Sejarah pemikiran evolusi

Pemikiran mengenai evolusi, yakni bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu, telah berakar sejak zaman kuno. Pemikiran tersebut dapat terlihat pada ilmu pengetahuan peradaban Yunani, Romawi, Tiongkok, dan Islam. Namun, sampai dengan abad ke-18, pandangan biologis Barat masih didominasi oleh pandangan esensialisme, yaitu pandangan bahwa bentuk-bentuk kehidupan tidak berubah. Hal ini mulai berubah ketika pengaruh kosmologi evolusioner dan filsafat mekanis menyebar dari ilmu fisik ke sejarah alam. Para naturalis mulai berfokus pada keanekaragaman spesies, dan munculnya ilmu paleontologi dengan konsep kepunahannya lebih jauh membantah pandangan bahwa alam bersifat statis. Pada awal abad ke-19, Jean-Baptiste Lamarck mengajukan teorinya mengenai transmutasi spesies. Teori ini merupakan teori evolusi pertama yang ilmiah.

Bagian dari seri Biologi mengenai
Evolusi
Pengenalan
Mekanisme dan Proses

Adaptasi
Hanyutan genetika
Aliran gen
Mutasi
Seleksi alam
Spesiasi

Riset dan sejarah

Bukti
Sejarah evolusi kehidupan
Sejarah
Sintesis modern
Efek sosial
Teori dan fakta
Keberatan / Kontroversi

Bidang

Kladistika
Genetika ekologi
Perkembangan evolusioner
Evolusi manusia
Evolusi molekuler
Filogenetika
Genetika populasi

Portal Biologi ·
Pohon kehidupan, seperti yang digambarkan oleh Ernst Haeckel pada buku The Evolution of Man (1879). Gambar tersebut mengilustrasikan pandangan abad ke-19 mengenai evolusi, yakni proses progresif yang akan berujung pada manusia.[1]

Pada tahun 1858, Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace mempublikasikan sebuah teori evolusi yang baru. Dalam bukunya On the Origin of Species (1859), Darwin secara mendetail menjelaskan mekanisme evolusi. Berbeda dengan Lamarck, Darwin mengajukan konsep nenek moyang bersama dan percabangan pohon kehidupan yang didasari oleh seleksi alam.

Karya Darwin mengenai evolusi dengan segara diterima dengan cepat, tetapi mekanisme yang diajukannya (seleksi alam), belum diterima secara sepenuhnya hingga tahun 1940-an. Kebanyakan ahli biologi berargumen bahwa faktor selain seleksi alam adalah yang mendorong evolusi, misalnya pewarisan sifat-sifat yang didapatkan suatu makhluk semasa hidupnya (neo-Lamarckisme), dorongan perubahan yang dibawa sejak lahir (ortogenesis), ataupun mutasi besar-besaran secara tiba-tiba (saltasi). Sintesis seleksi alam dengan genetika Mendel semasa 1920-an dan 1930-an memunculkan bidang disiplin ilmu genetika populasi. Semasa 1930-an dan 1940-an, populasi genetika berintegrasi dengan bidang-bidang ilmu biologi lainnya, memungkinkan penerapan teori evolusi dalam biologi secara luas.

Setelah munculnya biologi evolusioner, kajian terhadap mutasi dan keanekaragaman genetik pada populasi alami, digabungkan dengan biogeografi dan sistematika, akhirnya berhasil membuahkan model evolusi modern yang matematis dan bersebab akibat. Selain itu paleontologi dan perbandingan anatomi memungkinkan rekonstruksi sejarah kehidupan yang lebih mendetail. Setelah kebangkitan genetika molekuler pada tahun 1950-an, bidang evolusi molekuler yang berdasarkan pada kajian urutan protein, uji imunologis, RNA, dan DNA mulai berkembang. Pandangan evolusi yang berpusat pada gen muncul pada tahun 1960-an, diikuti oleh teori evolusi molekuler netral. Pada akhir abad ke-20, pengurutan DNA melahirkan filogenetika molekuler dan perombakan pohon kehidupan ke dalam tiga sistem domain oleh Carl Woese. Selain itu, ditemukan pula faktor-faktor tambahan seperti simbiogenesis dan transfer gen horizontal, yang membuat sejarah evolusi menjadi lebih kompleks. Berbagai penemuan dalam biologi evolusioner memberikan dampak signifikan tak hanya dalam cabang biologi tradisional, tetapi juga dalam disiplin akademik lainnya (contohnya: antropologi dan psikologi) serta masyarakat secara garis besar.[2]

Zaman kuno

sunting

Yunani

sunting
 
Filsuf Yunani Anaximandros dari Miletos berpendapat bahwa manusia berasal dari ikan.[3]

Gagasan bahwa bahwa hewan, atau bahkan manusia, merupakan keturunan dari jenis hewan lainnya, diawali sejak era para filsuf Yunani pra-Sokrates pertama. Anaximandros dari Miletos (sekitar 610 – 546 SM) mengusulkan bahwa hewan-hewan pertama hidup di dalam air semasa fase basah Bumi di masa lampau, dan para leluhur umat manusia yang pertama kali tinggal di darat haruslah lahir di dalam air dan hanya menjalani sebagian masa hidupnya di darat. Ia juga berpendapat bahwa manusia pertama dengan bentuk yang seperti kita ketahui sekarang haruslah merupakan keturunan dari jenis hewan yang berbeda (kemungkinan ikan) karena manusia memerlukan masa menyusui yang panjang untuk dapat hidup.[3][4][5] Pada akhir abad kesembilan belas, Anaximandros disanjung sebagai "Darwinis pertama", tetapi julukan ini kini tidak banyak disepakati.[6] Hipotesis Anaximandros dapat dianggap sebagai "evolusi" dalam pengertian tertentu, meskipun bukanlah evolusi Darwin.[6]

Empedokles (sekitar 490 – 430 SM), berpendapat bahwa apa yang kita sebut kelahiran dan kematian pada hewan sebenarnya hanyalah pencampuran dan pemisahan unsur-unsur yang menghasilkan "berbagai suku makhluk fana".[7] Secara spesifik, hewan dan tumbuhan pertama memiliki bentuk seperti bagian-bagian hewan dan tumbuhan zaman sekarang yang terputus-putus. Beberapa dari mereka dapat bertahan dengan menggabungkan diri dalam kombinasi-kombinasi yang berbeda, dan kemudian bercampur aduk semasa perkembangan embrio,[a] dan manakala "segala sesuatunya berujung seolah-olah terjadi dengan sengaja, di mana mereka akhirnya selamat karena secara tidak sengaja tersusun dengan baik."[8] Para filsuf lainnya yang lebih berpengaruh pada masa itu, termasuk Plato (sekitar 428/427 – 348/347 SM), Aristoteles (384 – 322 SM), dan para anggota mazhab filsafat Stoikisme, meyakini bahwa seluruh jenis benda, tidak hanya makhluk hidup, berbentuk tetap sesuai rancangan ilahi.

 
Plato (kiri) dan Aristoteles (kanan), detail gambar dari lukisan La scuola di Atene (1509–1511) karya Raphael

Plato disebut sebagai "antiwirawan besar evolusionisme" oleh ahli biologi Ernst Mayr[9] karena ia mempromosikan kepercayaan esensialisme, yang juga disebut sebagai teori bentuk. Teori ini menyatakan bahwa setiap jenis objek alam di dunia yang teramati adalah perwujudan tak sempurna dari bentuk atau "spesies" ideal yang menentukan jenis objek tersebut. Dalam karyanya Timaeus sebagai contohnya, Plato memiliki sebuah tokoh yang mengisahkan sebuah cerita bahwa Demiurge menciptakan kosmos dan segala sesuatunya karena Ia baik, dan sehingga, "... bebas dari rasa dengki, Ia ingin segala sesuatunya seperti diriNya sejauh mungkin." Sang pencipta menciptakan segala bentuk kehidupan yang terbayangkan sebab "... tanpanya, alam semesta menjadi tidak lengkap, karena ia tidak akan mengandung setiap jenis hewan yang seharusnya ia kandungi, apabila alam semesta itu sempurna. "Prinsip kelimpahan" seperti ini, yakni gagasan bahwa segala bentuk potensi kehidupan adalah esensial dalam suatu penciptaan ideal, sangat mempengaruhi pemikiran Kristen.[10] Namun, beberapa sejarawan sains mempertanyakan seberapa besar pengaruh esensialisme Plato dalam filsafat alam. Banyak filsuf-filsuf setelah Plato meyakini bahwa spesies memiliki kemampuan untuk bertransformasi dan gagasan bahwa spesies biologi berbentuk tetap dan memiliki sifat esensi yang tak berubah belumlah berpengaruh sampai pada permulaan kemunculan bidang taksonomi biologi pada abad ke-17 dan ke-18.[11]

Aristoteles, filsuf Yunani yang paling berpengaruh di Eropa, adalah murid Plato dan juga sejarawan alam terawal yang karyanya masih terlestarikan secara mendetail. Tulisan-tulisannya mengenai biologi merupakan hasil penelitiannya mengenai sejarah alam di dan sekitar pulau Lesbos dan telah bertahan dalam bentuk empat jilid buku: De anima (Tentang Jiwa), Historia animalium (Sejarah Hewan), De generatione animalium (Pembentukan Hewan), dan De partibus animalium (Tentang Bagian-bagian Hewan). Karya-karya Aristoteles berisi pengamatan-pengamatan yang akurat, yang kemudian dicocokkan ke dalam teorinya mengenai mekanisme tubuh.[12] Namun, bagi Charles Singer, "Tak ada yang dapat lebih dikenang daripada upaya [Aristoteles] untuk [mempertunjukkan] hubungan antar makhluk hidup sebagai suatu scala naturae (tangga alam)."[12] Scala naturae, yang dideskripsikan dalam Historia animalium, mengklasifikasikan organisme-organisme sesuai dengan hubungannya dengan "Tangga Kehidupan" atau "Rantai keberadaan" yang hierarkis. Aristoteles menempatkan organisme berdasarkan kompleksitas struktur dan fungsinya, dengan organisme yang menunjukkan vitalitas dan kemampuan yang lebih besar untuk bergerak disebut sebagai "organisme tingkat tinggi".[10] Aristoteles meyakini bahwa ciri-ciri organisme hidup menunjukkan dengan jelas bahwa organisme tersebut memiliki apa yang ia sebut sebagai sebab akhir, yakni bahwa bentuk-bentuk organisme adalah sesuai dengan fungsinya.[13] Ia secara eksplisit menolak pandangan Empedokles yang menyatakan bahwa makhluk hidup kemungkinan bermula dari suatu kebetulan.[14]

Para filsuf Yunani lainnya, seperti Zeno dari Citium (334 – 262 SM) yang mendirikan mazhab filsafat Stoikisme, sepakat dengan Aristoteles dan para filsuf terdahulu bahwa alam menunjukkan bukti jelas rancangan yang bertujuan; pandangan ini dikenal sebagai teleologi.[15] Filsuf Skeptisisme Romawi Cicero (106 – 43 SM) menulis bahwa Zeno diketahui memegang pandangan tersebut, yang merupakan pusat fisika Stoikisme, bahwa alam utamanya "diarahkan dan dikonsentrasikan...bagi keamanan dunia...struktur terbaik yang cocok untuk bertahan hidup."[16]

Tiongkok

sunting

Para pemikir Tiongkok kuno seperti Zhuang Zhou (s. 369 – 286 SM), seorang filsuf Taoisme, mengekspresikan gagasan-gagasan tentang perubahan spesies biologi. Menurut Joseph Needham, Taoisme secara eksplisit menolak ketetapan spesies biologi dan para filsuf Taois berspekulasi bahwa spesies mengembangkan sifat dan ciri yang berbeda dalam menanggapi lingkungan yang berbeda.[17] Taoisme menganggap manusia, alam dan surga hadir dalam keadaan "transformasi yang terus menerus" yang dikenal sebagai Tao. Pandangan ini berbeda dengan pemikiran barat yang memandang bahwa alam adalah statis.[18]

Romawi

sunting

Puisi Lucretius yang berjudul De rerum natura menyediakan penjelasan terbaik dari gagasan-gagasan para filsuf aliran Epikuros Yunani yang masih bertahan. Karya tersebut mendeskripsikan perkembangan kosmos, Bumi, makhluk hidup dan masyarakat melalui mekanisme naturalistik murni tanpa petunjuk apa pun mengenai keterlibatan supranatural. De rerum natura kemudian mempengaruhi spekulasi kosmologi dan evolusi para filsuf dan ilmuwan semasa dan setelah abad Renaisans.[19][20] Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan para filsuf Romawi dari aliran Stoikisme seperti Seneca Muda (sekitar 4 SM – 65 M) dan Plinius Tua (23 – 79 M) yang memiliki pandangan teleologis yang kuat mengenai dunia alam dan kemudian mempengaruhi teologi Kristen.[15] Cicero melaporkan bahwa pandangan Stoik dan peripatetik tentang alam sebagai perantara yang pada dasarnya berkutat pada terbentuknya kehidupan "yang paling cocok untuk bertahan hidup" (survival of the fittest) diterima begitu saja di antara kalangan elit Helenistik.[16]

Origenes dan Agustinus

sunting
 
Agustinus dari Hippo, ditampilkan dalam fresko Romawi abad keenam Masehi, menulis bahwa beberapa makhluk berkembang dari "dekomposisi" dari organisme yang ada sebelumnya.[21]

Sejalan dengan pemikiran Yunani sebelumnya, filsuf Kristen abad ketiga dan Bapa Gereja Origenes dari Aleksandria berargumen bahwa kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian harus ditafsirkan sebagai kiasan tentang jatuhnya jiwa manusia yang menjauh dari kemuliaan ilahi, dan bukannya sebagai catatan sejarah yang harfiah:[22][23]

Lantaran mana ada orang berakal yang menyangka bahwa hari pertama, hari kedua, dan hari ketiga, serta malam dan siang, dapat wujud tanpa ada matahari, bulan, dan bintang-bintang? Dan bahwa hari pertama, seolah-olah benar demikiannya, dapat wujud tanpa ada langit? Siapa yang sedemikian dungu menyangka Allah, laksana juru tani, membina firdaus di Eden, nun jauh di timur, dan menumbuhkan di dalamnya sebatang pohon hayat, yang kasatmata lagi teraba nyata, sehingga barang siapa mengecap buahnya dengan gigi jasmani, maka hayatlah yang ia dapati? Dan bahwasanya orang turut ambil bagian dalam kebajikan dan kedurjanaan dengan mengunyah apa-apa yang dipetik dari pohon itu? Dan kalau dikisahkan bahwa Allah berjalan-jalan di firdaus kala sore, sementara Adam sembunyi diri di balik pohon, aku kira tidak ada orang yang meragukan bahwa kisah-kisah ini secara kias menyiratkan rahasia-rahasia tertentu, sejarah mewujud nyata secara lahiriah, bukan secara harfiah.

