Ngalaksa

salah satu upacara keagamaan di dunia

Ngalaksa adalah salah satu upacara adat Sunda membawa padi ke lumbung dan membuat laksa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesuksesan hasil panen padi di sawah yang diperoleh masyarakat.[1] Upacara tradisional ini dilaksanakan rutin setiap tahun di daerah Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Upcara ini wujud ungkapan kepercayaan lokal masyarakat terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri dan Karuhun (ruh-ruh nenek moyang) yang telah tiada.[2] Nyi Pohaci adalah nama lain dari Dewi Sri yang dipercaya sebagai dewi kesuburan.[3] Ngalaksa merupakan kata kerja berimbuhan Nga- , dalam bahasa Sunda imbuhan tersebut menggambarkan proses membuat makanan laksa oleh warga yang menjadi Rurukan (pemangku acara) selama tujuh hari tujuh malam dengan iringan seni Tarawangsa dan kecapi buhun yang disebut Jentreng. Laksa adalah sejenis makanan dengan bahan dasar tepung beras yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi makanan seperti lontong yang dibungkus dengan daun congkok. Proses pembuatan laksa ini menjadi tahapan penting dalam ritual upacara[4] Laksa tersebut direbus dengan daun combrang dengan jumlah ribuan atau sebanyak tepung yang telah dipersiapkan. Masyarakat percaya bahwa jumlah yang didapat pada saat itu memberi gambaran akan keberhasilan panen berikutnya. Bila pada saat itu dapat menghasilkan bungkus laksa yang lebih banyak dari tahun kemarin maka mereka yakin berkah melalui panen yang akan datang hasilnya akan lebih berlimpah.[5]

Prosesi memasukan padi ke dalam lumbung dalam Upacara Adat Ngalaksa.

Asal-usul sunting

Versi Pertama sunting

Zaman dahulu pada tahun 1620-an, pada masa pemerintahan Suryadiwangsa di Sumedang, keadaan sedang sibuk. Saat itu wilayah Sumedang berada dalam kekuasaan Kerajaan Mataram. Karena merasa tidak aman, masyarakat Sumedang melarikan diri ke dua tempat yang berbeda. Para Aparat Pemerintahan pergi ke Dayeuh Luhur, sebagian lagi yaitu para Budayawan lari ke Rancakalong. Saat itu, Kerajaan Mataram memiliki rencana untuk menyerang VOC ke Batavia. Maka ditentukan bahwa pusat perbekalan perang Kerajaan Mataram ada di Cirebon yang saat itu dipimpin oleh Dipati Ukur. Bahan pangan, terutama padi di seluruh wilayah Kerajaan Mataram harus dikirim ke Cirebon. Begitu pun Sumedang, bahan pangan seperti padi, palawija, dan sebagainya habis diberikan ke Cirebon. Tentunya saat itu di Sumedang mengalami paceklik atau kesusahan pangan. Melihat keadaan tersebut, masyarakat memiliki inisiatif mengirimkan utusan ke Cirebon. Ada 13 orang utusan yang dipimpin oleh Jatikusumah mempunyai tugas untuk membawa benih padi dari Cirebon ke Sumedang. Tetapi setelah 3 tahun ternyata tidak membuahkan hasil. Ini karena ketatnya pengawasan dari penjaga Cirebon. Para utusan tertangkap, digeledah pada saat membawa benih padi. Oleh karena itu Jatikusumah meminta kepada Pemerintah Sumedang untuk mencarikan seniman Tarawangsa. Saat itu Sumedang langsung mengutus 2 orang seniman Tarawangsa untuk pergi ke Cirebon. Dengan kepintaran 2 utusan tadi mereka berpura-pura menjadi pengamen, akhirnya benih padi pun bisa sampai ke Sumedang. Sejak saat itu masyarakat Sumedang tidak lagi mengalami paceklik karena benih padi yang ditanam hasilnya selalu baik. Setelah mengetahui di Rancakalong hasil panen sangat melimpah, diputuskan Sumedang harus mengirim padi ke Cirebon dalam bentuk makanan yang sudah matang. Saat itu masyarakat Rancakalong mengolah padi menjadi suatu makanan yang disebut laksa, serta setiap panen harus menyerahkan ke Cirebon untuk bekal perang. Sejak saat itu, kebiasaan membuat laksa itu dijalankan setelah panen, serta mengirimkannya ke Cirebon. Lama-lama para pembuat laksa meninggal karena usianya yang sudah tua. Akhirnya semuanya meninggal, meninggalkan 1 anak yang berumur 12 tahun. Selanjutnya diangkat oleh seorang warga Desa Rancakalong, sampai berumur 35 tahun. Dari anak itu berumur 12 tahun hingga 35 tahun, kebiasaan membuat laksa berhenti dan berlanjut lagi sampai sekarang.[6]

Versi Kedua sunting

Konon dahulu cerita masyarakat Rancakalong ditimpa musibah yang membuat warganya panik luar biasa. Sebab musabab kepanikan tersebut karena hilangnya butiran padi dari dalam kulitnya. Padi yang ditanam tumbuh, tetapi tidak berisi. Akibatnya, masyarakat mengalami kekurangan pangan, kelaparan dan muncul berbagai jenis penyakit. Kemudian para tokoh desa Rancakalong berembuk dengan satu tujuan yakni mereka berusaha untuk mendapatkan bibit padi. Pada masa itu, Mataram dikenal sebagai lumbungnya bibit padi, maka berangkatlah para utusan dari Desa Rancakalong untuk menemui Raja Mataram. Namun para utusan tersebut tidak berhasil menghadap dan menemui Raja Mataram, bahkan di perjalanan para utusan dihadang pengawal Kerajaan (sumber lain menyebutkan perampok). Berdasarkan pengalaman tersebut, lalu mereka para tokoh bermusyawarah kembali, untuk mencari siasat atau ide agar dapat menghadap sang Raja Mataram. Maka muncul ide dari Eyang Jatikusumah untuk menciptakan dua buah alat musik Tarawangsa dan Jentreng (sejenis rebab dan kecapi), agar dapat berjumpa dengan sang Raja. Melalui kedua alat musik tersebut, mereka berhasil tampil dihadapan sang Raja dan mereka juga memperoleh bibit padi, sebagaimana tujuan yang diharapkan oleh masyarakat Rancakalong. Untuk membawa bibit padi tersebut, agar terhindar dari pemeriksaan dan perampasan para pengawal atau perampok dengan cara memasukannya ke dalam lubang resonator yang terdapat pada bagian belakang alat tersebut. Alat musik yang dipakai tersebut di beri nama Jentreng dan Tarawangsa.[7]

