Jesuit Refugee Service

JRS (Jesuit Refugee Service) (Pelayanan Jesuit untuk para pengungsi) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional milik Ordo Serikat Yesus yang berkantor pusat di Roma, Italia. Misi JRS adalah menemani, melayani, dan membela hak-hak para pengungsi dan orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya. Selama berkarya, JRS telah menarik banyak orang untuk bekerja dengan pengungsi selama beberapa waktu. Roh dan tradisi yang menghidupkan komitmen ini harus selalu ditularkan.

Sejarah JRS adalah sejarah dan pengalaman para pengungsi. Penderitaan para manusia perahu Asia telah menyentuh hati Romo Jenderal Yesuit terdahulu, Rm. Pedro Arrupe, pada tahun 1980 untuk membantu para pengungsi.

“Tersentak dan kaget menyaksikan penderitaan ribuan manusia perahu dan pengungsi, saya merasa bahwa ini merupakan tugas saya untuk mengirimkan berita kepada 20 pembesar Serikat Jesus di seluruh dunia. Saya mensharingkan perasaan saya, dan meminta pendapat mereka tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu pada situasi tragis seperti. (Surat untuk seluruh Serikat Yesus, 1980)

Tanggapan dari Serikat Yesus begitu cepat dari yang diperkirakan. Segera, Rm. Pedro Arrupe kemudian memanggil Pater Michael Campbell-Johnston, SJ dan mereka memikirkan bentuk tanggapan yang lebih terorganisir terhadap masalah para pengungsi di seluruh dunia.

Pada tanggal 14 Agustus 1980, Romo Pedro Arrupe menerbitkan surat untuk seluruh Serikat Yesus, surat yang mendirikan Jesuit Refugee Service secara resmi. Pada akhir surat itu Pater Pedro Arrupe menulis:

“Saya berharap Anda sekalian menerima isi surat ini dan menjawab kebutuhannya dalam semangat siap sedia. Santo Ignasius mengajarkan kita untuk pergi ke mana pun ke tempat yang paling membutuhkan demi pelayanan yang lebih besar kepada Allah. Kebutuhan spiritual dan material sekitar 16 juta pengungsi di seluruh dunia mungkin akan lebih besar lagi. Tuhan memanggil kita melalui orang-orang tidak berdaya ini. Kita selayaknya memperhatikan kesempatan untuk membantu mereka sebagai privilese yang nantinya akan membawa berkah melimpah kepada kita sekalian dan serikat kita.”

Sejak permintaan ini 20 tahun yang lalu, JRS telah tumbuh menjadi pelayanan mendunia, dengan aktivitas di 50 negara dan diimplementasikan oleh sekitar 500 personel inti. JRS menjaring sahabat-sahabat untuk bergabung dalam misinya untuk menemani, melayani dan membela orang-orang yang terpaksa pergi meninggalkan tempatnya. Seperti refleksi kelompok JRS tahun 1985, kami percaya bahwa panggilan ini bukan untuk kita sendiri.

Karya JRS di Indonesia sunting

Jesuit Refugeee Service Indonesia mulai berkarya di Pulau Galang pada saat pengungsi Vietnam datang dengan menaiki kapal kecil. Beberapa Jesuit Indonesia ditugaskan untuk menemani, melayani, dan membela hak-hak para pengungsi di Pulau Galang. Beberapa di antara mereka adalah: P. I. Warnabinarja SJ, P. V. Sugondo SJ, P. A. Padmaseputra SJ. Setelah pemerintah Indonesia menutup Pulau Galang, JRS Indonesia juga selesai tugasnya.

Bulan Maret 1999 Pater Provincial Serikat Jesus menunjuk P. Hendra Sutedja SJ sebagai direktur nasional JRS Indonesia dan P. Karim Albrecht SJ sebagai direktur JRS Timor Timur. JRS kembali berkarya di Indonesia untuk menanggapi masalah para pengungsi yang mulai muncul di Indonesia. Kantor pusat JRS ada di Jakarta bersama dengan kantor Mitra Inigo. Segera JRS Indonesia melakukan banyak kontak dan membantu para pengungsi Aceh, Maluku, Kalimantan, dan Timor Timur.