— Origenes, De Principilis IV.16

Pada abad keempat masehi, uskup dan teolog Agustinus dari Hippo mengikuti Origenes dengan berpendapat bahwa kisah penciptaan Kitab Kejadian tak harus dibaca terlalu harfiah. Dalam bukunya De Genesi ad litteram (Tentang Pengartian Harfiah Kitab Kejadian), ia menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, makhluk-makhluk baru dapat muncul melalui "penguraian" dari bentuk kehidupan sebelumnya.[21] Bagi Agustinus, "kehidupan tumbuhan, unggas dan hewan tidaklah sempurna ... namun diciptakan dalam suatu keadaan potensialitas," tak seperti malaikat, cakrawala, dan jiwa manusia yang ia anggap sempurna secara teologis.[24] Gagasan Agustinus 'bahwa bentuk-bentuk kehidupan telah bertransformasi "secara lambat sepanjang waktu"' mendorong Romo Giuseppe Tanzella-Nitti, Profesor Teologi di Universitas Kepausan Santa Croce di Roma, mengklaim bahwa Agustinus telah mengusulkan suatu bentuk teori evolusi.[25][26]

Henry Fairfield Osborn menulis dalam From the Greeks to Darwin (1894):

"Apabila ortodoksi Agustinus masih tetap merupakan ajaran Gereja, pengukuhan akhir Evolusi mungkin akan datang jauh lebih awal ketimbang yang sebenarnya, mungkin pada abad kedelapan belas alih-alih kesembilan belas, dan kontroversi sengit akan kebenaran alam ini mungkin tidak akan pernah timbul. ...Singkatnya karena penciptaan hewan dan tumbuhan yang langsung dan spontan tampaknya diajarkan dalam Kitab Kejadian, Agustinus membaca kitab ini dari sudut pandang Aristoteles mengenai sebab utama dan perkembangan berangsur dari yang tidak sempurna menjadi sempurna. Guru paling berpengaruh ini sehingganya menurunkan kepada para pengikutnya pendapatnya yang sangat mirip dengan pandangan progresif dari para teolog masa sekarang yang menerima teori Evolusi."[27]

Dalam A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom (1896), Andrew Dickson White menulis tentang usaha Agustinus dalam mempertahankan pendekatan evolusioner zaman kuno dengan peristiwa penciptaan sebagai berikut:

"Selama berzaman-zaman, bahwasanya doktrin yang diterima luas adalah air, kotoran, dan bangkai menerima kuasa dari Sang Pencipta untuk menghasilkan ulat, serangga, dan bermacam-macam hewan kecil lainnya. Doktrin ini terutamanya diterima baik oleh St. Augustinus dan romo lainnya, sebab hal tersebut membebaskan Yang Mahakuasa dari menyuruh Adam menamai, dan Nuh hidup di bahtera dengan, spesies-spesies keji yang tak terhitung banyaknya ini."[28]

Mengenai Kitab Kejadian, Agustinus dalam karyanya yang berjudul De Genesi contra Manichæos berkata: "Anggapan bahwa Allah membentuk manusia dari debu dengan tangan jasmaniah sangatlah kekanak-kanakkan. ... Allah tiada pun membentuk manusia dengan tangan jasmaniah mau pun menghembuskan napas kepada manusia dengan kerongkongan dan bibirNya. Agustinus dalam karyanya yang lain menyarankan suatu teori bahwa serangga berkembang dari bangkai dan mengadopsi teori emanasi kuno ataupun evolusi dengan menunjukkan bahwa "hewan-hewan kecil tertentu mungkin belumlah diciptakan pada hari ke-lima mau pun ke-enam, tetapi muncul di kemudian hari dari benda-benda yang membusuk. Terkait De Trinitate (Tentang Trinitas) karya Agustinus, White menulis bahwa Agustinus "...mengembangkan pandangan bahwa dalam penciptaan makhluk hidup, terdapat suatu hal seperti pertumbuhan — yang Allah adalah pencipta utamanya, tetapi terjadi melalui sebab-sebab sekunder. Agustinus pada akhirnya juga berargumen bahwa zat-zat tertentu diberi kuasa oleh Allah untuk menghasilkan kelas tumbuhan dan hewan tertentu."[29]

Abad Pertengahan

sunting

Filsafat Islam dan perjuangan untuk hidup

sunting
 
Sebuah laman dari Kitāb al-Hayawān (Indonesia: Buku tentang Hewan) karya al-Jāḥiẓ

Meskipun gagasan evolusi Yunani dan Romawi ditinggalkan di Eropa setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi, gagasan ini tak ditinggalkan di kalangan filsuf dan ilmuwan Islam. Pada Zaman Keemasan Islam dari abad ke-8 sampai ke-13, para filsuf menjelajahi berbagai gagasan tentang sejarah alam. Gagasan-gagasan ini meliputi transmutasi dari benda tak hidup menjadi hidup: "dari mineral menjadi tumbuhan, dari tumbuhan menjadi hewan, dan dari hewan menjadi manusia."[30]

Di dunia Islam pada abad pertengahan, cendekiawan al-Jāḥiẓ (776 – sekitar 868) menulis Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) pada abad ke-9. Conway Zirkle, yang menulis tentang sejarah seleksi alam pada 1941, berkata bahwa kutipan dari karya ini adalah satu-satunya kutipan yang relevan [dengan seleksi alam] yang ia temukan dari cendekiawan Arab. Ia memberikan sebuah kutipan (dari terjemahan Bahasa Spanyol) yang mendeskripsikan perjuangan untuk hidup: "Setiap hewan lemah memangsa hewan yang lebih lemah darinya. Hewan yang kuat tidak dapat menghindari pemangsaan dari hewan yang lebih kuat darinya. Dalam hal inilah, manusia tidak ada bedanya dengan hewan, beberapa mirip dalam hal lainnya, walaupun tidaklah sampai dengan ekstrim yang sama. Singkatnya, Allah telah mengatur sebagian manusia sebagai sumber kehidupan bagi yang lainnya, dan demikian pula lah, Allah telah mengatur manusia lainnya sebagai sebab kematian bagi sebagian manusia tersebut."[31] Al-Jāḥiẓ juga menulis deskripsi mengenai rantai makanan.[32]

Menurut beberapa komentator, beberapa pemikiran Ibnu Khaldūn juga menyiratkan teori evolusi biologi.[33] Pada tahun 1377, Ibnu Khaldūn menulis buku berjudul Muqaddimah (Pendahuluan). Di dalamnya, ia menyatakan bahwa manusia berkembang dari "dunia kera" dalam suatu proses yang mengakibatkan "spesies menjadi bertambah banyak"[33] Dalam bab 1, ia menulis: "Dunia ini dengan seluruh hal yang diciptakan di dalamnya memiliki sebuah tatanan tertentu dan konstruksi yang kokoh. Dunia ini menunjukkan hubungan antara sebab musabab dengan akibat-akibatnya, kombinasi beberapa bagian penciptaan dengan lainnya, dan perubahan beberapa benda wujud menjadi lainnya, dalam suatu pola yang ajaib dan tiada akhir."[34]

Dalam bab 6 Muqaddimah, dinyatakan juga:

"Telah kita terangkan di sana [(di awal buku)] bahwa keseluruhan hal yang wujud dalam alam yang sederhana maupun berpadu tersusun secara alami ke dalam urutan yang tinggi dan rendah, sehingga segalanya berurutan membentuk kesinambungan yang tak terputus. Esensi pada tahap akhir tiap-tiap alam secara alaminya telah dipersiapkan untuk berubah menjadi esensi alam yang bersebelahan, baik yang berada di bawah maupun yang di atasnya. Demikianlah halnya dengan unsur-unsur materi yang sederhana; demikianlah halnya dengan pohon kurma dan anggur, (yang merupakan) tahap akhir tumbuhan, memiliki hubungan dengan siput dan kerang, (yang merupakan) tahap terendah hewan. Demikianlah juga halnya dengan kera, makhluk yang berpersepsi dan berkepandaian, memiliki hubungan dengan manusia, makhuk yang berakal dan bermenung. Kesiapan (untuk berubah) di kedua sisi tiap-tiap alam itulah yang kita maksudkan ketika membahas tentang hubungan keduanya[35]

Filsafat Kristen

sunting
 
Gambar rantai keberadaan dari Rhetorica Christiana (Indonesia: Retorika Kristen) (1579) karya Diego Valadés

Pada Abad Pertengahan Awal, semua pembelajaran klasik Yunani telah hilang di Barat. Namun, melalui kontak dengan dunia Islam yang masih melestarikan dan memperluas naskah-naskah Yunani, naskah Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada Abad ke-12 secara besar-besaran. Bangsa Eropa kemudian diperkenalkan kembali dengan karya-karya Plato dan Aristoteles beserta pemikiran Islam. Para pemikir Kristen dari mazhab skolastik, terutama Peter Abelard (1079 – 1142) dan Thomas Aquinas (1225 – 1274), kemudian memadukan pengklasifikasian makhluk Aristoteles dengan gagasan Plato bahwa Tuhan itu baik dan segala bentuk kehidupan yang ada merupakan hasil penciptaan yang sempurna. Hasilnya adalah scala naturae, atau rantai keberadaan, yaitu penggolongan segala jenis makhluk tak hidup, hidup, maupun spiritual ke dalam sistem besar yang saling berhubungan.[10][36]

Dalam sistem ini, setiap makhluk yang wujud dapat ditempatkan dalam urutan tertentu, dari yang "terendah" sampai dengan yang "tertinggi". Neraka berada di paling bawah sedangkan Allah berada di paling atas. Di bawah Allah, terdapat hierarki Malaikat yang ditandai dengan orbit planet-planet, umat manusia yang berada dalam posisi menengah, dan cacing-cacingan yang merupakan hewan terendah. Sebagaimana alam semesta itu sempurna, rantai keberadaan itu sendiri jugalah sempurna. Sehingganya, di dalam alam semesta Plato versi kristen ini, spesies tidaklah pernah berubah, melainkan tetap selamanya, sesuai yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Bagi manusia untuk lupa akan posisi mereka merupakan sesuatu yang dilihat sebagai dosa, entah bila manusia berperilaku seperti hewan rendah ataupun bercita-cita menduduki tempat yang lebih tinggi daripada yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta.[10]

Makhluk-makhluk yang saling berdekatan dalam rantai keberadaan dianggap mirip satu sama lainnya, sesuai dengan perkataan: natura non facit saltum ("alam tidak membuat lompatan").[10] Konsep dasar rantai keberadaan sangat mempengaruhi pemikiran peradaban Barat selama berabad-abad (dan masih memiliki pengaruh pada saat ini). Rantai keberadaan merupakan bagian dari argumen perancangan yang ada dalam teologi alam. Sebagai suatu sistem klasifikasi, rantai keberadaan menjadi prinsip utama pengorganisasian dan fondasi bagi ilmu biologi yang mulai muncul pada abad ke-17 dan ke-18.[10]

Pandangan Thomas Aquinas mengenai penciptaan dan proses alam

sunting

Manakala para teolog Kristen menganggap bahwa dunia alam adalah bagian dari hierarki yang terancang dan tidak berubah, beberapa teolog berspekulasi bahwa dunia berkembang melalui proses alam. Thomas Aquinas bahkan lebih jauh lagi daripada Agustinus dari Hippo dalam berargumen bahwa teks-teks kitab suci seperti Kitab Kejadian seharusnya tidak boleh ditafsirkan secara harfiah sehingga bertentangan dan mengukung para filsuf alam dalam mempelajari cara kerja alam. Ia memandang bahwa otonomi alam merupakan tanda kebaikan Allah dan tidak mendeteksi adanya konflik antara alam semesta yang merupakan ciptaan ilahi dengan gagasan bahwa alam semesta berkembang seiring waktu melalui mekanisme-mekanisme alam.[37] Walau demikian, Aquinas menentang pandangan filsuf lain (seperti filsuf Yunani Kuno Empedokles) yang memandang bahwa proses-proses alam yang ada menunjukkan bahwa alam semesta dapat berkembang tanpa adanya tujuan. Sebaliknya, Aquinas memandang bahwa: "Sebab itu, adalah jelas bahwa alam tiada lain adalah sejenis seni, yakni seni ilahi, yang terpatri dalam segala hal, yang darinya segala sesuatunya digerakkan untuk tujuan akhir tertentu. Hal ini seumpamanya pembuat kapal mampu memberikan kayu seni [membuat kapal] dan darinya kayu-kayu bergerak dengan sendirinya membentuk sebuah kapal."[38]

Renaisans dan Abad Pencerahan

sunting
 
Pierre Belon membandingkan tengkorak manusia (kiri) dan unggas (kanan) dalam L'Histoire de la nature des oyseaux (Indonesia: Sejarah Alam Unggas) (1555)

Pada paruh pertama abad ke-17, filsafat mekanisme René Descartes mendorong penggunaan metafora alam semesta sebagai suatu mesin. Konsep ini kemudian menjadi ciri khas dari revolusi ilmiah.[39] Antara tahun 1650 dan 1800, beberapa naturalis, seperti Benoît de Maillet, mengusulkan teori-teori yang menyatakan bahwa alam semesta, Bumi dan kehidupan berkembang secara mekanis, tanpa campur tangan ilahi.[40] Sebaliknya, kebanyakan pakar teori evolusi kontemporer, seperti Gottfried Leibniz dan Johann Gottfried Herder, menganggap evolusi sebagai proses yang spiritual secara mendasar.[41] Pada tahun 1751, pandangan Pierre Louis Maupertuis berubah haluan menjadi lebih materialis. Ia menulis tentang modifikasi-modifikasi alami yang terjadi saat reproduksi dan yang berakumulasi selama beberapa generasi. Modifikasi-modifikasi ini kemudian menghasilkan ras dan bahkan spesies yang baru. Deskripsi seperti ini mendahului konsep seleksi alam secara umum.[42]

Gagasan Maupertuis bertentangan dengan pengaruh para pakar taksonomi awal seperti John Ray. Pada akhir abad ke-17, Ray telah mendefinisikan spesies biologi secara formal. Oleh Ray, spesies biologi dideskripsikan memiliki ciri khas esensial yang tak berubah, dan dinyatakan pula benih suatu spesies tidak akan pernah tumbuh menjadi spesies yang lain.[11] Gagasan Ray dan pakar taksonomi lain dari abad ke-17 dipengaruhi oleh teologi alam dan argumen perancangan.[43]

