Maria Theresia Walburga Amalia Christina (13 Mei 1717 – 29 November 1780) adalah satu-satunya penguasa wanita yang pernah ada dalam sejarah Habsburg. Ia juga merupakan penguasa terakhir Wangsa Habsburg, karena secara teknis Wangsa Habsburg digantikan oleh Wangsa Habsburg-Lorraine setelah ia meninggal. Selain itu, ia merupakan penguasa Austria, Hungaria, Kroasia, Böhmen, Transilvania, Mantova, Milan, Galisia dan Lodomeria, Belanda Austria, dan Parma. Berkat pernikahannya, ia juga menjadi Adipati Wanita Lorraine, Haryapatih Wanita Toscana, dan Maharani Romawi Suci.

Maria Theresia
Lukisan karya Martin van Meytens, 1759
Maharani Romawi Suci
Ratu Teutonikum
Berkuasa13 September 1745 – 18 Agustus 1765
Penobatan13 September 1745
Adipati Wanita Utama Austria
Ratu Hungaria dan Kroasia
Berkuasa20 Oktober 1740 – 29 November 1780
Penobatan25 Juni 1741
PendahuluKarl III
PenerusJoseph II
Ratu Böhmen
Berkuasa20 Oktober 1740 – 19 Desember 1741
PendahuluKarl II
PenerusKarl Albrecht
Berkuasa12 Mei 1743 – 29 November 1780
Penobatan12 Mei 1743
PendahuluKarl Albrecht
PenerusJoseph II
Kelahiran(1717-05-13)13 Mei 1717
Wina, Austria
Kematian29 November 1780(1780-11-29) (umur 63)
Wina, Austria
Pemakaman
PasanganFranz I, Kaisar Romawi Suci (12 Februari 1736 hingga kematian sang suami, 18 Agustus 1765)
Keturunan
Nama lengkap
Maria Theresia Walburga Amalia Christina
WangsaHabsburg
AyahKarl VI, Kaisar Romawi Suci
IbuElisabeth Christine dari Braunschweig-Wolfenbüttel
AgamaKatolik Roma
Tanda tanganTanda tangan Maria Theresia

Masa kekuasaannya selama 40 tahun dimulai setelah ayahnya, Kaisar Karl VI, tutup usia pada Oktober 1740. Karl VI telah membuka jalan bagi Maria Theresia untuk menjadi penerus dengan memberlakukan Sanctio Pragmatica 1713, dan sang mendiang kaisar juga telah mencurahkan segala jerih payah agar titah tersebut tetap ditegakkan. Namun, ia mengabaikan saran dari Pangeran Eugène de Savoie, bahwa pasukan yang kuat dan anggaran yang berlimpah itu lebih penting daripada sekadar tanda tangan dari negara lain. Pada akhirnya, Karl VI meninggalkan sebuah negara yang melarat dengan pasukan yang lemah, terutama akibat Perang Pewaris Polandia dan Perang Rusia-Turki (1735–1739). Setelah Karl VI mangkat, Sachsen, Prusia, Bayern, dan Prancis menolak Sanctio Pragmatica walaupun mereka sudah pernah mengakuinya pada masa pemerintahan Karl VI. Friedrich II dari Prusia (yang kemudian menjadi musuh bebuyutan Maria Theresia) langsung melancarkan serangan dan merebut provinsi Habsburg yang kaya di Schlesien dalam konflik yang berkecamuk selama tujuh tahun yang dikenal dengan sebutan Perang Pewaris Austria. Untuk menghadapi ancaman dari negara-negara ini, Maria Theresia berhasil mendapatkan dukungan yang amat penting dari Hungaria. Kemudian, selama berlangsungnya perang ini, Maria Theresia mampu mempertahankan sebagian besar wilayahnya, walaupun ia harus merelakan Schlesien dan beberapa wilayah kecil di Italia. Maria Theresia kemudian mencoba merebut kembali Schlesien selama Perang Tujuh Tahun, tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil.

Maria Theresia dan suaminya, Franz Stephan, dikaruniai sebelas anak perempuan (termasuk Marie Antoinette yang kelak akan menjadi Ratu Prancis, Maria Karolina yang kemudian menjadi Ratu Napoli dan Sisilia, dan Maria Amalia yang akan menjadi Adipati Wanita Parma), serta lima anak laki-laki, termasuk dua orang yang kelak akan menjadi Kaisar Romawi Suci, Joseph II dan Leopold II. Dari keenam belas anak yang ada, hanya sepuluh yang mampu bertahan hidup hingga mencapai usia dewasa. Meskipun Maria Theresia diperkirakan akan menyerahkan kekuasaan kepada Franz dan Joseph (keduanya secara resmi berperan sebagai orang-orang yang berkuasa bersama dengannya di Austria dan Böhmen), Maria Theresia adalah seorang penguasa mutlak yang menjalankan pemerintahan berdasarkan masukan dari penasihat-penasihatnya. Ia mengkritik dan menentang banyak tindakan yang diambil oleh Joseph.

Maria Theresia melancarkan reformasi pemerintahan, keuangan, dan pendidikan dengan dukungan dari Wenzel Anton von Kaunitz-Rietberg, Graf Friedrich Wilhelm von Haugwitz, dan Gerard van Swieten. Ia juga menggalakkan perdagangan dan mengembangkan pertanian, dan merombak militer Austria, sehingga ia berhasil memperkuat kedudukan Austria di mata dunia. Namun, ia sangat tidak menyukai orang Yahudi dan Protestan sampai-sampai ia pernah memerintahkan agar mereka diusir ke daerah terpencil di wilayah Habsburg. Ia juga menganjurkan agama Katolik sebagai agama negara dan menolak pluralisme agama, alhasil rezimnya dicap tidak toleran.

Kelahiran dan masa kecil

 
Maria Theresia yang masih berumur tiga tahun di kebun Istana Hofburg

Adipati Wanita Utama Maria Theresia dilahirkan pada tanggal 3 Mei 1717 di kota Wina. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Kaisar Romawi Suci Karl VI dan Elisabeth Christine dari Braunschweig-Wolfenbüttel, sekalius anak tertua yang masih hidup karena kakaknya, Adipati Utama Leopold, tutup usia setahun sebelum Maria Theresia dilahirkan.[1] Ia langsung dibaptis pada sore hari ketika ia dilahirkan, dan yang menjadi ibu baptisnya adalah dua ibu suri yang telah menjanda, yakni bibinya Wilhelmine Amalie dari Braunschweig-Lüneburg dan neneknya Eleonor Magdalene dari Pfalz-Neuburg.[2] Sebagian besar catatan sejarah mengenai pembaptisannya menegaskan bahwa sang bayi dibawa di depan sepupu-sepupunya, Maria Josepha dan Maria Amalia (anak perempuan kakak Karl VI sekaligus pendahulunya, Joseph I), dan hal ini disaksikan secara langsung oleh ibu mereka berdua, Wilhelmine Amalie. Dari sini dapat terlihat jelas bahwa Maria Theresia suatu saat akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka,[3] padahal sebelumnya orang tua mereka sudah pernah menandatangani Pactum Mutuae Successionis atas desakan dari kakek mereka, Leopold I, dan perjanjian ini mendahulukan putri-putri saudara yang lebih tua.[4] Ayah Maria Theresia merupakan satu-satunya anggota laki-laki Wangsa Habsburg yang masih tersisa, dan ia sebelumnya mengharapkan kelahiran anak laki-laki agar wangsanya tidak punah. Oleh sebab itu, kelahiran Maria Theresia sangat mengecewakan dirinya dan juga rakyat Wina; Karl sendiri tidak pernah bisa melupakan perasaan ini.[4]

Setelah dilahirkan, Maria Theresia langsung menggantikan Maria Josepha sebagai calon penerus Habsburg; Karl VI sebelumnya telah mengeluarkan Sanctio Pragmatica 1713 yang menempatkan putrinya di urutan pertama calon penerus dan mengesampingkan kemenakan-kemenakannya.[5] Karl meminta persetujuan dari negara-negara Eropa lain, tetapi mereka memberikan syarat-syarat yang berat: dalam Perjanjian Wina (1731), Britania Raya menuntut agar Austria membubarkan Perusahaan Ostend.[6] Secara keseluruhan, Sanctio Pragmatica mendapatkan pengakuan dari Britania Raya, Prancis, Sachsen, Republik Belanda, Spanyol, Prusia, Rusia, Denmark, Sardinia, Bayern, dan Dewan Kekaisaran Romawi Suci.[7]

 
Adipati Wanita Utama Maria Theresia, lukisan karya Andreas Möller.

Dalam waktu kurang dari setahun setelah kelahiran Maria Theresia, Kaisar Karl dikaruniai satu anak perempuan yang lain, yaitu Maria Anna, dan kemudian pada tahun 1724 lahir lagi seorang anak perempuan yang bernama Maria Amalia.[8] Gambar-gambar keluarga kekaisaran menunjukkan bahwa Maria Theresia menyerupai Elisabeth Christine dan Maria Anna.[9] Duta besar Prusia menyatakan bahwa ia memiliki mata biru yang besar, rambut yang indah dengan sedikit warna merah, mulut yang lebar, dan tubuh yang cukup kuat.[10] Tidak seperti anggota Wangsa Habsburg lainnya, orang tua Maria Theresia tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, dan begitu pula kakek-neneknya.[note 1]

Maria Theresia adalah anak yang serius dan pendiam, dan ia suka bernyanyi dan memanah. Ia dilarang naik kuda oleh ayahnya, tetapi kelak ia akan belajar cara menunggangi kuda untuk keperluan upacara penobatan penguasa monarki Hungaria. Keluarga kekaisaran mengadakan opera yang sering kali dipimpin oleh Karl VI, dan Maria Theresia menyukai kegiatan ini. Ia dididik oleh anggota Yesuit. Orang-orang yang hidup pada zamannya merasa bahwa bahasa Latinnya cukup fasih, tetapi orang-orang Yesuit tidak mendidiknya dengan baik untuk hal-hal yang lain.[11] Ejaan dan penggunaan tanda bacanya tidak lazim, dan ia tidak menguasai tata laku dan cara bicara resmi seperti pendahulu-pendahulunya.[note 2] Maria Theresia bersahabat dengan Gräfin Marie Karoline von Fuchs-Mollard, yang mengajarkan etiket kepadanya. Maria Theresia mahir dalam menggambar, melukis, bermusik, dan menari; bidang-bidang ini diajarkan untuk mempersiapkan dirinya agar dapat menjadi permaisuri suatu saat nanti.[12] Ia diizinkan ikut dalam pertemuan dewan negara sejak ia masih berumur 14 tahun, tetapi ayahnya tidak pernah membahas urusan negara dengannya.[13] Walaupun Kaisar Karl VI menghabiskan banyak waktu untuk memastikan agar Maria Theresia dapat menjadi pewarisnya, ia tidak pernah mempersiapkan putrinya sebagai penguasa kekaisaran.[14]

