Kelenteng

tempat ibadah agama tradisional Tionghoa
(Dialihkan dari Klenteng)

Kelenteng (KBBI; Bentuk tidak baku: klenteng; Hokkian: 廟, bio) adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disalahartikan sebagai penganut agama Konghucu. Padahal keduanya hal yang sama sekali berbeda, bahkan di masa awal gagasan Kang Youwei mendirikan agama Konghucu di akhir kekuasaan Dinasti Qing sekira awal abad ke-20, praktik tradisi ini sebagian besar dianggap bertentangan dengan ajaran Konfusius yang tidak membahas mengenai surga dan neraka, apalagi dewa.

Kelenteng

Kelenteng Kim Tek Ie, 2008.
Hanzi tradisional: 中華廟宇
Hanzi sederhana: 中华庙宇
Makna harfiah: Tempat ibadah Tionghoa

Apa yang disebut kelenteng di Indonesia, di seluruh dunia bukanlah tempat ibadah umat Konghucu melainkan tempat ibadah 2 agama yang dari masa Tiongkok klasik hingga saat ini masih eksis di Tiongkok yaitu Agama Buddha dan Agama Tao. Hanya di kedua agama inilah terdapat kosmologi dewata yang khas, dan terdapat Gunung Suci untuk keduanya di Tiongkok. Terdapat 5 agama yang direkognisi di Tiongkok yaitu Buddha, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam[1].

Di beberapa daerah, kelenteng juga disebut dengan istilah tokong.[2] Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara. Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa, dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatra mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan di orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai Pakkung, pakkung miau atau shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.[3]

Kelenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), kelenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa dimasa lampau.[4]

Asal mula kata kelenteng

sunting

Tempat ibadah komunitas Tionghoa yang beragama Buddha, dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng 觀音亭. Tempat ibadah ini dipersembahkan kepada Kwan Im (觀音dewi pewelas asih atau Avalokitesvara bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya menyerapnya secara fonetik menjadi Kelenteng daripada Wihara, yang kemudian melafalkannya sebagai Kelenteng hingga saat ini. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi Kelenteng di Republik Rakyat Tiongkok.Hal ini menunjukkan warna keagamaan komunitas Tionghoa di masa Hindia Belanda adalah beragama Buddha yang telah mengalami akulturasi dengan budaya Tionghoa atau sederhananya dapat disebut Agama Buddha Tionghoa atau Chinese Buddhism.

Buktinya adalah tempat-tempat ibadah paling tua di Nusantara, yang saat ini mencakup hampir seluruh Asia Tenggara, adalah diperuntukkan untuk menghormati Bodhisatwa Avalokitesvara (Sansekerta) yang diterjemahkan Kwan Se Im Pu Sa (Mandarin), dan Dewi Welas Asih (Indonesia).

Selain tempat memuja dewata atau bodhisatva yang dihormati, komunitas Tionghoa juga membangun tempat penghormatan pada leluhur atau 祠 "Ci" (rumah abu). Biasanya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati leluhurnya masing-masing, jadi ada rumah abu marga Liem, rumah abu marga Tan, dan sebagainya. Masing-masing marga juga umumnya menyembah atau menghormati dewa-dewi yang memiliki marga yang sama, atau dewata pelindung marganya.

Seiring perkembangan zaman dan ketersediaan lahan, rumah abu biasanya dipisah dari tempat penghormatan para dewa. Tapi masih terdapat juga rumah abu yang berada di dalam kelenteng maupun vihara dan bisa ditemukan di bagian samping atau belakang, atau ruang di lantai khusus pada tempat ibadah yang perkembangannya vertikal di kota-kota besar seperti Jakarta.

Meskipun kelenteng di Indonesia lebih banyak yang bersifatBuddha dan Taoisme, tetapi biasanya keduanya menyediakan tempat untuk menghormati dan mempelajari ajaran Konghucu. Oleh sebab itu tempat ibadah demikian disebut Tempat Ibadah Tri Dharma. Tokoh Buddha seperti The Boan An dan Kwee Tek Hoay adalah pelopor Tri Dharma atau Sam Kauw di Indonesia. kelenteng selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari berbagai ajaran, juga digunakan sebagai ruang interaksi sosial orang Tionghoan baik dengan sesama Tionghoa maupun dengan komunitas lainnya. Menjadi tempat yang damai untuk semua golongan tanpa memandang suku dan agama apapun.