Pelaksanaan sunting

Upacara adat Ngalaksa dianggap sebagai kegiatan tradisi yang bersifat sosio religius. Nilai kemasyarakatan berkaitan dengan sifat religius tentunya membutuhkan pemikiran yang matang sehingga fungsi dan maksud adanya upacara sejalan dengan tujuan diadakannya upacara. Menurut tradisi, dulunya upacara adat Ngalaksa dilaksanakan 3 atau 4 tahun sekali. Tetapi mulai tahun 1985 setelah para sesepuh adat mengadakan musyawarah dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwista Kabupaten Sumedang, upacara menjadi dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada bulan Mei atawa Juli. Upacara ini dilaksanakan di lima rurukan yaitu di Rurukan Rancakalong, Rurukan Cibunar, Rurukan Cijere, Rurukan Legok Picung, dan Rurukan Pasir Biru.[5] Sekarang ngalaksa telah menjadi agenda rutin Kabupaten Sumedang yang mandiri karena diselenggarakan berdasarkan Peraturan Bupati Sumedang Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda (Sumedang sebagai pusat budaya Sunda).[8]

Tahapan Upacara sunting

Badanten sunting

Badanten atau musyawarah adalah tahap pertama dalam upacara ngalaksa. Bila pelaksanaannya di masyarakat, para rurukan sudah mempersiapkan acara badanten sejak bulan Mulud (Rabiul’awal) atau Silih Mulud (Rabiul’akhir) untuk ngalaksa bulan Jumadil’akhir, atau selepas Lebaran (Syawal) untuk ngalaksa di bulan Hapit (Dzulqaidah) pada tahun ketiga menjelang keempat. Adapun bila pelaksanaannya menurut pada agenda pemerintah di Desa Wisata, sebelumnya para ketua rurukan sudah mengetahui rurukan mana yang akan menjadi penanggung jawab penyelenggaraan kegiatan setiap tahunnya. Antara bulan Mei sampai dengan Juli (kalender pemerintah) untuk menentukan waktu terbaiknya. Badanten dilakukan oleh para ketua rurukan dengan mengundang empat ketua rurukan lainnya, perangkat desa, sesepuh laki-laki dan perempuan atau para saéhu, juga para pendukung lainnya. Dalam badanten dilakukan musyawarah tentang segala persiapan dan pelaksanaan upacara ngalaksa. Mulai dari waktu (hari dan tanggal) yang harus dihitung berdasarkan palintangan Sunda, kepanitiaan atau panata calagara, candoli, bahan yang harus disediakan, perlengkapan (peralatan dapur dan peralatan listrik), transportasi, dan penabuh kesenian tarawangsa. Struktur tahapan badanten adalah sebagai berikut.[9]

  • Saur atau Béwara, setelah badanten dilaksanakan secara tatalépa atau dari mulut ke mulut saur (informasi) segera menyebar. Prosesnya disebut bewara atau mengumunkan dalam waktu satu minggu.[10]
  • Ngahayu atau Ngayu adalah mengajak warga untuk mempersiapkan keperluan upacara. Pada rurukan Rancakalong, istilah ini disebut ngayun, yaitu ngarahayukeun sareng ngayunkeun kahoyong Nyai (membahagiakan padi) dengan cara memainkan tarawangsa beberapa malam.[10]
  • Ngiringan, masyarakat setempat berdatangan pada ketua rurukan untuk ngiringan. Ngiringan (mengikuti) ini adalah kegiatan sukarela pada masyarakat setempat untuk ikut serta dengan cara menyumbangkan berbagai keperluan upacara. Barang yang disumbangkan bisa berupa bahan (padi, beras, tepung untuk keperluan pembuatan kue, bumbu dapur, ayam, dll) atau kue yang sudah jadi, alat dan pekakas yang dipinjamkan, sampai uang yang setara dengan harga barang yang disumbangkan. Semua masyarakat sekitar ngiringan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Proses mengumpulkan bahan ini dilakukan dalam jangka satu minggu.[9]

Mera sunting

Mera adalah pembagian tugas dan pembagian bahan (bibit padi). Setelah semua keperluan upacara hasil sumbangan dari masyarakat terkumpul dengan cara ngiringan, bahan dan tugas pun diperjelas kembali pembagiannya. Adapun tahapan mera adalah sebagai berikut.

  • Pembukaan, acara ini didahului oleh sambutan sesepuh atau saéhu sebagai pemimpin dimulainya mera.
  • Ngajiad Menyan dan Ijab Kabul, setelah pembukaan, lalu juru ijab atau salah seorang sesepuh atau saéhu membakar kemenyan dan mengucapkan ijab kabul yang isinya adalah bersyukur pada Tuhan, memberi salawat dan salam pada para Nabi, para wali, para leluhur, dan meminta ijin akan dilaksanakan mera demi keancaran upacara ngalaksa.
  • Membagi Bahan,hasil dari ngiringan masyarakat setempat yang sudah terkumpul tadi kemudian dibagi menjadi lima bagian. Pembagian bahan dilakukan demikian, misalnya dari ngiringan terkumpul satu kuintal beras atau padi, maka hasil satu kuintal tersebut dibagi dengan cara ditimbang untuk keperluan bahan membuat laksa, belanja untuk berbagai keperluan sesaji dan upacara, makan dan minum selama upacara berlangsung, dan upah untuk para pangrawit, pendukung, atau pembantu, dan biaya tak terduga.
  • Nginebkeun, setelah jelas pembagiannya, misalnya padi untuk membuat laksa terkumpul 45 gédéng atau gundu, lalu padi itu diserahkan kepada orang yang bertugas mengurusnya. Para petugas itu kemudian menyimpan padi di lumbung atau goah untuk diinebkeun (disimpan) hingga pada waktunya dilungsurkeun (diturunkan) ketika hari pertama upacara ngalaksa berlangsung.

Meuseul sunting

Meuseul adalah istilah bermakna halus untuk kata memijat. Memijit bukan arti sebenarnya, tetapi kata yang dipilih untuk menghormati Nyai Pohaci atau Dewi Sri sebagai pengganti kata menumbuk. Meuseul yang terdapat pada ngalaksa terdapat dua jenis, yaitu meuseul mitembeyan dan meuseul geulis.[11]

Meuseul Mitembeyan sunting

Meuseul Mitembeyan adalah menumbuk tahap pertama untuk memperoleh beras dari padi. Meuseul mitembeyan dilaksanakan pada waktu subuh hari kedua berlangsungnya acara. Dalam meuseul mitembeyan ini rincian tahapannya adalah sebagai berikut.[11]