Kata evolusi (dari kata Latin evolutio, artinya "bergulung terbuka") awalnya dipakai untuk merujuk kepada perkembangan embriologi; pemakaian pertamanya dalam hubungan dengan perkembangan spesies muncul pada tahun 1762, saat Charles Bonnet memakainya untuk konsep "pra-formasi," yaitu konsep bahwa betina mengandung bentuk miniatur seluruh keturunan generasi mendatang. Pengertian istilah tersebut kemudian secara bertahap meluas menjadi lebih umum, yaitu pertumbuhan atau perkembangan progresif.[44]

Pada akhir abad ke-18, filsuf Prancis Georges-Louis Leclerc, Comte de Buffon, salah satu naturalis yang terkemuka pada masa itu, berpendapat bahwa apa yang kebanyakan orang sebut spesies sebenarnya hanyalah varietas yang berciri khas tertentu, yang dimodifikasi dari bentuk aslinya oleh faktor-faktor lingkungan. Contohnya, ia menyakini bahwa singa, harimau, macan tutul, dan kucing rumah semuanya memiliki leluhur yang sama. Ia berspekulasi lebih jauh lagi bahwa dari 200 spesies mamalia yang diketahui saat itu kemungkinan merupakan keturunan dari 38 bentuk hewan asli. Gagasan evolusi Buffon cukup terbatas; ia meyakini bahwa setiap hewan bentuk asli berkembang melalui pembentukan spontan dan terbentuk dari "cetakan internal" yang membatasi besarnya perubahan yang dapat terjadi. Karya-karya Buffon, seperti Histoire naturelle (1749–1789) dan Époques de la nature (1778), sangatlah berpengaruh. Di dalamnya terdapat teori-teori yang dikembangkan dengan baik mengenai asal muasal Bumi yang sepenuhnya materialistik beserta gagasan-gagasannya yang mempertanyakan ketetapan spesies.[45][46]

Filsuf Prancis lainnya, Denis Diderot, juga menulis bahwa makhluk hidup kemungkinan muncul pertama kali melalui pembentukan spontan dan spesies selalu berubah melalui proses eksperimen di mana bentuk baru muncul dan bertahan hidup, dan bukannya didasarkan pada proses coba-coba. Gagasan ini dapat dianggap sebagai pelopor parsial seleksi alam.[47] Antara tahun 1767 dan 1792, James Burnett, Lord Monboddo, tidak hanya mencantumkan dalam tulisannya konsep bahwa manusia merupakan keturunan dari hewan primata, melainkan juga bahwa, sebagai respon terhadap lingkungan, makhluk-makhluk hidup telah menemukan suatu cara untuk mengubah ciri khasnya dalam masa waktu yang panjang.[48] Kakek Charles Darwin, Erasmus Darwin, menerbitkan Zoonomia (1794–1796) yang menyiratkan bahwa "semua hewan berdarah panas muncul dari satu filamen hidup."[49] Dalam syairnya Temple of Nature (1803), ia menjelaskan kemunculan kehidupan dari organisme-organisme kecil yang tinggal di lumpur menjadi keseluruhan keanekaragaman hayati modern.[50]

Awal abad ke-19

sunting
 
Skala waktu geologi dalam Palæontology, karya tahun 1861 Richard Owen, yang menunjukkan penampilan jenis-jenis hewan besar[51]

Paleontologi dan geologi

sunting

Pada tahun 1796, Georges Cuvier menerbitkan temuan-temuannya mengenai perbedaan antara gajah hidup dengan gajah yang ditemukan dalam jejak fosil. Analisisnya berhasil mengidentifikasi mamut dan mastodon sebagai spesies yang khas, berbeda dari hewan hidup manapun. Penemuan ini secara efektif mengakhiri perdebatan berkepanjangan mengenai spesies dapat menjadi punah.[52] Pada tahun 1788, James Hutton mendeskripsikan proses geologi bertahap yang secara berkelanjutan beroperasi sepanjang waktu dalam.[53] Pada tahun 1790-an, William Smith memulai proses pengurutan strata batu dengan menguji fosil dalam lapisan-lapisan stratum saat ia mengerjakan peta geologi Inggris buatannya. Secara terpisah, pada tahun 1811, Cuvier dan Alexandre Brongniart menerbitkan sebuah kajian berpengaruh mengenai sejarah geologi kawasan di sekitaran Paris yang berdasarkan pada suksesi stratigrafi lapisan batu. Karya-karya tersebut membantu mengukuhkan bahwa Bumi bersifat purba.[54] Cuvier mengadvokasikan katastrofisme sebagai penjelasan atas pola-pola kepunahan dan suksesi fauna yang terungkap dari jejak fosil.

Pengetahuan tentang jejak fosil terus berkembang maju dengan cepat selama beberapa dasawarsa pertama abad ke-19. Pada tahun 1840-an, garis besar skala waktu geologi menjadi jelas, dan pada tahun 1841, John Phillips menamakan tiga era besar geologi berdasarkan pada fauna yang mendominasi masing-masing era: Paleozoikum, yang didominasi oleh invertebrata laut dan ikan, Mesozoikum, zaman reptil, dan Senozoikum, zaman mamalia. Gambaran sejarah kehidupan yang berkembang secara bertahap ini diterima luas bahkan oleh geolog Inggris konservatif seperti Adam Sedgwick dan William Buckland; namun, seperti Cuvier, mereka mengalamatkan perkembangan ini sebagai akibat kejadian bencana kepunahan yang diikuti oleh kejadian penciptaan baru.[55] Tidak seperti Cuvier, Buckland dan beberapa advokat teologi alam lainnya di kalangan geolog Inggris secara eksplisit berusaha menghubungkan kejadian bencana terakhir, yang diusulkan oleh Cuvier, dengan kisah air bah.[56][57]

Dari tahun 1830 sampai 1833, geolog Charles Lyell menerbitkan karya multi-volume yang berjudul Principles of Geology. Karya ini didasarkan pada gagasan-gagasan Hutton dan mengadvokasikan teori uniformitarian sebagai alternatif dari teori katastrofisme geologi. Lyell mengklaim bahwa fitur-fitur geologi bumi, alih-alih merupakan hasil dari kejadian bencana besar (dan kemungkinan supranatural), dapat dijelaskan dengan lebih baik sebagai hasil dari angsuran gaya-gaya geologi yang masih sama terpantau sekarang—namun terjadi dalam periode waktu yang panjang. Meskipun Lyell menentang gagasan-gagasan evolusi (bahkan mempertanyakan konsensus bahwa jejak fosil menunjukkan perkembangan yang sebenarnya), konsep Lyell bahwa bumi dibentuk oleh gaya-gaya gradual yang bekerja dalam waktu yang panjang, beserta asumsi teorinya bahwa Bumi berusia sangat tua, memberi pengaruh besar kepada para pemikir evolusi pada masa mendatang seperti Charles Darwin.[58]

Transmutasi spesies

sunting
 
Teori dua faktor Lamarck melibatkan gaya kompleksifikasi yang mendorong bangun tubuh hewan menuju tingkat yang lebih tinggi (orthogenesis), menciptakan tangga fila, dan gaya adaptatif yang menyebabkan hewan dengan bangun tubuh tertentu beradaptasi terhadap keadaan lingkungan (terpakai dan teranggur, warisan sifat-sifat yang didapatkan), menciptakan keragaman spesies dan genera.[59]

Dalam Philosophie Zoologique, karya tahun 1809, Jean-Baptiste Lamarck mengusulkan teori transmutasi spesies (transformisme). Lamarck tidak percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki leluhur yang sama, sebaliknya, ia percaya bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana diciptakan secara berkelanjutan melalui pembentukan spontan. Ia juga meyakini bahwa sebuah kekuatan hidup bawaan mendorong spesies menjadi lebih kompleks sepanjang waktu, bergerak maju menaiki tangga kompleksitas linear yang berkaitan dengan rantai keberadaan. Lamarck mengakui bahwa spesies beradaptasi terhadap lingkungan mereka. Ia menjelaskannya dengan berkata bahwa kekuatan bawaan yang sama yang menggerakkan kompleksitas menyebabkan organ-organ suatu hewan (atau tumbuhan) berubah berdasarkan pada pemakaian atau pengangguran organ-organ tersebut, seperti halnya olahraga mempengaruhi otot-otot. Ia berpendapat bahwa perubahan tersebut akan diwarisi oleh keturunan berikutnya dan menghasilkan adaptasi lambat terhadap lingkungan. Mekanisme sekunder adaptasi melalui pewarisan sifat-sifat yang didapatkan inilah kemudian menjadi dikenal sebagai Lamarckisme dan mempengaruhi pembahasan evolusi sampai pada abad ke-20.[60][61]

Sekelompok ilmuwan anatomi komparatif Britania radikal yang meliputi anatomis Robert Edmond Grant memiliki hubungan dekat dengan kelompok ilmuwan Transformasionisme Prancis Lamarck. Salah satu ilmuwan Prancis yang mempengaruhi Grant adalah anatomis Étienne Geoffroy Saint-Hilaire, yang gagasannya mengenai kesatuan berbagai bangun tubuh hewan dan homologi struktur anatomi tertentu berpengaruh besar dan berujung pada perdebatan yang sengit dengan koleganya Georges Cuvier. Grant menjadi pakar anatomi dan reproduksi invertebrata laut yang berotoritas. Ia mengembangkan gagasan transmutasi dan evolusionisme Lamarck dan Erasmus Darwin, dan menyelidiki homologi, bahkan mengusulkan bahwa tumbuhan dan hewan memiliki titik awal evolusi yang sama. Pada masa muda, Charles Darwin mengikuti Grant dalam penyelidikan daur kehidupan hewan laut. Pada tahun 1826, sebuah makalah anonim, yang mungkin ditulis oleh Robert Jameson, memuji Lamarck karena menjelaskan bagaimana hewan-hewan yang lebih tinggi telah "berevolusi" dari ulat-ulat tersederhana; dalam makalah ini, kata "berevolusi" dipakai pertama kali dalam pengertian modern.[62][63]

 
Vestiges of the Natural History of Creation (1844) terbitan Robert Chambers menunjukkan ikan (F), reptil (R), dan burung (B) bercabang dari sebuah garis yang berujung ke mamalia (M).

Pada tahun 1844, penerbit Skotlandia Robert Chambers secara anonim menerbitkan sebuah buku yang banyak dibaca tetapi sangat kontroversial berjudul Vestiges of the Natural History of Creation (Bahasa Indonesia: Sisa-sisa Sejarah Penciptaan Alam). Buku tersebut mengusulkan skenario asal muasal Tata Surya dan kehidupan di Bumi yang evolusioner. Karya tersebut mengklaim bahwa jejak fosil menunjukkan perkembangan hewan yang progresif, dengan hewan-hewan terkini bercabang dari sebuah garis utama yang secara progresif berujung pada manusia. Buku ini menyiratkan bahwa transmutasi berujung pada penyingkapan rencana alam yang telah diatur dan terajut dalam hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Dalam hal ini, gagasan buku ini tidaklah sematerialistik gagasan radikal Grant, tetapi implikasi bahwa manusia hanyalah tahap terakhir perkembangan hewan membuat para pemikir konservatif marah. Perdebatan publik yang menarik khalayak ramai mengenai buku ini, dengan penggambaran evolusi sebagai suatu proses yang progresif, kemudian memberi pengaruh yang besar terhadap persepsi mengenai teori Darwin satu dasawarsa berikutnya.[64][65]

Gagasan-gagasan tentang transmutasi spesies diasosiasikan dengan materialisme radikal Abad Pencerahan dan diserang oleh para pemikir yang lebih konservatif. Cuvier menyerang gagasan-gagasan Lamarck dan Geoffroy, dan sepakat dengan Aristoteles bahwa spesies bersifat tetap. Cuvier meyakini bahwa bagian-bagian individu seekor hewan sangat berkorelasi satu sama lainnyam sehingga tidak memungkinkan suatu bagian anatomi berubah sendirian dari yang lainnya. Ia berpendapat bahwa jejak fosil menunjukkan pola-pola bencana kepunahan yang disusul oleh repopulasi, ketimbang perubahan berangsur sepanjang waktu. Ia juga mencatat bahwa gambar-gambar hewan dan mumi-mumi hewan dari Mesir, yang berusia ribuan tahun, tidak menunjukkan adanya tanda perubahan dibandingkan dengan hewan-hewan modern. Kekuatan argumen Cuvier dan reputasi ilmiahnya membantu menyingkirkan gagasan transmutasi spesies dari ilmu arus utama selama berdasawarsa.[66]

 
Diagram tahun 1848 karya Richard Owen menunjukkan arketipe konseptualnya untuk seluruh vertebrata.[67]

Di Britania Raya, filsafat teologi alam masih berpengaruh. Buku tahun 1802 karya William Paley, berjudul Natural Theology, berisi analogi pembuat arloji yang terkenalnya dan ditulis setidaknya sebagian sebagai tanggapan terhadap gagasan transmutasi Erasmus Darwin.[68] Para geolog yang terpengaruh oleh teologi alam, seperti Buckland dan Sedgwick, secara rutin menyerang gagasan-gagasan evolusi Lamarck, Grant, dan Vestiges.[69][70] Meskipun Charles Lyell menentang geologi alkitabiah, ia juga percaya akan ketetapan spesies. Dalam buku Principles of Geology karyanya, ia mengkritik teori-teori perkembangan Lamarck.[58] Para idealis seperti Louis Agassiz dan Richard Owen meyakini bahwa setiap spesies bersifat tetap dan tak berubah karena ini mewakili gagasan pikiran Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa hubungan antar spesies dapat ditentukan dari pola perkembangan embriologi beserta dari jejak fosil, tetapi hubungan tersebut mewakili pola yang bernaung dalam pemikiran ilahi, dengan penciptaan progresif yang berujung pada peningkatan kompleksitas dan berpuncak pada manusia. Owen mengembangkan gagasan "arketipe" dalam pikiran Ilahi yang akan menghasilkan seurutan spesies yang berhubungan berdasarkan homologi anatomi, misalnya lengan vertebrata. Owen memimpin kampanye publik yang sukses memarginalisasi Grant dalam komunitas ilmiah. Darwin kemudian memakai gagasan homologi yang dianalisis oleh Owen dalam teorinya sendiri. Namun perlakuan buruk oleh Grant, dan kontroversi terhadap buku Vestiges, menunjukkan kepada Darwin bahwa ia perlu memastikan bahwa gagasan-gagasannya bersifat ilmiah.[63][71][72]

