Poin Omega adalah subyek dari sebuah keyakinan bahwa setiap hal di alam semesta berputar menuju titik unifikasi akhir.[1] Istilah tersebut dicetuskan oleh imam Katolik Yesuit Prancis Pierre Teilhard de Chardin (1881–1955).[2] Teilhard berpendapat bahwa Poin Omega mengingatkan pada Logos Kristen, yakni Kristus, yang menggambarkan segala hal ke dalam dirinya sendiri, yang dalam firman-firman dari Kredo Nikea, adalah "Allah dari Allah", "Terang dari Terang", "Allah sebenarnya dari Allah sebenarnya", dan "melaluinya segala hal dibuat".[3] Dalam Kitab Wahyu, Kristus menyebut dirinya sebanyak tiga kali sebagai "Alpha dan Omega, permulaan dan akhir". Gagasan Poin Omega dikembangkan pada tulisan-tulisan berikutnya, seperti karya-karya John David Garcia (1971), Paolo Soleri (1981), Frank Tipler (1994), dan David Deutsch (1997).[4][5][6]

Referensi sunting

  1. ^ "Could artificial intelligence kill us off?". Newsweek. Diakses tanggal 21 September 2016. 
  2. ^ Castillo, Mauricio (March 2012). "The Omega Point and Beyond: The Singularity Event" (PDF). American Journal of Neuroradiology. 33 (3): 393–5. doi:10.3174/ajnr.A2664. PMID 21903920. Diakses tanggal 6 June 2015. 
  3. ^ Hickey, Michael (2016-03-07). Get to the End: A Catholic's View of the End Times. London: UPA. hlm. 104. ISBN 9780761867333. 
  4. ^ Steinhart, Eric (2008). "Teilhard de Chardin and Transhumanism". Journal of Evolution and Technology. 20 (1): 1–22. ISSN 1541-0099. Diakses tanggal 2015-06-03. 
  5. ^ Green, Ronald (2012). "Challenging Transhumanism's Values". Hastings Center Report. 43 (4): 45–47. doi:10.1002/hast.195. 
  6. ^ Lilley, Stephen (2013). Transcend or Transgress?. Hastings Center Report. SpringerBriefs in Philosophy. hlm. 13–24. doi:10.1007/978-94-007-4981-8_2. ISBN 978-94-007-4980-1. 

Pranala luar sunting