Kategori kelenteng

sunting
 
Kelenteng Yin Fong di Johor, Malaysia.

kelenteng adalah sebutan umum bagi tempat ibadat orang Tionghoa sehingga kelenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori sesuai dewata utama yang disembah yakni yang berasal dari kosmologi dewata agama Buddha, kosmologi dewata agama Tao, dan kosmologi dari agama jelata (popular religion). Sedangkan agama Konghucu yang baru digagas sejak awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1900an, tidak memiliki kosmologi dewata, bahkan Konghucu dan murid-muridnya disembah sebagai spirit atau arwah leluhur daripada sebagai dewa.[5] Oleh karena itu di seluruh dunia, tempat ibadah yang di Indonesia disebut kelenteng ini tidak menempatkan patung Konghucu diantara altar para dewa dan bodhisatwa. Khusus di Indonesia, Tempat Ibadah Tri Dharma menyediakan ruang khusus untuk tempat kebaktian umat Konghucu yang terpisah dari tempat kebaktian umat Buddha dan Tao. Namun terdapat juga TITD dengan altar yang disatukan dimana patung Buddha ditempatkan di tengah, Lao Tzu (Pendiri Tao) di kiri, dan Konghucu di kanan. Umumnya praktik demikian adalah ciri dari umat Agama Buddha Tri Dharma yang tergabung dalam Majelis Agama Buddha Tri Dharma disingkat MAGABUTRI.

