Allah (Kristen)

konsep keilahan dalam agama Kristen
(Dialihkan dari Allah (Kekristenan))

Allah menurut sebagian Kekristenan adalah Wujud Mulia Raya Mahakekal yang mencipta dan memelihara segala sesuatu.[1][2][3][4] Umat Kristen percaya bahwa Allah itu transenden (sepenuhnya lepas dan terpisah dari jagat bendawi) sekaligus imanen (melibatkan diri di dalam jagat bendawi).[5][6] Ajaran-ajaran Kristen tentang imanensi Allah, keterlibatan Allah, dan cinta kasih Allah kepada umat manusia memungkiri keyakinan akan kesehakikatan Allah dengan jagat ciptaan-Nya,[7] tetapi meyakini bahwa hakikat keilahian Allah manunggal dengan kodrat kemanusiaan di dalam pribadi Yesus Kristus melalui peristiwa yang disebut "inkarnasi".

Troitsa, ikon Tritunggal Mahakudus karya Andrei Rublev, sekitar tahun 1400

Fikrah Kristen purba tentang Allah terjabarkan di dalam surat-surat Paulus maupun di dalam syahadat-syahadat Kristen,[4][8][9] yang menandaskan kemahaesaan Allah serta keilahian Yesus.[a][2][11][12][13] Meskipun beberapa sekte Kristen Purba, misalnya kaum Ebioni, golongan sempalan Kristen Yahudi, menggugat apoteosis Yesus,[14] konsep bahwa Yesus itu satu dengan Allah diterima umat Kristen dari bangsa-bangsa non-Yahudi yang lebih banyak jumlahnya.[15] Inilah titik anjak perbedaan pandangan umat Kristen dari bangsa-bangsa non-Yahudi tentang Allah dari ajaran-ajaran Yahudi pada masa itu.[12]

Wacana teologis seputar atribut-atribut atau sifat-sifat hakiki Allah sudah mencuat semenjak awal sejarah Kekristenan. Pada abad ke-2, Ireneus mengemukakan di dalam risalahnya bahwa "kemahabesaran Allah tidak kekurangan apa-apa, malah mewadahi segala-galanya".[16] Pada abad ke-8, Yohanes dari Damsyik menjabarkan delapan belas sifat hakiki Allah yang berterima luas sampai sekarang.[17] Seiring bergulirnya waktu, para teolog Kristen menghasilkan daftar-daftar sifat hakiki Allah yang sistematis. Ada yang mengacu kepada pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab (misalnya doa Bapa Kami yang menyatakan bahwa Sang Bapa berada di surga), dan ada pula yang berlandaskan penalaran teologis.[18][19] Kerajaan Allah adalah frasa yang menonjol di dalam injil-injil sinoptis, dan kendati hampir semua sarjana sepakat bahwa frasa tersebut merupakan unsur utama dari ajaran-ajaran Yesus, tidak banyak mufakat yang tercapai di kalangan sarjana sehubungan dengan tafsir yang benar-benar tepat dari frasa tersebut.[20][21]

Artikel ini mengutamakan pembahasan tentang Allah dari sudut pandang Kekristenan versi Konsili Nikea. Meskipun tidak memuat doktrin resmi mengenai Tritunggal seperti Syahadat Nikea, Kitab Suci Perjanjian Baru "berulang kali berbicara tentang Bapa, Putra, dan Roh Kudus... dengan cara yang mengarahkan orang menuju pemahaman tentang Allah yang Tritunggal." Tritunggal bukanlah triteisme, karena tidak menyiratkan keberadaan tiga ilah terpisah.[22] Sekitar tahun 200, Tertulianus merumuskan salah satu versi doktrin Tritunggal yang meneguhkan keilahian Yesus secara gamblang dan nyaris separipurna doktrin Tritunggal definitif yang dirumuskan Konsili Ekumene tahun 381.[23][24] Secara ringkas, boleh dikata doktrin Tritunggal adalah ajaran bahwa "Allah Yang Mahaesa itu wujud di dalam Tiga Pribadi Yang Sehakikat, yakni Pribadi Allah Bapa, Pribadi Allah Putra, dan Pribadi Allah Roh Kudus."[25][26] Para penganut doktrin Tritunggal, yang merupakan golongan mayoritas di dalam Kekristenan, menjunjung tinggi doktrin ini sebagai inti sari iman mereka,[27][28] sementara denominasi-denominasi yang memungkiri doktrin Tritunggal memaknai Bapa, Putra, dan Roh Kudus dengan berbagai macam cara.[29]

Pengantar: istilah "Allah"

sunting
 
Kamus Belanda-Melayu pertama yang disusun A.C. Ruyl, Justus Heurnius, dan Caspar Wiltens (terbit tahun 1650) mencantumkan kata "Allah" sebagai padanan kata Belanda "Godt"

Umat Kristen di Indonesia dan Malaysia menggunakan kata "Allah" sebagai terjemahan kata bahasa Ibrani Elohim (אֱלֹהִים, elohím) dan kata-kata serupa di Perjanjian Lama serta kata bahasa Yunani Theos (θεός, theós) dan kata-kata serupa di Perjanjian Baru pada Alkitab-Alkitab terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia (keduanya merupakan bentuk baku dari bahasa Melayu dan bahasa resmi di negara terkait), terutama dalam Alkitab Terjemahan Baru yang dipakai oleh Gereja-Gereja denominasi Kristen arus utama (termasuk Gereja Katolik) di Indonesia. Pelafalannya juga menggunakan pelafalan [ˈʔalah] (seperti mengucapkan "alah") alih-alih pelafalan [ʔɑɫːɑːh].

Penggunaan kata "Allah" dapat ditelusuri keberadaannya sejak penggunaannya pada zaman pra-Islam oleh bangsa Arab.[30] Umat berbagai agama samawi yang menuturkan bahasa Arab sama-sama menggunakan kata "Allah" sebagai sebutan bagi Sang Sembahan menurut keyakinan masing-masing.[31] Kata "Allah" secara khusus digunakan umat Islam (Arab maupun non-Arab) dan umat Kristen Arab,[32] tetapi juga digunakan oleh umat Sabi'ah, umat Babiyah, umat Baha'i, umat Yahudi Sefardi, umat Kristen Malta, dan umat Kristen Indonesia.[31][33][34][35] Penggunaan nama "Allah" oleh umat Kristen dan umat Sikh di Semenanjung Malaka telah menyulut kontroversi hukum dan politik.[36][37][38][39]

Sejarah penggunaan kata "Allah" di tengah kalangan umat Kristen Indonesia dapat ditelusuri jauh pada waktu masuknya Kekristenan di Nusantara, terutama pada penggunaan kata tersebut oleh Fransiskus Xaverius saat menerjemahkan nas-nas Alkitab ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-16.[40][41] Di dalam kamus bahasa Belanda–Melayu pertama yang disusun Albert Cornelius Ruyl, Justus Heurnius, dan Caspar Wiltens pada tahun 1650, kata "Allah" dicantumkan sebagai padanan kata Belanda Godt.[42]

Latar belakang

sunting

Sama seperti umat Yahudi dan Islam, umat Kristen mengaitkan diri dengan Abraham, bapa leluhur yang kepadanya Allah menyatakan diri. Abraham diyakini sebagai orang pertama yang percaya akan kemahaesaan Allah dan menjalin hubungan ideal dengan Allah. Agama-agama Abrahamik meyakini bahwa Allah berinteraksi dengan keturunan Abraham selama beribu-ribu tahun. Perjanjian yang diikat Allah dengan keturunan Abraham termaktub di dalam Alkitab Ibrani, yang dikenal umat Kristen sebagai Kitab Suci Perjanjian Lama.[43] Di dalam tafsir tradisional Kristen, Allah senantiasa hanya dirujuk dengan kata sandang maskulin.[44]

Perkembangan teologi tentang Allah

sunting

Selayang pandang

sunting
 
Folio naskah Papirus 46 yang memuat salinan nas 2 Korintus 11:33–12:9, diperkirakan berasal dari rentang waktu antara tahun 175 sampai 225 Masehi

Pandangan-pandangan Kristen purba mengenai Allah (sebelum injil-injil ditulis) tercermin di dalam pernyataan Rasul Paulus di dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Kristen di Korintus (1 Korintus 8:5–6), yang diperkirakan ditulis dalam rentang waktu antara tahun 53 sampai tahun 54, kira-kira dua puluh tahun sesudah Yesus disalibkan:[12]

Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.

Selain menandaskan kemahaesaan Allah, pernyataan Rasul Paulus tersebut (kemungkinan besar berlandaskan pernyataan-pernyataan iman Kristen yang sudah terumuskan sebelum Paulus masuk Kristen) juga mengandung unsur-unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Paulus membedakan akidah Kristen dari akidah Yahudi pada zamannya dengan menyerangkaikan penyebutan Yesus dengan penyebutan Allah Bapa, maupun dengan menyematkan gelar ilahi "Tuhan" kepada Yesus, dan menyebutnya "Kristus".[4][9][12]

Di dalam khotbahnya di hadapan sidang majelis Areopagus, sebagaimana diriwayatkan di dalam Kisah Para Rasul (Kisah Para Rasul 17:24–27), Paulus kian mempertegas keistimewaan pemahaman Kristen purba sekaligus menyelami hubungan Allah dengan umat Kristen:[45]

Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.

Surat-surat Paulus juga berulang kali menyebut-nyebut Roh Kudus. Tema "Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus kepada kamu" (1 Tesalonika 4:8) terus-menerus mengemuka di dalam surat-suratnya.[46] Di dalam Injil Yohanes (Yohanes 14:26) Yesus juga berbicara tentang "Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku".[47]

Menjelang akhir abad pertama tarikh Masehi, Klemens dari Roma berulang kali menyebut-nyebut "Bapa, Putra, dan Roh Kudus", dan menghubungkan Sang Bapa dengan karya penciptaan di dalam imbauannya kepada umat Kristen di Korintus (1 Klemens 19.2) supaya "hendaklah pandangan kita tunak tertuju kepada Allah, khalik sarwa sekalian alam".[48] Pada pertengahan abad ke-2, di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat (Buku 4, bab 5), Ireneus menegaskan bahwa Sang Mahapencipta adalah "satu-satunya Allah" dan "khalik langit dan bumi".[48] Semua pandangan tersebut sudah lama mengemuka sebelum Tertulianus menjabarkan konsep Tritunggal secara resmi di dalam karya tulisnya pada abad ke-3.[48]

Pada umumnya rentang waktu akhir abad ke-2 sampai awal abad ke-4 (kira-kira dari tahun 180 sampai 313) disebut "zaman Gereja Raya" atau "zaman Pranikea." Pada rentang waktu inilah teologi Kristen berkembang pesat dan sejumlah ajaran Kristen dibakukan.[49]

Semenjak abad ke-2, syahadat-syahadat Gereja Barat diawali dengan menandaskan kepercayaan akan "Allah Bapa Yang Mahakuasa", yakni "Allah dalam kemahaberdayaan-Nya selaku Bapa dan Khalik sarwa sekalian alam".[50] Penandasan semacam ini tidaklah menafikan kepercayaan bahwa "Bapa sarwa sekalian alam Yang Mahakekal itu juga adalah Bapa Yesus Kristus" maupun kepercayaan bahwa Allah "berkenan mengangkat orang beriman menjadi anak-Nya oleh kasih karunia".[50] Di lain pihak, syahadat-syahadat Gereja Timur diawali dengan menandaskan kepercayaan akan "Allah Yang Mahaesa", dan hampir selalu diperjelas dengan tambahan kalimat "Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang kasatmata maupun yang tak kasatmata" atau kalimat lain yang senada.[50]

Agustinus dari Hipo, Tomas Aquinas, dan banyak tokoh Kristen lainnya menyifatkan Allah dengan istilah Latin "ipsum esse", yang kurang lebih berarti "keberadaan itu sendiri".[51][52] Lantaran bersifat swaada, Allah Kristen bukanlah "suatu keberadaan" melainkan "hakikat keberadaan itu sendiri", dan dapat dijelaskan dengan kalimat-kalimat seperti "mengada tanpa bergantung kepada apa-apa di luar diri sendiri" atau "mengada tanpa terikat prasyarat yang wajib dipenuhi segala sesuatu untuk dapat mengada".

