Abdurrahman Baswedan

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Haji Abdurrahman bin Awad Baswedan (Indonesia: [/ˌɑːbdʊəˈrɑːxmɑːn baːˈswɛdaːn/]), atau populer dengan nama A. R. Baswedan (9 September 1908 – 16 Maret 1986) adalah seorang diplomat dan politisi asal Indonesia yang merupakan penggagas Persatuan Arab Indonesia (PAI), sebuah partai politik representasi dari etnis Arab di Indonesia. Semasa mudanya, dia bekerja sebagai jurnalis. Pada awal kemerdekaan Indonesia, ia diberi mandat sebagai Menteri Muda Penerangan di Kabinet Sjahrir III, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota parlemen, hingga anggota Konstituante. Di masa prakemerdekaan, Abdurrahman menjabat sebagai anggota Chuo Sangi-In di Jawa. Ia merupakan salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.[2]

Abdurrahman Baswedan
عبدالرحمن باسويدان
Menteri Muda Penerangan Indonesia ke-2
Masa jabatan
2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947
PresidenSoekarno
Perdana MenteriSutan Sjahrir
Anggota Konstituante Republik Indonesia
Masa jabatan
9 November 1956 – 5 Juli 1959
Nomor anggota229
KetuaWilopo
Daerah pemilihanYogyakarta
Anggota Chuo Sangi-In
Masa jabatan
1943 – 2 Juli 1945
Ditunjuk olehPemerintah militer Jepang
KetuaMohammad Sjafei
Informasi pribadi
Lahir
Abdoel Rachman

9 September 1908
Ampel, Surabaya, Hindia Belanda
Meninggal16 Maret 1986(1986-03-16) (umur 77)[1]
Jakarta, Indonesia
Sebab kematianDiabetes
MakamTaman Pemakaman Umum Tanah Kusir
Partai politikPAI
Masyumi
Suami/istri
Sjaichoen
(m. 1925⁠–⁠1948)

(m. 1950⁠–⁠1986)
Hubungan
Anak
Sjaichoen
  • Aliyah Baswedan
  • Fuad Baswedan
  • Rasyid Baswedan
  • Hamid Baswedan
  • Atikah Baswedan
  • Nur Baswedan
  • Imlati Baswedan
  • Lukyana Baswedan
Barkah Ganis
  • Havied Natsir Baswedan
  • Ahmad Samhari Baswedan
Orang tua
  • Awad Baswedan (ayah)
  • Alijah (ibu)
PendidikanInstitut Agama Islam Negeri Jogjakarta (sampai 1972)
ProfesiWartawan
Penghargaan sipilPahlawan nasional Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda dengan fasih.

Karier

sunting

Pejuang Kemerdekaan Indonesia

sunting
 
AR Baswedan (1958)
 
A.R. (kanan) mengenakan blangkon dan surjan. Foto ini menjadi ilustrasi untuk tulisannya berjudul Peranakan Arab dan Totoknya di Harian Matahari, 1 Agustus 1934. Foto dan tulisan inilah yang mendorong "revolusi" dalam peranakan Arab di Indonesia.

A.R. Baswedan adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. A.R. Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat bahasa Jawa Surabaya, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan surjan dan blangkon. Ia menyerukan kepada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Pada titik inilah dia menjalani perubahan haluan yang sangat besar bagi pribadi, dan pada akhirnya menggerakkan perjalanan Indonesia.

Pada masa-masa revolusi, A.R. Baswedan berperan penting menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih akan dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.[3]

A.R. Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942).[4] Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948. Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tak sedikit dalam menjaga dokumen ini.[5] Padahal, semua bandara di kota-kota besar, termasuk Jakarta, sudah dikuasai tentara Belanda dan Sekutu dan tidak ada yang bisa lewat dari penjagaan mereka. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki,[6] dokumen penting dari Mesir itu bisa selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.

Jurnalis

sunting

A.R. Baswedan adalah seorang otodidak.[7] Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati,[8] yang di kemudian hari membantu A.R. Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI. Karena itu, profesi utama dan pertama A.R. Baswedan adalah jurnalis. Dia memang sempat menjalani kegiatan perniagaan dengan meneruskan usaha toko orang tuanya di Surabaya. Tapi, dia tak kerasan. Dia tertarik pada dunia jurnalisme. Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan memilih A.R. Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.[9]

Saat bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden—waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Ia kemudian keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari. Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu.

