Tugu Proklamasi

monumen di Indonesia

Tugu Proklamasi adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang berdiri di kompleks Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Taman tersebut berlokasi di bekas kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini bernama Jalan Proklamasi). Rumah yang menjadi lokasi pembacaan proklamasi kemerdekaan kini sudah dihancurkan sejak 1960-an.[1]

Tugu Proklamasi

Pada kompleks juga terdapat monumen dua patung Soekarno-Hatta berukuran besar karya I Nyoman Nuarta yang berdiri berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah proklamasi asli yang diketik oleh Sayuti Melik dan tanda tangan asli Bung Karno dan Bung Hatta.[2]

Sejarah sunting

 
Rumah Proklamasi lengkap dengan Tugu Proklamasi sekitar tahun 1950-1960 di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi). Kedua bangunan tersebut telah dihancurkan dan menjadi bagian dari kompleks Tugu Proklamasi saat ini.

Kompleks Taman Proklamasi terletak di sebidang tanah tempat bekas kediaman Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Presiden Sukarno menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dari teras depan rumah ini. Rumah tersebut kemudian dikenal sebagai Gedung Proklamasi.[3]

Sebelelum dihuni oleh Sokarno dan istri keduannya Inggit Garnasih, rumah tersebut sebelumnya dihuni oleh seorang pejabat dan pengacara Belanda yang bernama Baron van Asbeck sejak 1931 hingga digantikan oleh P. R. Feith pada tahun 1935. Rumah tersebut memiliki halaman yang luas dan arsitektur bergaya Art Deco.[4]

Jadi peruntukan dari (rumah) ini adalah tempat tinggal orang Belanda. Jadi jangan mimpi di sini (rumah proklamasi) ada orang pribumi atau yang dari China, Arab, India, Pakistan, itu gak boleh. Yang boleh (menempati rumah tersebut) hanya orang Belanda.

— Rushdy Hoesein, Sejarawan Yayasan Bung Karno ketika diwawancarai oleh CNN Indonesia

Soekarno menempati rumah tersebut sejak 1942 hingga 1946. Alasan beliau memilih rumahnya sebagai pembacaan teks proklamasi karena pada saat itu Lapangan Ikada (yang kini menjadi kawasan Monumen Nasional) masih diduduki oleh tentara Jepang.[4].

Untuk menandai ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia, sebuah tugu peringatan – dalam bentuk obelisk kecil – dibangun pada tahun 1946 oleh kelompok Ikatan Wanita Djakarta. Tugu peringatan ini, dikenal sebagai Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, dibangun di halaman depan Gedung Proklamasi.[3] Kemudian tugu tersebut dinamai ulang sebagai Tugu Proklamasi.

Sejak saat itu, para pemuda dan pelajar Indonesia mengadakan upacara tahunan untuk merayakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Menyusul pemindahan penuh kedaulatan Indonesia pada tahun 1950, Taman Proklamasi setiap tahun dikunjungi oleh Presiden dan Wakil Presiden Indonesia setiap tahun. untuk meletakkan bunga dan menghormati prajurit yang gugur. Upacara tersebut juga dihadiri oleh tamu dari negara lain.[5]

Sejak 1956, popularitas Taman Proklamasi sebagai tempat berkumpulnya upacara mulai menurun.[6] Terlepas dari anjuran para sesepuh kota agar rumah tersebut direnovasi, pada malam hari tanggal 15 Agustus 1960, Sukarno memerintahkan pembongkaran rumah dan peringatan Tugu Proklamasi.[3] Menurut Sukarno, Tugu Proklamasi sebenarnya adalah Tugu Linggarjati. Pernyataannya tersebut tidak jelas, tetapi tampaknya Sukarno berpikir bahwa baik rumah dan monumen tersebut tidak cukup besar untuk menjadi monumen nasional meskipun signifikansi historisnya cukup penting.[3] Tiga potongan marmer dari Tugu Proklamasi kemudian disimpan di rumah Yos Masdani sebagai kenang-kenangan.[6] Tugu peringatan rencananya akan dibangun kembali pada tahun 1972 di bawah usulan gubernur Ali Sadikin.

