Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas

bentuk bahasa Sunda yang telah punah
(Dialihkan dari Bahasa Sunda Banyumas)

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas adalah salah satu jenis bahasa Sunda yang telah punah dan pernah dituturkan oleh masyarakat setempat.[3] Bukti penggunaannya dapat dilacak dari toponimi yang terdapat pada nama-nama tempat yang merefleksikan bahasa Sunda dan hingga sekarang masih digunakan di wilayah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.[4] Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas memiliki beberapa keunikannya tersendiri, seperti penggunaan beberapa kata arkais yang sudah tidak lazim digunakan dalam bahasa Sunda standar, contohnya pineuh (tidur) dan téoh (bawah).[5]

Bahasa Sunda Banyumas
Badéolan
Pengucapanbadɛjɔlan
WilayahKabupaten Banyumas
Kepunahan1980-an
Kode bahasa
ISO 639-3
GlottologTidak ada
QIDQ56197452
Status konservasi
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Sunda Banyumas diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]
Lokasi penuturan
Situasi linguistik di wilayah Keresidenan Banyumas pada tahun 1882 dengan legenda sebagai berikut.
Area penutur bahasa Sunda
Area peralihan atau percampuran bahasa Sunda dengan bahasa lain
Area bahasa lain
 Portal Bahasa
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B • PW
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Meskipun secara keseluruhan penggunaan bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas dapat dikatakan sudah punah, tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Sobarna, Gunardi, dan Wahya pada tahun 2018, di beberapa daerah seperti Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, beberapa warga di sana dikatakan masih menggunakan bahasa Sunda, meskipun penuturnya sudah sangat menyusut, yaitu sekitar 1-2 orang saja.[6]

Glosa nama tempat berbahasa Sunda di Banyumas sunting

Nama-nama tempat berbahasa Sunda di Kabupaten Banyumas menjadi bukti sisa-sisa atau peninggalan budaya Sunda di Jawa Tengah.[7][8] Nama-nama tersebut memiliki aturan, kaidah, atau sistem tertentu yang tidak dibuat secara sembarangan.[9] Beberapa nama tempat tersebut menggunakan awalan "ci" yang merupakan nama umum toponim ciri khas Sunda yang berkaitan erat dengan air dan sungai.[10][11][12] Penelitian yang dilakukan oleh Sobarna, Gunardi & Wahya (2018) juga menyertakan etimologi bahasa Sunda untuk nama-nama tempat di Kabupaten Banyumas serta kisah tentang peristiwa sejarah/budaya dibalik penamaan tersebut.[9][13] Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan beberapa tempat yang telah berubah namanya.[14]

Cilongok sunting

Cilongok adalah sebuah kecamatan yang memiliki 20 desa, yaitu Batuanten, Cikidang, Cilongok, Cipete, Gununglurah, Jatisaba, Kalisari, Karanglo, Karangtengah, Kasegeran, Langgongsari, Pageraji, Panembangan, Panusupan, Pejogol, Pernasidi, Rancamaya, Sambirata, Sokawera, dan Sudimara.[15][16] Beberapa nama desa yang berbahasa Sunda tersebut di antaranya adalah:

Cikidang
ci 'air' dan kidang 'kijang'

Cilongok
ci 'air' dan longok 'menengok'

Cipete
ci 'air' dan peté 'Parkia speciosa'

Rancamaya
ranca 'rawa' dan maya 'bayangan'

Kebudayaan yang berkembang di kecamatan Cilongok memang sudah dari lama dipengaruhi oleh budaya Sunda dan beberapa budaya lainnya.[18][19][20][21] Sejarah kependudukan Kecamatan Cilongok sendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah kependudukan Banyumas yang dipercaya berasal dari migrasi penduduk pada abad ke-3 SM yang dilakukan oleh kelompok imigran dari Kerajaan Kutai Martapura.[22]

