Tsunami

Perpindahan badan air akibat perubahan tiba-tiba permukaan laut secara vertikal

Tsunami (/(t)sˈnɑːmi, (t)sʊˈ-/ (T)SOO-nah-MEE-,_-(T)SUU-- kata Tsunami berasal dari bahasa Jepang, secara harfiah berarti : "ombak besar di pelabuhan") atau semong[1] adalah gelombang air besar yang diakibatkan oleh gangguan di dasar laut, seperti gempa bumi, longsor bawah laut, dan letusan gunung berapi. gangguan ini membentuk gelombang yang menyebar ke segala arah dengan kecepatan gelombang mencapai 600–900 km/jam. Awalnya gelombang tersebut memiliki amplitudo kecil (umumnya 30–60 cm) sehingga tidak terasa di laut lepas, tetapi amplitudonya membesar saat mendekati pantai. Saat mencapai pantai, tsunami kadang menghantam daratan berupa dinding air raksasa (terutama pada tsunami-tsunami besar), tetapi bentuk yang lebih umum adalah naiknya permukaan air secara tiba-tiba. Kenaikan permukaan air dapat mencapai 15–30 meter, menyebabkan banjir dengan kecepatan arus hingga 90 km/jam, menjangkau beberapa kilometer dari pantai, dan menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang besar.

Tsunami Samudra Hindia 2004 di Ao Nang, Provinsi Krabi, Thailand.
Animasi tsunami dari NOAA
Sebuah deposit pasir tsunami yang terkubur dimasa lalu saat gempa bumi Cascadia 1700 di lepas pantai Washington, Amerika Serikat

Sebab tsunami yang paling umum adalah gempa bumi bawah laut/pergeseran lempeng bumi terutama yang terjadi di zona penunjaman dengan kekuatan 7,0 skala magnitudo momen atau lebih. Penyebab lainnya adalah longsor, letusan gunung, dan jatuhnya benda besar seperti meteor ke dalam air. Secara geografis, hampir seluruh tsunami terjadi di kawasan Lingkaran Api Pasifik dan kawasan Palung Sumatra di Samudra Hindia. Risiko tsunami dapat dideteksi dengan sistem peringatan dini tsunami yang mengamati gempa-gempa berkekuatan besar dan melakukan analisis data perubahan air laut yang terjadi setelahnya. Jika dianggap ada risiko tsunami, pihak berwenang dapat memberi peringatan atau mengambil tindakan seperti evakuasi. Risiko kerusakan juga dapat dikurangi dengan rancangan tahan tsunami, seperti membuat bangunan dengan ruang luas, serta penggunaan bahan beton bertulang, maupun dengan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri dari tsunami, seperti pentingnya mengungsi dan menyiapkan rencana darurat dari jauh-jauh hari.

Sekitar 78% tsunami di terjadi di Samudra Pasifik atau yang dikenal dengan Lingkaran Api Pasifik. Persentase tertinggi tsunami terjadi di Jepang (20%), diikuti oleh Rusia (8%) dan Indonesia (8%). Meskipun sebagian besar tsunami berukuran kecil dan tidak merusak atau hanya berdampak pada pantai di dekat sumbernya, beberapa tsunami dapat menyebabkan kerusakan dan kematian di pantai yang jauh. Negara lain dengan persentase tsunami tertinggi sejak tahun 1900 berasal dari Alaska, Hawaii, Chili, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Tonga, Filipina, Pakistan, dan Peru.[2]

Istilah

Tsunami

 

"Tsunami" dalam tulisan kanji
Nama Jepang
Kanji: 津波
 
Ilustrasi tsunami dilukis oleh Hokusai, dalam mitologi Jepang, gelombang besar tersebut disebabkan oleh ikan lele raksasa bernama Ōnamazu

Kata tsunami adalah serapan dari bahasa Jepang 津波 (tsunami): tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Nama ini diperkirakan berasal dari para nelayan Jepang, yang mengamati bahwa kapal-kapal dan bangunan di pelabuhan rusak akibat fenomena ini sekalipun mereka tidak merasakan gelombang besar ketika berada di laut lepas.[3] Oleh orang awam, tsunami kadang disebut "gelombang pasang". Namun, istilah yang dulunya populer ditolak para pakar karena fenomena ini tidak ada hubungannya dengan fenomena pasang surut yang diakibatkan gravitasi matahari dan bulan.[4] Para pakar lebih menyukai istilah tsunami, walaupun sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di pelabuhan.[5]

Beberapa bahasa memiliki padanan untuk istilah tsunami. Contohnya, dalam bahasa Aceh, tsunami disebut ië beuna atau alôn buluël (tergantung daerah). Kata smong dan emong digunakan dalam bahasa-bahasa di Pulau Simeulue, yang berada sebelah barat pantai Sumatra. Dalam bahasa Tamil di pantai timur India, tsunami disebut aazhi peralai.[3]

Pemicu

Tsunami yang diakibatkan terjadinya gempa bumi bawah laut.

