Kerajaan Pagaruyung

kerajaan di Asia Tenggara
(Dialihkan dari Pagaruyung)

Kerajaan Pagaruyung (Bahasa Minang: Ka-rajo-an Pagaruyuang, nama lain: Pagaruyung Dārul Qarār) adalah kerajaan yang pernah berdiri di bagian tengah pulau Sumatra, yang wilayahnya sekarang menjadi bagian daratan Provinsi Sumatera Barat, sebagian Provinsi Riau, dan bagian pesisir barat Provinsi Sumatera Utara.

Pagaruyung Dārul Qarār

ڤݢرويڠ دار القرار
Pagaruyuang
ملاياڤورا
Malayapura
1347–1825
Bendera Pagaruyung
Bendera
{{{coat_alt}}}
Cap Mohor
Ibu kotaPagaruyung
Bahasa yang umum digunakanMinangkabau, Melayu, Sanskerta (zaman Buddha)
Agama
Dari Buddha berubah menjadi Islam
PemerintahanMonarki
Maharajadiraja - Sultan - Yang Dipertuan Pagaruyung 
Sejarah 
• Didirikan
1347
• Perang Padri
1825
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Dharmasraya
krjKerajaan
Majapahit
krjKerajaan
Siguntur
Konfederasi Sungai Pagu
Konfederasi Luhak Nan Tigo
Kerajaan Indrajati
kslKesultanan
Barus
krjKerajaan
Malayapura
kslKesultanan
Malaka
krjKerajaan
Indragiri
kslKesultanan
Jambi
kslKesultanan
Inderapura
kslKesultanan
Aceh
Pendudukan Kaum Padri atas Kerajaan Pagaruyung
krjKerajaan
Tambusai
krjKerajaan
Rambah
krjKerajaan
Rokan IV Koto
Kedatukan Tapung
krjKerajaan
Kampar Kiri
krjKerajaan
Kuantan
Kedatukan Singingi
kslKesultanan
Siak Sri Inderapura
Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung,[1] selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tunggul Alam Bagagar dari Pagaruyung,[2] yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi (Jawi: سلطان توڠݢل عالم باݢݢر ابن سلطان خليفة الله يڠ ممڤوڽاءي تختا کراجأن دالم نݢري ڤݢرويڠ دار القرار جوهن برداولة ظل الله في العالم; Latin: Sulthān Tunggul Alam Bagagar ibnu Sulthān Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zhillullāh fīl 'Ālam).[3] sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[4]

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[5] sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman,[6] yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.[7]

Sejarah

Berdirinya Pagaruyung

 
Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa[8] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo, dan anak dari Dara Jingga putri dari Kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang,[9] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[10] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut,[11] walaupun kemungkinannya adat Minangkabau baru diterapkan oleh Kerajaan Pagaruyung setelah beradaptasi dengan lingkungan masyarakat terutama di wilayah Luhak Nan Tigo di awal pemerintahannya. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[10]

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatra, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[12] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan Bhumi Jawa dan kemudian dari berita Tiongkok diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[11]

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[12] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Etnis Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

 
Prasasti Adityawarman

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatra bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,[13] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatra bagian tengah dan sekitarnya.[7] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Tiongkok yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.[14]

Beberapa kawasan pedalaman Sumatra tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[12] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[15]

Pengaruh Islam

 
Istano Basa Pagaruyung tempat raja bertakhta

Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[16]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.[17]

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[18]

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quddūs (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat daripada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat daripada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatra."

— Pendapat dari William Marsden.[butuh rujukan]

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[19] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatra. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.[20] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[21] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674[22] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[23]

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[2] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatra, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[24]

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[25] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu,[26] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[27] Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[27] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[28] Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, tetapi mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[29]

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Prancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Prancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[30] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatra dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung."

— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles.[butuh rujukan]

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Sedangkan daerah pesisir timur sudah lebih dulu dibawah pengaruh Kesultanan Melaka dan di masa mendatang pada daerah yang lain saat terjadinya perebutan kekuasaan atas sebagian besar wilayah Kerajaan Pagaruyung oleh Kaum Padri pun di antaranya menjadi wilayah yang merdeka, seperti Kampar Kiri, Singingi dan Kuantan.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[31][32]

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[2] Pada tanggal 10 Februari 1821[4] Sultan Tunggul Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[22] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tunggul Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[2] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[18] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, tetapi pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[22]

 
Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tunggul Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, tetapi pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[22] Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tunggul Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[2]

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[33] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tunggul Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[34]

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise Kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris Kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[35] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[2] Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tunggul Alam Bagagar, tetapi permintaan ini ditolak oleh Belanda,[36] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[22]

Wilayah kekuasaan

Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[16] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatra tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai Timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur Barus, Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak (Gasib), Kampar Pekan Tua dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[37]

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:[38]

Dari Sikilang Aia Bangih
Hinggo Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hinggo Aia Babaliak Mudiak

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Aia Babaliak Mudiak adalah wilayah di hilir sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Pengaruh

Pengaruh Kerajaan Pagaruyung melingkupi hampir seluruh Pulau Sumatra seperti yang ditulis William Marsden dalam bukunya The history of Sumatra (1784).[27] Beberapa kerajaan lainnya di luar Sumatra juga mengakui kedaulatan Pagaruyung, walaupun bukan dalam hubungan pemberian upeti. Ada sebanyak 62 hingga 75 kerajaan kecil di Nusantara yang menginduk pada Pagaruyung, yang tersebar di Filipina, Brunei, Thailand, dan Malaysia, serta di Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat di Indonesia. Hubungan tersebut dibedakan berdasarkan gradasi hubungan, yakni sapiah balahan (garis keturunan perempuan), kuduang karatan (garis keturunan laki-laki), kapak radai, serta timbang pacahan yang merupakan keturunan kerajaan.[39]

Sistem pemerintahan

Raja

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit[17] masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibu kota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[40]

Pagaruyung memiliki sistem raja triumvirat yang disebut rajo tigo selo ("tiga orang raja yang bersila"), yang terdiri atas:[41]

  1. Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung;
  2. Raja Adat yang berkedudukan di Buo;
  3. Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus.

Menteri

Raja-raja Pagaruyung memiliki empat orang pembesar utama yang disebut Basa Ampek Balai, yaitu:

  1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab;
  2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik;
  3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso;
  4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting menggeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.[butuh rujukan]

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.[butuh rujukan]

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang[butuh rujukan]

Pemerintahan Darek dan Rantau

Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[16] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatra seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[17]

Darek

Luhak nan Tigo
Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah
Tampuak Tangkai Pariangan Salapan Koto dan Tujuah Langgam Di Hilia Ampek-Ampek Angkek Hulu
Limo Kaum - Duo Baleh Koto dan Sambilan Koto Di Dalam, Tanjuang Nan Tigo Lubuak Nan Tigo, Tabek Sawah Tangah dan Limo Kaum Bunsu Matua - Palembayan Lareh
Sungai Tarok Salapan Batua - Nan Baikua Bakapalo, Bakapak Baradai, Bagombak Bakatitiran Di Ujuang Tunjuak dan Langgam Nan Tujuah Sapuluah Koto Maninjau Luhak
Batipuah - Sapuluah Koto Garagahan Lubuak Basuang Ranah dan Sehilir Kampar Kanan (Ujuang Luhak)
Pagaruyuang, Buo, Sumpu Kudus, Sumaniak, Saruaso dan Padang Gantiang sekitarnya Tigo Koto Batu Kambiang dan Sitalang Sandi
Duo Puluah Koto Bonjo dan Lubuak Sikapiang
Kubuang Tigo Baleh dan sekitarnya
Koto Tujuah dan sekitarnya
Tujuah Koto Sungai Lansek dan Ampek Baleh Koto Aia Amo
Alam Surambi Sungai Pagu

Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau Di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau Di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat, selatan dan timur, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke arah timur. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Di kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah

  • Airhaji
  • Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
  • Kambang
  • Palangai
  • Lakitan
  • Tapan
  • Tarusan
  • Batang Kapeh
  • Ampek Baleh Koto Mukomuko
  • Limo Koto Mukomuko

Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah

  • Jelai (Jolai)
  • Jelebu (Jolobu)
  • Johol (Johol)
  • Klang (Kolang)
  • Naning (Naning)
  • Pasir Besar (Pasie Bosa)
  • Rembau (Ghombau)
  • Segamat (Sogamat)
  • Sungai Ujong (Sungai Ujong)

