Edward Said

Profesor sastra dan cendekiawan

Edward Wadie Said (bahasa Arab: إدوارد وديع سعيد, Idwārd Wadīʿ Saʿīd; pengucapan bahasa Arab: [wædiːʕ sæʕiːd]; 1 November 1935 – 24 September 2003) adalah seorang akademisi, kritikus sastra, dan aktivis politik Palestina-Amerika.[3] Ia merupakan profesor sastra di Universitas Columbia dan termasuk salah satu pendiri bidang studi pascakolonial.[4] Ia lahir di Mandat Britania atas Palestina dan merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina; ayahnya adalah seorang veteran Angkatan Darat AS.

Edward Said
Said di Sevilla, 2002
LahirEdward Wadie Said
(1935-11-01)1 November 1935
Jerusalem,
Mandat Britania atas Palestina
(sekarang Israel / Palestina)
Meninggal24 September 2003(2003-09-24) (umur 67)
New York City, New York State, Amerika Serikat
Pendidikan
Suami/istriMariam C. Said
AnakNajla Said
Wadie Said
Kerabat
EraFilsafat abad ke-20
KawasanFilsafat barat
Aliran
Gagasan penting

Meskipun ia dididik dalam sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah berbahasa Inggris dan di Amerika, Said dapat menerapkan pendidikan dan perspektif antar kultural untuk menjelaskan kesenjangan pemahaman budaya dan politik antara dunia Barat dan dunia Timur, khususnya berkenaan dengan konflik Israel-Palestina di Timur Tengah. Para pemikir yang mempunyai pengaruh besar terhadap dirinya antara lain Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Aimé Césaire, Michel Foucault, dan Theodor Adorno.[5]

Said menjadi terkenal karena karyanya, Orientalism, yang terbit pada 1978. Dalam buku ini, Said menganalisis dan mengkritik aspek-aspek budaya yang menjadi dasar Orientalisme — bagaimana dunia Barat memandang dunia Timur.[6][7][8][9] Model analisis tekstual Said mentransformasi diskursus akademik dalam teori sastra, kritik sastra, dan kajian Timur Tengah — bagaimana akademisi mengkaji, mendeskripsikan, dan mendefinisikan budaya yang dipelajari.[10][11] Sebagai sebuah teks yang fondasional, Orientalism menimbulkan kontroversi di kalangan sarjana studi Oriental, filsafat, dan sastra.[5][12]

Selain menjadi seorang intelektual publik, Said juga merupakan anggota Dewan Nasional Palestina yang kontroversial karena kritik publiknya terhadap Israel dan negara-negara Arab, khususnya berkaitan dengan kebijakan politik dan budaya rezim negara-negara Muslim yang bertindak bertentangan dengan kepentingan nasional rakyatnya.[13][14] Said mengadvokasi pembentukan negara Palestina untuk menjamin kesetaraan dan hak asasi manusia bagi warga Palestina di Israel, termasuk hak untuk kembali ke tanah air mereka. Ia mendefinisikan oposisinya terhadap status quo sebagai tugas intelektual publik yang harus "menyaring, menilai, mengkritik, memilih, sehingga pilihan dan kapasitas kembali ke individu" pria dan wanita.

Pada tahun 1999, konduktor musik Daniel Barenboim dan Said mendirikan West–Eastern Divan Orchestra yang berbasis di Sevilla. Said juga merupakan seorang pianis yang ulung. Bersama Barenboim, ia ikut menulis buku Parallels and Paradoxes: Explorations in Music and Society (2002), sebuah kompilasi percakapan dan diskusi publik mereka tentang musik yang diadakan di Carnegie Hall, New York.[15]

Kehidupan dan karier

sunting
 
Said dan adik perempuannya, Rosemarie (1940)

Masa muda

sunting

Edward Wadie Said lahir pada tanggal 1 November 1935[16] dari pasangan Hilda Said dan Wadie Said. Ayahnya, Wadie Said adalah seorang pengusaha di Yerusalem yang saat itu merupakan bagian dari mandat Inggris atas Palestina (1920–1948).[17] Wadie Said adalah orang Palestina yang bergabung dengan Pasukan Ekspedisi Amerika dalam Perang Dunia I. Dinas militer pada masa perang ini membuat ayah Said dan keluarganya diberikan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ibu Said, Hilda Said, adalah keturunan Palestina dan Lebanon, lahir dan besar di Nazareth, Kesultanan Utsmaniyah.[18][19][20]

Pada tahun 1919, Wadie Said mendirikan sebuah bisnis alat tulis di Kairo bekerja sama dengan sepupunya. Said memiliki empat orang adik perempuan. Salah satu dari mereka, Rosemarie Said Zahlan, kelak juga menjadi seorang akademisi.[21][22][23]

Ayah dan ibu Said mempunyai latar belakang Kristen Arab, dan keluarga Said menganut agama Kristen Protestan.[24][25] Namun, di akhir masa hidupnya, Said menjadi seorang agnostik.[26][27][28][29][30]

Pendidikan

sunting

Said menggambarkan masa kecilnya (sampai ia berumur dua belas tahun) seperti "hidup di antara dua dunia" (Kairo dan Yerusalem).[31] Pada tahun 1947, ia mulai bersekolah di St. George's School, Jerusalem. Dalam memoirnya, Out of Place, ia menulis:

Dengan nama keluarga "Said", berpadu dengan nama Inggris (ibu saya sangat mengagumi Edward VIII, Pangeran Wales pada tahun 1935, saat saya lahir), saya adalah seorang siswa aneh yang sering gelisah: seorang bocah Palestina yang belajar di sebuah sekolah Mesir, dengan nama depan Inggris, paspor Amerika, dan tanpa identitas yang jelas. Untuk memperburuk keadaan, bahasa Arab, bahasa ibu saya, dan bahasa Inggris, bahasa yang diajarkan di sekolah saya, tercampur-campur: saya tak pernah tahu mana yang menjadi bahasa pertama saya. Di rumah, saya menggunakan kedua bahasa itu, dan saya bermimpi dalam keduanya. Setiap kali saya berbicara satu kalimat dalam bahasa Inggris, saya menggemakannya dalam bahasa Arab; dan begitu pula kebalikannya.[31]

Said kemudian bersekolah di Victoria College, Alexandria. Salah satu teman satu sekolahnya adalah Raja Hussein dari Yordania dan aktor Omar Sharif, yang dikenangnya sebagai seorang "bocah sadis yang gemar menyiksa. Victoria College adalah sekolah bagi anak laki-laki Mesir, Suriah, Yordania, dan Arab Saudi yang nantinya diharapkan akan menjadi menteri, perdana menteri, dan pemimpin dan pengusaha di negaranya masing-masing."[32]

Selama Palestina di bawah mandat Inggris, fungsi sekolah bergaya Eropa seperti Victoria College adalah untuk mendidik anak-anak muda terpilih dari kelas atas Arab dan Suriah untuk menjadi politisi pasca-kolonial yang akan memerintah negara mereka setelah proses dekolonisasi. Mengenai Victoria College, Said menulis:

Ketika seseorang menjadi pelajar di Victoria College, ia diberikan buku saku pelajar yang berisi serangkaian peraturan yang mengatur setiap aspek kehidupan sekolah — jenis seragam yang harus kita kenakan, perlengkapan apa yang diperlukan untuk olahraga, tanggal liburan sekolah, jadwal bus, dan sebagainya. Namun peraturan pertama sekolah, yang terpampang di halaman pembuka buku saku tersebut berbunyi: "Bahasa Inggris adalah bahasa sekolah; siswa yang ketahuan berbicara bahasa lain akan dihukum." Namun, tidak ada penutur asli bahasa Inggris di antara para siswa. Meskipun semua kepala sekolahnya adalah orang Inggris, kami adalah sekelompok orang yang beraneka ragam, Arab, Armenia, Yunani, Italia, Yahudi, dan Turki, yang masing-masing memiliki bahasa ibu yang secara eksplisit dilarang oleh sekolah. Namun semua, atau hampir semua, dari kami berbicara bahasa Arab—banyak yang berbicara bahasa Arab dan Prancis—sehingga kami bisa bersembunyi menggunakan bahasa yang sama, untuk menentang apa yang kami anggap sebagai struktur kolonial yang tidak adil.