Tsunami dapat dipicu oleh gangguan pada dasar laut yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air.[6] Dalam proses kembalinya air yang terganggu ini menuju ekuilibrium atau keadaan tenang, suatu gelombang dapat terbentuk dan menyebar meninggalkan pusat gangguan, sehingga menyebabkan tsunami.[7] Peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan perpindahan air seperti ini meliputi gempa bumi bawah laut, longsor yang terjadi di dasar laut, jatuhnya benda ke dalam air seperti letusan gunung, meteor, atau ledakan senjata.[8][9]

Pemicu paling umum adalah gempa bumi yang mengakibatkan sekitar 80%–90% dari seluruh tsunami.[10] Gempa yang paling berpotensi menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi pada zona penunjaman (daerah pertemuan dua lempeng yang membenamkan salah satu lempeng tersebut) yang dangkal. Namun, tidak semua gempa seperti ini menyebabkan tsunami. Biasanya, hanya gempa berkekuatan di atas 7,0 skala magnitudo momen yang memiliki potensi ini. Semakin kuat suatu gempa, semakin besar pula peluang tsunami yang disebabkan oleh gempa tersebut.[11] Selain paling umum, tsunami seperti ini adalah satu-satunya yang dapat bertahan jauh (termasuk menyeberangi samudra) sehingga membahayakan daerah yang lebih luas.[12] Tsunami Samudra Hindia 2004 merupakan contoh tsunami seperti ini, dipicu oleh gempa bermagnitudo 9,1 dan merupakan tsunami paling mematikan dalam sejarah.[11]

 
Longsor, baik yang terjadi di daratan (gambar) maupun di dasar laut, dapat memicu tsunami dengan "melemparkan" material seperti bebatuan ke lautan.

Penyebab umum lainnya adalah tanah longsor, baik yang terjadi di bawah laut maupun yang terjadi di daratan tetapi memindahkan material seperti bebatuan ke laut. Karena longsor bawah laut sering terjadi akibat gempa, longsor dapat memperparah gangguan pada air setelah gempa. Fenomena ini dapat menyebabkan tsunami bahkan pada gempa dengan kekuatan yang biasanya tidak menyebabkan tsunami (seperti gempa yang bermagnitudo sedikit di bawah 7,0), atau menyebabkan tsunami yang lebih besar dari perkiraan berdasarkan kekuatan gempa. Contohnya, gempa bumi Papua Nugini 1998 hanya bermagnitudo sedikit di atas 7,0, tetapi menghasilkan tsunami besar dengan tinggi maksimum 15 meter. Contoh longsor daratan yang menyebabkan tsunami adalah tsunami Alaska 1958.[13]

Penyebab tsunami lainnya adalah aktivitas vulkanik, terutama dari gunung berapi yang berada di dekat atau di bawah laut. Umumnya, aktivitas vulkanik menyebabkan naik atau turunnya bibir gunung berapi, memicu tsunami yang mirip dengan tsunami gempa bumi bawah laut.[14] Namun, dapat juga terjadi letusan besar yang menghancurkan pulau gunung berapi di tengah laut, menyebabkan air bergerak mengisi wilayah pulau tersebut dan memulai gelombang besar. Contoh tsunami akibat letusan besar seperti ini adalah tsunami letusan Krakatau 1883, yang mengakibatkan tsunami setinggi lebih dari 40 m.[15][14]

Selain penyebab-penyebab di atas, ada penyebab tsunami yang lebih langka, di antaranya benturan benda besar ke dalam air akibat ledakan senjata atau kejatuhan meteor.[9] Benturan ini memicu gelombang air, dan tsunami yang dihasilkannya memiliki karakteristik fisika yang mirip dengan tsunami letusan gunung berapi.[16][9]

Kawasan rentan tsunami

Sebagian besar tsunami di bumi terjadi di Lingkaran Api Pasifik (kiri) dan Palung Sumatra (kanan).