Pernikahan

Calon pasangan Maria Theresia sudah dibahas semenjak ia masih kecil. Ia pertama-tama dijodohkan dengan Léopold Clément dari Lorraine yang rencananya akan mengunjungi kota Wina dan menemui Maria pada tahun 1723. Rencana ini pupus karena Léopold Clément meninggal akibat cacar variola.[15] Adik Léopold Clément yang bernama Franz Stephan kemudian diundang ke kota Wina. Walaupun ia adalah calon suami yang paling disukai,[16] Kaisar Karl VI masih mempertimbangkan calon-calon lain. Akibat perbedaan agama, ia tidak dapat menikahkan putrinya dengan pangeran Friedrich dari Prusia yang beragama Protestan.[17] Pada tahun 1725, ia membuat perjanjian dengan Ratu Spanyol Isabel de Farnesio untuk menjodohkan Maria Theresia dengan Carlos dari Spanyol dan Maria Anna dengan Felipe dari Spanyol. Namun, negara-negara Eropa lainnya memaksa sang kaisar untuk membatalkan rencana perjodohan tersebut. Maria Theresia (yang sudah dekat dengan Franz Stephan) pun merasa lega.[18][19]

 
Maria Theresia dan Franz Stephan saat sedang menghadiri perjamuan makan pernikahan mereka. Lukisan karya Martin van Meytens. Karl VI (yang mengenakan topi bulu merah) duduk di tengah kursi

Franz Stephan tetap berada di istana kekaisaran hingga tahun 1729 ketika ia menjadi penguasa Lorraine.[17] Namun, Maria Theresia baru dijanjikan sebagai istri secara resmi pada tanggal 31 Januari 1736 selama Perang Pewaris Polandia.[20] Louis XV dari Prancis menuntut agar tunangan Maria Theresia menyerahkan wilayah nenek moyangnya di Kadipaten Lorraine untuk memuaskan ayah mertuanya, Stanisław I, yang baru saja dilengserkan dari jabatannya sebagai Raja Polandia.[note 3] Sebagai gantinya, Franz Stephan ingin memperoleh Keharyapatihan Toscana setelah kematian Haryapatih Gian Gastone de' Medici yang tidak memiliki keturunan.[21] Franz Stephan dan Maria Theresia pun menikah pada tanggal 12 Februari 1736.[22]

Maria Theresia sangat mencintai suaminya sampai-sampai ia berlaku posesif.[23] Surat-surat yang dikirim oleh Maria Theresia kepada Franz Stephan tidak lama setelah mereka menikah menunjukkan bagaimana Maria sangat berhasrat menemui suaminya; di sisi lain, surat-surat yang dikirim oleh Franz Stephan bernada resmi.[24][25] Maria Theresia sangat pencemburu dan ketidaksetiaan sang suami merupakan masalah terbesar dalam bahtera rumah tangga mereka.[26] Maria Wilhelmina, Putri Auersperg, adalah wanita yang dikenal sebagai gundik Franz Stephan.[27]

Setelah kematian Gian Gastone pada tanggal 9 Juli 1737, Franz Stephan melepaskan wilayah Lorraine dan menjadi Haryapatih Toscana. Pada tahun 1738, Karl VI mengirim pasangan muda tersebut untuk memasuki wilayah Toscana secara resmi. Gerbang kemenangan didirikan di Porta Galla untuk merayakan peristiwa ini, dan bangunan tersebut masih berdiri hingga kini. Mereka hanya singgah sebentar di ibu kota keharyapatihan di Firenze. Karl VI kemudian memanggil mereka kembali ke Wina, karena ia merasa khawatir bahwa ia akan menjemput ajalnya saat calon penerusnya sedang berada di Toscana.[28] Pada musim panas tahun 1738, Austria mengalami kekalahan dalam Perang Rusia-Turki. Pasukan Kesultanan Utsmaniyah berhasil merebut kembali wilayah yang sempat dikuasai Austria di Serbia, Wallachia, dan Bosnia. Rakyat Wina pun mengamuk akibat kerugian yang ditimbulkan oleh perang ini. Franz Stephan dibenci oleh rakyat karena ia dianggap sebagai mata-mata pengecut dari Prancis.[29] Perang ini berakhir pada tahun berikutnya setelah ditandatanganinya Perjanjian Beograd.[30]

Naik takhta

 
Maria Theresia sedang diarak di Graben, 22 November 1740. Sang ratu yang sedang hamil pada saat itu tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri misa di Katedral Santo Stefanus sebelum ia menerima penghormatan.[31]

Karl VI tutup usia pada tanggal 20 Oktober 1740, kemungkinan akibat keracunan jamur. Ia telah mengabaikan nasihat dari negarawan terkemuka di Austria pada masa itu, Pangeran Eugène de Savoie bahwa pasukan yang kuat dan kas negara yang penuh itu lebih penting daripada sekadar tanda tangan dari raja-raja lainnya.[5][32] Sang kaisar terus berusaha agar Maria Theresia dapat mewarisi jabatannya dengan mulus, tetapi ia mewariskan sebuah monarki yang melarat, khususnya akibat perang melawan Turki dan Perang Pewaris Polandia.[33] Kas Habsburg pada saat itu hanya berjumlah 100.000 gulden yang diklaim oleh istri mendiang kaisar yang menjanda.[34] Angkatan darat Austria juga menjadi lemah akibat peperangan tersebut; jumlah pasukannya berkurang drastis dari jumlah lengkapnya sebesar 160.000 prajurit menjadi sekitar 108.000 prajurit saja, dan mereka tersebar di daerah-daerah kecil dari Belanda Austria hingga Transilvania, dan dari Schlesien hingga Toscana. Mereka juga tidak dilatih dengan baik dan tingkat kedisiplinan mereka pun buruk. Belakangan Maria Theresia bahkan sampai berujar, "Sehubungan dengan keadaan angkatan darat, aku sampai kehabisan kata-kata."[35]

Maria Theresia menghadapi kemelut pada permulaan masa kekuasaannya. Ia tidak banyak tahu soal urusan-urusan negara dan ia juga masih belum memahami kelemahan menteri-menteri di pemerintahan ayahnya. Ia memutuskan untuk mengikuti nasihat mendiang ayahnya dengan tetap mempekerjakan para penasihat ayahnya, dan untuk urusan-urusan lain ia menyerahkan tugas tersebut kepada suaminya yang ia anggap lebih berpengalaman. Keputusan ini kelak membuat Maria Theresia menyesal. Sepuluh tahun kemudian, Maria Theresia menulis: "Aku mendapati diriku tanpa uang, tanpa pinjaman, tanpa pasukan, tanpa pengalaman dan pengetahuan, dan juga tanpa nasihat apapun karena mereka ingin menunggu dan melihat terlebih dahulu apa yang akan terjadi."[14]

Ia mengabaikan kemungkinan bahwa negara-negara lain mungkin akan mencoba merebut daerah kekuasaan Habsburg, dan ia langsung berupaya menancapkan kekuasaannya di Kekaisaran Romawi Suci.[14] Seorang wanita tidak diperbolehkan menjadi Kaisar Romawi Suci, sehingga ia mencoba memastikan agar suaminya dapat terpilih sebagai kaisar. Namun, Franz Stephan tidak memiliki cukup wilayah maupun jabatan di Kekaisaran Romawi Suci. Jabatan Franz Stephan ketika itu hanyalah Haryapatih Toscana, sedangkan Toscana sendiri tak lagi berada di bawah naungan Kekaisaran Romawi Suci semenjak Perdamaian Westfalen. Wilayah miliknya yang masuk ke dalam wilayah kekaisaran hanyalah Kadipaten Teschen dan Grafschaft Falkenstein.[36] Agar Franz Stephan layak mewarisi takhta kekaisaran dan dapat mengundi dalam pemilihan di kekaisaran sebagai Elektor Böhmen (Maria Theresia tidak dapat melakukannya karena ia bukanlah seorang laki-laki), Maria Theresia mengangkat Franz Stephan sebagai penguasa pendamping di wilayah-wilayah Austria dan Böhmen pada tanggal 21 November 1740.[37] Butuh waktu lebih dari setahun agar Dewan Hungaria bersedia menerima Franz Stephan sebagai penguasa pendamping, karena mereka menegaskan bahwa kedaulatan Hungaria tidak bisa dibagi.[38] Walaupun Maria Theresia mencintai suaminya dan menganugerahkan jabatan penting kepadanya, ia tidak pernah mengizinkan suaminya untuk mengambil keputusan dengan semena-mena dan bahkan ia sering mengusirnya dari pertemuan dewan saat mereka sedang berselisih pandang.[39] Wewenang Maria Theresia sendiri pertama kali ditunjukkan melalui penghormatan yang diberikan oleh para perwakilan dari Austria Hilir pada tanggal 22 November 1740. Acara ini sangat meriah dan dimaksudkan sebagai pengakuan resmi sekaligus pengesahan kekuasaannya. Sumpah setia kepada Maria Theresia juga disampaikan pada hari yang sama di ruang Ritterstube di Hofburg.[31]

Perang Pewaris Austria

 
Maria Theresia dimahkotai sebagai Ratu Hungaria di Katedral Santo Martinus, Pressburg
 
Lukisan Maria Theresia sebagai Ratu Hungaria

Tidak lama setelah naik takhta, beberapa penguasa Eropa yang tadinya sudah mengakui Maria Theresia tiba-tiba melanggar janji mereka. Elektor Karl Albrecht dari Bayern (yang menikah dengan sepupu Maria Theresia, Maria Amalia, dan didukung oleh Maharani Wilhelmine Amalie) dan Ratu Isabel dari Spanyol menginginkan sebagian wilayah yang diwarisi Maria Theresia.[34] Walaupun begitu, Maria Theresia mendapatkan pengakuan dari Carlo Emanuele III dari Sardinia pada November 1740, padahal ia pernah menolak mengakui Sanctio Pragmatica pada masa kekuasaan ayahanda Maria Theresia.[40]

Pada bulan Desember, Friedrich II dari Prusia menyerbu Kadipaten Schlesien dan menuntut agar Maria Theresia menyerahkan wilayah tersebut. Maria Theresia memutuskan untuk mempertahankan wilayah yang kaya mineral ini.[41] Friedrich sendiri menawarkan jalan tengah: ia bersedia membela hak Maria Theresia asalkan ia mau menyerahkan sebagian wilayah Schlesien. Franz Stephan mau mempertimbangkan tawaran tersebut, tetapi Maria Theresia dan penasihat-penasihatnya menolak mentah-mentah, karena mereka merasa khawatir bahwa pelanggaran Sanctio Pragmatica akan membatalkan seluruh isi dokumen tersebut.[42] Berkat ketegasan Maria Theresia, Franz Stephan pun menjadi yakin bahwa mereka harus berjuang mempertahankan Schlesien,[note 4] dan Maria Theresia sendiri percaya bahwa ia akan mampu mempertahankan "zamrud Wangsa Austria".[43] Maka meletuslah Perang Schlesien Pertama. Serangan Friedrich memulai permusuhan antara dirinya dengan Maria Theresia, dan Maria Theresia bahkan menyebutnya "orang jahat itu".[44]

