Jawanisasi atau penjawaan adalah proses ketika budaya Jawa mendominasi, menyerap, atau memengaruhi budaya lain secara umum. Kata "penjawaan" dapat berarti "untuk membuat menjadi Jawa dalam bentuk, idiom, gaya, atau sifat." Dominasi ini bisa terjadi dalam berbagai aspek, seperti budaya, bahasa, politik, dan sosial.

Sasono Utomo bangunan utama di Taman Mini Indonesia Indah menampilkan arsitektur joglo Jawa, berdiri di depan alun-alun Pancasila. Secara halus mengisyaratkan dominasi budaya Jawa di Indonesia. Taman ini dibangun oleh Tien Soeharto, mantan ibu negara dan istri dari Soeharto.

Dalam pengertian modern, dalam perspektif sosial, budaya dan politik Indonesia, Jawanisasi bisa berarti hanya sebagai penyebaran penduduk suku Jawa dari pedesaan Jawa yang berpenduduk padat ke bagian yang kurang penduduknya di pulau lainnya di Nusantara.[1] Sedangkan untuk pihak lain, itu juga bisa berarti penerapan — sadar atau tidak sadar — pola pikir dan perilaku Jawa di berbagai tempat di Indonesia, dalam arti penjajahan budaya, hal ini lebih terfokus pada cara pemikiran dan praktik kelompok yang berkuasa.[2]

Akan tetapi, istilah "Penjawaan" tidak semata digunakan untuk menggambarkan proses ke luar, tetapi juga proses ke dalam. Istilah ini dapat pula menggambarkan adopsi dan asimilasi pengaruh sosial-budaya asing ke dalam unsur-unsur budaya Jawa. Berbagai pengaruh asing ini "dijawakan", yaitu ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan kerangka acuan, gaya, kebutuhan, dan kondisi sosial-budaya Jawa. Penerapan wiracarita Hindu (seperti Ramayana dan Mahabharata) dan unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dari India pada abad ke-5 hingga 15 di Jawa, dan kemudian penerapan ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Wali Songo ke dalam budaya Jawa pada abad ke-15, adalah contoh yang jelas dari proses ini.

Penggalakan dan penyebaran unsur-unsur budaya Jawa, seperti bahasa Jawa, arsitektur, seni kuliner, kebaya, batik, wayang, gamelan dan keris juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari proses Jawanisasi. Migrasi orang Jawa untuk menetap di luar tanah air tradisional mereka di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur ke daerah-daerah lain di Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Papua, dan lain-lain), Semenanjung Malaya (khususnya Johor), atau Suriname, juga merupakan faktor penyumbang proses Jawanisasi.

Perwujudan

sunting
 
Ekspresi budaya Jawa, seperti wayang dan gamelan sering kali dipergunakan untuk mempromosikan keunggulan budaya Jawa.

Hegemoni atau dominasi budaya Jawa ini bisa terwujud dalam berbagai aspek. Seperti fisik melalui penyebaran permukiman diaspora Jawa di luar tanah air tradisional mereka di Jawa. Dalam aspek spiritual dan perilaku, proses Jawanisasi meliputi penerapan budaya dan nilai-nilai Jawa; seperti obsesi akan kehalusan dan keanggunan (Jawa: alus), sopan santun, ketidaklangsungan, enggan berterus terang, pengendalian emosional, dan perhatian akan status sosial seseorang. Nilai-nilai Jawa menjunjung tinggi keselarasan dan keteraturan tatanan sosial, mereka membenci konflik langsung dan perselisihan. Nilai-nilai Jawa ini sering disebarkan melalui ekspresi budaya Jawa, seperti tari Jawa, gamelan, wayang, Keris dan batik sebagai kebudayaan nasional Indonesia. Hal ini juga yang diperkuat melalui kepatuhan terhadap adat Jawa seperti menerapkan adat Jawa dalam upacara slametan, satu suro, sekaten, nyadran, sedekah laut, sedekah bumi, upacara pernikahan, dan naloni mitoni.

