Sastra Tiongkok

(Dialihkan dari Sastra Tionghoa)

Sastra Tionghoa atau Sastra Tiongkok telah berumur lebih dari 3400 tahun dimulai sejak peninggalan tertulis di Tiongkok ditemukan pada zaman Dinasti Shang.

Namun sastra Tiongkok mengalami peningkatan pesat mulai pada zaman Dinasti Zhou tepatnya di Zaman Musim Semi dan Gugur. Di zaman ini, mulai banyak ditulis karya-karya sastra baik bertema filsafat maupun tema-tema lain berbentuk puisi atau esai.

Ujian Kesustraan dalam sejarah Tiongkok sunting

Bangsa Tionghoa sampai tahun 1904 dipengaruhi dengan ujian kesustraan atau disebut juga Ujian Nasional/Ujian Kenegaraan.[1] Berhasil lulus Ujian Nasional adalah kunci agar bisa mendapat pekerjaan yang baik dalam pemerintahan. Dalam Ujian Nasional, soal-soal ujian adalah kesusastraan Tionghoa, yaitu filsafat, sejarah, sajak serta perundingan yang berat-berat. Dengan runtuhnya dinasti tradisional Tiongkok, pada tahun 1905 Ujian Nasional dihapuskan.

Kategori sastra fiksi dan nonfiksi sunting

Menurut Lin Yu-tang terdapat dua jenis sastra, sastra berisi pengajaran dan sastra yang berisi hiburan. Sastra yang berisi ajaran-ajaran lebih dihargai oleh bangsa Tionghoa karena ada unsur-unsur yang dapat memajukan pikiran dan akhlak rakyat. Sastra jenis ini antara lain filsafat sejarah dan sajak. Sastra golongan hiburan adalah karangan berupa novel dan cerita fiksi.

Kategori non-fiksi sunting

  • Sajak
  • Catatan sejarah
  • Perundingan-perundingan tentang sejarah

Novel dan karangan yang bersifat fiksi sunting

Walaupun novel dan fiksi adalah sumber-sumber sastra yang terutama bagi banyak bangsa di dunia, tetapi sebaliknya sebelum abad ke-20, bagi bangsa Tionghoa karya-karya seperti ini bernilai rendah dan dianggap tidak bermutu. Dalam Bahasa Tionghoa novel disebut Xiaoshuo (Bahasa Hokkian: "Siau-suat") yang berarti “omong kecil”.[1] Karya ini sifatnya tidak serius, bahkan tidak dipandang sebagai bentuk sastra.

Walau demikian, jumlah novel dan fiksi Tiongkok terhitung sangat banyak jumlahnya, dan semenjak abad ke-20 telah banyak perhatian terhadap bentuk karya sastra ini terutama dari orang-orang asing. Karya novel dan fiksi dahulu tidak dibaca secara terbuka, melainkan dengan sembunyi-sembunyi. Karena masyarakat umum memandang rendah novel dan cerita fiksi menyebabkan sering kali di dalam karya-karya semacam itu tidak tertulis siapa pengarangnya.[1]

Sejarah sunting

Sejarah Sastra Tiongkok telah dimulai sejak zaman purba.[2] Menurut sastrawan Lu Hsun sastra Tionghoa dalam bentuk paling sederhana dimulai ketika kata-kata digunakan untuk menyuarakan perasaan atau menyampaikan kejadian atau peristiwa. Kata-kata itu beredar dari mulut ke mulut sepanjang masa. Menurut Hu Huai Chen, bentuk-bentuk sastra Tionghoa versi sederhana yang tidak tercatat telah ada ketika manusia belum mengenal tulisan.

Zaman purba sampai Dinasti Shang (2070—1046 SM) sunting

Orang Tionghoa pada zaman purba sebelum menemukan tulisan hanya dapat mengutarakan sajak dan nyanyian dengan mulut yang diceritakan dari satu orang kepada orang lain.[2]

Aksara Tionghoa dalam bentuk yang paling awal diketahui dari penemuan ideogram yang diukir di atas tulang atau tempurung. Ideogram itu menuliskan simbol-simbol yang melambangkan matahari, bulan, bintang, manusia, pohon, api dan sebagainya.

Setelah sajak dan nyanyian ini dicatat menggunakan simbol berupa huruf-huruf barulah dituliskan hal-hal tersebut menjadi karya sastra. Inspirasi awal yang menjadi sastra di samping perasaan dan berbagai peristiwa dalam kehidupan rakyat juga ada pula kepercayaan terhadap dewa-dewi yang menjadi dongeng-dongeng penciptaan.

