura. Sebagai imbalannya, Partai Republik bersedia membahas masa depan Kerajaan Inggris, Belanda dan Indonesia yang mirip Persemakmuran.

Perjanjian Linggadjati dan Agresi Militer Belanda I

Perjanjian Linggadjati

 
Soekarno berpidato di depan KNIP (parlemen) di Malang, Maret 1947.

Keputusan Soekarno untuk berunding dengan Belanda mendapat tentangan keras dari berbagai faksi di Indonesia. Tan Malaka, seorang politisi komunis, mengorganisir kelompok-kelompok ini menjadi sebuah front persatuan yang disebut Persatoean Perdjoangan (PP). PP menawarkan "Program Minimum" yang menyerukan kemerdekaan penuh, nasionalisasi seluruh properti asing, dan penolakan semua perundingan hingga seluruh pasukan asing ditarik. Program-program ini mendapat dukungan luas dari masyarakat, termasuk dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik, Jenderal Soedirman. Pada tanggal 4 Juli 1946, satuan militer yang terkait dengan PP menculik Perdana Menteri Sjahrir yang sedang berkunjung Yogyakarta untuk memimpin perundingan dengan Belanda. Soekarno, setelah berhasil mempengaruhi Soedirman, berhasil mengamankan pembebasan Sjahrir dan menangkap Tan Malaka serta para pemimpin PP lainnya. Ketidaksetujuan terhadap masa jabatan Linggadjati dalam KNIP menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit yang menggandakan keanggotaan KNIP dengan memasukkan banyak anggota yang ditunjuk pro-perjanjian. Sebagai konsekuensinya, KNIP meratifikasi Perjanjian Linggadjati pada bulan Maret 1947.[48]

Agresi Militer Belanda I

Pada tanggal 21 Juli 1947, Perjanjian Linggadjati dilanggar oleh Belanda, yang melancarkan Operatie Product, sebuah invasi militer besar-besaran ke wilayah yang dikuasai Republik. Meskipun TNI yang baru dibentuk tidak mampu memberikan perlawanan militer yang signifikan, namun pelanggaran terang-terangan yang dilakukan Belanda terhadap perjanjian yang ditengahi secara internasional membuat marah opini dunia. Tekanan internasional memaksa Belanda menghentikan pasukan invasi mereka pada bulan Agustus 1947. Sjahrir, yang jabatan perdana menterinya digantikan oleh Amir Sjarifuddin, terbang ke New York City untuk mengajukan banding atas kasus Indonesia di hadapan PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera dan menunjuk Komite Jasa Baik (GOC) untuk mengawasi gencatan senjata tersebut. GOC yang berkedudukan di Jakarta terdiri dari delegasi Australia (dipimpin oleh Richard Kirby, dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipimpin oleh Paul van Zeeland, dipilih oleh Belanda), dan Amerika Serikat (dipimpin oleh Frank Porter Graham, netral).

Republik kini berada di bawah cengkeraman kuat militer Belanda, dengan militer Belanda menduduki Jawa Barat, dan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta wilayah produktif utama Sumatra. Selain itu, angkatan laut Belanda memblokade wilayah Republik dari pasokan makanan penting, obat-obatan, dan senjata. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin tidak punya pilihan selain menandatangani Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948, yang mengakui kendali Belanda atas wilayah yang diambil selama Agresi Militer, sementara Partai Republik berjanji untuk menarik semua kekuatan yang tersisa di sisi lain garis gencatan senjata (“Garis Van Mook”). Sementara itu, Belanda mulai mengorganisir negara boneka di wilayah-wilayah yang didudukinya, untuk melawan pengaruh Republik dengan memanfaatkan keragaman etnis di Indonesia.

Perjanjian Renville dan Pemberontakan Madiun

Penandatanganan Perjanjian Renville yang sangat merugikan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar dalam struktur politik Partai Republik. Di Jawa Barat yang diduduki Belanda, gerilyawan Darul Islam di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mempertahankan perlawanan anti-Belanda dan mencabut kesetiaan apa pun kepada Republik; mereka menyebabkan pemberontakan berdarah di Jawa Barat dan daerah lain pada dekade pertama kemerdekaan. Perdana Menteri Sjarifuddin yang menandatangani perjanjian tersebut terpaksa mengundurkan diri pada bulan Januari 1948 dan digantikan oleh Mohammad Hatta. Kebijakan kabinet Hatta yang merasionalisasi angkatan bersenjata dengan mendemobilisasi sejumlah besar kelompok bersenjata yang berkembang biak di wilayah Republik juga menimbulkan ketidakpuasan yang parah. Elemen politik sayap kiri, yang dipimpin oleh kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso mengambil keuntungan dari ketidakpuasan masyarakat dengan melancarkan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 18 September 1948. Pertempuran berdarah berlanjut pada akhir September hingga akhir Oktober 1948, ketika kelompok komunis terakhir dikalahkan, dan Musso ditembak mati.

Operasi Kraai dan pengasingan

Invasi dan pengasingan

 
Soekarno dan Menteri Luar Negeri Agus Salim dalam tahanan Belanda di Parapat 1949.

Pada tanggal 19 Desember 1948, untuk mengambil keuntungan dari lemahnya posisi Republik setelah pemberontakan komunis, Belanda melancarkan Operatie Kraai, invasi militer kedua yang dirancang untuk menghancurkan Republik untuk selamanya. Invasi dimulai dengan serangan udara terhadap ibu kota Republik Yogyakarta. Soekarno memerintahkan angkatan bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Soedirman untuk melancarkan kampanye gerilya di pedesaan, sementara ia dan para pemimpin penting lainnya seperti Hatta dan Sjahrir membiarkan diri mereka ditawan oleh Belanda. Untuk menjamin kelangsungan pemerintahan, Soekarno mengirimkan telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara, yang memberinya mandat untuk memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), berdasarkan daerah pedalaman Sumatera Barat yang belum diduduki, posisi tersebut dipegang oleh Sjafruddin sampai Soekarno dibebaskan pada bulan Juni 1949. Belanda mengirim Soekarno dan para pemimpin Republik lainnya yang ditangkap ke Parapat, di bagian Sumatera Utara yang diduduki Belanda dan kemudian ke pulau Bangka.

Akibat

 
Kembalinya Soekarno ke Yogyakarta pada bulan Juni 1949.

Invasi Belanda yang kedua menyebabkan kemarahan internasional yang lebih besar lagi. Amerika Serikat, yang terkesan dengan kemampuan Indonesia mengalahkan tantangan komunis tahun 1948 tanpa bantuan dari luar, mengancam akan memotong dana Marshall Aid ke Belanda jika operasi militer di Indonesia terus berlanjut. TNI tidak terpecah belah dan terus melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda, terutama penyerangan ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto pada tanggal 1 Maret 1949. Akibatnya, Belanda terpaksa menandatangani Perjanjian Roem-Roijen pada tanggal 7 Mei 1949. Berdasarkan perjanjian ini, Belanda melepaskan kepemimpinan Partai Republik dan mengembalikan wilayah sekitar Yogyakarta ke dalam kendali Partai Republik pada bulan Juni 1949. Hal ini disusul dengan Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag yang berujung pada penyerahan penuh kedaulatan oleh Ratu Juliana dari Belanda ke Indonesia, pada 27 Desember 1949. Pada hari itu, Soekarno terbang dari Yogyakarta ke Jakarta, menyampaikan pidato kemenangan di tangga istana gubernur jenderal yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka.

Presiden Republik Indonesia Serikat

 
Soekarno (kanan) bersama John Foster Dulles (kiri) dan Richard Nixon (tengah) pada tahun 1956
 
Soekarno dan Nixon pada tahun 1956
Cuplikan berita pelantikan Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia Serikat, 1946.

Sebagai bagian dari kompromi dengan Belanda, Indonesia mengadopsi konstitusi federal baru yang menjadikan negara ini negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS), terdiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbatasannya ditentukan oleh "Garis Van Mook", beserta enam negara bagian dan sembilan wilayah otonom yang dibuat oleh Belanda.[49] Selama paruh pertama tahun 1950, negara-negara ini secara bertahap membubarkan diri seiring dengan ditariknya militer Belanda yang sebelumnya menopang mereka. Pada bulan Agustus 1950, dengan pembubaran negara terakhir, Negara Indonesia Timur, Soekarno mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD Sementara 1950 yang baru saja dirumuskan.[50]

Era Demokrasi Liberal (1950–1959)

Garis waktu masa jabatan Presiden Indonesia
 
Sukarno disambut oleh anak-anak dan warga Surabaya saat kedatangannya di Stasiun Surabaya Gubeng, 22 Mei 1952

Baik Konstitusi Federal tahun 1949 maupun Konstitusi Sementara tahun 1950 bersifat parlementer, di mana otoritas eksekutif berada di tangan perdana menteri, dan yang, di atas kertas, membatasi kekuasaan presiden. Akan tetapi, bahkan dengan perannya yang secara formal dikurangi, ia memegang banyak otoritas moral sebagai Bapak Bangsa.

Ketidakstabilan dan pemberontakan

Tahun-tahun pertama demokrasi parlementer terbukti sangat tidak stabil bagi Indonesia. Kabinet berganti secara cepat karena perbedaan tajam antara berbagai partai politik dalam DPR yang baru dibentuk. Terjadi pertentangan pendapat yang serius mengenai arah masa depan negara Indonesia, antara kaum nasionalis yang menginginkan negara sekuler (dipimpin oleh PNI, yang pertama kali didirikan oleh Soekarno), kaum Islamis yang menginginkan negara Islam (dipimpin oleh Partai Masyumi), dan kaum komunis yang menginginkan negara komunis (dipimpin oleh PKI, yang baru pada tahun 1951 diperbolehkan beroperasi lagi). Di bidang ekonomi, ada ketidakpuasan yang parah terhadap berlanjutnya dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan besar Belanda dan etnis Tionghoa.

Pemberontakan Darul Islam

Pemberontak Darul Islam di bawah Kartosoewirjo di Jawa Barat menolak mengakui otoritas Soekarno dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada bulan Agustus 1949. Pemberontakan yang mendukung Darul Islam juga pecah di Sulawesi Selatan pada tahun 1951, dan di Aceh pada tahun 1953. Sementara itu, anggota pro-federalis dari KNIL yang dibubarkan melancarkan pemberontakan yang gagal di Bandung (pemberontakan APRA tahun 1950), di Makassar tahun 1950, dan di Ambon (pemberontakan Republik Maluku Selatan tahun 1950).[51]

Perpecahan dalam militer

 
Soekarno berbicara kepada para pengunjuk rasa, 20 Oktober 1952

Selain itu, militer terpecah oleh permusuhan antara perwira yang berasal dari KNIL era kolonial, yang menginginkan militer profesional yang kecil dan elit, dan mayoritas prajurit yang memulai karier mereka di PETA bentukan Jepang, yang takut diberhentikan dan lebih dikenal karena semangat nasionalisnya daripada profesionalisme.