Dalam aspek bahasa, seperti penggunaan bahasa, istilah, idiom, dan kosakata Jawa di luar wilayah bahasa tradisional Jawa. Misalnya, kini lazim bagi warga Indonesia menggunakan istilah Jawa untuk menyapa orang lain, seperti Mas (terhadap laki-laki sebaya atau yang sedikit lebih tua), Kang atau Kakang (terhadap laki-laki yang lebih tua) dan Mba kependekan dari Mba'yu (untuk perempuan). Hal ini kini dianggap lazim di ibu kota Jakarta, yang sebelumnya memiliki padanan dialek lokal Betawi seperti Abang dan Noné atau Mpok. Tetapi fenomena meluasnya penggunaan sapaan Mas dan Mba ini menimbulkan kekhawatiran di ranah berbahasa Melayu, Batak, dan Minangkabau di Sumatra yang menganggapnya sebagai bentuk Jawanisasi dan penjajahan budaya.

Dalam sosial dan politik, contoh Jawanisasi dirasakan seperti Presiden Indonesia yang selalu berasal dari suku Jawa (dan juga BJ Habibie, yang ibunya merupakan dari suku Jawa). Juga atas dominasi politik Jawa dalam tubuh administrasi pemerintahan, pegawai negeri sipil, TNI dan Polri, serta sifat-sifat Jawa dalam budaya politik Indonesia.

Sejarah awal

sunting
 
Penyebaran pengaruh kekuasaan Majapahit pada abad ke-14.

Pulau Jawa telah menjadi panggung sejarah Indonesia selama berabad-abad, dan orang Jawa sebagai kelompok etnis terbesar telah mendominasi lanskap sosial dan politik Indonesia pada masa lampau maupun masa kini.

Pada tahap awal, budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh peradaban Hindu-Buddha dari India. Contoh dari proses ini adalah sejumlah besar kata serapan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno, dan Jawanisasi dari wiracarita Hindu India seperti Ramayana dan Mahabharata ke dalam versi Jawanya, serta menggabungkan dewa lokal seperti Semar dan Punakawan ke dalam kisah wayang purwa. Proses mengadopsi pengaruh Hindu ini digambarkan sebagai Sanskertanisasi Jawa dan Jawanisasi dari Bharata.[3] Berseminya sastra klasik Jawa misalnya dicontohkan dengan digubahnya karya sastra Kakawin Ramayana dan Arjunawiwaha.

Contoh-contoh awal Jawanisasi adalah perluasan kesenian Jawa Sailendra — dikembangkan dalam abad ke-8 hingga 9 di Jawa Tengah — yang memengaruhi estetika di Sriwijaya, seperti ditemukan pada seni Buddhis di Sumatra, Thailand Selatan, dan semenanjung Malaya. Meskipun awalnya menyerap pengaruh dari India, seperti mencontoh seni Gupta dan Amarawati, serta pengaruh Pallawa dari India Selatan, kesenian Sailendra Jawa pada gilirannya memengaruhi seni dan estetika di kawasan Asia Tenggara.

Pada periode klasik awal, selama Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10, terjadi perluasan pengaruh Jawa ke Bali. Putri dari Jawa Timur, Mahendradatta, menjadi permaisuri Raja Udayana Warmadewa dari Bali. Hal ini menandakan meningkatnya pengaruh Jawa atas Bali. Selama masa pemerintahan Airlangga, Bali sedikit-banyak menjadi bagian dari kerajaan Hindu Jawa Timur.

Perluasan Kerajaan Singhasari melalui Ekspedisi Pamalayu pada abad ke-13 pada masa pemerintahan Kertanegara telah memperkuat pengaruh Jawa di Nusantara, khususnya atas Bali dan Kerajaan Melayu di pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1200, Mpu Jatmika dari Jawa mendirikan Kerajaan Hindu Negara Dipa di tepi sungai Tapin, ini adalah awal dari tumbuhnya pemerintahan bergaya Jawa di Kalimantan Selatan.