Keluarga Kerajaan di Masa Perang Padri

Keterlibatan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dalam Perang Padri dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama. Pertama, peran mereka sebelum pecahnya perang, dan kedua, keterlibatan mereka selama perang berlangsung. Pada masa sebelum perang, keterlibatan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, keterlibatan yang terjadi karena dipaksa oleh kelompok Padri; dan kedua, keterlibatan sebagai bentuk reaksi terhadap tekanan yang dilakukan kaum Padri[42]

Keterlibatan dalam makna pertama bermula dari pembunuhan yang dilakukan oleh Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman beserta pengikutnya terhadap beberapa anggota keluarga kerajaan. Sebagai bagian dari gerakan Padri, Tuanku Lintau dan sekutunya menyeret keluarga kerajaan ke dalam arus revolusi sosial dan keagamaan yang mereka galakkan sejak awal abad ke-19. Sebelumnya, keluarga kerajaan memilih untuk bersikap netral, tidak berpihak baik kepada kaum Padri maupun kepada kelompok yang menentang mereka.[42]

Namun, kaum Padri menolak sikap netral tersebut. Dalam pandangan mereka, di tengah revolusi yang mereka usung, hanya ada dua pilihan: mendukung atau menentang ajaran mereka. Mereka yang mendukung akan dianggap sekutu, sementara yang menolak akan dicap sebagai lawan. Dengan berpegang pada ideologi kekerasan yang mereka anut, kelompok yang tidak sejalan dianggap sah untuk diserang bahkan dibunuh. Bukti mengenai kekerasan ini dapat ditemukan dalam tulisan Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Sanghir, yang mencatat bahwa kekerasan dan pembunuhan menjadi bagian dari sejarah dakwah kaum Padri. Karena alasan inilah, sejumlah anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung menjadi korban dalam peristiwa berdarah yang terjadi di Kototangah, yang dipimpin oleh Tuanku Lintau.[42]

Berdasarkan catatan Stuers dan Kielstra, tiga anggota kerajaan yang tewas adalah Yang Dipertuan Radja Nari, Yang Dipertuan Raja Tallan, dan putra Raja Muning. Anggota keluarga kerajaan yang berhasil selamat kemudian melarikan diri ke wilayah rantau, baik ke Rantau Pesisir di barat maupun ke Rantau Hilir di timur Tanah Datar. Stuers mencatat bahwa Raja Muning Syah, pemimpin Minangkabau waktu itu, menyelamatkan diri ke Jambi (Kuantan). Peristiwa Kototangah ini merupakan puncak serangan kaum Padri terhadap keluarga kerajaan, meskipun menurut catatan Raffles, serangan-serangan terhadap mereka sebenarnya telah terjadi berkali-kali sebelumnya.[42]

Ada perbedaan pendapat mengenai waktu pasti peristiwa Kototangah ini. Beberapa penulis menyebut tahun 1806, 1812, dan lainnya. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya tradisi pencatatan di kalangan masyarakat Minangkabau. Namun, jika merujuk pada catatan Raffles yang sempat bertemu dengan anggota keluarga kerajaan yang selamat, termasuk Tuan Gadis, dan yang mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, maka tampaknya sulit menerima klaim bahwa peristiwa itu terjadi pada 1816. Besar kemungkinan, peristiwa tersebut terjadi sebelum tahun itu.[42]

Raffles mencatat bahwa saat ia berkunjung ke Pagaruyung, bekas permukiman dan istana di sana hampir tidak tersisa. Kawasan tersebut telah lama ditinggalkan, bahkan tanah bekas istana kini digunakan oleh petani untuk menanam mentimun dan tebu.Melalui penuturan Raffles ini, dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi lebih dari dua hingga tiga tahun sebelum kunjungannya. Keterangan serupa juga disampaikan oleh pejabat Inggris yang saat itu berkuasa di Padang. Pada 1816, anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung telah berada di kota tersebut dan meminta bantuan Inggris untuk melawan kaum Padri.[42]

Seperti disebut sebelumnya, Raffles sempat bertemu dengan Tuan Gadis di Suruaso. Ia menunjukkan penghormatan kepada Tuan Gadis, yang diakui sebagai pemimpin pengganti Raja Minangkabau, karena raja yang sebenarnya tidak bisa lagi menjalankan tugasnya. Sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan, Raffles membawa Tuan Gadis ke Benteng Simawang di tepi timur Danau Singkarak, yang dibangun oleh Inggris sebagai tanda kekuasaan mereka di pedalaman. Tindakan ini juga bisa dilihat sebagai respons atas permintaan Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, dua anggota kerajaan yang ikut mendampingi perjalanan Raffles dari Padang ke pedalaman.[42]