— Between Worlds", Reflections on Exile, and Other Essays (2002) pp. 556–57.

Pada tahun 1951, Victoria College mengeluarkan Said karena kelakuannya yang buruk, meskipun prestasi akademisnya yang baik. Keluarganya kemudian memutuskan untuk mengirim Said ke Amerika. Dia selanjutnya bersekolah di Northfield Mount Hermon School, Massachusetts, sebuah sekolah asrama prestisius untuk persiapan memasuki perguruan tinggi. Di sana, ia menjalani tahun-tahun yang berat karena merasa terasing secara sosial. Meskipun demikian, ia menunjukkan performa akademik yang sangat baik. Ia meraih peringkat pertama (valedictorian) atau kedua (salutatorian) di kelas yang terdiri dari seratus enam puluh siswa. Ia melanjutkan studinya di Universitas Princeton, meraih gelar sarjana pada tahun 1957. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Harvard, tempat ia meraih gelar master pada tahun 1960 dan doktor pada tahun 1964, keduanya dalam bidang sastra Inggris. Said adalah seorang intelektual poliglot (fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Arab).[33][34]

Karier

sunting

Pada tahun 1963, Said mulai mengajar di Jurusan Perbandingan dan Sastra Inggris, Universitas Columbia. Pada tahun 1977, ia menjadi Profesor Perbandingan dan Sastra Inggris dan pada 1993 menjadi Profesor Humaniora. Pada tahun 1974, Said menjadi profesor tamu dalam bidang perbandingan sastra di Harvard. Ia juga pernah menduduki kursi fellow di Center for Advanced Study in Behavioral Science, Universitas Stanford (1975-76) dan profesor tamu bidang ilmu budaya di Universitas Johns Hopkins (1979).[35] Selain itu, ia juga pernah mengajar di Universitas Yale dan puluhan universitas lain di seluruh dunia. Ia pensiun dari Universitas Columbia pada tahun 2003.[36]

Said juga pernah menjadi ketua Modern Language Association; redaktur Arab Studies Quarterly di American Academy of Arts and Sciences; anggota dewan eksekutif International PEN; dan anggota sejumlah lembaga akademisi prestisius lainnya, seperti American Academy of Arts and Letters, Royal Society of Literature, Council of Foreign Relations;[35] dan American Philosophical Society.[37] Pada tahun 1993, Said memberikan Reith Lectures tahunan BBC yang berjudul Representations of the Intellectual. Ia mengkaji peran intelektual publik dalam masyarakat kontemporer yang kemudian diterbitkan BBC pada tahun 2011.[38]

Dalam karyanya, Said sering meneliti istilah dan konsep arsip budaya, terutama dalam bukunya Culture and Imperialism (1993). Ia menyatakan bahwa arsip budaya adalah situs utama ditemukan dan dikembangkannya usaha dalam penaklukan imperialisme, dan arsip tersebut mencakup "narasi, sejarah, dan kisah-kisah perjalanan".[39] Said menekankan bahwa proyek imperialisme Barat berperan dalam kekacauan arsip budaya. Ia menyatakan teorinya bahwa disiplin ilmu seperti sastra komparatif, bahasa Inggris, dan antropologi dapat dikaitkan langsung dengan konsep imperialisme.

Pada tahun 1980-an, menurut Nubar Hovsepian, Said menulis bahwa para intelektual Amerika mendukung Israel dengan melakukan "demonisasi terhadap rakyat Palestina"; Hovsepian juga menulis bahwa Said dilarang berkontribusi di The New York Review of Books oleh rekan editornya, Robert Silvers.[40]

 
Novelis abad ke-19 Joseph Conrad adalah subjek buku pertama Said, Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography (1966).

Buku terbitan pertama Said, Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography (1966), merupakan perluasan dari disertasi doktoral yang ia hasilkan untuk mendapatkan gelar PhD. Abdirahman Hussein mengatakan dalam Edward Saïd: Criticism and Society (2010), bahwa novel Heart of Darkness (1899) karya Conrad adalah "dasar bagi seluruh karier dan proyek Said"[41][42] Dalam Beginnings: Intention and Method (1974), Said menelaah landasan teoritis kritik sastra dengan menggunakan pandangan dari Vico, Valéry, Nietzsche, de Saussure, Lévi-Strauss, Husserl, dan Foucault.[43] Karya-karya Said selanjutnya antara lain:

  • The World, the Text, and the Critic (1983),
  • Nationalism, Colonialism, and Literature: Yeats and Decolonization (1988),
  • Culture and Imperialism (1993),
  • Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures (1994),
  • Humanism and Democratic Criticism (2004), and
  • On Late Style (2006).

Orientalism

sunting

Said dikenal sebagai seorang kritikus budaya karena bukunya, Orientalism (1978). Di dalam karya monumentalnya itu, ia memberikan sebuah kritik terhadap orientalisme, yang ia deskripsikan sebagai representasi budaya yang keliru yang digunakan dunia Barat dalam melihat dunia Timur, terutama Timur Tengah. Tesisnya adalah terdapat "prasangka Eurosentris yang halus dan terus-menerus terhadap masyarakat Arab-Islam dan budaya mereka."[44] Prasangka ini berasal dari tradisi panjang budaya Barat yang melihat dan meromantisasi Asia secara keliru, khususnya pada Timur Tengah. Representasi budaya itu terus berfungsi sebagai pembenaran bagi kolonialisme dan imperialisme negara-negara Eropa dan AS. Selain itu, Said mengecam malpraktik politik dan budaya yang dilakukan oleh rezim elit Arab yang berkuasa yang telah menginternalisasi representasi budaya Arab yang salah yang diciptakan oleh para orientalis Anglo-Amerika.[44]

 
Sampul buku Orientalism (1978) yang merupakan detail dari lukisan Orientalis abad ke-19 The Snake Charmer, karya Jean-Léon Gérôme (1824–1904).

Sejauh menyangkut Amerika Serikat, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Muslim dan Arab pada dasarnya dipandang sebagai pemasok minyak atau berpotensi menjadi teroris. Sangat sedikit detail tentang kepadatan manusia, semangat kehidupan Arab-Muslim yang telah dipahami, bahkan oleh orang-orang yang berprofesi memberitakan tentang dunia Arab. Yang kita lihat hanyalah serangkaian gambaran dunia Islam yang kejam, yang disajikan sedemikian rupa sehingga menjadikan dunia tersebut rentan terhadap agresi militer.

— [45]

Dalam Orientalisme, Said berpendapat bahwa sebagian besar studi Barat tentang peradaban Islam adalah suatu intelektualisme politik yang dimaksudkan untuk mengafirmasi identitas Eropa, bukan studi akademik yang obyektif. Dengan demikian, bidang akademik studi Oriental berfungsi sebagai metode praktis diskriminasi budaya dan dominasi imperialis — artinya, sarjana orientalis Barat dianggap mengetahui lebih banyak tentang "dunia Timur" dibandingkan dengan "orang Timur" sendiri.[44][46]:12

Menurut Said, representasi budaya dunia Timur dalam Orientalisme patut dicurigai secara intelektual, dan tidak dapat diterima sebagai representasi yang benar dan akurat mengenai masyarakat di dunia Timur. Said berpendapat bahwa sejarah pemerintahan kolonial dan dominasi politik Eropa atas peradaban Asia telah mendistorsi tulisan para Orientalis yang bahkan dianggap paling berpengetahuan, bermaksud baik, dan simpatik terhadap budaya Timur sekalipun.