Pendahuluan seleksi alam

sunting

Bilamana kita melihat sejarah biologi dari zaman Yunani kuno dan seterusnya, kita dapat menemukan gagasan-gagasan yang mendahului hampir keseluruhan gagasan utama Charles Darwin. Sebagai contohnya, Loren Eiseley menemukan kutipan-kutipan yang ditulis oleh Buffon yang mengsugestikan bahwa ia telah nyaris menyusun teori seleksi alam. Namun, Eiseley menyatakan bahwa antisipasi seperti ini tidaklah boleh dilihat di luar konteks karya tulis dan nilai-nilai kultural saat itu, yang membuat gagasan evolusi Darwin tak terpikirkan.[73]

Saat Darwin sedang mengembangkan teorinya, ia menyelidiki pembiakan selektif dan terkesan oleh pengamatan Sebright bahwa "Musim dingin yang parah, atau kelangkaan pangan, memiliki kebaikan efek-efek seleksi yang paling terampil dengan menghancurkan [makhluk hidup] yang lemah dan tak sehat," sehingga "yang lemah dan tak sehat itu tidak dapat hidup untuk mengembangbiakkan kelemahan mereka."[74] Darwin dipengaruhi oleh gagasan Charles Lyell tentang perubahan lingkungan yang menyebabkan peralihan ekologi, yang berujung pada apa yang Augustin de Candolle sebut sebagai perang antara spesies tumbuhan yang saling bersaing. Persaingan ini juga dideskripsikan oleh botanis William Herbert. Darwin memakai frase "perjuangan untuk hidup" dari Thomas Robert Malthus, yang dipakai Malthus untuk mendeskripsikan perang antar suku.[75][76]

Beberapa penulis mengantisipasi aspek-aspek evolusi dari teori Darwin, dan dalam edisi ketiga dari On the Origin of Species yang terbit pada tahun 1861, Darwin menyebut orang-orang yang ia kenal dalam apendiks introduktori, An Historical Sketch of the Recent Progress of Opinion on the Origin of Species, yang ia jelaskan pada edisi-edisi berikutnya.[77]

Pada 1813, William Charles Wells membacakan esai-esai Royal Society yang berasumsi bahwa terdapat evolusi manusia, dan mengakui prinsip seleksi alam. Darwin dan Alfred Russel Wallace tak menyadari karya tersebut saat mereka sama-sama menerbitkan teori tersebut pada 1858, tetapi Darwin kemudian menyadari bahwa Wells mengakui prinsip tersebut sebelum mereka, menulis bahwa makalah "An Account of a White Female, part of whose Skin resembles that of a Negro" diterbitkan pada 1818, dan "ia sendiri mengakui prinsip seleksi alam, dan ini adalah pengakuan pertama yang telah terindikasi; namun ia hanya menerapkannya pada ras-ras manusia, dan karakter-karakter tertentu itu sendiri."[78]

Patrick Matthew menulis dalam bukunya On Naval Timber and Arboriculture (1831) bahwa "keseimbangan berkelanjutan dari kehidupan menuju puncak. ... Pronegi dari orang tua yang sama, di bawah perbedaan besar dari puncak, mungkin, dalam beberapa generasi, bahkan menjadi spesies berbeda, tak didapatkan dari ko-reproduksi."[79] Darwin mengimpilasikan bahwa ia menemukan karya tersebut setelah publikasi awal dari Origin. Dalam sketsa sejarah singkat yang Darwin cantumkan dalam edisi ke-3, ia berkata "Sayangnya, pandangan yang diberikan oleh Tuan Matthew sangat singkat dalam pasal-pasal terpencar dalam sebuah Apendiks pada sebuah karya tentang subyek berbeda ... namun, ia secara jelas menyatakan unsur penuh dari prinsip seleksi alam."[80]

Namun, seperti yang sejarawan sains Peter J. Bowler katakan, "Melalui kombikasi teorisasi yang ditebalkan dan evaluasi komprehensif, Darwin memajukan konsep evolusi yang unik pada waktu itu." Bowler menyatakan bahwa prioritas sederhana sendiri tak mendorong penempatan dalam sejarah sains; beberapa orang mengembangkan sebuah gagasan dan mendorong orang lain dari bidangnya untuk memiliki dampak nyata.[81] Thomas Henry Huxley berkata dalam esainya yang menanggapi On the Origin of Species:

"Sugesti bahwa spesies baru dihasilkan dari tindakan selektif dari kondisi eksternal atas variasi dari tipe spesifik mereka yang individual saat ini—dan yang mereka sebut "spontan," karena mereka menghiraukan sebab mereka—sepenuhnya tak diketahui sejarawan gagasan saintifik seperti halnya para spesialis biologi sebelum 1858. Namun, sugesti tersebut adalah gagasan utama dari 'Origin of Species,' dan terdiri dari kuintesensi Darwinisme."[82]

 
Sketsa pertama buatan Charles Darwin dari pohon evolusi dari buku catatan "B"-nya tentang transmutasi spesies (1837–1838)

Seleksi alam

sunting

Susunan biogeografi yang Charles Darwin amati di tempat-tempat seperti Kepulauan Galápagos pada pelayaran kedua HMS Beagle membuatnya meragukan ketetapan spesies, dan pada 1837, Darwin memulai karya pertama dari serangkaian buku catatan rahasia tentang transmutasi. Pengamatan-pengamatan Darwin membuatnya memandang transmutasi sebagai proses peragaman dan percabangan, ketimbang progresi mirip pokok yang dipandang oleh Jean-Baptiste Lamarck dan lainnya. Pada 1838, ia membaca edisi ke-6 baru dari An Essay on the Principle of Population, yang ditulis pada akhir abad ke-18 oleh Thomas Robert Malthus. Gagasan Malthus tentang pertumbuhan populasi yang berujung pada perjuangan untuk bertahan hidup berpadu dengan pengetahuan Darwin tentang cara pembuahan memilih sifat, yang berujung pada pembentukan teori seleksi alam Darwin. Darwin tak menerbitkan gagasannya tentang evolusi selama 20 tahun. Namun, ia membaginya dengan beberapa naturalis lain dan teman-temannya, mula-mula dengan Joseph Dalton Hooker, dimana ia mendiskusikan esay tahun 1844 buatannya yang tak diterbitkan tentang seleksi alam. Pada periode tersebut, ia memakai waktu agar ia dapat mengerjakan karya saintifik lainnya untuk menyempurnakan gagasannya secara perlahan dan bukti untuk mendukungnya, menyadari akan kontroversi intens terhadap transmutasi. Pada September 1854, ia memulai kerja waktu penuh dalam menulis bukunya tentang seleksi alam.[72][83][84]

Tak seperti Darwin, Alfred Russel Wallace, yang dipengaruhi oleh buku Vestiges of the Natural History of Creation, menduga bahwa transmutasi spesies terjadi saat ia memulai kariernya sebagai naturalis. Pada 1855, pengamatan biogeografinya saat kerja lapangan di Amerika Selatan dan Kepulauan Melayu membuatnya percaya akan susunan bercabang dari evolusi dengan menerbitkan makalah yang menyatakan bahwa setiap spesies bermula dari kedekatan menjadi spesies yang ada dan saling bersekutu. Seperti Darwin, ini adalah pernyataan Wallace tentang bagaimana gagasan Malthus diterapkan kepada populasi hewan yang membuatnya memberikan pernyataan yang sangat menyamai pernyataan yang dibuat oleh Darwin tentang peran seleksi alam. Pada Februari 1858, Wallace, tanpa menyadari gagasan yang belum diterbitkan dari Darwin, mengkompoasisikan pemikirannya ke sebuah esai dan menyuratinya kepada Darwin, menanyai soal tanggapannya. Hasilnya adalah publikasi bersama sebuah penyarian dari esai tahun 1844 karya Darwin bersama dengan surat Wallace pada bulan Juli. Darwin juga mulai mengerjakan penjelasan pendek tentang teorinya, yang ia akan terbitkan pada 1859 dengan judul On the Origin of Species.[85]

 
Diagram Othniel Charles Marsh dari evolusi kaki dan gigi kuda yang direproduksi dalam Prof. Huxley in America (1876) karya Thomas Henry Huxley[86]

1859–1930-an: Darwin dan warisannya

sunting

Pada 1850-an, apakah spesies berevolusi atau tidak adalah subyek debat intens, dengan para ilmuwan berpengaruh berpendapat pada kedua sisi atas masalah tersebut.[87] Publikasi On the Origin of Species karya Charles Darwin secara fundamental mentransformasikan diskusi atas asal muasal biologi.[88] Darwin berpendapat bahwa versi percabangan dari evolusi menjelaskan kekayaan fakta dalam biogreografi, anatomi, embriologi, dan bidang biologi lainnya. Ia juga menyediakan mekanisme kogen pertama dimana perubahan evolusi dapat terjadi: teori seleksi alam buatannya.[89]

Salah satu naturalis pertama dan paling berpengaruh yang tersanjung oleh realitas evolusi Origin adalah anatomis Inggris, Thomas Henry Huxley. Huxley mengakui bahwa tak seperti gagasan transmutasional sebelumnya dari Jean-Baptiste Lamarck dan Vestiges of the Natural History of Creation, teori Darwin menyediakan mekanisme untuk evolusi tanpa keterlibatan supranatural, bahkan jika Huxley sendiri tak sepenuhnya menyatakan bahwa seleksi alam adalah mekanisme evolusi penting. Huxley akan membuat advokasi evolusi menjadi batu pijakan dari program X Club untuk mereformasi dan memprofesionalisasi sains dengan menggantikan teologi alam dengan naturalisme dan mengakhiri dominasi sains alam Inggris dari rohaniwan. Pada awal 1870-an di negara-negara pemakai bahasa Inggris, berterima kasih atas upaya-upaya tersebut, evolusi telah menjadi penjelasan saintifik arus utama untuk asal muasal spesies.[89] Dalam kampanyenya untuk penerimaan publik dan saintifik dari teori Darwin, Huxley membuat pemakaian ekstensif dari bukti baru untuk evolusi dari paleontologi. Ini meliputi bukti bahwa unggas berevolusi dari reptil, yang meliputi penemuan Archaeopteryx di Eropa, dan sejumlah fosil unggas primitif dengan gigi ditemukan di Amerika Utara. Serangkaian bukti penting lainnya adalah temuan fosil-fosil yang membantu menjelaskan evolusi kuda dari leluhur lima jari kecilnya.[90] Namun, penerimaan evolusi di kalangan ilmuwan di negara-negara yang tak memakai bahasa Inggris seperti Prancis dan negara-negara selatan Eropa dan Amerika Latin berjalan lambat. Dengan pengecualian adalah Jerman, dimana August Weismann dan Ernst Haeckel memenangkan gagasan tersebut: Haeckel memakai evolusi untuk menantang tradisi yang berdiri dari idealisme metafisika dalam biologi Jerman, seperti yang Huxley lakukan dalam menantang teologi alam di Inggris.[91] Haeckel dan ilmuwan Jerman lainnya memakainya dalam meluncurkan program ambisius untuk merekonstruksi sejarah kehidupan evolusi berdasarkan pada morfologi dan embriologi.[92]

Teori Darwin sukses memberikan tanggapan saintifik terkait perkembangan kehidupan dan memproduksi revolusi filsafat kecil.[93] Namun, teori tersebut tak dapat menjelaskan beberapa komponen kritikal dari proses evolusi. Secara saintifik, Darwin tak dapat menjelaskan sumber variasi dalam memperlakukan sebuah spesies, dan tak dapat mengidentifikasikan mekanisme yang dapat mengesahkan perlakuan yang sepenuhnya dipercaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hipotesis pangenesis dari Darwin, meskipun menjawab sebagian pewarisan karakteristik yang diterima, menunjang pemakaian untuk model statistik evolusi yang dikembangkan oleh sepupunya Francis Galton dan aliran "biometrik"-nya dari pemikiran evolusi. Namun, gagasan tersebut hanya sedikit dipakai di kalangan pakar biologi lainnya.[94]

Aplikasi kepada manusia

sunting
 
Ilustrasi ini (akar dari The March of Progress[95]) adalah bagian depan dari buku Thomas Henry Huxley Evidence as to Man's Place in Nature (1863). Huxley menerapkan gagasan Darwin kepada manusia, memakai anatomi komparatif untuk menunjukkan bahwa manusia dan kera memiliki leluhur yang sama, yang menantang gagasan teologi penting bahwa manusia memegang tempat unik di alam semesta.[96]

Charles Darwin menyadari reaksi keras dalam beberapa bagian komunitas saintifik melawan pernyataan yang dibuat dalam Vestiges of the Natural History of Creation bahwa manusia berkembang dari hewan lewat proses transmutasi. Sehingga, ia nyaris sepenuhnya menghiraukan topik evolusi manusia dalam On the Origin of Species. Disamping pengabaian tersebut, masalah tersebut tampil menonjol dalam debat menyusul publikasi buku tersebut. Selama sebagian besar paruh pertama abad ke-19, komunitas saintifik meyakini bahwa, meskipun geologi menunjukkan bahwa Bumi dan kehidupan sangat tua, manusia muncul mendadak beberapa ribu tahun sebelum saat ini. Namun, serangkaiain penemuan arkeologi pada 1840-an dan 1850-an menunjukkan alat-alat batu yang diasosiasikan dengan sisa-sisa hewan punah. Pada awal 1860-an, sesuai dengan yang dijelaskan dalam buku 1863 Charles Lyell Geological Evidences of the Antiquity of Man, banyak orang menerima bahwa manusia telah ada pada zaman pra-sejarah—yang terbentang beberapa ribu tahun sebelum permulaan sejarah tertulis. Pandangan sejarah manusia tersebut lebih tumpang tindih dengan asal muasal evolusi untuk manusia ketimbang pandangan yang lebih lama. Di sisi lain, pada waktu itu, tak ada bukti fosil yang menunjukkan evolusi manusia. Satu-satunya fosil manusia yang ditemukan sebelum penemuan Manusia Jawa pada 1890-an adalah anatomi manusia modern atau Neanderthal yang terlalu dekat, khususnya dalam karakteristik kritikal dari kapasitas kranial, dengan manusia modern yang membuat mereka dianggap perantara antara manusia dan primata lainnya.[97]

