Tanpa atma

Konsep yang menolak keberadaan diri, jiwa, atau roh kekal dalam Buddhisme

Tanpa atma atau bukan atma (Pali: anatta; Sanskerta: अनात्मन्, anātman), juga dikenal sebagai tanpa inti,[1][2] tanpa roh,[3][4] bukan roh,[5] tanpa arwah,[6] tanpa diri,[7] bukan diri,[8][9] tanpa Aku,[10][11] dan bukan Aku,[12] adalah suatu konsep dalam Buddhisme yang menyatakan bahwa tidak ada atma, roh, diri, atau esensi yang kekal dan tidak berubah yang dapat ditemukan dalam fenomena apa pun.[note 1]

Tanpa-atma merupakan satu dari trilaksana (tiga karakteristik keberadaan), dua yang lainnya adalah penderitaan (dukkha) dan ketidakkekalan (anicca).[13]

Meski sering diartikan sebagai ajaran yang menyangkal keberadaan atma, tanpa-atma juga bisa digambarkan sebagai strategi untuk mencapai lenyapnya kemelekatan dengan menyadari ketidakkekalan atas segala sesuatu, dengan tetap tidak menyimpulkan keberadaan hakikat yang tidak berubah.[14][15][16] Sebaliknya, aliran dominan Hindu menegaskan keberadaan Atma sebagai kesadaran murni atau kesadaran saksi,[17][18][19][note 2] "mewujudkan kesadaran sebagai diri yang abadi."[20]

Etimologi dan nomenklatur

sunting

Anatta adalah kata gabungan dalam bahasa Pali yang terdiri dari kata an (bukan) dan atta (hakikat/esensi yang ada dengan sendirinya).[21] Istilah ini mengacu pada konsep inti Buddhisme bahwa tidak ada fenomena yang memiliki "Diri" atau esensi yang permanen dan tidak berubah.[14] Anatta merupakan satu dari tiga ciri semua keberadaan, bersama dengan dukkha (penderitaan, ketidakpuasan) dan anicca (ketidakkekalan).[21]

Anatta (bahasa Pali) merupakan sinonim dari Anātman (an + ātman) dalam kitab-kitab Buddhis berbahasa Sanskerta.[22] Dalam beberapa kepustakaan Pali, ātman dalam kitab-kitab Weda juga disebut dengan istilah Attan, dengan pengertian "jiwa" (soul).[21] Penggunaan alternatif dari Attan atau Atta adalah "diri (self), diri sendiri (oneself), esensi dari seseorang (essence of a person)", didorong oleh kepercayaan Brahmanisme era Weda bahwa ātman diyakini sebagai esensi makhluk hidup yang permanen dan tidak berubah, atau "Diri Sejati".[21][22]

Dalam kepustakaan berbahasa Inggris yang berhubungan dengan Buddhisme, anatta diterjemahkan sebagai "bukan-Diri" (not-Self), tetapi terjemahan ini mengungkapkan makna yang tidak lengkap, kata Peter Harvey; terjemahan yang lebih lengkap adalah "tanpa-Diri" (no-Self) karena sejak awal, ajaran anatta menolak adanya sesuatu yang disebut "Diri" dalam seorang individu atau sesuatu apa pun, dan bahwa kepercayaan bahwa ada "Diri" merupakan sumber dari dukkha (penderitaan, rasa sakit, ketidakpuasan).[23][24][note 3] Namun, seorang cendekiawan Buddhis, Richard Gombrich, berpendapat bahwa anatta sering salah diterjemahkan menjadi "tidak memiliki diri atau esensi" (not having a self or essence), tetapi sebenarnya berarti "bukan [merupakan] ātman" (is not ātman), bukannya "tidak memiliki ātman".[14] Tidaklah tepat pula jika menerjemahkan anatta hanya sebagai “tanpa ego”, menurut Peter Harvey, karena konsep ātman dan atta di India berbeda dengan konsep ego dalam teori psikologi Sigmund Freud.[28][note 4]

Theravāda

sunting

Trilaksana

sunting

Dalam falsafah buddhis, tanpa-atma menunjukkan bahwa segala hal (dhamma), baik yang berkondisi (saṅkhāra) maupun yang tidak berkondisi (Nirwana), sesungguhnya tidak mempunyai inti yang tetap.[30]

Tanpa-atma dipahami sebagai satu dari tiga karakteristik keberadaan (tilakkhaṇa), dua lainnya adalah dukkha ('penderitaan') dan anicca ('ketidakkekalan').[31][32][33][34] Ajaran ini muncul dalam kitab-kitab Pali sebagai, "sabbe saṅkhārā aniccā, sabbe saṅkhārā dukkhā, sabbe dhammā anattā", yang diterjemahkan oleh Szczurek sebagai, "semua hal yang berkondisi tidak kekal, semua hal yang berkondisi menyakitkan, semua dhamma tidak memiliki Atma."

