Bambu

subfamili tumbuhan
Bambu
Rentang fosil: 55–0 jtyl
Eosen Awal – Sekarang
(paling awal pada Kapur Akhir)
Hutan bambu di Kyoto, Jepang
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Subfamili:
Bambusoideae
Tribus
Diversitas[1]
>1,462 (spesies diidentifikasi) spesies dalam 115 genera
Sinonim[2]

Bambu, buluh, atau aur adalah tumbuhan berbunga menahun hijau abadi dalam subfamili Bambusoideae yang termasuk famili Poaceae[3]. Bambu dikenal juga dengan istilah preng atau pring dalam bahasa Jawa, awi atau tamiang atau haur atau aur atau suluh dalam bahasa Sunda, bangu dalam bahasa Badui, tabatiko dalam bahasa Ternate, dan ute dalam bahasa Ambon.[4] Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60 cm (24 Inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam.[5]

Taksonomi dan geografi sunting

Klad BOP
Bambusoideae

Bambuseae (bambu kayu tropis)

Olyreae (bambu herba)

Arundinarieae (bambu kayu iklim sedang)

Pooideae

Oryzoideae

Filogeni bambu di dalam klad BOP rerumputan, seperti yang disarankan oleh analisis seluruh Poaceae[6] dan bambu pada khususnya.[1]
 
Bambu liar di tepi sungai

Terdapat dua bentuk bambu secara umum, yaitu bambu berkayu dari suku Arundinarieae dan Bambuseae, dan bambu rerumputan dari suku Olyreae. Analisis molekuler dari pastida menunjukkan bahwa terdapat tiga sampai lima garis keturunan utama dari bambu.[1]

Bambu diklasifikasikan ke lebih dari 10 genus dan 1450 spesies.[7] Spesies bambu ditemukan di berbagai lokasi iklim, dari iklim dingin pegunungan hingga daerah tropis panas. Mereka terdapat di sepanjang Asia Timur dari 50o Lintang Utara di Sakhalin sampai ke sebelah utara Australia, dan di bagian barat India hingga ke Himalaya.[8] Mereka juga terdapati di sub-Sahara Afrika,[9] dan di Amerika dari pertengahan Atlantik Amerika Utara[10] hingga ke selatan ke Argentina dan Cili, mencapai titik paling selatan Bambu pada 47o Lintang Selatan. Benua Eropa tidak memiliki spesies bambu asli.[11]

Baru-baru ini telah diupayakan untuk membudidayakan bambu secara komersial di Danau Besar Afrika di Afrika Tengah bagian timur, terutama di Rwanda. Selain itu, berbagai perusahaan di Amerika Serikat juga menumbuhkan, memanen, dan mendistribusikan spesies bambu seperti Phyllostachys edulis.[12]

Ekologi sunting

 
Hutan bambu di Taiwan
 
Tampak dekat batang bambu
 
Hutan bambu di New Jersey.

Bambu merupakan tanaman dengan laju pertumbuhan tertinggi di dunia, dilaporkan dapat tumbuh 100 cm (39 in) dalam 24 jam.[5] Namun laju pertumbuhan ini amat ditentukan dari kondisi tanah lokal, iklim, dan jenis spesies. Laju pertumbuhan yang paling umum adalah sekitar 3–10 cm (1,2–3,9 in) per hari. Bambu pernah tumbuh secara besar-besaran pada periode Cretaceous, di wilayah yang kini disebut dengan Asia. Beberapa dari spesies bambu terbesar dapat tumbuh hingga melebihi 30 m (98 ft) tingginya, dan bisa mencapai diameter batang 15–20 cm (5,9–7,9 in). Namun spesies tertentu hanya bisa tumbuh hingga ketinggian beberapa inci saja.