Dalam ekspedisi ini, Raffles didampingi oleh lima orang Eropa (termasuk istrinya), 50 tentara Benggala, beberapa saudagar penting dari Padang, ratusan kuli angkat, serta dua keluarga kerajaan Suruaso yang telah mengungsi ke Padang, yakni Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam.[42]

Berdasarkan laporan Stuers, Kielstra mencatat bahwa Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam diakui oleh pemerintah Inggris sebagai wakil resmi Kerajaan Minangkabau di Padang. Kedua tokoh ini menerima tunjangan bulanan dari Inggris, yakni f.100 untuk Raja Tangsir Alam dan f.20 untuk Sutan Kerajaan Alam. Hubungan keduanya dengan pihak Inggris sangat erat. Karena itu, saat beredar kabar bahwa Padang akan diserahkan kembali kepada Belanda, mereka memilih pindah ke Bengkulu yang saat itu masih di bawah kekuasaan Inggris.[42]

Namun, ketika Belanda resmi mengambil alih kekuasaan Inggris di Sumatra Barat, kedua tokoh kerajaan itu kembali lagi ke Padang. Mereka tidak hanya menyampaikan ucapan selamat atas kembalinya kekuasaan Belanda, tetapi juga menyatakan kesetiaan mereka dan memohon bantuan Belanda untuk memerangi kaum Padri.[42]

Sikap oportunis seperti ini telah lama dicatat oleh pihak Inggris. Marsden, misalnya, menulis bahwa pada tahun 1781, ketika Inggris baru saja merebut Pantai Barat dari Belanda, utusan dari Kerajaan Minangkabau datang ke Padang untuk menyampaikan selamat. Namun, seorang pejabat Inggris menyindir bahwa ucapan serupa pasti akan diberikan kepada siapa pun yang berkuasa berikutnya (Upon the capture of Padang by the English in 1871, deputations arrived from two of these chiefs with congratulations upon the success of our arms; which will be repeated with equal sincerity to those who may chance to succeed us).[42]

Setelah berkoordinasi dengan Batavia, pemerintahan Keresidenan Padang menerima loyalitas Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam. Du Puy, Residen Padang saat itu, berencana memanfaatkan keduanya demi kepentingan Belanda di kawasan ini. Meski demikian, karena keduanya sebelumnya pernah berpihak kepada Inggris—musuh Belanda—tunjangan yang diberikan kepada mereka dipotong setengah dari yang diterima sebelumnya, yakni f.50 untuk Raja Tangsir Alam dan f.10 untuk Sutan Kerajaan Alam per bulan.[42]

Menanggapi permintaan bantuan dari pihak keluarga kerajaan, pemerintah Belanda di Padang membentuk tim untuk menyelidiki keinginan masyarakat pedalaman terkait keterlibatan Belanda dalam perang melawan Padri. Tim ini dipimpin langsung oleh Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, didampingi oleh 12 anggota lain. Menurut Stuers, mereka adalah tentara bumiputra (mungkin dari kalangan Bugis), sementara Lange menyebutkan mereka hanyalah warga biasa.[42]

Dari laporan yang disampaikan kedua pemimpin tersebut, masyarakat pedalaman memang menghendaki campur tangan Belanda untuk melawan kaum Padri.[42]

Langkah keluarga kerajaan yang meminta bantuan Inggris dan Belanda ini sebenarnya adalah reaksi terhadap kekerasan yang dilakukan kaum Padri, termasuk pembunuhan terhadap kerabat mereka. Permintaan bantuan itu tidak sekadar untuk membalas dendam, tetapi juga untuk memulihkan kekuasaan kerajaan yang sempat terguncang dan mengembalikan posisi raja seperti semula.[42]

Puncak dari langkah-langkah politik keluarga kerajaan sebelum pecahnya perang besar adalah Perjanjian 10 Februari 1821. Perjanjian ini menjadi pintu masuk resmi bagi Belanda untuk mencampuri urusan Minangkabau dan terlibat langsung dalam perang melawan kaum Padri. Dokumen tersebut juga menjadi bentuk pengakuan dan takluknya keluarga Kerajaan Pagaruyung, keluarga Suruaso, serta sejumlah penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada Belanda.[42]