Pada tanggal 17 Oktober 1952, pimpinan bekas faksi KNIL, yakni Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Tahi Bonar Simatupang mengerahkan pasukannya dalam unjuk kekuatan. Memprotes upaya DPR untuk mencampuri urusan militer atas nama bekas faksi PETA di militer, Nasution dan Simatupang memerintahkan pasukannya untuk mengepung Istana Merdeka dan mengarahkan menara tank mereka ke gedung tersebut. Tuntutan mereka terhadap Soekarno adalah agar DPR saat ini dibubarkan. Atas dasar itu, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi pengunjuk rasa sipil. Soekarno keluar dari istana dan meyakinkan para prajurit dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang kemudian diberhentikan. Namun, Nasution diangkat kembali sebagai Panglima Angkatan Darat setelah berdamai dengan Soekarno pada tahun 1955.

Pemilihan legislatif

 
Soekarno memberikan suaranya pada pemilu 1955

Pemilihan umum 1955 menghasilkan sebuah parlemen dan sebuah majelis konstitusi yang baru. Hasil pemilu menunjukkan dukungan yang sama terhadap kekuatan antagonis dari partai PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PKI. Tanpa adanya fraksi yang menguasai mayoritas yang jelas, ketidakstabilan politik dalam negeri terus berlanjut. Pembicaraan di Majelis Konstitusi untuk menulis konstitusi baru menemui jalan buntu mengenai masalah apakah akan memasukkan hukum Islam.

Soekarno mulai membenci posisi presiden bonekanya dan meningkatnya kekacauan dalam kehidupan politik negara. Dengan menyatakan bahwa demokrasi parlementer ala Barat tidak cocok untuk Indonesia, ia menyerukan sistem "demokrasi terpimpin," yang menurutnya didasarkan pada prinsip-prinsip pemerintahan adat. Soekarno berpendapat bahwa di tingkat desa, masalah-masalah penting diputuskan melalui musyawarah yang panjang yang dirancang untuk mencapai konsensus, di bawah bimbingan para tetua desa. Ia percaya bahwa hal itu harus menjadi model bagi seluruh bangsa, dengan presiden mengambil peran yang diasumsikan oleh para tetua desa. Ia mengusulkan sebuah pemerintahan yang tidak hanya didasarkan pada partai politik tetapi juga pada "kelompok fungsional" yang terdiri dari elemen-elemen penting bangsa, yang bersama-sama akan membentuk Dewan Nasional, yang melaluinya konsensus nasional dapat diungkapkan di bawah arahan presiden.

Wakil Presiden Hatta sangat menentang konsep demokrasi terpimpin Sukarno. Dengan alasan ini dan perbedaan-perbedaan lain yang tidak dapat didamaikan, Hatta mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Desember 1956. Pengunduran dirinya menimbulkan gelombang kejut di seluruh Indonesia, khususnya di kalangan non-Jawa, yang memandang Hatta sebagai wakil mereka dalam pemerintahan yang didominasi oleh orang Jawa.

Pengambilalihan militer dan darurat militer

Pengambilalihan militer regional

Dari Desember 1956 hingga Januari 1957, para komandan militer daerah di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan mengambil alih kendali pemerintahan daerah. Mereka mendeklarasikan serangkaian dewan militer yang akan menjalankan wilayah masing-masing dan menolak menerima perintah dari Jakarta. Gerakan militer regional yang serupa menguasai Sulawesi Utara pada bulan Maret 1957. Mereka menuntut penghapusan pengaruh komunis dalam pemerintahan, pembagian pendapatan pemerintah yang sama, dan pemulihan kembali pemerintahan dwitunggal Soekarno–Hatta.

Deklarasi darurat militer

Menghadapi tantangan serius terhadap persatuan republik ini, Soekarno mengumumkan darurat militer (Staat van Oorlog en Beleg) pada tanggal 14 Maret 1957. Ia menunjuk Djuanda Kartawidjaja yang independen sebagai perdana menteri, sementara militer berada di tangan Jenderal Nasution yang setia kepadanya. Nasution semakin sependapat dengan Soekarno tentang dampak negatif demokrasi barat terhadap Indonesia, dan ia melihat peran militer yang lebih signifikan dalam kehidupan politik.

Sebagai langkah rekonsiliasi, Sukarno mengundang para pemimpin dewan daerah ke Jakarta pada 10–14 September 1957, untuk menghadiri Musyawarah Nasional, yang gagal membawa solusi bagi krisis tersebut. Pada tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno dengan menggunakan granat saat ia sedang menghadiri sebuah acara sekolah di Cikini, Jakarta Pusat. Enam anak tewas, tetapi Soekarno tidak mengalami luka serius. Pelakunya adalah anggota kelompok Darul Islam, di bawah pimpinan Kartosoewirjo.

Pada bulan Desember 1957, Soekarno mulai mengambil langkah serius untuk menegakkan kekuasaannya atas negara. Pada bulan tersebut, ia menasionalisasi 246 perusahaan Belanda yang mendominasi perekonomian Indonesia, terutama Nederlandsche Handel-Maatschappij, anak perusahaan Royal Dutch Shell Bataafsche Petroleum Maatschappij, Escomptobank, dan "lima besar" perusahaan dagang Belanda lain (NV Borneo Sumatra Maatschappij / Borsumij, NV Internationale Crediet- en Handelsvereeneging "Rotterdam" / Internatio, NV Jacobson van den Berg & Co, NV Lindeteves-Stokvis, dan NV Geo Wehry & Co), dan mengusir 40.000 warga negara Belanda yang masih berada di Indonesia sambil menyita harta benda mereka, yang diduga disebabkan oleh kegagalan pemerintah Belanda untuk meneruskan perundingan tentang nasib Nugini Belanda seperti yang dijanjikan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949.[52] Kebijakan nasionalisme ekonomi Soekarno diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1959 yang melarang kegiatan komersial oleh warga negara asing di daerah pedesaan. Peraturan ini menyasar etnis Tionghoa, yang mendominasi ekonomi ritel di pedesaan dan perkotaan, meskipun saat itu hanya sedikit dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Indonesia. Kebijakan ini mengakibatkan relokasi besar-besaran penduduk etnis Tionghoa di pedesaan ke daerah perkotaan, dan sekitar 100.000 orang memilih untuk kembali ke Tiongkok.

Untuk menghadapi para panglima daerah yang membangkang, Soekarno dan Panglima TNI Nasution memutuskan mengambil langkah drastis menyusul kegagalan Musjawarah Nasional. Dengan memanfaatkan perwira-perwira daerah yang tetap setia kepada Jakarta, Nasution mengorganisasikan serangkaian "kudeta daerah" yang menggulingkan komandan-komandan pembangkang di Sumatera Utara (Kolonel Maludin Simbolon) dan Sumatera Selatan (Kolonel Barlian) pada bulan Desember 1957. Hal ini mengembalikan kendali pemerintah atas kota-kota utama Medan dan Palembang.

Pada bulan Februari 1958, para komandan pembangkang yang tersisa di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) membentuk Gerakan PRRI-Permesta yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Jakarta. Mereka bergabung dengan banyak politikus sipil dari Partai Masyumi, seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pengaruh komunis yang semakin besar. Karena retorika antikomunis mereka, para pemberontak menerima uang, senjata, dan tenaga kerja dari CIA dalam sebuah kampanye yang dikenal sebagai "Archipelago". Dukungan ini berakhir ketika Allen Lawrence Pope, seorang pilot Amerika dan agen CIA, ditembak jatuh setelah serangan bom di Ambon yang dikuasai pemerintah pada bulan April 1958. Pada bulan April 1958, pemerintah pusat menanggapi dengan melancarkan invasi militer melalui udara dan laut di Padang dan Manado, ibu kota pemberontak. Pada akhir tahun 1958, para pemberontak telah dikalahkan secara militer, dan kelompok gerilya pemberontak terakhir yang tersisa menyerah pada bulan Agustus 1961.[53][54]

Era Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

 
Soekarno (di atas tangga) membacakan dekritnya pada tanggal 5 Juli 1959
 
Potret resmi Soekarno pada tahun 1960-an, lengkap dengan dekorasi bergaya militer

Kemenangan militer yang mengesankan atas pemberontak PRRI-Permesta dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh rakyat membuat Sukarno berada dalam posisi yang kuat. Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden. Sistem ini membentuk sistem presidensial yang menurutnya akan memudahkan penerapan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin. Ia menyebut sistem ini Manifesto Politik atau Manipol, tetapi sebenarnya sistem ini adalah dekrit. Soekarno membayangkan masyarakat sosialis ala Indonesia, yang menganut prinsip USDEK:

  1. Undang-Undang Dasar '45
  2. Sosialisme Indonesia
  3. Demokrasi Terpimpin
  4. Ekonomi Terpimpin
  5. Kepribadian Indonesia
 
Struktur demokrasi terpimpin Soekarno pada tahun 1962

Setelah mendirikan demokrasi terpimpin, Soekarno bersama Maladi bertemu dengan Devi Dja, seorang penari kelahiran Indonesia yang mengubah kewarganegaraannya menjadi Amerika Serikat, pada pertengahan tahun 1959, dan meyakinkannya untuk kembali sebagai warga negara Indonesia, yang ditolak Dja dan menganggapnya sebagai orang yang sangat nasionalis.[55] Pada bulan Maret 1960, Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru yang separuh anggotanya ditunjuk oleh presiden (Dewan Perwakilan Rakjat - Gotong Rojong / DPR-GR). Pada bulan September 1960, ia membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai pemegang kekuasaan legislatif tertinggi menurut UUD 1945. Anggota MPRS terdiri atas anggota DPR-GR dan anggota "golongan fungsional" yang ditunjuk oleh presiden.

 
Presiden Soekarno menandatangani surat penyerahan kekuasaan dari Djuanda Kartawidjaja kepada dirinya sendiri

Dengan dukungan militer, Soekarno membubarkan partai Islam Masyumi dan PSI, menuduh mereka terlibat dalam peristiwa PRRI-Permesta. Militer menangkap dan memenjarakan banyak lawan politik Sukarno, dari Sutan Sjahrir yang beraliran sosialis hingga politisi Islam Mohammad Natsir dan Hamka. Dengan menggunakan kekuasaan darurat militer, pemerintah menutup surat kabar yang mengkritik kebijakan Sukarno.[56][57][58]

Selama periode ini, terjadi beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Pada tanggal 9 Maret 1960, Daniel Maukar, seorang letnan angkatan udara Indonesia yang bersimpati dengan pemberontakan Permesta, menembaki Istana Merdeka dan Istana Bogor dengan jet tempur MiG-17 miliknya, dan berusaha membunuh presiden; ia tidak terluka. Pada bulan Mei 1962, agen Darul Islam menembak presiden saat salat Idul Adha di halaman istana. Soekarno sekali lagi lolos dari cedera.

Di bidang keamanan, militer melancarkan serangkaian operasi efektif yang mengakhiri pemberontakan Darul Islam yang telah berlangsung lama di Jawa Barat (1962), Aceh (1962), dan Sulawesi Selatan (1965). Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam, ditangkap dan dieksekusi pada bulan September 1962.