  • Ngajiad Menyan dan Ijab Kabul, acara pada hari pertama adalah Ngajiad Menyan dan Ijab kabul dilakukan oleh saéhu laki-laki. Ngajiad Menyan adalah menyalakan kemenyan sebagai simbol dibukanya acara dengan membacakan mantra. Setelah ngajiad menyan, ijab dilalarkeun atau dinyaringkan. Ijab kabul ini adalah salam pembuka, memuji Tuhan, solawat pada Nabi Muhammad, doa-doa, menyebut para nabi para wali, menyebut semua leluhur di Rancakalong, dan ngedalkeun pamaksudan atau menyatakan maksud. Setelah itu memohon perlindungan dan menyatakan harapan, keberkahan, keselamatan akan mengolah sawah dan hasilnya satu tahun ke depan. Selesailah ijab. Selanjutnya untuk mengisi acara, kesenian tarawangsa ditabuh dari sore hari sampai larut malam, sampai tiba acara nyumpingkeun keresa Nyai.
  • Nyumpingkeun Keresa Nyai, selanjutnya malam hari pada hari pertama itu dilaksanakan nyumpingkeun kersa Nyai (sekitar jam 21.00 s.d. 04.00 WIB ). Nyumpingkeun adalah ritual yang disertai tarawangsa. Pada acara ini, bisa terlihat mitos menjadi kepercayaan bagi penganutnya.
  • Meuseul Mitembeyan, setelah istirahat dan sholat subuh, jam 05.00 semua bersiap untuk ngalungsurkeun Nyai dari lumbung untuk dipeuseul mitembeyan atau ditumbuk permulaan.
  • Nyiraman Nyai, di pangsiraman, Nyai disiraman atau diisikan atau dimandikan, dibersihkan. Mengawali Nyai disiraman, doa dan mantra dipanjatkan disertai kemenyan yang dibakar. Setelah semuanya selesai dibersihkan, kembali bakul-bakul berisi padi diarak diiringi ineban Nyai dibawa ke pajemuhan. Di pajemuhan, Nyai dipindahkan pada pangkon boboko yang sebelumnya dialasi dengan daun cariang ‘sejenis daun talas’ yang sudah diberi dengan minyak kelapa. Daun cariang ini ibarat selimut Nyai yang akan menjadikannya hangat ketika nanti diinebkeun ‘diperam’(disimpan) di pangineban (dapur).
  • Nginebkeun Nyai 2, setelah pangramaan mulailah membaca doa dan mantra serta membakar kemenyan di pangineban, ineban Nyai sebanyak 12 dimasukkan sebagian ke pangineban, lalu bakul-bakul berisi padi yang sudah dialasi dan ditutup daun cariang pun satu demi satu dimasukkan ke goah yang disebut pangineban tadi.
  • Ngaguar Nyai, hari kelima jam 03.40 subuh, setelah semalaman nyumpingkeun keresa Nyai¸ tibalah ngalungsurkeun Nyai dari peramannya yang dalam masa empat hari tiga malam itu. Nyai dikeluarkan dan ditumpahkan pada pangkon nyiru untuk dibersihkan.[11]

Meuseul Geulis sunting

Meuseul geulis adalah menumbuk halus, tujuannya memperoleh tepung dari beras yang sudah ditumbuk pada hari kedua tadi. Meuseul geulis dilaksanakan pada hari kelima atau hari terakhir untuk mendapatkan bahan dasar laksa (tepung).[11]

Ngalaksa sunting

 
Laksa yang telah jadi.

Dalam membuat laksa terbagi menjadi dua, yaitu ada rurukan yang membuat laksa bongkok saja dan ada rurukan yang meneruskannya dengan membuat laksa gencét atau nyepitan Nyai. Tahapan melaksanakan laksa bongkok adalah ngadonan Nyai, nyinjangan Nyai, ngagodog Nyai, dan turun jimat. Tahapan ini diteruskan lagi kalau membuat laksa gencét, tahapannya adalah numbuk cikal, ngaléér, membuat orok-orok, nyepitan Nyai, membuat laksa dan ditambah, dan ngahurip Nyai'.[11]

  • Ngadonan Nyai adalah proses membuat adonan laksa. Adapun kegiatannya tepung dari tumbukan ritual diadonan pertama kali, mulai dari tepung dari padi cikal (pertama), panengah, dan bungsu (terakhir).
  • Nyinjangan Nyai artinya memberikan kain pada Nyai. Adonan yang sudah selesai diuleni kemudian dimasukkan ke dalam wadah-wadah dan dibagikan pada ibu-ibu yang sudah siap memberikan sinjang. Sinjang bukan arti sesungguhnya, tetapi daun congkok (Latin: Moliner Capitulata) yang sudah dibersihkan dan disediakan sebagai kemasan membungkus laksa.
  • Ngagodog Nyai, setelah adonan laksa dibungkus, saatnya untuk direbus dalam air rebusan papagan combrang. Sebelum Nyai digodog ada kasepuhan yang mengantarnya ke tempat merebus, yang disebut ngajajapkeun (mengantarkan). Kasepuhan yang mengantarkan bungkusan laksa itu layaknya seorang kakek atau seorang bapak yang menggendong anak untuk diantarkan ke tempat yang ditujunya.
  • Turun Jimat, laksa yang diangkat dari perebusan inilah yang disebut laksa bongkok. Setelah laksa-laksa itu diangkat dan ditiriskan, saatnya turun jimat atau membagikan laksa sebagai pamulang sambung (kembalian), terutama kepada mereka yang ngiringan, para ketua rurukan, aparat desa, para pendukung, dan masyarakat. Pada turun jimat ini diyakini beberapa hal oleh masyarakat setempat, yaitu apabila laksa dikeringkan dan disimpan di goah atau di lumbung, maka Nyai Pohaci akan senang dan hasil pertanian akan bagus, apabila laksa dimakan, maka orang yang memakannya akan terhindar dari berbagai macam musibah, apabila air bekas mencuci jambangan (alat untuk membuat laksa gencét) dipakai mencuci pada wajah, maka akan awet muda, dan apabila air bekas mencuci jambangan disiramkan pada sawah dan ladang maka tumbuhannya akan subur. Demikian juga bila diminumkan pada binatang ternak, maka akan beranak pinak.
  • Numbuk Cikal, tahap seterusnya adalah numbuk cikal, bila rurukan akan melaksanakan membuat laksa gencét. Pelaksanaannya adalah semua laksa bongkok yang sudah matang dari padi cikal dibuka dari daun pembungkusnya, lalu disatukan. Setelah itu ditumbuk sampai merata di dalam dulang (tempat menumbuk terbuat dari kayu).
  • Ngaléér, setelah lumat semua, adonan dikeluarkan untuk diléér di atas papan ukuran 150x40x2 cm. Papan tersebut dialasi daun pisang supaya licin dan mudah diuleni, diolesi minyak kelapa sebelumnya. Setelah itu, lalu adonan diléér atau diratakan dengan bambu kuluntungan sampai beberapa kali. Orang yang ngeléér harus sampai berkeringat dan bekerja keras sampai adonan benar-benar lembut. Setelah itu lalu dibentuk lonjong sekitar 100x20x7 cm dan dipotong-potong menjadi enam bagian.
  • Membuat Orok, lima bagian potongan ulenan kemudian dibentuk orok. Satu bagian disisihkan untuk menjadi saksi. Ulenan itu dibuat menyerupai bayi, kepalanya lengkap dengan anggota tubuhnya (mata, hidung, telinga, bibir), tangannya, tubuhnya, kakinya. Para Ibu mengerjakannya dengan khidmat dan penuh perasaan bahkan banyak pula yang menangis terharu.
  • Nyepitan Nyai, atau mengkhitan Nyai. Alat mengkhitan Nyai adalah jambangan yang terdiri dari titihan dan cacadan. Sebelum kegiatan itu dilakukan, juru ijab kembali mengucapkan ijab kabul yang intinya memohon ijin pada Dewi Sri karena tubuhnya akan ditekan atau disepitan. Setelah ijab selesai, orok tersebut kemudian dimasukkan ke dalam titihan berlubang, lalu dengan cacadan orok tersebut digencét atau ditekan dengan cacadan, maka keluarlah laksa atau laksa gencét, laksa yang sesungguhnya yang berupa lembaran-lembaran laksa menyerupai mie atau semacam spageti. Nyepitan ini hanya dibuat satu kali saja dan harus dilakukan dengan sekuat tenaga agar orok berubah menjadi laksa (mentah).
  • Membuat Laksa, laksa mentah yang berupa lembaran-lembaran menyerupai mie itu kemudian ditampung dengan ayakan lalu direbus di atas tungku. Ketika lembaran itu matang, maka laksa akan menyembul dari dalam air yang panas, semua orang berteriak bahagia seraya berkata, Geulis! Geulis! Geulis!, atau Cantik! Cantik! Cantik! Lembaran-lembaran laksa yang telah matang itu diambil untuk dihurip. Sisa laksa yang masih dalam dandang dan tidak menyembul menyerupai mie akan disimpan.
  • Ngahurip, proses terakhir dalam membuat laksa gencét ini adalah ngahurip. Ngahurip adalah mendoakan lembaran laksa yang telah diangkat dari tempat rebusan. Prosesnya seperti ngahurip pada bayi, yaitu seorang sesepuh laki-laki menimang dan mendoakan laksa yang dialasi selembar daun yang lebar, lalu diserahkan pada sesepuh perempuan yang seolah-olah menjadi ma paraji (dukun beranak) yang juga mendoakan dengan penuh kasih sayang. Setelah itu acara ditutup oleh saéhu dengan menyampaikan pidato tradisional yang isinya berupa nasihan agar masyarakat yang mengikuti upacara Ngalaksa senantiasa melaksanakan amanat leluhurnya supaya terhindar dari kesulitan.[11]