Peran keluarga kerajaan dalam perjanjian ini sangat kentara. Tiga nama pertama yang menandatangani dokumen itu berasal dari keluarga kerajaan: Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar dari Pagaruyung, Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suruaso, dan Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruaso. Selain mereka, perjanjian itu juga ditandatangani oleh 12 penghulu yang mewakili lebih dari seratus penghulu di wilayah Tanah Datar dan sekitarnya.[42]

Perjanjian tersebut terdiri dari enam pasal dan lima pasal pertamanya berisikan:[43]

  • Pasal 1, Kepala-kepala (anggota keluarga kerajaan dan para penghulu) tersebut di atas dengan ini menyerahkan  secara resmi dan mutlak, negeri  Pagaru­yung, Sungai Tarab dan Suruaso, begitu juga daerah-dae­rah di sekeliling Kerajaan Mi­nang­­ka­bau kepa­da pemerin­tah Hindia Belanda[43]
  • Pasar 2, Kepala-kepala tersebut berjanji dengan sung­guh-sungguh – atas nama mereka dan rakyat maupun ketu­run­­an mereka – untuk patuh dan taat kepada pemerin­tah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menen­tang perintah apa pun dari Belanda.[43]
  • Pasal 3, Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah dise­rah­­kan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari Kaum Paderi, untuk menghancurkan Kaum Paderi dan men­­ciptakan perdamaian di Minang­kabau, peme­rintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.[43]
  • Pasal 4, Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli da­lam jum­lah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara de­ngan sebaik-baiknya.[43]
  • Pasal 5, Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu de­ngan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pa­sal dalam per­janjian.[43]
  • Pasal keenam berisikan pernyataan tentang perjanjian, tentang perjanjian yang dibuat dengan sumpah yang khidmat, menjunjung Al-Qur’an, disaksikan oleh sejumlah petinggi di Padang. Di samping itu ada keterangan waktu pembuatan perjanjian, serta dibuatnya perjanjian dalam tiga rangkap (1 rangkap dikirim kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia, satu rangkap dipegang Residen di Padang, dan satu rangkap dikirim pada Tuan Gadis di Suruaso).[43]

Perjanjian 10 Februari 1821 inilah yang menjadi dasar keterlibatan Belanda dalam perang melawan kaum Padri awalnya dan kemudian perang menghadapi orang Sumatra Barat untuk menguasai daerah ini. Di sisi lain, perjanjian ini adalah titik puncak dari respon keluarga kerajaan terhadap aksi kaum Padri yang membunuh kerabat mereka, membuat mereka terpencar ke mana-mana, dan menghabisi Kerajaan Minangkabau. Perang Padri yang terjadi segera setelah Perjanjian 10 Februari 1821 menghadirkan pengalaman sejarah yang tersendiri pula bagi keluarga kerajaan.[43]

Lima keluarga kerajaan dari Pagaruyung dan Suruaso berperan penting dalam sejarah Perang Padri. Di antara mereka, Raja Tangsir Alam, Sutan Kerajaan Alam, Raja Muning, Tuan Gadis, dan Sutan Alam Bagagar Syah mencatatkan kisah yang berbeda-beda dalam perjalanan sejarah itu.[42]

Raja Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam, yang tinggal di Padang dan sejak awal mendukung Belanda, turut dilibatkan langsung dalam operasi militer Belanda di pedalaman. Mereka dipercaya memiliki pengaruh besar di kalangan adat, yang dianggap dapat mempermudah mobilisasi dukungan melawan kaum Padri. Meski telah menandatangani perjanjian pada 10 Februari 1821 dan ikut dalam serangan militer, keduanya kemudian ditangkap oleh Raaff pada April 1822. Mereka dituduh membunuh seorang penghulu di Belimbing karena warga setempat menolak menunjukkan penghormatan kepada mereka. Raaff, yang mengedepankan pendekatan diplomatis, menilai tindakan itu mengancam upaya damai yang tengah dijalankan.[42]