Untuk mengimbangi kekuatan militer, Sukarno mulai mengandalkan dukungan PKI. Pada tahun 1960, ia mendeklarasikan pemerintahannya berdasarkan Nasakom, sebuah penyatuan tiga aliran ideologi yang ada dalam masyarakat Indonesia: nasionalisme, agama, dan komunisme. Oleh karena itu, Sukarno mulai menerima lebih banyak komunis ke dalam pemerintahannya, sambil mengembangkan hubungan yang kuat dengan ketua PKI D.N. Aidit.

Untuk meningkatkan prestise Indonesia, Sukarno mendukung dan memenangkan tender Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta. Banyak fasilitas olahraga seperti kompleks olahraga Senayan (termasuk Gelora Bung Karno berkapasitas 100.000 tempat duduk) dibangun untuk mengakomodasi pertandingan tersebut. Terjadi ketegangan politik ketika Indonesia menolak masuknya delegasi dari Israel dan Taiwan. Setelah Komite Olimpiade Internasional menjatuhkan sanksi kepada Indonesia karena kebijakan pengecualian ini, Soekarno membalas dengan menyelenggarakan acara kompetitor "non-imperialis" untuk Olimpiade, yang disebut Games of New Emerging Forces (GANEFO). GANEFO berhasil diselenggarakan di Jakarta pada bulan November 1963 dan dihadiri oleh 2.700 atlet dari 51 negara.

Sebagai bagian dari program pembangunan prestise, Soekarno memerintahkan pembangunan bangunan-bangunan monumental besar seperti Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Jakarta, Gedung CONEFO (sekarang Gedung DPR/MPR), Hotel Indonesia, dan pusat perbelanjaan Sarinah untuk mengubah Jakarta dari daerah terpencil bekas kolonial menjadi kota modern. Jalan raya modern Jakarta di Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, dan Jalan Gatot Subroto direncanakan dan dibangun di bawah pemerintahan Soekarno.

Kebijakan luar negeri

Konferensi Bandung

Di bidang internasional, Soekarno menyelenggarakan Konferensi Bandung pada tahun 1955, dengan tujuan menyatukan negara-negara berkembang di Asia dan Afrika ke dalam Gerakan Non-Blok untuk melawan Amerika Serikat dan Uni Soviet.[59]

Perang Dingin

 
Soekarno berpidato di hadapan Kongres AS pada tahun 1956. Duduk di belakangnya adalah Wakil Presiden dan Presiden Senat Richard Nixon dan Ketua DPR Sam Rayburn.

Seiring dengan amannya kekuasaan dalam negeri Soekarno, ia mulai lebih memperhatikan panggung dunia. Ia memulai serangkaian kebijakan agresif dan tegas yang didasarkan pada anti-imperialisme untuk meningkatkan prestise internasional Indonesia. Kebijakan anti-imperialis dan anti-Barat ini, yang sering kali menggunakan taktik berjuang dengan cara yang berbahaya dengan negara lain, juga dirancang untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang beragam dan suka bertengkar. Dalam hal ini, ia dibantu oleh menteri luar negerinya Soebandrio.

Setelah kunjungan pertamanya ke Beijing pada tahun 1956, Soekarno mulai memperkuat hubungannya dengan Republik Rakyat Tiongkok dan blok komunis secara umum. Ia juga mulai menerima bantuan militer dari blok Uni Soviet dalam jumlah yang semakin banyak. Pada awal tahun 1960-an, blok Soviet memberikan lebih banyak bantuan kepada Indonesia dibandingkan dengan negara non-komunis lainnya, dan hanya Kuba yang menerima bantuan lebih banyak dari Soviet dibandingkan Indonesia. Gelombang bantuan komunis yang besar ini mendorong peningkatan bantuan militer dari pemerintahan Dwight D. Eisenhower dan John F. Kennedy, yang khawatir akan pergeseran ke arah kiri jika Soekarno terlalu bergantung pada bantuan blok Soviet.[60]

 
Soekarno dan Fidel Castro di Havana, Kuba, 1960

Soekarno dipuji selama kunjungannya ke Amerika Serikat pada tahun 1956, di mana ia berpidato di hadapan sidang gabungan Kongres Amerika Serikat. Sampai saat ini, ini adalah satu-satunya kali presiden Indonesia berpidato di hadapan sidang gabungan Kongres AS. Segera setelah kunjungan pertamanya ke Amerika, Soekarno mengunjungi Uni Soviet, di mana ia menerima sambutan yang lebih mewah. Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev melakukan kunjungan kembali ke Jakarta dan Bali pada tahun 1960, di mana ia menganugerahkan Sukarno dengan Penghargaan Perdamaian Lenin. Untuk menebus keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI-Permesta, Kennedy mengundang Sukarno ke Washington, D.C., dan memberikan Indonesia bantuan sipil dan militer senilai miliaran dolar.[60]

 
Presiden Tito dan Sukarno di pintu keluar Gua Postojna, 6 April 1960

Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Bandung 1955 yang sukses, Soekarno berupaya membentuk persekutuan baru yang disebut "New Emerging Forces" (NEFO), sebagai tandingan terhadap negara adikuasa Barat yang dijuluki "Old Established Forces" (OLDEFO), yang dituduhnya menyebarkan "Neo-Kolonialisme dan Imperialisme" (NEKOLIM). Pada tahun 1961, Soekarno membentuk aliansi politik lain, yang disebut Gerakan Non-Blok (GNB) pada KTT ke-1 Gerakan Non-Blok di Belgrade bersama dengan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, dan Presiden Ghana Kwame Nkrumah, dalam suatu aksi yang disebut Inisiatif Lima (Soekarno, Nkrumah, Nasser, Tito, dan Nehru). GNB dimaksudkan untuk memberikan persatuan politik dan pengaruh bagi negara-negara yang ingin mempertahankan kemerdekaan dari blok-blok adidaya Amerika dan Soviet, yang terlibat dalam persaingan Perang Dingin. Soekarno masih dikenang dengan baik atas perannya dalam mempromosikan pengaruh negara-negara yang baru merdeka. Namanya digunakan sebagai nama jalan di Kairo, Mesir dan Rabat, Maroko, dan sebagai alun-alun utama di Peshawar, Pakistan. Pada tahun 1956, Universitas Belgrade menganugerahinya gelar doktor kehormatan.

Konflik Papua

 
Pertemuan Soekarno dengan Presiden AS John F. Kennedy, 1961.

Pada tahun 1960, Soekarno memulai kebijakan luar negeri yang agresif untuk mengamankan klaim teritorial Indonesia. Pada bulan Agustus tahun itu, ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda karena terus gagalnya memulai perundingan tentang masa depan Nugini Belanda, seperti yang disepakati pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Pada bulan April 1961, Belanda mengumumkan pembentukan Nieuw Guinea Raad, yang bermaksud untuk membentuk negara Papua yang merdeka. Soekarno menyatakan keadaan konfrontasi militer dalam pidatonya Tri Komando Rakjat (TRIKORA) di Yogyakarta, pada 19 Desember 1961. Ia kemudian mengarahkan serangan militer ke setengah pulau tersebut, yang disebutnya sebagai Irian Barat. Pada akhir tahun 1962, 3.000 tentara Indonesia hadir di seluruh Irian Barat/Papua Barat.

Pada tanggal 28 Agustus 1961, Elizabeth II dari Britania Raya mengundang Soekarno untuk kunjungan kenegaraan ke London yang dijadwalkan pada bulan Mei 1962.[61] Namun pada tanggal 19 September, Juliana dari Belanda yang mendengar berita tersebut merasa tidak senang akibat putusnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda pasca sengketa Irian Barat.[61] Mendengar berita tersebut, ia menyatakan bahwa perundingan dengan Indonesia mengenai Irian Barat tidak akan dilakukan dan tidak memperbolehkan Elizabeth II yang masih merupakan keponakan jauhnya untuk mengundang Soekarno, yang berakibat pada memburuknya hubungan diplomatik Indonesia dengan Britania Raya.[61] Pada tanggal 21 April 1962, Soekarno membatalkan kunjungan tersebut karena adanya serangan Belanda terhadap armada Angkatan Laut Indonesia di Laut Arafuru.[61]

Pertempuran laut meletus pada bulan Januari 1962 ketika empat kapal torpedo Indonesia dicegat oleh kapal dan pesawat Belanda di lepas pantai Vlakke Hoek. Satu kapal Indonesia tenggelam, menewaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Pertama Yos Sudarso. Sementara itu, Pemerintahan Kennedy khawatir akan berlanjutnya pergeseran Indonesia ke arah komunisme jika Belanda tetap menguasai Irian Barat/Papua Barat. Pada bulan Februari 1962 Jaksa Agung AS Robert F. Kennedy melakukan perjalanan ke Belanda dan memberi tahu pemerintah bahwa Amerika Serikat tidak akan mendukung Belanda dalam konflik bersenjata dengan Indonesia. Dengan persenjataan dan penasihat Soviet, Soekarno merencanakan invasi besar-besaran melalui udara dan laut ke markas besar militer Belanda di Biak pada bulan Agustus 1962, yang disebut Operasi Djajawidjaja. Operasi ini akan dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Sebelum rencana ini dapat terwujud, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian New York pada bulan Agustus 1962. Kedua negara sepakat untuk melaksanakan Rencana Bunker (yang dirumuskan oleh diplomat Amerika Ellsworth Bunker), dimana Belanda setuju untuk menyerahkan Irian Barat/Papua Barat kepada UNTEA pada tanggal 1 Oktober 1962. UNTEA menyerahkan wilayah tersebut kepada otoritas Indonesia pada bulan Mei 1963.

Konfrontasi Indonesia–Malaysia

 
Soekarno bersama Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Maxwell Taylor di Istana Merdeka pada tanggal 2 Agustus 1963.

Setelah mengamankan kendali atas Irian Barat/Papua Barat, Soekarno kemudian menentang pembentukan Federasi Malaysia yang didukung Britania Raya pada tahun 1963, dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan rencana neo-kolonial Britania untuk melemahkan Indonesia. Meskipun Soekarno melakukan pendekatan politik, yang mendapat dukungan ketika elemen politik kiri di wilayah Borneo Britania Raya Sarawak dan Brunei menentang rencana Federasi dan memihak Soekarno, Malaysia tetap berdiri pada bulan September 1963. Hal ini diikuti oleh konfrontasi yang dicanangkan oleh Soekarno dalam pidato Dwi Komando Rakjat (DWIKORA) di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1964. Tujuan yang dicanangkan Soekarno bukanlah, seperti yang diduga oleh beberapa pihak, untuk mencaplok Sabah dan Sarawak ke dalam wilayah Indonesia, tetapi untuk mendirikan "Negara Kalimantan Utara" di bawah kendali Partai Komunis Kalimantan Utara. Dari tahun 1964 hingga awal tahun 1966, sejumlah kecil tentara Indonesia, warga sipil, dan gerilyawan komunis Malaysia dikirim ke Kalimantan Utara dan Semenanjung Malaya. Pasukan ini bertempur melawan tentara Britania Raya dan Persemakmuran yang dikerahkan untuk melindungi negara Malaysia yang baru berdiri. Agen Indonesia juga meledakkan beberapa bom di Singapura. Di dalam negeri, Soekarno mengobarkan sentimen anti-Inggris, dan Kedutaan Besar Inggris dibakar. Pada tahun 1964, semua perusahaan Britania Raya yang beroperasi di negara tersebut, termasuk operasi Chartered Bank dan Unilever di Indonesia, dinasionalisasi. Konfrontasi tersebut mencapai klimaksnya pada bulan Agustus 1964, ketika Soekarno mengizinkan pendaratan pasukan Indonesia di Pontian dan Labis di daratan Malaysia, dan perang habis-habisan tampaknya tak terelakkan karena ketegangan meningkat. Namun, situasi menjadi tenang pada pertengahan September saat puncak Krisis Selat Sunda, dan setelah Pertempuran Plaman Mapu yang membawa bencana pada bulan April 1965, serangan Indonesia ke Sarawak menjadi semakin sedikit dan lemah.

