Republik Indonesia Serikat

bekas negara (27 Desember 1949–17 Agustus 1950)

Republik Indonesia Serikat (bahasa Belanda: Republiek van de Verenigde Staten van Indonesië; bahasa Inggris: Republic of the United States of Indonesia; lebih dikenal dan disingkat sebagai RIS) adalah bentuk negara federasi yang berdiri di Indonesia pada tahun 1949 hingga 1950. RIS dibentuk sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda, yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada akhir tahun 1949. Berdasarkan perjanjian ini, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh, namun dengan syarat bahwa Indonesia harus berbentuk negara federal yang terdiri dari beberapa negara bagian, termasuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Sumatera Timur, di samping Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. RIS secara resmi berdiri pada 27 Desember 1949, dan Presiden pertamanya adalah Soekarno dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri.


1949–1950
{{{coat_alt}}}
Lambang Federal
Peta Republik Indonesia Serikat
Peta Republik Indonesia Serikat
Ibu kotaJakarta
Bahasa yang umum digunakanBahasa Indonesia
Negara bagian
(tidak berdaulat)
Daerah Banjar
PemerintahanFederal republik parlementer
Presiden 
• 1949–1950
Soekarno
Wakil Presiden & Perdana Menteri 
• 1949–1950
Mohammad Hatta
Legislatif
Senat
Dewan Perwakilan Rakyat
Sejarah 
• Pengakuan oleh Belanda
27 Desember 1949
27 Desember 1949
17 Agustus 1950
Mata uangRupiah
(IDR)
Kode ISO 3166ID
Didahului oleh
Digantikan oleh
Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Hindia Belanda
Republik Maluku Selatan
Demokrasi Liberal
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Namun, sistem federasi ini menghadapi banyak tantangan, terutama dari berbagai negara bagian yang tidak stabil dan keinginan yang kuat dari banyak kalangan di Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Negara-negara bagian dalam RIS mengalami tekanan internal dan eksternal, dengan beberapa di antaranya melakukan penggabungan kembali dengan Republik Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. Keinginan untuk mengakhiri federasi ini semakin kuat seiring dengan ketidakpuasan terhadap Belanda yang dianggap masih memiliki pengaruh besar melalui sistem federal ini.

Pada akhirnya, tekanan dari berbagai pihak di Indonesia menyebabkan bubarnya RIS. Pada tanggal 17 Agustus 1950, tepat pada ulang tahun kelima kemerdekaan Indonesia, RIS secara resmi dibubarkan, dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan nama Republik Indonesia. Pembubaran RIS ini menandai berakhirnya masa transisi dari penjajahan Belanda menuju kedaulatan penuh sebagai negara kesatuan yang diakui secara internasional.

Sejarah

sunting

Pada Januari 1942, Jepang menduduki bekas wilayah Hindia Belanda, menggusur pemerintah kolonial Belanda.[1] Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, pemimpin kalangan nasionalis Republik Indonesia, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[2] Pemerintah Belanda, melihat Soekarno, Belanda mampu menegaskan kembali kendali atas sebagian besar wilayah yang sebelumnya ditempati oleh Angkatan Laut Jepang, termasuk Kalimantan dan Indonesia bagian timur.

Diskusi antara Inggris dan Belanda menghasilkan Penjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook yang pada akhirnya mengusulkan penentuan nasib sendiri untuk persemakmuran Indonesia.[3][4] Pada Juli 1946, Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino di Sulawesi di mana perwakilan dari Kalimantan dan Indonesia bagian timur mendukung proposal untuk berdirinya Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal, yang memiliki hubungan dengan Belanda. Republik ini akan terdiri dari tiga elemen, Republik Indonesia, negara bagian di Kalimantan dan sebuah negara bagian untuk Indonesia Timur.[5][6] Selanjutnya pada tanggal 15 November dengan Perjanjian Linggarjati, di mana Republik Indonesia menyatakan secara sepihak menyetujui prinsip Indonesia federal.[7][8] Belanda kemudian menyelenggarakan Konferensi Denpasar pada 7–24 Desember 1946 (walau dimulai dari 18 Desember 1946), yang mengarah pada pembentukan Negara Indonesia Timur, diikuti oleh sebuah negara di Kalimantan Barat pada tahun 1947.[9] Pada konferensi ini perwakilan dari Papua ditiadakan dikarenakan, Frans Kaisiepo menggunakan Konferensi Malino untuk mempopularkan nama 'Irian'. Pada 12 Desember 1946, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey dan Corinus Krey mengirimkan surat kepada van Mook di Denpasar yang menolak pembentukan Negara Indonesia Timur jika tidak meliputi wilayah Papua. Pada akhirnya wilayah Papua tidak termasuk NIT karena tekanan dari Partai Katolik Belanda, walau van Mook mengatakan alasan finansial dan etnis.[10][11][12][13]

