Benteng Bukit Tajadi

bangunan istana di Indonesia

Benteng Bukit Tajadi atau kadang salah dieja Bukit Tak Jadi adalah bekas benteng pertahanan Kaum Padri yang terletak di Pasar Nagari Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman|Nagari Ganggo Hilia]], Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia. Saat meletusnya Perang Padri, benteng ini menjadi pusat komando pasukan Padri. Area benteng meliputi bukit berbentuk persegi panjang yang memiliki kemiringan hampir tegak lurus ke atas. Di sini, pasukan Padri dulunya membangun struktur menyerupai benteng sebagai basis pertahanan Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya dari serangan pasukan Belanda sehingga dalam literatur Belanda area ini disebut sebagai Benteng Bonjol.[1]

Puncak Benteng Bukit Tajadi pada 2020

Dalam catatan harian seorang perwira Belanda berpangkat Letnan I Infanteri Joannis Cornelis Boelhouwer, Benteng Bonjol digambarkan memiliki tembok-tembok yang terbuat dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan "hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa". Sisi bukit dikelilingi oleh parit pertahanan dan rumpun bambu berduri yang sulit ditembus, sementara Kaum Padri dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat.[2][3][4] Sejak 1833, pasukan Belanda berkali-kali melancarkan serangan untuk menaklukan Benteng Bonjol, tetapi menuai kegagalan. Sulitnya menembus Benteng Bonjol adalah salah satu faktor yang memperlambat gerak laju serangan Belanda dalam melumpuhkan Kaum Padri.[5] Belanda baru dapat menjatuhkan Benteng Bonjol setelah serangkaian serangan bertubi-tubi pada 15 Agustus 1837 di bawah pimpinan Frans David Cochius.[6]

Pada 2007, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat menetapkan bekas Benteng Bonjol sebagai cagar budaya. Namun, kondisinya saat ini tak terawat. Tidak ditemukan lagi struktur bangunan yang mengindikasikan sebuah bangunan pertahanan. Pada era belakangan, didirikan monumen di puncak bukit untuk mengenang perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Dari atas bukit, terhampar pemandangan daerah Bonjol dan sekitarnya.[3]

Cikal bakal dan pembangunan

sunting
 
Pada 1808, Peto Syarif diangkat sebagai pemimpin Bonjol dan sejak itu ia menyandang gelar Tuanku Imam Bonjol.

Bonjol adalah permukiman yang dibangun oleh Tuanku Imam Bonjol pada masa awal pecahnya Perang Padri. Areanya berbentuk persegi panjang dan berbatasan dengan sungai.[7] Cikal bakal permukiman ini berawal dari perintah Tuanku Nan Renceh kepada Tuanku Imam Bonjol pada 1807 untuk membuat "sebuah benteng yang kuat" sebagai markas Kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol memilih Bonjol karena berada di kawasan lembah yang terlindung oleh bukit. Bukit itu bernama Bukit Tajadi memanjang sekitar 1 km dan memiliki ketinggian 400500 mdpl. Sisi bukit mempunyai sudut kemiringan yang terjal, bahkan hampir tegak lurus.[2][3][4] Pada masa sebelumnya, Bukit Tajadi biasa digunakan oleh kawanan penyamun untuk mengintai kuda-kuda beban yang membawa barang dagangan dari Minangkabau ke Tapanuli.[8]

Tuanku Imam Bonjol melihat lokasi di kaki Bukit Tajadi menguntungkan untuk mendirikan benteng. Keberadaan Bukit Tajadi membuat Bonjol terlindung dari sisi timur. Tempat ini sesuai dengan pesan Tuanku Nan Renceh yang menghendaki benteng didirikan pada kaki bukit, supaya mudah dan kuat pertahanannya, karena musuh hanya mempunyai satu jalan untuk dapat menyerangnya, yaitu dari depan. Di samping itu, kawasan di sekitar benteng harus daerah pertanian, supaya mudah mengambil perbekalan.[9]

Tuanku Imam Bonjol merundingkan rencananya mendirikan benteng kepada pemuka-pemuka masyarakat Alahan Panjang. Para pemuka masyarakat dan rakyat Alahan Panjang menyetujui rencana Tuanku Imam Bonjol dan mereka bersedia membantu mendirikan benteng. Dengan bantuan rakyat Alahan Panjang, benteng sepanjang kira-kira 45 meter selesai dibangun yang di dalamnya terdapat sebuah masjid dan enam buah rumah tempat tinggal. Setelah segala sesuatunya dianggap selesai, maka dinamai benteng itu dengan nama Bonjol. Tuanku Imam Bonjol sendiri ditunjuk sebagai pemimpin Bonjol.[9]