Diikuti oleh ekspansi Kemaharajaan Majapahit sekitar abad ke-14, Nusantara menyaksikan kembali ekspansi Jawa. Mungkin selama periode ini beberapa unsur budaya Jawa, seperti gamelan dan keris, menyebar dan diperkenalkan ke pulau-pulau di luar Jawa, seperti Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan. Selama era ini, kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Sukadana di Kalimantan Barat telah ditetapkan sebagai koloni Jawa sebagai negeri bawahan Majapahit. Pada tahun 1400, Negara Dipa digantikan oleh Kerajaan Hindu Negara Daha. Pengaruh Jawa dapat dilihat pada seni, budaya, dan busana orang Banjar yang menunjukkan gaya Jawa.

Juga selama periode terakhir dari Majapahit pada abad ke-15, unsur gaya asli Austronesia pra-Hindu Jawa dihidupkan kembali, seperti yang ditunjukkan dalam bentuk Candi Sukuh dan Candi Cetho. Gaya patung dan relief tokoh wayang yang kaku, dan struktur piramida bertingkat menggantikan bentuk candi klasik Hindu yang menjulang. Ini kebalikan dari proses Indianisasi, yang juga disebut "Jawanisasi" purwarupa Hindu-Buddha pada kesenian Jawa.[4]

Sejarah zaman madya

sunting
 
Diaspora orang Jawa seperti ke Suriname pada masa kolonial Hindia Belanda turut menyebarkan kebudayaan Jawa.

Setelah jatuhnya Majapahit, Kesultanan Demak menggantikan hegemoninya di Sumatera Selatan dengan menunjuk bupati Jawa untuk memerintah Palembang. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Palembang didirikan oleh Ki Gede ing Suro, ningrat Jawa yang melarikan diri dari intrik politik Demak setelah kematian Trenggana Sultan Demak. Kesultanan Palembang dikenal sebagai paduan dari berbagai budaya; Melayu, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Proses Jawanisasi kehidupan istana Kesultanan Palembang terlihat jelas dalam penyerapan kata-kata dan kosakata Jawa ke dalam bahasa Melayu dialek Palembang, seperti wong (orang) dan banyu (air).

Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah Sunda di dataran tinggi Priangan, dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa Kejawèn. Wayang golek adalah kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya wayang kulit. Budaya yang dimiliki bersama seperti gamelan dan batik juga berkembang. Mungkin pada saat itulah bahasa Sunda mulai mengadopsi tingkat unggah-ungguh kehalusan istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tecermin dalam bahasa Jawa. Selain itu, aksara Jawa juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai Cacarakan.

Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam". Wali Songo seperti Sunan Kalijaga diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti gamelan dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. Wayang sadat adalah varian dari wayang yang digunakan dalam tablig dan dakwah untuk menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu bangunan pendopo dan atap meru — seperti yang berasal dari seni arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah Masjid Agung Demak dan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.

Iman Katolik sebagai contoh, juga menggunakan kosakata dan kerangka acuan Jawa dengan menggunakan istilah "Romo" (Jawa: bapak) untuk merujuk Pastor Katolik. Penyebaran ajaran Katolik juga menggunakan seni wayang tradisional untuk menyebarkan pesan mereka, seperti wayang wahyu, digunakan untuk menceritakan kisah Injil. Dalam arsitektur, gereja Katolik juga mengadopsi gaya arsitektur Jawa dan untuk gereja mereka, seperti Gereja Ganjuran di Bantul, Yogyakarta, yang membangun candi untuk Yesus dalam gaya candi Jawa kuno. Contoh lain termasuk Gereja Pohsarang di Kediri yang dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.

