Museum Mulawarman

museum di Indonesia

Museum Mulawarman adalah sebuah museum di kota Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Museum ini merupakan bekas istana dari Kesultanan Kutai Kartanegara yang dibangun pada tahun 1936 dan diresmikan sebagai Museum Kutai pada tanggal 25 November 1971 oleh Gubernur Abdoel Wahab Sjahranie, lalu diserahterimakan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 18 Februari 1976 dan berganti nama menjadi Museum Negeri Provinsi Kalimantan Timur "Mulawarman".[1]

Museum Mulawarman
Museum Mulawarman (tampak dari depan)
Peta
Didirikan1936 (sebagai istana)
1971 (dijadikan museum)
LokasiTenggarong, Kutai Kartanegara
JenisMuseum ilmu pengetahuan

Gedung utama Museum Mulawarman merupakan bekas istana Kutai Kertanegara yang dibangun oleh perusahaan beton Belanda bernama Hollandsche Beton Maatschappij (HBM) dengan gaya arsitektur Eropa Klasik. Sehubungan dengan dihapuskannya Kesultanan Kutai pada 1960, istana Kutai diganti rugi oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur kepada pemiliknya, yaitu mantan Sultan AJi Muhammad Parikesit dengan biaya Rp64 juta.[2]

Bahan bangunannya didominasi oleh beton mulai dari ruang bawah tanah, lantai, dinding, penyekat hingga atap. Di halaman depan Museum terdapat duplikat Patung Lembuswana yang merupakan lambang Kerajaan Kutai Kartanegara. Arsitektur dari museum ini mengadopsi dari arsitektur tradisional Suku Dayak yang ada di Kutai.[3]

Pada Agustus 1964 sekelompok massa menyerang istana ini. Massa membakar pakaian kebesaran Sultan di halaman keraton. Sebagian besar patung-patung, lambang-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaian kebesarannya dibakar. Tiang benderanya yang terlalu tinggi (lebih dari 30 meter) dirobohkan.[4]

Selain itu, massa yang diperintahkan Pangdam IX Mulawarman Kol. Soehario Padmodiwirio berencana membakar istana Kutai sebagaimana dilakukannya terhadap keraton Sultan Bulungan yang dibakar hingga rata dengan tanah. Namun, rencana itu urung terjadi karena Gubernur Kaltim Abdoel Moeis Hassan mengirim polisi berlatar etnis Banjar untuk mengamankan bangunan tersebut.[5] Moeis Hassan juga memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda untuk mengamankan kediaman Parikesit tersebut. Bentuk pengamanan yang terjadi adalah penyegelan keraton.[6]

Di dalam Museum Mulawarman tersimpan benda-benda sejarah yang pernah digunakan oleh Kesultanan seperti Singgasana, Tempat Peraduan, Pakaian Kebesaran, Tombak, Keris, Meriam, Kalung dan Prasasti Yupa serta Koleksi Keramik Cina. Setiap tahun dilaksanakan Upacara Erau, yaitu tarian Khas Kedaton Upacara Adat dan Mengulur Naga di Desa Kutai Lama. Dimana pada setiap pelaksanaan Erau juga ditampilkan atraksi Seni Budaya baik berupa Tarian Tradisional dan Upara Adat dari berbagai Suku lainnya di Indonesia serta mancanegara.

Museum Mulawarman terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah terdapat koleksi keramik Cina. sedangkan lantai 1 berisi koleksi peninggalan bercorak kesenian. Di belakang museum, pengunjung bisa berbelanja cenderamata khas budaya Dayak, batu perhiasan, maupun cendera mata lainnya.

Di dalam Museum Mulawarman ini tersimpan benda-benda yang mempunyai nilai sejarah/seni yang tinggi yang pernah digunakan oleh Kesultanan seperti:

  • Singgasana, sebagai tempat duduk Raja dan Permaisuri. Kursi ini terbuat dari kayu, dudukan dan sandarannya diberi berlapis kapuk yang berbungkus dengan kain yang berwarna kuning, sehingga tempat duduk dan sandaran kursi tersebut terasa lembut. Kursi ini dibuat dengan gaya Eropa, penciptanya adalah seorang Belanda bernama Ir. Vander Lube pada tahun 1935.
  • Patung Lembuswana, Lambang Kesultanan Kutai, dibuat di Birma pada tahun 1850 dan tiba di Istana Kutai pada tahun 1900. Lembuswana diyakini sebagai kendaraan tunggangan Batara Guru. Nama lainnya adalah Paksi Liman Janggo Yoksi, yakni Lembu yang bermuka gajah, bersayap burung, bertanduk seperti sapi, bertaji dan berkukuh seperti ayam jantan, berkepala raksasa dilengkapi pula dengan berbagai jenis ragam hias yang menjadikan patung ini terlihat indah.
  • Kalung Uncal, benda ini merupakan atribut dan benda kelangkapan kebesaran Kesultanan Kutai Kartanegara yang digunakan pada waktu penobatan Sultan Kutai menjadi Raja atau pada waktu Sultan merayakan ulang tahun kelahiran dan penobatan Sultan serta acara sakral lainnya.
  • Meriam Sapu Jagad Peninggalan VOC, Belanda
  • Prasasti Yupa, yang trdapat di Museum ini adalah tiruan dari Yupa yang asli yang terdapat di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti Yupa adalah prasasti yang ditemukan di bukit Brubus Kecamatan Muara Kaman. ke-7 prasasti ini menadakan dimulainya zaman sejarah di Indonesia yang merupakan bukti tertulis pertama yang ditemukan berupa aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta.
  • Seperangkat Gamelan dari Keraton Yogyakarta 1855
  • Arca Hindu
  • Seperangkat Meja Tamu peninggalan Kesultanan Bulungan
  • Ulap Doyo, hasil kerajinan Suku Dayak Benuaq
  • Minirama tentang sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
  • Koleksi Numismatika (mata uang dan alat tukar lainnya)
  • Koleksi Keramik dari Cina, Jepang, Vietnam dan Thailand
  • Dan lain-lain.

Jarak tempuh museum Mulawarman dari Balikpapan berkisar 3 jam perjalanan darat dan dari Samarinda berkisar 45 menit.

Referensi sunting

  1. ^ Penyusun, Tim (2011). Buku Panduan Museum Mulawarman. Tenggarong: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata UPTD Museum Negeri Provinsi Kalimantan Mulawarman. hlm. 6–7. 
  2. ^ D, Abd. Djabar (1993). Koleksi Pilihan Museum Negeri Propinsi Kalimantan Timur Mulawarman. Tenggarong: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Timur. hlm. 3 & 5. 
  3. ^ "Musium Mulawarman dan Makan Raja Kutai". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-07-28. Diakses tanggal 2010-08-24. 
  4. ^ Soetoen, Anwar (1975). "Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya”, dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur. hlm. 240. 
  5. ^ Magenda, Burhan Djabier (1991). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. New York: Cornell Modern Indonesia Project. hlm. 62. 
  6. ^ Hassan, A. Moeis (1994). Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu. hlm. 231.