Ketika Perang Padri makin berkecamuk, Bonjol menjelma menjadi basis pertahanan utama pasukan Kaum Padri selain Benteng Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai dan Benteng Rao yang dipimpin oleh Tuanku Rao.[10] Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap pasukan Belanda cukup tangguh sehingga menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Belanda melalui residennya di Padang sempat mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada 15 November 1825. Tuanku Imam Bonjol menandatangani perjanjian tersebut untuk melindungi rakyatnya dari serangan Belanda.[11]

Pengembangan

sunting
 
Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Periode gencatan senjata dipergunakan Tuanku Imam Bonjol untuk memperkokoh Benteng Bonjol. Bonjol disiapkan sebagai benteng yang diperlengkapi dengan persenjataan untuk menghalau serangan musuh. Pembangunan dan perluasan benteng melibatkan pekerja sekitar 5.000 orang per hari selama 40 hari.[7][12] Pada momen ulang tahun Umar Ali, anak Tuanku Imam Bonjol, hadir undangan dari segenap penjuru Minangkabau. Pada saat itu, berkumpul lebih kurang 500.000 orang tamu di Bonjol. Kesempatan ini dipergunakan Tuanku Imam Bonjol mengajak mereka membuat parit, membangun rumah dan membuat benteng, sehingga Bonjol makin kuat pertahanannya.[13]

Dalam buku Kenang-kenangan Sewaktu di Sumatera Barat tahun 1831–1834, seorang perwira Belanda berpangkat Letnan I Infanteri Joannis Cornelis Boelhouwer menyebut Benteng Bonjol dibangun dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 m. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar, yang menurut Boelhouwer, merupakan tembok benteng yang kokoh. Di antara kedua tembok benteng, dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 m. Di atas tembok benteng, ditanami bambu berduri "yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus". Orang-orang Padri, sebut Boelhouwer merujuk pada Kaum Padri, menempatkan pengintai dan penembak jitu di balik bambu berduri untuk memantau pergerakan pasukan Belanda.[4]

Di beberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12 pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya. Di dekat meriam tersebut, terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Boelhouwer menulis, "Sungguh mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu ke atas bukit, sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber tiga pon. Itu pun harus dipereteli."[14] Periwra-perwira Belanda mengakui bahwa benteng dan kubu Padri adalah yang terkuat di antara benteng-benteng bumiputra yang mereka gempur selama di Hindia-Belanda.[15]

Di bagian dalam Bonjol ada sejumlah rumah tempat tinggal tokoh atau pemimpin Padri serta sejumlah hulubalang Padri. Rumah-rumah itu memiliki kamar yang cukup banyak, dan kamar yang banyak itu tampaknya diperuntukan buat para istri para tokoh atau pemimpin Padri. Di halaman rumah-rumah, ada kolam yang airnya jernih serta diisi dengan banyak ikan, di antaranya ikan gurami. Selain itu, terdapat sebuah masjid yang megah.

Di luar Bonjol, terdapat masjid berbentuk segi empat yang dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari lima lapis yang makin lama makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3.000 orang. "Dengan teknologi yang begitu sederhana, [mereka] dapat menciptakan bangunan yang sebegitu besar," tulis Boelhouwer.[16]

Pengepungan dan kejatuhan

sunting
 
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Pemerintah kolonial menuai sejumlah kegagalan dalam usahanya untuk menaklukan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Dalam laporan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch bertanggal 21 September 1833, dimuat tentang gagalnya penyerangan Belanda ke Bonjol. Semula, Van den Bosch mengatur siasat untuk menyerang Bonjol dari tiga jurusan. Dari jurusan utara, yaitu dari Rao, pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Eilers. Dari jurusan Barat, yaitu dari Manggopoh, pasukan Belanda dipimpin oleh Kolonel Elout. Dari jurusan selatan, yaitu dari Bukittinggi, pasukan Belanda langsung dipimpin oleh Van den Bosch. Serangan akan dilakukan pada September 1933. Serangan ini akhirnya gagal dan menimbulkan banyak korban di pihak Belanda.[17]