Saya ragu bahwa adalah hal yang kontroversial, misalnya, untuk mengatakan bahwa orang Inggris di India, atau Mesir, pada akhir abad kesembilan belas, menaruh minat pada negara-negara tersebut, yang dalam pikirannya tidak pernah jauh dari status mereka, sebagai koloni Inggris. Mengatakan hal ini mungkin berbeda dengan mengatakan bahwa semua pengetahuan akademik tentang India dan Mesir entah bagaimana diwarnai dan terkesan dengan, dilanggar oleh, fakta politik yang kasar—namun itulah yang saya katakan dalam studi Orientalisme ini.

— Introduction, Orientalism, p. 11.[46]:11

Dalam Orientalism, Said juga menyatakan bahwa kesenian Barat telah keliru dalam menggambarkan dunia Timur dengan stereotip sejak zaman Antiquity, seperti dalam tragedi The Persias (472 SM), karya Aeschylus, di mana karakter protagonis Yunani terjatuh karena ia keliru memahami sifat sebenarnya dari orang-orang Timur.[46]:56–57 Dominasi politik Eropa di Asia telah membuat teks-teks Barat mengenai dunia Timur yang paling obyektif sekalipun menjadi bias. Hal ini tidak disadari oleh para sarjana Barat yang mengambil alih produksi ilmu pengetahuan berupa karya-karya akademik yang mempelajari, mengeksplorasi, dan menafsirkan bahasa-bahasa, sejarah, dan masyarakat Asia. Oleh karena itu, produksi ilmu pengetahuan tentang dunia Timur oleh sarjana Orientalis Barat secara tersirat menunjukkan bahwa orang-orang subaltern kolonial (masyarakat terjajah) dianggap tidak mampu berpikir, bertindak, atau berbicara untuk diri mereka sendiri, sehingga tidak mampu menulis sejarah nasionalnya sendiri. Dalam keadaan imperialis seperti itu, para sarjana Orientalis Barat menulis sejarah dunia Timur — dan kemudian membangun identitas budaya Asia yang modern dengan sudut pandang bahwa dunia Barat adalah standar budaya yang harus ditiru, norma yang menjadi dasar untuk menilai eksotisme dan hal yang tidak dapat dipahami.[46] :38–41

 
Dunia Oriental yang diidealkan dalam The Reception of the Ambassadors in Damascus (1511)

Kritik terhadap Orientalism

sunting

Di kalangan akademisi, Orientalism mendapatkan banyak kritik baik secara profesional maupun pribadi terhadap Said.[47] Para sarjana orientalis terkemuka seperti Albert Hourani, Robert Graham Irwin, Nikki Keddie, Bernard Lewis, dan Kanan Makiya mendapat dampak negatif karena Orientalism mempengaruhi persepsi publik terhadap integritas intelektual mereka dan kualitas kajian akademik Orientalis mereka.[48][49][51] Sejarawan Nikki Keddie mengatakan bahwa karya kritis Said telah menyebabkan:

Beberapa konsekuensi yang disayangkan... Saya pikir ada kecenderungan di bidang [studi] Timur Tengah untuk mengadopsi kata Orientalisme sebagai kata-kata umpatan umum yang pada dasarnya merujuk pada orang-orang yang mengambil posisi "salah" dalam perselisihan Arab-Israel, atau terhadap orang-orang yang dinilai "terlalu konservatif". Itu tidak ada hubungannya dengan apakah mereka hebat atau tidak dalam disiplin ilmunya. Jadi, Orientalisme, bagi banyak orang, adalah sebuah kata yang menggantikan suatu pemikiran yang memungkinkan orang mengabaikan sarjana tertentu dan karya-karyanya. Menurut saya itu adalah hal yang buruk. Mungkin bukan itu yang dimaksud Edward Saïd, namun istilah tersebut telah menjadi semacam slogan.

— Approaches to the History of the Middle East (1994), pp. 144–45.[52]

Dalam Orientalism, Said mendeskripsikan Bernard Lewis, seorang orientalis Anglo-Amerika, sebagai "perwujudan sempurna [dari] seorang Orientalis mapan [yang karyanya] dimaksudkan sebagai keilmuan yang objektif dan liberal, namun, pada kenyataannya, hampir menjadi propaganda yang bertentangan dengan materi bidang keilmuannya."[46]:315

Lewis menanggapi Said dengan mengkritik keras Orientalism. Ia menuduh Said telah mempolitisasi kajian-kajian akademik tentang Timur Tengah (dan khususnya kajian Arab); mengabaikan kritik-kritik akademik orang-orang Barat dalam penemuan mereka; dan memberikan "keleluasaan" pada bias yang dimilikinya.[53]

Pengaruh Orientalism

sunting
 
Tanah Air dan koloni-koloni yang bergantung kepadanya adalah subjek studi Pascakolonial (William-Adolphe Bouguereau, 1883).

Dalam dunia akademia, Orientalism telah menjadi teks dasar bidang studi pasca-kolonial. Sebagaimana yang dikatakan oleh intelektual Inggris Terry Eagleton, kebenaran utama yang ditunjukkan oleh Orientalism adalah bahwa "secara historis, deskripsi-deskripsi yang merendahkan dunia Timur dan serangan imperialis ke dunia Timur berjalan secara beriringan."[54]

Baik pendukung maupun pengkritik Said mengakui pengaruh transformatif Orientalism terhadap ilmu pengetahuan di bidang humaniora; Kritikus mengatakan bahwa tesis buku itu memberikan pengaruh yang membatasi secara intelektual bagi para sarjana, sementara para pendukungnya mengatakan bahwa tesis ini membebaskan secara intelektual.[55][56] Bidang studi pasca-kolonial dan ilmu budaya berupaya menjelaskan "dunia pasca-kolonial, masyarakatnya, dan ketidakpuasan mereka",[4][57] yang mana teknik penyelidikan dalam Orientalism, terbukti dapat diterapkan secara khusus dalam studi Timur Tengah.[10]

Dengan demikian, penyelidikan dan analisis yang diterapkan Said dalam Orientalism terbukti sangat praktis dalam kritik sastra dan studi budaya,[10] seperti studi-studi sejarah pasca-kolonial India oleh Gyan Prakash,[58] Nicholas Dirks[59] dan Ronald Inden,[60] Kamboja modern oleh Simon Springer,[61] dan teori sastra Homi K. Bhabha,[62] Gayatri Chakravorty Spivak[63] dan Hamid Dabashi (Iran: A People Interrupted, 2007).

Di Eropa Timur, Milica Bakić–Hayden mengembangkan konsep Nesting Orientalisms (1992), yang terinspirasi dari gagasan sejarawan Larry Wolff (Inventing Eastern Europe: The Map of Civilization on the Mind of the Enlightenment, 1994) dan gagasan Said dalam Orientalisme (1978).[64] Sejarawan Bulgaria Maria Todorova (Imagining the Balkans, 1997) menyajikan konsep etnologis Nesting Balkanisms (Ethnologia Balkanica, 1997) yang terinspirasi dari konsep Nesting Orientalisms yang dikembangkan oleh Milica Bakić–Hayden.[65]

Dalam The Impact of "Biblical Orientalism" in Late Nineteenth-and Early Twentieth-Century Palestine (2014), sejarawan Lorenzo Kamel menyajikan konsep "Biblical Orientalism" dengan analisis historis mengenai penyederhanaan realitas lokal Palestina yang kompleks yang terjadi pada tahun 1830-an hingga awal abad ke-20.[66] Kamel mengatakan penggunaan selektif dan penyederhanaan agama dalam memahami tempat yang dikenal sebagai "Tanah Suci", menciptakan pandangan bahwa sebagai sebuah tempat, Tanah Suci tidak memiliki sejarah manusia selain sebagai tempat terjadinya cerita-cerita yang terdapat dalam Alkitab.

