Adityawarman
Adityawarman adalah seorang raja dan penerus dari Dinasti Mauli pada masa Kerajaan Malayu. Ia memindahkan ibukota kerajaan Melayu dari Dharmasraya ke Pagaruyung, dan dari manuskrip pengukuhannya, ia menjadi penguasa di Malayapura Suvarnabhumi atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa[1] dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau.
Adityawarman | |||||
---|---|---|---|---|---|
Maharaja diraja | |||||
Berkuasa | 1347–1375 M | ||||
Pendahulu | Akarendrawarman | ||||
Penerus | Ananggawarman | ||||
| |||||
Dinasti | Mauli | ||||
Ayah | Adwayawarman | ||||
Ibu | Dara Jingga |
Asal usul
suntingBerdasarkan Prasasti Kuburajo,[2] Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman. Akan tetapi, dalam Prasasti Bukit Gombak disebutkan bahwa Adityawarman adalah putra dari Adwayadwaja.[3] Nama ini mirip dengan nama salah seorang pejabat penting Kerajaan Singhasari (Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma) yang pada tahun 1286 mengantar Arca Amoghapasa untuk dipahatkan di Dharmasraya sebagai hadiah dari Raja Singhasari Kertanagara kepada Raja Malayu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Adityawarman dalam Pararaton[4] dan Kidung Panji Wijayakrama disebut dengan nama Tuhan Janaka yang bergelar Mantrolot Warmadewa. Ibunya bernama Dara Jingga putri Kerajaan Malayu di Dharmasraya. Dara Jingga bersama adiknya Dara Petak ikut bersama tim Ekspedisi Pamalayu yang kembali ke Jawa pada tahun 1293. Ahli waris Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai permaisuri dan bahwa Dara Jingga sira alaki dewa, yaitu bersuamikan kepada seorang “dewa” (bangsawan).
Pendapat lain mengatakan bahwa Adityawarman juga merupakan anak dari Raden Wijaya, yang berarti Raden Wijaya bukan hanya memperistri Dara Petak melainkan juga Dara Jingga. Penafsiran ini mungkin karena dalam Nagarakretagama disebutkan Raden Wijaya telah memperistri keempat putri Kertanagara.[5]
Muhammad Yamin berpendapat bahwa Adityawarman lahir di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat sekarang). Ketika muda ia berangkat pergi ke Majapahit, karena ayah atau ibunya mempunyai perhubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit pertama, Kertarajasa Jayawardana. Adityawarman dianggap saudara dari Raja Jayanegara yang tidak memiliki putra. Oleh karena itu, menurut adat Adityawarmanlah yang paling dekat untuk pengganti mahkota.[6]
Peran di Majapahit
suntingAdityawarman dilahirkan dan dibesarkan di Majapahit[7][8] Hal itu diketahui dari Prasasti Blitar yang memuat nama Mpu Aditya.pada masa pemerintahan Raden Wijaya (1294–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu raja Malayu dari Kerajaan Dharmasraya. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardana.[9]
Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Tiongkok selama dua kali yaitu pada tahun 1325 dan 1332. Dalam kronik Dinasti Yuan ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan.[8] Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol, setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya.
Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagai Wreddhamantri, atau Perdana menteri. Hal ini tersebut pada Prasasti Manjusri tahun 1343 yang menyatakan bahwa, Adityawarman selaku wreddhamantri menempatkan arca Mañjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha (Candi Jago) di bhumi jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.[10][11][12] Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Dari Piagam Bendasari terdapat istilah tanda rakryan makabehan yang menyatakan urutan jabatan di Majapahit setelah raja, di mana disebutkan secara berurutan dimulai dengan jabatan wreddamantri sang aryya dewaraja empu Aditya, sang aryya dhiraraja empu Narayana, rake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada, dan seterusnya.[13] Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu.[butuh rujukan]
Kontroversi mengenai Adityawarman
suntingIdentifikasi dengan Arya Damar
suntingArya Damar adalah tokoh dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan, yaitu sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Di dalam Babad Arya Tabanan diceritakan bahwa Arya Damar adalah keturunan bangsawan (wangsa ksatria, bahasa Bali: arya) yang berasal dari Kediri.[14] Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[9]
Identifikasi dengan Akarendrawarman
suntingBerdasarkan analisis sumber primer seperti Desawarnana, Pararaton, dan prasasti-prasasti di Jawa Timur maupun di Sumatera Barat, Profesor Uli Kozok[15][16] meragukan kalau Adityawarman putra langsung Dara Jingga. Dalam Desawarnana dikatakan bahwa Dara Jingga melahirkan anak yang di kemudian hari menjadi raja di Malayu. Dara Jingga tiba di Jawa pada tahun 1292, dan prasasti Adityawarman pertama tertanggal 1347. Menurut Kozok putra Dara Jingga bukan Adityawarman melainkan pendahulunya, barangkali Akarendrawarman.
