Buddhisme di Tiongkok

Agama Buddha di Tiongkok (Hanzi sederhana: 汉传佛教; Hanzi tradisional: 漢傳佛敎; Pinyin: Hànchuán Fójiào) berkembang pada abad ke-2 SM setelah para pedagang dari Asia Tengah yang beragama Buddha memperkenalkannya ke orang Tiongkok. Penyebaran agama Buddha melalui jalur Sutera melalui penerjemah teks penting tentang ajaran Buddha dari bahasa India ke bahasa Tionghoa. Penyebaran agama Buddha di Tiongkok juga ditandai dengan berkembangnya seni pahat patung-patung Buddha dan dibangunnya sekolah ajaran Buddha di Tiongkok. Agama buddha turut mempengaruhi ciri khas seni, patung, arsitektur dan filsafat Tionghoa.[1] Pada puncak keemasan Dinasti Tang, agama Buddha berkembang sangat pesat di Tiongkok dengan dihasilkannya banyak guru-guru spiritual yang bagus.[2][3]

Para biksu di Kuil Jintai di Zhuhai, Guangdong, Tiongkok

Sejarah Awal Agama Buddha di Tiongkok

sunting

Kedatangan Agama Buddha dari India

sunting
 
Sebuah kendi Jiangnan dari 250 SM, dihiasi dengan Buddha yang sedang duduk di atas bunga teratai, merupakan salah satu seni Buddhis Tiongkok tertua.[4]

Sejarah Kedatangan Pertama

sunting

Mengakui kemustahilan mencari tahu "kapan atau bagaimana misionaris Buddhis di Tiongkok dimulai", Kenneth Saunders menyebutkan bahwa Asoka mengirimkan misionarisnya pada masa Dinasti Qin ke Tiongkok. Ensiklopedia Buddhis ini mengklaim bahwa pada 217 SM, seorang biksu bernama Li Fang beserta tujuh belas lainnya tiba di Xi'an – tetapi legenda ini tidak sesuai dengan sumber-sumber lainnya.[5]

Menurut beberapa ahli sejarah Eropa, kaisar Asoka mengirimkan biksu kerajaan Massim Sthavira ke India, Nepal, Bhutan, dan Tiongkok untuk menyebarkan ajaran Buddha sekitar tahun 265 SM. Tetapi tidak ada konfirmasi apakah para misionaris ini berhasil tiba di Tiongkok.

Generasi-generasi terpelajar telah berdebat tentang apakah misionaris Buddhis pertama kali mencapai Tiongkok melalui laut atau darat. Hipotesis jalur laut, didukung oleh Liang Qichao dan Paul Pelliot, memberikan pendapat bahwa agama Buddha pertama kali dipraktikkan di kawasan Tiongkok bagian selatan, di daerah Sungai Yangtze dan Sungai Huai dimana pangeran Liu Ying dari Chu (saat ini Jiangsu) telah beragama paduan antara Kaisar Kuning, Laozi dan Buddha pada tahun 65 SM. Hipotesis jalur darat didukung oleh Tang Yongtong, memberikan pendapat bahwa agama Buddha menyebar dari arah timur melalui Yuezhi dan pertama kali dipraktikkan di bagian barat Tiongkok, di ibu kota Luoyang (saat ini Henan), tempat kaisar Ming mendirikan Wihara Kuda Putih pada 68 SM. Rong Xinjiang, seorang profesor dari Universitas Peking telah memeriksa kedua hipotesis ini melalui berbagai disiplin ilmu dan penemuan-penemuan terbaru, termasuk Naskah-Naskah Buddhis Gandhara.