Saṅkhāra vs dhamma

sunting

Ashin Kheminda menyatakan bahwa Buddhisme menolak eksistensi roh dan menekankan bahwa makhluk-makhluk hanya terdiri atas gugusan-gugusan (khandha) yang tidak dapat diidentifikasi sebagai roh.[35] Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan atau agregat (khandha) dalam skema:[36]

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[37]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Seluruh gugusan (khandha) termasuk dalam kategorisasi saṅkhāra, sedangkan Nirwana tidak termasuk. Kategorisasi yang mencakup saṅkhāra dan asaṅkhāra (bukan saṅkhāra, seperti Nirwana) disebut sebagai dhamma.

Pandangan

sunting

Buddhisme mengenal enam puluh dua pandangan-salah yang bersumber dari pandangan tentang identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi). Sakkāyadiṭṭhi terdiri dari dua kata, yaitu sakkāya yang berarti “tubuh yang ada,” dan diṭṭhi yang merupakan faktor-mental pandangan-salah. Sakkāya adalah istilah teknis untuk lima gugusan yang menjadi objek pelekatan makhluk yang belum tercerahkan.

Dalam kitab Dhammasaṅgaṇī (Abhidhamma Piṭaka) dan Mahāpuṇṇama Sutta (MN 109) dijelaskan bahwa pandangan tentang identitas diri atau roh memiliki dua puluh variasi. Variasi-variasi tersebut didapatkan dari empat model untuk masing-masing dari lima gugusan, yaitu:[38][39]

  1. Menganggap gugusan sebagai atma
  2. Menganggap atma yang memiliki gugusan
  3. Menganggap gugusan berada di dalam atma
  4. Menganggap atma berada di dalam gugusan

Belenggu

sunting
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (lihat anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    dan adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Belenggu (Pali: saṁyojana, saññojana; Sanskerta: संयोजन, saṁyojana) mengikat mahkluk hidup pada samsara, yaitu lingkaran punarbawa yang disertai penderitaan. Dengan meyingkirkan seluruh belenggu secara bertahap, seseorang mencapai Nirwana melalui empat tingkat kemuliaan. Sebagaimana ditampilkan pada tabel, di dalam Sutta Piṭaka, lima belenggu pertama dirujuk sebagai "belenggu-belenggu rendah" (orambhāgiyāni saṃyojanāni) dan disingkirkan segera setelah seseorang mencapai tingkat sotāpanna; dan lima belenggu terakhir dirujuk sebagai "belenggu-belenggu tinggi" (uddhambhāgiyāni saṃyojanāni), disingkirkan oleh seorang arahat.[40]

Tanpa-atma terkait erat dengan belenggu pertama, yaitu pandangan identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi). Secara etimologi, kāya berarti "tubuh", sakkāya berarti "tubuh fisik", dan diṭṭhi berarti "pandangan" (sering kali merujuk pada pandangan salah). Secara umum, "percaya atas keberadaan diri atau roh" atau, lebih ringkasnya, "pandangan identitas diri" merujuk pada "kepercayaan bahwa dalam satu gugusan atau lainnya terdapat suatu entitas permanen, sebuah atma".[41]

Dalam Sabbasava Sutta (MN 2), Buddha juga menjelaskan "belenggu atas pandangan":

"Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana:
  • 'Apakah aku ada di masa lampau?
  • Apakah aku tidak ada di masa lampau?
  • Apakah aku di masa lampau?
  • Bagaimanakah aku di masa lampau?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau?
  • Apakah aku akan ada di masa depan?
  • Apakah aku akan tidak ada di masa depan?
  • Akan menjadi apakah aku di masa depan?
  • Akan bagaimanakah aku di masa depan?
  • Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’
Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut:
  • ‘Apakah aku ada?
  • Apakah aku tidak ada?
  • Apakah aku?
  • Bagaimanakah aku?
  • Dari manakah makhluk ini datang?
  • Ke manakah makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya ...:
  • ‘ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘tidak ada diri [atau roh] bagiku’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • 'aku melihat bukan-diri [atau bukan-roh] dengan diri [atau roh]’ ...
  • ‘aku melihat diri [atau roh] dengan bukan-diri [atau bukan-roh]’ ...
  • ‘adalah diriku [atau rohku] ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku [atau rohku] ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ ...
Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. [Oleh] karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan."[42][43]

Mahāyāna

sunting

Ajaran tentang "Benih Kebuddhaan" merupakan gagasan utama pemikiran Mahāyāna Asia Timur (Buddhisme Tionghoa).[44] Konsep Benih Kebuddhaan mengacu pada beberapa istilah terkait,[note 5] terutama Tathāgatagarbha dan Buddha-dhātu.[note 6] Tathāgatagarbha berarti "rahim dari yang telah meninggal" (lih. yang tercerahkan), sedangkan Buddha-dhātu secara harfiah berarti "alam Buddha" atau "substrat Buddha".[note 7] Beberapa teks utama merujuk pada tathāgatagarbha atau Buddha-dhātu sebagai "atman", Diri, atau esensi, meskipun teks-teks tersebut juga berisi peringatan terhadap penafsiran harfiah. Beberapa ahli telah mencatat kesamaan antara teks-teks tathāgatagarbha dan monisme substansial yang ditemukan dalam tradisi atman dan Brahman.[46]

Ajaran Tathāgatagarbha, pada awalnya, mungkin muncul pada akhir abad ke-3 Masehi, dan dapat diverifikasi dalam terjemahan bahasa Tionghoa pada milenium pertama Masehi.[47]

Mahāparinirvāṇa Sūtra

sunting

Berbeda dengan aliran-aliran madhyamika, Mahāparinirvāṇa Sūtra menggunakan "bahasa positif" untuk menunjukkan "realitas absolut". Menurut Paul Williams, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa mengajarkan esensi yang mendasari, "Diri", atau "Atman".[48] "Diri sejati" ini adalah Benih Kebuddhaan (Tathāgatagarbha) yang diyakini hadir dalam semua makhluk hidup, dan disadari oleh mereka yang telah tercerahkan. Sebagian besar ahli menganggap ajaran Tathagatagarbha dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa yang menegaskan 'esensi alamiah' dalam setiap makhluk hidup setara dengan 'Diri',[note 8] dan hal ini bertentangan dengan ajaran tanpa-atma (anatta) dalam sebagian besar teks dalam kitab-kitab Buddhis. Hal ini menyebabkan para alhli berpendapat bahwa Sūtra Tathāgatagarbha ditulis untuk mempromosikan Buddhisme kepada non-Buddhis.[50][51]

Menurut Sallie B. King, Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa tidak mewakili suatu inovasi besar.[52] Inovasi terpentingnya adalah menghubungkan istilah buddhadhātu dengan tathāgatagarbha.[52] Menurut King, sūtra tersebut agak tidak sistematis,[52] yang membuatnya "menjadi sūtra yang bermanfaat bagi para siswa dan komentator di kemudian hari, yang terpaksa membuat tatanan mereka sendiri dan membawanya ke dalam teks".[52] Sūtra tersebut berbicara tentang sifat-sifat Buddha dalam begitu banyak cara yang berbeda sehingga para sarjana Tiongkok membuat daftar jenis-jenis Benih Kebuddhaan yang dapat ditemukan dalam teks tersebut.[52] Salah satu pernyataan tersebut adalah:

Meskipun ia telah mengatakan bahwa semua fenomena [dharma] tidak memiliki Diri, bukan berarti bahwa semua itu sepenuhnya/sungguh-sungguh tidak memiliki Diri. Apakah Diri ini? Setiap fenomena [dharma] yang benar [satya], nyata [tattva], abadi [nitya], berdaulat/otonom/mengatur diri sendiri [aisvarya], dan yang dasar/ fondasinya tidak berubah [asraya-aviparinama], disebut sebagai 'Diri' [atman].[53]