Bambu termasuk dalam keluarga rumput-rumputan, yang dapat menjadi penjelasan mengapa bambu memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini berarti bahwa ketika bambu dipanen, bambu akan tumbuh kembali dengan cepat tanpa mengganggu ekosistem. Tidak seperti pohon, batang bambu muncul dari permukaan dengan diameter penuh dan tumbuh hingga mencapai tinggi maksimum dalam satu musim tumbuh (sekitar 3 sampai 4 bulan). Selama beberapa bulan tersebut, setiap tunas yang muncul akan tumbuh vertikal tanpa menumbuhkan cabang hingga usia kematangan dicapai. Lalu, cabang tumbuh dari node dan daun muncul. Pada tahun berikutnya, dinding batang yang mengandung pulp akan mengeras. Pada tahun ketiga, batang semakin mengeras. Hingga tahun ke lima, jamur dapat tumbuh di bagian luar batang dan menembus hingga ke dalam dan membusukkan batang. Hingga tahun ke delapan (tergantung pada spesies), pertumbuhan jamur akan menyebabkan batang bambu membusuk dan runtuh. Hal ini menunjukkan bahwa bambu paling tepat dipanen ketika berusia antara tiga hingga tujuh tahun. Bambu tidak akan bertambah tinggi atau membesar batangnya setelah tahun pertama, dan bambu yang telah runtuh atau dipanen tidak akan digantikan oleh tunas bambu baru di tempat ia pernah tumbuh.

Banyak spesies bambu tropis akan mati pada temperatur mendekati titik beku, sementara beberapa bambu di iklim sedang mampu bertahan hingga temperatur −29 °C (−20 °F). Beberapa bambu yang tahan dingin tersebut mampu bertahan hingga zona 5-6 dalam kategori USDA Plant Hardiness Zones, meski pada akhirnya mereka akan meruntuhkan daun-daunnya dan menghentikan pertumbuhan, namun rizomanya akan selamat dan menumbuhkan tunas bambu baru di musim semi berikutnya.

Bambu dari genus Phyllostachys dikategorikan sebagai spesies invasif di Amerika Serikat dan jual-beli maupun perbanyakan adalah ilegal.[13]

Sebagai makanan hewan sunting

 
Bambu adalah makanan utama panda, mencapai 99% dari diet mereka

Bagian-bagian dari bambu seperti tunas, ranting, dan dedaunannya adalah sumber makanan utama dari panda di Tiongkok, panda merah di Nepal, dan lemur bambu di Madagaskar. Tikus memakan buah bambu, gorila gunung Afrika juga memakan bambu dan telah didokumentasikan mengkonsumsi nira bambu yang telah berfermentasi dan mengandung alkohol.[9] Simpanse dan gajah juga memakan bagian dari batang bambu.

Larva dari pelubang bambu (ngengat Omphisa fuscidentalis) di Laos, Myanmar, Thailand, dan Tiongkok memakan pulp dari bambu yang masih hidup. Larva ngengat ini menjadi bahan makanan setempat.

Pembungaan massal sunting

 
Bambu yang sedang berbunga

Kebanyakan bambu berbunga sangat jarang. Faktanya, bambu hanya berbunga dengan interval 5 sampai 120 tahun. Pembungaan massal pada spesies tertentu berbeda-beda waktunya. Pembungaan massal yang paling lama periodenya adalah bambu dari spesies Phyllostachys bambusoides. Spesies ini berbunga secara massal dalam waktu bersamaan meski terpisah secara geografis dan iklim, dan setelah itu bambu akan mati menyisakan rizomanya. Pembungaan ini memiliki dampak yang kecil, sehingga mengindikasikan keberadaan alarm biologis di dalam sel yang memicu penjatahan energi untuk memproduksi bunga dan menghentikan pertumbuhan vegetatif.[14] Mekanisme ini, termasuk penyebabnya secara volusi, masih menjadi pertanyaan.