Wawarian

Wawarian adalah netepkeun karuhun ka asalna (mengembalikan leluhur ke asalnya). Tahap ini adalah tahap terakhir yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara ngalaksa. Tahap wawarian ini dilaksanakan tidak di Desa Wisata tetapi dilakukan di rumah ketua rurukan yang bertanggung jawab menyelenggarakan upacara. Tahap wawarian dilaksanakan tiga hari atau seminggu setelah upacara ngalaksa selesai di Desa Wisata. Adapun urutan kegiatan wawarian adalah iber, padungdengan, ngajiad menyan dan ijab kabul, dan nyumpingkeun, dan ngineban.[9]

  • Iber atau ngawartosan adalah kegiatan yang dilakukan oleh ketua rurukan untuk mengundang para ketua rurukan lainnya, wakil aparat desa, dan para saéhu (sesepuh pangramaan dan paibuan), dan penabuh kesenian tarwangsa untuk mengiringi kegiatan wawarian.
  • Padungdengan (Evaluasi), setelah magrib, semua yang hadir breng padungdengan atau diskusi dengan hangat dan tanpa suasana formal, bisa merokok, mencicipi makanan, dan sejenisnya. Dengan suasana santai, dibicarakan kekurangan dan kelebihan atau sisa yang tertinggal dari upacara Ngalaksa. Setelah padungdengan dianggap selesai, suasana dikondisikan menjadi serius khidmat.
  • Ngajiad Menyan & Ijab Kabul, setelah isya, wawarian dibuka dengan ngajiad menyan dan ijab kabul. Ijab kabul yang dinyatakan sama seperti ijab kabul permulaan, yaitu salam pembuka, memuji Allah, solawat pada Nabi Muhammad, doa-doa, menyebut para nabi para wali, menyebut semua leluhur di Rancakalong. Adapun yang membedakannya kegiatan ijab kabul permulaan adalah isi dan tujuan ketika ngedalkeun pamaksudan atau menyatakan maksud yaitu berterima kasih pada para karuhun yang telah ikut serta dalam upacara Ngalaksa lalu memohon maaf apabila banyak kekurangan dan memohon perlindungan, keberkahan, dan keselamatan dalam menggarap sawah satu tahun ke depan.
  • Nyumpingkeun, selanjutnya kesenian tarawangsa ditabuh dari malam sampai subuh untuk mengiringi acara nyumpingkeun Keresa Nyai yang tata caranya sama dengan nyumpingkeun di awal. Setelah subuh menjelang, Keresa Nyai yang dianggap telah datang adalah simbol persetujuan bahwa para karuhun sudah tetep di asalnya dan menerima seluruh kegiatan.
  • Nginebkeun, acara terakhir adalah menyimpan ineban (padi) ke goah atau lumbung.[9]

Pelaksana sunting

 
Gambaran Juru Ijab atau Wali Puhun sedang bertugas pada suatu upacara adat.

Penyelenggara teknis dalam upacara adat Ngalaksa di antaranya sebagai berikut.[12]

Ketua Rurukan

Ketua Rurukan atau Ketua Kampung, bertugas memimpin upacara serta mengatur jalannya upacara. Ketua rurukan yang membuka acara dan diawali dengan memberikan contoh kepada peserta upacara mengenai semua kegiatan yang akan dilaksanakan. Seorang ketua rurukan harus bisa menjaga jalannya upacara sehingga tidak ke luar dari kaidah-kaidah yang berlaku dan sudah disepakati sebelumnya.

Saehu

Saehu bisa mempunyai dua arti, yaitu pemimpin kegiatan dan akronim dari saé hubungan (hubungan baik) seseorang yang dianggap bisa menjalin komunikasi dengan baik. Saéhu ini mempunyai peran penting dalam kegiatan, beliau yang ngokojoan atau ngaluluguan (memimpin) kegiatan. Kata saéhu ini bisa diterapkan pada laki-laki dan perempuan. Hal yang lebih penting bagi peran ini adalah mereka bisa saja bukan turunan langsung dari rurukan. Saéhu ini bisa bertugas jadi juru ijab, nu ngajiad menyan, nu marancah, apabila menguasainya, dan sebutan mereka berubah menjadi juru ijab atau wali puhun.

Juru Ijab

Juru Ijab atau Wali Puhun, yaitu tokoh yang bertugas sebagai mediator untuk mengucapkan mantra-mantra dan do’a untuk ruh para leluhur. Juru Ijab harus hapal mantra dan do’a dalam upacara karena dianggap sebagai tokoh penghubung dunia nyata dan dunia gaib. Mereka biasanya adalah tokoh tua atau kalaupun tidak tua tetapi berpengalaman dalam setiap urusan hubungan dua dunia (nyata-gaib).