Aksi militer yang dilancarkan Belanda pada tanggal 20 Juli 1947 terhadap wilayah yang dikuasai Republik Indonesia, yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I mengakibatkan Belanda memperoleh kembali kendali atas Jawa Barat dan Jawa Timur, juga wilayah sekitar Medan, Palembang dan Padang di Sumatra. PBB kemudian menyerukan gencatan senjata, dan negosiasi antara kedua belah pihak mengarah pada Perjanjian Renville bulan Januari 1948, dengan gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook yang menghubungkan antara titik-titik terdepan daerah yang diduduki Belanda. Belanda kemudian mendirikan negara-negara bagian di wilayah-wilayah yang mereka duduki, antara lain Sumatra Timur (Desember 1947); Madura dan Jawa Barat (Februari 1948); Sumatera Selatan (September 1948; dan Jawa Timur (November 1948). Para pemimpin di wilayah ini kemudian membentuk apa yang disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Federal / Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).[14]

 
J.H. van Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949.

Aksi Agresi Militer Belanda II, yang ditujukan untuk menghancurkan pihak Republik Indonesia, diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1948. Meskipun Belanda berhasil merebut kembali kota-kota besar di Jawa, termasuk ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, dan seluruh Sumatra kecuali Aceh, hal itu memicu protes pengunduran diri Kabinet Negara Indonesia Timur dan Pasundan (Jawa Barat), serta Sultan Yogyakarta dari jabatannya sebagai Kepala Daerah. Belanda juga mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya dalam bentuk resolusi Dewan Keamanan. Belanda setuju untuk bernegosiasi dengan Republik Indonesia untuk mengatur pengalihan kedaulatan. Konferensi Meja Bundar antara Belanda dan Indonesia berlangsung di Den Haag dari Agustus hingga November 1949, dan menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Belanda setuju untuk menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Indonesia, kecuali Nugini Barat. Akan tetapi, banyak kaum nasionalis Indonesia yang percaya bahwa Belanda telah memaksakan sebuah negara federal dalam upayanya untuk melemahkan atau bahkan memecah bangsa Indonesia, sebagai bagian dari strateginya untuk kembali menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara. Namun pada 27 Desember 1949, kedaulatan resmi dilimpahkan kepada Republik Indonesia Serikat.[15][16][17][18]

Politik

sunting

Pembagian administratif

sunting
 
Republik Indonesia Serikat

Negara bagian

sunting

Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu:

Bendera Negara bagian Pusat pemerintahan Luas wilayah (km²) Presiden (Wali Negara) Didirikan Dibubarkan
 
Republik Indonesia[a]
Yogyakarta - Assaat 27 Desember 1949[b] 17 Agustus 1950[c]
 
Negara Indonesia Timur Makassar 349.088 Tjokorda Gde Raka Soekawati 24 Desember 1946[19] 17 Agustus 1950[20]
 
Negara Pasundan Bandung 35.900 Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema 25 Februari 1948[21] 11 Maret 1950[22]
 
Negara Jawa Timur[d] Surabaya 22.200 R.T.P. Achmad Kusumonegoro 27 November 1948[21] 9 Maret 1950[22]
 
Negara Madura Pamekasan 5.500 R.A.A. Tjakraningrat 20 Februari 1948[21] 9 Maret 1950[22]
 
Negara Sumatera Timur Medan 17.500 Tengku Mansur 25 Desember 1947[23][24] 17 Agustus 1950[23][24]
 
Negara Sumatera Selatan Palembang 74.000 Abdul Malik 2 September 1948[21] 24 Maret 1950[22]