Rawan tidaknya suatu daerah terhadap tsunami ditentukan oleh ada tidaknya pemicu-pemicu di atas, terutama gempa bumi berkekuatan besar di lautan, yang merupakan penyebab tsunami paling umum. Hampir 80% dari tsunami di bumi terjadi di kawasan yang disebut Lingkaran Api Pasifik, zona penunjaman di sekitar Samudra Pasifik yang mengalami banyak gempa bumi besar. Lingkaran api (Inggris: ring of fire) ini mencakup (searah jarum jam) Selandia Baru, Papua Nugini, Indonesia, pantai timur Asia (terutama Filipina dan Jepang) sampai ke utara, lalu pantai barat Amerika Utara dan Selatan. Selain itu, kawasan Palung Sumatra yang berada di Samudra Hindia lepas pantai barat dan selatan pulau Sumatra dan Jawa, Indonesia, juga merupakan zona penunjaman yang rentan tsunami. Di luar dua kawasan ini, tsunami cukup jarang terjadi. Tercatat tsunami pernah terjadi di Pantai Makran (selatan Iran dan Pakistan), Laut Tengah, serta pantai barat Portugal.[17]

Rambatan gelombang tsunami

Dari pusat tsunami hingga ke pantai

Gangguan yang terjadi di tengah laut menyebar sebagai gelombang. Seperti gelombang pada umunya (termasuk gelombang air di kolam atau ombak di pantai), gelombang tsunami memiliki fase "bukit" dan "lembah", panjang gelombang, periode, dan kecepatan.[18] Namun gelombang tsunami memiliki perbedaan besar daripada gelombang ombak biasa. Tak seperti ombak biasa yang energinya berasal dari angin, gelombang tsunami bisa terus bertahan karena gaya gravitasi bumi yang menarik air untuk kembali ke kesetimbangannya.[9][4] Perbedaan-perbedaan lain adalah dari sifatnya secara matematis. Panjang gelombangnya (jarak antara satu bukit ke bukit berikutnya) berkisar antara beberapa kilometer hingga ratusan kilometer. Ini jauh lebih besar dibandingkan ombak yang panjang gelombangnya sekitar 100 meter.[19] Karena panjang gelombangnya ini, serta kecilnya amplitudo atau tinggi gelombang (umumnya 30–60 cm), gradien atau kemiringan air yang terbentuk sangatlah kecil, sehingga tidak terasa oleh kapal-kapal di laut lepas.[19] Gelombang tsunami juga memiliki perioda yang jauh lebih besar (dapat mencapai 70–2.000 detik) dibandingan ombak biasa (sekitar 10 detik). Hal ini berarti arus yang ditimbulkan tsunami bertahan jauh lebih lama.[18]

 
Waktu tempuh sebelum tsunami mencapai suatu titik tergantung pada karakteristik dasar laut maupun jarak dari pusat tsunami. Contohnya, Tsunami Samudra Hindia 2004 (gambar) mulai menghantam Indonesia setelah 15 menit, Sri Lanka setelah 2 jam, dan Kenya setelah 9 jam.

Kecepatan gelombang tsunami (dapat mencapai 600–900 km/jam) juga amat besar dibandingkan ombak biasa (sekitar 50 km/jam). Namun ini hanyalah kecepatan rambatan gelombang, dan bukan kecepatan partikel air. Kecepatan partikel air jauh lebih rendah, umumnya di bawah 1 m/s (3,6 km/jam).[18] Kecepatan ini kira-kira berbanding lurus dengan akar kuadrat dari kedalaman laut, sehingga tsunami bergerak lebih cepat di tengah samudra dibanding dekat pantai dangkal.[20] Karena itu, waktu tempuh sebelum tsunami mencapai suatu titik tergantung pada karakteristik dasar laut maupun jarak dari pusat tsunami. Contohnya, Tsunami Samudra Hindia 2004 mulai menghantam Indonesia setelah 15 menit, Sri Lanka setelah 2 jam, dan Kenya (di sisi lain Samudra Hindia) setelah 9 jam.[21]

Perbedaan lainnya antara tsunami dan ombak biasa adalah gelombang tsunami melibatkan air di seluruh area vertikal, baik bagian dalam dan dangkal. Tak seperti ombak biasa yang dalamnya jarang melebihi 20 m, gelombang tsunami mencapai dasar laut sehingga memiliki total energi yang jauh lebih besar. Saat merambat di laut dalam, gangguan yang terjadi di permukaan hanyalah sebagian kecil dari total energi yang dimiliki oleh tsunami tersebut.[7]

Saat mendekati pantai

 
Karena berkurangnya kedalaman, gelombang tsunami memendek dan meninggi saat mendekati pantai.