Pada saat hasil jajak pendapat di Timor Timur diumumkan, begitu banyak orang Timor Timur terpaksa melarikan diri karena situasi yang tidak aman. JRS Indonesia kemudian mendirikan JRS Timor Barat pada tanggal 11 September 1999 untuk melayani para pengungsi dari Timor Timur. Fr. Andre Sugijopranoto SJ ditunjuk sebagai direktur JRS Timor Barat dan berkedudukan di Kupang, NTT. Pada hari yang sama direktur JRS Timor Timur dibunuh di Dili.

Bulan November 1999 P. Hendra Sutedja SJ mengundurkan diri sebagai direktur nasional JRS Indonesia dan untuk sementara Fr. Andre Sugijopranoto SJ ditunjuk sebagai direktur nasional JRS Indonesia.

Bulan Maret 2000 JRS mendirikan sebuah kantor lagi di Ambon, Maluku. Keberadaan JRS di Ambon sebenarnya sudah dimulai semenjak akhir tahun 1999. Pada waktu itu Ibu Margaretha Soetrisno adalah seorang relawan aktif JRS di Jakarta. Ia kemudian beberapa kali pergi ke Ambon untuk menjalin kontak dan membantu para pengungsi.

Awal bulan Oktober 2000 P. Y. Edi Mulyono SJ menggantikan P. Andre Sugijopranoto SJ sebagai direktur nasional JRS Indonesia.

Saat ini ada 3 karya JRS di Indonesia: di Timor Barat, Maluku, dan Sumatra.

Karya Timor Barat sunting

Menjelang jajak pendapat, JRS Indonesia secara resmi didirikan di Timor Timur. Saat terjadi perang di Timor Lorosae setelah pengumuman jejak pendapat, JRS Internasional memutuskan untuk mendirikan JRS West Timor pada tanggal 11 September 1999 dengan Frater Andre Sugijopranoto SJ sebagai Direktur Lapangan dan Hendra Sutedja SJ sebagai Direktur Nasional. Mgr. Petrus Turang sebagai uskup Keuskupan Agung Kupang menerima baik kehadiran JRS dan memasukkan JRS dalam "Team Pelayanan Pengungsi Keuskupan Agung Kupang". Berhubung Romo Hendra Sutedja SJ di bulan November 1999 mengundurkan diri sebagai Direktur Nasional, maka Frater Andre Sugijopranoto diangkat untuk menjabat sebagai Direktur Nasional.

Secara umum kondisi para pengungsi Timor Timur yang menjadi perhatian JRS adalah mereka tinggal di tangsi pengungsi bersama para eks-milisi. Para pengungsi ini banyak yang ingin kembali ke Timor Timur, tetapi banyak dari mereka mereka ini ditakut-takuti, bahkan diintimidasi oleh para eks-milisi. Karena tinggal terpencil di tangsi, maka informasi sesungguhnya yang benar tentang situasi Timor Timur setelah jajak pendapat tidak diketahui oleh para pengungsi. Yang mereka ketahui hanya cerita dari mulut para eks-milisi tentang keadaan tidak aman Timor Timur. JRS Timor Barat sekarang ini berkarya di tiga tempat.