Candoli

Candoli, yaitu pelaku yang tugasnya menunggu dan mengerjakan segala pekerjaan dan keperluan di tempat penyimpanan sesaji (goah) atau dapur.

Juru tulis

Juru tulis yaitu tokoh yang tugasnya menerima dan mencatat sumbangan dari masyarakat untuk keperluan upacara. Setelah selesai upacara, juru tulis membagikan lontong kepada semua peserta upacara sebagai balas jasa.

Pangramaan dan Paibuan

Pangramaan adalah barisan parasaéhu laki-laki, mereka bertugas mengatur kegiatan, saling melengkapi, mengarahkan, dan membantu. Tugas pentingnya di antaranya adalah mengawali ngemban atau ngabadaya; menari dan nyumpingkeun. Paibuan adalah barisan saéhu perempuan. Paibuan sangat dominan perannya ketika nyumpingkeun Keresa Nyai.

Saksi

Saksi yang diperuntukkan pada orang yang paling tua sekali umurnya dan mengetahui kegiatan Ngalaksa. Tugas saksi adalah meluruskan, membenarkan, atau menyempurnakan apabila ada yang salah dan ada yang kurang.

Nu Ngiringan

Nu ngiringan adalah masyarakat yang dengan sukarela membantu mengumpulkan bahan, iuran, alat-alat, atau menyumbangkan pikiran dan tenaganya secara sukarela untuk upacara ngalaksa. Nu ngiringan atau jamaknya nu ngariringan ini, terutama nu ngiringan dengan tenaganya pada saat-saat kegiatan sudah mengerti apa yang harus diperbuat dan yang menjadi tugasnya. Tugas dan kewajiban mereka disebutkan sudah dari karuhunnya, terutama yang sudah ditegaskan lagi dalam mera, yaitu membuat boneka Nu Geulis dan Nu Kasép, yang bertugas menyiapkan sesaji, daun congkok untuk sinjang pembungkus’ laksa, pekakas, menumbuk padi, menampung laksa, mengelola dalam pembuatan laksa (pembuat adonan, pencetak, ngagodog), dan membagikan laksa di puncak acara. Dalam ngiringan ada istilah nu ngiringan duit saduit (artos pamulud). Setiap nu ngiringan duit saduit memberi sumbangan uang dengan peruntukan perorang. Misalnya memberi uang Rp. 10.000 untuk lima orang, artinya setiap orang yang ikut akan memberi sumbangan Rp. 2.000 untuk sedekah mulud, karena ngalaksa secara tradisional ada yang dilaksanakan pada bulan setelah mulud (Rabiul’awal) yaitu Jumadil’akhir selain pada bulan Hapit (Dzulqaidah). Pada masyarakat yang memberikan sumbangan diharapkan bisa mendapat keberkahan.[11]

Benda-benda Upacara sunting

Benda-benda Dapur

Benda-benda dapur adalah alat-alat atau pekakas yang biasa digunakan di dapur untuk menyiapkan makan dan minum seluruh pendukung kegiatan. Benda-benda ini misalnya saja hawu (tungku) dan kayu bakarnya, kancah dan susuknya untuk penggorengan, dandang besar untuk menanak nasi dan menggodog laksa, ember untuk membawa air, tempat air besar untuk menyimpan air minum, gelas, piring, sendok, lap bersih, lap kotor, dan lain-lain.[11]

Benda-benda Upacara

Benda-benda upacara adalah alat-alat atau pekakas yang digunakan dalam upacara ngalaksa yang secara ritual berperan penting pada pelaksanaanya. Benda-benda ini terbagi dua, yaitu benda-benda perlengkapan Ngalaksa dan benda-benda perlengkapan sesaji.

Benda-benda Perlengkapan Ngalaksa

Benda-benda ini adalah jambangan, pangkon (nyiru, boboko, tolombong), ayakan, giribig, terpal, lisung-halu, hihid, susuk awi, dulang, dan baskom.

Benda-benda Perlengkapan Sesaji

Benda-benda ini terbagi tiga, yaitu sesaji pokok dan sajen pengiring. Sajen pengiring terbagi dua, yaitu sajen makanan dan sajen non makanan.

Sajen Pokok adalah kemenyan dan parupuyan, sajarah wujud (kendi-air-pohon hanjuang hijau, hihid), puncak manik (nasi yang dibuat puncak gegunungan dari beras satu mangkok, telur ayam kampung, dan uang koin dua macam), rurujakan (tujuh atau sembilan macam), kopi pahit kopi manis, dan kelapa muda.

Sajen Pengiring makanan terdiri atas bubur merah, bubur putih, ketupat, lontong, dupi, papais merah, papais putih, sarikaya, bugis, candil, kelepon, kue cara merah, kue cara putih, buah-buahan umbi-umbian, hahampangan (opak, kolontong, wajit, rengginang, rangining, dll), rampe, rujak petis, lemper, ranggesing, amis cangkéng, hahaneutanbumbu dapur’, minyak kelapa, pisang kapas, congcot mulus (tumpeng, ikan mas, telur mentah, dan daging mentah), congcot rasul (bakakak ayam, telur ayam matang, dan piis ‘asakan’, urab ketan, dan gulampo.

Sajen Pengiring bukan Makanan terdiri atas saksi (patung Nu Geulis dan Nu Kasép), sampayan (kebaya-kain yang dijejerkan di atas penabuh menjadi latar kegiatan), pangradinan, yaitu alat-alat kecantikan Nyai (sisir, cermin, bedak, lipstik, pensil alis, minyak wangi, dll), perhiasan Nyai (gelang tangan dan gelang kaki, cincin, kalung, jepit rambut), pakaian Nyai (kain-kebaya-karémbong atau selendang), pakakas Nyai (keris), seureuh ranggeuyan dan tékték, lemareun (bahan untuk makan sirih), sesepen (rokok atau cerutu), sawén, tampolong kuningan (pekakas untuk meludah), dan pangkonan yang terdiri dari lungsuran, ineban (bibit padi), bunga tujuh atau sembilan rupa, minyak kelapa, dan bunga rampai. Benda-benda perlengkapan sesaji ini bisa dibuat untuk dua hal, yaitu untuk upacara ngalaksa dan untuk tarawangsa. Sesaji untuk upacara ngalaksa secara keseluruhan disimpan di lumbung, sesaji untuk tarawangsa disimpan di depan penabuh tarawangsa untuk keperluan Nyumpingkeun Keresa Nyai.

Benda-benda Midang

Benda-benda midang adalah benda-benda yang dipakai oleh para saéhu, para penabuh, para penari, dan nu ngiringan, dalam aktivitas upacara ngalaksa terutama ketika ngabadaya atau ngemban.

Pakaian Keseharian

Saéhu laki-laki memakai iket, baju, celana kampret hitam, sandal, dan peci. Saéhu perempuan memakai kebaya, sinjang, rambut disanggul atau dikerudung. Para penabuh mengenakan iket, baju, celana kampret hitam atau iket, kaos, celana hitam (bebas ketika siang hari). Nu ngiringan kebanyakan kaum ibu memakai kebaya, sinjang, rambut disanggul atau dikerudung, sedangkan kaum bapak sama saja pakaiannya seperti para saéhu.