Dalam Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sang Buddha juga diyakini berbicara tentang "sifat-sifat positif" dari Nirwana, yaitu "Yang Abadi, Bahagia, Diri (Atman), dan Yang Murni."[54] Sūtra Mahāyāna Mahāparinirvāṇa menjelaskan:

‘Diri’ (Atman) melambangkan Buddha; ‘Yang Abadi’ melambangkan Dharmakaya; ‘Kebahagiaan’ melambangkan Nirwana, dan ‘Yang Murni’ melambangkan Dharma.[55]

Edward Conze. secara konotasi, menghubungkan istilah tathāgata itu sendiri (sebutan yang diberikan Sang Buddha kepada diri-Nya sendiri) dengan gagasan tentang Diri yang sejati dan nyata:

Seperti halnya tathata menunjuk pada realitas sejati secara umum, demikian pula kata yang berkembang menjadi Tathāgata menunjuk pada jati diri sejati, realitas sejati dalam diri manusia.[56]

Johannes Bronkhorst menyatakan bahwa mungkin saja "Buddhisme asli tidak menyangkal keberadaan jiwa [Ātman, Atta]", meskipun tradisi Buddhis yang teguh telah menyatakan bahwa Sang Buddha menghindari pembicaraan tentang jiwa atau bahkan menyangkal.[57] Meskipun mungkin ada ambivalensi tentang keberadaan atau ketidakberadaan Atman dalam literatur Buddhis awal, Bronkhorst menambahkan, jelas dari teks-teks ini bahwa mencari pengetahuan-tentang-Diri bukanlah jalan Buddhis untuk pembebasan, dan berpaling dari pengetahuan-tentang-Diri adalah jalan untuk pembebasan.[58] Posisi ini merupakan posisi yang terbalik dari tradisi Weda yang mengakui pengetahuan tentang Diri (Atman) sebagai "sarana utama untuk mencapai pembebasan".[58]

Metode pengajaran

sunting

Menurut Paul Williams, Sutra Mahaparinirvana menggunakan istilah “Diri” (Atman) untuk memenangkan hati para pertapa non-Buddhis. Ia mengutip dari sūtra tersebut:[59]

Benih Kebuddhaan sebenarnya bukanlah diri. Demi [membimbing] makhluk hidup, saya menggambarkannya sebagai Diri.[60]

Dalam Lankavatara Sutra yang muncul lebih belakangan, disebutkan bahwa tathāgatagarbha dapat disalahartikan sebagai suatu Diri/Atman, padahal bukan demikian.[61]

Ratnagotravibhāga

sunting

Teks Ratnagotravibhāga (juga dikenal sebagai Uttaratantra), teks lain yang disusun pada paruh pertama milenium pertama Masehi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 511 Masehi, menunjukkan bahwa ajaran Tathāgatagarbha dimaksudkan untuk memenangkan makhluk hidup agar meninggalkan "cinta-diri" (atma-sneha)–yang dianggap sebagai cacat moral.[62][63] Terjemahan Tathāgatagarbha dalam bahasa Tionghoa abad ke-6 menyatakan bahwa "Buddha memiliki shiwo (Diri Sejati) yang berada di luar keberadaan dan ketiadaan".[64] Akan tetapi, Ratnagotravibhāga menegaskan bahwa "Atman" yang tersirat dalam ajaran Tathāgatagarbha sebenarnya adalah "bukan-Atman".[65][66]