Saat gelombang tsunami mendekati pantai, kecepatan gelombang menurun akibat gesekan dengan dasar laut.[22] Pada frekuensi tetap, panjang gelombang berbanding lurus dengan kecepatan sehingga gelombang tsunami memendek. Selain itu, karena tsunami menjangkau hingga dasar laut, saat laut menjadi dangkal, energi yang sebelumnya tersebar jauh hingga ke bawah mulai berpindah ke atas. Berpindahnya energi ini meningkatkan amplitudo atau tinggi gelombang.[23] Alhasil, saat mendekati pantai, energi tsunami menjadi jauh lebih padat baik secara horizontal (akibat berkurangnya panjang gelombang) dan secara vertikal (akibat berkurangnya kedalaman air dan meningkatnya amplitudo).[24] Akibat yang lain adalah gradien atau kemiringan air menjadi jauh lebih curam.[20]

Surutnya air laut sering dilaporkan terjadi sebelum datangnya tsunami, dalam kasus tertentu air laut dapat bergerak hingga ratusan meter menjauhi daratan. Hal ini sering memancing datangnya penduduk yang tidak tahu bahwa tsunami akan terjadi, karena dalam keadaan ini ikan mudah ditangkap dan sering terlihat karang atau makhluk laut lainnya yang biasanya tidak terlihat.[25] Tidak semua tsunami didahului oleh surutnya air, tsunami juga dapat langsung dimulai dengan naiknya permukaan air. Hal ini karena tsunami berbentuk gelombang, dengan puncak dan lembah. Jika lembah gelombang yang sampai lebih dahulu, permukaan air laut akan turun. Sebaliknya, puncak gelombang menghasilkan naiknya air laut. Kedua hal ini dapat terjadi dengan peluang yang sama.[26]

Mencapai daratan

Tsunami sering digambarkan secara ikonik sebagai dinding air raksasa yang bergerak menghantam daratan, seperti ombak yang ditunggangi peselancar.[27] Fenomena ini memang terjadi, tetapi hanya pada tsunami-tsunami yang sangat besar, seperti pada Tsunami Samudra Hindia 2004.[20] Pada sebagian besar kasus, tsunami tidak menyebabkan dinding air raksasa, tetapi terjadi dengan naiknya permukaan laut secara tiba-tiba (terkadang didahului surut).[7][20] Air dapat naik dan surut selama berjam-jam, sesuai bukit dan lembah gelombang.[11] Tsunami yang mencapai daratan bukan hanya sebuah gelombang tetapi terdiri dari rangkaian gelombang yang memiliki amplitudo dan frekuensi berbeda dan dapat saling memperkuat. Saat ini, tidak mungkin memperkirakan jumlah puncak besar yang ada dalam suatu tsunami, atau puncak mana yang paling berbahaya. Karena itu, daerah pantai masih dianggap berbahaya walaupun beberapa gelombang besar telah lewat.[11]

 
Diagram yang menunjukkan ukuran yang berkaitan dengan besar tsunami, termasuk inundasi (inundation) dan kenaikan ('run-up).

Tsunami yang mencapai daratan dapat menyebabkan kenaikan permukaan air hingga 15–30 meter.[21] Banjir yang dihasilkan dapat bergerak cepat hingga 90 km/jam,[11] dan menjangkau hingga beberapa kilometer dari pantai.[21] Aliran air ini mampu menghancurkan bangunan dan tanaman, menghanyutkan kendaraan atau benda-benda bergerak lainnya.[28] Kerusakan akibat arus yang berkecepatan tinggi dan dipenuhi puing serta benda hanyut ini sering kali lebih besar daripada kerusakan akibat hantaman awal tsunami.[29] Banjir yang diakibatkan tsunami ini sering diukur dengan dua besaran: inundasi atau penggenangan (inundation) dan kenaikan (run-up). Inundasi adalah jarak maksimal yang ditempuh tsunami secara horizontal ke dalam daratan. Kenaikan adalah ketinggian maksimum yang digenangi banjir dibandingkan dengan ketinggian normal air laut.[21]