Tempat ibadah berdasarkan umat

sunting
  • Konghucu
    • Litang (禮堂) adalah nama tempat ibadah Agama Konghucu, bukan kelenteng sebagaiamana disalahpahami selama ini. Tempat ibadah pertama Konghucu di Indonesia baru berdiri pada 1906 yakni Boen Bio di Surabaya, sedangkan kelenteng-kelenteng bercorak Buddha sudah berdiri sejak 1600-an.
    • Ci (祠) atau rumah abu memang banyak yang diubahsuaikan menjadi tempat ibadah Agama Konghucu (Litang). Biasanya rumah abu adalah salah satu bagian dari komplek wihara Buddhisme Tionghoa yang disebut kelenteng di Indonesia. Pasca 1906 di beberapa daerah dihibahkan ke umat Konghucu untuk dijadikan tempat ibadah.
    • Miao (廟) (Temple/Kelenteng/Bio). Kongmiao 孔廟 dan Wenmiao 文廟. Pada masa feodalisme di Tiongkok, rakyat jelata di Tiongkok pada umumnya tidak bisa sembarangan membangun kelenteng Konghucu atau Kong Miao 孔廟, Hanya ada dua yang bisa dikategorikan sebagai miao dalam kepercayaan Konghucu, yaitu: wen miao dan wu miao.
    • Tempat ibadah Konghucu pertama di Hindia Belanda berdiri di Surabaya 1906, hal ini terkait dengan Reformasi 100 hari yang gagal di Tiongkok oleh Kang Youwei. Salah satu poin reformasi adalah menjadikan ajaran Konghucu menjadi agama dengan mengadopsi pola-pola agama samawi. Desain tempat ibadah Agama Konghucu yang disebut Litang pun mengadopsi tempat kebaktian umat Kristen, dengan kursi-kursi kayu, mimbar, dan altar Konfusius.
  • Taoisme:
    • Taoism, secara umum disebut gong guan 宮觀, awalnya tidak disebut gongguan tetapi dengan berbagai sebutan seperti jing 靖 ( berarti damai ), she 舍 ( gubuk), 廬 ( juga berarti gubuk tetapi dengan atap yang menutup penuh ), guan 館 ( rumah yang indah dan ada aktivitas sosial masyarakat, sekarang ini disebut gedung ). Istilah gong guan 宮觀 baru digunakan di zaman dinasti Tang. Secara umum memiliki dua pembagian besar, yaitu zisun miao 子孫廟yang dikelola oleh pribadi dan aturan yang tidak begitu ketat, satunya adalah conglin miao 叢林廟, memiliki aturan yang ketat dan memiliki organisasi pengurusan.
    • Gong 宮, artinya adalah istana. Penyebutan tempat ibadah Tao dengan penyamaan dengan kata istana ini bermula pada masa dinasti Tang. Para kaisar dinasti Tang beranggapan mereka adalah keturunan dari Li Er 李耳 ( Laozi 老子 ), karena itu mereka membangun kelenteng-kelenteng Taoisme dan menggunakan kata “istana” untuk tempat ibadah Taoisme.
    • Guan 觀, artinya adalah mengamati, penyebutan ini terkait dengan panggung obervasi langit 觀臺 pada zaman pra dinasti Tang. Fungsinya mirip dengan yuan院 .
    • Dong 洞, artinya adalah gua. Biasanya adalah tempat para pertapa. Contohnya adalah Leizu dong, di gunung Wudang
    • Dian 殿, artinya aula. Statusnya lebih rendah dari gong 宮. Contohnya Xuanjiang dian 玄江殿 Singapore.
    • Kelenteng dengan dewa-dewa Taoisme menurut hasil penelitian Salmon dan Lombard, hadir belakangan di wilayah Hindia Belanda dan diberikan tempat di kelenteng-kelenteng dengan dewa-dewa dari kosmologi Agama Buddha Tionghoa yang sudah hadir terlebih dahulu. Sementara tempat ibadah Konghucu hadir paling akhir yakni setelah abad keduapuluh, dan juga diterima dengan terbuka oleh kelenteng-kelenteng Buddhis, dengan mengizinkan rumah abu (Ci) diubahsuai menjadi tempat ibadah Konghucu.[6]
  • Buddhisme:
    • Agama Buddha ketika berkembang di Tiongkok menjelang abad pertama mengalami sinisisasi sehingga akhirnya diterima sepenuhnya oleh masyarakat Tiongkok yang menganggapnya sebagai agama Tiongkok. Di masa klasik tersebut, Agama Buddha dan agama jelata atau shenisme jika meminjam istilah Gondomono[7] mengalami akulturasi sehingga menghasilkan bentuk baur yang khas Tiongkok. Sebagian besar bentuk baur ini masih bertahan dalam bentuk pemujaan dewata atau bodhisatva hingga dewata lokal di berbagai kelenteng, hingga bentuk Agama Buddha Tri Dharma yang dirintis Kwee Tek Hoay.[8]
    • Secara umum disebut siyuan 寺院:
    • Si 寺, pada umumnya disebut wihara, contoh adalah TaJue si ( 大覺寺 ) atau yang dikenal dengan sebutan Taikak si di Semarang.
    • Yuan 院, pengertian ini lebih luas daripada si wihara, karena mencakup tempat pendidikan, pelatihan diri untuk para biksu, biara.
    • An 庵, banyak orang beranggapan an ini khusus untuk biksuni, tetapi secara umum bisa diartikan bahwa an adalah tempat kaum perempuan melatih diri, bisa biksuni 尼姑, bisa daogu 道姑 ( pendeta perempuan dalam agama Tao ), bisa zhai jie齋姐 ( pendoa perempuan yang hanya ada pada sub etnis Hakka )
    • Ta 塔 ( pagoda )[10], bangunan ini bernuansakan Buddhisme, dimana pagoda ini adalah tempat untuk penyimpanan relics Buddha, kitab suci atau juga para biksu-biksuni yang sudah parinibbana. Di kelenteng Ling Guang si 靈光寺 (Wihara Dharma Ramsi ) Bandungmemiliki dua pagoda untuk mengenang biksu yang sudah meninggal. Pagoda bisa ada dalam lingkup wihara atau berdiri sendiri, seperti pagoda Lei Feng 雷峰塔 di Hang Zhou.
  • Kepercayaan rakyat, Pada umumnya mereka menggunakan istilah miao 廟, tetapi dalam banyak tempat ibadah kepercayaan rakyat, kita bisa melihat penggunaan gong, ci, tang. Sebenarnya pembangunan tempat ibadah pada zaman dahulu memiliki kaidah utama yaitu pengesahan dari kerajaan, tetapi terkadang aparat pemerintah tidak menjangkau hingga pedesaan, jadi tidak menjadi suatu permasalahan bagi rakyat pedesaan. Contoh kelenteng kepercayaan rakyat yang menggunakan istilah miao atau bio adalah Fude miao 福德廟 ( hoktek bio ).
  • Istilah lain yang sering digunakan, antara lain adalah tang 堂yang berarti aula, biasanya itu adalah kelenteng kecil bersifat pribadi. Yang lainnya adalah shentan神壇 yang berarti aula dewata juga berukuran kecil, dian 殿 ( aula yang luas ). Tang dan shentan kadang dimiliki oleh pribadi tetapi terbuka untuk umum, pada umumnya memiliki fungsi pelayanan sebagai pendoa. Kelenteng yang menggunakan istilah dian ini antara lain Bo an tian 保安殿 Pekalongan. Tang pada umumnya orang mengkaitkan dengan Fotang佛堂 tetapi ini juga tidak selalu karena ada yang dari Taoisme menggunakan istilah tang ini. Sedangkan shentan pasti bernuansa Taoisme atau kepercayaan rakyat Tionghoa.
  • Singa adalah simbol suci agama Buddha yang secara konsisten hadir di berbagai bentuk tempat ibadah dan tempat suci umat Buddha. Contohnya dapat disaksikan di berbagai candi Buddhis yang ada di seluruh dunia, selalu menampilkan sepasang singa di bagian depan, termasuk di kelenteng yang merupakan tempat ibadah umat Buddha Tionghoa.
  • Teratai juga merupakan simbol suci agama Buddha yang menjadi ikonografi di berbagai tempat, baik dalam bentuk relief, singgasana para dewata maupun bodhisatva, serta untuk ragam hias lainnya.