Pada tahun 1964, Soekarno memulai kampanye anti-Amerika, yang dimotivasi oleh pergeserannya ke blok komunis dan hubungan yang kurang bersahabat dengan pemerintahan Lyndon B. Johnson. Kepentingan dan bisnis Amerika di Indonesia dikecam oleh pejabat pemerintah dan diserang oleh massa yang dipimpin PKI. Film-film Amerika dilarang, buku-buku Amerika dan album-album The Beatles dibakar, dan grup musik Indonesia Koes Plus dipenjara karena memainkan musik rock and roll bergaya Amerika. Akibatnya, bantuan AS ke Indonesia dihentikan, yang membuat Sukarno melontarkan pernyataan terkenalnya "Persetan dengan bantuanmu". Soekarno menarik Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Januari 1965 ketika, dengan dukungan AS, Malaysia mengambil kursi di Dewan Keamanan PBB.[62]

Konferensi pembentukan poros baru

Ketika negara-negara GNB terpecah menjadi beberapa faksi, dan semakin sedikit negara yang bersedia mendukung kebijakan luar negerinya yang anti-Barat, Soekarno mulai meninggalkan retorika non-bloknya. Soekarno membentuk aliansi baru dengan Tiongkok, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Kamboja yang disebutnya "Poros Beijing-Pyongyang-Hanoi-Phnom Penh-Jakarta". Setelah menarik Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang "didominasi imperialis" pada bulan Januari 1965, Soekarno berusaha mendirikan organisasi pesaing PBB yang disebut CONEFO dengan dukungan dari Republik Rakyat Tiongkok,[63] yang pada saat itu belum menjadi anggota PBB. Dengan pemerintah yang terlilit hutang besar terhadap Uni Soviet, Indonesia menjadi semakin bergantung pada Tiongkok untuk dukungan.[64] Soekarno semakin banyak berbicara tentang poros Beijing-Jakarta,[64] yang akan menjadi inti dari organisasi dunia anti-imperialis baru, CONEFO.[butuh rujukan]

Kebijakan dalam negeri

Presiden seumur hidup dan kultus kepribadian

 
Sukarno menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Indonesia, 2 Februari 1963

Di dalam negeri, Sukarno terus mengonsolidasikan kekuasaannya. Pada tanggal 18 Mei 1963, MPRS memilih Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Tulisan-tulisannya tentang ideologi Manipol-USDEK dan Nasakom menjadi mata kuliah wajib di sekolah-sekolah dan universitas-universitas, sementara pidato-pidatonya harus dihafal dan didiskusikan oleh semua siswa. Semua surat kabar, satu-satunya stasiun radio (RRI yang dikelola pemerintah), dan satu-satunya stasiun televisi (TVRI, yang juga dikelola pemerintah) dijadikan "alat revolusi" dan berfungsi menyebarkan pesan-pesan Soekarno. Soekarno mengembangkan kultus kepribadian, dengan ibu kota Irian Barat yang baru diperolehnya diubah namanya menjadi Sukarnapura dan puncak tertinggi di negara itu diubah namanya dari Piramida Carstensz menjadi Puntjak Sukarno (Puncak Sukarno).

Kebangkitan PKI

Meskipun tampak adanya kendali yang tak tertandingi, demokrasi terpimpin Soekarno berdiri di atas landasan yang rapuh karena konflik yang terjadi antara dua pilar pendukungnya, militer dan komunis. Militer, nasionalis, dan kelompok Islam terkejut dengan pertumbuhan pesat partai komunis di bawah perlindungan Soekarno. Mereka khawatir akan segera terbentuknya negara komunis di Indonesia. Pada tahun 1965, PKI memiliki tiga juta anggota dan sangat kuat di Jawa Tengah dan Bali. PKI telah menjadi partai terkuat di Indonesia.

Pihak militer dan nasionalis semakin waspada terhadap aliansi dekat Soekarno dengan komunis Tiongkok, yang mereka anggap membahayakan kedaulatan Indonesia. Elemen-elemen militer tidak setuju dengan kebijakan Soekarno yang berkonfrontasi dengan Malaysia, yang menurut pandangan mereka hanya menguntungkan kaum komunis, dan mengirim beberapa perwira (termasuk calon Kepala Angkatan Bersenjata Leonardus Benjamin Moerdani) untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian rahasia kepada pemerintah Malaysia. Para ulama Islam, yang sebagian besar adalah tuan tanah, merasa terancam oleh tindakan perampasan tanah oleh PKI di pedesaan dan oleh kampanye komunis melawan "tujuh setan desa", istilah yang digunakan untuk tuan tanah atau petani kaya (mirip dengan kampanye anti-kulak di era Stalinis). Kedua kelompok tersebut memendam kebencian yang mendalam terhadap PKI khususnya karena ingatan mereka terhadap pemberontakan komunis berdarah pada tahun 1948.

 
Soekarno berpidato pada perayaan ulang tahun ke-45 PKI di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), April 1965.[65]

Sebagai mediator ketiga golongan di bawah sistem NASAKOM, Soekarno menunjukkan simpati yang lebih besar kepada kaum komunis. PKI sangat berhati-hati dalam mendukung semua kebijakan Soekarno. Sementara itu, Soekarno melihat PKI sebagai partai yang paling terorganisasi dan kokoh secara ideologis di Indonesia, dan saluran yang berguna untuk mendapatkan lebih banyak bantuan militer dan keuangan dari negara-negara Blok Komunis. Soekarno juga bersimpati dengan cita-cita revolusioner kaum komunis, yang mirip dengan cita-citanya sendiri.

Untuk melemahkan pengaruh militer, Soekarno mencabut darurat militer (yang memberikan kekuasaan yang luas kepada militer) pada tahun 1963. Pada bulan September 1962, ia "mempromosikan" Jenderal Nasution yang berkuasa ke posisi yang kurang berpengaruh sebagai panglima angkatan bersenjata, sementara posisi panglima angkatan darat yang berpengaruh diberikan kepada loyalis Soekarno, Ahmad Yani. Sementara itu, posisi kepala angkatan udara diberikan kepada Omar Dhani, yang merupakan simpatisan komunis terbuka. Pada bulan Mei 1964, Soekarno melarang kegiatan Manifesto Kebudajaan (Manikebu), suatu perkumpulan seniman dan penulis yang mencakup penulis-penulis terkemuka Indonesia seperti Hans Bague Jassin dan Wiratmo Soekito, yang juga diberhentikan dari pekerjaan mereka. Manikebu dianggap saingan oleh perkumpulan penulis komunis Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Pada bulan Desember 1964, Soekarno membubarkan Badan Pendukung Soekarnoisme, sebuah organisasi yang berusaha menentang komunisme dengan menggunakan rumusan Pancasila milik Soekarno sendiri. Pada bulan Januari 1965, Soekarno, di bawah tekanan dari PKI, melarang Partai Murba. Murba adalah partai pro-Uni Soviet yang ideologinya bertentangan dengan pandangan PKI yang pro-Tiongkok tentang Marxisme.[66]

Laporan ABC tahun 1966 yang membahas konteks politik Soekarno untuk Konfrontasi

Ketegangan antara militer dan komunis meningkat pada bulan April 1965, ketika ketua PKI Aidit menyerukan pembentukan "Angkatan Kelima" yang terdiri dari petani dan buruh bersenjata. Soekarno menyetujui gagasan ini dan secara terbuka menyerukan pembentukan pasukan semacam itu segera pada tanggal 17 Mei 1965. Akan tetapi, Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani dan Menteri Pertahanan Nasution menunda pelaksanaan gagasan ini, karena hal ini sama saja dengan membiarkan PKI membentuk angkatan bersenjatanya sendiri. Tak lama kemudian, pada tanggal 29 Mei, "Surat Gilchrist" muncul. Surat itu konon ditulis oleh duta besar Inggris Andrew Gilchrist untuk Kantor Luar Negeri di London, yang menyebutkan upaya bersama Amerika dan Britania Raya untuk melakukan subversi di Indonesia dengan bantuan "teman-teman tentara setempat." Surat yang dibuat oleh Soebandrio ini membangkitkan ketakutan Soekarno akan rencana militer untuk menggulingkannya, ketakutan yang berulang kali ia sebutkan selama beberapa bulan berikutnya. Beberapa tahun kemudian pasca kejatuhan Soekarno, agem Cekoslowakia, Ladislav Bittman yang membelot pada tahun 1968, mengklaim bahwa agensinya (StB) memalsukan surat tersebut atas permintaan PKI melalui Uni Soviet untuk mencoreng nama baik para jenderal antikomunis. Dalam pidato hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1965, Soekarno menyatakan niatnya untuk mengikat Indonesia pada aliansi anti-imperialis dengan Tiongkok dan rezim komunis lainnya serta memperingatkan tentara agar tidak ikut campur. Ia juga menyatakan dukungannya terhadap pembentukan "pasukan kelima" yang terdiri dari petani dan buruh bersenjata.[67]

Kemunduran ekonomi

 
Monumen Dirgantara, salah satu proyek "Program Mercusuar" Soekarno, yang mengalokasikan dana jutaan untuk proyek-proyek nasional berskala besar. Foto ini diambil pada tahun 1971.

Sementara Soekarno mencurahkan energinya untuk politik dalam negeri dan internasional, ekonomi Indonesia terabaikan dan memburuk dengan cepat. Pemerintah mencetak uang untuk membiayai pengeluaran militernya, yang mengakibatkan hiperinflasi yang melebihi 600% per tahun pada tahun 1964–1965. Penyelundupan dan runtuhnya sektor perkebunan ekspor membuat pemerintah kehilangan pendapatan devisa yang sangat dibutuhkan. Akibatnya, pemerintah tidak mampu membayar utang luar negeri yang sangat besar yang telah terkumpul dari negara-negara blok Barat dan Komunis. Sebagian besar anggaran pemerintah dihabiskan untuk militer, yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, dan fasilitas umum lainnya. Kerusakan infrastruktur transportasi dan gagal panen menyebabkan kekurangan pangan di banyak tempat. Sektor industri kecil terpuruk dan hanya berproduksi pada kapasitas 20% karena kurangnya investasi.