Daerah otonom

sunting

Di samping itu, ada juga satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri sebagai daerah otonom (bukan negara bagian) dari RIS, yaitu:

Bendera Daerah otonom Pusat pemerintahan Luas wilayah (km²) Presiden (Kepala Daerah) Didirikan Dibubarkan
 
Daerah Jawa Tengah[e] Semarang 14.000 Dr. R.V. Sudjito 2 Maret 1949[25] 9 Maret 1950[22]
 
Daerah Istimewa Kalimantan Barat Pontianak 146.800 Sultan Hamid II 12 Mei 1947[7][26] 22 April 1950[27]
 
Daerah Dayak Besar Banjarmasin 132.000 J. van Dyk 7 Desember 1946[28] 18 April 1950[22]
 
Daerah Banjar Banjarmasin 26.000 Mohammad Hanafiah 14 Januari 1948[29] 18 April 1950[22]
 
Federasi Kalimantan Tenggara Kotabaru 14.100 Abdul Gaffar Noor 8 Januari 1947[30] 18 April 1950[22]
 
Negara Kalimantan Timur[f] Samarinda 200.000 Aji Muhammad Parikesit 12 Mei 1947[28] 24 Maret 1950[22]
 
Daerah Bangka Sungai Liat 12.000 Mohammad Jusuf Rasidi 12 Juli 1947[31] 4 April 1950[22]
 
Daerah Belitung - 4.800 K.A. Mohammad Jusuf 12 Juli 1947[31] 4 April 1950[22]
 
Daerah Riau[g] - 10.800 Radja Mohammad 12 Juli 1947[31] 4 April 1950[22]

Distrik federal

sunting

Republik Indonesia Serikat memiliki satu distrik federal, yakni Distrik Federal Jakarta (sebelumnya bernama Distrik Federal Batavia). Pembentukan Daerah/Distrik Federal Batavia ditetapkan dengan dasar hukum Staatsblad No. 63 on June 1948. Distrik federal tersebut diberikan otonomi di dalam lingkup Negara Pasundan. Distrik Federal Batavia berubah nama menjadi Distrik Federal Jakarta pada tanggal 30 Desember 1949 dan dikelola langsung oleh pemerintah federal RIS.[32]

Bendera Distrik federal Pusat pemerintahan Luas wilayah (km²) Gubernur Didirikan Dibubarkan
 
Distrik Federal Jakarta[h] - 3.000 Hilman Djajadiningrat 11 Agustus 1948[33] 30 Maret 1950[i][22]

Daerah swapraja

sunting

Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui di dalam RIS. Daerah-daerah ini diberikan status semacam "negara" dalam RIS dan diberikan otonomi khusus oleh pemerintah federal. Wilayahnya meliputi:

Bendera Daerah Pusat pemerintahan Luas wilayah (km²) Kepala Daerah Didirikan Dibubarkan
- Kotawaringin - 20.600 - 19 Januari 1948 4 April 1950[22]
- Padang dan sekitarnya - - - - 9 Maret 1950[22]
- Sabang - - - - 9 Maret 1950[22]

Sistem hukum dan pemerintahan

sunting

Legislatif

sunting

Republik Indonesia Serikat memiliki badan legislatif bikameral. Dewan Perwakilan Rakyat RIS terdiri dari 50 orang perwakilan dari Republik Indonesia dan 100 orang dari negara-negara bagian menurut jumlah penduduknya. Senat RIS memiliki dua anggota dari setiap negara bagian RIS, sehingga totalnya terdapat 32 anggota.

Pemerintahan

sunting

Republik Indonesia Serikat merupakan sebuah negara republik federal dengan sistem parlementer. Kepala negara RIS adalah seorang Presiden yang merupakan jabatan seremonial sebagai simbol negara dan memiliki kewenangan terbatas, sedangkan kepala pemerintahan RIS adalah seorang Perdana Menteri yang memegang kekuasaan pemerintahan federal beserta Kabinet RIS. Jabatan Presiden RIS diemban oleh Soekarno, sedangkan jabatan Perdana Menteri RIS diemban oleh Mohammad Hatta dengan Kabinet RIS yang beranggotakan 16 orang.