Selama periode kolonial Hindia Belanda, terdapat sejumlah orang Jawa yang bermigrasi ke Suriname sebagai pekerja perkebunan. Di Nusantara, orang Jawa juga bermigrasi ke beberapa tempat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Johor di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat utara dan Lampung juga diketahui dihuni sejumlah besar pendatang Jawa. Bahkan beberapa tempat di luar Jawa memiliki nama Jawa atau "Kampung Jawa", misalnya Kampung Jawa di Tondano, Sulawesi Utara, dan Tanah Jawa di Simalungun, Sumatera Utara. Bahkan di Bangkok, Thailand, terdapat Kampung Jawa yang dihuni keturunan para pengukir dan pengrajin Jawa yang dibawa Raja Chulalongkorn hijrah ke Thailand pada tahun 1896.[5]

Sejarah modern

sunting
 
Sebuah masjid di Bonjol, Sumatera Barat. Rezim Orde Baru Soeharto menyeponsori pembangunan ratusan masjid di Indonesia dengan gaya atap tumpang bertingkat Jawa.

Setelah revolusi Indonesia (1945–1949) dan kemerdekaan Indonesia, banyak simbol nasional Indonesia yang berasal dari warisan Majapahit, sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa pada ke-14 hingga 15. Bendera Indonesia menampilkan warna Majapahit, merah dan putih, semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika dan ideologi negara Pancasila juga menunjukkan warisan Majapahit. Bapak pendiri Indonesia, terutama Soekarno memang menggali ke sejarah Indonesia untuk mencari filsafat dan kearifan lokal untuk merumuskan kebangsaan baru bangsa Indonesia. Tentu saja, budaya Jawa sebagai salah satu elemen yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia turut menyumbangkan pengaruhnya.

Selama rezim Orde Baru Soeharto (1966–1998), budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti kabupatèn dan désa, istilah yang awalnya tidak akrab di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Sumatera Barat (menggunakan istilah "nagari") dan Papua (menggunakan istilah "distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses di mana etnis Jawa dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elite pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia.[6]

Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan neologisme untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa Sanskerta melalui perantara bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi). Maka dinamailah kota Jayapura untuk menggantikan nama "Soekarnapura" (yang digunakan Demokrasi Terpimpin untuk nama baru kota "Hollandia") karena kebijakan anti-Soekarno Orde Baru. Demikian pula dengan nama seperti Pegunungan Jayawijaya, Penghargaan Kalpataru, Bintang Mahaputra, Piala Adipura, serta istilah yang memiliki asal Sanskerta-Jawa seperti adibusana, lokakarya, dasawarsa, pranala, unggah, unduh, dan lain-lain.

Ibu kota Indonesia yang baru yang berlokasi di Kalimantan Timur, diberi nama Nusantara, sebuah frase yang berasal dari bahasa Jawa Kuno.[7][8]

Kritik

sunting
 
Soeharto dan istri, Tien, dalam busana tradisional Jawa. Pemerintahannya yang otoriter dikecam sebagai "Penjawaan" politik Indonesia.

Isu Jawanisasi telah menjadi isu sensitif yang penting dalam persatuan nasional Indonesia. Buya Hamka pernah menyatakan dengan resah bahwa Jawanisasi adalah ancaman persatuan nasional Indonesia.[9] Dominasi Jawa dianggap tidak hanya pada ranah budaya, tetapi juga sosial, politik dan ekonomi. Rezim Orde Baru Soeharto dikritik telah sedemikian rupa menjawakan politik Indonesia selama puluhan tahun. Dalam perspektif politik, administrasi, wewenang dan pelayanan sipil, proses Jawanisasi ini kadang-kadang dianggap negatif karena mengandung unsur-unsur terburuk dari budaya Jawa, seperti kekakuan hierarki sosial, otoritarianisme, dan kesewenang-wenangan. Sebuah kecenderungan yang kadang-kadang disebut sebagai "Mataramisasi" dan "feodalisasi", disertai dengan kegemaran memamerkan status sosial dan keangkuhan,[10] suatu penggambaran sisi negatif khas priyayi yang kerap berperilaku selayaknya golongan Jawa kelas atas.