Austria sendiri kekurangan panglima perang, sehingga Maria Theresia membebaskan Marsekal Neipperg yang sebelumnya dijebloskan ke penjara oleh ayahnya akibat ketidakcakapannya selama perang melawan Utsmaniyah.[45] Neipperg mulai memimpin pasukan Austria pada bulan Maret. Namun, Austria mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Mollwitz pada April 1741.[46] Prancis lalu mulai merencanakan pembagian wilayah Austria bersama dengan Prusia, Bayern, Sachsen, dan Spanyol: Böhmen dan Austria Hulu akan diberikan kepada Bayern, dan sang Elektor akan menjadi Kaisar, sedangkan Mähren dan Schlesien Hulu akan diberikan kepada Elektorat Sachsen, Schlesien Hilir dan Glatz kepada Prusia, dan seluruh wilayah Habsburg di Lombardia kepada Spanyol.[47] Pasukan Prancis yang dipimpin oleh Marsekal Belle-Isle bertemu dengan pasukan Friedrich di Olmütz. Pemerintah Austria pun geger, karena tidak ada satu pun dari para penasihat Maria Theresia yang menduga bahwa Prancis akan mengkhianati mereka. Franz Stephan mendesak Maria Theresia agar ia mengembalikan hubungan baik dengan Prusia, dan Britania Raya juga memberikan pernyataan serupa.[48] Walaupun sebenarnya enggan, Maria Theresia bersedia berunding.[49]

Sementara itu, di luar perkiraan orang-orang, Maria Theresia berhasil mendapatkan dukungan dari Hungaria.[50] Ia dimahkotai sebagai Ratu Hungaria di Katedral Santo Martinus, Pressburg, pada tanggal 25 Juni 1741. Ia sebelumnya telah menghabiskan waktu selama berbulan-bulan untuk berunding dengan Dewan Hungaria dan juga untuk mengasah kemampuannya dalam berkuda, karena hal ini merupakan syarat untuk melakukan upacara penobatan. Untuk memuaskan orang-orang yang tidak menyukai pemimpin wanita, Maria Theresia menggunakan gelar-gelar yang bersifat maskulin. Maka dari itu, dalam tata nama resmi, Maria Theresia bergelar sebagai adipati utama dan raja; namun, dalam interaksi sehari-hari, ia dipanggil ratu.[51]

Pada bulan Juli, upaya untuk menyelesaikan sengketa dengan damai telah gagal. Elektor Sachsen yang tadinya merupakan sekutu Maria Theresia tiba-tiba berbalik melawannya,[52] sementara Georg II dari Elektorat Braunschweig-Lüneburg menyatakan netral.[53] Maka dari itu, ia membutuhkan pasukan dari Hungaria. Walaupun ia sudah membuat kagum rakyat Hungaria, jumlah sukarelawan yang mau mengorbankan nyawa untuknya hanya ratusan. Ia butuh ribuan atau bahkan puluhan ribu pasukan, sehingga ia memutuskan untuk mendatangi Dewan Hungaria pada tanggal 11 September 1741 sembari mengenakan Mahkota Santo István. Ia mulai berbicara di hadapan dewan dengan menggunakan bahasa Latin, dan ia menegaskan: "Keberlangsungan Kerajaan Hungaria, diri kita dan anak-anak kita, dan takhta kita, sedang terancam. Setelah kami ditinggalkan oleh yang lain, kami sangat bergantung pada kesetiaan dan keberanian bangsa Hungaria."[54] Pada awalnya sang ratu dipertanyakan oleh anggota dewan dan bahkan dicela; ada satu anggota dewan yang berteriak bahwa Maria Theresia "sebaiknya meminta bantuan dari setan daripada orang Hungaria."[55] Namun, ia berhasil menunjukkan bakatnya dalam menggelegarkan kerumunan dengan memegang putranya, Joseph, sembari menangis.[55] Tindakan ini berhasil menarik simpati dari para anggota dewan, dan mereka bahkan mengumandangkan bahwa mereka siap mati demi Maria Theresia.[55][56]

Pada tahun 1741, pemerintah Austria memberitahukan kepada Maria Theresia bahwa rakyat Böhmen lebih menginginkan Karl Albrecht sebagai penguasa. Maria Theresia yang saat itu sedang disulitkan oleh kehamilannya menulis surat kepada adik perempuannya dengan penuh kesedihan: "Aku tidak tahu apakah suatu kota akan tetap setia padaku saat aku sedang melahirkan."[57] Ia lalu bersumpah bahwa ia akan mengerahkan segalanya untuk mempertahankan kerajaannya dalam surat yang ia tulis kepada kanselir Böhmen, Graf Philipp Kinsky: "Tekadku sudah bulat. Kita harus mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan Böhmen."[58][note 5] Pada tanggal 26 Oktober, Karl Albrecht menyatakan dirinya sebagai Raja Böhmen dan merebut ibu kotanya di Praha. Maria Theresia yang saat itu sedang berada di Hungaria menangis setelah mendengar kabar mengenai jatuhnya Böhmen.[59] Karl Albrecht terpilih sebagai Kaisar Romawi Suci dengan suara bulat pada tanggal 24 Januari 1742, padahal jabatan tersebut selalu dududuki oleh anggota Wangsa Habsburg semenjak tahun 1440.[60] Maria Theresia menganggap pemilihan ini sebagai sebuah malapetaka,[61] tetapi ia berhasil bangkit dan mengejutkan musuh-musuhnya dengan memaksa pasukannya mengobarkan perang pada musim dingin;[62] pada hari yang sama dengan pemilihan Karl Albrecht sebagai kaisar, pasukan Austria di bawah kepemimpinan Ludwig Andreas von Khevenhüller berhasil merebut ibu kota Bayern di München.[63]

Seperti yang Anda ketahui, ia sangat membenci Prancis, dan ia paling sulit menjaga hubungan baik dengan negara tersebut, tetapi ia dapat mengendalikan amarah ini kecuali saat ia merasa bahwa penunjukan amarah tersebut akan menguntungkan dirinya. Ia membenci Yang Mulia, tetapi ia mengakui kecakapan Anda. Ia tidak dapat melupakan lepasnya Schlesien, dan begitu pula kesedihannya akan pasukan yang gugur dalam perang melawan Anda.

Surat Duta Besar Prusia kepada Friedrich II dari Prusia[note 6]

Perjanjian Breslau yang ditandatangani pada Juni 1742 mengakhiri perang antara Austria dan Prusia, dan berdasarkan ketentuan perjanjian tersebut, Austria harus menyerahkan sebagian besar wilayah Schlesien. Sesudah itu, Maria Theresia berjuang merebut kembali wilayah Böhmen.[64] Pasukan Prancis melarikan diri dari Böhmen pada musim dingin pada tahun yang sama. Pada tanggal 12 Mei 1743, Maria Theresia dimahkotai sebagai Ratu Böhmen di Katedral Santo Vitus.[65]

Prusia ditakutkan oleh pergerakan pasukan Austria di wilayah perbatasan Rhein, alhasil Friedrich kembali menyerbu Böhmen dan memulai Perang Schlesien Kedua. Pasukan Prusia lalu menjarah kota Praha pada Agustus 1744. Rencana Prancis sendiri gagal setelah Karl Albrecht meninggal dunia pada Januari 1745. Pasukan Prancis lalu menduduki wilayah Belanda Austria pada bulan Mei.[66]

Franz Stephan terpilih sebagai Kaisar Romawi Suci pada tanggal 13 September 1745. Prusia menerima Franz sebagai kaisar, dan Maria Theresia sekali lagi harus mengakui lepasnya wilayah Schlesien sesuai dengan ketentuan Perjanjian Dresden yang disepakati pada Desember 1745 dan mengakhiri Perang Schlesien Kedua.[67] Sesudah itu, Perang Pewaris Austria sendiri masih berkecamuk selama tiga tahun melawan Prancis dan sekutu-sekutunya yang tersisa, dan pertempuran meletus di wilayah Italia utara dan Belanda Austria. Meskipun begitu, wilayah inti Habsburg di Austria, Hungaria, dan Böhmen tetap berada di bawah kendali Maria Theresia. Perjanjian Aachen akhirnya ditandatangani untuk mengakhiri perang, dan perjanjian tersebut mengakui kekuasaan Prusia di Schlesien. Selain itu, Maria Theresia menyerahkan Kadipaten Parma kepada Felipe dari Spanyol.[68] Walaupun Prancis berhasil menaklukkan Belanda Austria, Raja Louis XV ingin menghindari perang melawan Austria untuk ke depannya, sehingga ia mengembalikan wilayah tersebut kepada Maria Theresia.[69]

Perang Tujuh Tahun

 
Pertempuran Kolín, 1757

Perang Schlesien Ketiga dimulai setelah Friedrich menyerang Sachsen pada Agustus 1756, dan perang ini sendiri memanas menjadi Perang Tujuh Tahun. Maria Theresia dan kanselirnya, Kaunitz, ingin memanfaatkan keadaan untuk merebut kembali Schlesien.[70] Sebelum perang dimulai, Kaunitz sudah dikirim sebagai duta besar ke Versailles pada tahun 1750–1753 untuk mendapatkan dukungan dari Prancis. Sementara itu, Britania masih menolak membantu Maria Theresia merebut kembali Schlesien, dan Friedrich II bahkan berhasil menandatangani Perjanjian Westminster (1756) dengan mereka. Kemudian, Maria Theresia mengutus Georg Adam, Pangeran Starhemberg, untuk merundingkan sebuah perjanjian dengan Prancis, dan hasilnya adalah Perjanjian Versailles Pertama pada tanggal 1 Mei 1756. Maka dari itu, Kaunitz dan Starhemberg berhasil memulai Revolusi Diplomatik: sebelumnya, Prancis adalah salah satu musuh bebuyutan Austria selain Rusia dan Utsmaniyah, tetapi setelah perjanjian tersebut, mereka disatukan oleh cita-cita bersama untuk membendung Friedrich II dan perluasan jajahan Britania.[71] Namun, sejarawan menganggap perjanjian ini sebagai kambing hitam kekalahan Prancis yang membuat mereka kehilangan jajahan-jajahan mereka, karena Louis XV harus mengirim pasukan ke Jerman dan menyediakan subsidi sebesar 25-30 juta pound setiap tahunnya kepada Maria Theresia untuk membiayai perang di Böhmen dan Schlesien.[72]

Pada tanggal 1 Mei 1757, Perjanjian Versailles Kedua ditandatangani, dan Raja Louis XV berjanji bahwa ia akan menyediakan 130.000 pasukan untuk Austria ditambah dengan 12 juta gulden setiap tahunnya. Mereka juga akan melanjutkan perang di benua Eropa hingga Prusia dapat dipaksa meninggalkan wilayah Schlesien dan Glatz. Sebagai gantinya, Austria akan memberikan beberapa kota di Belanda Austria kepada menantu Louis XV, Felipe dari Parma, dan Felipe sendiri akan menyerahkan kadipatennya di Italia kepada Maria Theresia.[72]