  • Kupang: Kupang sebagai pintu gerbang NTT menjadi tempat sentral karena semua orang dari Indonesia yang akan ke Atambua dan Dili harus melewati Kupang. Pada awalnya, JRS diberi beberapa ruangan di Sentrum Mahasiswa oleh Uskup. Di Kupang para pengungsi dulu terkonsentrasi di Gereja-gereja, GOR, dan kamp-kamp di Tuapukan, Noelbaki, Naibonat, serta di rumah-rumah penduduk (mengkontrak ataupun menumpang di tempat saudara). Diperkirakan sekarang ini masih ada 20.000-an pengungsi yang tetap ada di Kupang dan sekitarnya. Bersama UNHCR, IOM, dan LSM lainnya, JRS saling bekerja sama dalam menangani para pengungsi. Pelayanan yang dibuat adalah membantu repatriasi, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan anak-anak, kursus, pemberian makanan tambahan, pemberdayaan, pemberian informasi dan mendorong proses rekonsiliasi, serta pelayanan surat menyurat.
  • Atambua: Konsentrasi pengungsi terbesar berada di Atambua, di ujung utara perbatasan NTT-Timor Timur. Diperkirakan ada kurang lebih 50.000 orang pengungsi yang masih tertahan di Atambua. JRS masuk ke kamp-kamp di sekitar Atambua untuk memberikan keterangan tentang situasi Timor Timur dan mengajak para pengungsi untuk segera pulang. JRS juga memberikan kursus-kursus ketrampilan, memberikan obat dan makanan tambahan. Di samping itu juga memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan anak dengan merekrut pengungsi sebagai guru, sebagaimana dibuat di JRS Kupang. Awalnya bekerjasama dengan UNHCR dan IOM dalam memulangkan para pengungsi. Sekarang JRS bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan TNI.
  • Betun: Betun adalah kota kecil di ujung selatan perbatasan NTT-Timor Timur. Pengungsi di Betun berasal dari Ainaro, Same, Suai. Pelayanan yang dibuat di sana adalah pemulangan pengungsi, reuni keluarga, mendorong proses rekonsiliasi, surat-menyurat, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemberdayaan dan bantuan darurat. Walaupun tidak ada UNHCR, JRS terus membantu orang yang mau pulang ke Timor Timur di samping memberi pelayanan di kamp-kamp.

Pengurus dan relawan JRS berganti-ganti yang terdiri dari para religius (yang pernah ikut terlibat adalah RGS, CB, PI, FCJ, OSF, PBHK, SSpS) maupun para kaum awam yang umumnya masih muda-muda, dari UGM, USD, UNS, UNAIR, UAJY, maupun orang-orang dari Timor NTT sendiri. Kerjasama dengan banyak badan PBB dan LSM Internasional yang lain menuntut bahwa relawan JRS mempunyai kemampuan berbahasa Inggris, agar lebih efektif bekerja untuk para pengungsi.

Ketika tanggal 6 September 2000 terjadi pembunuhan tiga staff UNHCR, JRS Atambua dan Betun terpaksa ikut mengungsi ke Timor Timur, karena ada isu bahwa semua LSM akan disweeping oleh milisi. JRS Kupang tetap melakukan pelayanan. Tidak sampai satu bulan kemudian, JRS sudah memasuki kamp-kamp pengungsi di Atambua dan Betun lagi ketika semua LSM internasional dan lokal maupun lembaga PBB meninggalkan para pengungsi. Setelah pembunuhan itu, Timor Barat dalam status siaga lima, amat tidak aman untuk PBB bekerja di sana. Maka JRS sendirian memulai bekerja dengan pengungsi.

Kupang menjadi pusat JRS Indonesia sementara ini, dengan pertimbangan bahwa kantor pusat harus dekat dengan pengungsi dan membantu penuntasan masalah pengungsi. Dengan demikian, dari Kupang ini aktivitas JRS di tempat-tempat lain digerakkan: JRS Atambua, Betun, Maluku, Aceh, Medan. Di JRS Betun ada empat orang pengurus, di Atambua ada enam orang, dan di Kupang (di luar pengurus Nasional), ada tiga orang.

Karya Maluku sunting

Sejak tahun 1999, relawan JRS, Ibu Margaretha VE dari Jakarta bekerja sama dengan LSM lokal di Ambon untuk melayani pengungsi dan memberdayakan masyarakat setempat. Dia aktif bekerja dengan LSM lain untuk mengirim barang-barang ke Ambon. Di Jakarta pun dia juga terlibat dalam negosiasi dengan pihak berwenang untuk membela hak-hak para pengungsi.