Seiring bergulirnya waktu, para teolog dan filsuf menggagas pemahaman-pemahaman yang jitu tentang sifat-sifat hakiki Allah dan mulai menyusun daftar-daftar sistematis yang merangkum sifat-sifat tersebut. Isinya berbeda-beda, tetapi pada dasarnya sifat-sifat hakiki Allah dipilah-pilah menjadi menjadi dua kelompok, yakni kelompok sifat hakiki berdasarkan pengingkaran (Allah tidak terpengaruh) dan kelompok sifat hakiki berdasarkan persangatan (Allah Mahabaik).[19] Menurut Ian Ramsey, ada tiga kelompok sifat hakiki Allah, dan sifat-sifat hakiki seperti mahasahaja dan mahasempurna memiliki dinamika logis yang berbeda dari sifat-sifat hakiki semacam mahabaik, karena ada bentuk-bentuk nisbi dari sifat-sifat hakiki semacam mahabaik (berpembanding) tetapi tidak demikian halnya dengan sifat-sifat hakiki semacam mahasempurna (tak berpembanding).[53]

Sepanjang perkembangan fikrah Kristen tentang Allah, Alkitab "telah menjadi pengaruh yang dominan, baik pada teorinya maupun pada kenyataannya" di Dunia Barat.[54]

 
Caturaksara Suci YHWH, nama Allah dalam bahasa Ibrani, lukisan dinding di belakang mimbar gereja lama Ragunda, Swedia

Di dalam teologi Kristen, nama Allah senantiasa mengandung makna dan signifikansi yang jauh lebih dalam daripada sekadar sebuah label atau sebutan belaka. Nama Allah bukan rekaan manusia melainkan diwahyukan Allah kepada manusia.[55][56] Memuliakan nama Allah merupakan salah satu perintah Dasatitah. Menurut ajaran-ajaran Kristen, perintah ini bukanlah sekadar peringatan agar menjauhi tindakan menyebut nama Allah secara sembarangan, melainkan juga suatu amanat untuk memuliakan nama Allah lewat amal saleh dan puji-pujian.[57] Amanat ini tercerminkan di dalam kalimat permohonan pertama kepada Allah Bapa di dalam Doa Bapa Kami, yaitu "Dikuduskanlah Nama-Mu".[58]

Menurut para Bapa Gereja purba, nama Allah adalah representasi segenap tatanan "kebenaran ilahi" yang diwahyukan kepada umat beriman "yang percaya kepada Nama-Nya" (Yohanes 1:12) atau yang "berjalan demi nama Tuhan Allah kita" (Mikha 4:5).[59][60] Menurut Kitab Wahyu (Wahyu 3:12), orang-orang yang pada dirinya tertera nama Allah adalah orang-orang yang sudah ditentukan menjadi ahli surga. Injil Yohanes (Yohanes 17:6) menghadirkan ajaran-ajaran Yesus sebagai manifestasi nama Allah kepada murid-murid Sang Mesias.[59]

Injil Yohanes (Yohanes 12:27) menyajikan pengorbanan Yesus Sang Anak Domba Allah maupun keselamatan yang dianugerahkan melalui pengorbanan tersebut sebagai pemuliaan nama Allah, dengan meriwayatkan suara dari surga yang menanggapi permohonan Yesus ("Bapa, muliakanlah nama-Mu") dengan perkataan "Aku telah memuliakan-Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi", mengacu kepada pembaptisan dan penyaliban Yesus.[61]

Nama Allah biasanya ditulis dalam bentuk tunggal (misalnya Keluaran 20:7 dan Mazmur 8:1), lazimnya dengan istilah-istilah dengan makna yang sangat umum, ketimbang dengan sebutan khusus bagi Allah.[62] Meskipun demikian, penyebutan-penyebutan nama Allah secara umum dapat saja menyimpang ke bentuk-bentuk khusus yang mengungkap sifat-sifat hakiki Allah.[62] Kitab Suci memuat banyak sebutan untuk nama Allah, tetapi nama-nama utama di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama adalah Allah Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, El Syadai, dan Yahweh. Teos (θεός), Kirios (κύριος), dan Pater (πατήρ) adalah nama-nama asasi Allah di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.[62]

Sifat hakiki

sunting

Wacana teologis seputar sifat-sifat hakiki Allah sudah mengemuka sedari awal sejarah Kekristenan. Pada abad ke-2, Ireneus mengangkat isu ini dan mengetengahkan beberapa sifat hakiki Allah. Sebagai contoh, di dalam karya tulisnya, Melawan Bidat-Bidat (Buku IV, Bab 19), Ireneus mengemukakan bahwa "kemahabesaran-Nya tidak kekurangan apa-apa, malah mewadahi segala-galanya".[16] Ireneus menyenaraikan sifat-sifat hakiki Allah berdasarkan pengetahuan yang ia gali dari tiga sumber, yakni Kitab Suci, mistisisme yang berkembang pada zamannya, dan amalan-amalan ibadat yang umum dijalankan umat Kristen.[16] Sekarang ini, beberapa sifat hakiki yang dikaitkan dengan Allah masih tetap didasarkan atas nas-nas Alkitab, misalnya nas Doa Bapa Kami yang menyatakan bahwa Bapa berada di surga. Sifat-sifat hakiki selebihnya disarikan melalui penalaran teologis.[18]

Pada abad ke-8, Yohanes dari Damsyik mengetengahkan delapan belas sifat hakiki Allah di dalam karya tulisnya, Paparan Tepat Iman Ortodoks (Buku 1, Bab 8).[17] Sifat-sifat hakiki tersebut dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan waktu (kekal), ruang (tidak terbatas), materi, dan kualitas. Senarai sifat hakiki Allah yang disusun Yohanes dari Damsyik masih dihargai sampai sekarang. Beberapa di antaranya diangkat kembali dengan menggunakan istilah-istilah lain di dalam berbagai daftar sifat hakiki Allah yang disusun pada zaman modern.[17] Pada abad ke-13, Tomas Aquinas mengemukakan delapan sifat hakiki Allah, yakni mahasahaja, mahasempurna, mahabaik, mahatakterpahami, mahahadir, mahatakberubah, mahakekal, dan mahaesa.[17] Salah satu di antara daftar-daftar sifat hakiki Allah lainnya adalah daftar tahun 1251 keluaran Konsili Lateran IV yang diadopsi Konsili Vatikan I tahun 1870 dan Katekismus Kecil Westminster pada abad ke-17.[17]

Dua sifat hakiki yang memosisikan Allah di atas dunia tetapi sekaligus mengakui keterlibatan-Nya di dalam dunia adalah transenden dan imanen.[5][6] Transenden berarti Allah itu Mahakekal dan Mahaananta, tidak dikendalikan jagat ciptaan dan mengatasi peristiwa-peristiwa insani. Imanen berarti Allah itu terlibat di dalam dunia. Ajaran-ajaran Kristen sudah lama meyakini bahwa Allah memperhatikan hal-ihwal umat manusia.[5][6] Meskipun demikian, berbeda dari agama-agama panteistis, keberadaan Allah menurut agama Kristen tidak berasal dari hakikat jagat ciptaan.[7]

Sejalan dengan kebiasaan yang sudah mentradisi, sejumlah teolog semisal Louis Berkhof membedakan sifat-sifat hakiki yang terkomunikan (sifat-sifat hakiki yang juga dapat dimiliki manusia) dari sifat-sifat hakiki yang tak terkomunikan (sifat-sifat hakiki yang hanya dimiliki Allah).[63] Meskipun demikian, teolog-teolog lain semisal Donald Macleod beranggapan bahwa segala bentuk penggolongan sifat-sifat hakiki Allah hanyalah reka-rekaan manusia belaka dan tidak berdasar.[64]

Para teolog pada umumnya sepakat bahwa menganggap hakikat Allah ada dengan sendirinya dan lepas dari sifat-sifat hakiki-Nya, atau sifat-sifat hakiki adalah karakterisitk-karakteristik tambahan pada keberadaan Allah adalah pemikiran yang keliru. Sifat-sifat hakiki Allah adalah kualitas-kualitas hakiki yang ada secara permanen di dalam Keberadaan Allah dan ada bersama-sama dengan Allah. Perubahan dalam bentuk apa pun pada sifat hakiki Allah hanya dapat diartikan sebagai perubahan di dalam keberadaan hakiki Allah.[65]

Menurut Hick, penyusunan daftar sifat hakiki Allah harus bertitik tolak dari "swaada" (aseitas), yang mengisyaratkan bahwa Allah itu Mahakekal dan keberadaan-Nya tidak bergantung kepada syarat apa pun. Menurut Hick, sifat hakiki berikutnya adalah "mahapencipta", karena Allah adalah sumber segala sesuatu yang menjadi unsur pembentuk makhluk ciptaan-Nya (creatio ex nihilo), dan adalah pemelihara segala sesuatu yang sudah dijadikan-Nya. Sifat-sifat hakiki selebihnya adalah "berpribadi", "maharahim", "mahabaik", dan "mahakudus".[66] Berkhof juga bertitik tolak dari "swaada", tetapi menurut Berkhof, sifat-sifat hakiki berikutnya adalah "mahatakberubah", "mahaananta" (mengisyaratkan bahwa Allah itu "Mahasempurna", "Mahakekal", dan "Mahahadir"), dan "mahaesa". Berkhof selanjutnya mengulik sifat-sifat hakiki intelektual, yakni "mahatahu", "mahabijaksana", serta "mahabenar", maupun sifat-sifat hakiki moral, yakni "mahabaik" (sudah mencakup "mahapengasih", "mahapemurah", "maharahim", dan "mahasabar"), "mahakudus", serta "mahasadik", dan akhirnya menelaah sifat hakiki "mahaberdaulat".[65]

Gregorius dari Nisa adalah salah seorang teolog pertama yang mengemukakan pandangannya (berseberangan dengan pandangan Origenes) bahwa Allah itu Mahaananta. Dalil utama untuk kemahaanantaan Allah ia jabarkan di dalam karya tulisnya, Melawan Eunomius, bahwasanya kebaikan Allah itu tidak terhingga, dan karena kebaikan Allah itu bersifat hakiki, maka Allah juga tidak terhingga.[67]

Penggambaran

sunting
 
Lambang Tangan Allah pada gambar peristiwa kenaikan Yesus di dalam naskah Sakramentarium Drogo, sekitar tahun 850

Umat Kristen purba percaya bahwa ayat-ayat Alkitab yang menegaskan ketakterlihatan Allah[b] tidak semata-mata menyifatkan diri Allah, tetapi juga merupakan pengharaman terhadap segala macam usaha untuk membuat gambar Allah.[69] Meskipun demikian, lambang Tangan Allah kemudian hari berulang kali ditemukan di sinagoge Dura Europos, satu-satunya sinagoge kuno berhiaskan lukisan dari abad ke-3 yang masih lestari. Mungkin sekali penggambaran Tangan Allah dalam seni rupa Kristen purba diserap dari seni rupa Yahudi. Lambang ini menjadi jamak dijumpai dalam seni rupa Abad Kuno Akhir, baik di Dunia Timur maupun Dunia Barat, dan terus menjadi cara utama untuk melambangkan tindakan atau perkenanan Allah Bapa di Dunia Barat sampai akhir kurun waktu perkembangan seni rupa Romanik.

Di dalam penggambaran peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya peristiwa pembaptisan Kristus, yang mengindikasikan representasi Allah Bapa, motif Tangan Allah dipakai, dengan tingkat kebebasan yang kian meningkat sejak zaman Karoling sampai akhir zaman Romanik. Sesudah ditemukannya sinagoga Dura Europos yang diperkirakan dibangun pada abad ke-3, motif ini sekarang tampaknya dipinjam dari seni rupa Yahudi, dan ditemukan di dalam seni rupa Kristen nyaris sejak permulaan sejarahnya.[70]

Pemakaian citra-citra religius secara umum terus meningkat sampai penghujung abad ke-7. Ketika naik takhta pada tahun 695, Kaisar Yustinianus II menerakan gambar Kristus pada sisi kepala uang emas keluarannya, yang menyebabkan Dunia Islam berhenti memakai uang-uang logam keluaran Romawi Timur.[71] Meskipun demikian, peningkatan pembuatan citra-citra religius tidak mencakup pembuatan gambar Allah Bapa. Sebagai contoh, kendati tidak secara khusus mengecam gambar-gambar Allah Bapa, kanon 82 Konsili Trullo tahun 692 menyiratkan kecenderungan untuk mengutamakan ikon-ikon Kristus ketimbang bayang-bayang dan sosok-sosok Perjanjian Lama.[72]

 
Allah Bapa Memberkati dengan Tangan Kanan, pada latar tampak praba segitiga yang melambangkan Tritunggal, lukisan karya Girolamo dai Libri sekitar tahun 1555

Pada permulaan abad ke-8, muncul usaha untuk menekan dan menghancurkan citra-citra religius seiring bermulanya masa ikonoklasme Romawi Timur (secara harfiah, ikonoklasme berarti "perusakan citra" atau "perang melawan citra"). Kaisar Leo III (717–741) menerbitkan maklumat Kaisar Romawi Timur yang melarang pemanfaatan ikon, diduga lantaran menafsirkan kekalahan angkatan bersenjata Romawi Timur di medan perang sebagai ganjaran terhadap amalan keliru menghormati ikon.[73] Maklumat tersebut (diterbitkan tanpa meminta pertimbangan Gereja) melarang penghormatan terhadap citra-citra religius, tetapi tidak diberlakukan untuk karya-karya seni rupa di bidang lain, antara lain citra kaisar, dan lambang-lambang religius semisal salib.[74] Dalil teologis menentang ikon mulai dimunculkan pihak ikonoklas. Menurut mereka, ikon tidak dapat merepresentasikan kodrat ilahi Yesus serentak dengan kodrat manusiawinya. Lingkungan semacam ini tidak memberi peluang bagi tindakan membuat gambar Allah Bapa secara terang-terangan, dan gambar-gambar semacam itu baru mulai muncul dua abad kemudian.

