Perang Padri
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837[1] di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat. Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan membantu kaum Adat mengalahkan faksi Padri dengan beberapa syarat.[2]
Perang Padri | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
![]() ![]() ![]() ![]() Pertempuran antara Padri dan Belanda, 1830-an | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Perang 1803–1821:![]() Perang 1821–1833: ![]() ![]() Perang 1833–1838: ![]() |
Perang 1803–1821:![]() Perang 1821–1833: ![]() Perang 1833–1838: ![]() ![]() | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
Latar Belakang
suntingPerang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan Belanda, dan merupakan konflik yang pecah di negeri Minangkabau ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak Islami. Namun setelah pendudukan Kerajaan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di Padang untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.[3]
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di Kekhalifahan Sokoto di Afrika Barat, adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah dan kembali[4] dengan terinspirasi untuk membawa Al-Quran dan syariah ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda hingga abad ke-20.
Perang Padri I 1803-1825
suntingAwal mula 1803-1821
suntingSepulangnya tiga orang alim ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, mereka mengungkapkan keinginan mereka yang ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat Minangkabau.[5] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan).[6]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau yang memiliki kedekatan dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Lintau menyerang Kaum Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[7] Catatan Thomas Stamford Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[8]
Keterlibatan Belanda 1821-1825
suntingPada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan Pagaruyung.[9] Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[10]
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[11] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[12]
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[13] Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[14]
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[15]
Gencatan Senjata 1825 - 1831
suntingPerlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[16] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan serta merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya terjadi kesepakatan yang dikenal dengan nama "Sumpah Satie Bukik Marapalam" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang bermakna bahwa Adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[17]
Tuanku Imam Bonjol
suntingTuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[18] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[19]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[7]
Perang Padri II 1831-1838
suntingJatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833
suntingSetelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[13]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di Bengkulu, sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[20] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[21] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[22]
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
suntingSejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[23] Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[24] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[9]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol 1833-1835
suntingLamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[25] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saat yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[26]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[27]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
suntingBenteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[28]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[29]
Pengepungan Bonjol 1835-1837
suntingMelihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[30]
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[31] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[32] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
suntingDalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk kembali bertempur menghadapi pasukan Belanda.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.[33]
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.[33] Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,[34] dan 2004 di Padang.[33][35]
Akhir Perang Padri 1838
suntingMeskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Daludalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[36] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai, kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Historiografi Perang Padri
suntingPerang Padri yang terjadi di wilayah Sumatra Barat hari ini telah dikaji oleh banyak orang dari beragam latar belakang.[37]
Sejak beberapa waktu yang lalu, ada upaya yang dilakukan oleh sejarawan atau peminat sejarah untuk melakukan re-rekonstruksi sejarah Perang Padri. Mereka mencoba mengkaji dan menulis Perang Padri dari sudut pandang lain, salah satu di antaranya adalah menampilkan aspek kekerasan dalam Perang Padri. Ada dari mereka yang menyamakan aksi kaum Padri dengan Taliban atau ISIS. Karena itu, ada dari mereka yang mengeritik kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol.[38]