Maximilian von Browne memimpin pasukan Austria selama perang ini. Seusai Pertempuran Lobositz yang tidak jelas juntrungannya pada tahun 1756, ia digantikan oleh Pangeran Karl Alexander dari Lorraine, saudara ipar Maria Theresia.[73] Namun, ia dipilih bukan karena bakatnya. Belakangan terbukti bahwa ia bukanlah seorang panglima yang cakap, dan ia kemudian digantikan oleh Leopold Joseph von Daun, Franz Moritz von Lacy, dan Ernst Gideon von Laudon.[74] Friedrich sendiri dikejutkan oleh ketidakberhasilan di Lobositz; ia lalu menghimpun kembali pasukannya dan lalu melancarkan serangan pada Juni 1757. Maka meletuslah Pertempuran Kolín, dan Austria berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang. Friedrich kehilangan sepertiga pasukannya, dan ia sudah meninggalkan medan tempur sebelum pertempuran tersebut berakhir.[75] Kemudian, Prusia mengalami kekalahan di Hochkirch di Sachsen pada tanggal 14 Oktober 1758, di Kunersdorf di Brandenburg pada tanggal 12 Agustus 1759, serta di Landeshut di dekat Glatz pada Juni 1760. Kavaleri ringan Hungaria dan Kroasia yang dipimpin oleh András Hadik menyerbu Berlin pada tahun 1757. Pasukan Austria dan sekutunya Rusia bahkan berhasil menduduki Berlin selama beberapa hari pada Agustus 1760. Namun, keberhasilan-keberhasilan ini tidak serta merta membuat mereka memenangkan perang, karena pasukan Prancis dan Habsburg mengalami kekalahan besar di Rossbach pada tahun 1757.[74] Setelah mengalami kekalahan di Torgau pada tanggal 3 November 1760, Maria Theresia akhirnya sadar bahwa ia tidak dapat lagi merebut Schlesien. Sementara itu, Prancis telah dihajar oleh Britania di Amerika dan India, alhasil mereka harus mengurangi subsidi mereka sebesar 50%. Semenjak tahun 1761, Kaunitz sudah mencoba mengadakan pertemuan diplomatik untuk memanfaatkan kenaikan takhta George III dari Britania Raya, karena Raja George tidak terlalu peduli dengan wilayah di Jerman. Perang ini akhirnya diakhiri oleh Perjanjian Hubertusburg dan Paris pada tahun 1763. Maka Austria harus meninggalkan wilayah-wilayah Prusia yang mereka duduki.[74] Walaupun Schlesien tetap berada di bawah kendali Prusia, perang ini menciptakan keseimbangan kekuatan yang baru di Eropa, dan kedudukan Austria sendiri menjadi lebih kuat berkat persekutuannya dengan Wangsa Bourbon di Madrid, Parma, dan Napoli. Maria Theresia sendiri memutuskan untuk mencurahkan perhatiannya pada reformasi dalam negeri dan berhenti mengobarkan perang di luar negeri.[76]

Kebijakan

 
Maria Theresia dan keluarganya merayakan Hari Santo Nikolas. Lukisan ini merupakan karya Adipati Wanita Utama Maria Christina.

Agama

Seperti halnya anggota Wangsa Habsburg lainnya, Maria Theresia adalah seorang Katolik, dan ia merupakan seorang penganut yang taat. Ia berkeyakinan bahwa kesatuan agama diperlukan demi kehidupan yang damai, sehingga ia menolak mentah-mentah gagasan toleransi beragama. Ia bahkan menganjurkan agar agama Katolik dijadikan agama negara.[note 7] Akibatnya, para pengelana pada zaman itu menganggap rezimnya fanatik, tidak toleran, dan penuh dengan takhayul.[77] Namun, ia tidak pernah mengizinkan gereja ikut campur dalam wewenang penguasa monarki dan ia juga menjaga jaraknya dari Roma. Ia juga mengendalikan proses pemilihan uskup agung, uskup, dan abbas.[78] Secara keseluruhan, kebijakan Maria Theresia yang berkenaan dengan gereja dimaksudkan untuk memastikan keutamaan negara dalam hubungannya dengan gereja.[79] Ia juga dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Jansenisme, dan salah satu hal yang dianjurkan oleh ajaran tersebut adalah kebebasan maksimal gereja-gereja nasional dari Roma. Walaupun Austria dari sebelumnya sudah selalu berupaya untuk menegakkan hak negara dalam hubungannya dengan gereja, Jansenisme memberikan pembenaran teoretis yang baru.[80]

Maria Theresia mendukung Katolik Yunani dan menegaskan bahwa mereka berkedudukan sama dengan Katolik Roma.[81] Walaupun Maria Theresia adalah orang yang sangat taat beragama, ia juga memberlakukan kebijakan yang melarang pemameran kesalehan yang berlebihan, seperti pelarangan tindakan mencambuk diri di muka umum. Selain itu, ia mengurangi jumlah hari libur keagamaan dan ordo-ordo kebiaraan.[82]

Yesuit

Hubungannya dengan ordo Yesuit terbilang rumit. Para anggota Yesuit mendidiknya, menjadi penerima pengakuan dosa untuknya, dan juga mengawasi pendidikan keagamaan putra sulungnya. Yesuit merupakan ordo yang kuat dan berpengaruh pada awal masa kekuasaan Maria Theresia. Namun, para menteri Maria Theresia berhasil meyakinkannya bahwa ordo Yesuit membahayakan wewenangnya sebagai penguasa monarki. Tanpa keraguan ataupun rasa sesal, Maria Theresia mengeluarkan sebuah titah yang mengeluarkan mereka dari semua lembaga monarki. Ia melarang penerbitan bula Paus Klemens XIII yang mendukung Yesuit, dan juga langsung menyita harta benda ordo Yesuit begitu paus selanjutnya, Klemens XIV, memutuskan untuk menindas ordo tersebut.[83]

Yahudi dan Protestan

 
Joseph, anak laki-laki tertua Maria Theresia dan salah satu penguasa pendampingnya. Lukisan dari tahun 1775 karya Anton von Maron

Walaupun pada akhirnya ia tidak lagi berupaya mengatolikkan rakyatnya, Maria Theresia menganggap orang Yahudi dan Protestan sebagai kelompok yang berbahaya dan mencoba menindas mereka.[84] Kemungkinan ia merupakan penguasa monarki yang paling anti-Yahudi pada masa hidupnya. Ia tidak hanya mengulangi prasangka-prasangka buruk yang sudah ada di benak nenek moyangnya, tetapi juga memiliki prasangka-prasangka baru. Anti-Semitisme pada diri Maria Theresia merupakan akibat dari pengabdian terhadap agama yang amat mendalam, dan ia tidak mencoba merahasiakan prasangka semacam ini. Pada tahun 1777, ia menulis sesuatu mengenai orang-orang Yahudi: "Tidak ada yang lebih busuk daripada ras ini, yang membuat rakyatku melarat dengan tipu daya, riba, dan keserakahan. Maka dari itu, sebisa mungkin orang Yahudi perlu dijauhkan dan dihindari."[85] Ia sungguh membenci orang Yahudi sampai-sampai ia mau menerima keberadaan pemodal yang berlatar belakang Protestan di kota Wina (seperti Johann Fries yang lahir di Swiss), karena ia ingin membebaskan pemerintahannya dari para pemodal Yahudi.[86]

Pada Desember 1744, ia mengusulkan kepada para menterinya agar orang-orang Yahudi diusir dari Austria dan Böhmen. Pada mulanya ia ingin agar semua orang Yahudi sudah dideportasi pada tanggal 1 Januari, tetapi ia kemudian mengikuti nasihat menteri-menterinya yang merasa khawatir dengan banyaknya jumlah orang yang harus diusir (diperkirakan bisa mencapai 50.000), sehingga tenggat waktunya diundur menjadi bulan Juni.[87] Perintah-perintah pengusiran baru dicabut pada tahun 1748 akibat tekanan dari negara-negara lain, termasuk Britania Raya.[86] Ia juga memerintahkan pengusiran sekitar 20.000 orang Yahudi dari Praha di tengah maraknya tuduhan bahwa mereka adalah kelompok pengkhianat pada saat kota tersebut diduduki oleh pasukan Bayern dan Prancis selama Perang Pewaris Austria. Cakupan perintah tersebut lalu diperluas menjadi semua orang Yahudi di Böhmen dan kota-kota besar di Mähren. Belakangan ia mencabut perintahnya ini, kecuali untuk orang Yahudi Praha yang sudah terlanjur diusir.[88] Tidak hanya orang Yahudi yang menjadi korban pada masa kekuasaannya. Ia juga mengusir orang Protestan dari Austria ke Transilvania (termasuk 2.600 orang Protestan dari Austria Hulu pada dasawarsa 1750-an).[86] Walaupun begitu, ia tidak dapat mengusir semua orang Protestan dari wilayahnya akibat pertimbangan demografi, ekonomi, dan praktis. Sebagai contoh, pada tahun 1777, ia membatalkan keinginannya untuk mengusir semua orang Protestan di Mähren setelah Joseph mengancam akan mundur dari jabatan kaisar dan penguasa pendamping. Pada akhirnya, ia terpaksa melapangkan sedikit toleransi untuk mereka dan mengizinkan mereka beribadah di ruang pribadi.[89] Joseph sendiri merasa bahwa kebijakan keagamaan ibunya "tidak adil, tidak beriman, mustahil, berbahaya, dan konyol".[84]

Pada dasawarsa ketiga masa kekuasaan Maria Theresia, ia membina hubungan baik dengan seorang pemuka Yahudi yang bernama Abraham Mendel Theben, sehingga ia mengeluarkan maklumat-maklumat yang memberikan perlindungan kepada orang Yahudi di negaranya. Tindakannya pada akhir masa kekuasaannya sangat jomplang dengan prasangkanya pada awal masa kekuasaannya. Ia melarang pengkristenan paksa orang Yahudi pada tahun 1762, dan pada tahun 1763 ia melarang para pastor Katolik memungut iuran untuk keperluan gereja dari orang-orang Yahudi. Pada tahun 1764, ia memerintahkan pembebasan orang Yahudi yang sebelumnya dijebloskan ke penjara akibat tuduhan fitnah darah di desa Orkuta.[90] Walaupun Maria Theresia membenci orang Yahudi, ia mendukung kegiatan perdagangan dan industri kaum tersebut di Austria.[91] Di wilayah-wilayah tertentu, orang Yahudi juga diperlakukan dengan lebih baik, seperti di Trieste, Gorizia, dan Vorarlberg.[89]

Pemerintahan

 
Maria Theresia pada tahun 1762, lukisan karya Jean-Étienne Liotard

Maria Theresia memang adalah sosok yang konservatif dalam hal agama dan juga negara, tetapi pada kekuasaannya dikenang karena ia melancarkan reformasi yang memperkuat militer Austria sekaligus meningkatkan kinerja birokrasi.[92] Ia mempekerjakan Graf Friedrich Wilhelm von Haugwitz yang mendirikan angkatan bersenjata berjumlah 108.000 orang yang didanai dengan 14 juta gulden yang dipungut dari setiap tanah mahkota. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas pasukan tersebut, meskipun Haugwitz memungut pajak dari bangsawan yang sebelumnya tidak diwajibkan membayar sepeserpun.[93] Selain itu, setelah Haugwitz diangkat sebagai kepala badan administratif pusat baru yang disebut Direktorium (Directorium in publicis et cameralibus) pada tahun 1749, ia melakukan sentralisasi terhadap lembaga negara sampai ke tingkatan Kantor Distrik (Kreisamt).[94] Berkat upaya ini, pada tahun 1760 terdapat golongan pejabat pemerintahan yang berjumlah sekitar 10.000 orang. Namun, Lombardia, Belanda Austria, dan Hungaria hampir tidak tersentuh oleh program reformasi ini.[94] Ia khususnya sangat berhati-hati dengan Hungaria, karena ia sudah berjanji bahwa ia akan menghormati keistimewaan para bangsawan berupa pengecualian dari pajak.[95]