Sementara itu, Raja Muning Syah, penguasa Pagaruyung yang mengungsi ke Kuantan, pada September 1822 meminta izin kepada Raaff untuk pulang dan kembali memimpin Pagaruyung. Raaff, yang belum mengenal dalam latar belakang Raja Muning, membentuk komisi untuk memastikan kebenaran klaimnya. Hasil penyelidikan mengonfirmasi bahwa Raja Muning adalah penguasa sah terakhir Minangkabau, sehingga ia diizinkan pulang, namun permintaannya menjadi raja lagi ditolak karena faktor usia. Ia pun diberi pensiun, dan wafat pada 1 Agustus 1825. Sebagai gantinya, Belanda menunjuk Sutan Alam Bagagar Syah sebagai Raja Minangkabau sekaligus pejabat tinggi dengan gaji bulanan.[42]

Raaff menilai penunjukan Bagagar Syah sebagai bentuk penghargaan atas jasanya mendukung ekspansi Belanda. Sebaliknya, Raja Muning dianggap tak berjasa bagi kepentingan Belanda sehingga tak diberi posisi itu. Ketika Raaff digantikan oleh Stuers pada 1825, suasana berubah lebih damai karena banyak tentara ditarik untuk menghadapi Perang Diponegoro di Jawa. Stuers menerapkan kebijakan baru, membebaskan para bangsawan yang sebelumnya ditahan Raaff, memberi mereka tunjangan, namun membatasi aktivitas politik mereka. Sutan Kerajaan Alam masih diizinkan berpolitik, sementara Raja Tangsir Alam dilarang.[42]

Bagagar Syah pun terkena dampak kebijakan baru. Stuers mencabut gelarnya sebagai Hoofdregent Minangkabau dan menurunkan statusnya hanya sebagai regent biasa, sejajar dengan pejabat-pejabat lain. Stuers menilai jabatan Hoofdregent tidak efektif karena wilayah yang menjadi kekuasaannya tidak pernah benar-benar terwujud. Selain itu, pengakuan atas Kerajaan Minangkabau juga dihapuskan secara resmi.[42]

Menariknya, Bagagar Syah menerima semua perubahan itu tanpa perlawanan. Ia tampaknya tidak menganggap gelar maupun keberadaan kerajaan sebagai sesuatu yang penting secara pribadi. Bahkan secara ekonomi, kehidupannya tergolong sederhana. Walau secara formal bergaji tinggi, laporan menunjukkan ia hanya berpenghasilan sedikit, hidup tanpa kemewahan, dan penampilannya sehari-hari hampir tak berbeda dengan rakyat biasa. Istana yang ditempatinya pun digambarkan sangat sederhana, menyerupai gudang kayu.[42]

Di tengah kehidupan yang biasa-biasa saja itu, Bagagar Syah justru bereaksi keras jika merasa posisinya sebagai pejabat terancam. Ia disebut terlibat dalam pembunuhan Said Salimul Jafrid, seorang tokoh Arab yang dekat dengan kaum Padri dan dianggap bisa menggantikan posisinya sebagai Regent Tanah Datar.[42]

Pada masa Residen Elout, Bagagar Syah dituduh berkhianat kepada Belanda. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Namun, tuduhan itu kemudian dinyatakan tidak terbukti, sehingga namanya dipulihkan, dan ia mendapat tunjangan hidup sampai akhir hayatnya di pengasingan.[42]

Tidak hanya Raaf, Stuers dan Elout yang memperlihatkan sikap kritis atau tidak suka kepada keluarga Kerajaan Pagaruyung, kaum adat dan Padri juga memiliki sikap yang sama. Sebagaimana disebut Kielstra, segera setelah Raaff menyetujui pengangkatan Bagagar Syah sebagai Hoofdregent dan Regent, kaum adat menyatakan ketidaksukaan mereka. Mereka merasa bahwa gelar Regent seharusnya diberikan kepada penghulu (bukan kepada keluarga kerajaan yang telah diangkat menjadi Raja Minangkabau). Pengangkatan Bagagar Syah sebagai Regent dianggap kaum penghulu sebagai pelanggaran terhadap hak mereka. Karena itu, akibat pengangkatan tesrebut, ada sejumlah penghulu di Tanah Datar tidak mendukung Belanda ‘sepenuh hati’.[43]