Sehingga, debat yang terjadi langsung setelah penerbitan On the Origin of Species terpusat pada kesamaan dan perbedaan manusia dan kera modern. Carolus Linnaeus dikritik pada abad ke-18 karena mengkelompokkan manusia dan kera bersamaan sebagai primata dalam sistem klasifikasi dasarnya.[98] Richard Owen membela klasifikasi yang disugestikan oleh Georges Cuvier dan Johann Friedrich Blumenbach yang menempatkan manusia dalam tatanan terpisah dari mamalia lainnya, yang pada awal abad ke-19 telah menjadi pandangan ortodoks. Di sisi lain, Thomas Henry Huxley berniat untuk menunjukkan hubungan anatomi dekat antara manusia dan kera. Dalam satu insiden terkenal, yang dikenal sebagai Pertanyaan Hippocampus Besar, Huxley menunjukkan bahwa Owen salah mengklaim bahwa otak gorila menyusutkan struktur saat ini dalam otak manusia. Huxley menjelaskan argumennya dalam buku tahun 1863 yang sangat berpengaruh Evidence as to Man's Place in Nature. Sudut pandang lain diadvokasikan oleh Lyell dan Alfred Russel Wallace. Mereka sepakat bahwa manusia berbagi leluhur umum dengan kera, tetapi bertanya apakah mekanisme materialistik murni dapat mencatat semua perbedaan antara manusia dan kera, khususnya beberapa aspek dari pikiran manusia.[97]

Pada 1871, Darwin menerbitkan The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex, yang berisi pandangannya tentang evolusi manusia. Darwin berpendapat bahwa perbedaan antara pikiran manusia dan pikiran hewan-hewan yang lebih tinggi adalah materi tingkatan ketimbang jenis. Contohnya, ia memandang moralitas sebagai pertumbuhan insting alami yang bermanfaat bagi hewan yang tinggal dalam kelompok sosial. Ia berpendapat bahwa semua perbedaan antara manusia dan kera dijelaskan oleh kombikasi tekanan selektif yang datang dari leluhur mereka yang bergerak dari pohon ke tanah, dan seleksi seksual. Debat tentang asal muasal manusia, dan tingkat keunikan manusia masih berlanjut pada abad ke-20.[97]

Alternatif dari seleksi alam

sunting
 
Foto dari buku 1917 Henry Fairfield Osborn Origin and Evolution of Life menunjukkan model-model yang menggambarkan evolusi cula Titanothere sepanjang waktu, yang Osborn klaim merupakan contoh dari tren ortogenetik dalam evolusi.[99]

Konsep evolusi banyak diterima di lingkup saintifik dalam beberapa tahun publikasi Origin, tetapi penerimaan seleksi alam sebagai mekanisme penggeraknya kurang tersebar. Empat alternatif besar untuk seleksi alam pada akhir abad ke-19 adalah evolusi teistik, neo-Lamarckisme, ortogenesis, dan saltationisme. Alternatif-alternatif yang didukung oleh para biologis pada waktu yang lain meliputi strukturalisme, teleologi dari Georges Cuvier selain fungsionalisme non-evolusi, dan vitalisme.

Evolusi teistik adalah gagasan bahwa Allah ikut campur tangan dalam proses evolusi, untuk memandunya dalam cara semacam itu agar makhluk hidup masih dapat layak untuk dirancang. Istilah tersebut dipromosikan oleh advokat Amerika terbesar dari Charles Darwin Asa Gray. Namun, gagasan tersebut secara bertahap kurang diminati di kalangan ilmuwan, karena mereka menjadi makin tertarik dengan gagasan naturalisme metodologi dan meyakini bahwa banding langsung dengan keterlibatan supranatural tidaklah produktif secara saintifik. Pada 1900, evolusi teistik sebagian besar hilang dari diskusi saintifik profesional, meskipun masih sangat populer.[100][101]

Pada akhir abad ke-19, istilah neo-Lamarckisme menjadi diasosiasikan dengan posisi para naturalis yang memandang pewarisan karakteristik menonjol sebagai mekanisme evolusi paling berpengaruh. Para advokat dari posisi tersebut meliputi penulis Inggris dan kritikus Darwin Samuel Butler, pakar biologi Jerman Ernst Haeckel, dan pakar paleontologi Amerika Edward Drinker Cope. Mereka menganggap Lamarckisme lebih tinggi secara filsafat ketimbang gagasan seleksi Darwin yang bertindak pada variasi acak. Cope memandang, dan melalui yang ia temukan, susunan-susunan progresi linear dalam jejak fosil. Pewarisan karakteristik menonjol adalah bagian dari teori rekapitulasi evolusi Haeckel, yang menyatakan bahwa perkembangan embriologi dari sebuah organisme mengulang riwayat evolusinya.[100][101] Para kritikus neo-Lamarckisme, seperti pakar biologi Jerman August Weismann dan Alfred Russel Wallace, menekankan bahwa tak ada orang yang pernah memproduksi bukti solid untuk pewarisan karakteristik menonjol. Disamping kritikan tersebute, neo-Lamarckisme menjadi menjadi alternatif paling populer untuk seleksi alam pada akhir abad ke-19, dan masih dipegang beberapa naturalis pada abad ke-20.[100][101]

Ortogenesis adalah hipotesis bahwa kehidupan memiliki tendensi untuk berubah, dalam mode unilinear, menuju kesempurnaan yang lebih besar. Ini memiliki pengikutan signifikan pada abad ke-19, dan para pemegangnya meliputi pakar biologi Rusia Leo S. Berg dan pakar paleontologi Amerika Henry Fairfield Osborn. Ortogenesis menjadi populer di kalangan beberapa pakar paleontologi, yang meyakini bahwa jejak fosil menunjukkan perubahan unidireksional bertahap dan konstan.

Saltationisme adalah gagasan bahwa spesies baru timbul sebagai hasil dari mutasi besar. Ini dipandang sebagai alternatif yang lebih cepat untuk konsep Darwinian dari proses bertahap variasi acak kecil yang terjadi pada seleksi alam, dan populer di kalangan pakar genetik awal seperti Hugo de Vries, William Bateson, dan pada awal kariernya, Thomas Hunt Morgan. Ini menjadi dasar dari teori mutasi evolusi.[100][101]

 
Diagram dari buku 1919 Thomas Hunt Morgan The Physical Basis of Heredity, menunjukkan pewarisan terkait jenis kelamin dari mutasi mata putih pada Drosophila melanogaster

Mendelian genetik, biometrik, dan mutasi

sunting

Penemuan kembali hukum pewarisan Gregor Mendel pada 1900 menimbulkan debat runcing antara dua kubu pakar biologi. Di satu kubu adalah Mendelian, yang berfokus pada variasi diskret dan hukum pewarisan. Mereka dipimpin oleh William Bateson (yang mencanangkan kata genetik) dan Hugo de Vries (yang mencanangkan kata mutasi). Para lawan mereka adalah biometrisian, yang meminati ragam berkelanjutan dari karakteristik dalam populasi. Para pemimpin mereka, Karl Pearson dan Walter Frank Raphael Weldon, mengikuti tradisi Francis Galton, yang berfokus pada analisis ukuran dan statistik dari variasi dalam sebuah populasi. Para biometrisian menyangkal genetik Mendelian atas dasar bahwa unit-unit diskret dari warisan, seperti gen, tak dapat menjelaskan rangkaian berkelanjutan dari variasi yang terlihat dalam populasi nyata. Karya Weldon dengan kepiting dan siput menyediakan bukti bahwa keberadaan seleksi dari lingkungan dapat mengubah serangkaian variasi dalam populasi liar, tetapi Mendelian menyatakan bahwa variasi-variasi yang diukur oleh biometrisian terlalu insignifikan untuk pencatatan evolusi spesies baru.[102][103]

Saat Thomas Hunt Morgan mulai bereksperimen dengan pembuahan lalat buah Drosophila melanogaster, ia adalah seorang saltationis yang berhara untuk menunjukkan bahwa spesies baru dapat tercipta dalam lab oleh mutasi sendiri. Meskipun demikian, pengerjaan di labnya antara 1910 dan 1915 merekonfirmasikan genetik Mendelian dan menyediakan bukti eksperimental solid yang menghubungkannya dengan pewarisan kromosomal. Karyanya juga mendemonstrasikan bahwa sebagian besar mutasi memiliki dampak yang relatif kecil, seperti perubahan pada warna mata, dan bahwa alih-alih menciptakan spesies baru dalam tahap tunggal, mutasi terjadi untuk meningkatkan variasi dalam populasi yang ada.[102][103]

1920-an–1940-an

sunting
Biston betularia f. typica adalah bentuk bertubuh putih dari ngengat
Biston betularia f. carbonaria adalah bentuk bertubuh hitam dari ngengat

Genetik populasi

sunting

Model-model Mendelian dan biometrisian kemudian berekonsiliasi dengan perkembangan genetik populasi. Sebuah langkah penting adalah karya pakar biologi dan statistik Inggris Ronald Fisher. Dalam serangkaian makalah yang dimulai pada 1918 dan berpuncak dalam buku tahun 1930 buatannya The Genetical Theory of Natural Selection, Fisher menunjukkan bahwa variasi berkelanjutan yang diukur oleh para biometrisian dapat diproduksi oleh aksi kombinasi dari beberapa gen diskret, dan bahwa seleksi alam dapat mengubah frekuensi-frekuensi gen dalam sebuah populasi, yang menghasilkan evolusi. Dalam serangkaian makalah yang bermula pada 1924, pakar genetik Inggris lainnya, J. B. S. Haldane, menerapkan analisis statistik kepada contoh-contoh dunia nyata dari seleksi alam, seperti evolusi melanisme industrial pada ngengat, dan menunjukkan bahwa seleksi alam berlangsung lebih cepat ketimbang yang diasumsikan oleh Fisher.[104][105]

Pakar biologi Amerika Sewall Wright, yang memiliki latar belakang eksperimen pembuahan hewan, berfokus pada kombinasi gen yang berinteraksi, dan efek pembuahan pada populasi yang kecil dan relatif terisolasi yang menunjukkan laju genetik. Pada 1932, Wright mengenalkan konsep lanskap adaptif dan berpendapat bahwa laju genetik dan pembuahan dapat menggerakkan sub-populasi terisolasi dan kecil jauh dari puncak adaptif, membolehkan seleksi alam untuk melajukannya menuju puncak adaptif berbeda. Karya Fisher, Haldane dan Wright memfondasikan disiplin genetik populasi. Ini mengintegrasikan seleksi alam dengan genetik Mendelian, yang menjadi langkah kritikal pertama dalam mengembangkan teori terunifikasi dari cara evolusi bekerja.[104][105]

Sintesis modern

sunting
 
Beberapa gagasan besar tentang evolusi datang bersamaan dalam genetik populasi dari awal abad ke-20 untuk membentuk sintesis modern, yang meliputi variasi genetik, seleksi alam, dan pewarisan partikulasi (Mendelian). Ini mengakhiri gerhana Darwinisme dan menimbulkan beragam teori evolusi non-Darwinian.

Dalam beberapa dekade pertama dari abad ke-20, kebanyakan naturalis lapangan meyakini bahwa mekanisme alternatif evolusi seperti Lamarckisme dan ortogenesis menyediakan penjelasan terbaik untuk kompleksitas yang mereka amati pada makhluk hidup. Namun karena bidang genetik terus berkembang, pandangan tersebut menjadi kurang mendasar.[106] Theodosius Dobzhansky, seorang tenaga kerja pasca-doktoral di lab milik Thomas Hunt Morgan, dipengaruhi oleh hasil kerja pada keragaman genetik dari para pakar genetik Rusia seperti Sergei Chetverikov. Ia membantu menjembatani perpecahan antara fonasi mikroevolusi yang dikembangkan oleh para pakar genetik populasi dan susunan makroevolusi yang diamati oleh pakar biologi lapangan, dengan buku tahun 1937 buatannya Genetics and the Origin of Species. Dobzhansky menguji keragaman genetik dari populasi liar dan menunjukkan bahwa, brseberangan dengan asumsi para pakar genetik populasi, populasi tersebut memiliki sejumlah besar keragaman genetik, dengan menandai perbedaan antar sub-populasi. Buku tersebut juga mencantumkan hasil kerja matematika tingkat tinggi dari pakar genetik populasi dan menempatkannya dalam bentuk yang lebih dapat diakses. Di Inggris, E. B. Ford, pionir genetik ekologi, terus mendemonstrasikan kekuatan seleksi sepanjang 1930-an dan 1940-an karena faktor-faktor ekologi meliputi kemampuan untuk mengutamakan keragaman genetik melalui polimorfisme seperti golongan darah manusia. Karya Ford kemudian berkontribusi pada peralihan pada sintesis modern menuju seleksi alam atas laju genetik.[104][105][107][108]

Pakar biologi evolusi Ernst Mayr dipengaruhi oleh hasil kerja pakar biologi Jerman Bernhard Rensch menunjukkan pengaruh faktor-faktor lingkungan lokal pada persebaran geografi dari sub-spesies dan spesies yang sangat berkaitan. Mayr menyusul hasil kerja Dobzhansky dengan buku tahun 1942 Systematics and the Origin of Species, yang berisi tentang pengaruh spesiasi alopatrik dalam formasi spesies baru. Bentuk spesiasi tersebut terjadi saat isolasi geografi dari sebuah sub-populasi disusul oleh perkembangan mekanisme untuk isolasi reproduktif. Mayr juga merumuskan konsep spesies biologi yang mendefinisikan spesies sebagai sekelompok populasi antar-pembuahan atau berpotensi antar-pembuahan yang terisolasi secara reproduktif dari seluruh populasi lain.[104][105][109]

Dalam buku tahun 1944 Tempo and Mode in Evolution, George Gaylord Simpson menunjukkan bahwa jejak fosil sejalan dengan susunan non-direksional ireguler yang diprediksi oleh pengembangan sintesis evolusi, dan bahwa tren-tren linear yang para pakar paleontologi dari masa sebelumnya klaim mendukung ortogenesis dan neo-Lamarckisme tak memegang eksaminasi yang mendekati. Pada 1950, G. Ledyard Stebbins menerbitkan Variation and Evolution in Plants, yang membanti mengintegrasikan botani ke sintesis. Konsensus disipliner silang pada hasil kerja evolusi dikenal sebagai sintesis modern. Ini meraih namanya dari buku tahun 1942 Evolution: The Modern Synthesis karya Julian Huxley.[104][105]

Sintesis modern menyediakan inti konseptual—terutama, seleksi alam dan genetik populasi Mendelian—yang dipasangkan bersamaan dengan beberapa disiplin biologi, tetapi tak semua: biologi perkembangan adalah salah satunya. Ini membantu legitimasi biologi evolusi, sebuah sains sejarah utama, dalam iklim saintifik yang menyanjung metode-metode eksperimental atas bidang sejarah sains.[110] Sintesis juga menghasilkan penyempitan rangkaian pemikiran evolusi arus umum (apa yang Stephen Jay Gould sebut "mengeraskan sintesis"): pada 1950-an, seleksi alam bertindak pada variasi genetik yang secara virtual merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat diterima dari mikroevolusi ekstensif.[111][112]