Pada 1 Januari 1961, Presiden Sukarno meresmikan pembangunan Tugu Petir, yang kemudian juga dikenal sebagai Monumen Proklamasi kemudian pada tahun 1972, pembangunan Gedung Perintis Kemerdekaan yang modern dimulai.[6] Pada tahun yang sama, Tugu Proklamasi yang dihancurkan sebelumnya dibangun kembali dengan desain serupa.[3]

Pada 17 Agustus 1980, bertepatan pada HUT ke-35 Proklamasi Kemerdekaan RI, monumen terakhir yang ada di Taman Proklamasi, yakni Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta yang berukuran besar, diresmikan oleh Presiden Soeharto.[7]

Pada tahun 2000, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat membongkar Taman Proklamasi untuk melihat bekas pondasi dari rumah Bung Karno dengan tujuan untuk melakukan pengkajian terhadap rumah tersebut jika rumah tersebut akan dibangun kembali. Hingga saat ini sisa dari pondasi rumah Bung Karno masih dapat dilihat warga yang mengunjungi Taman Proklamasi.[4]

Monumen sunting

 
Peletakan karangan bunga di Tugu Proklamasi oleh Presiden Soekarno, 1945.

Terdapat tiga tugu peringatan yang berlokasi di Taman Proklamasi: Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, Tugu Petir, dan Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta. Berikut ini adalah deskripsi dari masing-masing monumen.[8]

Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia sunting

Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia adalah monumen pertama yang dibangun di Taman Proklamasi. Tugu ini diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir selama masa pendudukan sekutu.[9] Tugu peringatan tersebut berbentuk obelisk kecil, dengan tulisan "Atas Oesaha Wanita Djakarta", penggambaran naskah kemerdekaan Indonesia, dan peta Indonesia.[9] Tak lama setelah itu, peringatan itu diganti namanya menjadi Tugu Proklamasi

Tugu Proklamasi diprakarsai oleh beberapa tokoh perempuan Indonesia yang tergabung dalam Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan Wanita Indonesia, diantaranya Johanna "Yos" Masdani Tumbuan, Mien Wiranatakusumah, Zus Ratulangi (putri Sam Ratulangi), Zubaedah, dan Nyonya Gerung. Sketsa tugu peringatan tersebut dibuat oleh Kores Siregar, seorang mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung. Konstruksi tugu ini dimulai pada Juli 1946. Pada malam peresmian tugu tersebut pada pertengahan Agustus, wali kota Jakarta Suwiryo menolak untuk meresmikan tugu tersebut karena masalah keamanan yang dirasakan. Selama waktu peresmian yang diusulkan, sekutu telah menduduki Jakarta dan ada kekhawatiran bahwa sekutu akan memulai pembantaian yang serupa dengan pembantaian Amritsar di India.[9][5]

Terlepas dari kekhawatiran yang dirasakan, para penggagas pembangunan Tugu Proklamasi memutuskan untuk menghubungi perdana menteri Sutan Sjahrir pada sore hari tanggal 16 Agustus 1946 untuk memimpin peresmian tugu tersebut. Sutan Sjahrir bersedia memimpin peresmian dan karena itu ia mengambil penerbangan ke Jakarta dari Yogyakarta untuk meresmikan tugu peringatan tersebut. Tidak ada konflik yang terjadi selama peresmian tugu ini.[9]

Pada 14 Agustus 1960, surat kabar Keng Po melaporkan bahwa Angkatan '45 ingin Tugu Proklamasi, yang disebut sebagai "Tugu Linggarjati", dihancurkan. Menyusul laporan-laporan tersebut, Sukarno memerintahkan pembongkaran Tugu Proklamasi dan Gedung Proklamasi pada malam hari tanggal 15 Agustus 1960. Keadaannya aneh karena Perjanjian Linggarjati berlangsung pada 10 November 1946, sedangkan Tugu Proklamasi diresmikan pada 17 Agustus 1946. Menurut Yos Masdani, pada waktu itu Partai Komunis Indonesia memiliki kekuatan signifikan untuk mengubah sejarah. Doktor Sejarah Rushdy Hoesein menceritakan bahwa Sukarno sengaja menghancurkan rumahnya itu pada 1964. Menurut Rushdy, pilihan itu tanpa diiringi alasan yang jelas. Sementara itu, Sejarawan JJ Rizal mengatakan penghancuran rumah itu sebagai upaya Sukarno melawan feodalisme.[10]