Cingebul sunting

Cingebul adalah nama salah satu desa yang ada di Kecamatan Lumbir. Cingebul berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda yaitu, ci 'air' dan ngebul 'berasap'. Konon, menurut penuturan masyarakat yang tinggal di sana, pada masa Perang Diponegoro, kira-kira pada tahun 1829, pasukan Diponegoro yang kala itu mulai terpukul mundur oleh pasukan Belanda, ada dua orang prajurit yang terpisah dari pasukan utama, kedua prajurit tersebut adalah Naya Pati dan Wirantaka, mereka terpisah dengan berjalan tanpa arah disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan wilayah Banyumas. Setelah beberapa waktu mereka terus melarikan diri, tibalah mereka di antara dua buah bukit di wilayah bagian selatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap. Untuk beberapa saat mereka bersembunyi di tempat tersebut hingga keadaan dirasa aman kembali. Setelah dirasa aman, mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di sana. Kedua prajurit tersebut bersama dengan salah satu keluarga prajurit Pajajaran yang bernama Suriadipota, mendirikan sebuah padepokan untuk menyebarkan agama Islam.[23]

Pada suatu waktu, tepatnya sebelum matahari terbit, yang biasanya merupakan waktu bagi para santri di padepokan melaksanakan salat subuh dan pengajian bersama, yang juga merupakan waktu untuk bercengkerama bersama sambil membakar ubi kayu di pinggir sungai, tiba-tiba dari atas air di hulu sungai, keluarlah asap yang kemudian dilihat oleh Suriadipota, karena merasa heran, ia menunjuk ke arah sungai tersebut sambil berteriak 'oe, cai ngebul..., cai ngebul..', teriakan Suriadipota tersebut didengar oleh seorang santri yang kemudian berlari ke padepokan untuk melaporkan kejadian tersebut ke Wirantaka agar ia turut melihat langsung kejadian tersebut. Santri tersebut melapor dengan berkata, "aya cai ngebul... cai ngebul... ." Setelah melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, Wirantaka kemudian menyatakan bahwa daerah tersebut bernama Cingebul. Hingga kini, beberapa warga masih ada yang beberapa kali melihat asap yang muncul dari sungai, menurut pengakuan informan di sana.[23]

Dermaji sunting

Dermaji adalah salah satu desa di Kecamatan Lumbir. Menurut cerita-cerita lisan masyarakat di sana, desa ini merupakan salah satu desa yang sudah berusia tua. Desa ini diperkirakan sudah berdiri sejak masa Kerajaan Galuh pada abad ke-6. Karena desa ini masuk ke dalam wilayah Kerajaan Galuh, membuat kehidupan penduduk Desa Dermaji tidak terlepas dari pengaruh budaya Sunda. Pengaruh yang terlihat sangat jelas adalah penggunaan bahasa yang dipakai oleh masyarakat di sana yang menggunakan sebuah varian bahasa Sunda yang secara lokal dikenal sebagai "Bahasa Sunda Dermaji" yang memiliki beberapa kosakata khas yang tidak digunakan dalam bahasa Sunda baku modern (Priangan), tetapi masih memiliki kesamaan dengan bahasa Sunda dialek Banten. Beberapa nama-nama tempat berbahasa Sunda di desa ini meliputi nama kampung dan nama sungai seperti, Ciberewek, Cijurig, Cipancur, Cipeundeuy, Cireang, Citunggul, dan Cukangawi.[24]