Sebelumnya ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian respon dari warga daerah terhadap perubahan ekonomi yang terjadi di daerah ini dan kesempatan-kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi skala regional atau internasional. Sebelumnya lagi, ada upaya melihat Perang Padri sebagai bagian dari revolusi sosial dan intelektual yang ingin menata ulang struktur, serta tatanan sosial Minangkabau. Sebelumnya dan sebelumnya lagi, ada sejumlah perspektif atau sudut pandang lain yang digunakan dalam merekonstruksi sejarah Perang Padri. Bisa dikatakan, Perang Padri adalah salah satu iven historis di Minangkabau (Sumatra Barat) yang ditulis dengan banyak sudut pandang atau perspektif.[38]
Catatan sejarah atau informasi tertulis mengenai Perang (atau Gerakan) Padri mulai bermunculan tak lama setelah konflik ini pecah pada tahun 1821, dan hingga kini terus berkembang. Dokumen-dokumen tersebut hadir dalam berbagai bentuk seperti buku, artikel, karya akademik yang ditulis untuk meraih gelar tertentu, makalah yang dipresentasikan di berbagai seminar, tulisan di surat kabar dan majalah, hingga postingan di media sosial.[38]
Buku-buku yang membahas perang ini juga bervariasi dalam bentuknya. Ada yang berupa memoar, kumpulan pengalaman pribadi dan catatan terkait peristiwa tersebut, bagian dari catatan perjalanan (travelogue), serta hasil kajian dan penelitian dari berbagai sumber tertulis tentang perang tersebut. Selain itu, terdapat pula buku yang merupakan transliterasi dari naskah beraksara Arab Melayu yang berisi kesaksian langsung penulisnya tentang Perang Padri, serta antologi artikel yang mengangkat tema perang ini.[38]
Hal serupa juga tampak pada artikel-artikel yang ditulis. Sebagian artikel merupakan kenangan pribadi atau interpretasi penulis tentang Perang Padri, sementara yang lain menyajikan analisis kritis yang lahir dari studi dan telaah atas berbagai referensi tertulis tentang peristiwa ini.[38]
Adapun makalah, artikel di media cetak seperti koran dan majalah, maupun tulisan di media sosial umumnya merupakan hasil telaah atau penelitian yang merujuk pada sumber-sumber primer dan sekunder terkait Perang Padri.[38]
Bila dilihat dari urutan waktu terbitnya, para penulis, dan isi tulisannya, maka secara umum bisa dikatakan ada enam periode penulisan sejarah Perang Padri: Pertama, periode 1820-1850-an; kedua, 1860-an hingga akhir 1920-an; ketiga, 1930-an hingga awal 1950-an; keempat tahun 1960-an; kelima, 1970-an hingga akhir 1990-an; dan keenam, awal tahun 2000-an hingga saat sekarang.[38]
Periodesasi sejarah penulisan sejarah Perang Padri ini jangan dipahami secara sempit, karena bisa saja ada ‘jiwa zaman’ pada satu periode muncul lagi pada zaman yang lain. Namun, tidak diragukan lagi, keenam kurun waktu ini menghadirkan corak tersendiri dalam rekonstruksi sejarahnya.[38]
Periode pertama
suntingPada rentang waktu antara 1820-an hingga 1850-an, tercatat ada belasan karya yang membahas Perang Padri. Di antara penulisnya terdapat Nahuijs dan Anderson (1827), Raffles (1830), Mueller (1837), v.d.H. (1838), “Bondjol” (1839), Francis (1839), Boelhouwer dan Epp (1841), artikel “De Secte der Padries in de Padangsche Bovenlanden” (1844), B.d. (1845), serta Stuers (1849, 1850), Lange (1854), dan Francis (1856). Selain itu, ada pula tulisan yang berasal dari tokoh-tokoh Urang Awak, seperti Fakih Saghir (1829) dan Tuanku Imam Bonjol (tanpa tahun).[37]
Berdasarkan nama-nama penulisnya, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar karya dari periode awal ini ditulis oleh para pelaku sejarah atau saksi mata langsung. Sebagian besar dari mereka terlibat langsung dalam konflik tersebut. Penulis-penulis Belanda, misalnya Nahuijs, Stuers, Francis, Lange, dan Boelhouwer, adalah pejabat sipil maupun militer. Sementara itu, dari kalangan Urang Awak, ada Tuanku Imam Bonjol yang memimpin gerakan, dan Fakih Sangir, seorang tokoh penting lokal. Tulisan-tulisan mereka menyimpan banyak informasi otentik tentang jalannya perang.[37]
Beberapa penulis lain, seperti Anderson dan Raffles, mendapatkan informasi mereka secara tidak langsung, yakni dari cerita orang-orang yang terlibat dalam perang. Akibatnya, tulisan mereka cenderung menggambarkan Perang Padri secara umum atau hanya membahas aspek-aspek tertentu saja.[37]
Ada juga artikel-artikel anonim yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal waktu itu. Meskipun tanpa nama penulis, isi yang rinci dan pemahamannya yang mendalam terhadap peristiwa menunjukkan bahwa mereka kemungkinan juga merupakan saksi atau pelaku sejarah.[37]
Menariknya, tulisan Tuanku Imam Bonjol dan Fakih Saghir, walaupun ditulis di masa perang, tidak langsung dikenal luas pada masa itu. Naskah Tuanku Imam Bonjol hanya muncul sebagai lampiran dalam karya Stuers, sementara tulisan Fakih Sangir baru diketahui publik dan dikaji lebih dalam pada awal abad ke-20.[37]
Selama periode ini, terdapat perkembangan yang jelas dalam cara Perang Padri ditulis. Jika pada awalnya karya-karya tersebut hanya menyentuh perang secara singkat, maka pada akhir periode ini, pembahasannya menjadi jauh lebih mendalam. Beberapa karya bahkan terbit dalam beberapa jilid tebal, seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan Stuers, Lange, dan Francis.[37]
Secara garis besar, isi karya-karya dari masa ini dapat dibagi menjadi tiga tema utama. Pertama, soal penamaan kelompok-kelompok yang terlibat. Istilah yang digunakan saat itu menjadi standar dalam penulisan sejarah berikutnya. Misalnya, Raffles menyebut gerakan ini sebagai "Para Fanatik", Anderson menggunakan istilah "Gerakan Nan Renceh", sementara Nahuijs menyebut "Kaum Putih". Sebagian besar penulis Belanda lainnya menamakan mereka "Kaum Padri", dan perang itu sendiri dikenal sebagai "Perang Padri" (Padrioorlog).[37]