Negara bagian diperintah menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang dibentuk tahun 1949. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu:

  1. Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
  2. Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat.
  3. Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur.
  4. R. A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura.
  5. Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar.
  6. Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka.
  7. K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung.
  8. Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar.
  9. Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah.
  10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur.
  11. Jamani dari Kalimantan Tenggara.
  12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur.
  13. Mr. Djoemhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan.
  14. Radja Mohammad dari Riau.
  15. Abdul Malik dari Negara Sumatera Selatan.
  16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatra Timur.

Persemakmuran dengan Kerajaan Belanda

sunting

Sebagai salah satu hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar, Republik Indonesia Serikat bersama dengan Kerajaan Belanda tergabung dalam konfederasi Uni Belanda-Indonesia yang diketuai oleh Ratu Belanda. Masing-masing anggota Uni mengirimkan seorang Komisaris Tinggi yang berkedudukan di ibu kota negara anggota. Jabatan Komisaris Tinggi Republik Indonesia Serikat untuk Kerajaan Belanda diemban oleh Mohammad Roem yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Januari 1950.[34]

Pembubaran

sunting

Sejak awal, mayoritas orang Indonesia menentang sistem federal yang dihasilkan dari Konferensi Meja Bundar. Alasan utamanya adalah bahwa sistem ini dikaitkan dengan warisan kolonialisme. Alasan lain adalah termasuk perasaan bahwa negara federal tidak memiliki kohesi dan berpotensi menyebabkan pemisahan negara, serta pihak Indonesia yang menerimanya sebagai taktik jangka pendek. Selain itu, sebagian besar wilayah negara-negara bagian dikuasai oleh penguasa tradisional, yang dianggap terlalu pro-Belanda. Akhirnya, ada ikatan etnis atau budaya yang tidak memadai antara orang-orang di masing-masing negara untuk mengatasi dominasi Jawa. Misalnya, walaupun penduduk Negara Madura seluruhnya adalah etnis Madura, mereka dipisahkan dari jutaan orang Madura yang tinggal di Negara Jawa Timur, yang mengartikan bahwa negara tidak homogen.[35][36][37]

Bahkan pihak yang mendukung gagasan negara federal menginginkan bentuknya diputuskan oleh rakyat Indonesia sendiri melalui suatu Majelis Konstitusi terpilih, bukan oleh bekas kekuasaan kolonial. Belanda juga mencoba meyakinkan orang Indonesia bahwa negara kesatuan berarti merupakan dominasi Jawa, meskipun hal ini tidak berhasil.[35] Adanya berbagai perbedaan pandangan di dalam negeri RIS, termasuk yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir dengan mosi integralnya, semakin membuka jalan kembalinya Republik Indonesia Serikat menjadi negara kesatuan.

Pada bulan Maret dan April 1950, semua negara bagian dan daerah otonom RIS (kecuali Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur) membubarkan diri untuk bergabung dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta.[22] Dari tanggal 3–5 Mei, konferensi antara Negara Indonesia Timur; Negara Sumatra Timur; dan Negara Republik Indonesia berakhir dengan keputusan untuk menggabungkan ketiga negara tersebut menjadi satu kesatuan.[38] Pada tanggal 19 Mei, sebuah pengumuman telah dikeluarkan oleh pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (mewakili dua negara bagian yang tersisa dan Negara Republik Indonesia), yang menyatakan bahwa semua pihak, "... telah mencapai kesepakatan untuk bersama-sama membentuk kesatuan negara sebagai Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ”.[39] Pengumuman itu juga menandai dibubarkannya Negara Republik Indonesia sebagai negara bagian RIS. Republik Indonesia Serikat secara resmi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1950 – bertepatan dengan peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-5 – dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.[40]

Galeri

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Negara bagian Republik Indonesia meliputi sebagian besar Pulau Sumatra, sebagian besar Banten, sebagian Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur.
  2. ^ Didirikan sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
  3. ^ Dibubarkan sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat.
  4. ^ Meliputi wilayah Jawa Timur yang tidak dikuasai RI sesuai Perjanjian Renville.
  5. ^ Meliputi wilayah Jawa Tengah yang tidak dikuasai RI sesuai Perjanjian Renville.
  6. ^ Wilayah Negara Kalimantan Timur tidak termasuk bekas wilayah Kesultanan Paser.
  7. ^ Meliputi wilayah Kepulauan Riau.
  8. ^ Dikelola pemerintah federal RIS tetapi masuk dalam lingkup Negara Pasundan.
  9. ^ Meskipun Negara Pasundan dibubarkan pada tanggal 11 Maret 1950, Distrik Federal Jakarta tetap bertahan hingga pelantikan Suwiryo sebagai Wali Kota Jakarta pada 30 Maret 1950.