Cerita lain menyebutkan, Desa Dermaji sebelum dihuni oleh manusia dulunya adalah sebuah hutan belantara di dalamnya diisi oleh siluman, jin, dan binatang buas. Dari cerita-cerita tersebut juga disebutkan beberapa nama tokoh yang dianggap sebagai leluhur atau orang yang berjasa bagi Desa Dermaji, tokoh-tokoh tersebut di antaranya yaitu, Mbah Damarwulan, Mbah Jayasengara, dan Mbah Panusupan. Mereka disebut-sebut sebagai orang-orang yang mampu mengusir para makhluk halus yang sebelumnya menghuni Desa Dermaji hingga akhirnya desa ini dapat dihuni oleh manusia. Selain ketiga tokoh tersebut, warga Desa Dermaji juga memiliki leluhur lain yang dikenal dengan nama Mbah Darmokusumo, seorang yang digambarkan memiliki totalitas kepasrahan kepada sang ilahi, dan memiliki tingkat kejujuran yang sangat tinggi. Sosok Darmokusumo tersebut sering menjadi kebanggaan masyarakat karena memiliki berbagai keutamaan dalam perilaku. Sosok Darmokusumo pula lah yang sering dikait-kaitkan dengan asal-usul nama Dermaji itu sendiri. Derma berarti memberi, aji berarti sesuatu yang berharga.[25]

Gumelar sunting

Gumelar adalah nama untuk salah satu kecamatan. Gumelar berasal dari kata dalam bahasa Sunda yaitu, gelar 'terlihat dan bukti ada di dunia' yang dibubuhi dengan infiks -um- sebagai pemarkah progresif. Berdasarkan cerita rakyat yang tumbuh subur di wilayah ini, daerah Gumelar dulunya adalah sebuah tempat bagi berkumpulnya orang banyak dengan tujuan untuk mengungsi atau bersembunyi. Oleh karena itu, tempat ini dinamai Gumelar karena dari banyaknya orang yang berkumpul di sana, membuat tempat ini terlihat seperti nu gumelar atau ngampar 'terhampar'.[23]

Konon, di wilayah Gumelar juga dulunya adalah tempat bagi banyaknya binatang buas yang suka memangsa manusia. Di salah satu tempat di sana, acapkali ditemukan seorang penduduk yang terluka atau istilah lokalnya babak, yang disebabkan oleh serangan binatang buas tersebut. Penduduk yang terluka di sana, kemudian oleh penduduk yang lain selalu diboyong ke suatu kampung yang bernama Ciwaras untuk mendapatkan pertolongan. Waras dalam bahasa Sunda berarti sehat/sembuh secara adjektiva. Di Ciwaras, terdapat seseorang yang dianggap memiliki kemampuan lebih untuk menyembuhkan orang-orang yang terluka akibat serangan binatang buas. Jalur antara Ciwaras dan Babakan sekarang dikenal dengan nama kampung Gancang. Gancang dalam bahasa Sunda berarti cepat, atau buru-buru. Jika penduduk yang terluka tadi tidak dapat diselamatkan dan mati, maka mayat-mayat mereka akan disimpan di suatu tempat untuk memudahkan anggota keluarga dari mayat tersebut mencarinya. Biasanya mayat-mayat tersebut hanya ditutupi oleh beberapa helai daun jati atau daun pisang. Jika ada anggota keluarga yang hendak memeriksa mayat-mayat yang ditutupi oleh dedaunan tersebut, maka mereka akan nyingkabkeun atau membuka daun jati atau daun pisang yang menutupi mayat-mayat tersebut. Karena kebiasaan inilah, tempat disimpannya mayat-mayat korban serangan binatang buas tadi disebut sebagai Paningkaban, yang berarti tempat membuka.[26]

Di Gumelar juga ada sebuah desa yang bernama Cionje (berasal dari kata ci + honjé 'Etlingera elatior'). Faktanya, hingga kini di daerah Cionje tersebut memang banyak ditemukan tumbuhan yang dimaksud. Perubahan kata honjé menjadi onjé disebabkan oleh gejala fonologis setempat yang menghilangkan fonem h di awal kata. Di daerah Cionje juga ada sebuah tempat yang bernama Ciuyah (berasal dari kata ci + uyah 'garam'). Dinamai demikian karena di wilayah Ciuyah terdapat sumber air yang mengeluarkan air yang rasanya asin seperti garam. Wilayah Ciuyah sendiri terletak di pinggiran bukit pinus milik Perhutani. Hingga sekarang, ada tradisi Ngasini, yaitu sebuah tradisi memberikan air garam kepada hewan ternak.[24]