Bersama Maria Ulfah dan Lasmidjah Hardi, Yos lalu menemui Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Dari Soemarno dia menerima marmer bekas Tugu Proklamasi yang bertuliskan “Atas Oesaha Wanita Djakarta” dan tulisan Proklamasi dilengkapi peta Indonesia. Marmer itu sudah pecah menjadi tiga bagian. Pecahan marmer itu lalu dia simpan selama 12 tahun.[9]

Pada tahun 1968, gubernur Jakarta Ali Sadikin mengajukan proposal untuk membangun kembali tugu asli yang dihancurkan oleh Sukarno pada tahun 1960. Proposal ini disetujui dan pada 17 Agustus 1972, Monumen Proklamasi diresmikan kembali pada lokasi aslinya. Peresmian dihadiri oleh banyak tokoh publik dan politik, di antaranya adalah mantan Wakil Presiden Hatta.[9]

Tugu Petir sunting

Tugu Petir atau Tugu Kilat adalah sebuah tiang setinggi 17 meter (56 ft) yang di atasnya terdapat simbol petir. Monumen peringatan ini menandai tempat di mana Sukarno berdiri sambil membaca teks proklamasi. Di dasar monumen tersebut terdapat tulisan logam "di sinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta"[1] Petir melambangkan gemuruh proklamasi kemerdekaan Indonesia.[11]

Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta sunting

Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta menggambarkan dua patung perunggu Sukarno dan Hatta berdiri berdampingan. Setiap patung memiliki berat 1.200 kilogram (2.600 pon), dan tinggi 46 meter (151 ft) serta 43 meter (141 ft). Postur patung tersebut diambil dari dokumentasi foto ketika proklamasi pertama kali dibaca. Keduanya mengapit lempengan batu perunggu berukuran 196 cm x 290 cm, dengan berat 600 kilogram (1.300 pon); lempengan tersebut menggambarkan manuskrip proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada latar belakang patung-patung tersebut terdapat patung-patung monolitik bernomor 17, dengan yang tertinggi adalah 8 meter, dengan 45 tonjolan di air terjunnya, melambangkan tanggal 17 Agustus 1945. [12] Monumen ini diresmikan pada 17 Agustus 1980.[6]

Galeri sunting

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Woro Miswati 2011, hlm. 49.
  2. ^ Batubara, Puteranegara (18 Agustus 2018). "Tugu Proklamasi, Riwayatmu Kini..." Okezone.com. Diakses tanggal 18 Agustus 2019. 
  3. ^ a b c d e Merrillees 2015, hlm. 44.
  4. ^ a b c Sejarah Robohnya Rumah Proklamasi #JelajahKemerdekaan, diakses tanggal 2022-08-05 
  5. ^ a b Farrel M. Rizq 2009, hlm. 63.
  6. ^ a b c d Farrel M. Rizq 2009, hlm. 64.
  7. ^ Andy Pribadi, ed. (9 Agustus 2016). "Tugu Proklamasi sebagai Tonggak Sejarah Kemerdekaan Indonesia". Tribunnews.com. Diakses tanggal 18 Agustus 2019. 
  8. ^ Nur Janti. "Jatuh Bangun Tugu Proklamasi". Historia.id. Diakses tanggal 18 Agustus 2019. 
  9. ^ a b c d e f Woro Miswati 2011, hlm. 50.
  10. ^ "Kesepian di Tugu Proklamasi Saat HUT ke-74 RI". CNN Indonesia. 17 Agustus 2019. Diakses tanggal 18 Agustus 2019. 
  11. ^ Farrel M. Rizq 2009, hlm. 62.
  12. ^ Farrel M. Rizq 2009, hlm. 61–2.

Bacaan lebih lanjut sunting

Pranala luar sunting