Pandangan bahwa agama Buddha dibawa ke Tiongkok melalui jalur laut tampaknya kurang meyakinkan dan kurang material pendukung. Beberapa argumen tidak cukup. Berdasarkan naskah-naskah sejarah yang ada dan sumber-sumber ikonografi arkeologi yang ditemukan sejak tahun 1980-an, khususnya manuskrip Buddhis abad pertama telah ditemukan baru-baru ini di Afganistan. Komentator meyakini bahwa teori yang paling meyakinkan adalah bahwa penyebaran agama Buddha dimulai dari Yuezhi di bagian barat laut India (saat ini Afghanistan dan Pakistan) dan mengambil jalur darat untuk mencapai daratan Tiongkok. Setelah memasuki Tiongkok, agama Buddha berakulturasi dengan Daoisme dan kepercayaan tradisional lainnya.[6]

 
Kuil Baima, dianggap sebagai tempat awal mula penyebaran agama Buddha di Tiongkok.
 
Gua Mogao mural abad ke-8 yang menggambarkan legenda Kaisar Wu yang menyembah Buddha pada tahun 121 SM.

Penerjemahan Kitab Suci

sunting

Penerjemahan kitab Buddhis pertama ke dalam bahasa Tionghoa terjadi pada 148 SM bersamaan dengan kedatangan pangeran An Shigao yang menjadi biksu. Ia membangun wihara buddhis di Loyang dan menyusun penerjemahan kitab-kitab Buddhis ke dalam bahasa Tionghoa yang bertahan sampai saat ini. Parthia menerjemahkan kitab-kitab Buddhis mengenai ajaran-ajaran dasar, meditasi, dan abhidharma. An Xuan, seorang awam dari Parthia juga bekerjasama dengan An Shigao untuk menerjemahkan kitab-kitab yang nantinya menjadi awal perkembangan agama Buddha Mahayana di Tiongkok.

 
Lukisan biksu bermata biru dari Asia Tengah dan biksu dari Tiongkok, abad 9-10 M.
 
Kitab Tripiṭaka Koreana, sebuah versi kitab Buddhis dalam bahasa Tionghoa yang diukir pada 81,000 potongan kayu. Saat ini disimpan dan menjadi harta warisan dunia sekaligus harta nasional Korea.

Perjalanan Xuanzang ke barat

sunting

Selama awal Dinasti Tang, antara 629 dan 645, seorang biksu bernama Xuanzang pergi mengembara menuju India dan mengunjungi lebih dari seratus kerajaan dalam perjalanannya tersebut. Dia menulis catatan perjalanan dan penemuan-penemuannya dengan detail, yang kemudian menjadi bagian penting dari studi tentang India selama periode tersebut. Ketika dia kembali, dia membawa serta sekitar 657 kitab Buddhis dalam bahasa Sanskerta. Xuanzang juga kembali ke Tiongkok dengan membawa relik, patung, dan seni Buddhis lainnya yang ditaruh pada 22 kuda.[7]

 
Bodhisattva Menunjukkan Jalan, Tiongkok, c. 875, Museum Inggris.

Perkembangan Saat Ini

sunting
 
Upacara Buddhis tradisional di Hangzhou, propinsi Zhejiang, Tiongkok

Sampai saat ini agama Buddha masih merupakan agama utama bagi orang Tiongkok. Pada bulan April 2006 Tiongkok mengorganisir Forum Buddhis Dunia, sebuah event yang diadakan setiap dua tahun sekali. Pada Maret 2007 pemerintah Tiongkok melarang aktivitas penambangan di gunung-gunung suci bagi umat Buddha. Pada tahun yang sama, di Changzhou, pagoda tertinggi di dunia dibangun dan dibuka untuk umum. Pada Maret 2008, organisasi Buddha Tzu Chi (Taiwan) diizinkan membuka cabangnya di Tiongkok daratan. Hal-hal ini semakin menunjukkan dukungan pemerintah Tiongkok yang komunis dan sekuler terhadap perkembangan agama Buddha Mahayana sebagai agama tradisional dan mayoritas di sana. Sedangkan agama Buddha Theravada dan Tibetan tetap dipraktikkan oleh etnis minoritas di sebelah barat daya dan utara Tiongkok.

Festival

sunting

Terdapat banyak festival agama Buddha (Mahayana) yang dirayakan di Tiongkok. Pada hari-hari tersebut, orang-orang akan pergi ke kuil dan mempersembahkan buah-buahan, bunga, dan donasi seraya memanjatkan doa. Pada hari-hari itu pula aturan moral buddhis dijalankan seperti bervegetarian. Penanggalan di bawah ini berdasarkan sistem penanggalan Tiongkok (contoh: 8.4 berarti "hari ke-8 bulan ke-4).