Wacana pasca-kolonial yang disajikan dalam Orientalism, juga mempengaruhi teologi pasca-kolonial dan kritik alkitab pasca-kolonial.[67] Buku lain dalam bidang ini adalah Postcolonial Theory (1998), oleh Leela Gandhi, menjelaskan Post-kolonialisme dalam kaitannya dengan bagaimana hal itu dapat diterapkan pada konteks sejarah filosofis dan intelektual yang lebih luas.[68]

Politik

sunting

Pada tahun 1967, akibat Perang Enam Hari (5–10 Juni 1967), Said mulai berperan sebagai seorang intelektual publik ketika ia secara terbuka menentang stereotip misrepresentasi (faktual, sejarah, budaya) media-media AS dalam menjelaskan perang Arab-Israel; Reportase tersebut tidak sesuai dengan realitas sejarah Timur Tengah pada umumnya, serta hubungan Palestina dengan Israel pada khususnya. Untuk menjelaskan dan mengoreksi orientalisme tersebut, Said menerbitkan "The Arab Portrayed" (1968), sebuah esai deskriptif tentang "orang Arab" yang dimaksudkan untuk menghindari diskusi spesifik tentang realitas sejarah dan budaya masyarakat (Yahudi, Kristen, Muslim) Timur Tengah yang ditampilkan dalam jurnalisme (cetak, foto, televisi) dan beberapa jenis karya kesarjanaan (jurnal spesialis).[69]

Dalam esainya yang berjudul Zionism from the Standpoint of Its Victims (1979), Said mendukung legitimasi politik dan autentisitas klaim dan hak orang-orang Zionis atas tanah air Yahudi; dan hak yang melekat pada rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri secara nasional.[70] Buku-buku Said tentang Israel dan Palestina antara lain The Question of Palestine (1979), The Politics of Dispossession (1994), dan The End of the Peace Process (2000).

Dewan Nasional Palestina

sunting

Dari tahun 1977 hingga 1991, Said menjadi anggota independen Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council, PNC).[71] Pada tahun 1988, ia turut mendukung solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina, dan memilih solusi pembentukan Negara Palestina pada pertemuan PNC di Aljir. Pada tahun 1993, Said keluar dari keanggotaannya di Dewan Nasional Palestina dengan tujuan untuk memprotes politik internal PNC yang berakibat pada penandatanganan Perjanjian Oslo (Deklarasi Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan Sendiri Sementara, 1993), yang menurutnya memiliki persyaratan yang tidak dapat diterima, dan karena persyaratan tersebut telah ditolak dalam Konferensi Madrid tahun 1991.

Said tidak menyukai Perjanjian Oslo karena Perjanjian itu tidak menghasilkan Negara Palestina yang merdeka, dan karena perjanjian tersebut secara politik mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan rencana yang ditolak oleh Yasir Arafat — sebuah rencana yang disampaikan Said kepada Arafat atas nama pemerintah AS pada akhir tahun 1970-an.[72] Yang paling mengecewakan Said adalah ia menganggap bahwa Yasir Arafat telah mengkhianati hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina ke rumah dan properti mereka di wilayah Garis Hijau Israel sebelum tahun 1967, dan bahwa Arafat telah mengabaikan ancaman politik yang semakin besar dari permukiman Israel di wilayah yang telah didirikan sejak penaklukan Palestina pada tahun 1967.

 
Domain administratif Otoritas Palestina (merah)

Pada tahun 1995, sebagai tanggapan atas kritik politik Said, Otoritas Palestina melarang penjualan buku-buku Said. Otoritas Palestina kemudian mencabut larangan buku tersebut setelah Said secara terbuka memuji Yasir Arafat karena menolak tawaran Perdana Menteri Ehud Barak pada KTT Perdamaian Timur Tengah di Camp David (2000) di AS.[73][74]

Pada pertengahan 1990-an, Said menulis kata pengantar untuk buku sejarah Jewish History, Jewish Religion: The Weight of Three Thousand Years (1994), karya Israel Shahak, tentang fundamentalisme Yahudi. Buku itu memaparkan proposisi kultural bahwa perlakuan buruk Israel terhadap warga Palestina adalah sebuah tindakan yang tidak pantas dan berakar pada ajaran Yudaisme yang mengizinkan orang Yahudi untuk melakukan kejahatan, termasuk pembunuhan, terhadap orang yang bukan Yahudi (non-Yahudi). Dalam kata pengantarnya, Said menulis bahwa buku itu "tidak lain adalah sejarah singkat Yudaisme klasik dan modern, sepanjang relevan dengan pemahaman tentang Israel modern"; dan memuji sejarawan Shahak karena mendeskripsikan Israel kontemporer sebagai sebuah negara yang tergabung dalam suasana budaya "Judeo-Nazi" yang memungkinkan terjadinya dehumanisasi terhadap Orang Palestina liyan:[75]

Dalam semua karya saya, pada dasarnya saya tetap kritis terhadap nasionalisme yang tamak dan tidak kritis. . . . Pandangan saya tentang Palestina. . . tetap sama hingga saat ini: Saya telah menyatakan segala macam keraguan mengenai nativisme yang tidak masuk akal, dan militerisme militan dari konsensus nasionalis; Sebaliknya, saya menyarankan agar kita melihat secara kritis lingkungan Arab, sejarah Palestina, dan realitas Israel, dengan kesimpulan eksplisit bahwa hanya penyelesaian melalui negosiasi antara dua komunitas yang sama-sama menderita, Arab dan Yahudi, yang akan memberikan jeda dari perang yang tak berkesudahan.[76]

Pada tahun 1998, Said terlibat dalam In Search of Palestine (1998), sebuah film dokumenter BBC tentang Palestina. Ditemani putranya, Wadie, Said mengingat kembali masa kecilnya, dan menghadapi ketidakadilan yang dialami warga Palestina masa kini di Tepi Barat. Terlepas dari prestise sosial dan budaya produk bioskop BBC di AS, film dokumenter tersebut tidak pernah disiarkan oleh perusahaan televisi Amerika mana pun.[77][78] Pada tahun 1999, penerbitan bulanan masyarakat Yahudi Amerika, Commentary, mengutip dokumen-dokumen yang disimpan di Kantor Pendaftaran Pertanahan di Yerusalem selama periode Mandat untuk berargumen tentang kenangan masa kecil Said. Tulisan Justus Weiner dalam Commentary mengklaim bahwa "masa kanak-kanak [Said] di Palestina", pada kenyataannya, tidak lebih dari kunjungan sesekali dari Kairo, tempat orang tuanya tinggal, memiliki bisnis, dan membesarkan keluarga mereka.[79]

Di Palestina

sunting

Pada tanggal 3 Juli 2000, saat berkunjung ke Timur Tengah bersama putranya, Wadie, Said difoto sedang melemparkan batu melintasi Garis Biru perbatasan Lebanon-Israel. Foto tersebut menimbulkan banyak kritik politik karena tindakannya yang dianggap menunjukkan simpati terhadap terorisme. Di majalah Commentary, jurnalis Edward Alexander menjuluki Said sebagai "Profesor Teror", karena agresi yang dilakukan terhadap Israel.[80] Said menjelaskan pelemparan batu itu sebagai tindakan dalam dua dimensi, pribadi dan politik; kontes keterampilan antara seorang ayah dan putranya, dan sikap gembira seorang pria Arab pada akhir pendudukan Israel di Lebanon selatan (1985–2000): "Itu hanyalah sebuah batu kerikil; tidak ada siapa-siapa [yang terkena batu] di sana. Pos jaga itu jauhnya kira-kira setengah mil."[81] Said membantah bahwa ia mengarahkan batu tersebut ke pos jaga Israel.