Catatan

sunting
  1. ^ Definisi dalam bahasa Inggris:
    • Anatta Diarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "Anatta, (Pali: “non-self” or “substanceless”) Sanskrit anatman, in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying substance that can be called the soul. Instead, the individual is compounded of five factors (Pali khandha; Sanskrit skandha) that are constantly changing."
    • Christmas Humphreys (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN 978-1-136-22877-3. 
    • Brian Morris (2006). Religion and Anthropology: A Critical Introduction. Cambridge University Press. hlm. 51. ISBN 978-0-521-85241-8. : "...anatta is the doctrine of non-self, and is an extreme empiricist doctrine that holds that the notion of an unchanging permanent self is a fiction and has no reality. According to Buddhist doctrine, the individual person consists of five skandhas or heaps—the body, feelings, perceptions, impulses and consciousness. The belief in a self or soul, over these five skandhas, is illusory and the cause of suffering."
    • Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. : "...Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
  2. ^ Atman dalam agama Hindu:
    • Anatta Diarsipkan 2015-12-10 di Wayback Machine., Encyclopædia Britannica (2013): "The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self").";
    • Steven Collins (1994), "Religion and Practical Reason" (Editors: Frank Reynolds, David Tracy), State Univ of New York Press, ISBN 978-0-7914-2217-5, page 64; "Central to Buddhist soteriology is the doctrine of not-self (Pali: anattā, Sanskrit: anātman, the opposed doctrine of ātman is central to Brahmanical thought). Put very briefly, this is the [Buddhist] doctrine that human beings have no soul, no self, no unchanging essence.";
    • Edward Roer (Translator), Shankara's Introduction, hlm. 2, pada Google Books to Brihad Aranyaka Upanishad, hlm. 2–4;
    • Katie Javanaud (2013), Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana? Diarsipkan 2015-02-06 di Wayback Machine., Philosophy Now;
    • David Loy (1982), "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?", International Philosophical Quarterly, Volume 23, Issue 1, hlm. 65–74;
    • KN Jayatilleke (2010), Early Buddhist Theory of Knowledge, ISBN 978-8120806191, hlm. 246–249, dari catatan 385 selanjutnya;
    • (Plott 2000)
  3. ^ Buddha did not deny a being or a thing, referring it to be a collection of impermanent interdependent aggregates, but denied that there is a metaphysical self, soul or identity in anything.[25][26][27]
  4. ^ The term ahamkara is 'ego' in Indian philosophies.[29]
  5. ^ Buddha-dhatu, mind, Tathagatagarbha, Dharma-dhatu, suchness (tathata).[45]
  6. ^ Sanskrit; Jp. Busshō, "Buddha-nature".
  7. ^ Trainor 2004, hlm. 207: "a sacred nature that is the basis for [beings'] becoming buddhas."
  8. ^ Wayman and Wayman have disagreed with this view, and they state that the Tathagatagarbha is neither self nor sentient being, nor soul, nor personality.[49]