Pangadegan sunting

Pangadegan adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Wangon. Pangadegan berasal dari kata dasar dalam bahasa Sunda yaitu, ngadeg 'berdiri' yang direkatkan dengan prefiks pa- dan sufiks -an. Proses morfologis ini menghasilkan sebuah kata baru yang berarti tempat berdiri. Ada sebuah cerita dibalik penamaan tempat ini yang berjudul Sasakala Pangadegan yang merupakan bagian dari rangkaian cerita Raden Kamandaka atau Lutung Kasarung. Menurut data-data yang ada, dalam kisah pengejaran Kamandaka, Raden Kamandaka ketika sedang berdiri (ngadeg) sempat terkejar oleh prajurit-prajurit Kandha Daha. Dari semenjak kisah ini menyebarlah, nama tempat tersebut menjadi dikenal dengan sebutan Pangadegan. Sementara itu, versi lain menyebutkan bahwa Pangadegan berasal dari kata pangudagan yang merupakan kata bahasa Sunda yang berarti untuk mengejar, berasal dari kata udag 'kejar'.[27]

Randegan sunting

Randegan adalah nama salah satu desa yang letaknya tidak terlalu jauh dari Pangadegan, yang sama-sama terletak di Kecamatan Wangon. Randegan berasal dari kata dasar dalam bahasa Sunda yaitu randeg 'berhenti sebentar' yang dibubuhi sufiks -an. Sehingga, randegan bermakna sebagai tempat beristirahat atau tempat yang dijadikan tempat untuk berhenti sebentar. Berdasarkan penuturan lisan dari masyarakat setempat, tempat ini dulunya merupakan tempat beristirahatnya Raden Kamandaka. Masyarakat di sana percaya bahwa dahulu Raden Kamandaka pernah ngarandeg (berhenti sebentar untuk istirahat) dari kejaran para prajuritnya Adipati Kandha Daha yang berniat menangkap dan membunuh Raden Kamandaka. Dari situlah kemudian tempat ini dikenal sebagai Randegan.[7]

Tempat lainnya sunting

Nama sungai sunting

Di bawah ini adalah beberapa nama sungai yang berasal dari bahasa Sunda.[28]

Sungai Cikalong sunting

Sungai Cikalong adalah sungai yang melintasi Desa Cikakak. Sungai ini dinamai demikian karena di sungai tersebut banyak kalong 'kelelawar', menurut informasi dari warga setempat.[28]

Sungai Ciaur sunting

Selain Sungai Cikalong, Sungai Ciaur juga merupakan salah satu sungai yang penamaannya mengacu pada nama hewan. Sungai ini mengalir melintasi Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir. Nama sungai ini berasal dari kata ci + aur atau haur 'nama sejenis burung', sarang dari burung tersebut banyak ditemukan di sepanjang lintasan sungai ini. Sementara itu, versi lain menyebutkan bahwa aur atau haur di sini memiliki arti bambu, yang memang di sepanjang sungai Ciaur ini banyak ditumbuhi oleh haur atau bambu.[28]

Sungai Cikadu sunting

Sungai Cikadu melintasi Desa Cikakak, namanya diambil dari bahasa Sunda untuk durian yaitu kadu, karena di aliran Sungai Cikadu ini banyak ditemukan pohon durian.[28]

Sungai Cipakis sunting

Sungai Cipakis juga melintasi Desa Cikakak, dinamai demikian karena di aliran sungai ini banyak ditemukan tumbuhan pakis atau tumbuhan paku.[28]

Sungai Ciawitali sunting

Sungai Ciawitali terletak di Kecamatan Gumelar, namanya berasal dari ci + awi 'bambu' + tali 'tali'.[28]