Akibat kegagalan untuk merebut kembali Schlesien selama Perang Tujuh Tahun, sistem pemerintah kembali dirumuskan ulang dan dirombak untuk memperkuat negara.[96] Direktorium diubah menjadi Kantor Kanselir Austria dan Böhmen pada tahun 1761 yang dilengkapi dengan badan kehakiman yang terpisah dan independen, serta badan-badan keuangan yang juga terpisah.[96] Ia juga mendirikan kembali Hofkamer pada tahun 1762, yang merupakan sebuah kementerian keuangan yang mengendalikan pendapatan monarki. Selain itu, terdapat pula Hofrechenskammer atau "bendahara" yang bertugas mengelola keuangan negara.[97] Sementara itu, pada tahun 1760, Maria Theresia mendirikan Dewan Negara (Staatsrat) yang terdiri dari kanselir negara, tiga anggota bangsawan tinggi, dan tiga ksatria. Badan ini berfungsi sebagai komite orang-orang yang menasihati dirinya. Dewan Negara tidak memiliki wewenang eksekutif ataupun legislatif, tetapi keberadaan badan ini menegaskan perbedaan antara bentuk pemerintahan Maria Theresia dengan Friedrich II dari Prusia. Tidak seperti Friedrich II, Maria Theresia bukanlah seorang otokrat dan mengikuti nasihat anggota dewannya. Prusia baru akan menerapkan bentuk pemerintahan semacam ini setelah tahun 1807.[98]

Dari tahun 1754 hingga 1764, Maria Theresia berhasil menggandakan pendapatan negara dari 20 juta menjadi 40 juta gulden, walaupun upayanya untuk memungut pajak dari imam dan bangsawan kurang berhasil.[92][99] Reformasi keuangan ini memperkuat ekonomi Austria.[100] Setelah Kaunitz menjadi kepala Staatsrat yang baru, ia melancarkan kebijakan "pencerahan aristokratik" yang mencoba menggunakan teknik bujukan untuk menyenangkan berbagai golongan, dan ia juga bersedia mengurangi sentralisasi yang dicanangkan oleh Haugwitz agar mereka tetap puas dengan pemerintahan. Walaupun begitu, sistem pemerintahan Habsburg masih tetap tersentralisasi, dan keberadaan lembaga yang kuat memungkinkan Kaunitz untuk meningkatkan pendapatan negara. Pada tahun 1775, untuk pertama kalinya neraca keuangan Monarki Habsburg seimbang, dan pada tahun 1780, pendapatan negara Habsburg telah mencapai 50 juta gulden.[101]

Kedokteran

Setelah Maria Theresia mempekerjakan Gerard van Swieten yang berasal dari Belanda, van Swieten juga merekrut seorang Belanda lainnya yang bernama Anton de Haen, yang merupakan pendiri Sekolah Kedokteran Wina (Wiener Medizinischen Schule).[102] Maria Theresia juga melarang pembukaan lahan pemakaman baru tanpa izin dari pemerintah, sehingga ia dapat memberantas kebiasaan penguburan yang tidak higienis dan boros.[103] Sementara itu, keputusannya untuk menginokulasi anak-anaknya setelah terjadinya wabah variola pada tahun 1767 berhasil mengubah pandangan negatif dokter Austria terhadap praktik tersebut. Maria Theresia sendiri meresmikan inokulasi di Austria dengan mengadakan perjamuan di Istana Schönbrunn untuk 65 anak pertama yang diinokulasi.[104] Pada tahun 1770, ia mengeluarkan regulasi penjualan racun, dan apotek-apotek harus menyimpan catatan penjualan racun yang juga merincikan latar belakang penjualan tersebut. Apabila ada orang tak dikenal yang mencoba membeli racun, maka ia hanya boleh membeli racun tersebut jika ia dapat membawa dua saksi. Tiga tahun kemudian, Maria Theresia melarang penggunaan timbal sebagai bahan baku bejana untuk makan atau minum; satu-satunya bahan yang boleh digunakan adalah timah murni.[105]

Hukum

Sebelumnya, berbagai wilayah Habsburg memiliki hukum mereka sendiri. Penyatuan sistem hukum diperlukan di negara dengan sistem pemerintahan yang semakin tersentralisasi. Maka dari itu, hukum-hukum ini dikumpulkan, dan hasilnya adalah Codex Theresianus yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan penyatuan hukum.[106] Pada tahun 1769, Constitutio Criminalis Theresiana diterbitkan, dan undang-undang ini merupakan hasil kodifikasi sistem kehakiman tradisional yang sudah berlaku dari Abad Pertengahan. Undang-undang pidana ini mengizinkan praktik penyiksaan untuk mencari kebenaran, dan juga mengkriminalisasi sihir dan berbagai kejahatan terhadap agama. Hukum ini ditegakkan di Austria dan Böhmen, tetapi tidak berlaku di Hungaria.[107] Dari sudut pandang institusional, pada tahun 1749, didirikan sebuah badan kehakiman yang berfungsi sebagai pengadilan banding tingkat tertinggi untuk seluruh wilayah turun temurun Wangsa Habsburg.[97]

Ia sangat peduli dengan kesusilaan di negaranya, sehingga ia mendirikan Keuschheitskommission ("Komisi Kemurnian") pada tahun 1752[108] untuk memberantas pelacuran, homoseksualitas, perzinaan, dan bahkan hubungan seks antara dua orang yang berbeda agama.[109] Komisi ini bekerja sama dengan polisi, dan mereka mengerahkan mata-mata untuk menyelidiki kehidupan pribadi laki-laki dan perempuan dengan citra yang buruk.[110] Mereka diperbolehkan merazia pesta perjamuan, klub-klub, dan pertemuan-pertemuan pribadi, dan mereka juga diizinkan menangkap mereka yang diduga melanggar norma-norma sosial.[111] Hukumannya meliputi pencambukan, deportasi, atau bahkan hukuman mati.[109] Pada tahun 1776, Austria melarang praktik penyiksaan, terutama akibat desakan dari Joseph. Tidak seperti Joseph, Maria Theresia menentang penghapusan praktik penyiksaan, dan dalam hal ini ia didukung oleh tokoh-tokoh keagamaan. Maria Theresia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di antara zaman Baroque dan Rokoko, sehingga ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan semangat Abad Pencerahan.[112]

Pendidikan

Ia sungguh sangat berambisi dan ingin menjadikan Wangsa Austria lebih ternama daripada sebelumnya.

Surat duta besar Prusia kepada Friedrich II dari Prusia[113]

Sejarawan Austria Karl Vocelka menyatakan bahwa reformasi pendidikan yang dicanangkan oleh Maria Theresia "benar-benar dilandaskan pada gagasan-gagasan Pencerahan", tetapi tujuan utamanya tetap untuk "memenuhi kebutuhan negara absolutis, karena masyarakat dan ekonomi yang menjadi semakin canggih dan rumit membutuhkan pejabat pemerintah, diplomat, dan ahli baru dalam segala bidang."[114] Sebelumnya, sekolah-sekolah dasar yang sudah ada dikelola oleh berbagai ordo Katolik. Setelah dilaksanakannya reformasi pendidikan, sekolah-sekolah dasar yang sekuler didirikan, dan wajib belajar juga dicanangkan.[114] Maria Theresia sendiri mungkin ingin agar sekolah-sekolah ini mengajarkan iman Katolik, tetapi pada akhirnya yang diutamakan oleh kurikulumnya adalah tanggung jawab sosial, kedisiplinan, etos kerja, dan penggunaan nalar untuk belajar daripada sekadar menghafal dan mengulang.[115] Kebijakan wajib belajar yang ia canangkan mencakup anak laki-laki dan perempuan dari usia enam sampai dua belas tahun.[116] Reformasi pendidikan ini sendiri ditolak oleh para petani yang ingin anaknya bekerja di ladang.[115] Maria Theresia menanggapinya dengan memerintahkan penangkapan orang-orang yang berani menentang reformasi ini.[116] Secara keseluruhan, walaupun reformasi pendidikan bukanlah kebijakan yang buruk, reformasi tersebut tidak terlalu berhasil; di beberapa wilayah Austria, penduduknya masih banyak yang buta huruf hingga abad ke-19.[114]

Maria Theresia mengizinkan orang yang bukan Katolik untuk masuk universitas dan juga memperbolehkan pengajaran bidang-bidang sekuler (seperti hukum), dan hal ini dipengaruhi oleh berkurangnya peran teologi sebagai landasan pendidikan universitas.[92] Selain itu, pada masa kekuasaannya, berbagai lembaga pendidikan dibentuk untuk mempersiapkan para pegawai negeri, Theresianum didirikan di kota Wina pada tahun 1746 untuk mendidik putra-putra bangsawan, sekolah militer yang disebut Akademi Militer Theresia didirikan di kota Wiener Neustadt pada tahun 1751, dan Akademi Oriental untuk melatih diplomat juga dibentuk pada tahun 1754.[117]

Penyensoran

Rezimnya juga dikenal karena telah melembagakan penyensoran buku-buku dan pembelajaran. Penulis Inggris Sir Nathaniel Wraxall pernah menulis dari kota Wina bahwa "Banyak sekali buku yang berasal dari berbagai bidang dan ditulis dalam berbagai bahasa yang dilarang olehnya. Tidak hanya Voltaire dan Rousseau yang masuk ke dalam daftar [penyensoran] akibat gaya tulisan mereka yang cenderung tidak bermoral atau tidak senonoh, tetapi juga penulis-penulis yang kita anggap biasa saja atau tidak berbahaya."[118] Penyensoran ini juga sangat berdampak terhadap karya-karya yang dianggap bertentangan dengan agama Katolik. Ironisnya, upaya penyensoran ini dibantu oleh Gerard van Swieten yang sering dianggap sebagai sosok yang "tercerahkan".[118]

Ekonomi

Maria Theresia ingin meningkatkan taraf hidup rakyat, karena ia tahu bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara taraf hidup, produktivitas, dan pendapatan negara.[119] Pemerintahan Habsburg pada masanya juga mencoba memperkuat industri dalam negeri dengan melakukan campur tangan. Setelah lepasnya wilayah Schlesien, mereka memberlakukan subsidi dan hambatan perdagangan agar industri tekstil dari Schlesien mau pindah ke Böhmen utara. Selain itu, mereka mengurangi status istimewa gilda dan mereka juga merombak atau bahkan mencabut bea-bea dagang dalam negeri; contohnya adalah pencabutan bea dagang dalam negeri di wilayah Austria-Böhmen pada tahun 1775.[115] Permasalahan ekonomi lainnya yang perlu diselesaikan pada masa pemerintahan Maria Theresia adalah pengaturan status istimewa bangsawan yang berhubungan dengan kesejahteraan petani. Walaupun Maria Theresia awalnya enggan untuk melakukan campur tangan, pemerintah pada akhirnya dapat mengambil tindakan berkat anggapan bahwa negara perlu ekonomi yang lebih kuat. Selain itu, campur tangan tidak hanya dimungkinkan oleh munculnya birokrasi yang mampu bekerja, tetapi juga dimudahkan oleh kemarahan para petani akibat dampak perang dan kelaparan pada tahun 1770—1772 serta pelanggaran hak manorial yang dilakukan oleh bangsawan.[120] Pada tahun 1771—1778, sejumlah "Paten Robot" dikeluarkan oleh Maria Theresia, dan paten-paten tersebut mengatur dan membatasi tenaga kerja petani di wilayah Austria dan Böhmen. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa para petani tidak hanya dapat memberikan penghidupan kepada dirinya dan keluarganya, tetapi juga untuk membantu memenuhi kebutuhan negara pada masa perang atau damai. Namun, reformasi semacam ini sangat ditentang oleh bangsawan Hungaria. Sementara itu, Joseph menginginkan reformasi yang lebih radikal, dan kelak saat ia memerintah pada tahun 1789, ia menghapuskan praktik tenaga kerja petani paksa, walaupun penghapusan ini kemudian dibatalkan oleh Kaisar Leopold II.[121]