Saat banjir tsunami mulai surut, arus balik air ke laut juga dapat menimbukan kerusakan besar.[29] Air dapat mengalir dengan cepat dan bergejolak, menyebabkan erosi dan merusak fondasi bangunan.[30][28] Air dapat bergerak bolak balik hingga beberapa hari.[28]

Penanggulangan

Sistem peringatan dini

 
Petugas sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, memantau data dari Gempa bumi Tōhoku 2011.
 
Diagram DART II, salah satu komponen deteksi tsunami yang dimiliki Pacific Tsunami Warning Center.

Sistem peringatan dini tsunami berfungsi untuk mendeteksi risiko tsunami, memperkirakan daerah-daerah yang akan terkena, dan mengeluarkan pengumuman agar publik dapat mengambil tindakan untuk mengurangi korban jiwa dan kerusakan.[31] Peringatan dini tsunami biasanya berawal dari terjadinya gempa berkekuatan besar (magnitudo 7,0 atau lebih).[32][33] Saat gempa seperti ini terjadi, penduduk daerah terdekat dapat langsung diberi peringatan dini disertai perkiraan kasar ukuran atau waktu kedatangan tsunami. Sementara itu, pusat sistem peringatan dini mengumpulkan data-data lain, seperti perubahan pada permukaan laut, serta kedalaman dan karakteristik dasar laut setempat.[34][35] Perubahan ketinggian air laut dapat diukur dengan alat seperti alat pengukur pasang surut yang sebelumnya telah ditempatkan di berbagai lokasi.[36] Data-data ini kemudian diolah untuk mengeluarkan perkiraan yang lebih rinci. Dengan data yang cukup, dapat dideteksi apakah ada tsunami, dan jika ada, perkiraan juga dapat meliputi peta pergerakan, daerah yang mungkin terkena, waktu kedatangan, maupun ukuran tsunami. Jika dideteksi tidak ada tsunami, peringatan dini dapat dibatalkan. Jika tsunami terdeteksi, pihak berwenang di daerah yang dianggap berisiko dapat mengambil tindakan penanggulangan, termasuk memerintahkan evakuasi daerah pesisir. Waktu respons yang dimiliki tiap lokasi berbeda-beda tergantung jaraknya dari pusat tsunami. Daerah yang cukup jauh bisa jadi memiliki waktu berjam-jam untuk bersiap dan melakukan evakuasi.[34][35]

 
Sirine tsunami di Baitussalam, Aceh Besar

Selain deteksi dan perkiraan bahaya tsunami, efektivitas sistem peringatan dini juga tergantung kepada adanya rencana tindakan yang matang. Dalam rencana seperti ini, lembaga pemerintah terkait harus sudah mengenal dan terlatih dalam tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, di antaranya menafsirkan sumber-sumber ilmiah maupun menyebarkan informasi dan instruksi kepada masyarakat melalui jalur komunikasi yang efektif. Karena rentang waktu sebelum datangnya tsunami bisa jadi sangat singkat, faktor kecepatan amat penting. Dengan adanya persiapan dan rencana yang matang, keputusan dan tindakan dapat diambil dengan lebih cepat.[37]

Upaya deteksi tsunami melalui pemantauan gempa bumi bermagnitudo besar telah dilakukan sekurangnya sejak awal 1900-an oleh vulkanolog Amerika Serikat Thomas A. Jaggar di Hawaii.[33] Namun, metode peringatan pada awal abad ke-20 masih belum formal dan kurang efektif karena tidak akurat (sering mengeluarkan peringatan ketika sebenarnya tidak ada tsunami), dan tidak adanya jalur komunikasi resmi.[38] Pusat peringatan dini formal pertama adalah Pacific Tsunami Warning Center (PTWC), yang didirikan di Hawaii pada 1949, sebagai tanggapan atas tsunami yang diakibatkan oleh Gempa bumi Kepulauan Aleut 1946.[33] Sejak 1965, negara-negara Samudra Pasifik lainnya ikut berpartisipasi dalam sistem ini, dan kini telah beranggotakan 46 negara.[35] Selain PTWC, Amerika Serikat juga memiliki satu sistem lain yang disebut West Coast and Alaska Tsunami Warning Center.[35] Setelah tsunami Samudra Hindia 2004, negara-negara Samudra Hindia membentuk Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System, lembaga kerja sama pemantauan dan penyebaran informasi risiko tsunami.[39] Banyak negara di kawasan rentan tsunami memiliki lembaga yang bertugas mengatur sistem peringatan dini nasional, seperti Badan Meteorologi Jepang di Jepang, dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia.[35][40]