Pakaian Ngabadaya

Saéhu laki-laki memakai iket, kemeja putih, jas luar atau bukaan hitam, selendang, sinjang prang kusumah, keris. Saéhu perempuan memakai sanggul, sisir tanduk, renda kabaya, sinjang prang kusumah, gelang', dan selendang. Pakaian para penabuh dan nu ngiringan biasanya sama saja dengan pakaian keseharian pada saat upacara ngalaksa, kecuali pada hari terakhir ketika kegiatan membuat laksa dilakukan, terutama para ibu. Pada hari tersebut semua berpenampilan dengan warna kebaya yang cerah, misalnya hijau muda, kuning muda, biru, merah, dan ungu.

Gerakan dalam upacara sunting

Gerakan Tarawangsa sunting

Gerakan ini adalah gerakan khusus ketika tarawangsa ditabuh, terutama ketika kegiatan nyumpingkeun Keresa Nyai pada malam hari sampai pagi hari, yaitu:

Ngalisahan, Nyekar, dan Meuleum Menyan

Nyekar adalah memohon ijin pada leluhur di hadapan sesaji. Nyekar ini dilakukan pertama kali oleh saéhu laki-laki, lalu saéhu perempuan, lalu siapapun yang akan ikut menari. Gerakan nyekar memang tidak seperti menari, tetapi ini bagian permulaan yang berpola dan harus dilakukan. Cara yang haris dilakukan adalah saéhu duduk dengan khidmat lalu mengoleskan minyak kelapa pada kening, alis, dan jempol (ngalisahan). Setelah itu berdoa di depan sesajj dan membakar sedikit kemenyan.

Ngalulungsur

Ngalulungsur adalah mengundang para leluhur untuk turun pada pajemuhan. Gerakannya adalah saéhu mengganti bajunya dengan baju khusus untuk menari, yaitu saéhu laki-laki memakai iket, kemeja putih, jas luar atau bukan hitam-kekemben (selendang), sinjang prang kusuma, dan keris. Untuk saéhu perempuan memakai sanggul, sisir tanduk, renda, kabaya, dan sinjang prang kusumah berikut gelang dan kemben (selendang). Setelah ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan, mereka duduk menghadap sesaju dan juga menghadap empat penjuru arah mata angin (timur, selatan, barat, dan utara) sambil membaca mantra. Setelah itu, saéhu menari menghadap sesaji sampai selesai dengan lagu tarawangsa Pangemat/Pangameut.

Ider Naga

Setelah lulungsur selesai, maka saéhu laki-laki memimpin ider naga. Ider naga adalah gerakan membawa 9 sampai denga 12 barang ineban oleh paibuan yang berjumlah 9 s.d.12 orang dengan gerakan berputar besar di depan sesaji (pajemuhan). Paibuan ini beriring di belakang saéhu laki-laki dengan menimang ineban-ineban yang dibawanya seperti halnya menimbang bayi. Penabuh tarawangsa melagukan Pangapungan. Setelah beberapa kali ideran, disimpanlah lagi ineban bersama sesaji lainnya di hadapan para penabuh. Saéhu laki-laki kemudian menari menghadap sesaji lalu menghadap hadirin. Selanjutnya saéhu laki-laki menyerahkan keris dan selendang pada saéhu perempuan.

Amitan

Saéhu perempuan menerima keris dan selendang, hal ini menandakan tanggung jawab selanjutnya ada pada saéhu perempuan. Maka setelah itu amitan atau amitan paibuan pun dilakukan oleh saéhu perempuan dan paibuan. Setelah saéhu perempuan memakai perlengkapan baju menari, terutama memakai sisir tanduk, renda gelang, dan selendang, maka saéhu pun ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan. Setelah itu saéhu perempuan bersalaman pada para sesepuh. Selanjutnya paibuan (para ibu-ibu pengiring saéhu) bersalaman pada sesepuh dan menarilah mengiringi saéhu perempuan. Saéhu perempuan menari menghadap sesaji, sedangkan paibuan menari di belakang saéhu.

Panémaan

Panémaan berasal dari kata téma artinya sambung, jadi panémaan adalah menyambung tarian. Adapun penarinya adalah panéma atau penyambung. Panéma ini menerima benda-benda dari salah seorang paibuan yang selesai menari berupa baju seperangkat dengan kerisnya untuk dipakai lagi menari. Setelah baju dipakai, maka panéma pun ngalisahan, nyekar, dan membakar sedikit kemenyan. Setelah itu dipegangnya puncak manik, diusapnya sasaji dalam pangkon, lalu diusapnya juga pohon hanjuang, barulah panéma menari. Saéhu perempuan memakai perlengkapan menari terutama sisir tanduk, renda gelang, dan selendang. Setelah itu kemudian ngalisahan, nyekar, membakar kemenyan, bersalaman pada saéhu laki-laki, dan menarilah. Paibuan kemudian berdiri dan menari mengelilingi dan menjaga saéhu perempuan yang akan kesurupan atau akan kasumpingan Keresa Nyai. Setelah tampak saéhu tak sadarkan diri dalam tariannya, paibuan menahan tubuh saéhu agar tidak jatuh lalu mengangkat dan mengarahkan keris ke kepala saéhu. Setelah itu, saéhu diciprati air dengan menggunakantékték. Setelah mulai sadar, tangan saéhu menciprati paibuan yang menjaganya, lalu diminumnya sedikit air yang dipakai ritual tersebut.

Nginebkeun

Gerakan nginebkeun pada tarawangsaan adalah gerakan menyimpan benda-benda ineban ke pangineban (lumbung). Polanya adalah pola ider naga, tetapi ineban yang dibawanya hanya pangkonan, sajarah wujud, dan saksi. Gerakan iderannya sebanyak sembilan kali sesuai dengan arah jarum jam.

Gerakan dalam Upacara Ngalaksa sunting

Gerakan ini maksudnya adalah gerakan yang berpola dalam upacara Ngalaksa secara menyeluruh.

Meuseul

Pada gerakan meuseul atau menumbuk, baik meuseul mitembeyan maupun meuseul geulis, gerakan dilakukan bersamaan atau sareundeuk saigel sabobot sapihanean. Tidak boleh ada gerakan yang saling susul menyusul karena bukan kegiatan main-main, tetapi kegiatan sakral dan penuh kebersamaan. Oleh sebab itu, gerakan harus selalu bersamaan mengayun ke atas dan ke bawah, kadang disesuaikan dengan lagu tarawangsa yang ditabuh.

Nimang/ngemban

Gerakan Nimang adalah gerakan berpola seperti halnya menimang bayi. Nimang disebut juga ngemban yaitu mengayun bayi ketika sedang mengasuh. Gerakan ini sangat mudah terlihat pada setiap waktu ketika tarawangsa ditabuh. Paibuan atau pangramaan, sesepuh, bahkan penongton yang mengerti akan menggerakkan tangannya seperti halnya menimang bayi. Gerakan ini kadang menimang dengan tangan kosong ataupun dengan menimang selendang.