Konsili Nikea II tahun 787 secara efektif menyudahi kurun waktu pertama ikonoklasme Romawi Timur dan memulihkan penghormatan terhadap ikon dan citra-citra suci pada umumnya,[75] tetapi bukan berarti penggambaran Allah Bapa langsung mendadak muncul dalam skala besar. Tokoh-tokoh pendukung ikon pada abad ke-8, misalnya Santo Yohanes dari Damsyik, membedakan citra-citra Allah Bapa dari citra-citra Kristus.

Di dalam risalahnya, Ihwal Citra-Citra Suci, Yohanes dari Damsyik mengemukakan bahwa "pada masa lampau, Allah yang tidak memiliki bentuk atau jasad itu tidak pernah dapat digambarkan, tetapi sekarang, saat Allah terlihat dalam wujud manusia dan bercakap-cakap dengan manusia, saya membuat gambar Allah yang saya lihat".[76] Gagasan yang tersirat di dalam pernyataan ini adalah bahwasanya lantaran Allah Bapa dan Allah Roh Kudus tidak pernah menjadi manusia, kasatmata, dan dapat disentuh, maka citra dan ikonnya tidak dapat dibuat. Jadi, kenyataan yang ada pada Tritunggal secara keseluruhan tetap demikian adanya pada Sang Bapa dan Sang Roh Kudus, tetapi tidak pada Sang Sabda. Yohanes dari Damsyik mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikut:[77]

Jika kita berusaha membuat gambar Allah yang tidak kasatmata itu, maka sungguh berdosalah kita. Mustahil menggambarkan Dia yang tidak berjasad, tidak kasatmata, tidak terbatas, dan tidak berbentuk.

Sekitar tahun 790, Karel Agung memerintahkan penulisan empat jilid buku, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Libri Carolini (Kitab-Kitab Karel), untuk membantah gagasan yang keliru dipahami sidang majelis istananya sebagai maklumat-maklumat bersifat anti-ikon yang dikeluarkan Konsili Nikea II di Bizantium. Kendati tidak begitu dikenal pada Abad Pertengahan, buku-buku tersebut menguraikan unsur-unsur pokok dari pendirian teologis Katolik mengenai citra-citra suci. Bagi Gereja Barat, citra-citra hanyalah benda buatan seniman yang dimanfaatkan untuk menggugah indra umat beriman, dan sepantasnya dihormati lantaran subjek yang ditampilkannya, bukan lantaran benda itu sendiri pantas dihormati.

Konsili Konstantinopel tahun 869 (dianggap ekumenis hanya oleh Gereja Barat) mengukuhkan keputusan-keputusan Konsili Nikea II dan melempangkan jalan bagi pemberantasan sisa-sisa gerakan ikonoklasme. Pada khususnya, kanon ketiga konsili ini mewajibkan citra Kristus dihormati sama seperti kitab Injil:[78]

Dengan ini kami nyatakan bahwa citra suci Tuhan kita Yesus Kristus, Pembebas dan Juru Selamat semua orang, harus dimuliakan dengan penghormatan yang sama kepada Injil-Injil kudus. Sebab sebagaimana melalui bahasa dari kata-kata yang terkandung di dalam kitab-kitab itu, semua orang dapat meraih keselamatan, demikian pula lewat tindakan yang dilakukan citra-citra itu dengan melalui warna-warnanya, semua orang, berhikmat maupun wantahan, dapat memetik manfaat bagi dirinya.

Konsili Konstantinopel tahun 869 tidak mengeluarkan maklumat yang langsung menyentuh persoalan seputar citra-citra Allah Bapa. Konsili ini menyusun daftar ikon yang boleh dibuat, tetapi lambang-lambang Allah Bapa tidak termasuk di dalamnya.[79] Meskipun demikian, keberterimaan umum terhadap ikon dan citra-citra suci mulai menciptakan suatu atmosfer yang memungkinkan pembuatan lambang-lambang Allah Bapa.

Sebelum abad ke-10, tidak ada upaya menggunakan sosok manusia untuk melambangkan Allah Bapa di dalam seni rupa Dunia Barat.[69] Meskipun demikian, seni rupa Dunia Barat pada akhirnya membutuhkan satu dan lain cara untuk mengilustrasikan kehadiran Allah Bapa. Oleh karena itu, beberapa gaya artistik yang memanfaatkan sosok manusia untuk melambangkan Allah Bapa lama-kelamaan muncul secara bertahap sekitar abad ke-10. Alasan yang mendasari pemakaian sosok manusia adalah keyakinan bahwa Allah menciptakan jiwa manusia menurut citra-Nya sendiri (dan dengan demikian memungkinkan manusia jauh mengatasi satwa lain).

Tampaknya ketika para seniman pertama kali berusaha menggambarkan Allah Bapa, rasa takut dan kagum menghalangi mereka untuk menggunakan sosok manusia yang utuh. Lazimnya cuma salah satu bagian tubuh yang ditampilkan pada gambar, biasanya tangan, atau kadang-kadang wajah, tetapi jarang sekali seluruh jasad manusia. Di dalam banyak gambar, sosok Allah Putra menggeser sosok Allah Bapa, sehingga hanya sebagian kecil dari sosok Allah Bapa yang digambarkan.[80]

 
Gambar dua tangan Allah dan Roh Kudus dalam wujud burung merpati pada lukisan Pembaptisan Kristus karya Andrea del Verrocchio dan Leonardo da Vinci, 1472

Pada abad ke-12, penggambaran sosok Allah Bapa mulai muncul di dalam naskah-naskah beriluminasi buatan Prancis dan seni kaca patri pada jendela-jendela gereja di Inggris. Sebagai media yang tidak banyak diakses masyarakat, naskah-naskah beriluminasi di Prancis kerap lebih berani dari segi ikonografinya. Mula-mula kepala atau sosok sedada Allah Bapa ditampilkan dalam semacam bingkai awan di bagian atas bidang gambar, yakni bagian yang dulu biasanya ditempati gambar Tangan Allah. Salah satu contoh penggambaran semacam ini adalah relief adegan pembaptisan Yesus pada bejana baptis di Liège yang dikerjakan perupa Renier de Huy pada tahun 1118. Citra tangan Allah juga ditampilkan pada relief adegan lain. Lambat laun sosok manusiawi yang melambangkan Alah Bapa ditampilkan sampai sepinggang, kemudian sebadan, biasanya dalam posisi duduk di atas singgasana, misalnya pada fresko yang dilukis perupa Giotto sekitar tahun 1305 di Padua.[81]

Pada abad ke-14, naskah Alkitab Napoli menampilkan gambar Allah Bapa di dalam belukar yang bernyala-nyala. Pada abad ke-15, naskah Très Riches Heures du Duc de Berry menampilkan lumayan banyak lambang Allah Bapa, antara lain gambar sebadan penuh sosok pria yang sudah lanjut usia tetapi berperawakan tinggi dan gagah, tampak sedang berjalan-jalan di Taman Eden, yang menampilkan pakaian dan ciri-ciri usia yang cukup beragam. Daun-daun pintu "Gapura Firdaus" di gedung baptisterium Firenze yang mulai dikerjakan Lorenzo Ghiberti pada tahun 1425 menampilkan citra manusia sebadan penuh untuk melambangkan Allah Bapa. Buku Ibadat Harian Rohan dari sekitar tahun 1430 juga memuat gambar-gambar Allah Bapa berupa manusia sebadan penuh, yang pada saat itu sudah menjadi bentuk penggambaran yang baku, sementara citra Tangan Allah kian langka dijumpai. Pada kisaran waktu yang sama, karya-karya seni lain, misalnya lukisan hiasan altar bertema kejadian dunia karya perupa Hamburg, Meister Bertram, melanjutkan cara lama yang menggambarkan Kristus sebagai Logos pada adegan kejadian dunia. Pada abad ke-15, muncul kebiasaan, meskipun tidak bertahan lama, untuk menggambarkan ketiga-tiga Pribadi Tritunggal Mahakudus dengan menampilkan tiga sosok yang mirip atau sama persis dengan sosok yang lazim ditampilkan sebagai gambaran Kristus.

Pada lukisan beraliran Venesia awal, Santa Maria Dimahkotai karya Giovanni d'Alemagna dan Antonio Vivarini (sekitar tahun 1443), Allah Bapa digambarkan dengan menggunakan lambang yang kemudian hari secara konsisten digunakan para seniman, yakni sosok seorang bapa leluhur yang terlihat baik hati sekaligus adikuasa, lengkap dengan rambut dan janggut yang putih memanjang, yakni gambaran hampir-fisis tetapi masih figuratif yang bersumber dari dan dibenarkan oleh uraian tentang Yang Lanjut Usianya.[82]

Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar.

— (Daniel 7:9)

Pada lukisan Kabar Sukacita yang dikerjakan Benvenuto di Giovanni pada tahun 1470, Allah Bapa digambarkan berjubah merah dan berkopiah kardinal. Meskipun demikian, representasi simbolis Allah Bapa dan Roh Kudus dalam rupa "tangan dan burung merpati" terus bertahan, bahkan sampai akhir abad ke-15, misalnya di dalam lukisan Pembaptisan Kristus yang dikerjakan Verrocchio pada tahun 1472.[83]

Di dalam lukisan-lukisan penyembahan Tritunggal Mahakudus dari zaman Renaisans, sosok Allah digambarkan dengan dua cara, baik dengan menonjolkan pribadi Allah Bapa maupun dengan menghadirkan ketiga-tiga pribadi Tritunggal Mahakudus. Penggambaran Tritunggal Mahakudus di dalam karya-karya seni Renaisans sangat sering menampilkan sosok laki-laki tua sebagai gambaran Allah Bapa, biasanya berjanggut panjang dan berwajah kebapaan, kadang-kadang dengan praba segitiga (melambangkan Tritunggal Mahakudus) atau mahkota paus di kepala, teristimewa di dalam lukisan Renaisans Utara. Di dalam lukisan-lukisan tersebut, sosok Allah Bapa digambarkan menggenggam bola dunia atau memegang buku (sebagai lambang kemahatahuan Allah sekaligus untuk menunjukkan bahwa pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat ilahi). Sosok Allah Bapa ditempatkan di belakang dan lebih tinggi daripada sosok Kristus yang tersalib di dalam ikonografi Takhta Kerahiman. Seekor burung merpati, lambang Roh Kudus, dapat pula digambarkan sedang melayang-layang di angkasa.[84] Berbagai macam orang dari berbagai lapisan masyarakat, misalnya raja-raja, paus-paus, maupun para martir dapat saja turut dihadirkan di dalam lukisan itu. Pada lukisan pietà Tritunggal, Allah Bapa kerap digambarkan sebagai sosok seorang pria yang mengenakan pakaian kebesaran dan mahkota paus, kedua belah tangannya menopang jasad Kristus yang sudah tak bernyawa. Keduanya tampak mengambang di angkasa, dikawal malaikat-malaikat pembawa alat-alat sengsara Kristus.[85]

Lukisan Penciptaan Adam karya Michelangelo (bawah, detail tangan Allah), sekitar tahun 1512