Pada 21 April 1835, operasi militer terhadap Bonjol kembali dilancarkan, dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer. Pada tengah malam 16 Juni 1835, pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol "dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah".[18] Beberapa kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di sekitar Bukit Tajadi direbut pada awal September 1835, tetapi pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi. Belanda hanya dapat menguasai daerah barat daya Bonjol. Pasukan Belanda justru kembali menuai kegagalan setelah Kaum Padri ke luar benteng menyerbu pasukan Belanda dan menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat di sekitar Bukit Tajadi.[19] Selanjutnya, Belanda memusatkan penyerangannya ke arah timur Bonjol, yaitu ke benteng Padang Bubus. Benteng ini dapat diduduki Belanda meskipun sebelumnya telah dikacaukan oleh rakyat yang beramai-ramai datang menyerang. Pada akhir 1835, Bonjol telah terkepung dari segala penjuru. Walaupun demikian Tuanku Imam Bonjol yang bertahan di dalam benteng Bonjol tetap tidak mau menyerah.

Pada 4 Desember 1836 dini hari, pasukan Belanda berhasil menyusup ke dalam benteng Bonjol melalui dinding benteng yang sudah jebol karena tembakan meriam mereka. Saat itu, pasukan Padri sedang beroperasi menyerang pos-pos Belanda yang terpencil. Di dalam benteng, tidak ada pertahanan yang cukup tangguh. Namun, Kaum Padri dengan "kegigihan dan semangat juang yang tinggi" berhasil memukul mundur pasukan Belanda dari benteng. Setelah kegagalan penaklukan Bonjol, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang baru Dominique Jacques de Eerens menunjuk Mayor Jenderal Cochius, seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel, untuk memimpin serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol yang kesekian kalinya.[20]

 
Frans David Cochius.

Pada 16 Maret 1837, serangan intensif ke Bonjol oleh pasukan Belanda dimulai. Pada Agustus 1837, Belanda sedikit demi sedikit menguasai keadaan. Benteng Bonjol jatuh pada 15 Agustus 1837, dan keesokan harinya, Benteng Bonjol dapat ditaklukkan secara keseluruhan.[21] Penakukan Bonjol dipimpin oleh Frans David Cochius. Muhammad Radjab menulis, "bertahun-tahun tentara Belanda menembaki dengan meriam-meriam besarnya, barulah benteng itu jatuh. Tetapi, jatuhnya bukan karena hancur, melainkan karena iman sebagian Padri mulai goyah, semangat perjuangannya mulai kendur, dan kepercayaannya akan mendapat kemenangan sudah hilang."[15]

Saat pengepungan benteng oleh Belanda, Tuanku Imam Bonjol berhasil lolos dan keluar bersama beberapa pengikutnya. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, setelah lebih dari tiga tahun bertempur melawan Belanda. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur. Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol menyerukan kepada pasukannya yang telah bercerai-berai agar kembali ke kampung halaman masing-masing.[6][22]

Pasca-pengepungan

sunting

Perang Padri berakhir dengan kekalahan Kaum Padri, sementara Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Manado. Selama 20 tahun pasca-perang, benteng-benteng Padri dibongkar, termasuk Benteng Bonjol. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, sebagian besar bentang Padri maupun Belanda yang dibangun selama Perang Padri telah hilang dan tidak meninggalkan jejak lagi. Benteng Bonjol kemungkinan dihancurkan pada 1851, bersamaan dengan pangangkatan Naali Sutan Caniago, anak Tuanku Imam Bonjol sebagai Kepala Laras Alahan Panjang (1851–1875).[23][24]

Dalam perkembangan selanjutnya, nama Alahan Panjang berangsur-angsur dilupakan sebagai nama daerah diganti dengan nama Bonjol. Bonjol menjadi sebutan populer untuk menyebut wilayah bekas pertahanan Padri hingga sekarang. Pada 1838, Belanda sempat mengganti nama Bonjol dengan nama Belanda yakni Kotta Generaal Cochius, merujuk pada nama Frans David Cochius. Menurut sejarawan Gusti Asnan, penamaan Bonjol dihilangkan dalam berbagai catatan resmi dan administratif kolonial sebagai upaya untuk menghapuskan ingatan kolektif warga setempat atas kehebatan Bonjol. Namun dalam kenyataannya, orang Bonjol tidak mengindahkan upaya Belanda dan tetap memakai nama Bonjol untuk menamakan daerah mereka.[7]