Surat kabar Beirut As-Safir melaporkan bahwa menurut seorang penduduk lokal Lebanon, Said berada pada jarak kurang dari sepuluh meter dari tentara Pasukan Pertahanan Israel (Israeli Defence Forces, IDF) yang berjaga di pos jaga dua lantai; Said melemparkan batu melewati pagar perbatasan dan menghantam kawat berduri di atas pagar perbatasan.[82] Meskipun terjadi perselisihan antara mahasiswa Universitas Columbia dan Liga Anti-Pencemaran Nama Baik B'nai B'rith International (Sons of the Covenant), pembantu rektor universitas tersebut mengeluarkan keterangan resmi yang membela tindakan Said sebagai kebebasan berekspresi akademisi: "Sepengetahuan saya, batu itu tidak ditujukan kepada siapa pun; tidak ada hukum yang dilanggar; tidak ada dakwaan yang dibuat; tidak ada tindakan pidana atau perdata yang diajukan terhadap Profesor Saïd."[83]

 
Peta yang menunjukkan garis demarkasi warna biru antara Lebanon dan Israel yang ditetapkan oleh PBB setelah penarikan Israel dari Lebanon selatan setelah invasi singkat pada tahun 1978 yang disebut Operasi Litani.

Insiden tersebut juga berdampak pada beberapa aktivitas akademik Said seperti pembatalan undangan untuk memberikan kuliah umum di Freud Society, di Austria, pada Februari 2001.[84] Presiden Freud Society membenarkan penarikan undangan tersebut dengan menjelaskan bahwa "situasi politik di Timur Tengah telah menjadikan tuduhan anti-Semitisme sebagai masalah yang sangat serius, dan bahwa tuduhan semacam itu "telah menjadi lebih serius dan berbahaya" dalam politik Austria; dengan demikian, Freud Society membatalkan undangannya kepada Said untuk "menghindari benturan internal" tentang dia, yang secara ideologis dapat memecah Freud Society.[81] Dalam Culture and Resistance: Conversations with Edward Saïd (2003), Said menyamakan situasi politiknya dengan situasi yang dialami Noam Chomsky sebagai seorang intelektual publik:

"Situasi ini sangat mirip dengan yang dialami Chomsky. Dia merupakan seorang ahli bahasa yang hebat dan terkenal. Dia telah dipuji dan dihormati, tapi dia juga difitnah sebagai seorang anti-Semit dan sebagai pemuja Hitler. ... Menyangkal peristiwa yang mengerikan tersebut anti-Semitisme dan Holocaust adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Kami tidak ingin sejarah penderitaan siapa pun tidak tercatat dan tidak diketahui. Di sisi lain, terdapat perbedaan besar, antara mengakui penindasan Yahudi dan menggunakan hal tersebut sebagai kedok untuk melakukan penindasan terhadap orang lain."[85]

Kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat

sunting

Dalam edisi revisi Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1997), Said mengkritik bias orientalis dalam pemberitaan media Barat tentang Timur Tengah dan Islam, terutama tendensi untuk melakukan editorialisasi "spekulasi mengenai konspirasi terbaru untuk meledakkan gedung, menyabotase pesawat komersial, dan meracuni pasokan air."[86] Ia juga mengecam keterlibatan militer Amerika dalam Perang Kosovo (1998–99) sebagai tindakan imperialis; dan mendeskripsikan Undang-Undang Pembebasan Irak (1998), yang diundangkan pada masa Pemerintahan Clinton, sebagai otorisasi yang mendorong AS untuk menginvasi Irak pada tahun 2003, yang disahkan melalui Resolusi Irak (2 Oktober 2002). Said juga mengkritik dukungan terus-menerus pemerintah AS terhadap Israel sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melanggengkan ketidakstabilan politik regional di Timur Tengah.[15]

Meski menderita leukemia, Said terus mengkritik Invasi AS ke Irak pada pertengahan tahun 2003.[87] Di surat kabar mingguan Al-Ahram Mesir, Said menulis dalam artikel "Resources of Hope" (2 April 2003) bahwa perang AS melawan Irak adalah upaya militer yang secara politik telah salah dipahami:

Pendirian saya adalah, meskipun saya tidak mempunyai bukti apa pun, bahwa mereka ingin mengubah seluruh Timur Tengah, dan dunia Arab, mungkin membubarkan beberapa negara, menghancurkan kelompok teroris yang tidak mereka suka, dan membuat rezim yang bersahabat dengan Amerika Serikat. Saya pikir ini adalah angan-angan yang tidak mempunyai dasar faktual. Pengetahuan yang mereka miliki tentang Timur Tengah, jika dilihat dari orang-orang yang memberi nasihat kepada mereka, sudah ketinggalan zaman dan sangat spekulatif.

Menurut saya, perencanaan tentang situasi pasca-Saddam dan periode pasca-perang di Irak tidak begitu brilian, dan perencanaannya pun sangat kurang. Wakil Menteri Luar Negeri A.S. Marc Grossman dan Wakil Menteri Pertahanan A.S. Douglas Feith memberikan keterangan di Kongres, sekitar sebulan yang lalu, dan tampaknya tidak memiliki angka, dan tidak memiliki gagasan [tentang] struktur apa yang akan mereka bangun; mereka tidak tahu apa-apa tentang penggunaan lembaga-lembaga [Irak] yang ada, meskipun mereka ingin menghapuskan Ba'this pada eselon yang lebih tinggi, dan mempertahankan sisanya.

Hal yang serupa juga berlaku terhadap pandangan mereka terhadap tentara [Irak]. Mereka tentu saja tidak berguna bagi oposisi Irak yang telah mengeluarkan jutaan dolar untuk mereka; dan, sejauh kemampuan saya menilai, mereka akan berimprovisasi; tentu saja modelnya adalah Afghanistan. Saya pikir mereka berharap PBB akan datang dan melakukan sesuatu, namun, mengingat posisi Perancis dan Rusia saat ini, saya ragu hal itu akan terjadi dengan cara yang begitu sederhana.[88]

Di bawah pengawasan FBI

sunting

Pada tahun 2003, Haidar Abdel-Shafi, Ibrahim Dakak, Mustafa Barghouti, dan Said mendirikan Al-Mubadara (Inisiatif Nasional Palestina), yang dipimpin oleh Mustafa Barghouti. Al-Mubadara adalah sebuah partai reformis dan demokratis pihak ketiga yang dimaksudkan untuk menjadi alternatif dari sistem dua partai Palestina. Sebagai sebuah partai politik, ideologi Al-Mubadara berbeda dari politik ekstremis Fatah yang sosial-demokrasi dan Islamis Hamas. Terlibatnya Said dalam pendirian partai ini, serta aktivitas politik internasional lainnya mengenai Palestina menjadi perhatian pemerintah AS pada waktu itu. Said kemudian berada di bawah pengawasan FBI, yang menjadi lebih intensif setelah tahun 1972. David Price, seorang antropolog di Evergreen State College, meminta file FBI tentang Said melalui Freedom of Information Act atas nama CounterPunch dan menerbitkan laporannya di sana tentang temuannya.[89] Dokumen-dokumen FBI tentang Said menunjukkan bahwa FBI telah membaca buku-buku Said dan melaporkan isinya ke Washington.[90]:158[91]

 
Timur Tengah yang Harmonis: Orkestra Divan Barat-Timur yang dibawakan oleh Daniel Barenboim

Selain menjadi seorang intelektual publik, Edward Said adalah seorang pianis ulung dan juga kritikus musik untuk majalah The Nation. Ia menulis empat buku tentang musik: Musical Elaborations (1991); Parallels and Paradoxes: Explorations in Music and Society (2002), dengan Daniel Barenboim sebagai rekan penulis; On Late Style: Music and Literature Against the Grain (2006); dan Music at the Limits (2007). Dalam buku terakhirnya, ia berbicara tentang refleksi musik dari ide-ide sastra dan sejarah yang ditemukan dalam komposisi yang berani dan penampilan yang kuat.[92][93]