JRS memutuskan untuk membuka kantor di Ambon pada akhir Maret 2000. JRS menyewa rumah sebagai kantor, dekat perbatasan masyarakat muslim dan kristen. Memilih tempat itu karena menginginkan adanya suatu kantor yang dapat didatangi orang kristen maupun muslim. JRS membuat proyek dalam kerjasama dengan banyak LSM lokal dan Gereja lokal. Yulius Setiarto ditunjuk sebagai koordinator Proyek dan berbasis di Ambon. Beberapa relawan dan penduduk lokal bergabung dalam tim pada bulan Mei 2000.

Dengan kerja awal Ibu Margareta, JRS dapat mudah memasuki tempat para pengungsi di Ambon, baik kristen maupun muslim. JRS kemudian mengunjungi pulau lain seperti Seram dan Buru untuk melihat kemungkinan bekerja di sana.

Team JRS kemudian dibagi dalam dua kelompok yang melayani tempat berbeda. Kelompok pertama melayani pengungsi di Halong dan Arema. Untuk mencapai tempat itu harus menggunakan speedboat setiap hari. Tidak mungkin pergi dari Ambon ke tempat lain melalui darat karena tidak aman. Kelompok kedua melayani pengungsi di Soya, Hatalai, Kayu Putih, Latuhalat, Benteng, dan beberapa tempat di Ambon. Banyak kali relawan JRS tidak dapat mencapai beberapa lokasi karena banyak barikade di jalan.

Sebelum JRS dievakuasi dari Ambon, JRS telah menyiapkan pelayanan kesehatan bergerak dalam kerjasama dengan RS Hative. JRS menyediakan obat dan relawan sementara RS Hative meyediakan perawat dan mobil. JRS juga bekerjasama dengan dokter di Puskesmas di wilayah Piru, Seram Barat untuk melayani kesehatan bagi orang muslim dan kristen. Di Leksula, Buru Selatan JRS memberi obat pada LSM lokal, juga pakaian, alat rumah tangga, terpal dan susu untuk para pengungsi. Sebagian obat berasal dari donatur di Jakarta, sisanya dibeli di Ambon.

JRS membantu kebutuhan anak-anak di Maluku. Dari kontak dengan mereka di beberapa tempat penampungan, diketahui bahwa banyak anak yang tidak dapat bersekolah. JRS mulai membuka tempat tinggal agar sekelompok anak dapat belajar bersama. Bersama banyak LSM lokal mulai mengatur kurikulum dan mencoba membuat sistem. Di Leksula dilakukan pengumpulan data dan merekrut lima guru dari Buru untuk terlibat dalam program JRS.

Bersama dengan pengungsi sendiri, JRS menggali pekerjaan alternatif yang dapat membantu mereka. Di Latuhalat, bekerjasama dengan pemimpin tradisional untuk menggunakan tanah kosong agar pengungsi dapat menanam sayur. Di Soya, pengungsi berinisiatif mengolah tanah untuk sayur dan beternak. JRS menyediakan benih, pupuk dan alat untuk pengungsi. Di Halong Indah, dibentuk satu kelompok penjual dan tiga kelompok pembuat sagu.

JRS juga bekerja dengan LSM lokal untuk menyediakan barang kebutuhan pokok seperti pakaian, susu, mi instan, buku dll untuk pengungsi. Ada beberapa LSM yang mengirim bantuan tetapi JRS tidak mempunyai cukup banyak relawan untuk membagi barang itu. LSM lokal sangat antusias membantu pengungsi tetapi biasanya mereka tidak punya cukup dana untuk menyewa mobil yang dapat membawa barang itu ke tempat pengungsi.

JRS juga memberi bantuan darurat dengan menyediakan atap daun di Arema karena bangunan yang ditempati tidak mempunyai atap. JRS mengevakuasi pengungsi dari tempat lama karena alasan keamanan, kemudian menempati tempat baru.

JRS juga sering menemani para wartawan dan pekerja kemanusiaan dari Jakarta atau kota lain untuk pergi ke tempat pengungsi dan kantor LSM lokal, baik kristen maupun muslim.