Soekarno sendiri meremehkan ekonomi makro dan tidak mampu serta tidak mau memberikan solusi praktis terhadap kondisi ekonomi negara yang buruk. Sebaliknya, ia menghasilkan konsepsi yang lebih ideologis seperti Trisakti: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kemandirian budaya. Ia menganjurkan orang Indonesia untuk "berdiri di atas kaki sendiri" (Berdikari) dan mencapai kemandirian ekonomi, bebas dari pengaruh asing.[68]

Menjelang akhir pemerintahannya, kurangnya minat Soekarno pada ekonomi menciptakan jarak antara dirinya dan rakyat Indonesia, yang sedang menderita secara ekonomi.[69] Wajahnya membengkak karena penyakit, dan kemewahan serta penaklukan seksualnya[butuh rujukan], yang pernah membuatnya disayangi rakyat, menyebabkan kritik publik dan mengalihkan dukungan ke arah tentara.[butuh rujukan]

Tahun-tahun terakhir

Gerakan 30 September

 
Potret resmi, kemungkinan di akhir masa jabatannya.

Penculikan dan pembunuhan

Pada awal 1 Oktober 1965, enam jenderal senior angkatan darat Indonesia diculik dan dibunuh oleh sebuah gerakan yang menamakan diri mereka "Gerakan 30 September" (G30S). Di antara mereka yang terbunuh adalah Ahmad Yani, sementara Abdul Haris Nasution berhasil lolos, tetapi gerakan tersebut menculik Letnan Satu Pierre Tendean, ajudannya, mungkin karena mengira dia adalah Nasution dalam kegelapan. G30S terdiri dari anggota Pengawal Presiden, Divisi Brawijaya, dan Divisi Diponegoro, di bawah komando Letkol Untung Syamsuri. Gerakan ini menguasai stasiun radio RRI dan Lapangan Merdeka. Mereka menyiarkan pernyataan yang menyatakan penculikan itu dimaksudkan untuk melindungi Sukarno dari upaya kudeta oleh para jenderal yang dipengaruhi CIA. Kemudian, mereka menyiarkan berita tentang pembubaran kabinet Sukarno, yang akan digantikan oleh "Dewan Revolusi." Di Jawa Tengah, tentara yang terkait dengan G30S juga merebut kendali Yogyakarta dan Surakarta pada tanggal 1–2 Oktober, menewaskan dua kolonel dalam proses tersebut.

Akhir gerakan

Mayor Jenderal Soeharto, panglima komando cadangan strategis militer, mengambil alih kendali tentara keesokan paginya.[70] Soeharto memerintahkan pasukan untuk mengambil alih stasiun radio RRI dan Lapangan Merdeka. Pada sore hari itu, Soeharto mengeluarkan ultimatum kepada Pangkalan Angkatan Udara Halim, tempat G30S bermarkas dan tempat Soekarno (alasan kehadirannya tidak jelas dan menjadi subjek klaim dan klaim balik), Marsekal Udara Omar Dhani dan Ketua PKI Aidit berkumpul. Pada hari berikutnya, jelas bahwa kudeta yang tidak terorganisasi dengan baik dan terkoordinasi dengan baik itu telah gagal. Soekarno tinggal di Istana Bogor, sementara Dhani melarikan diri ke Jawa Timur dan Aidit ke Jawa Tengah.[71] Pada tanggal 2 Oktober, tentara Soeharto menduduki Pangkalan Angkatan Udara Halim, setelah baku tembak singkat. Kepatuhan Sukarno terhadap ultimatum Soeharto pada tanggal 1 Oktober untuk meninggalkan Halim dianggap mengubah semua hubungan kekuasaan.[72] Keseimbangan kekuatan Soekarno yang rapuh antara militer, Islam politik, komunis dan nasionalis yang mendasari "demokrasi terpimpin" kini sedang runtuh.[71] Pada tanggal 3 Oktober, mayat para jenderal yang diculik ditemukan di dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim, dan pada tanggal 5 Oktober mereka dimakamkan dalam upacara publik yang dipimpin oleh Soeharto.

Akibat dari G30S

Pada awal Oktober 1965, sebuah kampanye propaganda militer mulai melanda negara itu, berhasil meyakinkan khalayak Indonesia dan internasional bahwa itu adalah kudeta komunis, dan bahwa pembunuhan itu merupakan kekejaman pengecut terhadap para pahlawan Indonesia karena mereka yang ditembak adalah perwira militer veteran.[73] Penyangkalan PKI atas keterlibatannya tidak banyak berpengaruh.[74] Setelah penemuan dan pemakaman umum jenazah para jenderal pada tanggal 5 Oktober, tentara bersama dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat, pemerintah, dan angkatan bersenjata Indonesia dari partai komunis dan organisasi kiri lainnya. Anggota terkemuka PKI segera ditangkap, beberapa dieksekusi tanpa pengadilan. Aidit ditangkap dan dibunuh pada bulan November 1965.[73] Pembersihan menyebar ke seluruh negeri dengan pembantaian terburuk di Jawa dan Bali.[74] Di beberapa daerah, tentara mengorganisasikan kelompok sipil dan milisi lokal, di daerah lain aksi main hakim sendiri komunal mendahului tentara.[75] Perkiraan yang paling diterima secara luas adalah sedikitnya setengah juta orang terbunuh.[76] Diperkirakan sebanyak 1,5 juta orang dipenjara pada satu tahap atau lainnya.[77]

Sebagai akibat dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, PKI, telah secara efektif disingkirkan oleh dua pilar lainnya, militer dan Islam politik. Pembunuhan dan kegagalan "revolusi" yang lemah itu membuat Soekarno tertekan, dan ia mencoba untuk melindungi PKI dengan menyebut pembunuhan para jenderal sebagai een rimpeltje in de oceaan ("riak di lautan revolusi"), namun upaya ini tidak berhasil. Ia berusaha mempertahankan pengaruhnya dengan mengimbau seluruh negeri untuk mengikutinya dalam siaran pada bulan Januari 1966. Soebandrio berusaha membuat Barisan Soekarnois yang dirusak oleh janji kesetiaan Soeharto kepada Soekarno dan instruksi yang diberikan kepada semua orang yang setia kepada Soekarno untuk menyatakan dukungan mereka terhadap tentara.[78]

Transisi ke Orde Baru

 
Presiden Soekarno memimpin sidang Kabinet Dwikora saat mahasiswa berdemonstrasi di luar gedung DPR

Perombakan kabinet

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Soekarno mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai panglima angkatan darat untuk menggantikan Yani, tetapi ia terpaksa menyerahkan jabatan ini kepada Soeharto dua minggu kemudian. Pada bulan Februari 1966, Soekarno merombak kabinetnya, memecat Nasution sebagai menteri pertahanan dan menghapuskan jabatannya sebagai kepala staf angkatan bersenjata, tetapi Nasution menolak untuk mengundurkan diri. Dimulai pada bulan Januari 1966, mahasiswa mulai berdemonstrasi menentang Soekarno, menuntut pembubaran PKI dan agar pemerintah mengendalikan inflasi yang terus meningkat. Pada bulan Februari 1966, demonstran mahasiswa di depan Istana Merdeka ditembak oleh Pasukan Pengawal Presiden, menewaskan mahasiswa Arief Rachman Hakim, yang dengan cepat menjadi martir oleh demonstran mahasiswa.

Supersemar

Rapat kabinet penuh Sukarno diadakan di Istana Merdeka pada tanggal 11 Maret 1966. Ketika mahasiswa berdemonstrasi menentang pemerintah, pasukan tak dikenal mulai berkumpul di luar. Soekarno, Soebandrio, dan seorang menteri lainnya segera meninggalkan rapat dan pergi ke Istana Bogor dengan helikopter. Tiga jenderal pro-Suharto (Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf) dikirim ke Istana Bogor, dan mereka bertemu dengan Soekarno, yang menandatangani Perintah Presiden yang dikenal sebagai "Surat Perintah Sebelas Maret". Melalui perintah tersebut, Soekarno menugaskan Soeharto untuk "mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan dan revolusi serta menjamin keselamatan dan kewibawaan pribadi [Soekarno]". Siapa penulis dokumen tersebut, dan apakah Soekarno dipaksa untuk menandatangani, bahkan mungkin dengan todongan senjata, merupakan pokok perdebatan historis. Namun, dampak dari perintah tersebut adalah pengalihan sebagian besar kewenangan presiden kepada Soeharto. Setelah memperoleh Perintah Presiden tersebut, Soeharto menyatakan PKI ilegal, dan partai tersebut dibubarkan. Ia juga menangkap banyak pejabat tinggi yang setia kepada Soekarno dengan tuduhan sebagai anggota dan/atau simpatisan PKI, yang selanjutnya mengurangi kekuatan dan pengaruh politik Soekarno.[79]

Tahanan rumah dan kehilangan kekuasaan

Laporan ABC April 1967 tentang ketegangan politik di akhir era Sukarno

Pada tanggal 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara di depan MPRS, yang kini telah dibersihkan dari unsur-unsur komunis dan pro-Soekarno, dalam upaya terakhir yang tidak berhasil untuk membela diri dan sistem demokrasi terpimpinnya. Pada bulan Agustus 1966, meskipun mendapat keberatan dari Soekarno, Indonesia mengakhiri konfrontasinya dengan Malaysia dan bergabung kembali dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah pidato pertanggungjawaban yang gagal (Nawaksara Addendum) pada 10 Januari 1967, Soekarno menyerahkan kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto pada 20 Februari 1967 sambil tetap menjabat sebagai presiden tituler. Gelar presiden seumur hidup akhirnya dicabut oleh MPRS pada 12 Maret 1967 dalam sidang yang diketuai oleh mantan sekutunya, Nasution. Pada hari yang sama, MPR menunjuk Soeharto sebagai penjabat presiden.[80] Soekarno dikenakan tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala), di mana kesehatannya memburuk akibat tidak adanya perawatan medis yang memadai.[81]

Kematian

 
Pemakaman Soekarno pada 22 Juni 1970 di Blitar, Jawa Timur.
 
Makam Presiden Soekarno di Blitar, Jawa Timur.

Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[79] Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[79] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.[79] Ia bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[7][79] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[79] Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[79] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal TNI dr. Roebiono Kertopati.[79]

Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[79]

  1. Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
  2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
  3. Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Soekarno hingga saat meninggalnya.

Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.[79] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.[79] Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.[79] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean sebagai inspektur upacara.[79] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.[79]

Warisan

 
Rumah Proklamasi yang merupakan bekas kediaman Soekarno sekitar tahun 1950-1960. Di depannya, tampak Tugu Proklamasi.
 
Gelanggang Olahraga Bung Karno pada 1962.

Jalan Proklamasi, yang dulunya bernama Jalan Pegangsaan Timur,[82] merupakan letak bekas kediaman Soekarno yang berada di Jakarta Pusat. Rumah tersebut diberikan oleh Syech Faradj bin Martak.[butuh rujukan] Rumah tersebut menjadi saksi bisu Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan di sana.[83] Kediaman Bung Karno yang dijadikan tempat pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan pun sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan kehadiran Tugu Proklamasi dengan patung Soekarno-Hatta yang menggambarkan suasana pembacaan teks Proklamasi pada tahun 1945 dahulu.[84]

Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan prangko "100 Tahun Bung Karno".[21]:247-251 Prangko yang diterbitkan merupakan empat buah prangko berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.[21] Prangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an terpampang di atasnya. Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki nominal Rp900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri.[21] Selain prangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan prangko, album koleksi prangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.[21]

Prangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni 2008. Prangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[85] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.