Komposer Mohammed Fairouz mengakui pengaruh mendalam Edward Said terhadap karya-karyanya; secara komposisi, First Symphony Fairouz secara tematis menyinggung esai "Homage to a Belly-Dancer" (1990) tentang Tahia Carioca, penari, aktris, dan militan politik Mesir; dan piano sonata berjudul Reflections on Exile (1984), yang secara tematis merujuk pada emosi yang melekat pada orang buangan.[94][95][96]

Pada tahun 1999, Said dan Barenboim mendirikan Orkestra Divan Barat-Timur, yang terdiri dari musisi muda Israel, Palestina, dan Arab. Mereka juga mendirikan The Barenboim–Said Foundation di Sevilla untuk mengembangkan proyek pendidikan melalui musik. Selain mengelola Orkestra Divan Barat–Timur, Yayasan Barenboim–Said membantu administrasi Akademi Studi Orkestra, Proyek Pendidikan Musik di Palestina, dan Proyek Pendidikan Musik Anak Usia Dini di Sevilla.[97]

Penghargaan

sunting

Edward Said dianugerahi sekitar dua puluh gelar kehormatan universitas selama kehidupan profesionalnya sebagai akademisi, kritikus, dan Man of Letters.[98] Penghargaan-penghargaan yang diberikan kepadanya antara lain:

Kematian dan peninggalan

sunting
 
In Memoriam Edward Wadie Saïd: poster Inisiatif Nasional Palestina di tembok Tepi Barat Israel

Pada tanggal 24 September 2003, Said meninggal di usia 67 tahun di New York City setelah menderita penyakit leukemia limfositik kronis selama 12 tahun.[13] Ia meninggalkan istrinya, Mariam C. Said, putranya, Wadie Said, dan putrinya, Najla Said.[102][103][104] Para tokoh yang memberikan eulogi antara lain Alexander Cockburn ("Hati yang Kuat dan Penuh Semangat");[105] Seamus Deane ("Gaya Humanisme Tahap Akhir");[106] Christopher Hitchens ("Salam untuk Edward Said");[107] Tony Judt ("Kosmopolitan Tanpa Akar");[108] Michael Wood ("Tentang Edward Said");[109] dan Tariq Ali ("Mengingat Edward Said, 1935–2003").[110] Said dimakamkan di Pemakaman Protestan di Broumana, Jabal Lubnan, Lebanon. Nisannya menunjukkan dia meninggal pada 25 September 2003.

Pada bulan November 2004, Universitas Birzeit di Palestina mengganti nama sekolah musik mereka menjadi Konservatorium Musik Nasional Edward Said.[111]

Penghormatan kepada Said diwujudkan dalam bentuk publikasi buku dan pendirian sekolah; seperti Waiting for the Barbarians: A Tribute to Edward W. Said (2008) menampilkan esai karya Akeel Bilgrami, Rashid Khalidi, dan Elias Khoury;[112][113] Edward Said: The Charisma of Criticism (2010), oleh Harold Aram Veeser, sebuah biografi kritis; dan Edward Said: A legacy of Emancipation and Representations (2010), esai oleh Joseph Massad, Ilan Pappé, Ella Shohat, Ghada Karmi, Noam Chomsky, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Daniel Barenboim. Akademi Barenboim–Said (Berlin) didirikan pada tahun 2012.

Pada tahun 2002, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nayhan, pendiri dan presiden Uni Emirat Arab, dan tokoh-tokoh lainnya menganugerahkan Edward Said Chair di Universitas Columbia; saat ini diketuai oleh Rashid Khalidi.[114][115]

Pada tahun 2016, California State University di Fresno mulai menerima lamaran pekerjaan untuk jabatan guru besar yang dibentuk dalam Studi Timur Tengah yang dinamai Professor Edward Said. Tetapi setelah berbulan-bulan memeriksa pelamar, Fresno State membatalkan jabatan tersebut. Beberapa pengamat menyatakan pembatalan tersebut karena adanya tekanan dari beberapa individu dan kelompok.[116]