Pembuatan citra-citra Allah Bapa dan Tritunggal Mahakudus diserang umat Protestan maupun Katolik, golongan Yansenis dan Bayanis maupun para teolog yang lebih ortodoks. Serangan pihak-pihak lain terhadap citra-citra Katolik berdampak terhadap turunnya dukungan Gereja Katolik terhadap pembuatan citra-citra yang kurang utama, dan menguatkan dukungannya terhadap pembuatan citra-citra yang paling utama. Di Gereja Barat, tekanan untuk membatasi citraan religius membuahkan keputusan-keputusan paling berpengaruh yang diumumkan dalam sidang terakhir Konsili Trento tahun 1563. Keputusan-keputusan Konsili Trento mengukuhkan doktrin tradisional Katolik bahwa citra-citra hanya sekadar mewakili pribadi yang dicitrakan, dan bahwasanya penghormatan terhadap citra-citra sesungguhnya ditujukan kepada pribadi yang dicitrakan, bukan kepada citra itu sendiri.[86]

Di bidang seni rupa Katolik selepas Konsili Trento, penggambaran artistik Allah Bapa tidak akan luput dari kontroversi, tetapi penggambaran-penggambaran Tritunggal yang kurang lazim sudah tentu dikecam keras. Pada tahun 1745, Paus Benediktus XIV secara eksplisit mendukung penggambaran Takhta Kerahiman, merujuk kepada "Yang Lanjut Usianya", tetapi Paus Pius VI merasa perlu menerbitkan bula pada tahun 1786 untuk mengecam keputusan sebuah sidang gereja di Italia untuk menyingkirkan semua citra Tritunggal dari gereja-gereja.[87]

Gambaran Allah Bapa ditampilkan dalam beberapa adegan Kejadian yang dilukis Michelangelo pada langit-langit Kapel Sistina. Yang paling terkenal di antaranya adalah adegan Penciptaan Adam. Gambar telujuk Allah yang hampir bersentuhan dengan telunjuk Adam merukapan suatu ikon kemanusiaan, mengingatkan orang bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26)). Allah Bapa digambarkan sebagai sosok adikuasa yang mengambang di dalam awan pada lukisan Pengangkatan Sang Perawan karya Tiziano di Basilika Frari, Venesia, lukisan yang sudah lama dikagumi sebagai salah satu mahakarya seni rupa Renaisans Tinggi.[88] Gereja Gesù di Roma menyimpan sejumlah lukisan yang menampilkan sosok Allah Bapa dari abad ke-16. Pada beberapa lukisan tersebut, Tritunggal masih dilambangkan dengan sosok tiga malaikat, tetapi ada pula lukisan Giovanni Battista Fiammeri yang menggambarkan Allah Bapa sebagai seorang pria pengendara awan pada bagian atas bidang lukisan.[89]

 
Penghakiman Terakhir karya Rubens, 1617

Di dalam beberapa lukisannya, semisal Penghakiman Terakhir, perupa Rubens menghadirkan sosok Allah Bapa dengan menggunakan citra yang kala itu sudah berterima luas, yakni citra ramanda berjanggut yang mengamati segala sesuatu dari kejauhan.[90] Kendati marak bermunculan di Italia, Spanyol, Jerman, dan Negeri Dataran Rendah, penggambaran sosok Allah Bapa dihindari di negeri-negeri Eropa selebihnya, bahkan pada abad ke-17. Pada tahun 1632, hampir semua anggota Majelis Bintang di Inggris (kecuali Uskup Agung York) mengutuk pemampangan gambar-gambar Tritunggal pada kaca-kaca jendela gereja, bahkan beberapa di antaranya menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran hukum.[91] Belakangan pada abad ke-17, Sir Thomas Browne mengemukakan di dalam tulisannya bahwa ia menganggap penggambaran sosok Allah Bapa dalam rupa seorang pria tua sebagai "suatu tindakan berbahaya" yang dapat mengarahkan orang kepada simbolisme bangsa Mesir.[92] Pada tahun 1847, Charles Winston masih mencerca citra-citra ala "tren keroma-romaan" (istilah yang mengacu kepada umat Katolik) yang ia anggap sebaiknya dijauhi di Inggris.[93]

Pada tahun 1667, di dalam bab 43 dari keputusannya, Sidang Raya Kebatrikan Moskwa secara khusus menetapkan larangan terhadap sejumlah penggambaran simbolis Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Larangan ini juga mengakibatkan banyak ikon lain dimasukkan ke dalam daftar ikon terlarang,[94][95] dan sangat berdampak terhadap penggambaran ala-Barat yang sudah merambah ikon-ikon Ortodoks. Sidang raya ini juga menandaskan bahwa pribadi Tritunggal yang disebut "Yang Lanjut Usianya" adalah Kristus selaku Logos, bukan Allah Bapa. Meskipun demikian, beberapa ikon yang menampilkan gambaran simbolis Allah Bapa dan Allah Roh Kudus masih terus dibuat di Rusia maupun di Yunani, Rumania, dan negara-negara Kristen Ortodoks lainnya.

Kerajaan Allah dan eskatologi

sunting

Kedaulatan dan kerajaan

sunting
 
Allah Bapa bersemayam di atas singgasana, Westfalen, Jerman, akhir abad ke-15

Penyifatan hubungan Allah dengan manusia di dalam Kekristenan mencakup gagasan tentang "Kerajaan Allah". Gagasan ini sudah mengemuka di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dan dapat dipandang sebagai suatu konsekuensi dari penciptaan dunia oleh Allah.[20][96] "Mazmur-Mazmur Raja" (Mazmur Mazmur 45 45), Mazmur 93 93, Mazmur 96 96, Mazmur 97 97, Mazmur 98 98, Mazmur 99 99) menyediakan suatu latar belakang bagi gagasan ini dengan maklumat "Tuhan adalah Sang Raja".[20] Meskipun demikian, di dalam agama Yahudi kemudian hari mengemuka suatu gagasan yang lebih bersifat "nasional" mengenai kedaulatan Allah sebagai raja. Dalam pandangan ini, Sang Mesias yang dijanjikan dapat dipandang sebagai tokoh pembebas sekaligus pendiri negara Israel yang baru.[97]

Istilah "Kerajaan Allah" tidak muncul di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meskipun frasa "kerajaan-Nya" dan "kerajaan-Mu" digunakan dalam beberapa kasus yang berkenaan dengan Allah.[98] Akan tetapi Kerajaan Allah (sama dengan "Kerajaan Surga" dalam Injil Matius) merupakan frasa yang menonjol dalam injil-injil sinoptik (muncul 75 kali), dan hampir semua sarjana sepakat bahwa frasa ini adalah unsur utama dari ajaran-ajaran Yesus.[20][21] Meskipun demikian, R. T. France menunjukkan bahwa kendati konsep "Kerajaan Allah" mengandung makna intuitif bagi umat Kristen awam, sukar sekali didapati kesepakatan di kalangan sarjana mengenai arti frasa tersebut di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.[21] Ada sarjana yang menganggapnya sebagai suatu cara hidup Kristen, ada yang menganggapnya sebagai suatu metode pewartaan injil sedunia, ada yang menganggapnya sebagai penemuan kembali karunia-karunia karismatik, dan ada pula yang menghubungkannya bukan dengan situasi kini melainkan dengan dunia yang akan datang.[21] R. T. France menegaskan bahwa frasa Kerajaan Allah kerap ditafsirkan dengan berbagai macam cara supaya bersesuaian dengan agenda teologis penafsirnya.[21]

Akhir zaman

sunting

Tafsir-tafsir atas istilah "Kerajaan Allah" telah memunculkan serentet perdebatan eskatologis di kalangan sarjana. Beragam pandangan telah dikemukakan, tetapi belum ada mufakat yang berhasil dicapai.[99][100][101] Sejak zaman Agustinus sampai zaman Reformasi Protestan, kedatangan Kerajaan Allah sudah erat dikaitkan dengan pembentukan Gereja, tetapi pandangan semacam ini kemudian hari ditinggalkan, dan pada permulaan abad ke-20, tafsir apokaliptis Kerajaan Allah mulai kuat bertapak.[99][101][102] Menurut pandangan yang juga disebut "eskatologi konsisten" ini, Kerajaan Allah bukan bermula pada abad pertama melainkan merupakan suatu peristiwa apokaliptis di masa depan yang belum terwujud.[99]

 
Malaikat meniup "sangkakala terakhir" (1 Korintus 15:52), Langenzenn, Jerman, abad ke-19

Pada pertengahan abad ke-20, eskatologi terealisasi, yang sebaliknya menganggap Kerajaan Allah tidak bersifat apokaliptis melainkan merupakan manifestasi dari kedaulatan ilahi atas dunia (direalisasikan oleh karya pelayanan Yesus) telah mendapatkan dukungan segolongan sarjana.[99] Menurut pandangan ini, Kerajaan Allah sudah terwujud sekarang.[100] Pendekatan tandingan eskatologi teresmikan kemudian hari dikemukakan sebagai tafsir "sudah dan belum".[99] Menurut pandangan ini, Kerajaan Allah sudah terwujud, tetapi baru akan tersingkap secara paripurna suatu hari kelak di masa depan.[100] Tafsir-tafsir yang tidak sehaluan ini telah melahirkan cukup banyak varian, karena berbagai sarjana menggagas model-model eskatologis baru yang meminjam unsur-unsur dari kedua tafsir tersebut.[99][100]

Penghakiman

sunting

Nas Ibrani 12:23 menyifatkan Allah sebagai "Hakim seluruh bumi", dan pandangan bahwa seluruh umat manusia pada akhirnya akan "dihakimi" merupakan salah satu unsur pokok ajaran-ajaran Kristen.[103] Sejumlah nas Perjanjian Baru (misalnya Yohanes 5:22 dan Kisah Para Rasul 10:42) dan pernyataan-pernyataan syahadat yang terumuskan kemudian hari mengindikasikan bahwa kewenangan untuk menghakimi telah diserahkan kepada Yesus.[103][104] Yohanes 5:22 menyatakan bahwa "Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak".[103] Kisah Para Rasul 10:42 menyifatkan Yesus yang sudah bangkit sebagai pihak "yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati."[103] Peran Yesus dalam penghakiman Allah ditonjolkan di dalam syahadat-syahadat Kristen yang paling umum dipakai. Syahadat Nikea menyatakan bahwa Yesus "duduk di sebelah kanan Bapa, dan akan datang kembali dalam kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup maupun yang mati, dan pemerintahannya tidak berkesudahan".[105] Syahadat Para Rasul memuat pengakuan serupa.[105]

Sejumlah ayat Injil menyuarakan imbauan untuk mewaspadai bahaya dosa dan menganjurkan suatu jalan kebenaran yang harus dilalui supaya terhindar dari penghakiman Allah.[106] Sebagai contoh, Khotbah di Bukit di dalam Matius 5:22–26 mengimbau orang untuk menghindari dosa, dan Perumpaan tentang Pukat di dalam Matius 13:49) menyatakan bahwa pada akhir zaman malaikat-malaikat akan "memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api".[106] Dengan demikian umat Kristen dapat mengenyam anugerah pengampunan yang meluputkan mereka dari penghakiman Allah dengan menuruti ajaran-ajaran Yesus dan melalui suatu hubungan pribadi dengannya.[106]

Tritunggalisme

sunting

Sejarah dan landasan

sunting

Pada awal sejarah Kekristenan, konsep keselamatan erat dikaitkan dengan laku menyeru "Bapa, Putra, dan Roh Kudus".[107][108] Sejak abad pertama, umat Kristen sudah menyeru Allah dengan nama "Bapa, Putra, dan Roh Kudus" di dalam doa, pembaptisan, komuni, eksorsisme, kidung madah, khotbah, syahadat, absolusi, dan pemberkatan.[107][108] Kenyataan ini tercermin di dalam kalimat "sebelum ada doktrin Tritunggal, umat Kristen sudah berdoa menyeru Tritunggal Mahakudus".[107]

 
Ukiran pada Sarkofagus Dogmatis, penggambaran Tritunggal tertua, tahun 350 Masehi,[109] Museum Vatikan

Istilah "Tritunggal" tidak muncul secara eksplisit di dalam Alkitab, tetapi golongan penganut Tritunggalisme yakin bahwa konsep Tritunggal yang baru dikembangkan kemudian hari sesungguhnya konsisten dengan ajaran-ajaran Alkitab.[27][28] Kitab Suci Perjanjian Baru memuat sejumlah pemakaian rumusan liturgis dan doksologis tiga-serangkai, misalnya nas 2 Korintus 1:21–22 yang menyatakan bahwa "Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita".[27][110] Ihwal Kristus menerima "kewenangan dan keilahian yang setara" dinyatakan di dalam nas Matius 28:18, bahwasanya "kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi", demikian pula di dalam nas Yohanes 3:35,Yohanes 13:3, dan Yohanes 17:1.[110] Ihwal Roh berasal "dari Allah" maupun "dari Kristus" dinyatakan dalam nas Galatia 4:6, Kisah Para Rasul 16:7, Yohanes 15:26, dan Roma 8:14–17.[110]

Konsep umum Tritunggal terungkap di dalam karya-karya tulis Kristen purba sejak permulaan abad ke-2, mulai dari pandangan Ireneus yang dikemukakannya di dalam risalah Melawan Bidat-Bidat (Buku I Bab X) sebagai berikut:[107]

"Gereja ... percaya akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Khalik langit, dan bumi, dan samudra, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya; dan akan satu Yesus Kristus, Putra Allah, yang menjadi manusia demi keselamatan kita; dan akan Roh Kudus".