Pada akhir Juni 2000, Direktur nasional memutuskan menarik semua staff JRS dari Maluku karena alasan keamanan. Pada waktu itu, setiap hari ada orang yang ditembak penembak gelap, bahkan di depan kantor JRS. Pertempuran terjadi tiap hari dengan menggunakan senjata otomatis. Pemerintah kemudian menyatakan status darurat sipil di Ambon dan merencanakan untuk menutup transportasi dari dan menuju Ambon. Semua staff berpindah ke Timor Barat dan bekerja di sana.

Di Kupang ada sekitar 150 pengungsi dari Ambon. Beberapa staff JRS kemudian melayani pengungsi ini dengan menyediakan obat, makanan, beasiswa dll. Juga menyediakan transportasi ketika beberapa pengungsi memutuskan kembali ke Ambon.

Pada bulan Januari 2001 JRS memutuskan kembali ke Maluku, setelah mempertimbangkan bahwa situasi cukup aman untuk bekerja kembali. Banyak pengungsi menyambut ketika tim JRS tiba. JRS mulai bekerja dengan mengunjungi beberapa tempat dulu seperti: kota Ambon (Gedung Serba Guna, Crisis Center, Soya]], Hatalai, gereja Stella Maris, gereja Hati Kudus, Mess Kowad, Latuhalat, Perigi Lima, SLB, Gunung Lama, Geofisika, Passo, dll ), Tual di Maluku Tenggara dan beberapa tempat di Pulau Seram.

JRS menghubingi LSM lokal muslim di Ambon dan dapat bekerja bersama tanpa banyak kesulitan. Dari banyak kontak dengan kelompok kristen, JRS juga dapat bekerja bersama dengan mereka. Dengan komunikasi ini, JRS dapat mengunjungi pengungsi baik muslim maupun kristen. Aktivitas Laskar Jihad dan termasuk tekanan terhadap relawan muslim membuat proses saling mengunjungi tidak dapat dilanjutkan. JRS masih menghubungi dan membantu Tim Relawan Kemanusiaan Muslim, tetapi tidak dapat langsung melayani pengungsi muslim. JRS di Ambon terutama menangani anak-anak korban perang agar mereka lebih memikirkan dan menyiapkan masa depannya daripada harus ikut berperang. Selain itu juga melakukan pemberdayaan terhadap para pengungsi dan memberikan bantuan darurat.

Sejak Desember 2001 JRS Maluku memasuki Pulau Buru untuk merespon kebutuhan informasi para pengungsi Buru di Ambon mengenai tempat asal mereka, sekaligus melayani IDPs yang ada di P. Buru, yang tinggal di gunung-gunung sehingga tidak ada LSM yang berani mendampingi dan melayani di sana. Karena kebutuhan yang mendesak, maka JRS memutuskan mengirim dua staff JRS untuk mendampingi dan melayani pengungsi di Buru. Sejak bulan Maret 2002 JRS mengutus satu staff untuk tinggal dan melayani para pengungsi di Seram bersama para relawan TIRAM (Tim Relawan Kemanusiaan Masohi) yang selama ini menyalurkan bantuan dari JRS. Tujuan kehadiran relawan JRS di sana adalah untuk efektifnya pelayanan pengungsi di P. Seram dan mendampingi LSM lokal agar menjadi mandiri.

Karya Sumatra sunting

  • Aceh

Konflik berkepanjangan di Aceh juga menimbulkan banyak korban yang akhirnya terpaksa mengungsi di dalam Aceh atau keluar Aceh. Pengungsi di Aceh punya karakteristik berbeda. Semula mereka dapat mengungsi di tempat-tempat umum dan tempat terbuka seperti masjid, pinggir jalan, atau gedung pemerintah. Lalu banyak dari pengungsi tidak dapat lagi mengungsi seperti itu, karena ada pihak aparat yang tidak suka ada pengungsian, sehingga mereka pun terpaksa menyelamatkan diri ke bukit-bukit maupun desa-desa terpencil yang dianggap aman. Bagi sebagian aparat, pengungsian menunjukkan bahwa situasi tidak aman. Aparat menutupi pengungsian, sehingga terkesan situasi aman. Tetapi teror terhadap masyarakat terus terjadi, situasi tetap belum aman karena rumah-rumah dibakar, pertanian dirusak atau dirampas. Para pemuda dan laki-laki dikejar-kejar dan dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka. Di banyak tempat, tidak ada lagi lelaki atau mahasiswa, karena kebanyakan lari ke kota besar atau bukit.