Sungai Cipandan sunting

Sungai Cipandan terletak di Kecamatan Lumbir, namanya berasal dari ci + pandan 'tumbuhan yang daunnya seperti daun kelapa, tetapi tidak berlidi dan biasa dijadikan pewangi alami makanan'.[28]

Selain nama-nama sungai berbahasa Sunda yang sudah disebutkan di atas, di Kecamatan Lumbir juga ditemukan nama sebuah sungai yang berasal dari gabungan bahasa Sanskerta dan bahasa Sunda, yaitu Sungai Lopasir. Lo atau juga dikenal sebagai loh merupakan kosakata bahasa Sanskerta yang berarti sungai. Sementara pasir merupakan kosakata bahasa Sunda yang berarti bukit. Sungai ini dinamai demikian karena menurut informasi dari warga setempat, hulu sungai tersebut terletak di salah satu bukit yang ada di Kecamatan Lumbir.[28]

Nama gunung sunting

Gunung Batur adalah salah satu gunung yang terletak di Desa Cirahab, Kecamatan Lumbir. Batur dalam bahasa Sunda berarti teman atau orang lain. Dalam legenda Kamandaka, Gunung ini adalah tempat bagi Raden Kamandaka untuk melakukan pertapaan. Pertapaannya tersebut bermaksud untuk meminta petunjuk bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan wanita pujaannya, yang bernama Ciptarasa. Berdasarkan kisahnya, Raden Kamandaka di gunung ini bertemu dengan seorang kiai yang menemaninya (bahasa Sunda: ngabaturan) bertapa, kiai tersebut lalu menghilang setelah ia memberikan seluruh pakaiannya kepada Raden Kamandaka yang selanjutnya mengubah Raden Kamandaka menjadi seekor lutung setelah ia memakainya. Dari sinilah, kisah legenda Raden Kamandaka atau Lutung Kasarung dimulai.[28]

Nama air terjun sunting

Di bawah ini adalah beberapa nama air terjun (curug) yang berasal dari bahasa Sunda.[29]

Curug Cipendok sunting

Curug Cipendok adalah salah satu air terjun yang terletak lereng Gunung Slamet, tepatnya di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok. Legenda yang menceritakan air terjun ini juga masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro.[29] Pendok sendiri bermakna sebagai cincin warangka keris yang bersinar keemasan.[30]

Curug Gumawang sunting

Curug Gumawang adalah salah satu air terjun yang terletak di Desa Kemawi, Kecamatan Somagede, sekitar 15 kilometer ke arah tenggara dari pusat kota Purwokerto. Gumawang berasal dari bahasa Sunda yang berarti seperti gawang 'guratan tanah' yang berasal dari kata awang-awang 'angkasa' dan bercahaya. Air terjun ini memiliki ketinggian 60 meter, sebuah air terjun yang tergolong tinggi, oleh karena itulah warga setempat menamakannya Curug Gumawang, diibaratkan turun dari angkasa. Air terjun ini juga mempunyai tujuh tingkatan genangan air yang disebut kedung 'leuwi', bagian sungai yang dangkal seringnya ada di antara dua leuwi. Jika diperhatikan dari bawah, akan tampak tiga tingkatan, tingkatan paling besar yang nomor dua dari bawah. Tingkatan atas juga tampak bertingkat, hanya saja ketinggiannya tidak terlalu menjulang dan dapat dilihat dari jalan menuju Curug Gumawang. Tujuh tingkatan kedung yang ada di sini di antaranya, yaitu Kedung Dhandhang, Kedung Jojogan, Kedung Nyai Gendur, Kedung Pundak, Kedung Tumbu, Kedung Wuluh, dan Kedung Wungu. Kedung Pundak adalah salah satu kedung yang sangat dikeramatkan oleh warga, berdasarkan penuturan kuncen yang menjaga, kedung ini memiliki dua penunggu, yaitu Mbah Weno Werso dan Nyai Dewi Welasari. Selain itu, ada juga Mbah Bondowoso, penunggu yang berdiam di bawah pohon bambu Ampel Kuning.[30]