Referensi

sunting
  1. ^ William D. Hart (2000). "Preliminary remarks". Edward Said and the Religious Effects of Culture. Cambridge University Press. hlm. 15. ISBN 9780521778107. 
  2. ^ Ned Curthoys, Debjani Ganguly, ed. (2007). Edward Said: The Legacy of a Public Intellectual. Academic Monographs. hlm. 27. ISBN 9780522853575. 
  3. ^ Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica, Inc. 
  4. ^ a b Robert Young, White Mythologies: Writing History and the West, New York & London: Routledge, 1990.
  5. ^ a b Ian Buchanan, ed. (2010). A Dictionary of Critical Theory. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-953291-9. 
  6. ^ Ferial Jabouri Ghazoul, ed. (2007). Edward Saïd and Critical Decolonization. American University in Cairo Press. hlm. 290–. ISBN 978-977-416-087-5. Diakses tanggal 19 November 2011. Edward W. Saïd (1935–2003) was one of the most influential intellectuals in the twentieth century. 
  7. ^ Zamir, Shamoon (2005), "Saïd, Edward W.", dalam Jones, Lindsay, Encyclopedia of Religion, Second Edition, 12, Macmillan Reference USA, Thomas Gale, hlm. 8031–32, Edward W. Saïd (1935–2003) is best known as the author of the influential and widely-read Orientalism (1978) ... His forceful defense of secular humanism and of the public role of the intellectual, as much as his trenchant critiques of Orientalism, and his unwavering advocacy of the Palestinian cause, made Saïd one of the most internationally influential cultural commentators writing out of the United States in the last quarter of the twentieth century. 
  8. ^ Joachim Gentz (2009). "Orientalism/Occidentalism". Keywords re-oriented. interKULTUR, European-Chinese intercultural studies, Volume IV. Universitätsverlag Göttingen. hlm. 41–. ISBN 978-3-940344-86-1. Diakses tanggal 18 November 2011. Edward Saïd's influential Orientalism (1979) effectively created a discursive field in cultural studies, stimulating fresh critical analysis of Western academic work on "The Orient". Although the book, itself, has been criticized from many angles, it is still considered to be the seminal work to the field. 
  9. ^ Richard T. Gray; Ruth V. Gross; Rolf J. Goebel; Clayton Koelb, ed. (2005). A Franz Kafka encyclopedia. Greenwood Publishing Group. hlm. 212–. ISBN 978-0-313-30375-3. Diakses tanggal 18 November 2011. In its current usage, Orient is a key term of cultural critique that derives from Edward W. Saïd's influential book Orientalism. 
  10. ^ a b c Stephen Howe, "Dangerous mind?", New Humanist, Vol. 123, November/December 2008.
  11. ^ "Between Worlds", Reflections on Exile, and Other Essays (2002) pp. 561, 565.
  12. ^ Sherry (2010). John R. Shook, ed. The Dictionary of Modern American Philosophers. Continuum. ISBN 978-0-19-975466-3. 
  13. ^ a b Bernstein, Richard (26 September 2003). "Edward W. Said, Literary Critic and Advocate for Palestinian Independence, Dies at 67". The New York Times. hlm. 23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 May 2012. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  14. ^ Andrew N. Rubin, "Edward W. Said", Arab Studies Quarterly, Fall 2004: p. 1. Accessed 5 January 2010.
  15. ^ a b Democracy Now!, "Edward Saïd Archive" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., DemocracyNow.org, 2003. Accessed 4 January 2010.
  16. ^ Sherry, Mark (2005). Shook, John R., ed. Dictionary of Modern American Philosophers. Bristol: Thoemmes Continuum. hlm. 2106. ISBN 9781843710370. 
  17. ^ Hughes. Time. Diarsipkan dari versi asli Parameter |archive-url= membutuhkan |url= (bantuan) tanggal 4 October 2009.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan);
  18. ^ "Narrativising Illness: Edward Said's Out of Place and the Postcolonial Confessional/Indisposed Self". Arab World English Journal. hlm. 10. 
  19. ^ Ihab Shalback, 'Edward Said and the Palestinian Experience,' in Joseph Pugliese (ed.) Transmediterranean: Diasporas, Histories, Geopolitical Spaces, Peter Lang, 2010, pp. 71–83
  20. ^ "Out of the shadows". The Guardian. 11 September 1999. Diakses tanggal 10 September 2021. 
  21. ^ Corwell 128.
  22. ^ Singh and Johnson 19, 129.
  23. ^ Said, Edward (15 June 1999). "Defamation, Revisionist Style". CounterPunch. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  24. ^ Edward Said: 'Out of Place' 14 November 2018, Aljazeera.com. Accessed 7 February 2019
  25. ^ Edward Wadie Said a political activist literary critic 27 September 2003, The Independent. Accessed 7 February 2019
  26. ^ Adel Iskander, Hakem Rustom (2010). Edward Saïd: A Legacy of Emancipation and Representation. University of California Press. ISBN 978-0-520-24546-4. [Edward Wadie] Saïd was of Christian background, a confirmed agnostic, perhaps even an atheist, yet he had a rage for justice and a moral sensibility lacking in most [religious] believers. Saïd retained his own ethical compass without God, and persevered in an exile, once forced, from Cairo, and now chosen, affected by neither malice nor fear. 
  27. ^ John Cornwell (2010). Newman's Unquiet Grave: The Reluctant Saint. Continuum International Publishing Group. hlm. 128. ISBN 9781441150844. A hundred and fifty years on, Edward Saïd, an agnostic of Palestinian origins, who strove to correct false Western impressions of 'Orientalism', would declare Newman's university discourses both true and 'incomparably eloquent'. . . . 
  28. ^ Joe Sacco (2001). Palestine. Fantagraphics. 
  29. ^ Amritjit Singh, Interviews With Edward W. Saïd (Oxford: UP of Mississippi, 2004) pp. 19, 219.
  30. ^ Edward Said, Defamation, Revisionist Style Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., CounterPunch, 1999. Accessed 7 February 2010.
  31. ^ a b Said, Edward (7 May 1998). "Between Worlds: a memoir". London Review of Books. hlm. 3–7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-03. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  32. ^ Said, Edward W. (1999). Out of Place. Vintage Books, NY. hlm. 201. 
  33. ^ Edward Said, Out of Place, Vintage Books, 1999: pp. 82–83.
  34. ^ Encyclopædia Britannica Online, Edward Said, accessed 3 January 2010.
  35. ^ a b L.A. Jews For Peace, The Question of Palestine by Edward Said. (1997) Books on the Israel–Palestinian Conflict – Annotated Bibliography, accessed 3 January 2010.
  36. ^ European Graduate School, The. "Edward Said". The European Graduate School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-01. Diakses tanggal 23 August 2013. 
  37. ^ Moustafa Bayoumi and Andrew Rubin, Eds., The Edward Said Reader, Vintage, 2000, pp. xv.
  38. ^ "The Reith Lectures: Edward Saïd: Representation of the Intellectual: 1993". BBC. Diakses tanggal 13 November 2011. 
  39. ^ Said, Edward W. (24 October 2012). Culture and Imperialism (dalam bahasa Inggris). Knopf Doubleday Publishing Group. ISBN 9780307829658. 
  40. ^ Nubar Hovsepian, 'The Embattled Edward Said: Facing attacks on multiple fronts, Said nevertheless continued to challenge Israel’s monopoly on representations of Palestine, Jewish Currents 21 September 2022
  41. ^ Joseph Conrad and the Fiction of Autobiography (1966).
  42. ^ McCarthy, Conor (2010). The Cambridge Introduction to Edward Said. Cambridge UP. hlm. 16–. ISBN 9781139491402. Diakses tanggal 27 February 2013. 
  43. ^ Edward Saïd, Power, Politics and Culture, Bloomsbury Publishing, 2001: pp. 77–79.
  44. ^ a b c Windschuttle, Keith. "Edward Saïd's 'Orientalism revisited'", The New Criterion 17 January 1999. Archived 1 May 2008, at the Internet Archive, accessed 23 November 2011.
  45. ^ Said, Edward (26 April 1980). "Islam Through Western Eyes". The Nation. Diakses tanggal 18 May 2013. 
  46. ^ a b c d e Said, Edward (2003). Orientalism. London: Penguin Books. ISBN 0141187425. 
  47. ^ Kramer, Martin. "Enough Said (Book review: Dangerous Knowledge, by Robert Irwin)", March 2007. Retrieved 5 January 2010.
  48. ^ Lewis, Bernard. "The Question of Orientalism", Islam and the West, London: 1993. pp. 99, 118.
  49. ^ Irwin, Robert. For Lust of Knowing: The Orientalists and Their Enemies London:Allen Lane: 2006.
  50. ^ "Said's Splash" Ivory Towers on Sand: The Failure of Middle Eastern Studies in America, Policy Papers 58 (Washington, D.C.: Washington Institute for Near East Policy, 2001).
  51. ^ Martin Kramer said that "Fifteen years after [the] publication of Orientalism, the UCLA historian Nikki Keddie (whose work Saïd praised in Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World) allowed that Orientalism was 'important, and, in many ways, positive' ".[50]
  52. ^ Approaches to the History of the Middle East, Nancy Elizabeth Gallagher, Ed., London:Ithaca Press, 1994: pp. 144–45.
  53. ^ Lewis, Bernard (24 June 1982). "The Question of Orientalism" (PDF). New York Review of Books. Diakses tanggal 17 December 2017. 
  54. ^ Eagleton, Terry (2006-02-13). "New Statesman - Eastern block. Edward Said got many things wrong, but his central argument was basically right. The west's denigration of the east has always gone with imperialist incursions into its terrain". New Statesman. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-08. Diakses tanggal 2023-10-14. 