Sekitar tahun 213, di dalam risalah Melawan Prakseas (Bab 3) Tertulianus menyajikan suatu representasi resmi dari konsep Tritunggal, bahwasanya Allah ada sebagai satu "hakikat" tetapi memiliki tiga "Pribadi", yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[111][112] Dalam rangka membela koherensi Tritunggal, Tertulianus mengemukakan (Melawan Prakseas 3) bahwa "Keesaan yang menurunkan Tritunggal dari diri-Nya sendiri jauh dari rusak, malah sesungguhnya disokong olehnya."

Tertulianus juga membahas tentang bagaimana Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra.[111]

Konsili Nikea I tahun 325 dan Konsili Konstantinopel I tahun 381 mendefinisikan dogma Tritunggal "dan garis-garis besar yang sangat sederhana dalam rangka menghadapi bidat-bidat", dan versi dogma Tritunggal yang dipakai Gereja sejak saat itu adalah versi yang berasal dari tahun 381.[26] Pada abad ke-5, di Gereja Barat, Santo Agustinus memperluas teologi Tritunggal di dalam karya tulisnya, De Trinitate (Ihwal Tritunggal), sementara pengembang utama teologi Tritunggal di Gereja Timur adalah Yohanes dari Damsyik yang berkiprah pada abad ke-8.[113] Teologi Tritunggal akhirnya mencapai bentuk klasiknya dalam karya tulis Tomas Aquinas pada abad ke-13.[113][114]

Bernhard Lohse (1928-1997) menegaskan bahwa doktrin Tritunggal tidak berasal dari sumber-sumber non-Kristen seperti ajaran filsafat Plato atau agama Hindu, dan bahwasanya segala upaya untuk membuktikan adanya keterkaitan dengan sumber-sumber semacam itu sudah tergoyahkan.[115] Mayoritas umat Kristen dewasa ini adalah golongan penganut Tritunggalisme yang menganggap kepercayaan akan Tritunggal sebagai tolok ukur ortodoksi atau kepercayaan yang benar.[107]

Doktrin Tritunggal

sunting
 
Diagram Tritunggal yang memperlihatkan bahwa Pater (Bapa), Filius (Putra), dan Spiritus Sanctus (Roh Kudus) berbeda satu sama lain, tetapi sama-sama adalah Allah Yang Mahaesa

Sebagian besar umat Kristen menganggap doktrin Tritunggal sebagai asas pokok iman mereka.[25][26] Doktrin Tritunggal dapat dirangkum dalam kalimat berikut ini:[25]

"Allah Yang Mahaesa wujud dalam Tiga Pribadi dan Satu Hakikat."

Singkatnya, doktrin Tritunggal adalah sebuah misteri yang "mustahil dinalar manusia tanpa bantuan" maupun "diungkapkan secara jelas dan meyakinkan lewat penalaran sesudah diwahyukan", tetapi "tidak bertentangan dengan akal budi" karena "tidak menyalahi prinsip-prinsip penalaran".[114]

Doktrin Tritunggal diuraikan di dalam Syahadat Atanasius dari abad ke-4, yang memuat petikan berikut ini:[26][27]

Kami menyembah Allah yang Tritunggal, dan Tritunggal yang Mahaesa,
tanpa mencampuradukkan pribadi-pribadi maupun membagi-bagi hakikat.
Karena ada satu Pribadi Bapa, satu lagi Pribadi Putra, dan satu lagi Pribadi Roh Kudus.
Namun Keallahan Bapa, Putra, dan Roh Kudus semuanya satu,
setara kemuliaan-Nya, sama-sama kekal keagungan-Nya.
Sebagaimana Bapa, demikian pula Putra, dan demikian pula Roh Kudus.

Bagi umat Kristen penganut Tritunggalisme (Kristen Katolik, Kristen Ortodoks, dan kebanyakan denominasi Kristen Protestan), Bapa sama sekali bukan suatu ilah yang terpisah dari Putra dan Roh Kudus, kedua hipostasis ("pribadi") lainnya dari Keallahan menurut agama Kristen.[116]

Kendati istilah "Bapa" dan "Putra" menyiratkan gender maskulin, gender Allah di dalam agama Kristen sepanjang sejarah dipandang sebagai kiasan belaka, dan tidak merepresentasikan hakikat Allah yang sesungguhnya.[117][118]

Pada abad ke-20, terjadi peningkatan fokus teologis terhadap doktrin Tritunggal. Salah satu pemicunya adalah gagasan-gagasan Karl Barth yang tertuang di dalam empat belas jilid mahakaryanya, Kirchliche Dogmatik (Dogmatika Gereja).[119] Fokus teologis ini mengaitkan pewahyuan Firman Allah dengan Tritunggal, dan berdalil bahwa doktrin Tritunggal adalah unsur yang membedakan "konsep Allah agama Kristen" dari semua agama lain.[119][120]

 
Allah Bapa memberi tempat kepada Kristus untuk bertakhta di sisi kanan-Nya, lukisan karya Pieter de Grebber, 1654

Kemunculan teologi Ttitunggal mengenai Allah Bapa pada awal sejarah Kekristenan didasarkan atas dua gagasan utama. Yang pertama adalah gagasan bahwa Yahweh di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sama dengan Allah yang diajarkan Yesus di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan yang kedua adalah gagasan bahwa Yesus berbeda tetapi bersatu dengan Bapanya.[121][122] Contoh nas tentang kesatuan Sang Putra dengan Sang Bapa adalah nas Matius 11:27, "tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak", yang menandaskan pengetahuan Sang Bapa dan Sang Putra satu sama lain.[123]

Konsep kebapaan Allah sudah mengemuka di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tetapi bukan merupakan tema utama.[121][124] Meskipun sudah dipakai di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, pandangan mengenai Allah selaku Bapa baru menjadi sorotan utama di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, karena kerap disinggung Yesus.[121][124] Pandangan semacam ini termanifestasi di dalam doa Bapa Kami yang memadukan kebutuhan-kebutuhan duniawi akan makanan sehari-hari dengan konsep saling mengampuni.[124] Penekanan Yesus pada hubungan istimewanya dengan Sang Bapa menggarisbawahi perbedaan sekaligus kesatuan hakikat Yesus dengan Sang Bapa, yang menjadi cikal bakal gagasan tentang kesatuan Bapa dan Putra di dalam Tritunggal.[124]

Pandangan tentang Allah selaku Bapa diturunkan Yesus kepada murid-muridnya, dan akhirnya disampaikan kepada segenap Gereja, sebagaimana tercermin di dalam permohonan Yesus kepada Allah Bapa bagi para pengikutnya pada akhir Wejangan Perpisahan, pada malam sebelum ia disalibkan.[125] Contoh pandangan tentang Allah selaku Bapa di Wejangan Perpisahan adalah Yohanes 14:20, ketika Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa "Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu", dan Yohanes 17:22, ketika Yesus berdoa kepada Bapa, "Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu."[126]

Di dalam teologi Tritunggal, Allah Bapa adalah arke atau principium (permulaan), yakni "sumber" atau "asal" Putra maupun Roh Kudus, dan dianggap sebagai sumber kekal Keallahan.[127] Bapalah yang secara kekal memperanakkan Putra, dan secara kekal menghembuskan Roh Kudus. Putra secara kekal lahir dari Bapa, dan Roh Kudus secara kekal keluar dari Bapa,[48][127] atau menurut Gereja Barat dari Bapa dan Putra.

Meskipun berbeda dari segi "asal", Allah Bapa satu, setara, sama-sama kekal, dan sehakikat dengan Putra dan Roh Kudus, masing-masing adalah Allah Yang Mahaesa lagi Mahakekal yang tak terpisahkan satu sama lain, sama-sama adalah Sang Khalik, artinya sama-sama Tidak Diciptakan dan Mahakuasa.[48] Dengan demikian Kemanunggalan Ilahi terdiri atas Allah Bapa, bersama Putra-Nya dan Roh-Nya, yang berbeda dari Allah Bapa tetapi secara sempurna manunggal di dalam Allah Bapa.[48] Oleh karena itulah Tritunggal melampaui daya nalar insani, dan hanya dapat diketahui karena ada pewahyuan dari Allah.[128][129]

Penganut doktrin Tritunggal percaya bahwa Allah Bapa tidak bersifat panteistis, dalam arti tidak dipandang identik dengan alam semesta, tetapi eksis di luar jagat ciptaan, selaku Khalik dari jagad ciptaan.[130][131] Ia dipandang sebagai Allah yang Mahapengasih dan Mahapeduli, Bapa Surgawi yang aktif berkiprah di dalam dunia maupun kehidupan orang-orang.[130][131] Ia menciptakan segala sesuatu yang kasatmata maupun yang tak kasatmata di dalam cinta kasih dan kebijaksanaan, serta menciptakan manusia demi diri manusia itu sendiri.[130][131][132]

 
Gambar Kristus pada lukisan kaca patri jendela Gereja Katedral Santo Petrus dan Paulus, Sankt-Peterburg, Rusia

Sedari awal sejarah Kekristenan, sejumlah gelar telah diberikan kepada Yesus, antara lain Mesias (Kristus) dan Putra Allah.[133][134] Dari sudut pandang teologis, gelar-gelar tersebut adalah atribut-atribut yang berlainan. Gelar "Mesias" mengacu kepada penggenapan nubuat-nubuat Perjanjian Lama di dalam diri Yesus, sementara gelar "Putra Allah" mengacu kepada hubungannya selaku Sang Putra dengan Sang Bapa.[133][134] Allah Putra berbeda dari Mesias maupun Putra Allah, dan teologi tentang Allah Putra sebagai bagian dari doktrin Tritunggal baru dibakukan secara resmi seabad lebih sesudah teologi tentang Mesias dan Putra Allah dibakukan.[134][135][136]

Menurut injil-injil, Yesus dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.[137] Riwayat-riwayat Alkitab tentang kiprah Yesus mencakup riwayat pembabtisannya, mukjizat-mukjizat yang ia perbuat, serta kbotbah, pengajaran, dan penyembuhan yang ia berikan. Riwayat-riwayat di dalam injil-injil lebih menyoroti wafat Yesus, dengan mengkhususkan kira-kira sepertiga dari isinya bagi liputan peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Yerusalem selama tujuh hari atau sepekan terakhir kehidupan Yesus.[138] Inti kepercayaan Kristen adalah bahwasanya lewat wafat dan kebangkitan Yesus, umat manusia yang berdosa dapat didamaikan dengan Allah, dan oleh karena itu ditawari keselamatan dan janji kehidupan yang kekal.[139] Kepercayaan akan kodrat penebusan dari wafat Yesus sudah dianut sebelum surat-surat Paulus ditulis, bahkan sudah muncul sejak hari-hari permulaan sejarah Kekristenan dan Gereja Yerusalem.[140] Pernyataan Syahadat Nikea yang berbunyi "untuk kita ... disalibkan" adalah cerminan dari kepercayaan inti ini.[139]

Dua pertanyaan kristologis, yakni bagaimana Yesus dapat menjadi Allah sejati sambil melanggengkan iman akan keberadaan satu Allah, dan bagaimana kemanusiaan dan keilahian dapat manunggal di dalam satu pribadi, adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang sudah mengemuka sebelum Konsili Nikea I tahun 325.[141] Meskipun demikian, teologi "Allah Putra" pada akhirnya terefleksikan di dalam pernyataan Konsili Nikea pada abad ke-4.[142]