Hubungan dengan Kerajaan Pagaruyung
suntingDari beberapa prasasti peninggalan Adityawarman, memang belum ada ditemukan kata-kata Pagaruyung, begitu juga tambo yang ada pada masyarakat juga tidak secara jelas menyebutkan nama dari raja mereka, dalam hal ini nama Adityawarman itu sendiri. Namun yang pasti Adityawarman memang menjadi raja di wilayah Pagaruyung, dari salah satu prasastinya menyebutkan bahwa ia sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang berbatasan dengan nagari Pagaruyung sekarang.
Berita dari Tiongkok
suntingCatatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebut di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja.[8] Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok. Nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih merujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.[17] Berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan berasal dari zaman Adityawarman. Naskah tersebut menyebutkan tentang adanya Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman bergelar Maharajadiraja dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.[18] Melihat gelar yang disandang oleh Adityawarman, terlihat ia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Dinasti Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang oleh salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini dilakukannya untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa yang ada di bhumi malayu, sesuai dengan manuskrip pengukuhannya sebagai Maharajadiraja, bahwa Adityawarman menyebutkan dirinya sebagai pelindung persatuan dan menentang perpecahan dalam kerajaannya.
Pindah ke Bhumi Malayu
suntingPada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra dan selanjutnya, Adityawarman pun menjalankan beberapa misi penaklukkan.[8] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, belum ada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.[17]
Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman mendirikan kerajaan baru bernama Malayapura sebagai kelanjutan kerajaan Malayu sebelumnya, sebagaimana seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa.[1] Dari prasasti Kuburajo di Limo Kaum yang menggunakan aksara Dewanagari juga menyebutkan bahwa Adityawarman menjadi raja di Kanakamedini (Swarnnadwipa).
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Malayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi,[19] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut.[18] Selain itu juga terlihat kepedulian Adityawarman untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung kepada hasil hutan dan tambang saja.
Ada pendapat yang mengatakan kenapa Adityawarman tidak bertahta di Dharmasraya karena dia tidak memiliki hak atas kerajaan Dharmasraya tidak dapat dibuktikan, karena dari sisi ibunya Dara Jingga adalah salah seorang putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Malayu sebagaimana yang disebut pada Pararaton, dan lagi pula dari manuskrip pada bagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman jelas menyatakan dirinya sebagai raja dari bangsa Mauli serta memulihkan keadaan sebelumnya,[1] Arca Amoghapasa ini sebelumnya merupakan hadiah dari Kertanagara dan ditempatkan di Dharmasraya, sebagaimana tersebut dalam prasasti Padang Roco.[20]
Kemungkinan yang menyebabkan Adityawarman untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan Majapahit, yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah di bawah Mahapatih Gajah Mada, karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan tersebut.[21]
Walaupun memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan Tiongkok yang menyebutkan, Adityawarman pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali. Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di Suruaso juga terdapat prasasti yang beraksara Nagari (Tamil), jadi pengaruh India selatan pun telah sampai ke ranah Minang.
Setelah Adityawarman meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama Ananggawarman, sebagaimana tersebut dalam Prasasti Batusangkar yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Adiytawarman dan putranya Ananggawarman melakukan upacara hewajra, dalam ritual tersebut Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ksetrajna.
Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit waktu itu membiarkan saja pemberontakan tersebut, tetapi begitu Wikramawardhana naik tahta sebagai penganti Hayam Wuruk, mulai mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut pada tahun 1409[8] dan 1411, pertempuran kedua pasukan terjadi di Padang Sibusuk, (hulu sungai Batang Hari), di mana kedua-dua serangan pasukan kerajayaan Majapahit dapat dipukul mundur. Namun akibat dari serangan tersebut, pengaruh kerajaan ini terhadap daerah jajahannya melemah, di mana daerah-daerah jajahan seperti Siak, Kampar dan Indragiri melepaskan diri dan kemudian daerah-daerah ini ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh,[22] dan kemudian hari menjadi negara-negara merdeka.