Sastra berupa sajak-sajak orang dari Zaman Shang (1600—1046 SM) adalah Kitab Nyanyian (Shijing). Kitab ini berisi sajak yang banyak menceritakan kehidupan tentang petani dan pekerjaan di sawah, selain itu ada pula lagu untuk tari-tarian dan upacara.

Dinasti Zhou (1066 SM - 221 SM) sunting

Rakyat zaman Dinasti Zhou dikenal menghargai sastra, berbeda dengan rakyat pada zaman sebelumnya. Untuk mengetahui keadaan rakyat, kaisar pada zaman ini mengangkat beberapa orang sebagai “pemetik sajak”, yang tugasnya mengumpulkan sajak dan mencatat lagu-lagu rakyat. Melalui sajak-sajak dan lagu rakyat, kaisar Zhou dapat mengetahui kebahagiaan dan kesusahan yang dialami oleh rakyatnya. Koleksi sajak dan lagu ini pada saat Kong Zi hidup, telah melebihi 3000 buah. Sajak-sajak tersebut disunting dan dibukukan oleh Kong Zi dalam judul "Shijing".[2]

Zaman Musim Semi dan Musim Gugur (tahun 778 SM - 475 SM) sunting

Konfusius dan Lima Kitab sunting

Konfusius (dari Bahasa Inggris "Confucius"), Kong Zi (dari Bahasa Mandarin) atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan Kong Hu Cu (dari lafal Bahasa Hokkian) dianggap sebagai bapak sastra Tiongkok. Ia dilahirkan pada tahun 551 SM. Dalam sepanjang kehidupannya baik itu ketika menjabat pegawai pemerintahan atau ketika ia mengembara dalam pengasingan, telah menulis banyak karya sastra yang hingga kini dianggap sebagai adikarya sastra Tionghoa.[2]

Karena sedih menyaksikan peperangan pada zaman Zhou yang menyengsarakan kehidupan rakyat, Kong Zi berkeliling negeri untuk menawarkan pengajaran kepada pemerintah-pemerintah negara tersebut, tetapi tidak dihiraukan. Karena kecewa, Kong Zi kembali ke Negara Lu, kampung halamannya. Sambil mengajar, Kong Zi mengumpulkan buku-buku filsafat tua, menyunting dan kemudian menyebarluaskannya. Buku-buku itu antara lain Shijing, Shangshu, Yijing, Chunchiu, Lichi dan sebagainya.

Zaman Negara Berperang (475 SM - 221 SM) sunting

Periode yang kacau pada saat Zaman Negara Berperang melahirkan beberapa tokoh-tokoh filsafat antara lain Mo Ti dan Han Fei. Karya sajak yang berasal dari zaman ini antara lain Chu Tzu (Sajak Chu) yang berisi kumpulan-kumpulan sajak Negara Chu. Pada periode ini juga hidup negarawan dan penyajak terkenal bernama Chu Yuan (343 SM - 339 SM), seorang perdana menteri dari negara Chu. Perdana menteri ini dikenal sebagai penulis sajak panjang berjudul Li Sao (Jatuh Dalam Kesukaran) dan Tien Wen (Cangkriman-cangkriman) dua karya besar yang menjadi pedoman bagi sastrawan Tionghoa pada zaman-zaman berikutnya. Penyajak besar lain yang lahir dari zaman ini adalah Sung Yu (290 SM – 222 SM).

Pada periode ini juga pertama kali lahirnya cerita-cerita karangan dan novel. Selain pemetik sajak yang bertugas mengumpulkan sajak dan lagu rakyat, pemerintah Zhou juga menugaskan pencatat cerita yang datang ke tengah-tengah rakyat untuk melaporkan kepada pemerintah mengenai cerita-cerita populer. Cerita-cerita rakyat itu berupa dongeng atau mitos. Hsu Cheng menyusun San-wu Li Chi yang berisi tentang penciptaan dunia. dongeng penciptaan lain tertulis dalam Lieh tze. Karya berisi dongeng yang paling terkenal adalah Shan Hai Jing (Kitab Gunung dan Laut), yang sampai sekarang dianggap sebagai karya novel Tiongkok tertua. Berdasarkan judulnya, orang mengira Shan Hai Jing adalah buku geografi. Walaupun banyak menuliskan tentang gunung-gunung dan sungai, nyatanya tempat-tempat itu dikaitkan dengan berbagai dongeng dan cerita yang tidak nyata. Cerita-cerita ini merupakan gambaran akan niat kuat nenek moyang bangsa Tionghoa dalam menaklukkan alam dan menghadapi rintangan.