Regen Batipuh, yang pernah menjadi ‘tangan kanan’ Belanda dalam menumpas kaum Padri, juga memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Bagagar Syah. Bahkan pasukan Regen Batipuh ini menumpas habis hulubalang-hulubalang Regen Tanah Datar (Bagagar Syah) ketika mereka melawan pemerintah beberapa waktu setelah Babagar Syah ditawan dan dibuang Batavia. Ketidaksukaan Regen Batipuh disebabkan bahwa dia sesungguhnya menginginkan jabatan Raja Minangkabau.[43]

Sikap tidak suka terhadap keluarga kerajaan juga berasal dari kaum Padri. Tidak hanya karena peran mereka dalam ‘mengundang’ Belanda untuk memerangi kaum Padri, tetapi juga disebabkan oleh tidak diserahkannya jabatan Regen Tanah Datar kepada Said Salimul Jafrid, calon unggulan mereka, oleh Belanda. Setelah reorganisasi tahun 1825, jabatan Regent Tanah Datar tetap dipegang Bagagar Syah. Hal ini mengecewakan kaum Padri dan kekecewaan itu dilampiaskan kepada Bagagar Syah. Apalagi dikemudian hari mereka mendengar kabar bahwa Bagagar Syah terlibat dalam pembunuh Said Salimul Jafri.[43]

Persiteruan antara Bagagar Syah khususnya dan keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) dengan Belanda, kaum adat (penghulu) dan kaum Padri adalah bagian dari dinamika Perang Padri. Persiteruan itu adalah sebuah pembuktian bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Hampir semua anggota keluarga kerajaan yang mendukung Belanda dan kaum adat pernah dizalimi serta dikhianati oleh Belanda dan juga dimusuhi oleh kaum adat/kaum Padri. Bagagar Syah yang mendukung Belanda memerangi Padri akhirnya dihukum dan dibuang oleh Belanda bersama dengan tokoh Padri (Tuanku Imam Bonjol) yang diperanginya. Perang Padri merefleksikan pepatah lama, habis manis sepah dibuang. Perang Padri adalah sebuah pembuktian bahwa bekerjasama dengan kolonialis tidak akan pernah berbuah manis.[43]

Catatan kaki

  1. ^ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
  2. ^ a b c d e f Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
  3. ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
  4. ^ a b Stuers, H.J.J.L. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen. ;
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1.
  6. ^ Mhd. Nur, et al. (2016) "Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah Dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke 19" Agam : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
  7. ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun Melayu. 3: 918–943.
  8. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  9. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
  10. ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
  11. ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
  12. ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3.
  13. ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8.
  14. ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K.
  15. ^ Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
  16. ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  17. ^ a b c Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  18. ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
  19. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
  20. ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
  21. ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
  22. ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
  23. ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
  24. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  25. ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
  26. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Vol. Volume I. J. Duncan. ;
  27. ^ a b c Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government, laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island.
  28. ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
  29. ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
  30. ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter XII". Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. Vol. Volume I. J. Duncan. ;
  31. ^ Francis, E. (1859). Herinneringen uit den Levensloop van een Indisch Ambtenaar van 1815 tot 1851: Medegedeeld in briefen door E. Francis. van Dorp.
  32. ^ Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
  33. ^ Teitler, G., (2004), Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie, Amsterdam: De Bataafsche Leeuw.
  34. ^ Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
  35. ^ Anon, (1893), Mededelingen...Kwantan. TBG 36: 325–42.
  36. ^ Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Tanda baca tambahan (link)
  37. ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
  38. ^ Djamaris, Edwar, (1991), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  39. ^ "Pagaruyung, Simbol Perekat Nusantara" Kompas.com, 22 Juni 2013. Diakses 23 Juni 2015.
  40. ^ Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-8451-62-7.
  41. ^ Mochtar Naim (2002). Menelusuri jejak Melayu-Minangkabau. Yayasan Citra Budaya Indonesia. hlm. 6. ISBN 978-979-95830-8-6. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  42. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Asnan, Gusti (2023). 200 tahun Perang Padri: historiografi dan re-rekonstruksi lanskap baru sejarah Minangkabau. Tanda Baca. ISBN 978-623-5869-17-9.
  43. ^ a b c d e f g h i j k l "Keluarga Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) Pada Masa Perang Padri -". web.archive.org. 2024-12-11. Diakses tanggal 2025-05-10.

Bacaan lanjut

  • Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
  • Hamka, Prof. Dr. (12-02-1975). Pidato Prof. Dr. Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta.
  • Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen.

Lihat pula

Pranala luar