Rancangan tahan tsunami

 
Papan tanda zona tsunami di Aceh Besar
 
Sebuah masjid di pesisir Banda Aceh di tengah puing-puing pasca tsunami 2004. Kemungkinan, masjid ini dapat bertahan karena memiliki ruang terbuka yang luas.[41]
 
Sebuah rancangan bendungan tsunami, bertujuan membendung tsunami kecil dan mengurangi kerusakan akibat tsunami besar.

Dengan kecepatan tinggi dan hanyutnya benda-benda yang berat, arus tsunami memiliki energi tinggi yang dapat menghancurkan atau merusak bangunan-bangunan di daerah pesisir.[42] Namun, berdasarkan pengamatan, bangunan-bangunan dengan rancangan tertentu memiliki peluang lebih besar untuk bertahan. Bangunan dengan ruangan terbuka yang luas, yang bisa dilewati oleh air tanpa banyak benturan sering mampu bertahan saat diterjang tsunami.[30] Contohnya adalah rumah-rumah panggung di Hawaii (air bisa mengalir antara lantai dan tanah), dan masjid-masjid besar di Aceh (yang umum memiliki ruangan luas terbuka).[30][41] Struktur beton bertulang juga sering tidak hancur dalam tsunami, walaupun tembok-tembok bangunannya dapat hancur.[30] Jika bangunan berkerangka seperti ini cukup tinggi, lantai atasnya dapat dirancang sebagai zona evakuasi darurat untuk penduduk yang tidak sempat mengungsi ke tanah yang tinggi.[43][42]

Struktur khusus yang dibangun di tepi pantai, seperti pemecah gelombang, tembok pantai dibangun di beberapa tempat yang rawan tsunami, seperti Jepang dan Hawaii. Struktur-struktur seperti ini tidak berkekuatan atau berketinggian yang cukup untuk sepenuhnya menghentikan tsunami, namun dapat mengurangi kekuatan arusnya.[30][44]

Perilaku individu

Beberapa lembaga nasional maupun internasional menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Komisi Oseanografi Antarpemerintah menyarankan penduduk di daerah rawan tsunami untuk menyiapkan rencana darurat jauh-jauh hari (jika perlu melibatkan keluarga untuk memudahkan koordinasi) dan mengikuti instruksi pihak berwenang setempat. Lembaga ini juga menyarankan cepat mengungsi ke daerah yang lebih tinggi jika merasakan gempa yang kuat di daerah pantai, bahkan sebelum adanya peringatan resmi, karena tsunami dapat terjadi dengan cepat di daerah yang dekat dengan pusat gempa.[45] Gejala alam yang dapat menandakan datangnya tsunami adalah naik atau surutnya permukaan air laut secara tiba-tiba, ataupun bunyi deruan keras berasal dari arah laut.[46][47]

Daftar tsunami di Indonesia

Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak terkena dampak tsunami, setelah Jepang. Sebanyak 217 gelombang tsunami terjadi di Indonesia sejak tahun 1608. Oleh karena itu, tsunami relatif sering terjadi Indonesia.[48][49]

Gelombang tsunami terbesar yang pernah tercatat di Indonesia yaitu Gempa bumi dan megatsunami Ambon 1674, mencapai ketinggian hingga 100 meter (330 kaki), dan menewaskan sekitar 2.300 penduduk.