Dinasti Qin (221 SM - 206 SM) sunting

Dinasti Qin yang berkuasa 15 tahun sangat terkenal dalam periode sejarah Tiongkok sebagai pemerintahan yang membakar buku-buku sastra. Kaisar Shi Huang Ti yang takut akan pengaruh kaum terpelajar melakukan eksekusi terhadap 440 orang sarjana. Hanya satu tokoh sastra yang dikenal dari periode ini, yakni Li Sze, perdana menteri kaisar. Pembakaran buku dan eksekusi sastrawan konon dibisikkan oleh Li Sze.

Dinasti Han (208 SM – 220 M) sunting

Pada zaman Dinasti Han, berbagai karya-karya sastra yang sebelumnya musnah karena dibakar pada zaman Dinasti Qin, kembali disusun. Sarjana-sarjana dan tokoh sastra saling membantu mengumpulkan kembali catatan dan buku-buku sastra, menyalin dan membukukan sastra ke bentuk yang semula. Perpustakaan kerajaan didirikan kembali. Karya sejarah yang ditulis pada zaman ini antara lain Sejarah Dinasti Han dan Shizhi. Tokoh sastra terbesar dari periode dinasti ini adalah Sima Qian, yang menuliskan kitab sejarah Tiongkok yang pertama, Shizhi.

Sima Qian dianggap sebagai Bapak Sejarah, dilahirkan pada tahun 145 SM. Pada usia yang sangat muda lulus sebagai sarjana. Di usia yang ke-20 ia mulai berkelana ke seluruh negeri. Setelah ayahnya meninggal, ia mulai bekerja sebagai ahli astronomi. Hal-hal yang ia lakukan antara lain memperbaiki sistem penanggalan, kemudian melanjutkan penelitian sejarah yang sebelumnya dilakukan ayahnya. Penelitian sejarah itu kemudian ia tuliskan ke dalam buku Catatan Sejarah Agung. Buku ini berisi sejarah Tiongkok yang dimulai dari zaman purba sampai sekitar saat ia hidup, seratus tahun sebelum Masehi. Terbagi ke dalam 130 bab dan mengulas 5 intisari penting sejarah Tiongkok.

Dinasti Tang (618–907) sunting

Dinasti Tang yang menguasai Tiongkok sekitar 300 tahun, sampai sekarang paling dikenal akan keindahan sajak-sajaknya. Sajak Tang diwariskan sebagai bacaan sajak terbaik bagi rakyat Tionghoa dari zaman ke zaman. Menurut Herbert Giles, sajak Tionghoa meski telah ditulis sejak lama, ia baru mengalami penyempurnaan pada zaman Tang. Sajak merupakan tema sosial budaya yang penting dalam kehidupan masyarakat Tang.[3]

Kumpulan Lengkap Sajak Dinasti Tang yang diterbitkan atas perintah Kaisar Dinasti Qing pada tahun 1707, berisi 48.900 sajak berbagai jenis, ditulis ke dalam 900 buah buku, 30 volume. Sajak sajak Tang dapat dikategorikan ke dalam 3 periode berdasarkan waktu ditulisnya, “Awal”, “Kejayaan”, dan “Akhir”. Masing-masing periode juga ditandai dengan kualitas sajak yang dihasilkannya. Secara kualitas periode tengah dianggap sebagai era keemasan, lalu pada akhirnya secara bertahap menurun.

Zaman Lima Dinasti (907-960) sunting

Zaman Lima Dinasti dimulai setelah Dinasti Tang runtuh pada tahun 907. Kekacauan-kekacauan dalam periode ini tidak membantu perkembangan sastra.

Dinasti Song (960-1279) sunting

Walaupun Dinasti Song bukan kerajaan yang kuat dalam bidang militer, tetapi dalam bidang sastra, kerajaan ini banyak melahirkan sastrawan besar Tiongkok. Dinasti ini pun terkenal akan sajak-sajaknya. Sajak Song ditulis oleh para sastrawan yang juga berperan sebagai negarawan. Di periode Song Utara muncul penulis sajak yang bernama Su Shih atau Su Tung-po (1036-1101). Gaya sajak Su Tung-po disebutkan seperti "awan yang melayang dan air yang mengalir". Ia meminjam pemandangan-pemandangan alam untuk memberi nafas pada sajak-sajaknya. Ia menginginkan penyatuan dengan alam.