Tema kedua adalah uraian mendalam tentang jalannya perang. Karya Boelhouwer menjadi contoh terbaik untuk kategori ini. Buku ini menggambarkan tidak hanya peperangan, tapi juga kehidupan sosial-budaya masyarakat, baik kaum Padri, kaum adat, orang Batak, maupun Belanda. Boelhouwer juga mengangkat sisi kemanusiaan dalam konflik ini, mencatat aspek-aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Urang Awak di masa perang. Hal serupa juga tampak dalam karya Nahuijs.[37]
Tema ketiga menyajikan tinjauan menyeluruh atas Perang Padri dalam konteks sejarah daerah dan Hindia Belanda secara lebih luas. Tulisan Stuers, Lange, dan Francis masuk dalam kategori ini. Mereka memaparkan jalannya perang dengan detail, menyebut jumlah pasukan, lokasi pertempuran, nama komandan, serta korban di kedua belah pihak (dengan catatan korban pihak Padri biasanya disebut lebih banyak). Buku-buku ini juga menyinggung pembangunan infrastruktur, perdagangan, ekonomi, serta pembentukan unit administratif di daerah tersebut.[37]
Kesimpulan dari historiografi awal ini menunjukkan pola narasi di mana kaum Padri digambarkan sebagai pengacau yang merusak ketertiban, sedangkan Belanda diposisikan sebagai pembawa kedamaian dan kemajuan.[37]
Meski narasi tersebut bias, karya-karya dari periode ini sangat penting karena memuat data primer langsung dari pelaku sejarahnya. Mereka menjadi sumber utama bagi penulisan sejarah Perang Padri hingga sekarang.[37]
Periode kedua
suntingPeriode kedua penulisan tentang Perang Padri bisa disebut sebagai masa yang paling produktif, dengan jumlah karya yang paling banyak muncul dibandingkan kurun sebelumnya. Sekitar dua puluh tulisan terbit dalam rentang waktu ini, mencerminkan keragaman baik dari sisi bentuk maupun latar belakang penulisnya.[37]
Meski masih ada tulisan yang secara khusus membahas Perang Padri, jumlah dan variasinya mulai berkurang. Umumnya, karya-karya tersebut muncul dalam bentuk artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah. Beberapa yang paling dikenal adalah karya Kielstra (1887-1890), Hart (1876), Gerlach (1860), dan Ronkel (1915).[37]
Selain karya-karya yang berfokus langsung pada Perang Padri, ada pula tulisan yang membahasnya sebagai bagian dari tema yang lebih luas. Contoh karya seperti ini dapat ditemukan pada tulisan Veth (1867), Hooyer (1895), Bosch (1864), Joustra (1923), dan Buys (1896).[37]
Secara umum, pandangan yang disajikan dalam tulisan-tulisan dari periode ini masih melanjutkan narasi lama, yakni menggambarkan kaum Padri sebagai kelompok fanatik, pemberontak, kejam, dan berpaham kekerasan. Sementara itu, Belanda tetap diposisikan sebagai kekuatan yang membawa ketertiban (rust en orde) dan kemakmuran ke Sumatra Barat.[37]
Namun, ada satu pengecualian penting, yakni karya Schrieke. Ia mencoba memandang Gerakan dan Perang Padri sebagai sebuah revolusi sosial dan intelektual di tengah masyarakat Minangkabau — sebuah upaya untuk merombak tatanan sosial yang ada dan memberikan ruang bagi kaum intelektual untuk berperan dalam membawa perubahan positif bagi umat.[37]
Pada masa ini pula, tulisan Fakih Saghir dan Tuanku Imam Bonjol mulai mendapat perhatian dari kalangan sejarawan Barat, khususnya Belanda. Para ilmuwan seperti Hollander (1857) dan Ronkel (1915) berusaha mengalihaksarakan naskah-naskah tersebut serta memberikan kajian kritis terhadap isinya.[37]
Karya-karya Schrieke, Hollander, dan Ronkel dapat dianggap sebagai tonggak penting dalam perkembangan historiografi kolonial mengenai Perang Padri. Mereka membawa sudut pandang yang lebih moderat dan seimbang, berbeda dari tulisan-tulisan sebelumnya yang sangat kental dengan pandangan yang berpihak pada Belanda (neerlandosentris). Perspektif baru inilah yang kemudian memberi inspirasi bagi para penulis Urang Awak untuk menyusun sejarah Perang Padri dari sudut pandang yang bebas dari bias kolonial.[37]
Periode ketiga
suntingPada periode ketiga, tulisan mengenai Perang Padri secara jumlah memang tidak banyak — hanya seujung jari. Namun, justru pada masa ini terjadi perubahan besar yang mencolok. Beberapa perubahan itu meliputi: pertama, tampilnya penulis-penulis dari kalangan Urang Awak; kedua, bergesernya fokus dari narasi perang secara keseluruhan menjadi penekanan pada tokoh-tokoh Padri; ketiga, munculnya semangat nasionalisme dan patriotisme yang mewarnai penulisan sejarah; keempat, usaha menjadikan Perang Padri sebagai bagian penting dari rekonstruksi sejarah daerah, regional, hingga nasional; dan kelima, menyusutnya peran sejarawan Belanda dalam penulisan sejarah tentang perang ini.[37]
Memang, tulisan-tulisan Belanda tentang Perang Padri semakin langka pada periode ini. Meski demikian, karya mereka yang masih muncul cukup menarik, contohnya adalah pembahasan tentang Perang Padri dalam buku besar sejarah Hindia Belanda, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang disusun oleh Stapel (1938-1940).[37]
Buku pertama yang ditulis oleh Urang Awak dalam periode ini adalah Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol Sebagai Pahlawan Islam (1939) karya L. Dt. R. Dihoeloe. Meski bukunya singkat — hanya 41 halaman — isinya mencakup beragam topik seputar Tuanku Imam Bonjol, mulai dari asal-usulnya, biografi singkat, konflik antara kaum hitam dan putih, hingga kisah pertahanan, dakwah, dan akhirnya penangkapannya oleh Belanda. Uniknya, konflik bersenjata antara kaum Padri dan Belanda hampir tak mendapat tempat dalam narasi ini, yang bisa dimaklumi karena buku ini ditulis di masa Belanda masih berkuasa. Karenanya, L. Dt. R. Dihoeloe memilih menampilkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan Islam yang mendorong perdamaian antara adat dan agama, melalui konsep “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.”[37]