Arsitektur

Pada tahun 1743, Maria Theresia memutuskan untuk memperbaharui Istana Schönbrunn.[122] Renovasi tahap pertama berlangsung dari tahun 1743 hingga 1749 dengan bantuan dari arsitek Nikolaus Pacassi. Kemudian, setelah tahun 1750, Maria Theresia merasa bahwa istana tersebut perlu diperbaharui lagi, dan proyek ini dijalankan oleh Pacassi dari tahun 1753 hingga 1763. Sesudah itu, ia juga masih memerintahkan proyek-proyek tambahan untuk semakin memperindah ruangan-ruangan di dalam istana, dan proyek terakhir yang ia perintahkan pada dasawarsa 1770-an adalah perancangan dan pembangunan sebuah kebun di bawah pengawasan arsitek Johann Ferdinand Hetzendorf von Hohenberg. Seluruh proyek ini baru selesai tidak lama sebelum Maria Theresia tutup usia pada tahun 1780.[123]

Maria Theresia juga dikenal karena telah memugar istana Hofburg di Innsbruck. Bagian selatan istana tersebut didirikan dari tahun 1754 hingga 1756. Kemudian tampak depan yang baru juga dibangun dari tahun 1766 hingga 1773.[124]

Masa-masa setelah menjanda

 
Maria Theresia yang sudah menjanda pada tahun 1773. Lukisan karya Anton von Maron. "Perdamaian" memegang mahkota zaitun di atas kepalanya, yang merupakan lambang status Maria Theresia sebagai penguasa monarki. Ini adalah lukisan kenegaraan terakhir yang ditugaskan pembuatannya oleh Maria Theresia.[125]

Kaisar Franz mangkat pada tanggal 18 Agustus 1765 saat ia sedang berada di Innsbruck untuk merayakan pernikahan putra keduanya, Leopold. Maria Theresia sendiri sangat terguncang. Ia sungguh berduka sampai-sampai ia tidak lagi memakai perhiasan, memotong rambutnya menjadi pendek, melukis kamarnya menjadi hitam, dan juga mengenakan pakaian berduka hingga ajal menjemput. Ia menarik diri dari kehidupan istana, acara publik, dan teater. Pada masanya sebagai seorang janda, ia menghabiskan seluruh bulan Agustus dan setiap tanggal ke-18 sendirian di dalam kamarnya, dan hal ini sangat berdampak terhadap kondisi kejiwaannya.[126] Ia menjelaskan keadaan pikirannya tidak lama setelah kematian Franz: "Aku sudah tidak mengenal diriku lagi, karena aku kini bagaikan seekor binatang yang tidak menjalani kehidupan yang sesungguhnya dan tak berakal."[127]

Setelah Joseph menjadi Kaisar Romawi Suci, ia memerintah wilayah yang lebih kecil daripada ayahnya pada tahun 1740, karena ia telah menyerahkan haknya atas Toskana kepada Leopold dan tanah yang langsung ia miliki hanya Falkenstein dan Teschen. Maria Theresia, yang masih bertakhta di Austria dan wilayah Habsburg lainnya, menyadari bahwa wilayah kekuasaan anaknya harus diperbesar untuk memperkuat kedudukannya sebagai kaisar.[128] Untuk itu, ia mengangkat Joseph II sebagai penguasa pendampingnya pada 17 September 1765.[129] Kemudian, Maria Theresia kembali berduka setelah kematian Haugwitz pada Februari 1766. Ia lalu menyerahkan kekuasaan militer mutlak kepada Joseph setelah wafatnya Leopold Joseph von Daun.[130]

Menurut sejarawan Austria-Amerika Serikat Robert A. Kann, Maria Theresia adalah seorang penguasa monarki yang cakap, tetapi Joseph dan Leopold lebih unggul darinya dalam hal intelektual. Walaupun begitu, Kann menegaskan bahwa ia memiliki hati yang baik, berpikir secara pragmatis, pantang menyerah, dan mempunyai persepsi yang matang. Ia juga mau mengakui keunggulan akal beberapa penasihatnya, dan ia selalu mempertimbangkan nasihat mereka sebelum membuat kebijakan. Pada saat yang sama, ia tetap didukung oleh para menterinya bahkan saat mereka berselisih pandang dengan Maria. Namun, Joseph gagal membangun hubungan yang baik dengan para penasihat ibunya, walaupun cara pandang mereka mengenai pemerintahan lebih dekat dengan Joseph daripada ibunya.[131]

Hubungan Maria Theresia dan Joseph juga bisa hangat, tetapi mereka sering kali berselisih pandang. Maria Theresia tidak menyukai falsafah Abad Pencerahan yang dianut oleh Joseph. Ia juga merasa tersinggung dengan rasa kagum Joseph terhadap Friedrich II dan menolak ambisi Joseph untuk memperluas wilayah.[132]

Walaupun Joseph adalah sosok yang cerdas, kekuatan kepribadian Maria Theresia membuat takut Joseph.[133] Kadang-kadang Maria Theresia memuji kepandaian Joseph, tetapi ia juga tidak ragu untuk mengkritiknya. Maria Theresia bahkan pernah menulis kepada rekan Joseph: "Kami tak pernah menemui satu sama lain, kecuali saat makan malam. (...) Amarahnya semakin memburuk setiap harinya. (...) Tolong bakar surat ini, aku hanya ingin menghindari skandal publik."[134] Dalam sepucuk surat lainnya yang juga ditulis kepada rekan Joseph, ia mengeluh: "Ia menjauhiku (...) aku adalah satu-satunya orang yang menghalangi jalannya, sehingga aku hanyalah halangan dan beban. Mungkin masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan turun takhta."[134] Namun, setelah melakukan pertimbangan yang masak, ia memutuskan untuk tidak mengundurkan diri. Joseph sendiri sering mengancam akan mundur dari jabatannya sebagai kaisar dan penguasa pendamping, tetapi ia juga akhirnya berhasil dibujuk untuk mengurunkan niatnya. Ancaman Joseph untuk mundur jarang dianggap serius; Maria Theresia sendiri yakin bahwa kesembuhannya dari penyakit variola pada tahun 1767 adalah tanda Tuhan ingin ia memerintah sampai akhir hayat. Joseph sendiri diuntungkan dengan keberadaan ibunya sebagai penguasa monarki, karena ia sering kali menyalahkannya untuk menghindari tanggung jawab sebagai seorang penguasa.[135]

Joseph dan Kaunitz mulai merencanakan pembagian Polandia dengan Rusia dan Prusia walaupun Maria Theresia menentangnya. Maria Theresia memiliki rasa keadilan yang membuatnya menolak rancangan tersebut yang dirasa akan menyakiti rakyat Polandia.[136] Ia bahkan pernah berkata, "Apakah kita berhak untuk merampok sebuah bangsa yang tidak berdosa, padahal sejauh ini kita sudah sesumbar mengatakan akan melindungi dan mendukungnya?"[137] Joseph dan Kaunitz menegaskan bahwa mereka sudah tidak dapat menghentikan rencana tersebut. Maria Theresia sendiri terpaksa menyetujuinya setelah ia menyadari bahwa Friedrich II dan Maharani Yekaterina II dari Rusia akan tetap melakukannya dengan atau tanpa persetujuan Austria. Maria Theresia lalu mengklaim dan mengambil alih Galisia dan Lodomeria. Friedrich sendiri berkata, "semakin sering dia menangis, semakin banyak yang dia ambil".[138]

Beberapa tahun setelah pembagian Polandia, Rusia berhasil mengalahkan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Rusia-Turki (1768–1774). Setelah ditandatanganinya Perjanjian Küçük Kaynarca pada tahun 1774 yang mengakhiri perang tersebut, Austria mulai berunding dengan Utsmaniyah. Sebagai hasilnya, pada tahun 1775, Utsmaniyah menyerahkan wilayah barat laut Moldavia (kemudian dikenal dengan sebutan Bukovina) kepada Austria.[32] Kemudian, pada tanggal 30 Desember 1777, Maximilian III Joseph, Elektor Bayern, menjemput ajalnya tanpa meninggalkan keturunan.[138] Akibatnya, wilayahnya diincar oleh orang-orang yang bernafsu, termasuk Joseph yang mencoba menukar Bayern dengan Belanda Austria.[139] Hal ini membuat panik Friedrich, alhasil meletuslah Perang Pewaris Bayern pada tahun 1778. Maria Theresia sebenarnya sangat enggan berperang, dan ia terpaksa menyetujui pendudukan Bayern. Setahun kemudian, ia memberikan tawaran perdamaian kepada Friedrich II walaupun ditentang oleh Joseph.[140] Meskipun Austria berhasil memperoleh wilayah Innviertel, "Perang Kentang" ini menguras keuangan negara.[139] Pendapatan tahunan sekitar 500.000 gulden per tahun dari sekitar 100.000 warga Innviertel sama sekali tidak sebanding dengan biaya sebesar 100.000.000 gulden yang digelontorkan selama perang.[140]

Kematian dan tinggalan sejarah

 
Makam Maria Theresia dan suaminya di Kaisergruft, Wina

Maria Theresia pernah mengidap variola pada tahun 1767, dan para penulis abad ke-18 menegaskan bahwa kemungkinan ia masih belum sembuh sepenuhnya. Ia mengalami sesak napas, kelelahan, batuk-batuk, stres, nekrofobia, dan insomnia. Sembap (edema) juga muncul di tubuhnya.[141]

Maria Theresia jatuh sakit pada tanggal 24 November 1780. Dokter pribadinya, Dr. Störk, merasa bahwa penyakitnya sangat serius, walaupun Joseph yakin bahwa ia akan segera pulih. Pada tanggal 26 November, ia meminta diurapi, dan pada tanggal 28 November, sang dokter berkata bahwa ajal akan segera menjemput. Pada tanggal 29 November, ia tutup usia saat sedang dikelilingi oleh anak-anaknya.[142][143] Setelah mendengar kabar mengenai kematian Maria Theresia, musuh bebuyutannya, Friedrich, berkata bahwa Maria Theresia telah memberikan kehormatan kepada takhta dan jenis kelaminnya, dan walaupun Friedrich sudah lama mengobarkan perang melawannya, ia tidak pernah menganggapnya sebagai musuhnya.[144] Akibat kematian Maria Theresia, Wangsa Habsburg digantikan oleh Wangsa Habsburg-Lorraine. Ia digantikan oleh putranya, Joseph, yang kemudian melancarkan reformasi besar-besaran di kekaisaran; ia mengeluarkan hampir 700 maklumat setiap tahunnya (atau sekitar dua per hari), sementara Maria Theresia hanya menghasilkan sekitar 100 maklumat per tahun.[145]