1940s–1960-an: Biologi molekular dan evolusi

sunting

Pada dekade-dekade pertengahan dari abad ke-20, biologi molekuler timbul, dan bidang tersebut mempelajari alam kimia gen sebagai sekuensi-sekuensi DNA dan hubungan mereka dengan sekuensi-sekuensi protein melalui kode genetik. Pada saat yang bersamaan, teknik kuat meningkat untuk menganalisis protein, seperti elektroforesis dan pensekuensian protein, membawa fenomena biokimia ke dalam ranah teori evolusi sintetis. Pada awal 1960-an, pakar biokimia Linus Pauling dan Emile Zuckerkandl mengusulkan hipotesis jam molekuler: perbedaan sekuensi antara protein homologus dapat dipakai untuk menghitung waktu sejak dua spesies terragamkan. Pada 1969, Motoo Kimura dan lainnya menyediakan basis teoretikal untuk jam molekuler, berpendapat bahwa—di tingkat molekuler terrendah—kebanyakan mutasi genetik tidaklah berbahaya maupun membantu dan bahwa mutasi dan pergerakan genetik (alih-alih seleksi alam) menyebabkan sebagian besar perubahan genetik: teori netral evolusi molekuler.[113] Kajian-kajian protein terbedakan dalam spesies juga membuat duta molekuler menyematkan genetik populasi dengan menyediakan perkiraan tingkat heterozigositas dalam populasi alami.[114]

Dari awal 1960-an, biologi molekuler makin dipandang sebagai ancaman untuk inti tradisional biologi evolusi. Menghimpun para pakar biologi evolusi—terutama Ernst Mayr, Theodosius Dobzhansky, dan George Gaylord Simpson, tiga arsitek dari sintesis modern—sangat skeptis terhadap kesepakatan molekuler, khususnya saat ini dihubungkan (atau dipadukan) dengan seleksi alam. Hipotesis jam molekuler dan teori netral sangatlah kontroversial, menimbulkan debat netralis-seleksionis atas pengaruh relatif dari mutasi, pergerakan dan seleksi, yang berlanjut sampai 1980-an tanpa kesepakatan yang jelas.[115][116]

Akhir abad ke-20

sunting

Pandangan terpusat gen

sunting

Pada pertengahan 1960-an, George C. Williams sangat mengkritik penjelasan adaptasi yang ditulis dalam istilah "pertahanan hidup spesies" (argumen seleksi grup). Penjelasan semacam itu banyak digantikan oleh pandangan evolusi terpusat gen, diepitomisasikan oleh argumen seleksi kekerabatan dari W. D. Hamilton, George R. Price dan John Maynard Smith.[117] Sudut pandang tersebut kemudian dijelaskan dan dipopulerisasikan dalam buku tahun 1976 berpengaruh The Selfish Gene karya Richard Dawkins.[118] Model-model periode tampak menunjukkan bahwa seleksi grup sangat dibatasi dalam kekuatannya; meskipun model-model yang lebih baru memberikan kemungkinan seleksi multi-tingkat.[119]

Pada 1973, Leigh Van Valen mengusulkan istilah "Red Queen," yang ia ambil dari Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll, untuk menjelaskan skenario dimana spesies terlibat dalam satu ras lengan evolusi atau lebih yang kemudian secara konstan mengubah wadah tetap dengan spesies tersebut berkoevolusi. Hamilton, Williams dan lainnya mensugestikan bahwa gagasan tersebut dapat menjelaskan evolusi dari reproduksi seksual: peningkatan keragaman genetik yang disebabkan oleh reproduksi seksual akan membantu resistensi melawan parasit yang cepat berkembang, sehingga membuat reproduksi seksual menjadi hal umum, meskipun terbayarkan dari sudut pandang sentris gen dimana hanya separuh genome organisme yang lolos pada saat reproduksi.[120][121]

Namun, berseberangan dengan penjelasan dari hipotesis Red Queen, Hanley dan lainnya menemukan bahwa prevalensi, abundansi dan intensitas pengartian dari hewan-hewan kecil lebih signifikan pada seksual tokok ketimbang hewan-hewan aseksual yang berbagi habitat yang sama.[122] Selain itu, Parker, setelah mengulas sejumlah kajian genetik tentang resistensi penyakit tumbuhan, gagal menemukan contoh tinggal yang sejalan dengan konsep bahwa patogen adalah agen selektif utama yang bertanggung jawab atas reproduksi seksual dalam tuan rumah mereka.[123] Di tingkat yang bahkan lebih fundamental, Heng[124] dan Gorelick dan Heng[125] mengulas bukti bahwa seks, alih-alih menghimpun keragaman, bertindak berseberangan dengan keragaman genetik. Mereka menganggap bahwa tindakan seks adalah sebuah filter koarse, tak memberikan perubahan genetik besar, seperti rearansemen kromosomal, tetapi membolehkan variasi minor, seperti perubahan di nukleotida atau tingkat gen (bahkan sering kali netral) untuk lolos melalui penyaringan seksual. Pada saat ini, fungsi adaptasi dari seks masih menjadi masalah besar yang tak terselesaikan dalam biologi. Model-model bersaing untuk menjelaskan fungsi adaptasi dari seks yang diulas oleh Birdsell dan Wills.[126] Sebuah pandangan alternatif utama untuk hipotesis Red Queen adalah bahwa seks berkembang, dan diutamakan, sebagai proses untuk memperbaiki kerusakan DNA, dan bahwa variasi genetik diproduksi sebagai biproduk.[127][128]

Pandangan sentris gen juga berujung pada peningkatan peminatan dalam gagasan lama dari seleksi seksual buatan Charles Darwin,[129] dan topik-topik terkini seperti konflik seksual dan konflik intragenomik.

Sosiobiologi

sunting

Hasil kerja W. D. Hamilton tentang seleksi kekerabatan berkontribusi pada pendirian disiplin sosiobiologi. Keberadaan perilaku-perilaku altruistik telah menjadi masalah sulit untuk para pakar teori evolusi dari permulaan.[130] Progres signifikan dibuat pada 1964 saat Hamilton merumuskan ketidaksetaraan dalam seleksi kekerabatan yang dikenal sebagai aturan Hamilton, yang menunjukkan cara eusosialitas pada serangga (keberadaan dari kelas pekerja steril) dan beberapa contoh lain dari perilaku altruistik dapat berubah melalui seleksi kekerabatan. Teori lainnya menyusul, beberapa datang dari teori permainan, seperti altruisme timbal-balik.[131] Pada 1975, E. O. Wilson menerbitkan buku berpengaruh dan sangat kontroversial Sociobiology: The New Synthesis yang mengklaim teori evolusi dapat membantu menjelaskan beberapa aspek hewan, yang meliputi perilaku manusia. Para kritikus sosiobiologi, yang meliputi Stephen Jay Gould dan Richard Lewontin, mengklaim bahwa sosiobiologi dangat melampaui tingkat dimana perilaku manusia kompleks dapat ditentukan oleh faktor-faktor genetik. Meskipun dikritik, pengerjaan tetap berlanjut dalam sosiobiologi dan disiplin terkait psikologi evolusi, termasuk hasil kerja tentang aspek lain dari masalah altruisme.[132][133]

Proses dan wadah evolusi

sunting
 
Sebuah pohon filogenetik menunjukkan sistem tiga domain. Eukariot diarnai merah, arkea diwarnai hijau, dan bakteria diwarnai biru

Salah satu debat paling berpengaruh yang timbul pada 1970-an adalah seputar teori keseimbangan bersela. Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould mengusulkan bahwa terdapat susunan spesies fosil yang masih banyak tak berubah untuk periode panjang (yang mereka sebut stasis), terinterspersasi dengan periode yang relatif singkat dari perubahan cepat pada spesiasi.[134][135] Penunjangan dalam metode-meotde sekuensi menghasilkan peningkatan besar dari genome tersekuensi, membolehkan pengujian dan penyempurnaan ulang teori-teori evolusi memakai sejumlah besar data genome.[136] Perbandingan antar genome menyediakan penglihatan dalam mekanisme molekuler dari spesiasi dan adaptasi.[137][138] Analisis genomik tersebut memproduksi perubahan fundamental dalam pemahaman sejarah evolusi kehidupan, seperti gagasan sistem tiga domain oleh Carl Woese.[139] Pergerakan dalam perangkat lunak dan keras komputasional membolehkan pengujian dan ekstrapolasi dari peningkatan kemajuan model-model evolusi dan perkembangan bidang biologi sistem.[140] Salah satu hasilnya telah menjadi pertukaran gagasan antara teori evolusi biologi dan bidang sains komputer yang dikenal sebagai komputasi evolusi yang sekarang membolehkan modifikasi seluruh genome, memajukan kajian evolusi menuju tinggal dimana eksperimen mendatang melibatkan penciptaan organisme sintetis secara keseluruhan.[141]

Mikrobiologi, transfer gen horisontal, dan endosimbiosis

sunting

Mikrobiologi banyak dihiraukan oleh teori evolusi awal. Ini karena pausitas dari perlakuan morfologi dan kurangnya konsep spesies dalam mikrobiologi, terutama prokariotik.[142] Saat ini, para peneliti evolusi memberikan pergerakan terhadap pemahaman tertunjang mereka terhadap psikologi dan ekonomi mikrobial, yang dihasilkan oleh perbandingan muda dari genomik mikrobial, untuk mengeksplor taksonomi dan evolusi organisme tersebut.[143] Kajian-kajian tersebut menguak tingkat-tingkat tak terantisipasi dari keragaman di golongan mikrob.[144][145]

Salah satu perkembangan penting dalam kajian evolusi mikrobial timbul dalam penemuan transfer gen horizontal di Jepang pada 1959.[146] Transfer material genetik antara spesies bakteria berbeda menjadi perhatian para ilmuwan karena ini memainkan sebuah peran besar dalam penyebaran resistensi antibiotik.[147] Saat ini, saat pengetahuan genome masih melebar, ini mensugestikan bahwa transfer materal dari material genetik telah memainkan peran penting dalam evolusi seluruh organisme.[148] Tingkat-tingkat tinggi dari tranfer gen horizontal berujung pada sugesti bahwa pohon keluarga dari organisme-organisme saat ini, yang disebut "pohon kehidupan", lebih mirip dengan jaringan web yang saling terhubung.[149][150]

Selain itu, teori endosimbiotik untuk asal muasal organel memandang bentuk transfer gen horizontal sebagai langkah kritikal dalam evolusi eukorit seperti fungi, tumbuhan dan hewan.[151][152] Teori endosimbiotik menyatakan bahwa organel dalam sel eukorit seperti mitokondria dan kloroplas diturunkan dari bakteria independen yang hidup secara simbiotik dalam sel lainnya. Ini tersugesti pada akhir abad ke-19 saat kemiripan antara mitokondria dan bakteria dicatat, tetapi banyak dihiraukan sampai ini dibangkitkan dan diperjuangkan oleh Lynn Margulis pada 1960-an dan 1970-an; Margulis dapat memakai pemakaian bukti baru bahwa organel-organel semacam itu memiliki DNA mereka sendiri yang diwariskan secara independen dari hal tersebut dalam nukleus sel.[153]

Biologi perkembangan evolusi

sunting

Pada 1980-an dan 1990-an, pemahaman sintesis evolusi modern makin rumit. Terdapat pembaharuan tema-tema strukturalis dalam biologi evolusi dalam hasil kerja para pakar biologi seperti Brian Goodwin dan Stuart Kauffman,[154] yang menginkorporasikan gagasan-gagasan dari sibernetik dan teori sistem, dan menyatakan bahwa proses organisasi diri dari perkembangan sebagai faktor-faktor yang menggerakkan peristiwa evolusi. Pakar biologi evolusi Stephen Jay Gould membangkitkan gagasan-gagasan sebelumnya dari heterokroni, alternasi-alternasi dalam tingkat-tingkat alternatif dari proses perkembangan atas peristiwa evolusi, mencatat generasi dari bentuk-bentuk novel, dan, dengan pakar biologi evolusi Richard Lewontin, menulis sebuah makalah berpengaruh pada 1979 yang menyatakan bahwa sebuah perubahan dalam satu struktur biologi, atau bahkan novelitas struktural, dapat timbul secara tak disengaja sebagai hasil kecelakaan seleksi pada struktur lain, ketimbang melalui seleksi terarah untuk adaptasi tertentu. Mereka menyebut perubahan struktural insidental semacam itu dengan sebutan "spandrel" yang mengambil nama dari sebuah fitur arsitektural.[155] Kemudian, Gould dan Elisabeth Vrba mendiskusikan akuisisi fungsi-fungsi baru dari struktur-struktur novel yang timbul dalam mode tersebut, yang mereka sebut "eksaptasi".[156]

Data molekuler terkait mekanisme dalam perkembangan yang melapisi terakumulasi secara cepat pada 1980-an dan 1990-an. Ini menjelaskan bahwa keragaman morfologi hewan bukanlah hasil dari set protein berbeda yang meregulasi perkembangan hewan berbeda, tetapi dari perubahan dalam penyimpanan sejumlah kecil protein yang umum di semua hewan.[157] Protein-protein tersebut menjadi dikenal sebagai "alat pengembangan genetik."[158] Sudut pandang semacam itu mempengaruhi disiplin-disiplin filogenetik, paleontologi dan biologi perkembangan komparatif, dan menimbulkan disiplin baru dari biologi perkembangan yang juga dikenal sebagai evo-devo.[159]

Abad ke-21

sunting

Makroevolusi dan mikroevolusi

sunting

Salah satu penekanan genetik populasi sejak pembentukannya adalah bahwa makroevolusi (evolusi bagian filogenik di tingkat spesies ke atas) secara tunggal merupakan hasil mekanisme mikroevolusi (perubahan dalam frekuensi gen dalam populasi) yang beroperasi sepanjang periode waktu yang terbentang. Pada dekade-dekade terakhir dari abad ke-20, beberapa paleontologis mengembangkan pertanyaan soal apakah faktor lain, seperti keseimbangan bersela dan seleksi grup beroperasi pada level seluruh spesies dan bahkan peristiwa filogenik yang bertingkat lebih tinggi, perlu dikondisikan untuk menjelaskan susunan dalam evolusi yang dikuak oleh analisis statistik dari jejak fosil. Menjelang akhir abad ke-20, beberapa peneliti dalam biologi perkembangan evolusi mensugestikan bahwa interaksi antara lingkungan dan proses perkembangan telah menjadi sumber beberapa inovasi struktural yang terlihat dalam makroevolusi, tetapi para peneliti evo-devo lainnya menyatakan bahwa mekanisme genetik terlihat di tingkat populasi sepenuhnya mampu untuk membuat sebuah makroevolusi.[160][161][162]