Satu hipotesis yang menjelaskan evolusi dari pembungaan massal ini adalah untuk "mengenyangkan" predator, di mana pembungaan dan pembuahan dalam waktu yang bersamaan akan meningkatkan ketahanan populasi benih mereka dengan membanjiri area dengan buah sehingga predator akan memakan yang mereka butuhkan dan lalu meninggalkan biji-bijian yang tersisa untuk tumbuh menjadi tanaman baru. Bambu memiliki siklus pembungaan yang jauh melebihi usia hidup rodent sehingga mampu mengatur populasi rodent agar tidak terbiasa memakan buah bambu. Dan bambu dewasa yang mati sebelum berbunga akan lebih efektif jika tidak dipertahankan sebagai mekanisme penyimpanan energi untuk melakukan pembungaan.[15]

Hipotesis lainnya adalah berdasarkan pada teori kebakaran hutan bambu, dimana kematian massal pasca pembungaan memicu gangguan habitat. Bambu yang mengering di atas biji-bijian yang telah jatuh di atas tanah dapat memicu kebakaran hutan akibat sambaran petir.[16] Karena bambu dapat menjadi tanaman suksesi yang agresif, dan tunas bambu yang baru dapat mencegah pertumbuhan tanaman yang lain sehingga mereka mampu menguasai lahan.

Namun kedua hipotesis diragukan dengan berbagai alasan. Hipotesis "pengenyangan" predator tidak menjelaskan secara detail mengapa pembungaan massal memakan waktu hingga 10 kali usia hidup rodent. Dan hipotesis kebakaran bambu diragukan karena tidak ditemukan bukti terjadinya kebakaran hutan bambu akibat sambaran petir; hampir semuanya disebabkan oleh manusia.[17] Dan teori pemanfaatan sambaran petir sebagai satu-satunya alasan dalam kemajuan evolusi bambu diragukan karena sambaran petir merupakan kejadian alam yang sangat tidak terduga.[18] Meski kebakaran hutan akibat sambaran petir sebenarnya terjadi dalam jangka waktu evolusi kehidupan di bumi di beberapa tempat. Dan spesies tanaman Pinus contorta membutuhkan pemicu ekologis seperti kebakaran hutan untuk menyebarkan biji lebih cepat, dan Sequoiadendron giganteum membutuhkan kebakaran hutan agar tunas mereka mampu mendominasi hutan.

Pembungaan massal juga memiliki dampak ekonomi dan ekologis. Kemunculan buah bambu yang secara drastis dapat memicu pertumbuhan populasi rodent, sehingga dapat memicu kerusakan tanaman pertanian setempat. Seperti pembungaan massal oleh tanaman bambu Melocanna bambusoides di Teluk Bengal yang terjadi setiap 30-35 tahun sekali.[19] Rodent juga memicu penyebaran penyakit seperti typhus, typhoid, dan wabah pes.[14][15]

Dalam beberapa kasus, pembungaan massal memicu munculnya kultivar baru di tempat tersebut dengan karakteristik yang berbeda dengan populasi bambu sebelumnya. Sehingga periode pembungaan berikutnya mungkin tidak akan sama dengan periode pembungaan sebelumnya.

Pembudidayaan sunting

Bambu tumbuh dengan cara menyebarkan perakaran dan rizomanya di bawah tanah. Persebaran ini bisa sangat luas, dan jika tidak dikendalikan bisa menyebabkan tunas tumbuh di tempat yang tidak diinginkan, bahkan berpotensi invasif. Seberapa luas perakaran bambu menyebar ditentukan oleh jenis tanah dan iklim setempat. Rizoma yang berada di dalam tanah bisa dipotong jika diinginkan, dan jika rizoma terpisah dari badan utamanya, biasanya akan mati.