  • 8.12 — Hari Pencerahan Sakyamuni Buddha
  • 1.1 — Hari Kelahiran Buddha Maitreya
  • 9.1 — Hari Kelahiran Sakka, Raja Para Dewa
  • 8.2 — Hari Pelepasan Agung Śākyamuni Buddha
  • 15.2 — Mahāparinirvāṇa Śākyamuni Buddha
  • 19.2 — Hari Kelahiran Bodhisattva Avalokiteśvara (Guan Yin)
  • 21.2 — Hari Kelahiran Bodhisattva Samantabhadra
  • 4.4 — Hari Kelahiran Bodhisattva Mañjuśrī
  • 8.4 — Hari Kelahiran Śākyamuni Buddha
  • 15.4 — Vesak Day
  • 3.6 — Hari Kelahiran Skanda (Wei Tuo)
  • 10.6 — Hari Kelahiran Padmasambhava (Guru Rinpoche)
  • 19.6 — Hari Pencerahan Bodhisattva Avalokiteśvara
  • 13.7 — Hari Kelahiran Bodhisattva Mahāsthāmaprāpta
  • 15.7 — Festival (Keluarnya) Hantu Kelaparan
  • 30.7 — Hari Kelahiran Bodhisattva Kṣitigarbha
  • 22.8 — Hari Kelahiran Dīpaṃkara Buddha
  • 19.9 — Hari Pelepasan Agung Bodhisattva Avalokiteśvara
  • 30.9 — Hari Kelahiran Bhaiṣajyaguru Buddha (Buddha Pengobatan)
  • 5.10 — Peringatan Kematian Bodhidharma
  • 17.11 — Hari Kelahiran Amitābha Buddha

Referensi

sunting
  1. ^ Khairiah (2018). Agama Budha (PDF). Pekanbaru: Kalimedia. hlm. 24. ISBN 978-602-6827-86-9. 
  2. ^ "Chinese Buddhism". Hinduwebsite.com. Diakses tanggal 2008-09-12. 
  3. ^ "The Spread of Buddhism Among the Chinese". Buddhist Studies: The Buddha Dharma Education Association & BuddhaNet. Diakses tanggal 2008-09-12. 
  4. ^ Label for item no. 1992.165.21 in the Metropolitan Museum of Art
  5. ^ Saunders (1923), p. 158.
  6. ^ Rong Xinjiang, 2004, Land Route or Sea Route? Commentary on the Study of the Paths of Transmission and Areas in which Buddhism Was Disseminated during the Han Period, tr. by Xiuqin Zhou, Sino-Platonic Papers 144, pp. 26-27.
  7. ^ Jerry Bentley, "Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times" (New York: Oxford University Press, 1993), 81.

Bacaan lanjutan

sunting
  • Chen, Kenneth Kuan Sheng. Buddhism in China: A historical survey. Princeton, N.J., Princeton University Press, 1964.
  • Han Yu. "Sources of Chinese Tradition. c. 800.
  • Hill, John E. (2009) Through the Jade Gate to Rome: A Study of the Silk Routes during the Later Han Dynasty, 1st to 2nd Centuries CE. John E. Hill. BookSurge, Charleston, South Carolina. ISBN 978-1-4392-2134-1.
  • Mullin, Glenn H.The Fourteen Dalai Lamas: A Sacred Legacy of Reincarnations (2001) Clear Light Publishers. ISBN 1-57416-092-3
  • Saunders, Kenneth J. (1923). "Buddhism in China: A Historical Sketch", The Journal of Religion, Vol. 3.2, pp. 157–169; Vol. 3.3, pp. 256–275.
  • Welch, Holmes. The practice of Chinese Buddhism. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1967.
  • Welch, Holmes. The Buddhist revival in China. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1968.
  • Welch, Holmes. Buddhism under Mao. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1972.

Pranala luar

sunting