Warisan epigenetik

sunting

Epigenetik adalah kajian perubahan warisan dalam ekspresi gen atau fenotipe seluler yang disebabkan oleh mekanisme lain ketimbang perubahan dalam sekuensi DNA yang terhimpun. Pada dekade pertama abad ke-21, pandangan tersebut menyatakan bahwa mekanisme epigenetik adalah bagian yang dibutuhkan dari asal muasal evolusi dari diferenisasi selular.[163] Meskipun epigenetik dalam organisme multiseluler umumnya merupakan mekanisme yang terlibat dalam diferenisasi, dengan susunan epigenetik "dihimpun ulang" saat organisme berreproduksi, terdapat beberapa pengamatan pewarisan epigentik transgenerasional. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, perubahan non-genetik pada sebuah organisme dapat diwarisi dan ini mensugestikan bahwa pewarisan semacam itu dapat dibantu dengan adaptasi pada kondisi lokal dan memberikan dampak pada evolusi.[164][165] Beberapa orang menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, sebuah bentuk evolusi Lamarckian dapat terjadi.[166]

Perluasan sintesis evolusi

sunting

Gagasan perluasan sintesis evolusi timbul pada sintesis modern abad ke-20 untuk meliputi konsep dan mekanisme seperti teori seleksi multi-tingkat, pewarisan epigenetik tran-generasional, konstruksi niche dan evolvabilitas—meskipun beberapa perbedaan sintesis semacam itu diusulkan, dengan tanpa kesepakatan tentang apa yang akan diliputkan.[167][168][169][170]

Teori evolusi tak konvensional

sunting

Poin Omega

sunting

Teori metafisika Poin Omega buatan Pierre Teilhard de Chardin, yang ditemukan dalam bukunya The Phenomenon of Man (1955),[171] mendeskripsikan perkembangan bertahap dari alam semesta dari partikel subatomik sampai masyarakat manusia, yang ia pandang sebagai tahap dan tujuan akhirnya, sebuah bentuk ortogenesis.[172]

Hipotesis Gaia

sunting

Hipotesis Gaia pertama kali dicetuskan oleh James Lovelock yang menyatakan bahwa makhluk hidup dan non-hidup di Bumi dapat dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi seperti halnya sebuah organisme.[173] Para pendukung hipotesis Gaia merasa bahwa gagasan Teilhard de Chardin merupakan gagasan yang terkait dengan gagasan Lovelock.[174] Lynn Margulis[175] dan yang lainnya juga memandang hipotesis Gaia sebagai perluasan konsep endosimbiosis dan eksosimbiosis.[176] Hipotesis semacam ini menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki efek pengaturan terhadap lingkungan Bumi yang mendorong kehidupan secara keseluruhan.

Organisasi diri

sunting

Pakar biologi matematika Stuart Kauffman menyatakan bahwa organisasi diri dapat memainkan peran-peran bersama dengan seleksi alam dalam tiga area biologi evolusi, yakni dinamika populasi, evolusi molekuler, dan morfogenesis.[154] Namun, Kauffman tak memberikan catatan peran esensial dari energi (contohnya, memakai pirofosfat) dalam laju reaksi biokimia pada sel, seperti yang diusulkan oleh Christian DeDuve dan dalam hal model matematika oleh Richard Bagley dan Walter Fontana. Sistem mereka bersifat katalisis diri namun bukanlah organisasi diri sederhana saat mereka menjadi sistem terbuka dari termodinamika yang berkaitan dengan input berkelanjutan dari energi.[177]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Bukan dalam pengertian filogeni: Empedokles tidak memiliki pengertian konsep evolusi dalam jangka waktu geologi.