Daftar tsunami di Indonesia sejak 1600
Tanggal Lokasi Nama Korban jiwa Ketinggian Penyebab
02018-12-2222 Desember 2018 Selat Sunda, Banten, Lampung Tsunami Selat Sunda 2018 437 13 m (43 ft) Letusan gunung berapi
02018-09-2828 September 2018 Sulawesi Tengah Gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018 4.340 15 m (49 ft) Gempa bumi, Longsor bawah laut
02010-10-2525 Oktober 2010 Sumatra, Mentawai Gempa bumi Kepulauan Mentawai 2010 408 8 m (26 ft) Gempa bumi
02006-07-1717 Juli 2006 Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta Gempa bumi dan tsunami Jawa 2006 668 8 m (26 ft) Gempa bumi
02004-12-2626 Desember 2004 Sumatra, Aceh Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 227.898 30 m (98 ft), tertinggi 51 m (167 ft) Gempa bumi
02000-05-044 Mei 2000 Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah Gempa bumi Kepulauan Banggai 2000 54 6 m (20 ft) Gempa bumi
01998-11-2929 November 1998 Maluku Utara Gempa bumi Maluku Utara 1998 41 2,7 m (8 ft 10 in) Gempa bumi
01996-02-1717 Februari 1996 Papua Gempa bumi Biak 1996 166 7 m (23 ft) Gempa bumi
01994-06-033 Juni 1994 Jawa Timur, Bali Gempa bumi dan tsunami Jawa Timur 1994 250 14 m (46 ft) Gempa bumi
01992-12-1212 Desember 1992 Flores, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara Gempa bumi dan tsunami Flores 1992 2.500 36 m (118 ft) Gempa bumi, Longsor bawah laut
01977-08-1919 Agustus 1977 Sumba Gempa bumi Sumba 1977 316 8 m (26 ft) Gempa bumi
01969-02-033 Februari 1969 Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan Gempa bumi Sulawesi 1969 668 12 m (39 ft) Gempa bumi, Longsor bawah laut
01968-08-1818 Agustus 1968 Sulawesi Tengah Gempa bumi Sulawesi 1968 213 6 m (20 ft) Gempa bumi, Longsor bawah laut
01965-01-2424 Januari 1965 Pulau Seram Gempa bumi Laut Seram 1965 75 8 m (26 ft) Gempa bumi
01938-02-011 Februari 1938 Laut Banda Gempa bumi Laut Banda 1938 0 1,5 m (4 ft 11 in) Gempa bumi
01907-01-044 Januari 1907 Sumatra Gempa bumi Sumatra 1907 2.118 14 m (46 ft) Gempa bumi
01899-09-3030 September 1899 Pulau Seram Gempa bumi Pulau Seram 1899 3.389 10 m (33 ft) Gempa bumi
01883-08-2727 Agustus 1883 Selat Sunda, Banten, Lampung Letusan Krakatau 1883 36.417 42 m (138 ft) Letusan gunung berapi
01871-03-1414 Maret 1871 Sulawesi Utara Letusan dan tsunami Ruang 1871 413 25 m (82 ft) Letusan gunung berapi
01843-01-055 Januari 1843 Sumatra Gempa bumi Nias 1843 Tidak diketahui 18 m (59 ft) Gempa bumi
01833-11-2525 November 1833 Sumatra Gempa bumi Sumatra 1833 2.000 30 m (98 ft) Gempa bumi
01815-11-1212 November 1815 Bali Gempa bumi Bali 1815 10.453 8 m (26 ft) Gempa bumi
01815-07-1515 Juli 1815 Sumbawa Letusan Tambora 1815 105.000 12 m (39 ft) Letusan gunung berapi
01797-02-1010 Februari 1797 Sumatra Gempa bumi Sumatra 1797 2.000 12 m (39 ft) Gempa bumi
01780-01-2323 Januari 1780 Jawa Gempa bumi Jawa 1780 Tidak diketahui 25–30 m (82–98 ft) Gempa bumi
01674-02-1717 Februari 1674 Laut Banda, Maluku Gempa bumi dan megatsunami Ambon 1674 2.347 100 m (330 ft) Gempa bumi, Longsor bawah laut
01629-08-011 Agustus 1629 Laut Banda Gempa bumi Laut Banda 1629 5 16 m (52 ft) Gempa bumi

Daftar tsunami paling mematikan

No Korban Nama Lokasi Tanggal
1 227,898 Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Somalia, Maladewa, Myanmar, Malaysia 02004-12-2626 Desember 2004
2 123,000 Gempa bumi Messina 1908 Italia 01908-12-2828 Desember 1908
3 36,417 Letusan Krakatau 1883 Hindia Belanda, (Kini Indonesia) 01883-08-2727 Agustus 1883
4 40,000–50,000[50] Gempa bumi Lisbon 1755 Portugal, Maroko, Spanyol 01755-11-011 November 1755
5 32,000 Erupsi Minoan Yunani 2 Millennium BC
6. 31,000 Gempa bumi Meiō 1498 Jepang 01498-09-2020 September 1498
7 30,000 Gempa bumi Hōei 1707 01707-10-2828 Oktober 1707
8 27,122[51] Gempa bumi Sanriku 1896 01896-06-1515 Juni 1896
9 25,674 Gempa bumi Arica 1868 Peru 01868-08-1313 Agustus 1868
10 19,786 Gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011 Jepang 02011-03-1111 Maret 2011