Setelah Indonesia merdeka, muncul karya Tuanku Imam Bondjol Perintis Djalan ke Kemerdekaan (1951) oleh Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki. Berbeda dari karya sebelumnya, buku ini terang-terangan menyebut Tuanku Imam Bonjol sebagai pejuang kemerdekaan bangsa. Buku ini lebih gamblang menampilkan perlawanan terhadap Belanda, memperlihatkan taktik curang Belanda seperti strategi damai Stuers dan tipu muslihat Plakat Panjang, serta mengedepankan heroisme kaum Padri dan orang Minangkabau. Tokoh Imam Bonjol digambarkan sangat bijaksana, dihormati semua kalangan, bahkan dibandingkan lebih baik daripada Tuanku Pasaman dan Tuanku Nan Renceh.[37]
Tujuan utama dari karya ini adalah merekonstruksi sejarah Perang Padri dengan perspektif baru yang sejalan dengan semangat kemerdekaan Indonesia. Penulisan sejarah saat itu menjadi bagian dari proses dekolonisasi, yakni upaya ‘membersihkan’ citra negatif kaum Padri yang telah diwariskan oleh penulis-penulis kolonial.[37]
Sejalan dengan semangat ini, Muhammad Radjab menulis Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838) (1954), sebuah karya tebal hampir 500 halaman yang menyajikan narasi paling lengkap tentang Perang Padri dalam bahasa Indonesia. Buku ini penuh dengan rincian: dari aksi militer, jumlah pasukan, jenis senjata, lokasi pertempuran, hingga korban yang jatuh.[39] Radjab mengandalkan hampir semua sumber utama mengenai Perang Padri, baik dari pelaku sejarah maupun saksi mata, termasuk karya-karya yang terbit pada masa sebelumnya.[37]
Sebagai bagian dari historiografi dekolonisasi, Radjab menggambarkan Belanda sebagai penjajah yang licik dan penuh tipu daya, sementara kaum Padri dan orang Minangkabau (bahkan Sentot Ali Basya dan pasukannya dari Jawa) diposisikan sebagai pejuang yang ingin mengusir penjajah demi kemerdekaan. Buku ini menonjolkan semangat nasionalisme dan patriotisme, seperti kisah Sentot yang meninggalkan aliansi dengan Belanda untuk bergabung dengan Padri, atau desersi pasukannya yang memilih berpihak pada Minang.[37]
Menurut H.A.J. Klooster (1980), karya-karya dari periode ketiga ini memang menonjolkan semangat kedaerahan, namun tetap dikemas dalam narasi sejarah nasional. Dukungan tokoh-tokoh seperti Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai, yang bukan orang Minang secara etnis, juga digambarkan sebagai bagian dari perjuangan nasional melawan kolonialisme.[37]
Selain buku-buku besar, pada periode ini juga terbit tulisan tentang Perang Padri yang menjadi bagian dari karya dengan tema lebih luas. Contohnya adalah Sedjarah Minangkabau oleh Dali Mutiara (1946)[40] dan Propinsi Sedjarah Sumatera Tengah yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953).[41] Walau pembahasannya singkat, kedua buku ini tetap menempatkan Perang Padri sebagai perang melawan penjajahan Belanda demi memerdekakan Sumatra Barat dan Indonesia.[37]
Namun, tak diragukan lagi, karya Darwis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki serta buku Muhammad Radjab menjadi puncak dari penulisan sejarah Perang Padri pada periode ketiga ini. Hingga akhir masa tersebut, belum ada lagi karya lain yang mampu menyaingi keluasan dan kedalaman kedua buku ini dalam membahas Perang Padri.[37]
Periode keempat
suntingPeriode keempat dalam historiografi Perang Padri menampilkan dua fenomena yang sangat menarik. Pertama, pada masa ini nyaris tidak ada lagi Urang Awak (orang Minangkabau) yang menulis secara serius tentang Perang Padri dalam bentuk buku baru. Yang muncul hanyalah tulisan-tulisan singkat atau sekadar cetak ulang atas karya-karya Urang Awak sebelumnya. Kedua, munculnya karya mengenai Perang Padri yang ditulis oleh penulis Indonesia non-Minang — tepatnya seorang Batak — yang menawarkan perspektif radikal berbeda dari narasi yang dominan sebelumnya. Dalam perspektif baru ini, kaum Padri digambarkan sebagai kelompok fanatik, brutal, kejam, dengan aksi-aksi berdarah yang dianggap setara dengan terorisme.[37]
Masterpiece dari arus baru historiografi ini adalah buku Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongki Nangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 (1964).[42] Parlindungan menyatakan bahwa karyanya disusun berdasarkan dokumen sejarah keluarga yang diwariskan oleh leluhurnya — walaupun, sayangnya, bahan-bahan tersebut menurut pengakuannya telah hilang. Buku ini ditulis sebagai “hadiah sejarah keluarga” bagi anak-cucunya, namun dampaknya jauh melampaui sekadar catatan keluarga.[37]
Konteks politik saat buku ini terbit tidak bisa diabaikan. Tahun 1964 adalah masa ketika orang Minangkabau di Sumatra Barat baru saja mengalami represi besar-besaran akibat pemberontakan PRRI yang digilas keras oleh pemerintah pusat. Tindakan represif itu bukan hanya dalam bentuk kekuatan militer, tetapi juga penghancuran mental dan identitas, termasuk melalui revisi narasi sejarah yang selama ini menjadi kebanggaan orang Minang. Salah satu bentuk dekonstruksi tersebut adalah penulisan ulang sejarah Minangkabau yang menghilangkan unsur-unsur yang dinilai merongrong dominasi kekuasaan pusat.[37]
Sebagai contoh, dalam Tambo Minangkabau versi B. Dt. Nagari Basa (1964),[43] terjadi perubahan radikal. Bila dalam tambo lama, asal usul nama "Minangkabau" dikaitkan dengan kemenangan kerbau Minang atas kerbau Jawa, maka dalam tambo baru, dikisahkan bahwa lawan kerbau Minang adalah kerbau dari Aceh. Pesan yang tersirat jelas: Jawa — yang saat itu secara militer menguasai Sumatra Barat — tidak boleh lagi digambarkan sebagai pihak yang kalah. Hal ini mencerminkan bagaimana sejarah digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan.[37]