Pemerintahan Malayapura
suntingSetelah memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman Minang, Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit[23] pada masa itu dan menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan Dharmasraya dan Sriwijaya yang pernah ada pada masyarakat setempat. Di mana ibu kota diperintah secara langsung oleh Raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[24]
Perbandingan sistem pemerintahan di Majapahit dengan sistem pemerintahan Adityawarman:[butuh rujukan]
Sistem Pemerintahan Majapahit | Sistem Pemerintahan Malayapura |
---|---|
Mahamantri Katrini (Tiga Mahamentri)
|
Rajo Tigo Selo (Tiga Raja Bersama)
|
Catur Rakryan (Empat Penguasa)
|
Basa Ampek Balai (Empat Menteri Utama)
|
Dua Dharmadhyaksa Tujuh Upapati
Tujuh Upapati:
|
Rajo Duo Selo Langgam nan Tujuah
Langgam nan Tujuah
|
Panca ri Wilatikta (Lima orang kepercayaan)
|
Basa Ampek Balai + Tuan Kadhi (?) |
Mancanagara | Rantau |
Agama
suntingAdityawarman diperkirakan penganut yang taat dari Vajrayana yang merupakan suatu aliran agama Buddha dan juga mengikuti Ajaran Siwa-Buddha, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Singhasari dan Majapahit. Adityawarman juga memperlambangkan dirinya dalam arca Amoghapasa. Dari prasasti Bukit Gombak disebutkan bahwa ia juga telah membangun sebuah vihara di Swarnabhumi.
Selama masa pemerintahannya di pedalaman Minangkabau, Adityawarman banyak meninggalkan prasasti-prasasti namun belum semuanya dapat diterjemahkan, selain itu beberapa pengaruh Adityawarman yang sampai sekarang masih dapat ditelusuri di antaranya penamaan biaro (bahasa Minang, artinya biara atau vihara) sampai sekarang masih menjadi nama sebuah nagari yaitu Biaro Gadang di kabupaten Agam dan selain itu nama Parhyangan (semacam tempat pemujaan), yang kemudian berubah tutur menjadi nama nagari Pariangan di kabupaten Tanah Datar.
Penghormatan
suntingSebagai salah seorang tokoh utama dalam sejarah Malayu, nama Adityawarman sangat dikenal bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Salah satu bentuk penghormatan untuknya ialah dengan mengabadikan namanya pada sebuah museum yang bernama Museum Adityawarman di Kota Padang, Sumatera Barat.[25] Selain itu, di beberapa daerah namanya juga diabadikan sebagai nama jalan.
Silsilah Adityawarman
suntingDi bawah ini adalah silsilah Adityawarman.
Tribhuwanaraja Maharaja Dharmasraya | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Raden Wijaya Pendiri Majapahit | Dara Petak | Akarendrawarman | Dara Jingga | Adwayawarman | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jayanagara Raja ke-2 Majapahit | Adityawarman Maharajadiraja Malayapura | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ananggawarman Raja ke-2 Malayapura | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Wijayawarman Raja ke-3 Malayapura | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Puti Panjang Rambut II Raja ke-4 Malayapura | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Referensi
sunting- ^ a b c Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
- ^ Kern, J.H.C., (1913), Grafsteenopschrift van Koeboer Radja, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlands-Indië, p. 401–404.
- ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Permasalahannya, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
- ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta, Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
- ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5.
- ^ Yamin, Muhammad. Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara. Djakarta: Balai Pustaka. hlm. 39.
- ^ Hardjowardojo, R. Pitono, (1966), Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Djakarta: Bhratara.
- ^ a b c d e Slamet Muljana, (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3
- ^ a b Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
- ^ Brandes, J.L.A., (1904), Beschrijving van de ruïne bij de desa Toempang, genaamd Tjandi Djago in de Residentie Pasoeroean. 's-Gravenhage-Batavia, Nijhoff/Albrecht.
- ^ Bosch, F.D.K., (1921), De inscriptie op het Mansjuri-beeld van 1265 Caka, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde. 77: 194-201.
- ^ Kozok, Uli, Reijn, Eric van, Adityawarman: three incriptions of the Sumatran king of all supreme kings, Indonesia and the Malay World, Vol. 38, Issue 110 March 2010, pp 135 - 158, ISSN: 1469-8382 (electronic) 1363-9811 (paper), doi: 10.1080/13639811003665488 (Jurnal berbayar)
- ^ Al-Fayyadl, Muhammad, & Muljana, Slamet, (2005), Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-35-X.
- ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
- ^ http://www.mediaindonesia.com Diarsipkan 2008-07-11 di Wayback Machine. Asal Usul Raja Adityawarman Diarsipkan 2013-01-20 di Wayback Machine. (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ us.detiknews.com Sejarah Adityawarman Diarsipkan 2010-04-16 di Wayback Machine. (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ a b Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
- ^ a b Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
- ^ Casparis, J.G., (1990), An ancient garden in West Sumatra, Kalpataru, 40-49.
- ^ Muljana, Slamet, (1981), Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu.
- ^ Miksic, John., (1985), Traditional Sumatran Trade, Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.
- ^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail, (1998), Sejarah Melayu, the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
- ^ A Dt. Batuah & A Dt. Madjoindo, (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-62-7.
- ^ wisatamelayu.com Museum Adityawarman Diarsipkan 2011-08-05 di Wayback Machine. (diakses pada 11 Juli 2010)
Didahului oleh: Akarendrawarman |
Raja Malayapura 1339–1375 |
Diteruskan oleh: Ananggawarman |