Nama Soekarno diabadikan sebagai nama gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, kompleks olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.[86]

Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.[87]

Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.[88] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari Dewi Soekarno.[88] Pada tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[21] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.[21] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di stan tersebut.[21] Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.[21]

Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan Soekarno.[21] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.[21] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[21] Benda-benda tersebut antara lain sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah.[21] Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank Netherland.[21] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut.[89]

Arsitektur

Selain sebagai presiden, Soearno juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. [cat. 2][cat. 3][90]

Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[91]

Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Friedrich Silaban dan Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara.[92]

  • Masjid Istiqlal (1951)
  • Monumen Nasional (1960)
  • Gedung Conefo[92]
  • Gedung Sarinah[92]
  • Wisma Nusantara[92]
  • Hotel Indonesia (1962)[93]
  • Tugu Selamat Datang[93]
  • Monumen Pembebasan Irian Barat[93]
  • Patung Dirgantara[93]
  • Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf [90]
  • Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 [90]

Penghargaan

Dalam Negeri

 
     
     
     
Baris ke-1 Bintang Republik Indonesia Adipurna[94]
Baris ke-2 Bintang Mahaputera Adipurna[95] Bintang Jasa Utama[96] Bintang Gerilya[97]
Baris ke-3 Bintang Sakti[98] Bintang Dharma[99] Bintang Bhayangkara Utama[100]
Baris ke-4 Bintang Garuda[101] Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia[102] Satyalancana Perintis Kemerdekaan

Luar Negeri

Karya tulis

  • Sukarno. Pancasila dan Perdamaian Dunia
  • Sukarno. Kepada Bangsaku : Karya-karya Bung Karno Pada Tahun 1926-1930-1933-1947-1957.
  • Sukarno. Cindy Adams. (1965). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
  • Sukarno. Pantja Sila Sebagai Dasar Negara.
  • Sukarno. Bung Karno Tentang Marhaen Dan Proletar.
  • Sukarno. Negara Nasional Dan Cita-Cita Islam: Kuliah Umum Presiden Soekarno.
  • Sukarno. (1933). Mencapai Indonesia Merdeka.
  • Sukarno. (1945). Lahirnya Pancasila
  • Sukarno. (1951). Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial.
  • Sukarno. (1951). Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia.
  • Sukarno. (1957). Indonesia Merdeka.
  • Sukarno. (1959). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1. (kumpulan esai)
  • Sukarno. (1960). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. (kumpulan esai)
  • Sukarno. (1960). Amanat Penegasan Presiden Soekarno Didepan Sidang Istimewa Depernas Tanggal 9 Djanuari 1960.
  • Sukarno. (1964). Tjamkan Pantja Sila ! : Pantja Sila Dasar Falsafah Negara.
  • Sukarno. (1964). Komando Presiden/Pemimpin Besar Revolusi: Bersiap-sedialah Menerima Tugas untuk Menjelamatkan R.I. dan untuk Mengganjang "Malaysia"!
  • Sukarno. (1965). Wedjangan Revolusi.
  • Sukarno. (1965). Tjapailah Bintang-Bintang di Langit: Tahun Berdikari.
  • Sukarno. (1965). Pantja Azimat Revolusi.

Pidato

Hari dan tanggal Rangka Judul pidato
Jumat, 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan RI Tudjuhbelas Agustus 1945
Sabtu, 17 Agustus 1946 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-1 Sekali Merdeka, Tetap Merdeka
Minggu, 17 Agustus 1947 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-2 Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung
Selasa, 17 Agustus 1948 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-3 Seluruh Nusantara Berdjiwa Republik
Rabu, 17 Agustus 1949 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-4 Tetaplah Bersemangat Elang-Radjawali
Kamis, 17 Agustus 1950 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-5 Dari Sabang sampai Merauke
Jumat, 17 Agustus 1951 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-6 Tjapailah Tata, Tenteram, Kertarahardja
Minggu, 17 Agustus 1952 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-7 Harapan dan Kenjataan
Senin, 17 Agustus 1953 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-8 Djadilah Alat Sedjarah
Selasa, 17 Agustus 1954 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-9 Berirama dengan Kodrat
Rabu, 17 Agustus 1955 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-10 Tetap Terbanglah Radjawali
Jum'at, 17 Agustus 1956 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-11 Berilah Isi Kepada Hidupmu
Sabtu, 17 Agustus 1957 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-12 Satu Tahun Ketentuan
Minggu, 17 Agustus 1958 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-13 Tahun Tantangan
Senin, 17 Agustus 1959 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14 Penemuan Kembali Revolusi Kita
Rabu, 17 Agustus 1960 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-15 Djalannja Revolusi Kita
Jumat, 30 September 1960 Sidang Umum PBB ke-XV Membangun Dunia Kembali
To Build The World Anew
Kamis, 17 Agustus 1961 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-16 Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional
Jumat, 17 Agustus 1962 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-17 Tahun Kemenangan
Sabtu, 17 Agustus 1963 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-18 Genta Suara Revolusi Indonesia
Senin, 17 Agustus 1964 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-19 Tahun "Vivere Pericoloso"
Selasa, 17 Agustus 1965 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-20 Tahun Berdikari
Rabu, 22 Juni 1966 Sidang Umum MPRS IV Nawaksara
Rabu, 17 Agustus 1966 HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-21 Djangan Sekali-Kali Meninggalkan Sedjarah

Musik

Soekarno menciptakan lagu Bersuka Ria, yang muncul dalam album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada tahun 1965. Lagu ini dibawakan oleh Rita Zahara, Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Nien Lesmana.

Dalam budaya populer

Buku

  • M. Yuanda Zara. Ratna Sari Dewi Sukarno.
  • Sukarno, Iman Toto K. Rahardjo (Editor), Herdianto WK (Editor). (2001). Bung Karno dan Wacana Islam: Kenangan 100 tahun Bung Karno.
  • John Beilenson. Sukarno.
  • Cindy Adams. Sukarno: My Friend.
  • Adams, C. (2011). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Penerjemah Syamsu Hadi. Ed. Rev. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN 979-911-032-7-9.
  • Guntur Sukarno. Sukarno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
  • Peter Polomka. Indonesia Since Sukarno .
  • Clifford Geertz, Benedict Anderson, Wim F. Wertheim. Sukarno di Panggung Sejarah
  • Justus Maria van der Kroef. Indonesia After Sukarno.
  • Peter Kasenda. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933.
  • Ayub Ranoh. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno.
  • Books LLC. Sukarno: Indonesia-Malaysia Confrontation, Transition to the New Order, Mohammad Hatta, Megawati Sukarnoputri, Constitution of Indonesia.
  • Anonim. (1956). Presiden Sukarno di Tiongkok.
  • Maslyn Williams. (1965). Five Journeys from Jakarta: Inside Sukarno's Indonesia.
  • John Hughes. (1967). The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild.
  • Bernhard Dahm. (1969). Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
  • John D. Legge (1972) Sukarno: A Political.
  • Christiaan Lambert Maria Penders (1974). The Life and Times of Sukarno.
  • Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan. Biografie 1901–1950. Deel I, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2114-7
  • Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950–1970, Deel II, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5 pbk.
  • Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0
  • Rex Mortimer. (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965.
  • Bambang S. Widjanarko, Antonie C.A. Dake (Introduction), Rahadi S. Karni (Ed.). (1974). The Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung-Putsch.
  • Hal Kosut (Ed.). (1976). Indonesia: The Sukarno Years.
  • Franklin B. Weinstein. (1976). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto.
  • Masashi Nishihara, Dean Praty R. (Translator). (1976). Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951–1966.
  • Ganis Harsono. (1977). Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era.
  • Fatmawati Sukarno. (1978). Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Book, #1).
  • Guntur Sukarno. (1981). Bung Karno & Kesayangannya.
  • Rosihan Anwar. (1981). Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961–1965.
  • Ramadhan Kartahadimadja. (1981). Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno.
  • Marshall Green. (1990). Dari Sukarno ke Soeharto: G30 S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar.
  • Willem Oltmans. (1995). Mijn vriend Sukarno.
  • John Subritzky. (2000). Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961–65.
  • Angus McIntyre, David Reeve. (2002). Sukarno in Retrospect: Annual Indonesia Lecture Series # 24.
  • Victor M. Fic. (2004). Anatomy of the Jakarata Coup: October 1, 1965: The Collusion with China Which Destroyed the Army Command, President Sukarno and the Communist Party of Indonesia.
  • Antonie C.A. Dake. (2005). Sukarno File: Berkas-berkas Soekarno 1965–1967 – Kronologi Suatu Keruntuhan.
  • Wijanarka. (2006). Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya.
  • Reni Nuryanti. (2007). Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih.
  • Reni Nuryanti. (2007). Istri-istri Sukarno.
  • Helen-Louise Hunter. (2007). Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story.
  • M. Yuanda Zara. (2008). Sakura Di Tengah Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno.
  • Wawan Tunggul Alam. (2008). Demi Bangsaku: Pertentangan Sukarno vs Hatta.
  • Arifin Suryo Nugroho. (2009). Srihana-Srihani:Biografi Hartini Sukarno.
  • Onghokham. (2009). Sukarno, Orang Kiri, & Revolusi G30S 1965.
  • Rushdy Hoesein. (2010). Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati.
  • Tim Buku TEMPO. (2010). Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia.
  • Arifin Surya Nugraha. (2010). Fatmawati Sukarno : The First Lady.
  • M. Ridwan Lubis (2010). Sukarno dan Modernisme Islam.
  • Books LLC. (2010). People From Blitar, East Java: Sukarno.
  • Bücher Gruppe. (2010). Nationalheld Indonesiens: Tan Malaka, Liste Indonesischer Nationalhelden, Sukarno, Mohammad Hatta, Abdul Muis, Diponegoro, Iskandar Muda.
  • Hong Liu. (2011). Sukarno, Tiongkok, & Pembentukan Indonesia (1949–1965).
  • Hephaestus Books. (2011). National Heroes Of Indonesia, including: Tuanku Imam Bonjol, Sukarno, Wage Rudolf Supratman, Diponegoro, Mohammad Hatta, Adam Malik, Yos Sudarso, Sudirman, Hamengkubuwono Ix, Sutan Sjahrir, Kartini, Sultan Agung Of Mataram, Abdul Muis, Rizal Nurdin.
  • Peter Kasenda. (2012). Hari – Hari Terakhir Sukarno.
  • Jesse Russell (Editor), Ronald Cohn (Editor). (2012). Rukmini Sukarno.
  • Joseph H. Daves. (2013). The Indonesian Army from Revolusi to Reformasi Volume 1: The Struggle for Independence and the Sukarno Era.
  • Joseph H Daves. (2013). The Indonesian Army from Revolusi to Reformasi: Volume 1 – The Struggle for Independence and the Sukarno Era.
  • Stefan Seefelder. (2014). Die Bedeutung Der Fruhen Komintern Fur Die Kommunistischen Antikolonialen Bewegungen Asiens. Maos Und Sukarnos.
  • Peter Kasenda. (2014). Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia.
  • Walentina Waluyanti de Jonge. (2015). Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan.
  • Dr. Syafiq A. Mughnie,M.A.,PhD. Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal. PT. Bina Ilmu, 1994, pp 110–111.
  • Leslie H. Palmier. Sukarno, the Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957), pp 101–119.
  • Bob Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901–1970, KIT Publishers Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1
  • Stefan Huebner, Pan-Asian Sports and the Emergence of Modern Asia, 1913–1974. Singapore: NUS Press, 2016, 174-201.