Referensi

sunting
  1. ^ Mahāthera, Ven. Dhammavuddho. Segenggam Daun Bodhi. Pemuda Theravāda Indonesia (Patria) Sumatera Utara. hlm. 153; 165–168; 254. ISBN 978-602-95614-1-8. 
  2. ^ Susīlā, Sayalay (2020-08-01). 9 Sifat Agung Buddha. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94011-3-9. 
  3. ^ Kheminda, Ashin (2023-06-01). Dhammapada Atthakatha: Yamakavagga — Buddhavagga. Yayasan Dhammavihari. 
  4. ^ Kheminda, Ashin (2023-06-01). Pelengkap Buku Dhammapada Atthakatha: Yamakavagga — Buddhavagga. Yayasan Dhammavihari. 
  5. ^ Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  6. ^ Dhammavihari Buddhist Studies (2024-01-11), Bahaya Percaya pada Roh, diakses tanggal 2024-08-22, (Pada stempel waktu 1:27-1:33) ... Ya, arwah ya, kalau seseorang meninggal dunia (katanya) rohnya bergentanyangan, arwahnya bergentayangan, seolah-olah masih memiliki identitas yang sama ... 
  7. ^ Mahāthera, Ven. Dhammavuddho. Segenggam Daun Bodhi. Pemuda Theravāda Indonesia (Patria) Sumatera Utara. hlm. 151; 188–189; 204–205. ISBN 978-602-95614-1-8. 
  8. ^ Bodhi, Bhikkhu Ñāṇamoli & Bhikkhu (2013-11-25). Majjhima Nikaya: Khotbah-khotbah Menengah Sang Buddha. DhammaCitta Press. 
  9. ^ Kheminda, Ashin (2023-10-01). Mūlapaṇṇāsapāḷi: Lima Puluh Diskursus yang di Akar (I.1C). Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-5626-12-3. 
  10. ^ Mahathera, Sri Pannyavaro (2010-11-03). "Bab VII - Anatta (Doktrin Tanpa-Aku)". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2024-08-21. 
  11. ^ Widyadharma, Maha Pandita Sumedha (2006-12-26). "Menyadari dan Mengatasi Timbulnya Ke-AKU-an". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2024-08-21. 
  12. ^ Dhammavihari. "Ceramah berseri: Anattalakkhaṇa Sutta". Dhammavihārī Buddhist Studies. Diakses tanggal 2024-08-21. 
  13. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change. 
  14. ^ a b c Gombrich 2009, hlm. 69–70.
  15. ^ Wynne 2009, hlm. 59–63, 76–77.
  16. ^ "Selves & Not-self: The Buddhist Teaching on Anatta", by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight (Legacy Edition), 30 November 2013, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/selvesnotself.html Diarsipkan 2013-02-04 di Wayback Machine.
  17. ^ Deutsch 1973, hlm. 48.
  18. ^ Dalal 2010, hlm. 38.
  19. ^ McClelland 2010, hlm. 34–35.
  20. ^ Mackenzie 2012.
  21. ^ a b c d Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921). Pali-English Dictionary. Motilal Banarsidass. hlm. 22. ISBN 978-81-208-1144-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-07. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  22. ^ a b Johannes Bronkhorst (2009). Buddhist Teaching in India. Simon and Schuster. hlm. 124–125 with footnotes. ISBN 978-0-86171-566-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-07. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  23. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 57–62. ISBN 978-0-521-85942-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-27. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  24. ^ Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 34–37. ISBN 978-1-119-14466-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-23. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  25. ^ Peter Harvey (2015). Steven M. Emmanuel, ed. A Companion to Buddhist Philosophy. John Wiley & Sons. hlm. 36. ISBN 978-1-119-14466-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-23. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  26. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama kalupahana56
  27. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama davidloyp105
  28. ^ Peter Harvey (2012). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 62. ISBN 978-0-521-85942-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-27. Diakses tanggal 2016-10-23. Again, anatta does not mean 'egoless', as it is sometimes rendered. The term 'ego' has a range of meanings in English. The Freudian 'ego' is not the same as the Indian atman/atta or permanent Self. 
  29. ^ Surendranath Dasgupta (1992). A History of Indian Philosophy. Motilal Banarsidass (Republisher; Originally published by Cambridge University Press). hlm. 250. ISBN 978-81-208-0412-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-02. Diakses tanggal 2016-10-23. 
  30. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, dukkha and lack of soul, that is, something that does not change. 
  31. ^ Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN 978-1-134-90352-8. , Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."
  32. ^ Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 42–43, 47, 581. ISBN 978-1-4008-4805-8. 
  33. ^ Anatta Buddhism, Encyclopædia Britannica (2013);
  34. ^ Phra Payutto (1995). Buddhadhamma: Natural Laws and Values for Life. Diterjemahkan oleh Grant Olson. State University of New York Press. hlm. 62–63. ISBN 978-0-7914-2631-9. 
  35. ^ Dhammavihari. "Ceramah berseri: Anattalakkhaṇa Sutta". Dhammavihārī Buddhist Studies. Diakses tanggal 2024-08-20. 
  36. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  37. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  38. ^ Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  39. ^ "MN 109: Mahāpuṇṇama Sutta". DhammaCitta. Diakses tanggal 2024-06-19. 
  40. ^ Untuk referensi sutta-tunggal baik untuk "belenggu-belenggu tinggi" dan "belenggu-belenggu rendah," lihat, DN 33 (bagian kelima) dan AN 1.13. Dalam hal lainnya, sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu rendah diikuti dengan sebuah sutta mengenai belenggu-belenggu tinggi, seperti dalam: SN 45.179 and 45.180; SN 46.129 and 46.130; SN 46.183 dan 46.184; SN 47.103 dan 47.104; SN 48.123 dan 48.124; SN 49.53 dan 49.54; SN 50.53 dan 50.54; SN 51.85 dan 51.86; SN 53.53 dan 53.54; dan, AN 9.67 dan 9.70. Sebagai tambahana, lima belenggu rendah sendiri (tanpa rujukan akan belenggu-belenggu tinggi) didiskusikan, contoh, dalam MN 64.
  41. ^ Rhys Davids & Stede (1921-25), pp. 660-1, "Sakkāya" entry Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (retrieved 2008-04-09). Lihat pula, anatta.
  42. ^ Thanissaro (1997a).
  43. ^ Anggara, Indra. "MN 2: Sabbāsavasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-09-12. 
  44. ^ Lusthaus 1998, hlm. 83.
  45. ^ Lusthaus 1998, hlm. 84.
  46. ^ Jamie Hubbard, Absolute Delusion, Perfect Buddhahood, University of Hawai’i Press, Honolulu, 2001, pp. 99–100
  47. ^ Williams 1989, hlm. 104.
  48. ^ Williams 1989, hlm. 98–99.
  49. ^ Williams 1989, hlm. 107.
  50. ^ Williams 1989, hlm. 104–105, 108.
  51. ^ Merv Fowler (1999). Buddhism: Beliefs and Practices. Sussex Academic Press. hlm. 101–102. ISBN 978-1-898723-66-0. , Quote: "Some texts of the tathagatagarbha literature, such as the Mahaparinirvana Sutra actually refer to an atman, though other texts are careful to avoid the term. This would be in direct opposition to the general teachings of Buddhism on anatta. Indeed, the distinctions between the general Indian concept of atman and the popular Buddhist concept of Buddha-nature are often blurred to the point that writers consider them to be synonymous."
  52. ^ a b c d e King 1991, hlm. 14.
  53. ^ Yamamoto & Page 2007, hlm. 32.
  54. ^ Dr. Kosho Yamamoto, Mahayanism: A Critical Exposition of the Mahayana Mahaparinirvana Sutra, Karinbunko, Ube City, Japan, 1975, pp. 141, 142
  55. ^ Yamamoto & Page 2007, hlm. 29.
  56. ^ Edward Conze, The Perfection of Wisdom in 8,000 Lines, Sri Satguru Publications, Delhi, 1994, p. xix
  57. ^ Johannes Bronkhorst (1993). The Two Traditions of Meditation in Ancient India (PDF). Motilal Banarsidass. hlm. 74, Footnote 187. ISBN 978-81-208-1114-0. 
  58. ^ a b Johannes Bronkhorst (2009). Buddhist Teaching in India. Wisdom Publications. hlm. 25. ISBN 978-0-86171-811-5. 
  59. ^ Williams 1989, hlm. 100.
  60. ^ Youru Wang, Linguistic Strategies in Daoist Zhuangzi and Chan Buddhism: The Other Way of Speaking. Routledge, 2003, p. 58.
  61. ^ Peter Harvey, Consciousness Mysticism in the Discourses of the Buddha. In Karel Werner, ed., The Yogi and the Mystic. Curzon Press 1989, p. 98.
  62. ^ Williams 1989, hlm. 109–112.
  63. ^ Christopher Bartley (2015). An Introduction to Indian Philosophy: Hindu and Buddhist Ideas from Original Sources. Bloomsbury Academic. hlm. 105. ISBN 978-1-4725-2437-9. 
  64. ^ Williams 1989, hlm. 102.
  65. ^ Williams 1989, hlm. 112.
  66. ^ S. K. Hookham (1991). The Buddha Within: Tathagatagarbha Doctrine According to the Shentong Interpretation of the Ratnagotravibhaga. State University of New York Press. hlm. 96. ISBN 978-0-7914-0357-0. 