Ngibing Ngabadaya

Ngibing ngabadaya dilakukan malam hari adalah ketika tarawangsa ditabuh dan kegiatan nyumpingkeun Keresa Nyai dilaksanakan. Tari ngabadaya pada kegiatan ini dilakukan oleh para saéhu laki-laki dan para saéhu perempuan, juga panema dan paibuan, dan bersifat sakral karena berada pada ritual nyumpingkeun. Para saéhu memakai busana parang kusumah. Lagu-lagu yang mengiringinya adalah lagu-lagu pokok. Ngibing ngabadaya yang dilakukan siang hari diikuti oleh masyarakat umum untuk meramaikan acara. Tarian ini ini sifatnya hiburan. Lagu tarawangsa yang ditabuh pun dinamis dengan lagu-lagu panambah.

Gerakan tari ngabadaya bersifat bebas, intuitif, tetapi mengindahkan gerakan-gerakan dasar yaitu memakai selendang, gerakan para perempuan lebih statis dengan hanya mengayun selendang ke kiri ke kanan, sedangkan gerakan para laki-laki lebih dinamis. Selain gerakan yang tadi, ada juva gerakan di luar kesadaran para penari, yaitu trans atau setengah kesurupan dan kesurupan. Menurut para saéhu, terutama yang menjaga kemenyan, penari yang kesurupan tersebut dianggap kemasukan leluhurnya, sehingga ada perempuan yang menangis, menari dengan gagah, dan bahkan mirip pencak silat. Demikian juga dengan penari laki-laki, ada yang kesurupan pamacan, palutung, dan sebagainya.

Mungkus

Kegiatan mungkus memperlihatkan pula gerakan tersendiri. Para ibu yang ngiringan secara perseorangan membungkus laksa dengan daun congkok berada dalam kelompok yang serempak sama membungkus laksa. Hal ini menjadikan gerakan membungkus berada dalam ritme dan dinamika yang menarik.

Ngajajapkeun

Gerakan terakhir yang menarik adalah gerakan ngajajap atau mengantarkan Nyai ke panggodogan (perebusan). Gerakan ini dilakukan oleh kasepuhan dengan sedikit tarian tarian mengikuti irama musik dan lagu yang ditabuh. Dengan memangku laksa yang akan direbus, kakek seolah mengayun Nyai dalam pelukannya. Kepala, badan, dan kaki kakek bergerak dengan lincahnya mengikuti irama lagu sambil membawa Nyai ke panggodogan.

Kesenian pengiring sunting

Kesenian dalam upacara ngalaksa adalah pertunjukan kesenian tarawangsa selama tujuh hari tujuh malam dan pada hari ketujuh baru diikuti dengan tari-tarian dengan masyarakat atau sesepuh sebagai penarinya.[13] Selain itu ada juga seni rengkong yang dipertunjukan saat iring-iringan atau pawai memasukan padi ke lumbung berlangsung.[14]

Pertunjukan tarawangsa

 
Pertunjukan Tarawangsa dalam upacara ngalaksa.

Tarawangsa adalah seni pusaka yang sangat dihormati di Desa Rancakalong, sehingga dijuluki seni ormatan. Tarawangsa sendiri memiliki arti dan dimaknai sebagai tatabeuhan rakyat wali nu salapan (alat musik Sembilan Wali) atau merupakan akronim dari narawang ka nu Maha Kawasa (menerawang pada Tuhan Yang Maha Esa).[15] Tarawangsa juga memiliki fungsi khusus sebagai alat musik untuk menghormati Nyai Nu Geulis, sebuah sebutan yang dituturkan orang-orang tua pada zaman dahulu di Tatar Sunda untuk makanan, khususnya beras dan nasi.[16] Alat musik yang dipakai dalam pertunjukan ini terdiri dari dua waditra, yaitu waditra jentreng (sejenis kecapi) dan ngek-ngek (sejenis rebab). Jentreng bentuknya mirip dengan perahu yang berukuran panjang 75 cm sampai dengan 104 cm, lebarnya 12 sampai 14 cm. Terdiri dari ruruma, geulang, inang, paksi, lubang suara dan kawat atau dawai berjumlah 7 buah.[17] Sedangkan ngek-ngek adalah alat musik gesek beresonansi dari kayu, memiliki leher panjang dan dua buah kawat. Peranannya selain berfungsi sebagai melodi juga bisa menjadi goong untuk memperkuat aksen petikan pada akhir ketukan lagu.[13] Pertunjukan ini disajikan dalam bentuk ansambel kecil yang hanya dimainkan oleh dua orang yang terdiri dari satu orang pemain kecapi dan satu orang pemain rebab. Kecapi dalam tarawangsa memiliki tujuh dawai, sedangkan rebab nya memiliki dua dawai. Baik jentreng maupun ngek-ngek, kedua istilahnya diambil dari masing-masing imitasi bunyi waditranya. Jentreng berasal dari bunyi yang di petik menghasilkan bunyi treng dan ngek-ngek berasal dari bunyi rebab yang di gesek menghasilkan bunyi ngek. Dalam membunyikan waditra ngek-ngek terdapat berbagai keunikan di dalamnya, selain bunyi suaranya yang khas, cara memainkannya juga sangat berbeda dengan memainkan rebab. Dalam memainkan rebab sunda dawai ditekan menggunakan ujung jari, sedangkan bila memainkan ngek-ngek dawai ditekan menggunakan sendi setiap jari-jari tangan. Waditra ngek-ngek hanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu tarawangsa, karena fungsinya hanya sebagai pembawa melodi dari lagu tarawangsa tersebut. Berbeda dengan waditra rebab sunda yang dapat digunakan untuk mengiringi semua lagu-lagu sunda.[18] Dalam pertunjukan Tarawangsa, penduduk menari sambil diiringi musik semalam suntuk, tak sedikit orang yang menari mengalami kerasukan ruh para leluhur. Pertujukan ini diawali oleh para para tokoh dan sesepuh dengan memanjatkan puji kepada Tuhan dan menghaturkan salawat kepada Nabi Muhammad Saw.[19]