Kayu komersial sunting

Kayu bambu dihasilkan dari bambu budidaya dan bambu liar, biasanya dari genus Phyllostachys. Di Indonesia, bambu bahan bangunan di antaranya dihasilkan oleh marga-marga Bambusa (misalnya, bambu ampel), Dendrocalamus (mis. bambu betung), dan Gigantochloa (mis. bambu ater, bambu gombong).[20][21]

Pemanenan kayu sunting

Bambu yang digunakan untuk kegiatan konstruksi harus dipanen ketika batang mencapai kekuatan tertingginya dan ketika kadar gula di dalam batang berada dalam kondisi terendah, karena keberadaan gula mempermudah bambu untuk diserang hama.

Pencucian sunting

Pencucian atau pengawa-lindian adalah penguraian getah bambu setelah pemanenan. Di banyak tempat di dunia, kadar getah dikurangi dengan berbagai cara:

  1. Bambu yang telah dipotong ditegakkan dengan bantuan bambu yang masih tertanam hingga daun yang masih menempel pada bambu berwarna kekuningan. Hal ini bertujuan agar kadar gula dalam getah dimanfaatkan oleh daun dan ranting bambu terlebih dahulu. Lakukanlah selama dua minggu.
  2. Cara yang sama dengan di atas namun bagian dasar bambu direndam dalam sungai atau drum air. Cara ini lebih cepat karena getah gula keluar hanyut atau larut oleh air.
  3. Dibaringkan dan direndam di badan air yang mengalir.
  4. Air dipompakan ke dalam batang bambu setelah bagian dalamnya dilubangi.

Dalam proses pencucian, bambu dikeringkan perlahan di tempat teduh untuk mencegah retaknya lapisan luar bambu.

Menurut Stebbings, dari hasil percobaannya, pengawa-lindian dengan merendam bambu dalam air selama 5 hari, diikuti dengan pengeringan dan perendaman dalam "Rangoon oil" (sejenis minyak tanah) selama 48 jam, dapat mengawetkan bambu untuk tiang telegraf dari serangan kumbang bubuk sepanjang sekurang-kurangnya satu tahun. Untuk memperpanjang keawetan, ia menyarankan untuk memperpanjang masa perendaman dalam air sampai semua getah yang terkandung dalam buluh terlarutkan dalam air. Mengomentari hal ini, Ridley mengemukakan bahwa perendaman dalam air selama dua bulan cukup memadai untuk mencegah serangan serangga itu.[22]

Manfaat sunting

Boga sunting

 
Tunas bambu mentah di pasar di Jepang
 
Khao lam (Thai: ข้าวหลาม) adalah beras ketan dengan gula dan santan kental dimasak di dalam ruas bambu khusus dengan diameter tertentu

Meski tunas bambu mengandung toksin taxiphyllin, senyawa glikosida sianogenik, yang mampu menghasilkan sianida di dalam lambung, pemrosesan yang sesuai akan menjadikan tunas bambu bisa dimakan. Berbagai masakan Asia menggunakan tunas bambu, dan tunas bambu dijual dalam bentuk segar maupun kalengan. Lemur bambu emas memakan tunas bambu mentah dan mereka tidak terpengaruh toksin taxiphyllin.

Tunas bambu dalam kondisi terfermentasi adalah bahan utama dalam berbagai kuliner di Himalaya. Di India disebut khorisa. Di Nepal, tunas bambu difermentasikan dengan kunyit dan minyak sayur, lalu dimasak dengan kentang menjadi masakan yang dimakan bersama nasi (alu tama (आलु तामा) in Bahasa Nepali).

Di Indonesia, tunas bambu yang akan di konsumsi dipotong tipis-tipis dan direbus untuk menghilangkan senyawa toksin,lalu di cuci bersih untuk kemudian dapat di tambahkan santan dan rempah-rempah untuk membuat gulai rebung. Resep lain yang memanfaatkan tunas bambu yaitu sayur lodeh dan lumpia. Tunas bambu yang telah diiris dicuci bersih dan/atau direbus sebelum dimakan untuk menghilangkan toksin. Acar tunas bambu digunakan sebagai pelengkap makanan, bisa juga dibuat dari inti batang bambu muda (pith)

Cairan yang keluar dari batang bambu muda disadap ketika musim hujan untuk menghasilkan minuman beralkohol. Daun bambu yang ckup besar dipakai sebagai pembungkus makanan ringan.