Syahadat Kalsedon tahun 451, yang diterima mayoritas umat Kristen, menandaskan bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia dan "Allah sejati sekaligus manusia sejati" (paripurna illahi sekaligus paripurna insani). Karena sepenuhnya menjadi manusia dalam segala hal, Yesus mengalami derita dan cobaan sama seperti manusia lain, hanya saja ia tidak berbuat dosa. Karena sepenuhnya adalah Allah, Yesus mengalahkan kematian dan kembali hidup.[143] Konsili Konstantinopel III tahun 680 menegaskan bahwa baik kehendak ilahi maupun kehendak insani ada di dalam diri Yesus, dan kehendak ilahi yang diutamakan, sehingga memimpin dan menuntun kehendak insani.[144]

Dalam Kekristenan arus utama, Yesus Kristus selaku Allah Putra dimuliakan sebagai Pribadi Kedua Tritunggal Mahakudus karena relasi kekalnya dengan Pribadi Pertama Tritunggal Mahakudus (Allah selaku Sang Bapa).[145] Ia dipandang setara dengan Bapa dan Roh Kudus, dan sepenuhnya Allah sekaligus sepenuhnya manusia. Menurut kodrat ilahinya Yesus adalah Putra Allah, dan menurut kodrat insaninya Yesus berasal dari nasab Daud.[137][145][146][147]

Yang termutakhir, diskusi-diskusi seputar isu-isu teologis terkait Allah Putra serta perannya di dalam Tritunggal mengemuka pada abad ke-20 dalam suatu konteks perspektif tentang wahyu ilahi yang "berbasis Tritunggal".[148][149]

Roh Kudus

sunting
 
Penggambaran Roh Kudus dalam rupa burung merpati pada lukisan kaca patri karya Bernini sekitar tahun 1660

Di dalam Kekristenan arus utama, Roh Kudus dipercaya sebagai salah satu dari tiga pribadi ilahi Tritunggal Mahakudus dari hakikat Allah yang tunggal. Roh Kudus dipercaya bertindak selaras dengan dan sehakikat dengan Allah Bapa dan Allah Putra (Yesus).[150][151] Kitab Suci Perjanjian Baru memuat banyak pernyataan mengenai Roh Kudus. Kehadiran Roh Kudus secara istimewa dirasakan sesudah Yesus naik ke surga, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa kehadiran Roh Kudus juga diriwayatkan di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.[22]:hlm. 39 Teologi Kristen tentang Roh Kudus, atau pneumatologi (dari kata Yunani pneuma, artinya "roh"), adalah bagian terakhir dari teologi Tritunggal yang didalami dan dikembangkan dengan tuntas, dan oleh karena itu pemahaman tentang Roh Kudus di kalangan umat Kristen lebih beragam daripada pemahaman tentang Sang Bapa maupun Sang Putra.[150][151] Di dalam teologi Tritunggal, Roh Kudus biasanya disebut sebagai "Pribadi Ketiga" Allah Tritunggal, sementara Sang Bapa adalah "Pribadi Pertama" dan Sang Putra adalah "Pribadi Kedua".[150]

Berpangkal dari perenungan akan peristiwa pewartaan malaikat kepada Maria yang diriwayatkan di dalam Injil Lukas (Lukas 1:35), Syahadat Para Rasul menyatakan bahwa Yesus "dikandung dari Roh Kudus".[152] Syahadat Nikea menyebut Roh Kudus sebagai "Tuhan, Yang Menghidupkan", yang bersama Bapa dan Putra "disembah dan dimuliakan".[153] Allah Putra bermanifestasi menjadi Putra Allah lewat tindakan inkarnasi, tetapi tidak demikian halnya dengan Allah Roh Kudus yang tetap tidak tersingkap.[154] Meskipun demikian, sebagaimana yang dinyatakan di dalam surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 6:19), Allah Roh Kudus terus-menerus bersemayam di dalam tubuh umat beriman.[154][155]

Di dalam teologi Kristen, Roh Kudus dipercaya menjalankan fungsi-fungsi ilahi di dalam kehidupan umat Kristen atau kehidupan Gereja. Tindakan Roh Kudus dipandang sebagai bagian asasi dari tindakan membimbing orang menuju iman Kristen.[156] Orang yang baru memeluk iman Kristen "dilahirkan kembali dari Roh".[157]

Roh Kudus memungkinkan terselenggaranya kehidupan yang Kristiani dengan bersemayam di dalam diri setiap orang percaya dan memampukan mereka untuk hidup sadik dan beriman.[156] Roh Kudus bertindak sebagai Penghibur atau Parakletos, yaitu pihak yang mengantarai, pihak yang menolong, atau pihak yang bertindak selaku penasihat, khususnya pada masa-masa pencobaan. Roh Kudus bertindak menyadarkan orang-orang yang belum tertebus akan keberdosaan perbuatan maupun pikiran mereka, dan akan kelaikan moral mereka sebagai pendosa di hadapan Allah.[158] Roh Kuduslah yang dulu mengilhami penulisan Kitab Suci dan yang sekarang menafsirkannya bagi orang Kristen dan Gereja.[159]

Perbedaan antarpenganut Tritunggalisme

sunting

Menurut teologi Kristen Ortodoks Timur, hakikat Allah melampaui pengertian manusia dan tidak dapat didefinisikan maupun didekati pemahaman manusia.[160] Ajaran-ajaran Kristen Katolik mirip dengan Kristen Ortodoks Timur dalam pandangan bahwa misteri-misteri Tritunggal melampaui daya nalar manusia.[129] Meskipun demikian, ada perbedaan di antara keduanya, karena menurut ajaran dan teologi Katolik, Allah Bapa adalah sumber mahakekal dari Sang Putra ("diperanakkan" Bapa secara kekal) maupun Roh Kudus ("keluar" secara kekal dari Bapa dan Putra) dan menghembuskan Roh Kudus bersama maupun melalui Sang Putra, sementara Kristen Ortodoks Timur berpendirian bahwa Roh Kudus hanya keluar dari Bapa.[161]

Kebanyakan denominasi Kristen Protestan maupun aliran-aliran Kristen lain yang muncul sesudah Reformasi Protestan menganut keyakinan-keyakinan umum tentang Tritunggal dan teologi tentang Allah yang mirip dengan Kristen Katolik. Denominasi-denominasi tersebut mencakup gereja-gereja yang terlahir dari rumpun Anglikan, Baptis, Metodis, Lutheran, dan Presbiterian. Doktrin Tritunggal bahkan disifatkan sebagai "dogma pokok dari teologi Kristen" di dalam The Oxford Dictionary of the Christian Church.[162] Meskipun demikian, pandangan representatif dari teologi Tritunggal Protestan tentang Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus sukar untuk dirumuskan setepat-tepatnya lantaran keberagaman dan kurang tersentralisasinya gereja-gereja Protestan.[162]

Awatritunggalisme

sunting

Sejumlah golongan Kristen menolak doktrin Tritunggal, sehingga disebut golongan Antitritunggal atau Awatritunggal.[163] Golongan-golongan ini menganut pandangan-pandangan yang berbeda satu sama lain. Ada yang meyakini Yesus sebagai keberadaan ilahi yang setingkat lebih rendah daripada Allah Bapa, dan ada pula yang meyakininya sebagai Yahweh dari Perjanjian Lama dalam wujud manusia, Allah tetapi tidak selamanya menjadi Allah, nabi, maupun sekadar waliyullah.[163] Menurut beberapa definisi Kristen Protestan dengan cakupan makna yang luas, golongan-golongan Antitritunggal adalah bagian dari rumpun besar Kristen Protestan, tetapi sebagian besar definisi Kristen Protestan meliyankannya.[164]

Awatritunggalisme sudah muncul sedari awal sejarah Kekristenan, dan dianut sempalan-sempalan Kristen seperti kaum Arian, kaum Ebioni, kaum Gnostis, dan lain-lain.[29] Pandangan-pandangan Antitritunggal ditentang banyak uskup, misalnya Ireneus, dan oleh karena itu ditolak konsili-konsili ekumene. Syahadat Nikea mengangkat isu hubungan antara kodrat ilahi dan kodrat insani Yesus.[29] Sesudah ditolak Konsili Nikea, Awatritunggalisme memudar sampai berabad-abad lamanya, dan orang-orang yang menolak doktrin Tritunggal dibenci umat Kristen lainnya, tetapi sempalan-sempalan Antitritunggal kembali muncul pada abad ke-19 di Amerika Utara dan tempat-tempat lain.[164]

Menurut teologi Saksi-Saksi Yehuwa, Allah Bapa sajalah satu-satunya Allah yang sejati dan mahakuasa, bahkan mengatasi Putra-Nya, Yesus Kristus. Saksi-Saksi Yehuwa mengakui bahwa Yesus bersifat prawujud, sempurna, memiliki hubungan "anak-beranak" yang unik dengan Allah Bapa, adalah tokoh utama dalam karya penciptaan maupun penebusan, dan adalah Sang Mesias, tetapi mereka percaya bahwa hanya Allah Bapa saja yang tidak berpermulaan.[165]

Di dalam teologi gereja Mormon, konsepsi Allah yang terutama adalah Keallahan, suatu sidang ilahi beranggotakan tiga keberadaan ilahi yang terpisah, yakni Elohim (Sang Bapa), Yehuwa (Sang Putra, atau Yesus), dan Roh Kudus. Sang Bapa dan Sang Putra dipercaya memiliki tubuh jasmani yang sudah disempurnakan, sementara Roh Kudus memiliki tubuh rohani. Gereja Mormon mengakui keilahian Bapa, Putra, dan Roh Kudus, tetapi meyakini bahwa ketiganya adalah keberadaan-keberadaan yang berlainan, esa bukan dalam hakikat melainkan dalam kehendak dan maksud, serta sama-sama mahatahu, mahakuasa, dan maharahim.[166]

Pentakosta Keesaan mengembangkan salah satu bentuk Monarkianisme Modalistis yang menandaskan bahwa hanya ada satu Allah, yakni Roh ilahi mahaesa, yang memanifestasikan diri dengan berbagai cara, antara lain dengan menjadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[167]

Baca juga

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Salah satu contohnya adalah 1 Korintus 8:5-6(1 Korintus 8:5–6)[10] "Sungguhpun ada apa yang disebut "allah", baik di surga, maupun di bumi, dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian, namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu, dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan, dan yang karena Dia kita hidup.
  2. ^ Salah satu contohnya adalah Yohanes 1:18, "tidak seorangpun yang pernah melihat Allah",[68]