Daftar pustaka

sunting
  • Dalal, Roshen (2010), The religions of India : a concise guide to nine major faiths (edisi ke-Rev.), New Delhi: Penguin Books, ISBN 978-0-14-341517-6 
  • Deutsch, Eliot (1973), Advaita Vedanta: A Philosophical Reconstruction, University of Hawaii Press 
  • Gombrich, Richard Francis (2009), What the Buddha thought, Equinox Pub., ISBN 9781845536145 
  • McClelland, Norman C. (2010), Encyclopedia of reincarnation and karma, Jefferson, N.C.: McFarland, ISBN 978-0-7864-5675-8 
  • Mackenzie, Matthew (2012), "Luminosity, Subjectivity, and Temporality: An Examination of Buddhist and Advaita views of Consciousness", dalam Kuznetsova, Irina; Ganeri, Jonardon; Ram-Prasad, Chakravarthi, Hindu and Buddhist Ideas in Dialogue: Self and No-Self, Routledge 
  • Plott, John C. (2000), Global History of Philosophy: The Axial Age, Volume 1, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120801585 
  • Wynne, Alexander (2009), "Early Evidence for the 'no self' doctrine?" (PDF), Oxford Centre for Buddhist Studies: 59–63, 76–77, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-06-02, diakses tanggal 2017-04-23