Galeri

Catatan kaki

  1. ^ "Hasil Pencarian - KBBI Daring". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 29-11-2022. 
  2. ^ "Tsunami Locations". NOAA.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 6 April 2024. 
  3. ^ a b Gupta & Gahalaut 2014, hlm. 1.
  4. ^ a b Rinard Hinga 2015, hlm. 338.
  5. ^ Awate 2016, hlm. 114.
  6. ^ Rinard Hinga 2015, hlm. 338–339.
  7. ^ a b c Rinard Hinga 2015, hlm. 339.
  8. ^ Ward 2011, hlm. 5–9.
  9. ^ a b c d Margaritondo 2005, hlm. 402.
  10. ^ Ward 2011, hlm. 5.
  11. ^ a b c d e Rinard Hinga 2015, hlm. 340.
  12. ^ Dudley & Lee 1988, hlm. 35.
  13. ^ Rinard Hinga 2015, hlm. 340–341.
  14. ^ a b Dudley & Lee 1988, hlm. 34.
  15. ^ Rinard Hinga 2015, hlm. 341.
  16. ^ Ward 2011, hlm. 9.
  17. ^ Gupta & Gahalaut 2014, hlm. 5.
  18. ^ a b c Ward 2011, hlm. 2.
  19. ^ a b Ward 2011, hlm. 3.
  20. ^ a b c d U.S. Geological Survey 2016.
  21. ^ a b c d Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 5.
  22. ^ Encyclopædia Britannica 2019, Origin and development.
  23. ^ Ward 2011, hlm. 12–13.
  24. ^ Ward 2011, hlm. 13.
  25. ^ Rinard Hinga 2015, hlm. 339–340.
  26. ^ Dudley & Lee 1988, hlm. 37.
  27. ^ Dudley & Lee 1988, hlm. 38.
  28. ^ a b c Encyclopædia Britannica 2019, Origin and Development.
  29. ^ a b Dudley & Lee 1988, hlm. 41.
  30. ^ a b c d e Dudley & Lee 1988, hlm. 42.
  31. ^ Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 7–8.
  32. ^ Encyclopædia Britannica 2019, Tsunami Warning Systems.
  33. ^ a b c Rinard Hinga 2015, hlm. 342.
  34. ^ a b Rinard Hinga 2015, hlm. 343.
  35. ^ a b c d e Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 7.
  36. ^ Dudley & Lee 1988, hlm. 51.
  37. ^ Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 8.
  38. ^ Rinard Hinga 2015, hlm. 342–343.
  39. ^ Hettiarachchi 2018, hlm. 1340.
  40. ^ Indian Ocean Tsunami Information Center 2018.
  41. ^ a b U.S. Geological Survey 2005.
  42. ^ a b Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 10.
  43. ^ Chock et al. 2011, hlm. 14.
  44. ^ Chock et al. 2011, hlm. 5.
  45. ^ Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 10–12.
  46. ^ Intergovernmental Oceanographic Commission 2012, hlm. 12.
  47. ^ National Tsunami Hazard Mitigation Program 2015, hlm. 1.
  48. ^ "Sejak 1992, Tsunami Indonesia 2 tahun Sekali". mypangandaran.com. 1 November 2010. Diakses tanggal 19 April 2024. 
  49. ^ "Tsunamis in Indonesia". worlddata.info. Diakses tanggal 18 April 2024. 
  50. ^ "The Opportunity of a Disaster: The Economic Impact of the 1755 Lisbon Earthquake. Discussion Paper 06/03, Centre for Historical Economics and Related Research at York, York University, 2006" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal February 22, 2014. Diakses tanggal August 6, 2013. 
  51. ^ Paula Dunbar. "Significant Earthquake". Diarsipkan dari versi asli tanggal July 21, 2020. Diakses tanggal October 24, 2014. 

Daftar pustaka