Rujukan

sunting
  1. ^ Theokritoff, Elizabeth (2010) [2008]. "Part I: Doctrine and Tradition – Creator and creation". Dalam Cunningham, Mary B.; Theokritoff, Elizabeth. The Cambridge Companion to Orthodox Christian Theology. Cambridge dan Kota New York: Cambridge University Press. hlm. 63–77. doi:10.1017/CCOL9780521864848.005. ISBN 9781139001977. 
  2. ^ a b Young, Frances M. (2008). "Part V: The Shaping of Christian Theology – Monotheism and Christology". Dalam Mitchell, Margaret M.; Young, Frances M. The Cambridge History of Christianity, Jilid 1: Origins to Constantine. Cambridge dan Kota New York: Cambridge University Press. hlm. 452–469. doi:10.1017/CHOL9780521812399.027. ISBN 9781139054836. 
  3. ^ Cross, F. L.; Livingstone, E. A., ed. (2005). "Doctrine of the Trinity". The Oxford Dictionary of the Christian Church (edisi ke-3, edisi revisi). Oxford dan Kota New York: Oxford University Press. hlm. 1652–1653. doi:10.1093/acref/9780192802903.001.0001. ISBN 978-0-19-280290-3. 
  4. ^ a b c Schnelle, Udo (2005) [2003]. "Part II: The Basic Structures of Pauline Thought – Theology: God as the Father of Jesus Christ". Apostle Paul: His Life and Theology (edisi ke-1). Ada, Michigan: Baker Academic. hlm. 395–400. ISBN 9781441242006. LCCN 2005025534. 
  5. ^ a b c Basic Christian Doctrine, John H. Leith (1 Januari 1992) ISBN 0664251927 hlmn. 55-56
  6. ^ a b c Introducing Christian Doctrine (edisi ke-2), Millard J. Erickson (1 April 2001) ISBN 0801022509 hlmn. 87-88
  7. ^ a b Berkhof, L. Systematic Theology, Penerbit Banner of Truth:1963, hlm.61
  8. ^ Kelly, J. N. D. (2006) [1950]. "Part II: Creeds and Baptism". Early Christian Creeds (edisi ke-3). London dan Kota New York: Continuum International. hlm. 30–61. doi:10.4324/9781315836720. ISBN 9781315836720. 
  9. ^ a b Fotopoulos, John (2010). "Chapter 23: 1 Corinthians". Dalam Aune, David E. The Blackwell Companion to the New Testament. Chichester, Sussex Barat: Wiley-Blackwell. hlm. 413–433. doi:10.1002/9781444318937.ch23. ISBN 9781444318937. 
  10. ^ 1 Korintus 8:5–6
  11. ^ Bernard, David K. (2019) [2016]. "Monotheism in Paul's Rhetorical World". The Glory of God in the Face of Jesus Christ: Deification of Jesus in Early Christian Discourse. Journal of Pentecostal Theology: Supplement Series. 45. Leiden dan Boston: Brill Publishers. hlm. 53–82. ISBN 978-90-04-39721-7. ISSN 0966-7393. 
  12. ^ a b c d Hurtado, Larry W. (2015) [1988]. "Introduction: Early Christology and Chronology – Bab 5: The Early Christian Mutation". One God, One Lord: Early Christian Devotion and Ancient Jewish Monotheism (edisi ke-3). London dan Kota New York: T&T Clark. hlm. 1–16, 97–130. ISBN 9780567657718. 
  13. ^ Hurtado, Larry W. (2005). "How on Earth Did Jesus Become a God? Approaches to Jesus-Devotion in Earliest Christianity". How on Earth Did Jesus Become a God? Historical Questions about Earliest Devotion to Jesus. Grand Rapids, Michigan dan Cambridge, Inggris: Wm. B. Eerdmans. hlm. 13–55. ISBN 978-0-8028-2861-3. 
  14. ^ ("Khotbah-Khotbah Klemens," xvi. 15)
  15. ^ "TRINITY". Jewish Encyclopedia. JewishEncyclopedia.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2013. 
  16. ^ a b c Irenaeus of Lyons, Eric Francis Osborn, 26 November 2001 ISBN 0521800064 hlmn. 27-29
  17. ^ a b c d e Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Kärkkäinen, Juan F. Martinez, & Simon Chan, 10 Oktober 2008, ISBN 0830824545 hlmn. 352-353
  18. ^ a b Christian Doctrine, Shirley C. Guthrie, 1 Juli 1994 ISBN 0664253687 hlmn. 111 & 100
  19. ^ a b Hirschberger, Johannes. Historia de la Filosofía I, Barcelona: Herder 1977, hlm. 403
  20. ^ a b c d Dictionary of Biblical Imagery, Leland Ryken, James C. Wilhoit, & Tremper Longman III, 11 November 1998 ISBN 0830814515 Halaman 478-479
  21. ^ a b c d e Divine Government: God's Kingship in the Gospel of Mark, R. T. France, 10 Maret 2003 ISBN 1573832448 Halaman 1-3
  22. ^ a b Stagg, Frank. New Testament Theology. Broadman Press, 1962. ISBN 0-8054-1613-7
  23. ^ Prestige G.L. Fathers and Heretics SPCK:1963, hlm. 29
  24. ^ Kelly, J.N.D. Early Christian Doctrines A & C Black:1965, hlm. 280
  25. ^ a b c The Nicene Faith: Formation Of Christian Theology, 30 Juni 2004 ISBN 088141266X Halaman 3-4
  26. ^ a b c d Life in the Trinity: An Introduction to Theology with the Help of the Church Fathers, Donald Fairbairn, 28 September 2009 ISBN 0830838732 Halaman 48-50
  27. ^ a b c d Mercer Dictionary of the Bible disunting Watson E. Mills, Roger Aubrey Bullard 2001 ISBN 0865543739 halaman 935
  28. ^ a b Kelly, J.N.D. Early Christian Doctrines A & C Black, 1965, Halaman 115
  29. ^ a b c Theology: The Basics, Alister E. McGrath, 21 September 2011 ISBN 0470656751 halaman 117-120
  30. ^ Christian Julien Robin (2012). Arabia and Ethiopia. In The Oxford Handbook of Late Antiquity. OUP USA. hlm. 304–305. ISBN 9780195336931. 
  31. ^ a b Columbia Encyclopedia, Allah
  32. ^ Merriam-Webster. "Allah". Merriam-Webster. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 April 2014. Diakses tanggal 25 Februari 2012. 
  33. ^ "Allah." Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica
  34. ^ Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa, Allah
  35. ^ Willis Barnstone, Marvin Meyer The Gnostic Bible: Revised and Expanded Edition Penerbit Shambhala 2009 ISBN 978-0-834-82414-0 halaman 531
  36. ^ Sikhs target of 'Allah' attack, Julia Zappei, 14 Januari 2010, The New Zealand Herald. Diakses daring tanggal 15 Januari 2014.
  37. ^ Malaysia court rules non-Muslims can't use 'Allah', 14 Oktober 2013, The New Zealand Herald. Diakses daring tanggal 15 Januari 2014.
  38. ^ Malaysia's Islamic authorities seize Bibles as Allah row deepens, Niluksi Koswanage, 2 Januari 2014, Reuters. Diakses daring tanggal 15 Januari 2014. [1]
  39. ^ Idris Jala (24 Februari 2014). "The 'Allah'/Bible issue, 10-point solution is key to managing the polarity". The Star. Diakses tanggal 25 Juni 2014. 
  40. ^ The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society Sneddon, James M.; University of New South Wales Press; 2004
  41. ^ The History of Christianity in India from the Commencement of the Christian Era: Hough, James; Adamant Media Corporation; 2001
  42. ^ Wiltens, Caspar; Heurnius, Justus (1650). Justus Heurnius, Albert Ruyl, Caspar Wiltens. "Vocabularium ofte Woordenboeck nae ordre van den alphabeth, in 't Duytsch en Maleys". 1650:65. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Oktober 2013. Diakses tanggal 14 Januari 2014. 
  43. ^ Silverstein, Adam J.; Stroumsa, Guy G.; Blidstein, Moshe (2015). "The Oxford Handbook of the Abrahamic Religions" (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 3–4. Diakses tanggal 20 April 2021. 
  44. ^ Christiano, Kevin J.; Kivisto, Peter; Swatos, Jr., William H., ed. (2015) [2002]. "Excursus on the History of Religions". Sociology of Religion: Contemporary Developments (edisi ke-3rd). Walnut Creek, California: AltaMira Press. hlm. 254–255. doi:10.2307/3512222. ISBN 978-1-4422-1691-4. JSTOR 3512222. LCCN 2001035412. 
  45. ^ Theology of the New Testament, Udo Schnelle, 1 November 2009 ISBN 0801036046 halaman 477
  46. ^ Theology of Paul the Apostle, James D. G. Dunn 2003 ISBN 0-567-08958-4 halaman 418-420
  47. ^ The anointed community: the Holy Spirit in the Johannine tradition, Gary M. Burge, 1987 ISBN 0-8028-0193-5 halaman 14-21
  48. ^ a b c d e f The Doctrine of God: A Global Introduction, Veli-Matti Kärkkäinen, 2004 ISBN 0801027527 halaman 70-73
  49. ^ Peter Stockmeier dalam Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi, disunting Karl Rahner ISBN 0860120066 New York: Sea-bury Press, 1975, halaman 375-376, "Pada kurun waktu selanjutnya, kira-kira mulai tahun 180 sampai 313, struktur-struktur tersebut sudah secara esensial menentukan citra dari Gereja yang mengaku mengemban misi universal di Kekaisaran Romawi. Kurun waktu ini memang pantas disebut zaman Gereja Raya, menilik angka pertumbuhannya, perkembangan konstitusionalnya, dan aktivitas teologisnya yang intens."
  50. ^ a b c Kelly, J.N.D. Early Christian Creeds Longmans:1960, hlm. 136; hlm. 139; hlm. 195
  51. ^ "St Augustine and Being", Journal of the History of Philosophy 
  52. ^ "Saint Thomas Aquinas", Stanford Encyclopedia of Philosophy 
  53. ^ Ian T. Ramsey, Religious Language SCM 1967, hlm.50 dst.
  54. ^ David Ray Griffin, God, Power, and Evil: a Process Theodicy, Westminster, 1976/2004, hlm. 31.
  55. ^ Systematic Theology, Louis Berkhof, 24 September 1996 ISBN 0802838200 halaman 47-51
  56. ^ Mercer dictionary of the Bible, Watson E. Mills, Roger Aubrey Bullard, 1998 ISBN 0-86554-373-9 halaman 336
  57. ^ The Ten Commandments: Interpretation: Resources for the Use of Scripture in the Church, Patrick D. Miller, 6 Agustus 2009 ISBN 0664230555 halaman 111
  58. ^ Theology of the New Testament, (2000) ISBN 0664223362 hlm. 282
  59. ^ a b Ten Commandments, Arthur W. Pink, 30 Desember 2007 ISBN 1589603753 hlmn. 23-24
  60. ^ John 11-21 (Ancient Christian Commentary on Scripture), Joel C. Elowsky, 23 Mei 2007 ISBN 0830810994 hlm. 237
  61. ^ Wiersbe Bible Commentary, Warren W. Wiersbe, 1 November 2007 ISBN 0781445396 hlm. 274
  62. ^ a b c Manual Of Christian Doctrine, Louis Berkhof, 1 Agustus 2007 ISBN 1930367902 hlmn. 19-20
  63. ^ Manual Of Christian Doctrine, Louis Berkhof, 1 Agustus 2007 ISBN 1930367902 hlmn. 21-23
  64. ^ Donald Macleod, Behold Your God, Christian Focus Publications, 1995, hlmn. 20-21.
  65. ^ a b Berkhof, Louis Systematic Theology, Banner of Truth 1963, hlmn. 57-81, 46
  66. ^ John H. Hick, Philosophy of Religion Prentice-Hall 1973, hlmn. 7-14
  67. ^ The Brill Dictionary of Gregory of Nyssa. (Lucas Francisco Mateo-Seco & Giulio Maspero, penyunting.) 2010. Leiden: Brill, hlm. 424
  68. ^ Yohanes 1:18
  69. ^ a b James Cornwell, 2009 Saints, Signs, and Symbols: The Symbolic Language of Christian Art ISBN 0-8192-2345-X Halaman 2
  70. ^ Hachlili, Rachel. Ancient Jewish Art and Archaeology in the Diaspora, Bagian 1, BRILL, 1998, ISBN 90-04-10878-5, ISBN 978-90-04-10878-3, Halaman 144–145.
  71. ^ Robin Cormack, 1985 Writing in Gold, Byzantine Society and its Icons, ISBN 0-540-01085-5
  72. ^ Steven Bigham, 1995 Image of God the Father in Orthodox Theology and Iconography ISBN 1-879038-15-3 halaman 27
  73. ^ Menurut catatan Batrik Nikeforos dan petawarikh Teofanes.
  74. ^ Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997
  75. ^ Edward Gibbon, 1995 The Decline and Fall of the Roman Empire ISBN 0-679-60148-1 halaman 1693
  76. ^ Santo Yohanes dari Damsyik, Tiga Risalah mengenai Citra-Citra Ilahi ISBN 0-88141-245-7
  77. ^ Steven Bigham, 1995 Image of God the Father in Orthodox Theology and Iconography ISBN 1-879038-15-3 halaman 29
  78. ^ Gesa Elsbeth Thiessen, 2005 Theological aesthetics ISBN 0-8028-2888-4 halaman 65
  79. ^ Steven Bigham, 1995 Image of God the Father in Orthodox Theology and Iconography ISBN 1-879038-15-3 halaman 41