Pada saat Maria Theresia masih hidup, ia sadar betul bahwa citranya di muka umum sangat penting, dan ia berhasil membuat rakyatnya menyukainya sekaligus menghormatinya; salah satu contohnya adalah ketika ia menunjukkan martabat sekaligus kesederhanaan untuk membuat kagum orang-orang di Pressburg sebelum ia dimahkotai sebagai Ratu Hungaria.[146] Masa kekuasaan Maria Theresia selama 40 tahun dianggap sangat berhasil bila dibandingkan dengan para penguasa Habsburg lainnya. Reformasi-reformasinya telah mengubah Monarki Habsburg menjadi sebuah negara modern dengan martabat yang tinggi di dunia internasional.[147] Pada masanya, lembaga-lembaga pemerintahan disentralisasi dan dimodernisasi, dan masa pemerintahannya juga dianggap sebagai permulaan zaman "absolutisme tercerahkan" di Austria, dengan pendekatan baru terhadap cara memerintah: tindakan-tindakan penguasa menjadi lebih modern dan rasional, dan juga lebih mempertimbangkan kesejahteraan negara dan rakyat.[148] Di sisi lain, banyak kebijakannya yang tidak sejalan dengan semangat Abad Pencerahan (seperti dukungannya terhadap tindakan penyiksaan), dan ia masih sangat dipengaruhi oleh ajaran Katolik dari zaman sebelumnya.[149] Vocelka bahkan berkata bahwa "Jika dilihat secara keseluruhan, reformasi-reformasi Maria Theresia tampak lebih absolutis dan sentralis alih-alih tercerahkan, bahkan setelah mempertimbangkan bahwa pengaruh gagasan-gagasan pencerahan masih dapat dilihat dalam hal-hal tertentu."[150] Jenazah Maria Theresia disemayamkan di Kaisergruft di kota Wina di dalam sebuah peti mati yang terletak tepat di sebelah peti suaminya.[151]

Kehidupan keluarga

 
Maria Theresia bersama dengan keluarganya. Lukisan dari tahun 1754 karya Martin van Meytens

Dalam kurun waktu 20 tahun, Maria Theresia melahirkan enam belas anak, tiga di antaranya meninggal saat masih balita. Anak pertama, Maria Elisabeth (1737–1740), lahir dalam waktu kurang dari setahun setelah pernikahan Maria Theresia. Jenis kelamin anak tersebut menimbulkan kekecewaan yang besar, dan begitu pula kelahiran Maria Anna (anak tertua yang dapat bertahan hidup hingga usia dewasa) dan Maria Karolina (1740–1741). Saat sedang memperjuangkan wilayah yang diwariskan ayahnya, Maria Theresia melahirkan Joseph, anak laki-laki yang namanya diambil dari Santo Yosef, dan Maria Theresia sendiri sebelumnya terus memanjatkan doa agar dikaruniai anak laki-laki. Anak kesayangan Maria Theresia, yaitu Maria Christina, dilahirkan pada ulang tahun Maria Theresia yang ke-25, empat hari sebelum kekalahan Austria dalam Pertempuran Chotusitz. Maria Theresia melahirkan lima anak lagi selama perang: Maria Elisabeth, Karl, Maria Amalia, Leopold, dan Maria Karolina (1748–1748). Pada masa ini, Maria Theresia terus menerus hamil, alhasil ia memimpin perang dan membesarkan anak pada saat yang sama. Maria Theresia kembali dikaruniai lima anak pada masa damai yang berlangsung selama jeda antara Perang Pewaris Austria dan Perang Tujuh Tahun: Maria Johanna, Maria Josepha, Maria Karolina, Ferdinand, dan Maria Antonia. Ia melahirkan anak bungsunya, Maximilian Franz, selama Perang Tujuh Tahun, pada saat Maria Theresia berumur 39 tahun.[152] Maria Theresia sendiri menyatakan bahwa jika ia tidak terus menerus berbadan dua, maka ia akan terjun langsung ke medan perang.[44]

Ibunda Maria Theresia, Ibu Suri Elisabeth-Christine, meninggal pada tahun 1750. Empat tahun kemudian, guru Maria Theresia pada saat ia masih kecil, Gräfin Marie-Karoline von Fuchs-Mollard, juga tutup usia. Maria Theresia menunjukkan rasa hormatnya kepada Gräfin Fuchs dengan memakamkannya di Kaisergruft bersama dengan anggota keluarga kekaisaran.[153]

Tidak lama setelah melahirkan anak-anak bungsunya, Maria Theresia disibukkan dengan urusan pernikahan anak-anaknya yang lebih tua, dan untuk itu ia melakukan perundingan dengan negara-negara lain. Ia memperalat dan mengorbankan mereka demi kepentingan negara.[154] Sebagai seorang ibu yang berbakti tetapi juga sadar diri, ia menulis surat kepada anak-anaknya paling tidak sekali seminggu, dan ia sendiri merasa bahwa ia memiliki wewenang atas anak-anaknya tanpa memandang usia dan pangkat mereka.[155]

 
Ibu suri Maria Theresia bersama dengan keluarganya. Lukisan dari tahun 1776 karya Heinrich Füger

Setelah ulang tahunnya yang ke-50 pada Mei 1767, Maria Theresia tertular variola dari menantunya, Maria Josepha dari Bayern.[156] Ia berhasil pulih, tetapi Maria Josepha dari Bayern (yang telah menjadi maharani berkat pernikahannya dengan Joseph II) tutup usia. Maria Theresia lalu memaksa putrinya, Adipati Wanita Utama Maria Josepha, untuk berdoa bersama dengannya di Kaisergruft di sebelah makam Maharani Maria Josepha yang belum disegel. Bercak-bercak variola mulai bermunculan di tubuh sang Adipati Wanita Utama dua hari setelah mengunjungi makam tersebut, dan tak lama kemudian ia menjemput ajalnya. Maria Karolina lalu menggantikannya sebagai calon pasangan Raja Ferdinando IV dari Napoli. Maria Theresia menyalahkan dirinya sendiri hingga akhir hayatnya, karena kebanyakan orang pada masa itu masih belum mengenal konsep masa inkubasi berkepanjangan, alhasil mereka mengira bahwa Maria Josepha tertular variola dari jenazah sang maharani.[157][note 8]

Pada April 1770, putri bungsu Maria Theresia, Maria Antonia, menikahi Louis, Dauphin Prancis, di Wina, walaupun pasangan Maria Antonia tidak hadir dalam pernikahan tersebut. Maria Antonia kurang terdidik, dan ketika Raja Prancis menyatakan ketertarikannya kepadanya, Maria Theresia berupaya mengajarkan kepada Maria Antonia tentang Istana Versailles dan budaya Prancis. Maria Theresia terus berbalas surat dengan Maria Antonia (yang kemudian dijuluki Marie Antoinette setelah ia menikah), tetapi dalam surat-surat tersebut sang ibu sering kali menegur Marie akibat kemalasan dan kelakuan sembrononya. Ia juga memarahinya karena ia tak kunjung dikaruniai seorang anak.[155]

Maria Theresia tidak hanya mengkritik Marie Antoinette. Ia tidak menyukai watak Leopold yang pendiam, dan ia sering memarahinya akibat sikap Leopold yang dingin. Ia mengkritik Maria Karolina akibat keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan politik, Ferdinand akibat ketidakteraturannya, dan Maria Amalia karena kemampuan berbahasa Prancisnya yang buruk dan keangkuhannya. Satu-satunya anak Maria Theresia yang tidak sering dia marahi adalah Maria Christina; ia sangat dipercaya oleh ibunya, walaupun ia membuat kecewa ibunya karena ia tidak dapat menghasilkan keturunan yang bertahan hidup hingga usia dewasa.[155]

Salah satu angan-angan terbesar Maria Theresia adalah memiliki cucu sebanyak mungkin, tetapi ia hanya dikaruniai 24 cucu sebelum ia menjemput ajalnya. Semua cucu sulung perempuannya dinamai darinya, kecuali Karolina dari Parma, anak sulung Maria Amalia.[155][note 9]

Gelar

Gelar Maria Theresia setelah kematian suaminya adalah: Maria Theresia, atas rahmat Allah, Ibu Suri Maharani Romawi, Ratu Hungaria, Böhmen, Dalmasia, Kroasia, Slavonia, Galisia, Lodomeria, dll; Adipati Wanita Utama Austria; Adipati Wanita Burgund, Steiermark, Kärnten, dan Krain; Putri Agung Transilvania; Markgräfin Mähren; Adipati Wanita Brabant, Limburg, Luksemburg, Guelders, Württemberg, Schlesien Hulu dan Hilir, Milan, Mantova, Parma, Piacenza, Guastalla, Auschwitz, dan Zator; Putri Schwaben; Gräfin Kepangeranan Habsburg, Flandria, Tirol, Hainault, Kyburg, Gorizia dan Gradisca; Markgräfin Burgau, Lausitz Hulu dan Hilir; Gräfin Namur; Putri Windischen Mark dan Mechlin; Ibu Suri Adipati Wanita Lorraine dan Bar, Ibu Suri Haryapati Wanita Toscana.[158][note 10]

Catatan penjelas

  1. ^ Anggota Dinasti Habsburg sering kali menikahi kerabat dekatnya; contoh pernikahan sederah di Dinasti Habsburg adalah pasangan paman-keponakan Leopold I dan Margarita Teresa dari Spanyol, Felipe II dari Spanyol dan Anna dari Austria, Felipe IV dari Spanyol dan Mariana dari Austria, dll). Walaupun begitu, Maria Theresia adalah keturunan istri ketiga Leopold I yang tidak berkerabat dekat dengannya, dan orang tuanya juga tidak berkerabat dekat. Lihat Beales 1987, hlm. 20-21.
  2. ^ Ia tidak bertutur dengan bahasa resmi, tetapi malah menuturkan (dan kadang-kadang menulis dalam) bahasa Jerman Wina yang ia peroleh dari pelayan-pelayan dan dayang-dayangnya. Lihat Spielman 1993, hlm. 206.
  3. ^ Ayahanda Maria Theresia memaksa Franz Stephan untuk mencabut haknya atas Lorraine, dan jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan dapat menikahi Maria Theresia. Lihat Beales 1987, hlm. 23.
  4. ^ Sehari setelah pasukan Prusia memasuki Schlesien, Franz Stephan berseru kepada utusan Prusia Mayor Jenderal Borcke: "Lebih baik ada orang Turki di hadapan Wina, lebih baik menyerahkan Belanda kepada Prancis, lebih baik memberikan segala kelonggaran kepada Bayern dan Sachsen, daripada melepaskan Schlesien!" Lihat Browning 1994, hlm. 43.
  5. ^ Ia terus menjelaskan tekadnya kepada Graf Philipp: "Aku baru akan menyerahkan sejengkal tanah jika semua pasukanku, semua pasukan Hungariaku sudah tewas." Lihat Browning 1994, hlm. 76.
  6. ^ Pada akhir Perang Pewaris Austria, Graf Podewils dikirim sebagai duta besar untuk Austria oleh Raja Friedrich II dari Prusia. Podewils menjabarkan penampilan Maria Theresia dan bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-hari. Lihat Mahan 1932, hlm. 230.
  7. ^ Dalam suratnya yang dialamatkan kepada Joseph, Maria Theresia menulis: "Apa, tanpa agama yang dominan? Toleransi, keacuhan, adalah cara-cara yang paling tepat untuk merusak segalanya... Apakah ada batasan lain? Tidak ada. Tidak ada tempat menggantung ataupun roda hukuman... Aku berbicara secara politik, bukan sebagai seorang Kristen. Agama sangatlah penting dan berfaedah. Apakah kamu akan mengizinkan semua orang bertindak sesuai dengan khayalannya? Jika tidak ada agama yang ditetapkan, tidak ada kepatuhan kepada Gereja, mau ke mana kita? Hukum kekuatan akan ditegakkan." Lihat Crankshaw 1970, hlm. 302
  8. ^ Perlu waktu paling tidak seminggu agar bercak variola dapat muncul di sekujur tubuh orang yang tertular. Bercak baru muncul dua hari setelah Maria Josepha berziarah ke Kaisergruft, sehingga sang Adipati Wanita Agung kemungkinan sudah tertular sebelum ia mendatangi makam tersebut. Lihat Hopkins 2002, hlm. 64
  9. ^ Cucu-cucu sulung perempuan Maria Theresia meliputi Maria Theresia dari Austria (anak Joseph), Maria Theresia dari Toscana (anak Leopold), Maria Theresia dari Napoli dan Sisilia (anak Maria Karolina), Maria Theresia dari Austria-Este (anak Ferdinand), dan Marie Thérèse dari Prancis (anak Marie Antoinette).
  10. ^ Dalam bahasa Jerman: Maria Theresia von Gottes Gnaden Heilige Römische Kaiserinwitwe, Königin zu Ungarn, Böhmen, Dalmatien, Kroatien, Slavonien, Gallizien, Lodomerien, usw., Erzherzogin zu Österreich, Herzogin zu Burgund, zu Steyer, zu Kärnten und zu Crain, Großfürstin zu Siebenbürgen, Markgräfin zu Mähren, Herzogin zu Braband, zu Limburg, zu Luxemburg und zu Geldern, zu Württemberg, zu Ober- und Nieder-Schlesien, zu Milan, zu Mantua, zu Parma, zu Piacenza, zu Guastala, zu Auschwitz und Zator, Fürstin zu Schwaben, gefürstete Gräfin zu Habsburg, zu Flandern, zu Tirol, zu Hennegau, zu Kyburg, zu Görz und zu Gradisca, Markgräfin des Heiligen Römischen Reiches, zu Burgau, zu Ober- und Nieder-Lausitz, Gräfin zu Namur, Frau auf der Windischen Mark und zu Mecheln, Herzoginwitwe zu Lothringen und Baar, Großherzoginwitwe zu Toskana