Peralatan rumah tangga sunting

 
Barang-barang dari anyaman bambu

Bambu juga digunakan untuk membuat sumpit dan alat memasak lainnya seperti spatula. Bambu merupakan bahan baku dari berbagai peralatan rumah tangga yang utama sebelum datangnya era peralatan rumah tangga dari plastik. Anyaman batang bambu yang dipotong tipis dapat digarap menjadi bakul nasi (cething (bahasa Jawa) atau boboko (bahasa Sunda), tampah, bubu/perangkap ikan, tempat kue (besek), topi bambu (caping) adalah contoh dari beberapa peralatan yang terbuat dari anyaman batang bambu.

Bagian dalam batang bambu tua biasanya digunakan sebagai alat memasak di banyak budaya Asia. Sup dan beras yang dimasak di dalam batang bambu dipaparkan ke api hingga matang. Memasak di dalam batang bambu dipercaya menghasilkan rasa yang berbeda.

 
Sebuah toko di pasar tradisional menjual barang-barang dari anyaman bambu dan rotan

Konstruksi sunting

Rumah-rumah di pedesaan Jawa dan Sunda masih banyak yang memakai dinding bambu. Pohon bambu yang tebal terutama di bagian pangkal dipakai sebagai kaso. Batang bambu juga banyak dipakai sebagai jembatan darurat.

Bambu berkualitas tinggi lebih kuat dibandingkan baja,[23][24] sehingga dapat digunakan sebagai bahan bangunan maupun senjata

 
Konstruksi bambu pada pagar, dinding, tiang. Lokasi: Bojongmangu, Kabupaten Bekasi

Instrumen musik sunting

Di Indonesia, bambu sering digunakan sebagai alat musik tradisional yang menjadi ciri khas masing-masing daerah Indonesia. Salah satu contohnya adalah Angklung dan Seruling yang berasal dari Sunda.

Transportasi sunting

Bambu dapat di gunakan untuk dibuat menjadi rakit, dengan ukuran yang beraneka ragam.

Bambu pada kebudayaan Asia sunting

 
Saran pengangkutan bambu (foto diambil pada masa Hindia Belanda)

Panjangnya umur bambu menjadikannya ia sebagai simbol keteguhan, ketulusan di Cina, dan sebagai tanda persahabatan di India. Jarangnya bambu berbunga, membuat bunganya dianggap sebagai simbol kelaparan yang akan datang. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan tikus-tikus yang memakani bunga-bungaan bambu yang menyebabkan tikus-tikus bertambah banyak dan menyebabkan hancurnya produksi pertanian lokal.[25]

Di dalam kebudayaan Cina, bambu, prem, anggrek, dan krisan (diketahui juga sebagai méi lán zhú jú 梅兰竹菊) sering disebut sebagai Empat Lelaki. Keempat tanaman ini merepresentasikan keempat musim dan juga keempat aspek dari Junzi ("guru", "orang bijak", 君子) dalam Konfusianisme. Cemara (sōng 松), bambu (zhú 竹), dan prem (méi 梅) juga dikagumi ketahanannya terhadap kondisi yang keras. Mereka bertiga ini dikenal sebagai Tiga Teman di Musim Dingin (suìhán sānyǒu 岁寒三友) dalam kebudayaan Cina. Ketiganya juga dipakai untuk sistem pemeringkatan di Jepang. Misalnya dalam tempat penginapan tradisional di Jepang (ryokan 旅館), cemara (matsu 松) melambangkan tingkatan utama, bambu (take 竹) sebagai tingkat kedua, dan prem (ume 梅) sebagai tingkatan ketiga.[butuh rujukan][26]

Bambu sebagai senjata sunting

Di beberapa daerah Asia Timur dan Asia tenggara bambu digunakan sebagai alat bela diri. Contohnya adalah bela diri silambam pada zaman Tamil kuno, pada bela diri ini petarung akan sering saling berpukulan dengan tongkat bambu.