Dalam konteks inilah, karya Parlindungan juga dapat dipahami sebagai bagian dari proyek dekonstruksi terhadap kebanggaan historis Minangkabau. Dalam bukunya, Parlindungan mencerca kaum Padri, ideologi mereka (Islam puritan ala Wahabi), dan Urang Awak secara keseluruhan. Kaum Padri digambarkan tak ubahnya kutu penghisap darah yang harus ditindas. Keberanian Parlindungan untuk menyerang simbol-simbol kebesaran Minang muncul karena pada saat itu, orang Minang tengah dalam posisi politik yang lemah, terpecah, dan tidak berdaya. Bahkan tokoh Minang yang duduk di pemerintahan pusat pun adalah bagian dari rezim yang telah melumat kampung halaman mereka sendiri.[37]
Ironisnya, karya Parlindungan mendapat sambutan hangat dari sejarawan muda Minang yang lahir dan besar di perantauan, yang tak lagi punya ikatan emosional kuat dengan glorifikasi masa lalu Minang. Mereka inilah yang pada 1970 menerbitkan Sedjarah Minangkabau, dengan meminta endorsement langsung dari Parlindungan. Sebaliknya, kalangan tua Minang, terutama mereka yang tumbuh sebelum tragedi PRRI, memandang buku ini sebagai karya yang menyesatkan. Salah satu kritik keras datang dari Buya Hamka, yang menulis Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao" (1974) sebagai sanggahan langsung atas narasi Parlindungan.[37]
Seiring perubahan politik nasional di bawah Orde Baru, buku Parlindungan pelan-pelan menghilang dari perbincangan publik. Mungkin demi menjaga semangat "kesatuan dan persatuan" yang diagungkan rezim tersebut. Namun, memasuki Era Reformasi — ketika kontrol narasi mulai melonggar — buku ini kembali mencuat, menandai bahwa perdebatan historiografi memang sangat dipengaruhi oleh angin zaman.[37]
Menariknya, pada masa yang sama dengan terbitnya buku Parlindungan, masih ada upaya Urang Awak untuk menulis tentang Perang Padri, walau gaungnya nyaris tenggelam. Salah satunya adalah edisi revisi Pusaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air karya Tamar Djaja (1964), yang menampilkan empat tokoh Padri: Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam, dan Tuanku Tambusai, serta Sutan Alam Bagagar Syah.[44] Selain itu, juga dilakukan cetak ulang atas buku-buku lama seperti Tuanku Imam Bondjol, Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1964) dan Perang Padri (1964).[37]
Secara keseluruhan, periode keempat ini adalah fase paling dinamis dalam historiografi Perang Padri pasca-kemerdekaan. Sebab, pada masa inilah muncul tulisan-tulisan yang menantang pakem historiografi lama yang selama ini memuliakan semangat nasionalisme, patriotisme, serta persatuan bangsa. Dinamika ini tidak semata-mata soal narasi, tetapi mencerminkan pergulatan politik, identitas, dan kuasa dalam sejarah Indonesia modern.[37]
Periode kelima
suntingPeriode kelima historiografi Perang Padri merupakan hasil dari perubahan besar yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Seperti yang terjadi di banyak daerah lain, di Sumatra Barat pun proses peralihan ini ditandai dengan “deordelamaisasi” — sebuah proses kritik dan penghujatan terhadap segala yang berbau Orde Lama, termasuk penulisan sejarah. Dalam konteks inilah kita bisa memahami mengapa pada awal 1970-an, Buya Hamka menerbitkan bukunya Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” yang secara tegas mengkritisi karya Mangaradja Onggang Parlindungan. Buku ini bisa dianggap sebagai kelanjutan dari tulisan-tulisan Hamka yang sebelumnya (1969-1970) terbit di surat kabar Haluan.[37][45]
Buku Hamka ini menonjol sebagai satu-satunya karya yang hadir dengan perspektif berbeda pada periode kelima historiografi Perang Padri. Dalam buku tersebut, Hamka menyanggah hampir seluruh narasi Parlindungan, yang menurutnya “98% dusta”.[45] Hamka memperkenalkan informasi baru yang sebelumnya tidak banyak diketahui tentang sejarah Perang Padri dan Islam di Sumatra. Sumber-sumber yang digunakan Hamka untuk bukunya pun berbeda dari yang digunakan oleh para penulis Belanda atau Urang Awak sebelumnya, memberi dimensi baru dalam penulisan sejarah tersebut.[37]
Selain itu, karya Hamka menampilkan diskursus intelektual orang Minang mengenai sejarah Perang Padri. Di tengah maraknya penulisan sejarah yang lebih bersifat naratif dan politis, Hamka menjadi pengecualian dengan penyajian yang lebih mendalam dan terfokus pada fakta-fakta sejarah. Sebagian besar karya yang muncul pada periode kelima ini, di sisi lain, bisa dikategorikan sebagai "karya-karya biasa". Karya-karya ini lebih bersifat pengulangan atau penulisan ulang dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya tanpa banyak memberikan pembaruan atau perspektif baru. Sebagian besar karya ini, meskipun memiliki kualitas yang baik, dapat dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut “buku proyek” — yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan atau tugas tertentu, bukan sebagai kontribusi baru dalam historiografi.[37]
Selama periode ini, aspek pertempuran dalam Perang Padri tidak mendapat pembahasan mendalam. Ketika ada pembahasan, biasanya hanya menjadi bagian dari karya dengan tema yang lebih luas. Sebaliknya, banyak buku yang diterbitkan lebih mengarah pada penceritaan kehidupan tokoh-tokoh penting dalam Perang Padri. Selain Tuanku Rao, tokoh seperti Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol juga mendapat perhatian dalam buku-buku biografi (Mahdin Said, 1969; Sjafnir Abu Naim, 1979; Mardjani Martamin, 1983). Tokoh lain yang tidak secara langsung terlibat dalam Perang Padri, tetapi peran sejarahnya tidak terpisahkan dari peristiwa tersebut, adalah Sutan Alam Bagagar Syah (Mardanas Sjafwan, 1975). Penulisan buku-buku biografi ini sejalan dengan upaya pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh tersebut, terutama dengan latar belakang maraknya pemujaan terhadap pahlawan yang dianggap berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tuanku Imam Bonjol mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 1973, dan Tuanku Tambusai pada 1995. Buku tentang Sutan Alam Bagagar juga berkaitan dengan pemindahan makam beliau ke Taman Makam Pahlawan.[37]
