Ekspedisi Pamalayu

Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer[1] yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 12751286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra.

Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.

Latar belakang sunting

Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, ia berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai tahun 1275 dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukan bhumi malayu.

Nagarakretagama[2] mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.

Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatra sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara di bawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan dari Mongol.

Sasaran ekspedisi sunting

 
Sebagian dari atlas Katala yang menggambarkan kepulauan Indonesia. Di sebelah kiri ada inchi bertiang lima (kesalahan penyalinan jũchi, atau jung, dari jong Jawa). Di tengah adalah illa iana (kesalahan pencatatan illa iaua, pulau Jawa), yang diperintah oleh seorang ratu (mungkin Tribhuwana, memerintah dari tahun 1328 hingga 1350). Di sebelah kanan adalah pulau-pulau Indonesia lainnya.

Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.

Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, tetapi dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatra, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.

Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, di mana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya.

Dharmasraya penganti Sriwijaya sunting

Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang melawan Malayu”[butuh rujukan] atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak melepaskan Malayu".[Catatan 1] Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut pada Prasasti Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian munculnya Dharmasraya mengantikan peran Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan pasukan Rajendra Chola dari Koromandel, India sekitar tahun 1025, di mana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.

Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Grahi tahun 1183.[3]

Pengiriman Arca Amoghapasa sunting

 
Arca Amoghapasa,
Koleksi Musium Nasional di Jakarta

Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya.[4] Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi atasan Dharmasraya.

Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatra dengan diiringgi beberapa pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.

Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.

Kembali ke Jawa sunting

Pararaton[5] menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294.[6]

Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.

Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293.

Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Di mana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.

Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman,[7] yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.

Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.

Sisa pasukan Pamalayu sunting

Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak dicatat di sumber manapun kecuali dari cerita Batak Simalungun tentang Jaka Dolog (Kertanegara) dari Singasari.[α] Diperkirakan tokoh Indrawarman merupakan salah satu bangsawan yang dikirim untuk mengantar arca Amoghapasa. Ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Indrawarman dipercayakan untuk menjaga daerah ekspedisi Pamalayu di muara Sungai Asahan. Namun pada tahun 1293, ia menolak kekuasaan Majapahit yang didirikan Raden Wijaya sebagai kelanjutan dari Singhasari.[β] Sehingga Indrawarman kabur dan mendirikan Kerajaan Silo di pedalaman Simalungun.[γ] Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kerajaan Aru pada tahun 1301, yang kemudian dikendalikan oleh bangsawan Aru dengan gelar Perkasa Alam.[δ]

Pendirian Kerajaan Silo oleh Indrawarman dan pasukan asal Jawa ini kemungkinan dibantu oleh marga Siregar/Silo yang datang dari Lottung (Lontung), Samosir Timur, mereka bekerjasama untuk melawan desakan marga Sinaga yang juga datang dari Samosir Timur. Pelabuhan kerajaan ini terletak di muara Sungai Bah Belon bernama Indrapura. Kemudian pasukan Jawa tersebut juga mengadopsi marga lokal dan membentuk marga baru.[ε] Indrawarman mengadopsi marga Siregar/Silo walau sembilan putranya mengadopsi marga lainnya di Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini. Indrawarman terbunuh dan beberapa pusat kerajaan dihancurkan, walau putra-putra raja Indrawarman berhasil lolos ke Haranggaol, pesisir Danau Toba. Tentara Majapahit kemudian menyerang kerajaan Batak Karo di muara Sungai Wampu, walau kemudian dipukul mundur oleh Kesultanan Samudera Pasai. Keturunan Indrawarman kemudian mendirikan Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean di hulu Sungai Ular dan Sungai Padang, sedangkan marga Sinaga memasuki daerah lama Kerajaan Silo dan mendirikan Kerajaan Tanah Jawa, yang melanjutkan permusuhan marga Sinaga dan Siregar sebagai pewaris Indrawarman.[ζ] Majapahit sendiri kemudian melakukan ekspedisi ketiga dan mendarat di muara Sungai Padang walau berhasil dikalahkan pasukan Samudra Pasai, Dolok Silo dan Raya Kahean.[η]

Catatan sunting

  1. ^ Dalam Kidung Panji Wijayakrama disebutkan bahwa nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang yang mempunyai arti ialah “kerbau yang menyeberang”
  1. ^ Muljana 2005, hlm. 12
  2. ^ Muljana 2005, hlm. 13
  3. ^ Muljana 2005, hlm. 14
  4. ^ Muljana 2005, hlm. 15
  5. ^ Muljana 2005, hlm. 18
  6. ^ Muljana 2005, hlm. 19
  7. ^ Muljana 2005, hlm. 20

Daftar Pustaka sunting

Referensi sunting

  1. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157. 
  2. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-25-5254-5.
  3. ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 979-8451-62-7.
  4. ^ Andaya, Leonard Y. (2001). "The Search for the 'Origins' of Melayu". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 315–330. doi:10.1017/S0022463401000169. 
  5. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton, Jilid 2, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  6. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa. LKiS Yogyakarta. ISBN 978-979-8451-16-4. Diakses tanggal 2022-01-21. 
  7. ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.