Program transmigrasi yang memindahkan masyarakat dari pulau Jawa yang padat penduduk ke pulau-pulau lain di Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, juga dikritik telah mempercepat proses Jawanisasi Indonesia. Masalah ini juga diperkeruh dengan isu-isu ketimpangan pembangunan, kecemburuan di mana pulau-pulau lainnya merasa tidak puas dengan pembangunan dan kesejahteraan sosial di wilayah mereka, berbeda dengan pembangunan infrastruktur dan distribusi kekayaan yang tampaknya terfokus di Jawa.[butuh rujukan]

Namun, kini di era otonomi daerah tidak relevan untuk menghubungkan program transmigrasi terhadap isu-isu Jawanisasi, karena proses migrasi juga dilakukan secara internal di Jawa, atau dalam provinsi tertentu.[11] Misalnya di Indonesia Timur seperti di Maluku dan Papua, sebagian besar kaum pendatang berasal dari Sulawesi (Bugis-Makassar dan Buton) dan Maluku itu sendiri, dan bukan dari Jawa. Program transmigrasi harus secara hati-hati mencermati potensi ekonomi, serta dampak sosial dan budaya di daerah tersebut. Hal ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa provinsi yang membuka diri untuk pluralisme dan menerima pemukim antarprovinsi biasanya berkembang lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri. Hal yang juga penting untuk dicatat, bahwa Jawa itu sendiri telah menarik kaum perantau dan pekerja dari seluruh Nusantara, maka dengan demikian demografi Jawa tidaklah homogen.[butuh rujukan]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Lihat Program Transmigrasi Indonesia, di mana kebijakan pemerintah untuk memukimkan orang Jawa yang miskin pindah ke pulau lain di Indonesia. Dalam beberapa kasus hal ini tidak disambut baik oleh penduduk asli, terutama apabila para pendatang baru itu alih-alih malah menjadi mayoritas di sana.
  2. ^ Mulder, Niels (2005). Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java. Kanisius. hlm. 51. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-03. Diakses tanggal 2020-07-02. 
  3. ^ Supomo, S. Chapter 15. Indic Transformation: The Sanskritization of Jawa and the Javanization of the Bharata. ANU Press. 
  4. ^ Fic, Victor M. (2003). From Majapahit and Sukuh to Megawati Sukarnoputri: Continuity and Change in Pluralism of Religion, Culture and Politics of Indonesia from the XV to the XXI Century. Abhinav Publications. 
  5. ^ Fajar Pratama (1 Maret 2013). "Keramahan Khas Indonesia ala Kampung Jawa di Tengah Kota Bangkok". detikNews. Diakses tanggal 1 Januari 2014. 
  6. ^ Thornton, David Leonard (1972). Javanization of Indonesian politics. cIRcle UBC. The University of British Columbia. 
  7. ^ "Sejarawan UGM Kritik Nusantara Jadi Nama Ibu Kota Negara". Inews.id. 22 Januari 2022. Diakses tanggal 27 Januari 2022. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Rizky Alika (17 Januari 2022). Ameidyo Daud Nasution, ed. "Sejarawan Kritik Nama Ibu Kota Baru, Bisa Mereduksi Makna Nusantara". Diakses tanggal 27 Januari 2022. 
  9. ^ Rush, James R. (2020-05-28). Adicerita Hamka. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-602-06-4406-6. 
  10. ^ Mulder, Niels (2005). Chapter 3. Javanization, Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java. Kanisius. hlm. 53. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-03. Diakses tanggal 2020-07-02. 
  11. ^ "Transmigrasi Enyahkan Paradigma Jawanisasi". Bursa Transmigrasi (dalam bahasa Indonesian). Ministry of Work Force and Transmigration. 23 Desember 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-06. Diakses tanggal 6 November 2013.