Namun, meskipun banyak karya yang menulis tentang tokoh-tokoh ini, buku-buku tersebut kurang menonjol dari sisi keilmuan. Mereka lebih berfokus pada pengungkapan tokoh dan aspek historis yang berkaitan dengan legitimasi perjuangan mereka dalam konteks nasionalisme Indonesia.[37]
Selain karya-karya biografi, periode kelima ini juga ditandai oleh munculnya tulisan-tulisan yang mengangkat standar akademis tinggi. Beberapa karya tersebut menyajikan penafsiran baru mengenai latar belakang dan jalannya Perang Padri, memberikan perspektif yang lebih luas tentang peristiwa tersebut. Salah satu karya yang paling menonjol dalam kategori ini adalah karya Christine Dobbin, Islam, Modernity, and the Struggle for Leadership in Minangkabau (1983), yang memandang Perang Padri tidak hanya sebagai konflik ideologis antara kaum pembaharu Islam (Padri) dengan kaum adat, tetapi juga sebagai gerakan yang dipengaruhi oleh dorongan ekonomi. Dobbin menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi daerah dan keterlibatan Minangkabau dalam aktivitas ekonomi regional atau global memainkan peran penting dalam Perang Padri. Pandangan ini didukung oleh Y. Koenoel Kato (1982), yang berpendapat bahwa gerakan Padri bukan hanya soal perbedaan pandangan agama atau pertentangan antara adat dan agama, tetapi juga merupakan upaya untuk memperkuat dan mempersatukan alam Minangkabau.[37]
Sebelum Dobbin dan Kato, Taufik Abdullah (1967; 1971) sudah lebih dulu melihat Perang Padri sebagai bagian dari perubahan sosial intelektual yang terjadi di kalangan orang Minang. Meski demikian, baik Kato maupun Taufik Abdullah melihat Perang Padri hanya sebagai bagian dari topik yang lebih besar dalam karya mereka. Berbeda dengan itu, Dobbin memberikan perhatian penuh kepada peristiwa ini, menjadikannya inti dari kajian tentang gerakan Padri.[37]
Seiring dengan perkembangan ini, tesis dan skripsi yang membahas Perang Padri mulai muncul, meskipun sebagian besar karya-karya ini bisa dikategorikan sebagai "pengikut" atau penerus karya-karya besar yang telah lebih dulu diterbitkan, seperti karya Taufik Abdullah, Dobbin, dan Kato.[37]
Perubahan besar lainnya yang terjadi pada periode kelima ini adalah munculnya Perang Padri sebagai bahan ajar dalam buku teks sejarah yang digunakan di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (1975), Perang Padri mendapat tempat yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan campur tangan pemerintah dalam penulisan sejarah pada masa Orde Baru. Pemerintah berperan besar dalam menentukan narasi sejarah yang dapat diterima publik, dan penulisan sejarah Perang Padri menjadi bagian dari upaya tersebut.[37]
Secara keseluruhan, periode kelima historiografi Perang Padri menunjukkan dinamika yang luar biasa, dari penulisan ulang narasi sejarah, penguatan identitas nasional, hingga penulisan dengan perspektif akademis yang lebih kompleks. Namun, meskipun terdapat beberapa karya penting dengan pendekatan baru, aspek keilmuan dalam banyak karya di periode ini masih terbatas, dan sejarah Perang Padri masih sering digunakan untuk kepentingan politik dan legitimasi ideologis tertentu.[37]
Periode keenam
suntingPeriode keenam historiografi Perang Padri bertepatan dengan berakhirnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi di Indonesia. Pada masa ini, penulisan sejarah Indonesia mengalami perubahan besar yang ditandai dengan upaya untuk "meluruskan" atau menulis ulang sejarah nasional. Keinginan ini tercermin dalam penerbitan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), yang merupakan karya kolektif puluhan sejarawan Indonesia yang mencoba memberikan pandangan baru tentang sejarah Indonesia.[37]
Era Reformasi juga ditandai dengan kecenderungan untuk mengangkat dan menulis tentang tindak kekerasan yang terjadi di masa lalu. Buku-buku yang membahas aksi kekerasan terhadap kelompok tertentu, seperti pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), mulai banyak diterbitkan. Kecenderungan ini kemudian merambah ke penulisan sejarah Perang Padri, dengan penekanan yang lebih besar pada kekerasan yang terjadi selama perang tersebut.[37]
Salah satu karya yang mencolok dalam konteks ini adalah buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan.[42] Buku ini yang sebelumnya sempat diterbitkan pada era Orde Baru, dicetak ulang pada masa Reformasi dan mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Buku ini sarat dengan narasi kekerasan yang dilakukan oleh kaum Padri selama Perang Padri. Reaksi terhadap buku ini pun muncul, termasuk munculnya petisi dari Muhdi Situmorang, seorang Batak yang mengklaim sebagai keturunan dari korban kekerasan kaum Padri, yang meminta agar gelar Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol dicabut. Muhdi berpendapat bahwa Tuanku Imam Bonjol tidak layak disebut pahlawan karena perannya dalam menyebarkan kekerasan di masa lalu.[46] Petisi ini kemudian menjadi isu publik yang cukup hangat, terutama ketika majalah Tempo pada 21 Oktober 2007 mengangkatnya dengan artikel berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri.”[37][47]
Kontroversi mengenai kekerasan yang dilakukan oleh kaum Padri menjadi salah satu aspek penting dalam historiografi Perang Padri pada awal Era Reformasi. Perspektif ini, yang menekankan pada kekerasan, tidak hanya muncul dalam karya Parlindungan dan artikel di Tempo, tetapi juga menjadi tema yang lebih umum di berbagai tulisan seputar Perang Padri pada masa itu. Namun, tidak semua penulisan sejarah ini hanya menyoroti sisi kekerasan dari kaum Padri. Beberapa tulisan juga mencoba memberikan pandangan yang lebih objektif dan menampilkan Perang Padri "apa adanya". Misalnya, buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidi Harahap (2007) yang mencoba mengkritisi dan mengoreksi narasi yang dibangun oleh Parlindungan, serta menyoroti sejarah Islam di Tanah Batak (Tapanuli) secara lebih mendalam dan sesuai dengan kenyataan sejarah.[48]