Kondisi saat ini

sunting
 
Kutipan Tuanku Imam Bonjol pada tugu peringatan di puncak Bukit Tajadi

Menurut penelusuran Kompas pada 2010, area Bukit Tajadi yang menjadi bekas Benteng Bonjol kondisinya sudah tak terawat dan ditumbuhi semak belukar. Jalur mendaki ke atas bukit masih dapat dijumpai berupa jalan setapak, tetapi "semakin mendaki ke atas, jalur itu semakin sulit dilintasi". Beberapa bangunan masih dapat dijumpai bekasnya, seperti kolam, gudang untuk ransum makanan pasukan, rumah pertahanan, kandang kuda, dan lubang persembunyian.[25] Selain itu, terdapat area dengan lubang-lubang kecil di permukaan tanah sebagai sisa tungku, yang diduga merupakan bagian dari dapur yang digunakan pada masa perjuangan Tuanku Imam Bonjol.[2][3][26]

Di kaki salah satu sisi Bukit Tajadi, tepatnya di belakang Pasar Nagari Ganggo Hilir, ditemukan meriam yang tertimbun dalam tanah sedalam 2 meter. Meriam itu kini dikenal dengan sebutan "Sutan Palembang", ditutup keramik dan disekat dalam ruangan berukuran 4 × 4 meter. Hanya moncong atau ujung bagian atas meriam yang masih tampak muncul ke permukaan. Selain meriam, terdapat lesung untuk menumbuk mesiu dan sejumlah pelurunya.[26][27]

Pada 1985, dibangun sebuah tugu peringatan disertai tulisan yang dikutip dari Tuanku Imam Bonjol di atas Bukit Tajadi. Tulisan itu berupa ungkapan kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu: "Menghadapi kolonial Belanda bukan persoalan bagiku. Tapi, mempersatukan Bonjol, aku terluka karenanya."[2]

Pada 2007, keberadaan Bukit Tajadi sebagai bekas Benteng Bonjol dimasukkan dalam daftar inventaris cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat. Selain sebagai objek wisata sejarah, pemanfaatan Bukit Tajadi diarahkan sebagai objek wisata olahraga. Sejak 2015, Pemerintah Kabupaten Pasaman menyiapkan Bukit Tajadi untuk wisata olahraga paralayang.[28]

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting
Catatan kaki
  1. ^ Jeffrey Hadler 2010, hlm. xxxiii.
  2. ^ a b c d Kompas 12 Juli 2010.
  3. ^ a b c d BPCB Sumatera Barat 25 Januari 2016.
  4. ^ a b c Boelhouwer 1841, hlm. 95.
  5. ^ Radjab 1964, hlm. 265.
  6. ^ a b Radjab 1964, hlm. 394–395.
  7. ^ a b c Gusti Asnan 26 Mei 2021.
  8. ^ Mas'oed Abidin 2005, hlm. 194.
  9. ^ a b Mardjani Martamin 1984, hlm. 41.
  10. ^ Sejarah Sumatera Barat 1978, hlm. 67.
  11. ^ Naim 1988, hlm. 136.
  12. ^ Mardjani Martamin 1984, hlm. 40.
  13. ^ Naim 1988, hlm. 70.
  14. ^ Boelhouwer 1841, hlm. 96.
  15. ^ a b Radjab 1964, hlm. 419.
  16. ^ Boelhouwer 1841, hlm. 96–97.
  17. ^ Sejarah Sumatera Barat 1978, hlm. 71.
  18. ^ Radjab 1964, hlm. 319–320.
  19. ^ Radjab 1964, hlm. 312–315.
  20. ^ D.J.M. Tate 1971, hlm. 156.
  21. ^ Het einde Padri Oorlog 2004, hlm. 59–183.
  22. ^ Radjab 1964, hlm. 399–402.
  23. ^ Gusti Asnan 15 Februari 2021.
  24. ^ Naim 1988, hlm. 137.
  25. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-10-30. Diakses tanggal 2021-10-30. 
  26. ^ a b Antara 22 April 2012.
  27. ^ Jabarekspres.com 11 November 2015.
  28. ^ Antara 26 Januari 2016.
Daftar pustaka