Lagu

Film, televisi, dan panggung pertunjukan

Di kancah perfilman, hiburan televisi, dan panggung teater Indonesia dan negara lain, ada beberapa aktor yang memerankan sosok Bung Karno. Semua aktor tersebut, tentu saja bermain dalam film dan panggung pertunjukan dan judul yang berbeda. Kebanyakan aktor itu, ketika mendapatkan tawaran main, merasa bangga karena memerankan tokoh besar, pahlawan proklamator, bapak pendiri bangsa, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Catatan

  1. ^ Dalam autobiografi Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bobbs-Merrill Company Inc, New York, 1965) Sukarno menyebutkan lahir di Surabaya, "Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan" (halaman 26), selanjutnya "Aku dilahirkan pada tahun 1901... Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal 6 Juni." (halaman 21). Namun dalam beberapa dokumen mencantumkan tanggal 6 Juni 1902 di antaranya "Dalam Buku Induk TH Bandoeng yang sekarang masih tersimpan di ITB terbaca bahwa tanggal lahir Soekarno adalah 6 Juni 1902."[3]:37[4]:16 Pendapat lain adalah "Dari Buleleng, ia mendapat temuan ayah Soekarno dipindah ke Surabaya tahun 1901. Dan pada 1902 Soekarno lahir. "Kalau akhirnya dibuat 1901 itu mungkin untuk memudahkan sekolahnya saja," ujar Nurinwa."[5] Adapun kontradiksi perbedaan tahun kelahiran ini akhirnya dapat dijelaskan dalam dialog antara Sukarno dan ayahnya pada halaman 35 "Kalau perlu kita berbohong. Kita akan mengurangi umurmu satu tahun. Pada tahun ajaran yang baru engkau akan didaftarkan dengan umur tiga belas." - Oleh karenanya dapat dipastikan bahwa tanggal kelahiran Sukarno yang sesungguhnya adalah tanggal 6 Juni 1901.[6]
  2. ^ Bambang Eryudhawan, IAI: Ketika berdiri pada tahun 1920, Technische Hoogeschool te Bandoeng berisi Fakultas Teknik saja. Bidang ilmu yang diajarkan, terutama: a) Ilmu Pasti, b) Ilmu Alam, c) Mekanika, d) Arsitektur, e) Ilmu bahan bangunan, f) Sipil Basah/Bangunan air, g) Jalan dan Jembatan, h) Mesin, i) Elektro, j) Surveying and leveling , k) Geodesi, l) Hukum pemerintahan dan perdagangan, m) Kebersihan, n) Teknik penyehatan, o) Pertanian, p) Geologi terapan, q) Sejarah kebudayaan
  3. ^ Bambang Eryudhawan, IAI: Soekarno sebagai insinyur dianggap menguasai soal sipil basah, jalan dan jembatan, serta arsitektur. Di arsitektur, gurunya adalah dua bersaudara Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Prof. Ir. Richard Leonard Arnold Schoemaker yang mengajar di kelas: arsitektur, sejarah arsitektur, rencana kota, pembuatan bestek dan taksiran biaya.