Selain itu, Mardjohan (2009) juga menerbitkan buku Gerakan Padri, Pahlawan dan Dendam Sejarah yang menyajikan narasi tentang Perang Padri dengan melihat keterlibatan Tuanku Imam Bonjol dalam konteks yang lebih jujur dan menyeluruh. Buku-buku semacam ini berusaha menghilangkan mitos atau penggambaran yang sepihak terhadap tokoh-tokoh dalam sejarah Perang Padri dan lebih berfokus pada aspek-aspek yang lebih mendalam dari konflik tersebut, termasuk sisi kemanusiaan dan dampak sosial-politiknya.[37]
Perubahan yang terjadi dalam penulisan sejarah Perang Padri pada periode ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang ada pada masa itu. Era Reformasi merupakan periode yang ditandai dengan maraknya aksi kekerasan di berbagai daerah di Indonesia, seperti Ambon, Sambas, Palu, Lampung, dan Aceh. Kekerasan yang terjadi di dalam negeri ini, serta peristiwa global seperti pemboman WTC, Bom Bali, dan kebangkitan kelompok radikal seperti Taliban, memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kekerasan dan teror. Dalam konteks ini, penulisan sejarah Perang Padri juga mencerminkan zeitgeist (jiwa zaman) yang sarat dengan kekerasan.[37]
Selain itu, narasi yang disajikan oleh Parlindungan, yang menggambarkan kekerasan dalam Perang Padri dengan sangat gamblang, cocok dengan semangat zaman yang sedang berkembang saat itu. Era Reformasi memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang sejarah, dan dalam hal ini, penulisan sejarah Perang Padri menjadi sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk menyuarakan kebenaran, meskipun terkadang dengan penekanan yang lebih besar pada aspek kekerasan daripada aspek lain dari peristiwa tersebut.[37]
Namun, meskipun penulisan sejarah Perang Padri di periode ini banyak menyoroti kekerasan, penting untuk dicatat bahwa beberapa penulis tetap berusaha menyajikan gambaran yang lebih seimbang dan mencoba melihat Perang Padri dari berbagai sudut pandang. Upaya ini menunjukkan bahwa historiografi Perang Padri dalam Era Reformasi berfokus tidak hanya pada kekerasan dan kontroversi, tetapi juga pada pencarian kebenaran dan penulisan sejarah yang lebih jujur dan komprehensif.[37]
Tujuan Historiografi
suntingHistoriografi adalah suatu cabang ilmu yang memfokuskan diri pada kajian tentang cara penulisan sejarah itu sendiri. Dalam kajian ini, yang menjadi titik perhatian utama adalah berbagai elemen yang terkait dengan penulisan sejarah, seperti apa yang ditulis, siapa penulisnya, latar belakang pendidikan dan ideologi penulis tersebut, status sosial dan intelektualnya, serta konteks sosial dan politik yang melatarbelakangi penulisan tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah pertanyaan mengenai kapan karya itu ditulis, karena setiap periode sejarah memiliki ciri khas zaman yang mempengaruhi cara pandang dan interpretasi penulis terhadap peristiwa yang dilukiskannya. Selain itu, tujuan dari penulisan sejarah itu sendiri juga sangat relevan, apakah karya tersebut ditulis untuk tujuan ilmiah, pendidikan, atau memiliki kepentingan politis tertentu.[38]
Dalam kajian historiografi, yang tidak dipersoalkan adalah apakah sumber-sumber yang digunakan sahih atau tidak, tetapi lebih menekankan pada bagaimana penulis menghadirkan sejarah berdasarkan perspektifnya yang dipengaruhi oleh kondisi zaman saat itu.[38]
Tujuan utama dari kajian historiografi adalah untuk memahami bahwa sebuah peristiwa sejarah bisa ditulis berulang kali oleh berbagai penulis dengan perspektif yang berbeda-beda. Setiap penulis menulis sejarah berdasarkan latar belakang, ideologi, dan konteks zamannya. Dengan memahami adanya berbagai perspektif ini, kita akan lebih mudah menerima kenyataan bahwa dalam penulisan sejarah terdapat banyak perbedaan interpretasi yang wajar dan sah-sah saja.[38]
Kajian historiografi mengajarkan kita untuk menyadari bahwa karya sejarah sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya, apa tujuan penulisannya, serta bagaimana kondisi sosial, politik, dan budaya pada waktu itu. Oleh karena itu, sebuah karya sejarah bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan berubah seiring dengan perkembangan zaman.[38]
Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang historiografi ini, kita diharapkan dapat lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan pandangan dalam penulisan sejarah. Sebuah sejarah yang ditulis pada suatu masa tertentu tentu mencerminkan pemahaman dan kepentingan dari waktu itu, dan perbedaan pandangan adalah bagian dari proses alami yang tidak bisa dihindari dalam kajian sejarah. Sebagai contoh yang sangat menarik, Perang Padri merupakan salah satu peristiwa sejarah yang telah banyak ditulis dan ditafsirkan oleh berbagai penulis sepanjang waktu.[38]
Dalam perjalanan panjangnya yang telah berlangsung lebih dari dua abad, berbagai perspektif telah muncul mengenai Perang Padri ini. Ada karya yang menggambarkan kaum Padri sebagai pemberontak yang merusak ketentraman dan kedamaian masyarakat, sementara di sisi lain, ada tulisan yang memandang mereka sebagai pejuang yang berjuang untuk mencapai kedamaian dengan cara mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Ada pula yang menganggap Tuanku Imam Bonjol sebagai seorang pemberontak atau bahkan teroris, sementara ada juga yang memandangnya sebagai pahlawan kemerdekaan yang menyatukan berbagai kelompok etnis dalam perjuangan bersama.[38]