Para pengungsi seperti itu banyak yang kekurangan makanan, sarana kesehatan dan pendidikan. Sementara LSM-LSM internasional tidak lagi mau bekerja di sana karena alasan keamanan. Dalam situasi ini JRS hadir mendampingi dan membela hak-hak para pengungsi. Pada akhir Juni 2001, JRS melakukan penjajagan sekaligus membentuk tim JRS di Aceh pada awal Juli 2001. Tim JRS memilih pelayanan pertama di Aceh Timur dengan bantuan darurat di bidang kesehatan, pendidikan dan makanan.

JRS Aceh bernama Jroeh Refugee Service (Pelayan Pengungsi yang Baik) yang dijalankan sendiri oleh orang-orang Aceh. Demi alasan keamanan, maka orang Jawa belum mungkin bekerja langsung bersama tim ini.

  • Medan

JRS Medan dirintis oleh supervisor JRS Aceh, A. Dedi Handoko SH dalam pendampingan JRS Indonesia, sejak bulan Juli 2001. Selanjutnya dibantu relawan, Charles Tunggul Ekson Butar Butar, mahasiswa Unika Santo Thomas, yang kemudian menjadi staff JRS sampai bulan April 2002. Dia mengorganisir para pengungsi dalam wadah ARSINS (Aceh Refugee Service in North Sumatra). Ternyata ARSINS berhasil dalam menuntut pemerintah agar memberikan hak-hak bagi pengungsi seperti makanan, kesehatan dan pendidikan, walaupun tidak luput dari korupsi dengan mengutip uang dari pengungsi. Setelah hubungan dengan ARSINS berakhir, JRS mulai melayani pengungsi secara langsung.

Ada banyak sekali pengungsi dari Aceh, yang kebanyakan berasal dari Jawa, yang bertransmigrasi ke Aceh. Daerah yang relatif sangat rawan konflik di Aceh adalah Takengon (Kabupaten Aceh Tengah) dan Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat). Ke-dua daerah itu adalah daerah yang paling banyak terdapat komunitas pengungsi. Kebanyakan pengungsi berasal dari etnis Jawa (prosentase etnis ini mendekati 100 % dari total pengungsi yang ada di 2 daerah tersebut).

Dari kenyataan seperti itu, kebanyakan pengungsi memilih untuk keluar dari Provinsi Aceh, selanjutnya bergerak menuju Provinsi Sumatera Utara sebagai tempat tujuan luar Aceh terdekat.

Banyak kelompok pengungsi terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka, tapi tidak tahu kemana harus pergi. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar atau menyewa kendaraan yang memungkinkan mereka bergerak cepat dan jauh dari daerah konflik.

Pada awal bulan Juli 2001 terjadi peristiwa di Takengon-Lhokseumawe (Aceh Utara). Sekitar 500 orang pengungsi bergerak mengungsi dari Takengon. Tanpa tahu arah, ternyata perjalanan kaki mereka, mengantar mereka menuju ke daerah konflik yang lain, yaitu Lhokseumawe. Beberapa keluarga harus rela meninggalkan mayat keluarga mereka di tengah jalan yang meninggal karena tidak mampu melakukan perjalanan yang cukup berat. Tercatat ada 12 (dua belas) orang di antara mereka meninggal dunia dalam perjalanan di tengah hutan menuju ke tempat yang mereka sendiri tidak tahu dimana.

Pranala luar sunting