Menurut versi lainnya, nama air terjun ini berasal dari kata gemawang yang berasal dari kontraksi kata gema 'bergema' dan awang 'angkasa'. Sehingga, Curug Gumawang memiliki makna sebagai air terjun yang menghasilkan suara menggema akibat jatuhnya air dari ketinggian. Suara yang menggema tersebut dapat terdengar hingga desa lain. Ada sebuah kepercayaan yang berkembang pada masyarakat sekitar air terjun ini, bahwa barangsiapa yang hendak berkendara menuju lokasi melewati sebuah kuburan di kanan jalan, maka ia harus membunyikan klakson sebagai tanda izin untuk lewat. Air yang terdapat pada kedung tertinggi di air terjun ini sering digunakan untuk mandi dan mencuci muka karena diyakini memiliki beragam khasiat, di antaranya, yaitu dapat membuat awet muda, dan membuat rezeki menjadi lebih lancar.[31]

Akses jalan menuju air terjun ini memiliki kondisi yang cukup buruk, disebabkan oleh banyaknya aspal yang bergelombang dan sebagian sudah terkelupas. Namun, sekarang sudah ada pembangunan akses jalan menuju Curug Gumawang yang lebih baik, serta adanya pelebaran jalan dari Beji atau Tapak Bima (suatu area yang memiliki bentuk seperti telapak kaki yang sangat besar) hingga ke area air terjun.[32]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ Ridlo 2020, Tragedi Punahnya Penutur Bahasa Sunda di Banyumas.
  4. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 148-149.
  5. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 147.
  6. ^ Susanto 2019, Kepunahan Bahasa itu Bencana Kemanusiaan.
  7. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 151.
  8. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 148.
  9. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 158.
  10. ^ Abimanyu 2018, hlm. 11.
  11. ^ Abimanyu 2018, hlm. 22-23.
  12. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 149.
  13. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 159.
  14. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 157.
  15. ^ Abimanyu 2018, hlm. 12.
  16. ^ Abimanyu 2018, hlm. 13.
  17. ^ Abimanyu 2018, hlm. 16-17.
  18. ^ Abimanyu 2018, hlm. 14-15.
  19. ^ Abimanyu 2018, hlm. 19.
  20. ^ Abimanyu 2018, hlm. 20.
  21. ^ Abimanyu 2018, hlm. 21.
  22. ^ Abimanyu 2018, hlm. 20-21.
  23. ^ a b c Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 152.
  24. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 153.
  25. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 153-154.
  26. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 152-153.
  27. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 151-152.
  28. ^ a b c d e f g h i Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 154.
  29. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 154-155.
  30. ^ a b Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 155.
  31. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 155-156.
  32. ^ Sobarna, Gunardi & Wahya 2018, hlm. 156.

Daftar pustaka sunting

Jurnal sunting

Situs web sunting

Bacaan lanjutan sunting

Buku sunting

  • Sobarna, C.; Afsari, A.S. (2021). Ampera, T., ed. Bahasa Sunda Dermaji-Banyumas dalam Pusaran Kematian: Sebuah Upaya Pendokumentasian. Bandung: Unpad Press. ISBN 9786233520850. 

Laporan penelitian sunting

  • Sobarna, C. (2010). Bahasa Sunda di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Laporan Penelitian). Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. 

Seminar sunting

  • Sobarna, C. (2013). "Ancaman Kepunahan Bahasa di Daerah Enklave: Kasus Bahasa Sunda di Desa Dermaji, Jawa Tengah". Makalah Seminar Nasional bahasa Ibu VI yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana: 22–13. 

Pranala luar sunting

Bahasa Sunda di Kabupaten Banyumas sunting

Bahasa Sunda Umum sunting