Konservasi sunting

Hanya sebagian kecil (antara 50-100 spesies) bambu yang relatif aman populasinya karena telah dibudidayakan secara luas. Sementara, sekitar setengah dari jumlah spesies bambu rawan kepunahan karena kelestariannya bergantung pada keberadaan tutupan hutan, yang terus menyusut hari demi hari. Sekitar 250 spesies di antaranya bahkan hanya hidup di area berhutan kurang dari 2000 km², yang tersebar di masing-masing wilayah agihannya. Pada sisi yang lain, masih sangat sedikit yang diketahui mengenai sifat-sifat biologis dan ekologis kebanyakan jenis itu. Kerentanan ini masih ditambah lagi dengan sifat intrinsik bambu perihal perbungaan serempak yang diikuti dengan kematian massal pada jenis-jenis bambu tertentu; yang apabila berbetulan dengan kejadian kebakaran atau kerusakan hutan yang luas, dapat mengarahkan jenis-jenis itu pada kepunahan.[27]

Sejauh ini, Daftar merah IUCN baru mendaftar sekitar 20 spesies bambu Amerika, 16 bambu Asia, dan satu Afrika; tak satupun dari 25 spesies asli Madagaskar, walau 10 spesies di antaranya cuma didapati pada habitat seluas kurang dari 2000 km², yang tercantum di situ.[27]