"Demi perjuangan," katanya.

Sebagai wartawan pejuang, A.R. Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda.

Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut:[4]

  1. Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932).
  2. Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo (1933).
  3. Redaktur Harian Matahari, Semarang (1934).
  4. Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar.
  5. Pemimpin Redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe (1935-1939).
  6. Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an).
  7. Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah.
  8. Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta (1973).
  9. Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).

Karier politik

sunting

Jalan politik A.R. Baswedan dimulai saat menjadi ketua PAI. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa.[10] PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.[11]

A.R. Baswedan mengonsolidasikan kekuatan internal sekaligus membangun komunikasi dengan pihak luar, yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin. Pada 21 Mei 1939, PAI turut bergabung dalam Gerakan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin Moehammad Husni Thamrin. Dalam GAPI ini partai-partai politik bersepakat untuk menyatukan diri dalam wadah negara kelak bernama Indonesia. Berkat masuk dalam GAPI ini, posisi PAI sebagai gerakan politik dan kebangsaan semakin kuat. Selain masuk dalam GAPI, A.R. Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik kebangsaan yang lebih luas dengan masuk ke dalam Majelis Islam ala Indonesia (MIAI) pada 1937.

Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In, semacam Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk Penguasa Jepang. Organisasi ini diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.

Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Perjuangan A.R. Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.

Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu. Deliar Noer menyimpulkan bahwa A.R. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.[12] Ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1960, muncul kemarahan antara golongan Islamis terhadap pemerintah.[13] Zakaria kemudian mengatakan bahwa Soekarno mencoba untuk mengeliminasi dan membungkam partai yang memperjuangkan Islam, beserta pandangan politiknya.[13] Dalam wawancara dengan Suratmin pada bulan November 1984, A.R. Baswedan mengatakan bahwa alasannya bergabung dengan Partai Masyumi karena partai tersebut sesuai dengan pandangan nasionalisme Islam yang dianutnya.[14]

Muballigh

sunting

Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH. Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. KH. Mas Mansoer pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A.R. Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer untuk ikut berdakwah ke berbagai daerah.[15] Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A.R. Baswedan terasah dengan baik; pada gilirannya kemampuannya ini sangat membantunya saat ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye tentang PAI.[16]

Selain berpidato, A.R. Baswedan juga berdakwah melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai majalah dan koran Islam. Ia mengasuh kolom Mercusuana pada harian milik Muhammadiyah, Mercusuar (di kemudian hari berubah namanya menjadi Masa kini). Pada akhir 40-an sampai akhir 50-an A.R. Baswedan menjadi pemimpin redaksi Majalah Hikmah, sebuah mingguan Islam popular. Dalam dewan redaksi, selain A.R. Baswedan, juga terdapat Moh. Natsir dan Buya Hamka. Para penulis majalah ini adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Sjafruddin Prawiranegara.

Dalam bidang dakwah, A.R. Baswedan juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Cabang Yogyakarta. Bahkan, dia menjadi pelindung dan rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.

Peranakan Arab dan Totoknya

sunting

Foto A.R. Baswedan di majalah Matahari yang mengenakan surjan dan blangkon itu menjadi kontroversi di kalangan Arab di Hindia Belanda, terlebih karena ada tulisan A.R. Baswedan yang berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya". Dalam tulisan itu, A.R. Baswedan mengajak keturunan Arab yang berada di Hindia Belanda saat itu untuk bersatu, membaur dengan masyarakat lainnya. Yang dimaksud dengan peranakan Arab (muwalad) adalah warga Arab yang lahir di negeri ini (saat itu bernama Hindia Belanda), sementara totok (wulaiti) adalah mereka yang lahir di kampung halamannya, di Hadramaut, Yaman. Dalam tulisan itu, A.R. Baswedan mengajak kepada peranakan Arab dan juga yang totok untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.[17]

Tulisan A.R. Baswedan berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya" ini sangat kuat dan menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa ini. Karena itu, Majalah Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional 1908-2008, "Indonesia yang Kuimpikan, 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri" memasukkan tulisan A.R. Baswedan tersebut sebagai salah satu catatan yang turut membentuk Indonesia.[18]

Sumpah Pemuda Keturunan Arab

sunting

Berkat foto dan tulisan ini, A.R. Baswedan lalu mengumpulkan dan menyatukan para pemuda Arab untuk berkomitmen menyatakan Indonesia sebagai tanah air. Terinspirasi oleh Sumpah Pemuda yang digalang oleh Muh. Yamin, Soegondo, dan kawan-kawannya pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda keturunan Arab pun mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang setelah mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), di kemudian hari menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Berikut bunyi Sumpah Pemuda Keturunan Arab:

  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana).
  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).
  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.[19]

Tulisan-tulisan A.R. Baswedan tersebar di banyak media. Tapi sayang, tak semua tulisannya sempat terkumpulkan dan diterbitkan secara kronologis. Berikut ini sebagian karya A.R. Baswedan yang sempat dikumpulkan dan dicetak:

  • Debat Sekeliling PAI (tahun 1939)
  • Beberapa Catatan tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (1974)
  • Buah Pikiran dan Cita-cita AR Baswedan (diterbitkan Sekjen PAI, Salim Maskati).
  • Menuju Masyarakat Baru, sebuah cerita Toneel dalam 5 Bagian.
  • Rumah Tangga Rasulullah diterbitkan Bulan Bintang pada 1940 (Shalahuddin Press menerbitkan ulang buku ini pada 1980-an; pada 2018 ini Qafmedia menerbitkan kembali buku ini atas permintaan pembaca yang kangen dengan buku ini dan kebutuhan khalayak saat ini atas bacaan berkualitas tentang Nabi Muhammad saw.).
  • AR Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis [2016] (buku ini dikumpulkan dan disunting Nabiel A. Karim Hayaze dan berisi tulisan terpilih A.R. Baswedan dan tentang A.R. Baswedan dari peneliti).[20]

A.R. Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 minggu kemudian, kondisi kesehatan A.R. Baswedan menurun dan meninggal. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

 
Beberapa tokoh penting hadir saat pemakaman A.R. Baswedan: (Kiri ke kanan) Abdul Gafur (berpayung, Menteri Pemuda dan Olahraga), KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Ketua Umum PBNU), H. Harmoko (Menteri Penerangan), Saleh Afif (Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan Indonesia).

Pemakamannya diiringi ribuan orang. Para pejabat tinggi, masyarakat, dan juga koleganya turut memenuhi jalan dan mengantarkannya hingga ke peristirahatan terakhirnya. Menteri Penerangan H. Harmoko saat mengiringi jenazah ke Tanah Kusir mengatakan bahwa A.R. ini lebih Indonesia dari orang Indonesia sendiri.

Kementerian Penerangan sehari kemudian mengadakan upacara dan apel besar untuk menghormati dan mengingat jasa-jasa A.R. Baswedan.

 
Yayasan Idayu menerbitkan kumpulan obituari dan reportase dari berbagai media massa lokal dan nasional tentang wafatnya A.R. Baswedan

Obituari dan reportase tentang wafatnya A.R. Baswedan menghiasi media lokal dan nasional selama beberapa hari. Yayasan Idayu mengumpulkan obituari mengenai A.R. Baswedan ini dan menerbitkannya menjadi buku memori.

Peninggalan

sunting

Peninggalan A.R. Baswedan adalah koleksi buku-bukunya yang berjumlah lebih dari 5.000 buku. Wasiat A.R. Baswedan adalah buku-buku itu dijadikan perpustakaan. Buku-buku berbahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Indonesia itu ditata rapi (dengan katalog modern) di kamar depan—yang dahulu menjadi ruang kerjanya—di rumahnya di Kota Yogyakarta dan masyarakat luas (terutama kaum mahasiswa) bisa dengan mudah mengakses koleksi buku-buku peninggalan A.R. Baswedan ini. A.R. Baswedan banyak berinteraksi dengan anak-anak muda. Beberapa anak muda yang dekat dengan A.R. Baswedan di antaranya adalah Alm. Ahmad Wahib, Anhar Gonggong, Emha Ainun Nadjib, Lukman Hakim (PPP), Syu'bah Asa, Taufiq Effendi (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara 2004-2009), W.S. Rendra dan hampir semua aktivis muda di Yogyakarta pada periode 1960-an sampai 1980-an.

Kehidupan pribadi

sunting

A.R. Baswedan menikah dengan Sjaichun. Pada tahun 1948 Sjaichun meninggal dunia di Kota Surakarta karena serangan malaria. Tahun 1950 A.R. Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, di rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Muhammad Natsir bertindak sebagai wali dan menikahkan mereka. Dia dikarunia 11 anak dan 45 cucu.[21]

Baswedan sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya A.R. Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal Atmojoewana untuk para pejuang revolusi saat Ibu kota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Presiden.

Cucunya, Anies Baswedan adalah Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia pada Kabinet Kerja pada era Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 hingga 2016. Pada 15 Oktober 2017 Anies dilantik menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta untuk periode 2017-2022. Cucu A.R. Baswedan lainnya adalah penyidik antirasuah yang tangguh, Novel Baswedan.

Penghargaan dan Tanda Jasa

sunting

Berkat sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa, negara memberi A.R. Baswedan penghargaan. Tak hanya Republik Indonesia yang turut A.R. Baswedan bangun, dua negara Islam lain pun turut memberinya penghargaan atas kontribusinya dalam membangun hubungan antarnegara dan juga sikapnya yang mendorong penuh kemerdekaan, yaitu dari Mesir dan Aljazair.[4]

  1. Negara pada 1970 mengakui A.R. Baswedan sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan.
  2. Pada 9 November 1992, negara mengakui dan menghargai kontribusi besar A.R. Baswedan yang turut menyusun UUD 1945 dalam BPUPKI. Karena itu, negara menganugerahkan Bintang Mahaputra Utama kepada A.R. Baswedan dan 44 anggota BPUPKI lainnya.
  3. Pada Juli 1995 Duta Mesir untuk Indonesia, Sayed K El Masry memberikan penghargaan kepada A.R. Baswedan berupa piagam dari bahan papirus, yang berisikan naskah Perjanjian Persahabatan RI-Kerajaan Mesir pada 10 Juni 1947 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
  4. Pada 23 Desember 1995, Aljazair memberikan medali kepada A.R. Baswedan atas pertemanannya dengan para tokoh Aljazair dan memberikan bantuan moril atas peristiwa Revolusi Aljazair 1 November 1954.[22]
  5. Pada 2013, Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono juga menganugerahi A.R. Baswedan Bintang Mahaputra Adipradana pada 10 Agustus 2013.[23][24]
  6. Pada 8 November 2018, negara memberikan anugerah Pahlawan Nasional kepada A.R. Baswedan atas jasa-jasanya dalam kemerdekaan Indonesia.[25]

Pahlawan Nasional

sunting

Pada 2011-2013,[26] Drs. Eddie Lembong melalui Yayasan Nation Building (Nabil) menginisiasi gelar pahlawan kepada A.R. Baswedan.[27] Ada 6 pertimbangan Yayasan Nabil mengusulkan A.R. Baswedan sebagai pahlawan nasional:

  1. Sebagai salah seorang pembentuk bangsa (nation builder).
  2. Sebagai salah satu Bapak Bangsa (Founding Father).
  3. Ikut berjasa dalam Pengakuan Diplomatik Pertama bagi RI.
  4. Salah seorang perintis Pers Nasional Indonesia.
  5. Tokoh Multikultural yang memperjuangkan kesetaraan gender
  6. Seniman dan agamawan.

Dalam rangka proses ini Yayasan Nabil mengadakan diskusi di sejumlah universitas dan tempat dan di beberapa daerah.[28] Yayasan Nabil juga menerbitkan buku biografi A.R. Baswedan karya Suratmin dan Didi Kwartanada.[29] Meski demikian, secara formal yang mengajukan dan mengusulkan anugerah Pahlawan Nasional untuk A.R. Baswedan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui perkenan Sultan Hamengku Buwana X dan Wali kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Selain Yayasan Nabil, ada juga upaya yang dilakukan AM Fatwa dalam proses penganugerahan ini sejak 2015.

 
Piagam Penghargaan Gelar Pahlawan Nasional untuk A.R. Baswedan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 November 2018.

Pada hari Kamis 8 November 2018 Abdurrahman Baswedan, kakek dari Anies Baswedan dan Novel Baswedan, diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, di Istana Kepresidenan Jakarta.[30]

100 Tahun A.R. Baswedan

sunting

Di awal September 2008, media massa di Indonesia menuliskan kisah perjuangan AR Baswedan sebagai peringatan 100 tahun kelahirannya.

Sumber

sunting
  • (Inggris) Natalie Mobini-Kesheh,The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942, Itacha, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University, 1999.[33]
  • (Inggris) Huub De Jonge, Abdul Rahman Baswedan and the Emancipation of the Hadramis in Indonesia, Asian Journal of Social Science, Volume 32, Number 3, 2004, pp. 373–400(28).[7]
  • (Indonesia) Husain Haikal, 2002, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan (Semarang: CV Aini).
  • (Indonesia) Alwi Shahab, Sumpah Pemuda Arab, republika.co.id, 16 September 2007.
  • (Inggris) Howard Dick, Surabaya the City of Work, a Socioeconomic History 1900-2000, Center for International Studies, Ohio University, 2002.[34]
  • (Indonesia) Suratmin, Abdurrahman Baswedan; Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, 1989).
  • (Indonesia) Apa dan Siapa; "Abdur Rahman Baswedan", Pusat Data dan Analisis Tempo, www.pdat.co.id.
  • (Indonesia) Alwi Shahab, "Partai Arab Indonesia", Republika.co.id, 6 Januari 2002.
  • (Indonesia) "Pendahuluan" oleh Djohan Efendi dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, cet. keenam, Februari 2003).
  • (Indonesia) AR Baswedan Dalam Pergerakan Nasional
  • (Indonesia) Sumpah Pemuda Arab
  • (Indonesia) Aljazair Anugerahkan Medali kepada 13 Tokoh RI
  • (Indonesia) Syafiq Basri Assegaf, 2014, Melampaui Mimpi Bersama Anies Baswedan @Twitterland, (Bandung: Mizan).

Referensi

sunting
  1. ^ Administrator (1986-03-22). "Pak AR Tiada". Tempo.co. Diakses tanggal 2024-05-11. 
  2. ^ "Pejabat Kabinet". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-02. Diakses tanggal 1 September 2014. 
  3. ^ van der Kroef, Justus M. (1953). "The Arabs in Indonesia". Middle East Journal. 7 (3): 300–323. 
  4. ^ a b c Suratmin dan Didi Kwartanada, 2014, Biografi A.R. Baswedan, Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), hal. 251
  5. ^ Suranta Abd. Rahman, 2007, "Diplomasi RI di Mesir dan Negara-Negara Arab pada Tahun 1947" dalam Wacana Vo. 9 No. 2, Oktober 2007, hal. 166.
  6. ^ Om affandi (2013-01-17), AR Baswedan, diakses tanggal 2018-11-07 
  7. ^ a b de Jonge, Huub (2004). "Abdul Rahman Baswedan and the Emancipation of the Hadramis in Indonesia". Asian Journal of Social Science. 32 (3): 373–400. 
  8. ^ MOBINI-KESHEH, NATALIE (1996). "The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-1942". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 152 (2): 236–256. 
  9. ^ Fadillah, Ramadhian (6 June 2012). Winarno, Hery H, ed. "Kegigihan dan kesederhanaan Wamen AR Baswedan". Merdeka.com. Diakses tanggal 1 September 2014. 
  10. ^ Alatas, Ismail Fajrie (2011). "Becoming Indonesians: The Bā ʿAlawī in the Interstices of the Nation". Die Welt des Islams. 51 (1): 45–74. 
  11. ^ de Jonge, Huub (1993). "Discord and Solidarity among the Arabs in the Netherlands East Indies, 1900-1942". Indonesia (55): 73–90. doi:10.2307/3351087. 
  12. ^ Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Mizan), hal. 117.
  13. ^ a b Saputra, Amrizal, Wira Sugiarto, Suyendri, Zulfan Ikhram, Khairil Anwar, M. Karya Mukhsin, Risman Hambali, Khoiri, Marzuli Ridwan Al-bantany, Zuriat Abdillah, Dede Satriani, Wan M. Fariq, Suwarto, Adi Sutrisno, Ahmad Fadhli (2020-10-15). PROFIL ULAMA KARISMATIK DI KABUPATEN BENGKALIS: MENELADANI SOSOK DAN PERJUANGAN. CV. DOTPLUS Publisher. hlm. 156. ISBN 978-623-94659-3-3. 
  14. ^ "Ideologi politik keturunan Arab: Islamis, sosialis hingga komunis". BBC News Indonesia. 2015-10-29. Diakses tanggal 2024-02-02. 
  15. ^ Muhammad Husnil, 2014, Melunasi Janji Kemerdekaan (Jakarta: Penerbit Zaman), hal. 20.
  16. ^ Muhammad Husnil, 2017, Ketika Anies Baswedan Memimpin, Menginspirasi, Menggerakkan (Jakarta: Mahaka Publishing), hal. 21.
  17. ^ Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s, (Leiden: Brill), hal. 14, 1997.
  18. ^ MEDIA, PT TEMPO INTI. "Indonesia Yang Kuimpikan : 100 Catatan Yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri". Tempo.co. Diakses tanggal 2018-11-07. 
  19. ^ A.R. Baswedan, 1974, Beberapa Catatan tentang Sumpah Pemuda Keturunan Arab, (Surabaya: Penerbit Pers Nasional Surabaya) hal. 165.
  20. ^ "Beli buku a.r baswedan terbaru, paling murah | Mizanstore". mizanstore.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-07. 
  21. ^ Mobini-Kesheh, Natalie (1999). The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 (edisi ke-illustrated, reprint). SEAP Publications. hlm. 132. ISBN 978-0877277279. Diakses tanggal 1 September 2014. 
  22. ^ "Aljazair Anugerahkan Medali kepada 13 Tokoh RI - Sabtu, 28 Mei 2005". Kompas.com. 2007-10-19. Archived from the original on 2007-10-19. Diakses tanggal 2018-11-06. 
  23. ^ haidarpesebe, Nabil Foundation by. "Bintang Mahaputra Adipradana untuk Tokoh Pejuang A.R. Baswedan - Artikel". Nabil Foundation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-08. 
  24. ^ Gatra, Sandro (2013-08-13). Liauw, Hindra, ed. "8 Menteri Dapat Bintang Mahaputera Adipradana". Kompas.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-06. 
  25. ^ "Enam Tokoh Bakal Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional". Tempo.co. Diakses tanggal 2018-11-08. 
  26. ^ "AR Baswedan dan Kasman Singodimedjo Menjadi Pahlwan Nasional | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2018-11-08. 
  27. ^ Susilo, Nina (9 November 2018). "Indonesia Rumah Bersama". Kompas. Hlm.1 dan 15.
  28. ^ haidarpesebe, Nabil Foundation by. "Peluncuran dan Diskusi Biografi AR Baswedan - Berita". Nabil Foundation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-08. 
  29. ^ haidarpesebe, Nabil Foundation by. "Telah terbit :". Nabil Foundation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-08. 
  30. ^ [1]
  31. ^ "Majalah Gatra :: Artikel". arsip.gatra.com. Diakses tanggal 2018-11-06. 
  32. ^ "AR Baswedan Perajut Keindonesiaan". Historia - Obrolan Perempuan Urban. Diakses tanggal 2018-11-06. 
  33. ^ Mobini-Kesheh, Natalie (1999). The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942. Ithaca, NY: Cornell University Press. ISBN 9780877277279. 
  34. ^ "Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900–2000". Ohio University Press • Swallow Press (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-07. 
Jabatan politik
Didahului oleh:
Ali Sastroamidjojo
Wakil Menteri Penerangan Indonesia
1946 - 1947
Diteruskan oleh:
Tidak ada