  80. ^ Adolphe Napoléon Didron, 2003 Christian iconography: or The history of Christian art in the middle ages ISBN 0-7661-4075-X halaman 169
  81. ^ Kapel Arena, pada puncak pelengkung kejayaan, Allah mengutus malaikat pewarta kabar gembira. Lih. Schiller, I, gambar 15
  82. ^ Bigham Chapter 7
  83. ^ Arthur de Bles, 2004 How to Distinguish the Saints in Art by Their Costumes, Symbols and Attributes ISBN 1-4179-0870-X halaman 32
  84. ^ Bourlier, Cyriil. "Introduction to Medieval Iconography", Artnet News, 28 Oktober 2013
  85. ^ Irene Earls, 1987 Renaissance art: a topical dictionary ISBN 0-313-24658-0 halaman 8 & 283
  86. ^ "CT25". Diakses tanggal 30 December 2016. 
  87. ^ Bigham, 73-76
  88. ^ Louis Lohr Martz, 1991 From Renaissance to baroque: essays on literature and art ISBN 0-8262-0796-0 halaman 222
  89. ^ Gauvin A. Bailey, 2003 Between Renaissance and Baroque: Jesuit art in Rome ISBN 0-8020-3721-6 page 233
  90. ^ Esposito, Teresa (11 Desember 2018). "Ignis artificiosus. Images of God and the Universe in Rubens's Depiction of Antique Shields". Early Modern Low Countries. 2 (2): 244. doi:10.18352/emlc.70 . 
  91. ^ Charles Winston, 1847 An Inquiry Into the Difference of Style Observable in Ancient Glass Paintings, Especially in England ISBN 1-103-66622-3, (2009) halaman 229
  92. ^ Sir Thomas Browne's Works, 1852, ISBN 0559376871, 2006 halaman 156
  93. ^ Charles Winston, 1847 An Inquiry Into the Difference of Style Observable in Ancient Glass Paintings, Especially in England ISBN 1-103-66622-3, (2009) halaman 230
  94. ^ Oleg Tarasov, 2004 Icon and devotion: sacred spaces in Imperial Russia ISBN 1-86189-118-0 page 185
  95. ^ "Council of Moscow - 1666-1667". Diakses tanggal 30 December 2016. 
  96. ^ Mercer Dictionary of the Bible, Watson E. Mills, Edgar V. McKnight, & Roger A. Bullard, 1 Mei 2001 ISBN 0865543739 Halaman 490
  97. ^ Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi, Karl Rahner, 28 Desember 2004 ISBN 0860120066 Halaman 1351
  98. ^ Dictionary for Theological Interpretation of the Bible, Kevin J. Vanhoozer, N. T. Wright, Daniel J. Treier, & Craig Bartholomew, 20 Januari 2006 ISBN 0801026946 Halaman 420
  99. ^ a b c d e f Familiar Stranger: An Introduction to Jesus of Nazareth, Michael James McClymond, 22 Maret 2004 ISBN 0802826806 Halaman 77-79
  100. ^ a b c d Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research, Bruce Chilton dan Craig A. Evans, Juni 1998 ISBN 9004111425 Halaman 255-257
  101. ^ a b An Introduction to the New Testament and the Origins of Christianity, Delbert Royce Burkett, 22 Juli 2002 ISBN 0521007208 Halaman 246
  102. ^ A Theology of the New Testament, George Eldon Ladd, 2 September 1993 ISBN 0802806805 Halaman 55-57
  103. ^ a b c d Introducing Christian Doctrine (Edisi ke-2) oleh Millard J. Erickson (1 April 2001) ISBN 0801022509 halaman 391-392
  104. ^ Systematic Theology Jld. 2 oleh Wolfhart Pannenberg (27 Oktober 2004) ISBN 0567084663 halaman 390-391
  105. ^ a b The Oxford Companion to the Bible oleh Bruce M. Metzger dan Michael David Coogan (14 Oktober 1993) ISBN halaman 157
  106. ^ a b c Theological Dictionary of the New Testament (Jilid III) oleh Gerhard Kittel dan Gerhard Friedrich (Juni 1966) ISBN 0802822452 halaman 936
  107. ^ a b c d e Vickers, Jason E. Invocation and Assent: The Making and the Remaking of Trinitarian Theology. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2008 ISBN 0-8028-6269-1 Halaman 2-5
  108. ^ a b The Cambridge Companion to the Trinity, Peter C. Phan, 2011 ISBN 0521701139 Halaman 3-4
  109. ^ Elizabeth Lev, "Dimming the Pauline Spotlight; Jubilee Fruits" Zenit 2009-06-25
  110. ^ a b c Richardson, Alan, An Introduction to the Theology of the New Testament, SCM: 1961, Hlmn. 122f,158
  111. ^ a b The Trinity, Roger E. Olson, Christopher Alan Hall, 2002 ISBN 0802848273 Halaman 29-31
  112. ^ Tertullian, First Theologian of the West, Eric Osborn, 4 Desember 2003 ISBN 0521524954 Halaman 116-117
  113. ^ a b Systematic Theology, Louis Berkhof, 24 September 1996 ISBN 0802838200 Halaman 83
  114. ^ a b Oxford Dictionary of the Christian Church (1974), Cross & Livingstone (penyunting), art "Trinity, Doctrine of"
  115. ^ A Short History of Christian Doctrine, Bernhard Lohse, 1978 ISBN 0800613414 Halaman 37
  116. ^ Critical Terms for Religious Studies. Chicago: The University of Chicago Press, 1998. Credo Reference.27 Juli 2009
  117. ^ Dennis O'Neill, Passionate Holiness: Marginalized Christian Devotions for Distinctive Peoples (2010), hlm. 8.
  118. ^ "Deum humanam sexuum transcendere distinctionem. Ille nec vir est nec femina, Ille est Deus." Dari "Pater per Filium revelatus", Catechismus Catholicae Ecclesiae. (Citta del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana, 1993): 1-2-1-1-2 ¶ 239. (Terjemahan resmi ke dalam bahasa Inggris Diarsipkan 3 Maret 2013 di Wayback Machine.)
  119. ^ a b The Cambridge Companion to the Trinity oleh Peter C. Phan 2011 ISBN 0521701139 halaman 173-174
  120. ^ The Trinity: Global Perspectives oleh Veli-Matti Kärkkäinen (17 Januari 2007) ISBN 0664228909 halaman 8
  121. ^ a b c The Trinity: Global Perspectives, Veli-Matti Kärkkäinen, 17 Januari 2007 ISBN 0664228909 Halaman 10-13
  122. ^ Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Kärkkäinen, Juan F. Martinez, dan Simon Chan, 10 Oktober 2008 ISBN 0830824545 Halaman 169-171
  123. ^ The International Standard Bible Encyclopedia, Geoffrey W. Bromiley, 1988 ISBN 0-8028-3785-9 Halaman 571-572
  124. ^ a b c d The Doctrine of God: A Global Introduction, Veli-Matti Kärkkäinen, 2004 ISBN 0801027527 Halaman 37-41
  125. ^ Symbols of Jesus, Robert C. Neville, 4 Februari 2002 (ISBN 0521003539) halaman 26-27
  126. ^ Jesus and His Own: A Commentary on John 13-17 oleh Daniel B. Stevick (29 April 2011) Eeardmans ISBN 0802848656 halaman 46
  127. ^ a b The Westminster Dictionary of Christian Theology by Alan Richardson and John Bowden (1 Januari 1983) ISBN 0664227481 halaman 36
  128. ^ The Oxford Handbook of the Trinity oleh Gilles Emery O. P. dan Matthew Levering (27 Oktober 2011) ISBN 0199557810 halaman 263
  129. ^ a b Alinea 242 245 dan 237. Catechism of the Catholic Church (Edisi ke-2). Libreria Editrice Vaticana. 2012. Temu balik tanggal 23 Januari 2021.
  130. ^ a b c God Our Father oleh John Koessler (13 September 1999) ISBN 0802440681 halaman 68
  131. ^ a b c International Standard Bible Encyclopedia: E-J oleh Geoffrey W. Bromiley (Maret 1982) ISBN 0802837824 halaman 515-516
  132. ^ Alinea 356 dan 295. Catechism of the Catholic Church (Edisi ke-2). Libreria Editrice Vaticana. 2012. Temu balik tanggal 23 Januari 2021.
  133. ^ a b The Westminster Dictionary of Christian Theology, Alan Richardson & John Bowden, 1 Januari 1983 ISBN 0664227481 Halaman 101
  134. ^ a b c Historical Theology: An Introduction, Geoffrey W. Bromiley, 2000 ISBN 0567223574 Halaman 128-129
  135. ^ Christology: Biblical And Historical, Mini S. Johnson ISBN 8183240070 Halaman 307
  136. ^ The Ecumenical Councils of the Catholic Church: A History, Joseph F. Kelly, 1 September 2009 ISBN 0814653766 Halaman 19-22
  137. ^ a b Practical Christian Theology, Floyd H. Barackman, 1998 ISBN 0825423740 Halaman 149-151
  138. ^ Matthew, David L. Turner, 2008 ISBN 0-8010-2684-9 Halaman 613
  139. ^ a b Christian Theology, J. Glyndwr Harris, Maret 2002 ISBN 1902210220 Halaman 12-15
  140. ^ Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity, Larry W. Hurtado, 14 September 2005 ISBN 0802831672 Halaman 130-133
  141. ^ Historical Theology: An Introduction, Geoffrey W. Bromiley 2000 ISBN 0567223574 Halaman 50-51
  142. ^ Late Antiquity: A Guide to the Postclassical World, G. W. Bowersock, Peter Brown, dan Oleg Graba, 1999 ISBN 0674511735 Halaman 605
  143. ^ A Short History of Christian Doctrine, Bernhard Lohse, 5 Januari 1978 ISBN 0800613414 Halaman 90-93
  144. ^ The Westminster Dictionary of Christian Theology, Alan Richardson & John Bowden, 1 Januari 1983 ISBN 0664227481 Halaman 169
  145. ^ a b Introducing Christian Doctrine (edisi ke-2), Millard J. Erickson, 1 April 2001 ISBN 0801022509 Halaman 237-238
  146. ^ Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi, Karl Rahner, 28 Desember 2004 ISBN [[Special:BookSources/|]] Invalid ISBN Halaman 692-694
  147. ^ Untuk ayat-ayat Alkitabnya, baca: Roma 1:3, Roma 4, Galatia 4:4, Yohanes 1:1–14, Yohanes 5:18–25, Yohanes 10:30–38
  148. ^ Introduction to the Theology of Karl Barth, Geoffrey William Bromiley, 3 November 2000 ISBN 0567290549 Halaman 19
  149. ^ The Renewal of Trinitarian Theology: Themes, Patterns & Explorations, Roderick T. Leupp, 1 Oktober 2008 ISBN 0830828893 Halaman 31
  150. ^ a b c Kärkkäinen 2002, hlm. 120-121.
  151. ^ a b Systematic Theology Jld. 1, Wolfhart Pannenberg, 11 November 2004 ISBN 0567081788 Halaman 332
  152. ^ Invitation to Theology, Michael Jinkins, 26 Januari 2001 ISBN 0830815627 Halaman 60 & 134-135
  153. ^ Invitation to Theology, Michael Jinkins, 26 Januari 2001 ISBN 0830815627 Halaman 193
  154. ^ a b The mystery of the Triune God, John Joseph O'Donnell, 1988 ISBN 0-7220-5760-1 Halaman 75
  155. ^ The Wiersbe Bible Commentary: The Complete New Testament, Warren W. Wiersbe, 2007 ISBN 978-0-7814-4539-9 Halaman 471
  156. ^ a b Millard J. Erickson (1992). Introducing Christian Doctrine. Baker Book House. hlm. 265–270. 
  157. ^ Meskipun istilah "lahir baru" lebih sering dipakai umat Kristen Injili, sebagian besar denominasi Kristen memang berpandangan bahwa orang yang baru masuk Kristen adalah "ciptaan baru" dan "terlahir baru". Sebagai contoh, lih. Catholic Encyclopedia
  158. ^ The Holy Spirit and His Gifts, J. Oswald Sanders, Inter-Varsity Press, Bab 5
  159. ^ T C Hammond (1968). Wright, David F, ed. In Understanding be Men: A Handbook of Christian Doctrine (edisi ke-sixth). Inter-Varsity Press. hlm. 134. 
  160. ^ The Mystical Theology of the Eastern Orthodox Church, Vladimir Lossky ISBN halaman 77
  161. ^ Systematic Theology, Francis Schussler Fiorenza & John P. Galvin, 1 Mei 2011 ISBN 0800662911 halaman 193-194
  162. ^ a b The Oxford Dictionary of the Christian Church, Oxford University Press, 2005 ISBN 978-0-19-280290-3, artikel Trinity, doctrine of the
  163. ^ a b Trinitarian Soundings in Systematic Theology, Paul Louis Metzger, 2006 ISBN 0567084108 halaman 36 & 43
  164. ^ a b Encyclopedia of Protestantism, J. Gordon Melton, 2008 ISBN 0816077460 halaman 543
  165. ^ Insight on the Scriptures. 2. 1988. hlm. 1019. 
  166. ^ Dahl, Paul E. (1992). "Godhead". Dalam Ludlow, Daniel H. Encyclopedia of Mormonism. New York: Macmillan Publishing. hlm. 552–53. ISBN 0-02-879602-0. OCLC 24502140. .
  167. ^ "Oneness Pentecostalism: Heresy, Not Hairsplitting | Christian Research Institute". www.equip.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 18, 2020. Diakses tanggal 2020-11-19. 

Sumber

sunting

Pranala luar

sunting