Orang Numidia atau bangsa Numidia adalah populasi orang Berber[1] yang dulunya berada di Numidia (Aljazair dan sebagian kecil dari Tunisia dan Maroko). Orang Numidia merupakan salah satu dari suku-suku Berber yang paling awal berdagang dengan para pemukim Kartago. Seiring dengan berkembangnya Kartago, hubungan mereka dengan orang Numidia juga berkembang. Militer Kartago menggunakan jasa Kavaleri Numidia sebagai tentara bayaran. Numidia menyediakan beberapa kavaleri berkualitas terbaik pada Perang Punik Kedua dan kavaleri Numidia berperan penting dalam sejumlah pertempuran, baik di awal ketika mendukung Hannibal maupun di akhir ketika beralih haluan ke pihak Republik Romawi.

Dua wilayah Numidia yang dikuasai oleh Sifaks dan Gala sebelum terjadinya unifikasi

Sejarah sunting

Pada saat berlangsungnya Perang Punik, Sifaks merupakan raja dari kerajaan Numidia terbesar, yaitu Masaesyli. Pada tahun 213 SM, Sifaks mengakhiri persekutuannya dengan Kartago. Pada tahun 208 SM, dia kembali bersekutu setelah menikahi Sofonisba, putri dari Hasdrubal Gisco.

Pada saat berlangsungnya Perang Punik Kedua, Sifaks menuntut perdamaian antara Hannon Barca dan Publius Cornelius Scipio setelah pasukan Romawi mendarat di Afrika. Dengan bantuan Masinissa, raja Massylii yang memusuhi Masaesyli, pasukan yang dipimpin Publius Scipio membakar perkemahan Sifaks pada Pertempuran Utica. Sebagai imbalan atas bantuannya dalam meraih kemenangan atas Kartago, Masinissa mendapatkan bekas wilayah yang dimiliki Sifaks sehingga memperluas wilayah yang dikuasainya. Setelah itu, Masinissa mempersatukan orang-orang Amazigh menjadi bangsa yang bersatu yang mengandalkan industri pertanian.

Setelah berakhirnya Perang Punik Kedua, perjanjian damai antara Kartago dan Romawi menghalangi Kartago untuk mengikuti peperangan apapun tanpa izin dari Romawi. Perjanjian tersebut dimanfaatkan oleh Masinissa untuk merebut tanah milik Kartago. Dia melakukan berbagai cara dalam merebutnya, termasuk menyatakan bahwa Kartago tengah membangun kembali angkatan lautnya meskipun perjanjian melarang hal tersebut. Ketika Kartago mengajukan banding, Marcus Porcius Cato dikirim bersama dengan suatu komisi untuk menengahi penyelesaian. Komisi tersebut bersikeras agar kedua pihak setuju dengan keputusan akhir mereka. Masinissa menyetujuinya, namun pihak Kartago menolak karena keputusan tersebut sangat tidak menguntungkan mereka. Penolakan yang dilakukan Kartago meyakinkan Cato, yang pernah mengabdi sebagai Legiun Romawi pada Perang Punik Kedua, bahwa Perang Punik Ketiga diperlukan. Cato menyampaikan serangkaian pidato dihadapan senat yang seluruhnya berakhir dengan ucapan "Ceterum censeo Carthaginem esse delendam" (Selain itu, menurut hemat saya, Kartago harus dihancurkan).[2]

Sekelompok senator Kartago mendukung adanya perjanjian damai dengan orang Numidia. Kelompok itu merupakan minoritas, karena sebagian besar penduduk Kartago tidak ingin tunduk kepada orang Numidia dulunya tunduk kepada mereka. Kelompok yang berpihak dengan Numidia pun diasingkan. Selama pengasingan, mereka pergi kepada Masinissa untuk meminta pertolongan. Masinissa mengutus kedua putranya ke Kartago agar kelompok pro-Numidia tersebut diperbolehkan untuk kembali. Namun, Carthalo, pemimpin kelompok demokratis yang menentang pencaplokan yang dilakukan Numidia, menghadang mereka. Kemudian, Hamilcar yang berasal dari kelompok yang sama mengirim beberapa orang untuk menyerang putra-putra Masinissa itu.

Masinissa kemudian mengirimkan pasukannya untuk mengepung kota Oroscopa yang dikuasai Kartago, namun dipukul mundur oleh pasukan Kartago yang dipimpin oleh Hasdrubal. Kedua putra Masinissa ditawan. Hal ini menjadi alasan kuat bagi Romawi untuk menyerang Kartago. Pada tahun 149 SM, Masinissa meninggal karena usia tua. Kematiannya terjadi ketika Perang Punik Ketiga tengah berlangsung. Micipsa, putra sulung Masinissa, menjadi raja kedua Numidia.

Peperangan sunting

Orang Numidia mempraktikkan jenis peperangan yang selalu bergerak. Mereka dikenal karena memiliki kavaleri yang cepat dan menggunakan taktik serang dan kabur.[3] Di bawah bimbingan Romawi, mereka belajar bertempur sebagai pasukan infanteri, seperti membentuk barisan dan bergerak maju bersama, serta membangun benteng, walaupun mereka tak pernah meninggalkan keahlian mereka dalam serangan jarak jauh dan bergerak mundur.[4] Mereka juga menurunkan gajah perang di medan pertempuran seperti halnya yang dilakukan Kartago.[4]

Baik pasukan infanteri dan kavaleri Numidia bersenjata ringan. Perlengkapan mereka juga disesuaikan dengan tingkat ekonomi pengguna. Mereka memilih lembing sebagai senjata jarak jauh, sedangkan dalam pertarungan jarak dekat mereka menggunakan pedang dan belati yang disediakan oleh ataupun diambil dari pasukan Romawi. Mereka tak mengenakan zirah apapun dan hanya menggunakan perisai kulit berbentuk bulat untuk melindungi diri.[3][4] Setidaknya sejak masa Perang Numantia, orang Numidia juga memiliki pasukan pemanah dan pengumban yang diturunkan untuk membantu gajah-gajah perang mereka.[4]

Yulius Kaisar pernah mencatat mengenai taktik berpura-pura mundur yang dilakukan kepada pasukannya oleh orang Numidia yang mengkombinasikan infanteri ringan dan kavaleri. Mereka akan menyerang secara bersamaan, lalu kavaleri akan mundur dan meninggalkan rekan-rekan mereka. Ketika musuh sedang mengejar, maka kavaleri mereka akan berputar balik dan menyerang ketika musuh lengah.[4]

Catatan kaki sunting

  1. ^ Simon Hornblower; Antony Spawforth; Esther Eidinow (29 Maret 2012). The Oxford Classical Dictionary. OUP Oxford. hlm. 1026. ISBN 978-0-19-954556-8. 
  2. ^ Plutarkhos, Life of Cato
  3. ^ a b Fields, Nic (2017). Lake Trasimene 217 BC: Ambush and annihilation of a Roman army. Bloomsbury Publishing. hlm. 35. ISBN 9781472816337. 
  4. ^ a b c d e Horsted, William (2021). The Numidians 300 BC–AD 300. Bloomsbury Publishing. hlm. 3–10. ISBN 9781472842176. 

Daftar pustaka sunting

  • Lazenby, J. F. (1978) Hannibal's War: A Military History of the Second Punic War. London: Aris & Phillips ISBN 9780856680809
  • Warmington, B. H. (1993) Carthage, A History. New York: Barnes and Noble. ISBN 9781566192101