Referensi

sunting
  1. ^ Haeckel 1879, hlm. 189, Plate XV: "Pedigree of Man"
  2. ^ Futuyma, Douglas J., ed. (1999). "Evolution, Science, and Society: Evolutionary Biology and the National Research Agenda" (PDF) (Executive summary). New Brunswick, NJ: Office of University Publications, Rutgers, The State University of New Jersey. OCLC 43422991. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-31. Diakses tanggal 2014-10-24.  dan Futuyma, Douglas J.; Meagher, Thomas R., ed. (2001). "Evolution, Science and Society: Evolutionary Biology and the National Research Agenda". California Journal of Science Education. 1 (2): 19–32. Diakses tanggal 2014-10-24. 
  3. ^ a b Krebs, Robert E. (2004). Groundbreaking Scientific Experiments, Inventions, and Discoveries of the Middle Ages and the Renaissance. Westport, Connecticut and London, England: Greenwood Press. hlm. 81. ISBN 0-313-32433-6. 
  4. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  5. ^ Harris, C. Leon (1981). Evolution: Genesis and Revelations: With Readings from Empedocles to Wilson. Albany, New York: State University of New York Press. hlm. 31. ISBN 0-87395-487-4. 
  6. ^ a b Gregory, Andrew (2017). Anaximander: A Re-assessment. New York City, New York and London, England: Bloomsbury Academic. hlm. 34–35. ISBN 978-1-4725-0892-8. 
  7. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  8. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  9. ^ Mayr 1982, hlm. 304
  10. ^ a b c d e f Johnston 1999, "Section Three: The Origins of Evolutionary Theory"
  11. ^ a b Wilkins, John (July–August 2006). "Species, Kinds, and Evolution". Reports of the National Center for Science Education. 26 (4): 36–45. Diakses tanggal 2011-09-23. 
  12. ^ a b Singer 1931[halaman dibutuhkan]
  13. ^ Boylan, Michael (September 26, 2005). "Aristotle: Biology". Internet Encyclopedia of Philosophy. Martin, TN: University of Tennessee at Martin. OCLC 37741658. Diakses tanggal 2011-09-25. 
  14. ^ Aristotle. Physics. Translated by R. P. Hardie and R. K. Gaye. The Internet Classics Archive. Book II. OCLC 54350394. Diakses tanggal 2008-07-15. 
  15. ^ a b Bowler 2000, hlm. 44–46
  16. ^ a b Cicero. De Natura Deorum. Digital Loeb Classical Library. LCL268. Cambridge, MA: Harvard University Press. hlm. 179 (2.22). OCLC 890330258. 
  17. ^ Ronan 1995, hlm. 101
  18. ^ Miller, James. "Daoism and Nature" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-12-16. Diakses tanggal 2014-10-26.  "Notes for a lecture delivered to the Royal Asiatic Society, Shanghai on January 8, 2008"
  19. ^ Sedley, David (August 10, 2013). "Lucretius". Dalam Zalta, Edward N. Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Fall 2013). Stanford, CA: Stanford University. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  20. ^ Simpson, David (2006). "Lucretius". Internet Encyclopedia of Philosophy. Martin, TN: University of Tennessee at Martin. OCLC 37741658. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  21. ^ a b St. Augustine 1982, hlm. 89–90
  22. ^ Layton, Richard A. (2004), Didymus the Blind and His Circle in Late-antique Alexandria: Virtue and Narrative in Biblical Scholarship, Urbana and Chicago, Illinois: University of Illinois Press, hlm. 86–87, ISBN 0-252-02881-3 
  23. ^ Greggs, Tom (2009), Barth, Origen, and Universal Salvation: Restoring Particularity, Oxford, England: Oxford University Press, hlm. 55–56, ISBN 978-0-19-956048-6 
  24. ^ Gill 2005, hlm. 251
  25. ^ Owen, Richard (February 11, 2009). "Vatican buries the hatchet with Charles Darwin". Times Online. London: News UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-16. Diakses tanggal 2009-02-12. 
  26. ^ Irvine, Chris (February 11, 2009). "The Vatican claims Darwin's theory of evolution is compatible with Christianity". The Daily Telegraph. London: Telegraph Media Group. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  27. ^ Osborn 1905, hlm. 7, 69–70
  28. ^ White 1922, hlm. 42
  29. ^ White 1922, hlm. 53
  30. ^ Waggoner, Ben. "Medieval and Renaissance Concepts of Evolution and Paleontology". University of California Museum of Paleontology. Diakses tanggal 2010-03-11. 
  31. ^ Zirkle, Conway (April 25, 1941). "Natural Selection before the 'Origin of Species'". Proceedings of the American Philosophical Society. 84 (1): 71–123. JSTOR 984852. 
  32. ^ Egerton, Frank N. (April 2002). "A History of the Ecological Sciences, Part 6: Arabic Language Science—Origins and Zoological Writings" (PDF). Bulletin of the Ecological Society of America. 83 (2): 142–146. Diakses tanggal 2014-10-28. 
  33. ^ a b Kiros 2001, hlm. 55
  34. ^ Ibn Khaldūn 1967, Chapter 1: "Sixth Prefatory Discussion"
  35. ^ Ibn Khaldūn 1967, Chapter 6, Part 5: "The sciences (knowledge) of the prophets"
  36. ^ Lovejoy 1936, hlm. 67–80
  37. ^ Carroll, William E. (2000). "Creation, Evolution, and Thomas Aquinas". Revue des Questions Scientifiques. 171 (4). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-28. Diakses tanggal 2014-10-28. 
  38. ^ Aquinas 1963, Book II, Lecture 14
  39. ^ Bowler 2003, hlm. 33–38
  40. ^ Bowler 2003, hlm. 72
  41. ^ Schelling 1978
  42. ^ Bowler 2003, hlm. 73–75
  43. ^ Bowler 2003, hlm. 41–42
  44. ^ Pallen 2009, hlm. 66
  45. ^ Bowler 2003, hlm. 75–80
  46. ^ Larson 2004, hlm. 14–15
  47. ^ Bowler 2003, hlm. 82–83
  48. ^ Henderson 2000
  49. ^ Darwin 1794–1796, Vol I, section XXXIX
  50. ^ Darwin 1803, Canto I (lines 295–302)
  51. ^ Owen 1861, hlm. 5, Fig. 1: "Table of Strata"
  52. ^ Larson 2004, hlm. 7
  53. ^ Mathez 2001, "Profile: James Hutton: The Founder of Modern Geology": "...we find no vestige of a beginning, no prospect of an end."
  54. ^ Bowler 2003, hlm. 113
  55. ^ Larson 2004, hlm. 29–38
  56. ^ Bowler 2003, hlm. 115–116
  57. ^ "Darwin and design". Darwin Correspondence Project. Cambridge, UK: University of Cambridge. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-21. Diakses tanggal 2014-10-28. 
  58. ^ a b Bowler 2003, hlm. 129–134
  59. ^ Gould, Stephen (2001). The lying stones of Marrakech : penultimate reflections in natural history. Vintage. hlm. 119–121. ISBN 978-0-09-928583-0. 
  60. ^ Bowler 2003, hlm. 86–94
  61. ^ Larson 2004, hlm. 38–41
  62. ^ Desmond & Moore 1991, hlm. 40
  63. ^ a b Bowler 2003, hlm. 120–129
  64. ^ Bowler 2003, hlm. 134–138
  65. ^ Bowler & Morus 2005, hlm. 142–143
  66. ^ Larson 2004, hlm. 5–24
  67. ^ Russell 1916, hlm. 105, Fig. 6: "The Archetype of the Vertebrate Skeleton. (After Owen.)"
  68. ^ Bowler 2003, hlm. 103–104
  69. ^ Larson 2004, hlm. 37–38
  70. ^ Bowler 2003, hlm. 138
  71. ^ Larson 2004, hlm. 42–46
  72. ^ a b van Wyhe, John (May 2007). "Mind the gap: Did Darwin avoid publishing his theory for many years?". Notes and Records of the Royal Society. 61 (2): 177–205. doi:10.1098/rsnr.2006.0171. Diakses tanggal 2009-11-17. 
  73. ^ Bowler 2003, hlm. 19–21, 40
  74. ^ Desmond & Moore 1991, hlm. 247–248
  75. ^ Bowler 2003, hlm. 151
  76. ^ Darwin 1859, hlm. 62
  77. ^ Darwin 1861, hlm. xiii
  78. ^ Darwin 1866, hlm. xiv
  79. ^ Matthew, Patrick (April 7, 1860). "Nature's law of selection". The Gardeners' Chronicle and Agricultural Gazette: 312–313. Diakses tanggal 2007-11-01. 
  80. ^ Darwin 1861, hlm. xiv
  81. ^ Bowler 2003, hlm. 158
  82. ^ Huxley, Thomas Henry. "On the Reception of the 'Origin of Species'". Project Gutenberg. Diakses tanggal 2014-10-29. 
  83. ^ Bowler & Morus 2005, hlm. 129–149
  84. ^ Larson 2004, hlm. 55–71
  85. ^ Bowler 2003, hlm. 173–176
  86. ^ Huxley 1876, hlm. 32
  87. ^ Larson 2004, hlm. 50
  88. ^ Secord 2000, hlm. 515–518: "The centrality of Origin of Species in the rise of widespread evolutionary thinking has long been accepted by historians of science. However, some scholars have recently begun to challenge this idea. James A. Secord, in his study of the impact of Vestiges of the Natural History of Creation, argues that in some ways Vestiges had as much or more impact than Origin, at least into the 1880s. Focusing so much on Darwin and Origin, he argues, "obliterates decades of labor by teachers, theologians, technicians, printers, editors, and other researchers, whose work has made evolutionary debates so significant during the past two centuries."
  89. ^ a b Larson 2004, hlm. 79–111
  90. ^ Larson 2004, hlm. 139–40
  91. ^ Larson 2004, hlm. 109–110
  92. ^ Bowler 2003, hlm. 190–191
  93. ^ Bowler 2003, hlm. 177–223
  94. ^ Larson 2004, hlm. 121–123, 152–157
  95. ^ Tucker, Jennifer (28 October 2012). "What our most famous evolutionary cartoon gets wrong". The Boston Globe. Diakses tanggal 29 December 2017. 
  96. ^ Bowler & Morus 2005, hlm. 154–155
  97. ^ a b c Bowler 2003, hlm. 207–216
  98. ^ Bowler 2003, hlm. 49–51
  99. ^ Osborn 1917, hlm. 264, Fig. 128: "Stages in the Evolution of the Horn in the Titanothere"
  100. ^ a b c d Larson 2004, hlm. 105–129
  101. ^ a b c d Bowler 2003, hlm. 196–253
  102. ^ a b Bowler 2003, hlm. 256–273
  103. ^ a b Larson 2004, hlm. 153–174
  104. ^ a b c d e Bowler 2003, hlm. 325–339
  105. ^ a b c d e Larson 2004, hlm. 221–243
  106. ^ Mayr & Provine 1998, hlm. 295–298, 416
  107. ^ Mayr 1988, hlm. 402
  108. ^ Mayr & Provine 1998, hlm. 338–341
  109. ^ Mayr & Provine 1998, hlm. 33–34
  110. ^ Smocovitis 1996, hlm. 97–188
  111. ^ Sapp 2003, hlm. 152–156
  112. ^ Gould 1983
  113. ^ Dietrich, Michael R. (Spring 1994). "The origins of the neutral theory of molecular evolution". Journal of the History of Biology. 27 (1): 21–59. doi:10.1007/BF01058626. JSTOR 4331295. PMID 11639258. 
  114. ^ Powell 1994, hlm. 131–156
  115. ^ Dietrich, Michael R. (Spring 1998). "Paradox and Persuasion: Negotiating the Place of Molecular Evolution within Evolutionary Biology". Journal of the History of Biology. 31 (1): 85–111. doi:10.1023/A:1004257523100. JSTOR 4331466. PMID 11619919. 
  116. ^ Hagen, Joel B. (Autumn 1999). "Naturalists, Molecular Biologists, and the Challenges of Molecular Evolution". Journal of the History of Biology. 32 (2): 321–341. doi:10.1023/A:1004660202226. JSTOR 4331527. PMID 11624208. 
  117. ^ Mayr, Ernst (March 18, 1997). "The objects of selection". PNAS USA. 94 (6): 2091–2094. Bibcode:1997PNAS...94.2091M. doi:10.1073/pnas.94.6.2091. PMC 33654 . PMID 9122151. Diakses tanggal 2014-10-30. 
  118. ^ Bowler 2003, hlm. 361
  119. ^ Gould, Stephen Jay (February 28, 1998). "Gulliver's further travels: the necessity and difficulty of a hierarchical theory of selection". Philosophical Transactions of the Royal Society B. 353 (1366): 307–314. doi:10.1098/rstb.1998.0211. PMC 1692213 . PMID 9533127. 
  120. ^ Larson 2004, hlm. 279
  121. ^ Bowler 2003, hlm. 358
  122. ^ Hanley, Kathryn A.; Fisher, Robert N.; Case, Ted J. (June 1995). "Lower Mite Infestations in an Asexual Gecko Compared With Its Sexual Ancestors". Evolution. 49 (3): 418–426. doi:10.2307/2410266. JSTOR 2410266. 
  123. ^ Parker, Matthew A. (September 1994). "Pathogens and sex in plants". Evolutionary Ecology. 8 (5): 560–584. doi:10.1007/BF01238258. 
  124. ^ Heng, Henry H.Q. (May 2007). "Elimination of altered karyotypes by sexual reproduction preserves species identity". Genome. 50 (5): 517–524. doi:10.1139/g07-039. PMID 17612621. 
  125. ^ Gorelick, Root; Heng, Henry H.Q. (April 2011). "Sex reduces genetic variation: a multidisciplinary review". Evolution. 65 (4): 1088–1098. doi:10.1111/j.1558-5646.2010.01173.x. PMID 21091466. 
  126. ^ Birdsell & Wills 2003, hlm. 27–137
  127. ^ Bernstein, Hopf & Michod 1987, hlm. 323–370
  128. ^ Bernstein, Bernstein & Michod 2012, hlm. 1–49
  129. ^ Bowler 2003, hlm. 358–359
  130. ^ Sachs, Joel L. (September 2006). "Cooperation within and among species". Journal of Evolutionary Biology. 19 (5): 1415–1418; discussion 1426–1436. doi:10.1111/j.1420-9101.2006.01152.x. PMID 16910971. 
  131. ^ Nowak, Martin A. (December 8, 2006). "Five rules for the evolution of cooperation". Science. 314 (5805): 1560–1563. Bibcode:2006Sci...314.1560N. doi:10.1126/science.1133755. PMC 3279745 . PMID 17158317. 
  132. ^ Larson 2004, hlm. 270–278
  133. ^ Bowler 2003, hlm. 359–361
  134. ^ Eldredge & Gould 1972, hlm. 82–115
  135. ^ Gould, Stephen Jay (July 19, 1994). "Tempo and mode in the macroevolutionary reconstruction of Darwinism" (PDF). PNAS USA. 91 (15): 6764–6771. Bibcode:1994PNAS...91.6764G. doi:10.1073/pnas.91.15.6764. PMC 44281 . PMID 8041695. Diakses tanggal 2014-11-02. 
  136. ^ Pollock, David D.; Eisen, Jonathan A.; Doggett, Norman A.; Cummings, Michael P. (December 2000). "A case for evolutionary genomics and the comprehensive examination of sequence biodiversity". Molecular Biology and Evolution. 17 (12): 1776–1788. doi:10.1093/oxfordjournals.molbev.a026278. PMID 11110893. 
  137. ^ Koonin, Eugene V. (December 2005). "Orthologs, paralogs, and evolutionary genomics". Annual Review of Genetics. 39: 309–338. doi:10.1146/annurev.genet.39.073003.114725. OCLC 62878927. PMID 16285863. 
  138. ^ Hegarty, Matthew J.; Hiscock, Simon J. (February 2005). "Hybrid speciation in plants: new insights from molecular studies". New Phytologist. 165 (2): 411–423. doi:10.1111/j.1469-8137.2004.01253.x. PMID 15720652. 
  139. ^ Woese, Carl R.; Kandler, Otto; Wheelis, Mark L. (June 1, 1990). "Towards a natural system of organisms: proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eucarya" (PDF). PNAS USA. 87 (12): 4576–4579. Bibcode:1990PNAS...87.4576W. doi:10.1073/pnas.87.12.4576. PMC 54159 . PMID 2112744. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  140. ^ Medina, Mónica (May 3, 2005). "Genomes, phylogeny, and evolutionary systems biology". PNAS USA. 102 (Suppl 1): 6630–6635. Bibcode:2005PNAS..102.6630M. doi:10.1073/pnas.0501984102. PMC 1131869 . PMID 15851668. 
  141. ^ Benner, Steven A.; Sismour, A. Michael (July 2005). "Synthetic biology". Nature Reviews Genetics. 6 (7): 533–543. doi:10.1038/nrg1637. PMID 15995697. 
  142. ^ Gevers, Dirk; Cohan, Frederick M.; Lawrence, Jeffrey G.; et al. (September 2005). "Opinion: Re-evaluating prokaryotic species". Nature Reviews Microbiology. 3 (9): 733–739. doi:10.1038/nrmicro1236. PMID 16138101. 
  143. ^ Coenye, Tom; Gevers, Dirk; Van de Peer, Yves; Vandamme, Peter; Swings, Jean (April 2005). "Towards a prokaryotic genomic taxonomy". FEMS Microbiology Reviews. 29 (2): 147–167. doi:10.1016/j.femsre.2004.11.004. PMID 15808739. 
  144. ^ Whitman, William B.; Coleman, David C.; Wiebe, William J. (June 9, 1998). "Prokaryotes: The unseen majority". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 95 (12): 6578–6583. Bibcode:1998PNAS...95.6578W. doi:10.1073/pnas.95.12.6578. PMC 33863 . PMID 9618454. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  145. ^ Schloss, Patrick D.; Handelsman, Jo (December 2004). "Status of the Microbial Census". Microbiology and Molecular Biology Reviews. 68 (4): 686–691. doi:10.1128/MMBR.68.4.686-691.2004. PMC 539005 . PMID 15590780. 
  146. ^ Ochiai, K.; Yamanaka, T.; Kimura, K.; Sawada, O. (1959). "Inheritance of drug resistance (and its transfer) between Shigella strains and Between Shigella and E.coli strains". Hihon Iji Shimpor (dalam bahasa Japanese). 1861: 34. 
  147. ^ Ochman, Howard; Lawrence, Jeffrey G.; Groisman, Eduardo A. (May 18, 2000). "Lateral gene transfer and the nature of bacterial innovation" (PDF). Nature. 405 (6784): 299–304. Bibcode:2000Natur.405..299O. doi:10.1038/35012500. PMID 10830951. Diakses tanggal 2007-09-01. 
  148. ^ de la Cruz, Fernando; Davies, Julian (March 2000). "Horizontal gene transfer and the origin of species: lessons from bacteria". Trends in Microbiology. 8 (3): 128–133. doi:10.1016/S0966-842X(00)01703-0. PMID 10707066. 
  149. ^ Kunin, Victor; Goldovsky, Leon; Darzentas, Nikos; Ouzounis, Christos A. (July 2005). "The net of life: Reconstructing the microbial phylogenetic network". Genome Research. 15 (7): 954–959. doi:10.1101/gr.3666505. PMC 1172039 . PMID 15965028. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  150. ^ Doolittle, W. Ford; Bapteste, Eric (February 13, 2007). "Pattern pluralism and the Tree of Life hypothesis". PNAS USA. 104 (7): 2043–2049. Bibcode:2007PNAS..104.2043D. doi:10.1073/pnas.0610699104. PMC 1892968 . PMID 17261804. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  151. ^ Poole, Anthony M.; Penny, David (January 2007). "Evaluating hypotheses for the origin of eukaryotes". BioEssays. 29 (1): 74–84. doi:10.1002/bies.20516. PMID 17187354. 
  152. ^ Dyall, Sabrina D.; Brown, Mark T.; Johnson, Patricia J. (April 9, 2004). "Ancient Invasions: From Endosymbionts to Organelles". Science. 304 (5668): 253–257. Bibcode:2004Sci...304..253D. doi:10.1126/science.1094884. PMID 15073369. 
  153. ^ "Endosymbiosis: Lynn Margulis". Understanding Evolution. Berkeley, CA: University of California, Berkeley. Diakses tanggal 2010-02-20. 
  154. ^ a b Kauffman 1993, hlm. passim
  155. ^ Gould, Stephen Jay (September 30, 1997). "The exaptive excellence of spandrels as a term and prototype". PNAS USA. 94 (20): 10750–10755. Bibcode:1997PNAS...9410750G. doi:10.1073/pnas.94.20.10750. PMC 23474 . PMID 11038582. 
  156. ^ Gould, Stephen Jay; Vrba, Elisabeth S. (Winter 1982). "Exaptation—a missing term in the science of form" (PDF). Paleobiology. 8 (1): 4–15. JSTOR 2400563. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  157. ^ True, John R.; Carroll, Sean B. (November 2002). "Gene co-option in physiological and morphological evolution". Annual Review of Cell and Developmental Biology. 18: 53–80. doi:10.1146/annurev.cellbio.18.020402.140619. PMID 12142278. 
  158. ^ Cañestro, Cristian; Yokoi, Hayato; Postlethwait, John H. (December 2007). "Evolutionary developmental biology and genomics". Nature Reviews Genetics. 8 (12): 932–942. doi:10.1038/nrg2226. PMID 18007650. 
  159. ^ Baguñà, Jaume; Garcia-Fernàndez, Jordi (2003). "Evo-Devo: the long and winding road". The International Journal of Developmental Biology. 47 (7–8): 705–713. PMID 14756346. Diakses tanggal 2014-11-04. 
  160. ^ Erwin, Douglas H. (March–April 2000). "Macroevolution is more than repeated rounds of microevolution". Evolution & Development. 2 (2): 78–84. doi:10.1046/j.1525-142x.2000.00045.x. 
  161. ^ Newman, Stuart A.; Müller, Gerd B. (December 2000). "Epigenetic mechanisms of character origination". Journal of Experimental Zoology. 288 (4): 304–317. doi:10.1002/1097-010X(20001215)288:4<304::AID-JEZ3>3.0.CO;2-G. 
  162. ^ Carroll, Sean B. (February 8, 2001). "The big picture". Nature. 409 (6821): 669. doi:10.1038/35055637. PMID 11217840. 
  163. ^ Stearns & Hoekstra 2000, hlm. 285
  164. ^ Roberts, Christina. "Epigenetics and Evolution". South Florida University. Diakses tanggal 2010-02-21.  [pranala nonaktif]
  165. ^ Rapp, Ryan A.; Wendell, Jonathan F. (October 2005). "Epigenetics and plant evolution". New Phytologist. 168 (1): 81–91. doi:10.1111/j.1469-8137.2005.01491.x. PMID 16159323. 
  166. ^ Singer, Emily (February 4, 2009). "A Comeback for Lamarckian Evolution?". technologyreview.com. Cambridge, MA: Technology Review, Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-27. Diakses tanggal 2014-11-05. 
  167. ^ Danchin, É; Charmantier, A; Champagne, FA; Mesoudi, A; Pujol, B; Blanchet, S (2011). "Beyond DNA: integrating inclusive inheritance into an extended theory of evolution". Nature Reviews Genetics. 12: 475–486. doi:10.1038/nrg3028. PMID 21681209. 
  168. ^ Pigliucci, Massimo; Finkelman, Leonard (2014). "The Extended (Evolutionary) Synthesis Debate: Where Science Meets Philosophy". BioScience. 64: 511–516. doi:10.1093/biosci/biu062. 
  169. ^ Laubichler, Manfred D; Renn, Jürgen (2015). "Extended evolution: A Conceptual Framework for Integrating Regulatory Networks and Niche Construction". Journal of Experimental Zoology Part B: Molecular and Developmental Evolution. 324: 565–577. doi:10.1002/jez.b.22631. 
  170. ^ Müller, Gerd B. (December 2007). "Evo–devo: extending the evolutionary synthesis". Nature Reviews Genetics (dalam bahasa Inggris). 8 (12): 943–949. doi:10.1038/nrg2219. ISSN 1471-0056. 
  171. ^ Teilhard de Chardin 1959
  172. ^ Castillo, Mauricio (March 2012). "The Omega Point and Beyond: The Singularity Event" (PDF). American Journal of Neuroradiology. 33 (3): 393–395. doi:10.3174/ajnr.A2664. PMID 21903920. Diakses tanggal 2015-06-06. 
  173. ^ Lovelock, James (December 18, 2003). "Gaia: the living Earth". Nature. 426 (6968): 769–770. Bibcode:2003Natur.426..769L. doi:10.1038/426769a. PMID 14685210. 
  174. ^ Litfin, Karen. "Gaia theory: intimations for global environmental politics" (PDF). Seattle, WA: University of Washington. Diakses tanggal 2012-06-04. 
  175. ^ Brockman 1995, Chapter 7: "Gaia Is a Tough Bitch"
  176. ^ Fox, Robin (December 2004). "Symbiogenesis". Journal of the Royal Society of Medicine. 97 (12): 559. doi:10.1258/jrsm.97.12.559. PMC 1079665 . PMID 15574850. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-27. Diakses tanggal 2014-11-05. 
  177. ^ Fox, Ronald F. (December 1993). "Review of Stuart Kauffman, The Origins of Order: Self-Organization and Selection in Evolution". Biophysical Journal. 65 (6): 2698–2699. Bibcode:1993BpJ....65.2698F. doi:10.1016/S0006-3495(93)81321-3. PMC 1226010 . 

Daftar pustaka

sunting

Bacaan tambahan

sunting

Pranala luar

sunting