Verifikasionisme, atau dikenal pula dengan Prinsip Verifikasi, adalah paham kefilsafatan yang memahami bahwa hal atau ungkapan yang secara nalar bermakna adalah tak lain selain hal atau ungkapan yang dapat diverifikasi secara empiris (misalnya, hal yang dapat dicerap oleh indra) atau sebuah kebenaran logis. Prinsip verifikasionisme umumnya digunakan untuk mendukung penolakan bidang ilmu yang abstrak dan tak dapat diindra misalnya seperti spiritualitas, metafisika, etika, dan estetika karena bidang ilmu tersebut mendasari argumen-argumennya pada kebenaran dan proposisi yang tak dapat diferivikasi. Menurut verifikasionisme, argumen-argumen yang tak dapat diverifikasi bermakna terbatas pada memengaruhi emosi dan sikap seseorang, akan tetapi tidak bermakna dalam hal kebenaran faktual.[1]

Verifikasionisme adalah ide sentral dari positivisme logis dan suatu kembangan lanjutan dari gerakan besar empirisme dan filsafat analitis secara umum. Perkembangan verifikasionisme sebagian besar dilatarbelakangi, dan secara berkesinambungan memengaruhi, geliat empirisme dan saintisme yang kuat pada tahun 1920-an.[2]Hal tersebut juga mendorong upaya beberapa filsuf seperti untuk mempersatukan ilmu kefilsafatan dan sains dalam satu sudut pandang umum.

TT32 sunting

  1. ^ Bullock, Allan; Trombley, Stephen, ed. (1999). The New Fontana Dictionary of Modern Thought. Harper Collins. hlm. 775. 
  2. ^ Lycan, WIlliam G. "Verificationism". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-20. Diakses tanggal 2017-10-05. … was a highly political theory of meaning. It was motivated by, and reciprocally helped to motivate, a growing empiricism and scientism in philosophy and in other disciplines. In particular, it was the engine that drove the philosophical movement of Logical Positivism, which was correctly perceived by moral philosophers, poets, theologians and many others as directly attacking the foundations of their respective enterprises.