Rujukan

  1. ^ Goldsmith 1936, hlm. 17.
  2. ^ Morris 1937, hlm. 21.
  3. ^ Mahan 1932, hlm. 6.
  4. ^ a b Mahan 1932, hlm. 12.
  5. ^ a b Ingrao 2000, hlm. 129.
  6. ^ Crankshaw 1970, hlm. 24.
  7. ^ Encyclopædia Britannica 2014.
  8. ^ Ingrao 2000, hlm. 128.
  9. ^ Mahan 1932, hlm. 23.
  10. ^ Mahan 1932, hlm. 228.
  11. ^ Crankshaw 1970, hlm. 19-21.
  12. ^ Mahan 1932, hlm. 21-2.
  13. ^ Morris 1937, hlm. 28.
  14. ^ a b c Browning 1994, hlm. 37.
  15. ^ Mahan 1932, hlm. 24-5.
  16. ^ Crankshaw 1970, hlm. 22.
  17. ^ a b Mahan 1932, hlm. 27.
  18. ^ Mahan 1932, hlm. 26.
  19. ^ Morris 1937, hlm. 25-6.
  20. ^ Mahan 1932, hlm. 37.
  21. ^ Crankshaw 1970, hlm. 25.
  22. ^ Mahan 1932, hlm. 38.
  23. ^ Mahan 1932, hlm. 261.
  24. ^ Goldsmith 1936, hlm. 55.
  25. ^ Mahan 1932, hlm. 39.
  26. ^ Mahan 1932, hlm. 261-2.
  27. ^ Mahan 1932, hlm. 262-3.
  28. ^ Crankshaw 1970, hlm. 26.
  29. ^ Crankshaw 1970, hlm. 25-6.
  30. ^ Roider 1972.
  31. ^ a b Spielman 1993, hlm. 207.
  32. ^ a b Vocelka 2009, hlm. 154.
  33. ^ Crankshaw 1970, hlm. 3.
  34. ^ a b Morris 1937, hlm. 47.
  35. ^ Duffy 1977, hlm. 145-6.
  36. ^ Beales 2005, hlm. 190.
  37. ^ Beales 2005, hlm. 182-3.
  38. ^ Beales 2005, hlm. 189.
  39. ^ Roider 1973, hlm. 8.
  40. ^ Browning 1994, hlm. 38.
  41. ^ Crankshaw 1970, hlm. 43.
  42. ^ Browning 1994, hlm. 43.
  43. ^ Browning 1994, hlm. 42, 44.
  44. ^ a b Holborn 1982, hlm. 218.
  45. ^ Browning 1994, hlm. 44.
  46. ^ Browning 1994, hlm. 52-3.
  47. ^ Crankshaw 1970, hlm. 56.
  48. ^ Crankshaw 1970, hlm. 57.
  49. ^ Crankshaw 1970, hlm. 58.
  50. ^ Browning 1994, hlm. 66.
  51. ^ Yonan 2003, hlm. 118.
  52. ^ Crankshaw 1970, hlm. 75.
  53. ^ Crankshaw 1970, hlm. 77.
  54. ^ Mahan 1932, hlm. 121.
  55. ^ a b c Mahan 1932, hlm. 122.
  56. ^ Morris 1937, hlm. 74.
  57. ^ Browning 1994, hlm. 65.
  58. ^ Duffy 1977, hlm. 151.
  59. ^ Browning 1994, hlm. 79.
  60. ^ Beller 2006, hlm. 86.
  61. ^ Browning 1994, hlm. 88.
  62. ^ Browning 1994, hlm. 92.
  63. ^ Crankshaw 1970, hlm. 93.
  64. ^ Browning 1994, hlm. 114.
  65. ^ Crankshaw 1970, hlm. 96-7.
  66. ^ Crankshaw 1970, hlm. 97.
  67. ^ Crankshaw 1970, hlm. 99.
  68. ^ Crankshaw 1970, hlm. 99-100.
  69. ^ Mitford 1970, hlm. 158.
  70. ^ Crankshaw 1970, hlm. 238.
  71. ^ Berenger 2014, hlm. 80-2.
  72. ^ a b Berenger 2014, hlm. 82.
  73. ^ Crankshaw 1970, hlm. 240.
  74. ^ a b c Berenger 2014, hlm. 83.
  75. ^ Crankshaw 1970, hlm. 242.
  76. ^ Berenger 2014, hlm. 84.
  77. ^ Beales 2005, hlm. 69.
  78. ^ Mahan 1932, hlm. 251.
  79. ^ Kann 1980, hlm. 187.
  80. ^ Holborn 1982, hlm. 223.
  81. ^ Himka 1999, hlm. 5.
  82. ^ Holborn 1982, hlm. 222.
  83. ^ Mahan 1932, hlm. 253.
  84. ^ a b Beales 2005, hlm. 14.
  85. ^ Crankshaw 1970, hlm. 313.
  86. ^ a b c Beller 2006, hlm. 87.
  87. ^ Mahan 1932, hlm. 254.
  88. ^ Kann 1980, hlm. 189-90.
  89. ^ a b Vocelka 2000, hlm. 201.
  90. ^ Patai 1996, hlm. 203.
  91. ^ Penslar 2001, hlm. 32–33.
  92. ^ a b c Byrne 1997, hlm. 38.
  93. ^ Crankshaw 1970, hlm. 192.
  94. ^ a b Beller 2006, hlm. 88.
  95. ^ Berenger 2014, hlm. 86.
  96. ^ a b Beller 2006, hlm. 89.
  97. ^ a b Berenger 2014, hlm. 85.
  98. ^ Holborn 1982, hlm. 221-2.
  99. ^ Crankshaw 1970, hlm. 195.
  100. ^ Crankshaw 1970, hlm. 196.
  101. ^ Beller 2006, hlm. 90.
  102. ^ Vocelka 2009, hlm. 160.
  103. ^ Crankshaw 1970, hlm. 310.
  104. ^ Hopkins 2002, hlm. 64–5.
  105. ^ Crankshaw 1970, hlm. 309.
  106. ^ Vocelka 2009, hlm. 157-158.
  107. ^ Vocelka 2009, hlm. 158.
  108. ^ Brandstätter 1986, hlm. 163.
  109. ^ a b Krämer 2017.
  110. ^ Goldsmith 1936, hlm. 167-8.
  111. ^ Mahan 1932, hlm. 242.
  112. ^ Kann 1980, hlm. 179.
  113. ^ Mahan 1932, hlm. 230.
  114. ^ a b c Vocelka 2000, hlm. 200.
  115. ^ a b c Beller 2006, hlm. 92.
  116. ^ a b Crankshaw 1970, hlm. 308.
  117. ^ Beller 2006, hlm. 91.
  118. ^ a b Goldsmith 1936, hlm. 138.
  119. ^ Ingrao 2000, hlm. 188.
  120. ^ Beller 2006, hlm. 93.
  121. ^ Encyclopædia Britannica 1998.
  122. ^ Yonan 2011, hlm. 143.
  123. ^ Schloss Schönbrunn.
  124. ^ AEIOU Encyclopedia.
  125. ^ Yonan 2003, hlm. 116-7.
  126. ^ Yonan 2003, hlm. 112.
  127. ^ Crankshaw 1970, hlm. 267.
  128. ^ Beales 2005, hlm. 194.
  129. ^ Beales 2005, hlm. 192.
  130. ^ Crankshaw 1970, hlm. 268, 271.
  131. ^ Kann 1980, hlm. 157.
  132. ^ Encyclopædia Britannica 2019.
  133. ^ Beales 2005, hlm. 182.
  134. ^ a b Beales 2005, hlm. 183.
  135. ^ Beales 2005, hlm. 185.
  136. ^ Ingrao 2000, hlm. 194.
  137. ^ Crankshaw 1970, hlm. 285.
  138. ^ a b Ingrao 2000, hlm. 195.
  139. ^ a b Beller 2006, hlm. 94.
  140. ^ a b Ingrao 2000, hlm. 196.
  141. ^ Mahan 1932, hlm. 334.
  142. ^ Crankshaw 1970, hlm. 336–338.
  143. ^ Goldsmith 1936, hlm. 272.
  144. ^ Mitford 1970, hlm. 287.
  145. ^ Ingrao 2000, hlm. 197.
  146. ^ Browning 1994, hlm. 67.
  147. ^ Yonan 2011, hlm. 3.
  148. ^ Vocelka 2009, hlm. 154-155.
  149. ^ Vocelka 2009, hlm. 156.
  150. ^ Vocelka 2000, hlm. 202.
  151. ^ Mahan 1932, hlm. 335.
  152. ^ Mahan 1932, hlm. 266–271, 313.
  153. ^ Mahan 1932, hlm. 22.
  154. ^ Mahan 1932, hlm. 271.
  155. ^ a b c d Beales 1987, hlm. 194.
  156. ^ Crankshaw 1970, hlm. 273.
  157. ^ Hopkins 2002, hlm. 64.
  158. ^ Roider 1973, hlm. 1.

Daftar pustaka

Buku

Sumber daring