Pertunjukan seni tarawangsa biasanya dilaksanakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 04.00 WIB dini hari. Khusus dalam upacara adat Ngalaksa dilakukan selama satu minggu siang dan malam secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena tarawangsa dijadikan pengiring upacara yang senantiasa harus dipagelarkan selama upacara berlangsung. Para pemain seni tarawangsa terdiri dari penari perempuan berjumlah 5,7, sampai 9 orang yang berusia lanjut, nayaga (pemain musik), saksi, dan Kuncen (juru kunci). Pertunjukannya dibagi ke dalam beberapa acara yaitu, tatalu (pembukaan), ngukus (membakar kemenyan), ijab kabul (ikrar serah terima), ngalungsurkeun (menurunkan), nema, nyumpingkeun (mendatangkan) dan nginebkeun (menyimpan). Lagu-lagu yang biasa dibawakan dari awal sampai akhir pertunjukan adalah Pamapag, Mataraman, Iring-iringan, Jemplang, Panimang, Sirna Galih, Dengdo, Angin-angin, Pangapungan, Buncis, Badud, dan Degung. Sesaji dalam seni tarawangsa memiliki ciri khas sebagai sebuah seni tradisi yang dianggap sakral. Makna-makna yang bisa diambil hikmahnya dari pertunjukan tarawangsa yaitu wujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu ingat bahwa setiap tindakan harus mipit kudu amit ngala kudu menta (mengambil itu harus minta ijin terlebih dahulu). Selain itu, manusia harus memperlakukan padi (Dewi Sri) dengan tertib, teliti, dan hati-hati.[20] Sedangkan gambaran media yang digunakan adalah manusia hidup di alam dunia ini terdiri dari empat unsur yang dilambangkan dengan daun hanjuang (kehidupan), kendi (unsur bumi), hihid (unsur angin atau udara), dan air mengalir (unsur darah).[13]

Dalam kesenian ini, disediakan sesaji sebagai syarat berlangsungnya ritus. Sesaji dalam seni ini terdiri dari sesaji di tengah rumah dan sesaji di padaringan (tempat menyimpan padi). Sesaji yang disimpan adalah pakaian kebaya putih, pangradinan, sisir dan kaca, minyak kelapa, tektek juga beras yang di atasnya ditancapkan daun hanjuang, bunga rampai, dan kemenyan.[13]

Seni Rengkong

 
Seni rengkong.

Peralatan seni rengkong sangat sederhana. Alat tersebut adalah bambu gombong, tali ijuk, minyak tanah, dan kumpulan padi yang sudah diikat. Bambu gombong berfungsi untuk memikul. Tali ijuk digunakan sebagai pengikat padi yang digantung pada pikulan. Padi yang memiliki beratn 10 sampai 20 kilogram sebagai beban yang dipikul. Sedangkan minyak tanah untuk pengesat gesekan antara tali dan pikulan sehingga menghasilkan suara yang nyaring. Selain itu, ada dogdog dan angklung buncis sebagai alat musik pengiring. Hatong juga berperan sebagai instrumen tambahan. Hatong adalah alat tiup yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan musik rengkong sangat khas seperti suara katak bernyanyi dengan kompak. Pemain rengkong biasanya mengenakan celana pangsi, baju kampret, iket, tanpa menggunakan alas kaki. Pemainnya terdiri dari lima atau enam orang dengan lama bermain kurang lebih satu jam. Pertunjukan rengkong harus digelar di tempat terbuka. Cara memainkannya adalah pikulan yang berisi padi diletakkan di bahu sebelah kanan. Si pemikul mengayunkan ke kiri dan ke kanan dengan irama yang teratur. Tali ijuk yang menggantung pada badan bambu pun akan ikut bergerak-gerak, gesekan tali ijuk tersebut akan menghasilkan suara nyaring.[14]

Awalnya, rengkong digunakan sebagai sarana mengangkut padi dari sawah ke lumbung, sekaligus sebagai obat lelah para petani yang mengangkat padi yang begitu berat. Perlahan-lahan rengkong berubah menjadi kesenian tradisional masyarakat Sunda yang sering dipertunjukan ketika perayaan hari besar nasional, upacara keagamaan, upacara perkawinan, bahkan menyambut kedatangan tamu istimewa. Selain itu, rengkong juga memiliki nilai religius karena digunakan sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri (Dewi Keseburan) karena telah diberikan hasil panen yang melimpah.[14]

Rujukan sunting

  1. ^ "Upacara Adat Ngalaksa-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-26. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  2. ^ Heryana, Agus (2012-03-01). "MITOLOGI PEREMPUAN SUNDA". Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. 4 (1). doi:10.30959/patanjala.v4i1.129. ISSN 2598-1242. 
  3. ^ "Tradisi Ngalaksa, Khas Warga Rancakalong". rri.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-27. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  4. ^ Yuningsih, Yuyun (2005). "Makna simbolik upacara Ngalaksa pada masyarakat Rancakalong". Universitas Gadjah Mada. 
  5. ^ a b "Wabup Buka Event Budaya Ngalaksa". www.setda.sumedangkab.go.id. Diakses tanggal 2019-04-10. 
  6. ^ bpnbbandung (2015-05-20). "Upacara Adat Ngalaksa di Kabupaten Sumedang". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-11. 
  7. ^ Kesuma, Guntur Cahaya (2016). "Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Adat Sunda "Ngalaksa" Tarawangsa di Rancakalong Jawa Barat". Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam (dalam bahasa Inggris). 7 (1): 35–44. doi:10.24042/atjpi.v7i1.1492. ISSN 2528-2476. 
  8. ^ Sumedang, Koran. "Ngalaksa Diharapkan Jadi Agenda Kabupaten Sumedang Mandiri". Korsum.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-18. Diakses tanggal 2019-04-18. 
  9. ^ a b c d "Rekontruksi Model Manajemen Rurukan Dalam Upacara Adat". webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-15. Diakses tanggal 2019-04-11. 
  10. ^ a b "BAB III Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong Kota Sumedang - PDF". docplayer.info. Diakses tanggal 2019-04-22. 
  11. ^ a b c d e f g h Isnendes, Retty (2013-12-12). "STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia. 
  12. ^ Kartikasari, T. dkk. (1991). Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Upacara Traditional (Upacara Kesuburan Tanah Ngalaksa dan Upacara Bersih Desa Syaparan. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan. Hal. 29
  13. ^ a b c d "Tarawangsa, Seni Sakral Sunda Kuno yang Tersisa di Rancakalong". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-04-12. [pranala nonaktif permanen]
  14. ^ a b c Redaksi. "Rengkong, Seni Masyarakat Agraris". Tangga.id (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  15. ^ "Tarawangsa Rancakalong – Gigi Priadji" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  16. ^ http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/article/download/277/103
  17. ^ Yulaeliah, Ela (2006). "TARAWANGSA DAN JENTRENG DALAM UPACARA NGALAKSA DI RANCAKALONG SUMEDANG JAWA BARAT (Sebagai Sarana Komunikasi Warga)". SELONDING (dalam bahasa Inggris). 3 (1). doi:10.24821/selonding.v3i1.5. 
  18. ^ Ismail, M. Taufik (2017-06-16). "ORNAMENTASI WADITRA NGEK-NGEK GAYA ABUN DALAM LAGU REUNDEU PADA KESENIAN TARAWANGSA RANCAKALONG SUMEDANG" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia. 
  19. ^ Teguh, Irfan. "Tarawangsa: Menghormati Dewi Sri sampai Hilang Kesadaran". tirto.id. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  20. ^ Paluseri, D. D., dkk. (Oktober 2018). Ratnawati, Lien Dwiari, ed. Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 143. 

Pranala luar sunting