Galeri

Referensi

  1. ^ Ricklefs, M.C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c.1300 (Edisi 4th). London: MacMillan. ISBN 978-0-230-54685-1.
  2. ^ Setiadi, A. (2013). Soekarno Bapak Bangsa. Yogyakarta: Palapa. hlm. 21. ISBN 978-602-7933-71-2.
  3. ^ a b c d e (Indonesia) Goenarso (1995). Riwayat perguruan tinggi teknik di Indonesia, periode 1920–1942. Bandung: Penerbit ITB.
  4. ^ (Indonesia) Sakri, A. (1979a). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979. Jilid I: Selintas Perkembangan. Bandung: Penerbit ITB.
  5. ^ Iswidodo (Minggu, 29 Agustus 2010 20:28 WIB). Iswidodo (ed.). "Antropolog UGM: Bung Karno Lahir di Surabaya". Tribunnews.com. tribunnews.com. Diarsipkan dari asli tanggal 2010-09-02. Diakses tanggal 11 September 2015. ; ;
  6. ^ "Soekarno – biografi". Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 6 Juni 2015.
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Indonesia) Kasenda, Peter (2010). Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-373-177-X.
  8. ^ a b (Indonesia) Warman, Asvi (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 979-709-404-1.
  9. ^ Thee, Kian Wie, ed. (2012). Indonesia's Economic Development During and After the Soeharto Era: Achievements and Failings. ISEAS Current Economic Affairs. Cambridge University Press. hlm. 69–89. ISBN 978-981-4379-54-0. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  10. ^ "Ini 7 Julukan Presiden Indonesia, Dari Soekarno Sampai Jokowi : Okezone Edukasi". 28 November 2022. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 23 April 2023. Diakses tanggal 23 April 2023.
  11. ^ Kadane, Kathy (21 May 1990). "U.S. OFFICIALS' LISTS AIDED INDONESIAN BLOODBATH IN '60S". The Washington Post. Washington, D.C. Diarsipkan dari asli tanggal 31 October 2021. Diakses tanggal 5 November 2021.
  12. ^ Lashmar, Paul; Gilby, Nicholas; Oliver, James (17 October 2021). "Revealed: how UK spies incited mass murder of Indonesia's communists". The Guardian. Diakses tanggal 17 October 2021.
  13. ^ Robinson, Geoffrey B. (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66. Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-8886-3.
  14. ^ Melvin, Jess (2018). The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Routledge. hlm. 1. ISBN 978-1-138-57469-4.
  15. ^ Mark Aarons (2007). "Justice Betrayed: Post-1945 Responses to Genocide." In David A. Blumenthal and Timothy L. H. McCormack (eds). The Legacy of Nuremberg: Civilising Influence or Institutionalised Vengeance? (International Humanitarian Law). Diarsipkan 5 January 2016 di Wayback Machine. Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 9004156917 p. 80.
  16. ^ The Memory of Savage Anticommunist Killings Still Haunts Indonesia, 50 Years On, Time
  17. ^ a b c d e (Indonesia) Adams, Cindy (1984). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. ISBN 979-96573-2-6.
  18. ^ "Soekarno tanpa achmad". Diarsipkan dari asli tanggal 2019-12-28.
  19. ^ (Inggris) Adams, Cindy (1965). Sukarno, an autobiography as told to Cindy Adams. New York: The Bobs Merryl Company Inc. ASIN B0007DFFFK.
  20. ^ (Cindy Adams, terjemahan Syamsu Hadi. Ed. Rev. 2011. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN 979-911-032-7-9) halaman 32
  21. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Kisah Istimewa Bung Karno. Kompas Media Nusantara. 2010. ISBN 978-979-709-503-1.
  22. ^ "Oost Indië". 15 Jul 1921. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2020-04-18 – via KB NBM Mfm MMK 0030 [Microfilm].
  23. ^ (Inggris) Brown, Colin (2007). Sukarno. Microsoft ® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.
  24. ^ a b (Indonesia) Sakri, A. (1979b). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979. Jilid II: Daftar lulusan ITB. Bandung: Penerbit ITB.
  25. ^ a b Sukarno; Adams, Cindy (1965). Sukarno, An Autobiography. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 79–80.
  26. ^ "Behind the coup that backfired: the demise of Indonesia's Communist Party". theconversation.com. 30 September 2015. Diakses tanggal 7 June 2022.
  27. ^ Sukarno; Adams, Cindy (1965). Sukarno: An Autobiography. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 145 92.; Legge 2003, hlm. 101–102
  28. ^ Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. The Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 27. ISBN 0-674-01834-6.
  29. ^ Friend, Theodore (1988). The Blue-Eyed Enemy: Japan Against the West in Java and Luzon 1942–1945. Princeton University Press. hlm. 82–84. ISBN 0-691-05524-6.
  30. ^ a b Sukarno (1965). Sukarno: An Autobiography. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 192.
  31. ^ a b Adams, Cindy (1967). My Friend the Dictator. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 184–186.
  32. ^ Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Edisi 4th). Palgrave Macmillan. hlm. 337. ISBN 978-1-137-14918-3.
  33. ^ Satō, Shigeru (1994). War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945. Armonk, NY: M. E. Sharpe Incorporated. hlm. 159–160. ISBN 9781317452355.
  34. ^ Library of Congress, 1992, "Indonesia: World War II and the Struggle For Independence, 1942–50; The Japanese Occupation, 1942–45" Access date: 9 February 2007
  35. ^ Ricklefs (1991), page 207
  36. ^ "The National Revolution, 1945–50". Country Studies, Indonesia. U.S. Library of Congress.
  37. ^ Kolko, Gabriel. The Politics of War. page 607
  38. ^ Legge 2003, hlm. 209-210.
  39. ^ Elson 2009, hlm. 112.
  40. ^ a b Smith, Roger M, ed. (1974). Southeast Asia. Documents of Political Development and Change. Ithaca and London. hlm. 174–18.
  41. ^ Mulyawan Karim (18 August 2009). "Misteri Pembongkaran Gedung Proklamasi (Mystery of Demolishing Proclamation Building)". KOMPAS Daily: 27.
  42. ^ "BUNG KARNO: 6 JUNE – 21 JUNE".
  43. ^ Emmerson, Donald K., ed. (1999). Indonesia Beyond Suharto: Polity, Economy, Society, Transition. Armonk, New York: M.E. Sharpe. hlm. 3–38., section: Robert Cribb, 'Nation: Making Indonesia'
  44. ^ Triyana, Bonnie (2022-01-12). "Istilah "Bersiap" yang Problematik". Historia. Diakses tanggal 2022-02-13.
  45. ^ Iburg, Nora (2009). Van Pasar Malam tot I Love Indo, identiteitsconstructie en manifestatie door drie generaties Indische Nederlanders (Master thesis, Arnhem University) (dalam bahasa Belanda). Ellessy Publishers. ISBN 9789086601042.
  46. ^ Bussemaker, H.Th. (2005). Bersiap! Opstand in het paradijs: de Bersiap-periode op Java en Sumatra, 1945–1946 [Bersiap! Revolt in Paradise: The Bersiap Period in Java and Sumatra, 1945–1946] (dalam bahasa Belanda). Zutphen: Walburg Press. hlm. 327–344. ISBN 9057303663.
  47. ^ MacMillan, Richard (2006). The British Occupation of Indonesia 1945–1946. New York: Routledge. ISBN 0-415-35551-6.
  48. ^ Poeze, Harry (2009). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Jakarta: KITLV.
  49. ^ Ide Anak Agung Gde Agung (1973). Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965. Mouton & Co. hlm. 67. ISBN 979-8139-06-2.
  50. ^ Ricklefs, M. C. (2008) [1981]. A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (Edisi 4th). London: MacMillan. hlm. 365-366. ISBN 978-0-230-54685-1.
  51. ^ "Sejarah Indonesia". Gimonca.com. Diakses tanggal 14 February 2011.
  52. ^ van de Kerkhof, 2005, p. 28–31
  53. ^ Roadnigh, Andrew (2002). United States Policy towards Indonesia in the Truman and Eisenhower Years. New York: Palgrave Macmillan. ISBN 0-333-79315-3.
  54. ^ Kinzer, Stephen (2013). The Brothers: John Foster Dulles, Allen Dulles, and Their Secret World War. New York: Times Books.
  55. ^ Pradityo, Sapto. "Soetidjah Jadi Artis Hollywood". detikx. Diakses tanggal 2023-11-28.
  56. ^ Goldstein, Robert Justin (2001). Political Censorship. Taylor & Francis. ISBN 978-1-57958-320-0.
  57. ^ Anwar, Rosihan (2006). Sukarno, tentara, PKI: segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961–1965. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-613-0.
  58. ^ Hunter, Helen-Louise (2007). Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-275-97438-1.
  59. ^ Kinzer, Stephen (2013). The Brothers: John Foster Dulles, Allen Dulles, and Their Secret World War. New York: Times Books. hlm. 203.
  60. ^ a b "Chapter 1: January 1961–Winter 1962: Out from Inheritance". Aga.nvg.org. Diarsipkan dari asli tanggal 19 July 2002. Diakses tanggal 14 February 2011.
  61. ^ a b c d "Ratu Elizabeth II Mengundang Bung Karno Ke London". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2022-09-09. Diakses tanggal 2024-01-03.
  62. ^ Matthew Jones, "US relations with Indonesia, the Kennedy-Johnson transition, and the Vietnam connection, 1963–1965". Diplomatic History 26.2 (2002): 249–281. online
  63. ^ "GANEFO & CONEFO Lembaran Sejarah yang Terlupakan". JakartaGreater. 25 October 2015. Diarsipkan dari versi asli pada 15 April 2017. Diakses tanggal 18 May 2017.
  64. ^ a b Hughes (2002), p. 21
  65. ^ "Bung Karno Attended The PKI's Birthday At The GBK Main Stadium". VOI - Waktunya Merevolusi Pemberitaan (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-02-12.
  66. ^ Mortimer, Rex (2006). Indonesian Communism under Sukarno, 1959–1965. Equinox.
  67. ^ Dake, Antonie (2006). Sukarno Files. Yayasan Obor.
  68. ^ Adams, Cindy (1965). Bung Karno, My Friend.
  69. ^ Vickers, Adrian (2012). Bali – A Paradise Created.
  70. ^ Ricklefs (1991), p. 282.
  71. ^ a b Ricklefs (1991), pp. 281–282.
  72. ^ Friend (2003), p. 105.
  73. ^ a b Vickers (2005), p. 157.
  74. ^ a b Ricklefs (1991), p. 287.
  75. ^ Vickers (2005), pp. 158–159
  76. ^ Ricklefs (1991), p. 288; Friend (2003), p. 113; Vickers (2005), p. 159; Cribb, Robert (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966". Asian Survey. 42 (4): 550–563. doi:10.1525/as.2002.42.4.550. S2CID 145646994.
  77. ^ Vickers (2005), pp. 159–160.
  78. ^ Ricklefs (1991), p. 288.
  79. ^ a b c d e f g h i j k l m n Huda M., Nurul (2010). Benarkah Soeharto Membunuh Soekarno?. Starbooks. ISBN 978-979-25-4724-5. Halaman 5, 57, 84-89.
  80. ^ Ricklefs (1991), p. 295.
  81. ^ "Britain owes an apology to my father and millions of other Indonesians". The Observer (dalam bahasa Inggris (Britania)). 7 November 2021. ISSN 0029-7712. Diakses tanggal 8 July 2023.
  82. ^ Nama Jalan Proklamasi Akan Dikembalikan
  83. ^ Merrillees, Scott (2015). Jakarta: Portraits of a Capital 1950-1980. Jakarta: Equinox Publishing. hlm. 44. ISBN 9786028397308. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2020-08-31. ;
  84. ^ Farrel M. Rizqy, ed. (2009). Bung Karno – Di Antara Saksi dan Peristiwa [Bung Karno – Between Witnesses and Events]. Jakarta: Kompas. hlm. 64. ISBN 9789797094096. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2020-08-31.
  85. ^ Roy (3 Juni 2008). "Kuba Terbitkan Prangko Bung Karno dan Fidel Castro". Kompas.com. Kompas Cyber Media. Diarsipkan dari asli tanggal 2008-10-13. Diakses tanggal 3 Juni 2008. ; ;
  86. ^ Nurdin Saleh (15 Januari 2001). "Gelora Senayan Siap Berubah Menjadi Gelora Bung Karno". Tempo Interaktif. Diarsipkan dari asli tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 5 Juni 2010. ;
  87. ^ Info UBK Diarsipkan 2010-05-03 di Wayback Machine., Universitas Bung Karno. Diakses pada 5 Juni 2010.
  88. ^ a b Profil Yayasan Diarsipkan 2010-07-15 di Wayback Machine., Yayasan Bung Karno. Diakses pada 3 Agustus 2010.
  89. ^ "Satria Piningit Mengaku Temukan Harta Karun Bung Karno". Suara Merdeka Online. Suara Merdeka. 17 Mei 2003. Diarsipkan dari asli tanggal 2010-07-19. Diakses tanggal 3 Agustus 2010. ;
  90. ^ a b c "Menguak Sisi Artistik Bung Karno". Arsip Sunjayadi.com. Diarsipkan dari asli tanggal 2012-11-09. Diakses tanggal 18 September 2015.
  91. ^ "Jejak Arsitektur Sang Presiden". Pikiran Rakyat. Senin, 11 September 2006. Diarsipkan dari asli tanggal 2011-06-14. Diakses tanggal 11 September 2015. ; ; Resensi atas buku Bung Karno Sang Arsitek – Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926 – 1965
  92. ^ a b c d Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. PT Balai Pustaka. 1992.
  93. ^ a b c d Bung Karno Sang Arsitek - Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926-1965. Depok: Komunitas Bambu. Juni 2005. Pemeliharaan CS1: Tahun (link)
  94. ^ "Penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipurna Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  95. ^ "Penghargaan Bintang Mahaputera Adipurna Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2022-11-06. Diakses tanggal 2021-09-07.
  96. ^ "Penghargaan Bintang Jasa Utama Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-10-26. Diakses tanggal 2021-09-07.
  97. ^ "Penghargaan Bintang Gerilya Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  98. ^ "Penghargaan Bintang Sakti Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-10-26. Diakses tanggal 2021-09-07.
  99. ^ "Penghargaan Bintang Dharma Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  100. ^ "Penghargaan Bintang Bhayangkara Utama Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  101. ^ "Penghargaan Bintang Garuda Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  102. ^ "Penghargaan Bintang Sewindu APRI Presiden Soekarno". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07.
  103. ^ Bung Karno di Afghanistan, diakses tanggal 2023-04-14
  104. ^ "The Order of the Companions of O.R. Tambo". The Presidency Republic of South Africa. Diakses tanggal 2022-11-09.
  105. ^ myrepro (2015-11-10). "Penghormatan & Penghargaan Untuk Bung Karno". myrepro. Diakses tanggal 2023-04-14.
  106. ^ Jam, Satu (2015-08-28). "Biografi Soekarno". Satu Jam (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2023-04-14.
  107. ^ "Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2015-09-21. Diakses tanggal 2023-04-14.
  108. ^ "Sejarah Lengkap dan Asal Usul Presiden Soekarno". Kuwaluhan.com. Diakses tanggal 2023-04-14.
  109. ^ "Biografi Soekarno". Kepustakaan Presiden. Diakses tanggal 22 November 2023.
  110. ^ "Bung Karno di Rio de Janeiro". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2024-06-14. Diakses tanggal 2024-09-11.
  111. ^ Presiden Soekarno berkunjung ke Cekoslowakia (1956), diakses tanggal 2023-04-14
  112. ^ "Briefer on the Philippine Legion of Honor". Government of Philippines. Diakses tanggal 26 October 2018.
  113. ^ "SOEKARNO TO GET P.I. DECORATION". NewspaperSG. 1951-01-23. Diakses tanggal 2024-11-27.
  114. ^ "Sukarno In Hungary 1960". British Pathé. 1960. Diakses tanggal 2022-11-09.
  115. ^ President Sukarno of Indonesia in Hungary (1960) | British Pathé, diakses tanggal 2023-04-14
  116. ^ "Indochina Medals - Cambodia - CM02 National Order of Independence". indochinamedals.com. Diakses tanggal 2024-05-17.
  117. ^ Mirnawati, Indonesia (2012). Kumpulan pahlawan Indonesia terlengkap. CIF. hlm. 151. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  118. ^ Geerken, Horst H. (2017). Hitler's Asian Adventure. Bonn: A BukitCinta Book. hlm. 531–532. ISBN 9783738630138. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  119. ^ "Kunjungan Sukarno ke Maroko". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2020-10-22. Diakses tanggal 2023-04-14.
  120. ^ Limited, Alamy. "Jul. 23, 1955 - 23-7-55 Prime Minister Nasser welcomes Indonesian President to Cairo. President Ahmed Soekarno, of Indonesia, has arrived in Cairo for a five day State visit. He was received on his arrival by Prime Minister Gamel Abdel Nasser, and members of the Revolution Command Council. Photo Shows: President Soekarno of Indonesia, was decorated by Prime Minister Nasser with the Collar of the Order of the Nile. Here is Nasser handling over the box containing the Collar to the President Stock Photo - Alamy". www.alamy.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-19.
  121. ^ "ENTIDADES ESTRANGEIRAS AGRACIADAS COM ORDENS PORTUGUESAS - Página Oficial das Ordens Honoríficas Portuguesas". www.ordens.presidencia.pt. Diakses tanggal 2024-05-16.
  122. ^ แจ้งความสำนักนายกรัฐมนตรี เรื่อง พระราชทานเครื่องราชอิสริยาภรณ์
  123. ^ Author. "Istana: Presiden menerima Wisa amal Istiqlal tunisia oleh utusan istimewa sayed al habib bouzquiba". khastara.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2024-08-30.
  124. ^ "Lenin Peace Prize Pinned on Sukarno". The New York Times. 1960-07-29. Diakses tanggal 2022-11-09.
  125. ^ Kementerian Penerangan, Indonesia (1958). Menjongsong tamu negara Josip Broz-Tito, Presiden Republik Rakjat Federal Yugoslavia. Indonesia: Indonesia. Departemen Penerangan. hlm. 32. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)

Lihat pula

Pranala luar

Jabatan politik
Jabatan baru
Kemerdekaan Indonesia
Lihat: Daftar Gubernur-Jenderal Hindia Belanda
Presiden Indonesia
1945–1967
Diteruskan oleh:
Soeharto
Didahului oleh:
Djuanda Kartawidjaja
Perdana Menteri Indonesia
1959–1966
Diteruskan oleh:
Soeharto
sebagai Ketua Presidium Kabinet


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan