Mereka Bilang, Saya Monyet!

film Indonesia tahun 2008 karya Djenar Maesa Ayu

Mereka Bilang, Saya Monyet! (ditayangkan internasional They Say I'm a Monkey!) adalah film Indonesia tahun 2008 yang disutradarai oleh Djenar Maesa Ayu. Film ini diperankan oleh Titi Rajo Bintang, Henidar Amroe, dan Ray Sahetapi, tentang kisah hidup perempuan bernama Adjeng yang mengalami pelecehan seksual oleh pacar ibunya. Film ini disadur dari dua antologi cerita pendek pertama karya Ayu dengan judul yang sama, dan melalui proses pengembangan selama beberapa tahun sebelum akhirnya difilmkan dalam waktu 18 hari dengan anggaran rendah, yaitu Rp620 juta. Para pemeran dan kru film ini sebagian besar adalah amatir dan pelajar, meskipun ada beberapa aktor terkenal dengan bayaran murah.

Mereka Bilang, Saya Monyet!
Sebuah poster yang menunjukkan air mata. Judul "Mereka Bilang, Saya Monyet!" tertulis di bawahnya.
Poster
SutradaraDjenar Maesa Ayu
Produser
  • Djenar Maesa Ayu
  • Riyadh Assegat
Ditulis oleh
  • Djenar Maesa Ayu
  • Indra Herlambang
Berdasarkan
  • "Lintah"
  • "Melukis Jendela"
Pemeran
Penata musik
  • Titi Rajo Bintang
  • Wong Aksan
SinematograferRoby Taswin
Penyunting
  • Wawan I. Wibowo
  • Arifin "Cuunk"
Distributor
Tanggal rilis
  • 03 Januari 2008 (2008-01-03) (Indonesia)
Durasi90 menit
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Indonesia
AnggaranRp620 juta[1]

Film Mereka Bilang, Saya Monyet! digambarkan sebagai "anti-Sjuman" karena gaya penyutradaraan Ayu yang lebih personal dan realisme sosial ayahnya, Sjumandjaja. Meskipun gagal secara komersial, film ini dapat diterima dengan baik oleh para kritikus dan memenangkan lima penghargaan tingkat nasional, serta ditayangkan di beberapa festival film internasional. Dua media Indonesia, Tempo dan The Jakarta Post memilih film ini sebagai salah satu film terbaik di tahun 2008.

Alur sunting

Adjeng (Titi Rajo Bintang) adalah seorang penulis cerita anak-anak yang tinggal sendirian di apartemen yang dibiayai oleh pacarnya, seorang pengusaha kaya (Joko Anwar). Namun, Adjeng ingin menulis cerita pendek untuk orang dewasa, dan ia dibimbing oleh Asmoro (Ray Sahetapy), yang juga menjalin hubungan dengannya. Sementara itu, ibu Adjeng (Henidar Amroe) terus meneleponnya dan melakukan kunjungan mendadak yang membuat teman-teman Adjeng, Venny (Ayu Dewi) dan Andien (Fairus Faisal) menyindir dirinya karena merasa ibunya sombong.

Suatu malam, Adjeng pergi ke kelab dengan teman-temannya dan minum terlalu banyak hingga muntah dan pingsan di toilet. Saat terbaring di sana, ia teringat masa kecilnya (Nadya Romples) yang penuh dengan trauma, termasuk ketika ia dipaksa makan sayuran yang sebelumnya telah ia muntahkan. Saat Andien menginap semalam di apartemennya, Adjeng mengintip dan mengingat bagaimana ia melihat ibunya berhubungan seks dengan kekasihnya (Bucek Depp), yang pernah mencabulinya. Latar belakang ini, serta ingatannya tentang kehidupan Adjeng saat remaja (diperankan oleh Banyu Bening) di rumah ayahnya yang suka main perempuan (August Melasz), digabungkan ke dalam cerita pendek Adjeng yang berjudul "Lintah".

Ketika Asmoro membaca cerita tersebut, ia mengatakan bahwa cerita tersebut tidak realistis dan pembaca membutuhkan klimaks. Namun, Adjeng bersikeras bahwa kenyataannya memang tidak realistis dan tidak semua korban pemerkosaan mau melapor ke polisi. Beberapa hari berselang, ketika mereka sedang berbaring di tempat tidur, Asmoro menunjukkan kepada Adjeng bahwa "Lintah" telah dimuat di surat kabar Kompas. Ibu Adjeng, yang mengetahui bahwa cerita tersebut bersifat otobiografi menjadi sangat marah dan setelah dirinya pergi ke apartemen Adjeng, Ibunya menyalahkan semuanya kepada ayah Adjeng yang telah menelantarkan mereka.

Karena kesal, Adjeng pergi bersama Venny dan Andien, namun ketika keduanya mulai berdebat tentang keibuan, Adjeng meninggalkan mereka berdua di jalan. Ia kemudian pergi ke sebuah kafe untuk minum-minum dengan Asmoro yang telah menghiburnya. Ketika kembali ke rumah, ia memeriksa pesan-pesannya yang sebagian besar berisi tentang cerpen tersebut. Sementara itu, Venny dan Andien kembali ke rumah dan mengurusi anak-anaknya.

Sehari berselang, Asmoro melihat kekasih Adjeng meninggalkan apartemennya dan membuatnya marah. Mereka bertengkar dan membuat Asmoro hampir membekap Adjeng dengan bantal sebelum mengatakan mengakhiri hubungan mereka. Saat Adjeng berbaring di tempat tidur, ia teringat bagaimana kekasih ibunya itu memperkosanya dan bagaimana ibunya membunuhnya. Saat telepon berdering, Adjeng mengingat masa lalunya dan menemukan kenyamanan dalam menulis.

Pemeran sunting

  • Titi Sjuman sebagai Adjeng, seorang penulis muda yang pernah mengalami pelecehan saat kecil
  • Henidar Amroe sebagai ibu Adjeng, seorang mantan aktris yang sangat posesif dengan anaknya
  • Ray Sahetapy sebagai Asmoro, penasihat dan kekasih Adjeng
  • Bucek Depp sebagai pacar ibu Adjeng, seorang musisi yang pernah mencabuli Adjeng saat masih kecil
  • Jajang C Noer sebagai Bi Inah, pembantu ayah Adjeng
  • August Melasz sebagai ayah Adjeng, seorang penulis yang senang bergaul dan berinteraksi dengan putrinya
  • Arswendo Atmowiloto sebagai Redaktur
  • Banyu Bening sebagai Adjeng saat remaja
  • Ayu Dewi sebagai Venny, teman Adjeng yang suka pergi ke kelab dan sangat ingin memiliki anak
  • Fairuz Faisal sebagai Andien, teman Adjeng yang suka pergi ke kelab dan dan memiliki seorang anak
  • Indra Herlambang sebagai Presenter
  • Mario Lawalatta sebagai Laki-laki Bar
  • Nadya Rompies sebagai Adjeng saat masih kecil
  • Joko Anwar sebagai bos yang dikencani oleh Adjeng untuk mendapatkan dukungan finansial
  • Riyadh Assegaf sebagai Lounge Crowd

Produksi sunting

Film ini awalnya akan dibuat berdasarkan antologi cerita pendek karya Djenar Maesa Ayu pada tahun 2002, yakni "Mereka Bilang, Saya Monyet!", yang sukses secara komersial.[2][3] Namun, Djenar kemudian memilih untuk mendasarkan film ini pada dua cerita lain dari antologi tersebut, yakni "Lintah" dan "Melukis Jendela".[4] Djenar awalnya tidak berniat untuk memfilmkan cerita tersebut, tetapi ia kemudian setuju setelah didekati oleh sebuah konsorsium investor yang menawarkan untuk mendanainya.[5] Djenar lalu meminta Indra Herlambang, seorang penulis sekaligus pewara televisi,[6] untuk membantunya menulis skenario, karena ia "tidak pernah bisa menulis cerita dengan alur",[a][7] dan ia membutuhkan Indra untuk membuatnya tetap termotivasi.[8] Keduanya pun menulis skenario selama dua tahun,[4] dan sempat mengalami kesulitan untuk menemukan investor baru setelah investor awal memutuskan untuk keluar.[9]

Pada tahun 2004, Djenar mulai mengambil kelas pembuatan film untuk mempersiapkan dirinya menyutradarai film.[2] Ia juga menonton sejumlah film yang disutradarai oleh ayahnya, Sjumandjaja, sebagai bagian dari persiapan produksi.[4] Produksi akhirnya dimulai pada bulan Oktober 2006, dengan sejumlah kru film, termasuk penata artistik Hardiyansah B. Yasin, baru bergabung setelah Djenar bertemu dengan mereka di sebuah kafe di Jakarta Selatan dan mengetahui bahwa mereka aktif di kancah film indie lokal. Mereka pun membantu mengumpulkan uang sebanyak Rp 620 juta yang dibutuhkan untuk produksi.[1][10] Sebagai bagian dari upaya untuk menghemat biaya, banyak anggota kru masih merupakan mahasiswa jurusan perfilman.[11]

Sejumlah peran ditulis dengan telah mempertimbangkan aktor tertentu untuk memerankannya,[12] sementara seleksi untuk peran lain dipromosikan dari mulut ke mulut.[13] Titi Rajo Bintang, seorang dosen di Institut Musik Daya Kemang, dipilih untuk berperan sebagai Adjeng, setelah Djenar dan suami Titi saat itu, Sri Aksana Sjuman (kakak Ayu), berhasil meyakinkannya. Awalnya Titi merasa tidak nyaman dengan sejumlah adegan dan kurangnya latihan yang ia lakukan, karena ini adalah peran film pertamanya. Namun, ia mendapat dukungan dari suaminya, yang mengatakan bahwa ia harus berperan secara profesional dan bahwa "dalam adegan ciuman...tubuh[nya] tidak boleh menolaknya".[14] Titi dan Aksana juga menyediakan lagu tema untuk Mereka Bilang, Saya Monyet!, termasuk tiga lagu asli, yakni "When You Smile", "Someday", dan "Love, Sadness & Happiness", yang dibawakan sendiri oleh Titi.[15]

Model yang beralih menjadi aktris, Henidar Amroe dipilih untuk berperan sebagai ibu Adjeng. Djenar kemudian mengatakan bahwa peran tersebut memang ditulis dengan telah mempertimbangkan Henidar untuk memerankannya.[16] Meski khawatir dengan konten seksual dari film ini, Henidar tetap menerima peran tersebut, dan menyebutnya sebagai plot "gila" yang "terlihat seperti film luar negeri".[16] Adjeng muda diperankan oleh putri dari Djenar, Banyu Bening.[17] Sejumlah aktor terkemuka, seperti Jajang C. Noer, Ray Sahetapy, dan August Melasz, setuju untuk muncul di film ini dengan upah yang lebih rendah dari biasanya.[18] Proses produksi akhirnya berlangsung selama 18 hari, padahal awalnya direncanakan hanya berlangsung selama 14 hari.[19]

Gaya dan tema sunting

Mereka Bilang, Saya Monyet! menggambarkan dampak penganiayaan anak dengan cara yang digambarkan oleh majalah Tempo sebagai sebuah "eksperimen permainan waktu yang menarik", yakni penuh dengan kilas balik[4] yang dengan jelas menetapkan kerangka waktu kapan adegan tersebut terjadi.[20] Menurut Wicaksono Adi, dalam ulasannya untuk Kompas, tulisan Adjeng adalah terapinya, karena tulisan tersebut terus-menerus merekonstruksi dan mendekonstruksi masa lalunya yang bermasalah. Wicaksono berpendapat bahwa tulisan tersebut pada akhirnya memungkinkan Adjeng untuk melawan figur otoritas yang mengganggunya sejak masih kecil.[21] Dalam sebuah dokumenter mengenai pembuatan film ini, Djenar mengatakan bahwa ia tidak memikirkan pesan moral atau kritik sosial apapun saat membuat film ini, tetapi ia hanya menganggap film ini sebagai bentuk eksplorasi diri.[22] Walaupun begitu, ia mengakui bahwa film ini dapat dilihat sebagai sebuah kritik untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.[23]

Wicaksono juga melihat adanya hubungan cinta-benci antara Adjeng dan ibunya, yang berujung pada pergaulan bebas Adjeng, sebuah alur yang lazim digunakan dalam gerakan Sastra Wangi, yang mana Djenar dianggap termasuk di dalamnya. Hubungan antara ibu dan anak juga pernah dimunculkan di film-film sebelumnya, seperti Pasir Berbisik (2001) karya Nan Achnas dan Eliana, Eliana (2003) karya Riri Riza. Namun, berbeda dengan dua film tersebut, film ini tidak berakhir dengan ibu dan anak memilih jalan yang berbeda.[21] Pengulas Totot Indrarto, yang juga menulis untuk Kompas, menulis bahwa Adjeng adalah karakter "monyet" di film ini, karena dipandang rendah oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, orang-orang di sekitar Adjeng sebenarnya tidak mengenalnya dengan baik, sehingga menurut Indrarto, orang-orang di sekitar Adjeng lah yang sebenarnya "monyet".[1]

Sebuah ulasan di Tempo menggambarkan film ini sebagai "anti-Sjuman", karena terdapat perbedaan gaya antara Sjumandjaja dan anaknya, Djenar. Film-film karya Sjumandjaja cenderung berada di bawah realisme sosial, sementara film karya Djenar ini lebih bersifat personal dan simbolis[4] dengan sentuhan surealisme.[21] Film ini tidak menampilkan pencabulan Adjeng, tetapi hanya menyimbolkannya dengan menampilkan lintah yang sedang makan. Pada saat Adjeng diperkosa di bak mandi dan akhirnya kehilangan keperawanannya, film ini juga hanya menyimbolkannya dengan menampilkan air berwarna merah darah dan banyak lintah yang sedang makan.[4]

Perilisan dan penerimaan sunting

Mereka Bilang, Saya Monyet! dirilis secara luas pada tanggal 3 Januari 2008.[24] Secara komersial, film ini kurang sukses di Indonesia.[25] Film ini lalu ditayangkan di sejumlah festival film internasional, seperti Festival Film Internasional Singapura (SIFF) 2008,[26] Festival Film Black Nights Tallinn 2008 di Estonia,[27] dan Asian Hot Shot Film Festival 2009 di Berlin.[28] Film ini kemudian dirilis dalam bentuk DVD di Indonesia pada tanggal 9 Mei 2008 oleh Jive! Collection, setelah lulus sensor pada bulan Maret 2008. DVD tersebut dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris, edisi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dari cerita pendek yang menjadi sumber film ini, serta sebuah dokumenter mengenai pembuatan film ini.[29][30]

Film ini umumnya mendapat ulasan positif. Seno Joko Suyono, dalam ulasannya untuk Tempo, menyatakan bahwa alur krisis keluarga yang klise menjadi lebih menarik dengan pengenalan seks. Ia juga menyebut bahwa klimaks film ini "manis yang justru mengganggu".[31] Pada tahun 2008, Tempo memilih Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai film lokal terbaik tahun 2008, dengan menulis bahwa Djenar sebagai sutradara film ini seperti "ikan yang telah lama menggelepar di tanah kering dan akhirnya kembali ke laut."[4] Iskandar Liem, yang menulis untuk The Jakarta Post, juga menyebut film ini sebagai salah satu dari sepuluh film teratas pada tahun 2008, bersama film-film internasional seperti The Dark Knight karya Christopher Nolan dan film Indonesia lainnya, Laskar Pelangi karya Riri Riza. Ia menggambarkan film ini sebagai "tidak tergoyahkan dalam kejujurannya yang brutal dan luwes dalam alegori visualnya", serta menyambut Djenar sebagai "suara baru yang memberontak" di industri film Indonesia.[32]

Ening Nurjanah, seorang penyelenggara festival film bertema perempuan V, menggambarkan Djenar sebagai "contoh sutradara yang dapat menampilkan perempuan kuat dalam filmnya", dengan film ini menjadi "terobosan baru" dalam menampilkan seksualitas perempuan.[33] Aktor Vietnam-Amerika Dustin Nguyen, yang menilai film ini di SIFF, menganggap film ini tidak terduga dan "tidak Indonesia", "dibuat dengan baik, diperankan dengan baik, tetapi [dengan] lebih banyak kepekaan Barat".[26] Lisabonar Rahman, yang menulis untuk Rolling Stone Indonesia, memuji peran Rajo Bintang dan penggambaran latar belakang Adjeng di film ini, di mana ia menulis "tuturan [latar belakang] yang sangat kuat terus membuat kita tergugu". Namun, ia menemukan bahwa kualitas suara di film ini kurang memadai.[20]

Dalam ulasannya untuk Kompas, Adi menulis bahwa Djenar telah membuat sebuah film yang dikembangkan dan diperankan dengan baik, sebuah "debut yang bagus untuk sutradara masa depan kita [Indonesia]". Walaupun begitu, ia menganggap bahwa sinematografi film ini tidak mampu mengekspresikan dengan penuh siksaan psikologis yang dialami oleh Adjeng.[21] Indrarto menggambarkan Mereka Bilang, Saya Monyet! sebagai sebuah film yang menarik walaupun terdapat sejumlah kekurangan teknis dan mengandung pesan yang kuat bahwa penonton seharusnya tidak menilai atau mengganggu orang lain jika penonton tidak mengetahui latar belakang yang sebenarnya dari orang lain tersebut.[1]

Penghargaan dan nominasi sunting

Mereka Bilang, Saya Monyet! dinominasikan untuk dua Golden Screen Award di Indonesian Movie Awards 2008. Film ini juga meraih enam nominasi di Festival Film Indonesia 2009 dan memenangkan tiga pemghargaan.[34] Identitas (2009) karya Aria Kusumadewa mengalahkan Mereka Bilang, Saya Monyet! dalam kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, sementara Pintu Terlarang (2009) karya Joko Anwar mengalahkan film ini dalam kategori Penyunting Gambar Terbaik.[35]

Tahun Penghargaan Kategori Penerima Hasil
2008 Indonesian Movie Awards Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Henidar Amroe Menang
Pendatang Baru Wanita Terbaik Titi Rajo Bintang Menang
2009 Festival Film Indonesia Film Terbaik Djenar Maesa Ayu & Riyadh Assegaf Nominasi
Sutradara Terbaik Djenar Maesa Ayu Nominasi
Sutradara Pendatang Baru Terbaik Terpilih
Pemeran Utama Wanita Terbaik Titi Sjuman Menang
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Henidar Amroe Menang
Penulis Skenario Adaptasi Terbaik Djenar Maesa Ayu dan Indra Herlambang Menang
Penyunting Gambar Terbaik Arifin Cu'unk & Wawan I. Wibowo Nominasi

Catatan sunting

  1. ^ Asli: "Ane juge tau kapsitas ane, biasenye ntu... kalo menulis kagak perneh bise pake plot."

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

Daftar pustaka sunting

  • Adi, Wicaksono (13 Januari 2008). "Monyet Itu Baik-Baik Saja". Kompas. hlm. 1, 15. 
  • Ayu, Djenar Maesa (sutradara dan produser) (2008). Di Balik Layar Mereka Bilang, Saya Monyet! (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Jive! Collection. OCLC 298868155. 
  • Ayu, Djenar Maesa (sutradara dan produser) (2008). Mereka Bilang, Saya Monyet! (DVD liner notes). Jakarta: Jive! Collection. OCLC 298868155. 
  • "Di Layar Lebar, Djenar Berenang". Tempo (dalam bahasa Indonesia). 29 Desember 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Maret 2012. Diakses tanggal 5 November 2011. 
  • Edmond, Bruce (18 Agustus 2011). "Religion is my anchor, it keeps me on the right track". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 November 2011. Diakses tanggal 5 November 2011. 
  • Edmond, Bruce (29 Januari 2009). "Taking Things in Stride". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Januari 2012. Diakses tanggal 5 November 2011. 
  • M. P., Erfanintya (17 Desember 2009). "Festival Film Indonesia 2009 : Identitas Juaranya!!!" (dalam bahasa Indonesia). 21 Cineplex. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Januari 2010. Diakses tanggal 25 September 2012. 
  • García, Michael Nieto (1 Oktober 2004). "More than Just Sex". Inside Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 November 2011. Diakses tanggal 5 November 2011. 
  • "Idealis dan Komersial". Kompas. 18 Desember 2008. Diakses tanggal 14 Agustus 2012.  (perlu berlangganan)
  • Indrarto, Totot (6 Januari 2008). "Demokratisasi Selera Monyet Djenar". Kompas. hlm. 28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2011. Diakses tanggal 15 Agustus 2012. 
  • Kurniasari, Triwik (18 April 2010). "Titi Sjuman juggling two worlds and succeeding in both". The Jakarta Post. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 November 2010. Diakses tanggal 24 Desember 2011. 
  • Liem, Iskandar (28 Desember 2008). "Top ten theatrical releases of 2008". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Maret 2016. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • "Mereka Bilang, Saya Monyet!" (dalam bahasa Indonesia). Disc Tarra. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Juni 2012. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • "Mereka Bilang, Saya Monyet!". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2014. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • Meninaputri W. (1 Februari 2009). "Stripping film industry to its bare essentials". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Oktober 2012. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • "No monkey business". The Jakarta Post. 16 Oktober 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Februari 2011. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • "Penghargaan Mereka Bilang, Saya Monyet!". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 November 2016. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • Rahman, Lisabona (13 Mei 2007). "Selamat Datang, Djenar". Rolling Stone Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 April 2014. Diakses tanggal 17 Agustus 2012. 
  • Siregar, Lisa (9 Agustus 2011). "Indonesia on the Silver Screen". The Jakarta Globe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Agustus 2012. Diakses tanggal 14 Agustus 2011. 
  • Suyono, Seno Joko (21 Januari 2008). "Pergulatan Ajeng, Pergulatan Djenar". Tempo (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Maret 2012. Diakses tanggal 5 November 2011. 
  • "They Say I'm a Monkey". Tallinn Black Nights Film Festival. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Desember 2008. Diakses tanggal 14 Agustus 2012. 
  • Whitfield, Deanne (19 April 2008). "SIFF judge Dustin Nguyen rates local indie films". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 November 2010. Diakses tanggal 14 Agustus 2011. 

Pranala luar sunting