Daftar Genus[6][1] sunting

Tribus Olyreae
Tribus Bambuseae
Tribus Arundinarieae

Galeri sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Kelchner S; Bamboo Phylogeny Working Group (2013). "Higher level phylogenetic relationships within the bamboos (Poaceae: Bambusoideae) based on five plastid markers" (PDF). Molecular Phylogenetics and Evolution. 67 (2): 404–413. doi:10.1016/j.ympev.2013.02.005. ISSN 1055-7903. PMID 23454093. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 June 2015. 
  2. ^ Soreng, Robert J.; Peterson, Paul M.; Romaschenko, Konstantin; Davidse, Gerrit; Zuloaga, Fernando O.; Judziewicz, Emmet J.; Filgueiras, Tarciso S.; Davis, Jerrold I.; Morrone, Osvaldo (2015). "A worldwide phylogenetic classification of the Poaceae (Gramineae)". Journal of Systematics and Evolution. 53 (2): 117–137. doi:10.1111/jse.12150. ISSN 1674-4918.   
  3. ^ Parker, Sybil, P (1984). McGraw-Hill Dictionary of Biology. McGraw-Hill Company. 
  4. ^ Crawfurd, John (2017). Sejarah Kepulauan Nusantara: Kajian Budaya, Agama, Politik, Hukum dan Ekonomi. 1. Diterjemahkan oleh Zara, Muhammad Yuanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm. 321. ISBN 9786022584698. 
  5. ^ a b Farrelly, David (1984). The Book of Bamboo. Sierra Club Books. ISBN 087156825X. 
  6. ^ a b Grass Phylogeny Working Group II (2012). "New grass phylogeny resolves deep evolutionary relationships and discovers C4 origins". New Phytologist. 193 (2): 304–312. doi:10.1111/j.1469-8137.2011.03972.x. hdl:2262/73271 . ISSN 0028-646X. PMID 22115274. 
  7. ^ Gratani, Loretta (2008). "Growth pattern and photosynthetic activity of different bamboo species growing in the Botanical Garden of Rome". Flora. 203: 77–84.  .
  8. ^ Bystriakova, N. (2003). "Distribution and conservation status of forest bamboo biodiversity in the Asia-Pacific Region". Biodiversity and Conservation. 12 (9): 1833–1841. doi:10.1023/A:1024139813651. Diakses tanggal 12 August 2009.  [pranala nonaktif permanen]
  9. ^ a b "Gorillas get drunk on bamboo sap". The Daily Telegraph. 23 March 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-03-26. Diakses tanggal 12 August 2009. 
  10. ^ "Arundinaria gigantea (Walt.) Muhl. giant cane". PLANTS Database. USDA. 
  11. ^ editor-in-chief, Anthony Huxley, editor, Mark Griffiths, managing editor, Margot Levy. (1992). Huxley, A., ed. New RHS Dictionary of Gardening. Macmillan New RHS Dictionary of Gardening. ISBN 0-333-47494-5. 
  12. ^ McDill, Stephen. "MS Business Journal". MS Business Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-11. Diakses tanggal 7 July 2011. 
  13. ^ "NYIS". Nyis.info. 2013-10-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-08. Diakses tanggal 2014-03-24. 
  14. ^ a b Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon; Thomas R. Soderstrom; Cleofe E. Calderon (1979). "A Commentary on the Bamboos (Poaceae: Bambusoideae)". Biotropica. 11 (3): 161–172. doi:10.2307/2388036. JSTOR 2388036. 
  15. ^ a b Janzen, DH. (1976). "Why Bamboos Wait so Long to Flower". Annual Review of Ecology and Systematics. 7: 347–391. doi:10.1146/annurev.es.07.110176.002023. 
  16. ^ Keeley, JE (1999). "Mast flowering and semelparity in bamboos: The bamboo fire cycle hypothesis". American Naturalist. 154 (3): 383–391. doi:10.1086/303243. PMID 10506551. 
  17. ^ Saha, S (2001). "The Bamboo Fire Cycle Hypothesis: A Comment". The American Naturalist. 6 (158): 659–663. doi:10.1086/323593. PMID 18707360. 
  18. ^ Keeley, JE (2001). "On incorporating fire into our thinking about natural ecosystems: A response to Saha and Howe". American Naturalist. 158 (6): 664–670. doi:10.1086/323594. PMID 18707361. 
  19. ^ [1]
  20. ^ Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I: 322-47. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (versi berbahasa Belanda -1922- I: 262-89.)
  21. ^ Dransfield, S. & E.A. Widjaja. 1995. (Eds). Plant Resources of South-East Asia No. 7 Bamboos. Bogor:PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) Foundation.
  22. ^ Stebbings, E.P. 1904. "Preservation of bamboos from the attacks of bamboobeetle or 'shot-borers'." Agricultural bulletin of the Straits and Federated Malay States. (New series). vol. 3(1): 15-17. [January 1904]
  23. ^ The Bamboo Solution: Tough as steel, sturdier than concrete, full-size in a year. Mary Roach. Discover Magazine. 1 June 1996. Retrieved 7 December 2013.
  24. ^ Mechanical Properties of Bamboo. Evelin Rottke. RWTH Aachen University. Faculty of Architecture. Aachen, North Rhine-Westphalia, Germany. Section 3, page 11 and Section 4, page 11. 27 October 2002. Retrieved 7 December 2013.
  25. ^ Gallardo, M.H. & C.L. Mercado. 1999. "Mast seeding of bamboo shrubs and mouse outbreaks in Southern Chile". Mastozoologia Neotropical, 6(2): 103-11. Diarsipkan 2016-06-01 di Wayback Machine.
  26. ^ Gunawan, Fennylia Siska (2013). "Pemberian Nama Tionghoa Keluarga Sub suku Fuquing di Banjarmasin" (PDF). Media Neliti. Diakses tanggal 10 Februari 2021. 
  27. ^ a b Bystriakova, N. & V. Kapos. 2006. "Bamboo diversity: the need for a Red List review". Tropical Conservancy, 2006: 12-6.[pranala nonaktif permanen]

Pranala luar sunting