Referensi

sunting
  1. ^ Ricklefs 2008, hlm. 322.
  2. ^ Ricklefs 2008, hlm. 341-342.
  3. ^ Ricklefs 2008, hlm. 349.
  4. ^ Reid 1974, hlm. 104-105.
  5. ^ Ricklefs 2008, hlm. 358-360.
  6. ^ Anak Agung 1995, hlm. 107.
  7. ^ a b Reid 1974, hlm. 100.
  8. ^ Anak Agung 1995, hlm. 112.
  9. ^ Ricklefs 2008, hlm. 361-362.
  10. ^ "Birth of New State of East Indonesia". The Argus (Melbourne) (31,299). Victoria, Australia. 23 December 1946. hlm. 5. Diakses tanggal 15 July 2018 – via National Library of Australia. 
  11. ^ Ide Anak Agung Gde Agung (1996) [1995]. From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia. Diterjemahkan oleh Owens, Linda. Yayasan Obor. hlm. 95. ISBN 979-461-216-2. 
  12. ^ "NETHERLANDS TO KEEP DUTCH N G". The Argus (Melbourne) (31,298). Victoria, Australia. 21 December 1946. hlm. 5. Diakses tanggal 15 July 2018 – via National Library of Australia. 
  13. ^ Gunawan, Restu; Leirissa, R.Z.; Haryono, P. Suryo; Lumintang, Onnie; Nurhajirini, Dwi Ratna (1997). Biografi Pahlawan Nasional: Marthin Indey dan Silas Papare. Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. hlm. 42. Diakses tanggal 24 October 2020. 
  14. ^ Ricklefs 2008, hlm. 362-364.
  15. ^ Ricklefs 2008, hlm. 373.
  16. ^ Legge 1964, hlm. 160.
  17. ^ Indrayana 2008, hlm. 8.
  18. ^ Kahin 1961, hlm. 443–445.
  19. ^ Kahin 1952, hlm. 355.
  20. ^ Reid 1974, hlm. 165.
  21. ^ a b c d Cribb 2000, hlm. 160.
  22. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Simanjuntak 2003, hlm. 99-100.
  23. ^ a b Kahin 1952, hlm. 225.
  24. ^ a b Reid 1974, hlm. 117.
  25. ^ Schiller 1955, hlm. 192.
  26. ^ Schiller 1955, hlm. 183.
  27. ^ Kahin 1952, hlm. 456.
  28. ^ a b Wehl 1948, hlm. 165.
  29. ^ Schiller 1955, hlm. 103.
  30. ^ Schiller 1955, hlm. 121.
  31. ^ a b c Schiller 1955, hlm. 111.
  32. ^ Mukaromah, Vina Fadhrotul. Wedhaswary, Inggried Dwi, ed. "30 Desember 1949, Kisah Batavia Berganti Nama Jadi Jakarta". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-04-22. 
  33. ^ Schiller 1955, hlm. 194.
  34. ^ Item 4578 - Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 27 Tahun 1950 tentang Pengangkatan Mr. Mohammad Roem sebagai Komisaris Tinggi dan Berkuasa Penuh pada Istana Seri Baginda Ratu Juliana.
  35. ^ a b Kahin 1970, hlm. 450.
  36. ^ Antlöv 2001, hlm. 268.
  37. ^ Cribb 1996, hlm. 10.
  38. ^ Anak Agung 1995, hlm. 773.
  39. ^ Anak Agung 1995, hlm. 786.
  40. ^ Ricklefs 2008, hlm. 373-374.

Lihat pula

sunting

Pustaka

sunting
  • 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986, hal.243-244.