Kelenteng berdasarkan fungsi

sunting
  • Fungsi ibadah
  • Fungsi sosial masyarakat
  • Fungsi politik

Kelenteng berdasarkan pemilik

sunting
  • Milik kekaisaran (pejabat)
  • Milik masyarakat
  • Milik pribadi

Kelenteng dan wihara pada Orde Baru

sunting

Pada masyarakat awam, banyak yang tidak mengetahui bahwa kelenteng dan wihara adalah tempat ibadah bagi umat Buddha, jauh sebelum hadirnya pengaruh Taoisme ke Nusantara, dan Konghucu sebagai agama yang merupakan fenomena baru setelah abad ke-20. Kelenteng adalah wihara berarsitektur Tiongkok, yang sudah menjadi tempat ibadah umat Buddha Tionghoa sejak masa kolonial di Hindia Belanda. Kwan Im Teng pertama didirikan di Batavia sekira 1650 di daerah Petak Sembilan, dan kelak paska kerusuhan 1740 diubah namanya menjadi Jin De Yuan, dan pada masa Orde Baru menjadi Wihara Dharma Bhakti. Tempat pemujaan Kwan Im tertua lainnya juga didirikan di Banten, Cirebon, dan Semarang.[9]

Kelenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada wihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok. Contoh adalah kelenteng Taikak sie ( Da Jue si 大覺寺 ) Semarang yang termasuk tempat ibadah agama Buddha Mahayana. Hal ini perlu diketahui bahwa wihara dalam bahasa Mandarin adalah si 寺. Contoh wihara Shaolin 少林 atau yang dikenal dengan sebutan Shaolin si 少林寺.

Setelah peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965, dilakukan penyesuaian nama tempat ibadah yang semula menggunakan mandarin ke bahasa Sanskerta ataupun Pali. Hal ini dilakukan umat Buddha karena pemerintah orde baru menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.[10] Sementara untuk tempat ibadah Konghucu, yang baru hadir pada 1906 di Surabaya dengan nama Boen Bio, maupun 1930 di Cirebon dengan nama Kong Tju Bio, tidak ada perubahan nama. Tempat pertama mengambilalih Kelenteng Dewa Kebudayaan dan Literatur (Boen Tjang Sioe) sedangkan yang kedua mengubah Rumah Abu Yi Ci. Rumah abu ini awalnya adalah bagian dari tempat ibadah umat Buddha di Cirebon yaitu Tio Kak Sie.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, penggunaan nama mandarin tidak lagi menjadi persoalan, sehingga umat lebih bebas menunjukkan apresiasi budayanya. Selain tempat ibadah berlatar Chinese Buddhism, sebagai kelenteng juga menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD). Sam Kauw atau Tri Dharma sendiri sejak dikembangkan oleh Kwee Tek Hoay, akhirnya bergabung menjadi salah satu majelis kepanditaan agama Buddha, dengan nama Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia atau disingkat Magabutri. Organisasi inilah yang membina kelenteng-kelenteng dengan nama TITD di depan namanya.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_China
  2. ^ Definisi 'tokong' artikata.com, Diakses pada 9 Maret 2011.
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-19. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  4. ^ Claudine Salmon & Denys Lombard (1985). "Klenteng Klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta".
  5. ^ https://education.nationalgeographic.org/resource/confucianism/
  6. ^ Salmon dan Lombard, Claudine dan Dennys (2011). Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ISBN 979-97229-3-4. 
  7. ^ Gondomono, author (1996). Membanting Tulang Menyembah Arwah: Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta: Universitas Indonesia. hlm. 14. ISBN 9789798184161, 9798184165 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  8. ^ Sidhartha, Myra (Editor) (1989). 100 Tahun Kwee Tek Hoay: dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ISBN 979416047 Periksa nilai: length |isbn= (bantuan). 
  9. ^ Salmon dan Lombard, Claudine dan Dennys (2003). Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Ciptaloka Caraka. ISBN 9799722934. 
  10. ^ "Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967". wikisource. Diakses tanggal 2023-04-11. 

Pranala luar

sunting