Perbedaan perspektif dan sudut pandang ini mengingatkan kita bahwa sejarah, termasuk Perang Padri, ditulis oleh penulis yang hidup di berbagai periode waktu dengan kondisi sosial dan politik yang berbeda. Perbedaan ini seharusnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial atau menimbulkan perpecahan, melainkan sebagai kenyataan yang tak terelakkan, karena setiap penulisan sejarah adalah refleksi dari keadaan dan pemikiran zaman itu.[38]
Setiap zaman menghadirkan penulisan sejarah yang berbeda-beda, meskipun objek yang ditulis tetap sama. Hal ini sejalan dengan pandangan seorang sejarawan Italia, Benedetto Croce, yang menyatakan bahwa “ogni vera storia, è storia contemporanea,” yang artinya bahwa sejarah yang benar adalah sejarah yang ditulis dengan perspektif zaman kini. Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa khawatir atau kesal jika ada karya yang muncul dengan perspektif atau sudut pandang yang berbeda dengan pemahaman kita. Tidak perlu pula merasa terancam atau marah jika ada suara yang menggugat tulisan sejarah yang telah kita anggap benar. Sebaliknya, kita harus menerima perbedaan tersebut sebagai bagian dari takdir sejarah itu sendiri, karena sejatinya, perbedaan adalah inti dari dinamika sejarah dan penulisan sejarah itu sendiri.[38]
Warisan Sejarah
suntingPengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[28] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[49] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Referensi
sunting- ^ Indonesia, CNN. "Sejarah Perang Padri di Sumatra Barat dan Kronologinya". edukasi. Diakses tanggal 2025-04-30.
- ^ Puspasari, Setyaningrum (2022-07-20). "Sejarah Perang Padri: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak". kompas. Diakses tanggal 2025-04-30.
- ^ Sjafnir Aboe Nain, 2004, Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
- ^ The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.
- ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
- ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
- ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.
- ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
- ^ a b Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
- ^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- ^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
- ^ H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
- ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
- ^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
- ^ Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
- ^ Sejarah. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.
- ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
- ^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
- ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
- ^ Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
- ^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
- ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
- ^ Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
- ^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
- ^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- ^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
- ^ a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
- ^ Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol Diarsipkan 2018-02-25 di Wayback Machine..
- ^ Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
- ^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
- ^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
- ^ a b c Hadler, Jeffrey (2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History". The Journal of Asian Studies (dalam bahasa Inggris). 67 (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401. Halaman 986-989, 1002
- ^ IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.
- ^ IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.
- ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc Asnan, Gusti (2023). 200 tahun Perang Padri: historiografi dan re-rekonstruksi lanskap baru sejarah Minangkabau. Tanda Baca. ISBN 978-623-5869-17-9.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p https://sejarahsumatra.com/historiografi-perang-padri/
- ^ Radjab, Muhamad (2019). Perang Padri di Sumatra Barat (1803-1838). Balai Pustaka & Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-260-205-7.
- ^ https://pustaka.fisip.unand.ac.id/index.php?p=show_detail&id=98542&keywords=
- ^ https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/29/Republik_Indonesia%2C_Propinsi_Sumatera_Tengah.pdf
- ^ a b Parlindungan, Mangaraja Onggang (2007-01-01). Tuanku Rao. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 978-979-97853-3-6.
- ^ Basa, Bahar Dt Nagari (1966). Tambo dan silsilah adat alam Minangkabau: dalam Bahasa Minangkabau dan Bahasa Indonesia. Eleonora.
- ^ Djaja, Tamar (1951). Pusaka Indonesia: (orang-orang besar tanah air). G. Kolff.
- ^ a b Hamka (1974). Antara fakta dan khayal "Tuanku Rao": bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao". Bulan Bintang. ISBN 9799793708552.
- ^ "Kontroversi Kepahlawanan Paderi Kembali Mengemuka". NU Online. Diakses tanggal 2025-05-10.
- ^ "Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri". Tempo. 15 Oktober 2007 | 00.00 WIB. Diakses tanggal 2025-05-10.
- ^ Harahap, Basyral Hamidy (2007). Greget Tuanku Rao. Komunitas Bambu. ISBN 978-979-3731-16-2.
- ^ Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
Bacaan lanjutan
sunting- 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
- 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
- 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
- 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
- 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
- 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
- 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.