Penyair wanita Li Ching Chao (1018-1145) dikenal akan sajak-sajak yang ditulis dalam masa-masa keruntuhan kerajaan Song karena serbuan bangsa Chin. Sajak-sajak lainnya yang berasal dari masa perang ini penuh dengan tema patriotisme dan keinginan agar kerajaan Song bangkit dari kekalahan. Sajak-sajak patriotisme Lu Yu (1125-1210) dan Hsin Chi-chi ditulis pada periode Song Selatan. Sajak menjadi turun kepopulerannya ketika rakyat negara ini mulai menggemari cerita-cerita dan opera. Opera-opera Song adalah fondasi bagi opera-opera di periode berikutnya. Opera-opera ini berakar dari kisah-kisah yang diceritakan oleh para tukang cerita (hua-pen). Walaupun hua-pen telah ada sejak zaman Tang, tetapi baru pada zaman Song pekerjaan berkisah menjadi profesi yang sangat populer. Zaman Song telah mewariskan Empat Buah Cerita hua-pen ke dalam khazanah Sastra Tionghoa.

Dinasti Yuan (1279–1368) sunting

Kesusastraan Tiongkok dalam bentuk novel, sajak dan sandiwara mengalami perkembangan pesat sejak periode dinasti Yuan (1279-1368). Status sosial berubah drastis pada periode ini karena Ujian Nasional yang berguna untuk mendapatkan orang-orang yang cakap duduk di pemerintahan dihapuskan oleh pemerintah. Saat ini para sarjana, sastrawan dan orang-orang pandai telah jatuh status sosialnya, bahkan hampir disamakan dengan pelacur atau gelandangan. Kaum terpelajar tidak bisa lagi ikut serta dalam bidang pemerintahan negara. Banyak di antara mereka yang frustrasi beralih ke bidang seni, khususnya opera atau sandiwara.

Dinasti Ming (1368–1644) sunting

Sejak awal pendirian dinasti, Kaisar Ming telah memulai kembali upaya mengembalikan kejayaan sastra dan pendidikan Tionghoa yang hancur pada zaman Yuan. Ia menyusun sistem ujian nasional dengan baik yang kemudian menjadi dasar sistem ujian sampai awal 1900-an. Pada tahun 1369 ia menunjuk Sung Lien sebagai pemimpin proyek penulisan sejarah Dinasti Mongol. Novel ditulis dalam yang cukup banyak di periode Ming, tetapi nama-nama pengarangnya banyak yang tak diketahui. Bentuk opera Tionghoa telah mantap pada periode Ming. Tema-tema opera dapat berkisar dari cerita Tiongkok maupun dari luar negeri. Tidak hanya kaum bangsawan, sarjana dan rakyat jelata pun menyukai opera.

Pada saat Dinasti Ming, novel menjadi sangat populer. Dari periode Ming muncul 4 sastra yang terkenal, yakni "Empat Karya Sastra Termasyhur Tionghoa yaitu; Kisah Tiga Negara, Batas Air, Perjalanan ke Barat dan Jin Ping Mei. Pada versi lain Empat Karya Sastra Termasyhur Jin Ping Mei digantikan dengan Impian di Bilik Merah.

Dinasti Qing (1644–1911) sunting

Dinasti Ming runtuh tahun 1644 dan digantikan oleh penguasa Manchu yang mendirikan Dinasti Qing. Bagaimanapun juga sastra rakyat Tionghoa yang telah bertahan selama 20 abad tersebut tidak mengalami kemunduran walau Tiongkok diperintah oleh penguasa dengan bahasa dan tulisan yang berbeda. Pada awalnya memang tidak terlihat ada kemajuan. Baru pada masa pemerintahan dua orang Kaisar Qing sastra Tionghoa mengalami kemajuan yang sangat pesat, antara lain dalam bidang penulisan sejarah.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c Nio, Joe-lan (1966). Sastra Tiongkok Sepintas Lalu. Jakarta: Gunung Agung. 
  2. ^ a b c d (Inggris)A History of Chinese Literature, by Herbert A. Giles, gutenberg. 2015-09-22.
  3. ^ (Indonesia)Sajak Dinasti Tang yang Cemerlang Diarsipkan 2015-10-31 di Wayback Machine., indonesian.cri.cn. 2015-09-08