  55. ^ Martin Kramer. Ivory Towers on Sand: The Failure of Middle Eastern Studies in America (2001)
  56. ^ Andrew N. Rubin, "Techniques of Trouble: Edward Saïd and the Dialectics of Cultural Philology", The South Atlantic Quarterly, 102.4 (2003). pp. 862–76.
  57. ^ Emory University, Department of English, Introduction to Postcolonial Studies
  58. ^ Prakash, Gyan (April 1990). "Writing Post-Orientalist Histories of the Third World: Perspectives from Indian Historiography". Comparative Studies in Society and History. 32 (2): 383–408. doi:10.1017/s0010417500016534. JSTOR 178920. 
  59. ^ Nicholas Dirks, Castes of Mind, Princeton: Princeton UP, 2001.
  60. ^ Ronald Inden, Imagining India, New York: Oxford UP, 1990.
  61. ^ Simon Springer, "Culture of Violence or Violent Orientalism? Neoliberalisation and Imagining the 'Savage Other' in Post-transitional Cambodia", Transactions of the Institute of British Geographers 34.3 (2009): 305–19.
  62. ^ Homi K. Bhaba, Nation and Narration, New York & London: Routledge, Chapman & Hall, 1990.
  63. ^ Gayatri Chakravorty Spivak, In Other Worlds: Essays in Cultural Politics, London: Methuen, 1987.
  64. ^ John E Ashbrook (2008). Buying and Selling the Istrian Goat: Istrian Regionalism, Croatian Nationalism, and EU Enlargement. New York: Peter Lang. hlm. 22. ISBN 978-90-5201-391-6. OCLC 213599021. Milica Baki–Hayden built on Wolff's work, incorporating the ideas of Edward Saïd's "Orientalism" 
  65. ^ Ethnologia Balkanica. Sofia: Prof. M. Drinov Academic Pub. House. 1995. hlm. 37. OCLC 41714232. The idea of "nesting orientalisms", in Baki–Hayden 1995, and the related concept of "nesting balkanisms", in Todorova 1997. ... 
  66. ^ Kamel, Lorenzo (2014). "The Impact of "Biblical Orientalism" in Late Nineteenth- and Early Twentieth-Century Palestine". New Middle Eastern Studies (4). Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 March 2016. Diakses tanggal 29 February 2016. 
  67. ^ Masalha, Nur (2007). The Bible and Zionism: Invented Traditions, Archaeology and Post-Colonialism in Palestine–Israel. New York: Zed Books. 
  68. ^ Gandhi, Leela (1998). Postcolonial Theory. New York: Columbia University Press. 
  69. ^ "Between Worlds", Reflections on Exile, and Other Essays (2002) pp. 563.
  70. ^ Edward Saïd, "Zionism from the Standpoint of its Victims" (1979), in The Edward Saïd Reader, Vintage Books, 2000, pp. 114–68.
  71. ^ Malise Ruthven, "Edward Said: Controversial Literary Critic and Bold Advocate of the Palestinian Cause in America," The Guardian 26 September 2003; accessed 1 March 2006.
  72. ^ Edward Saïd, "The Morning After". London Review of Books Vol. 15 No. 20. 21 October 1993.
  73. ^ Michael Wood, "On Edward Said", London Review of Books, 23 October 2003, accessed 5 January 2010.
  74. ^ Edward Said, "The price of Camp David" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., Al Ahram Weekly, 23 July 2001. Accessed 5 January 2010.
  75. ^ Werner Cohn: What Edward Said knows Page accessed 15 June 2012.
  76. ^ Edward Saïd, "Orientalism, an Afterward" Raritan 14:3 (Winter 1995).
  77. ^ "In Search of Palestine (1998)". BFI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 November 2018. 
  78. ^ Culture and resistance: conversations with Edward W. Said By Edward W. Said, David Barsamian, p. 57
  79. ^ WEINER, JUSTUS REID (1 September 1999). "'My Beautiful Old House' and other Fabrications by Edward Said". Commentary. 108 (2): 32. ISSN 0010-2601. Diakses tanggal 31 January 2017. 
  80. ^ Julian Vigo, "Edward Saïd and the Politics of Peace: From Orientalisms to Terrorology", A Journal of Contemporary Thought (2004): pp. 43–65.
  81. ^ a b Dinitia Smith, "A Stone's Throw is a Freudian Slip", The New York Times, 10 March 2001.
  82. ^ Sunnie Kim, Edward Said Accused of Stoning in South Lebanon, Columbia Spectator, 19 July 2000.
  83. ^ Karen W. Arenson (19 October 2000). "Columbia Debates a Professor's 'Gesture'". The New York Times. 
  84. ^ Edward Saïd and David Barsamian, Culture and Resistance – Conversations with Edward Said, South End Press, 2003: pp. 85–86
  85. ^ Edward Saïd and David Barsamian, Culture and Resistance: Conversations with Edward Saïd, South End Press, 2003: pp. 85, 178
  86. ^ Martin Kramer, Enough Said review of Dangerous Knowledge, by Robert Irwin, March 2007.
  87. ^ Democracy Now!, "Syrian Expert Patrick Seale and Columbia University Professor Edward Said Discuss the State of the Middle East After the Invasion of Iraq", DemocracyNow.org, 15 April 2003. Accessed 4 January 2010.
  88. ^ Said, Edward."Resources of Hope" Diarsipkan 21 February 2015 di Wayback Machine., Al-Ahram Weekly, 2 April 2003, accessed 26 April 2007.
  89. ^ David Price, "How the FBI Spied on Edward Said," Error in webarchive template: Check |url= value. Empty. CounterPunch 13 January 2006, accessed 15 January 2006.
  90. ^ Brennan, Timothy (2021). Places of Mind. A Life of Edward Said. Farrar, Straus and Giroux. ISBN 9780374146535. 
  91. ^ Cockburn, Alexander (12 January 2006). "The FBI and Edward Said". The Nation. Diakses tanggal 19 December 2021. 
  92. ^ Ranjan Ghosh, Edward Said and the Literary, Social, and Political World Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., New York: Routledge, 2009: p. 22.
  93. ^ Columbia University Press, Music at the Limits by Edward W. Saïd, accessed 5 January 2010.
  94. ^ Rase, Sherri (8 April 2011), Conversations—with Mohammed Fairouz Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., [Q]onStage, retrieved 19 April 2011
  95. ^ "Homage to a Belly-dancer", Granta, 13 (Winter 1984).
  96. ^ "Reflections on Exile", London Review of Books, 13 September 1990.
  97. ^ Barenboim–Saïd Foundation, official website Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., Barenboim-Said.org. Accessed 4 January 2010.
  98. ^ The English Pen World Atlas, "Edward Said" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., accessed on 3 January 2010.
  99. ^ Spinozalens, Internationale Spinozaprijs Laureates Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., accessed on 3 January 2010.
  100. ^ Columbia University Press, "About the Author", Humanism and Democratic Criticism, 2004.
  101. ^ The English Pen World Atlas, Edward Said Error in webarchive template: Check |url= value. Empty., accessed on 3 January 2010.
  102. ^ Ruthven, Malise (26 September 2003). "Obituary: Edward Said". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 January 2023. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  103. ^ "Columbia Community Mourns Passing of Edward Said, Beloved and Esteemed University Professor". Columbia News. Columbia University. 26 September 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 October 2003. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  104. ^ Feeney, Mark (26 September 2003). "Edward Said, critic, scholar, Palestinian advocate; at 67". The Boston Globe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2022. Diakses tanggal 6 June 2013. 
  105. ^ Cockburn, Alexander (25 September 2003). "Edward Said: A Mighty and Passionate Heart". CounterPunch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 June 2022. 
  106. ^ Deane, Seamus (2005). "Edward Said (1935–2003): A Late Style of Humanism" (PDF). Field Day Review. 1: 189–202. ISSN 1649-6507. JSTOR 30078611. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 17 June 2022. 
  107. ^ Hitchens, Christopher (26 September 2003). "A valediction for Edward Said". Slate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 March 2023. 
  108. ^ Judt, Tony (2004-07-01). "The Rootless Cosmopolitan". The Nation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-25. Diakses tanggal 2023-11-16. 
  109. ^ Wood, Michael (2003-10-23). "Michael Wood · On Edward Said". London Review of Books. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-30. Diakses tanggal 2023-11-16. 
  110. ^ Ali, Tariq (2003). "Remembering Edward Said, 1935–2003". New Left Review. 24: 59–65. ISSN 0028-6060. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 December 2022. 
  111. ^ Birzeit University, Edward Said National Conservatory of Music.
  112. ^ "Conference: Waiting for the Barbarians: A Tribute to Edward Said." Error in webarchive template: Check |url= value. Empty. 25–26 May 2007. Bogazici University. European Journal of Turkish Studies. Ejts.org. Accessed 5 January 2010.
  113. ^ Jorgen Jensehausen, "Review: 'Waiting for the Barbarians'" Journal of Peace Research Vol. 46 No. 3 May 2009. Accessed 5 January 2010.
  114. ^ Fish, Rachel (2010). "Standing up for Academic Integrity on Campus". Dalam Pollack, Eunice G. Antisemitism on the Campus: Past and Present. Boston: Academic Studies Press. hlm. 376. ISBN 9781618110428. 
  115. ^ "Khalidi, Rashid". Department of History – Columbia University (dalam bahasa Inggris). 2 September 2016. Diakses tanggal 25 November 2021. 
  116. ^ Flaherty, Colleen (31 May 2017). "Why did Fresno State cancel a search for a professorship named after the late Edward Said?". Inside Higher Ed (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 4 December 2021. 

Bibliografi

sunting

Pranala luar

sunting