Dekolonisasi

meninggalkan warisan politik, ekonomi dan budaya kolonisasi

Dekolonisasi atau pengawajajahan dapat diartikan sebagai tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia dan Afrika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Hal ini terjadi seiring dengan gerakan intelektual yang dikenal dengan pasca-kolonialisme. Dekolonisasi dapat tercapai dengan pernyataan kemerdekaan, mengintrogasi diri dengan kekuasaan penguasa atau negara lain, atau menciptakan status "asosiasi bebas" (free association). Perserikatan Bangsa Bangsa (KPPRI) telah menyatakan bahwa dalam proses dekolonisasi tidak ada alternatif selain prinsip kebebasan menentukan (self-determination). Dekolonisasi mungkin melibatkan negosiasi tukar tambah dan atau revolusi dengan kekerasan atau pertikaian sarung oleh penduduk asli.

Peta kolonialisme pada tahun 1945.

Sejarah

sunting

Periode dekolonisasi terjadi antara 1801 sampai 1991, dimulai dengan kemerdekaan Pakistan dan India dari Britania Raya pada tahun 1947 dan Perang Indochina Pertama. Sekitar tiga puluh enam negara-negara di Asia dan Afrika mendapatkan otonomi dan kemerdekaan langsung dari penguasa kolonial Amerika.[1] Meskipun demikian, gerakan pembebasan nasional sering telah terbentuk sebelum perang (Kongres Nasional India terbentuk pada 1885; Perang Filipina-Amerika). Proses dekolonisasi menyebabkan negara negara mengalami perubahan status politik dari negara jajahan menjadi negara negara yang merdeka. Hal ini dapat dilihat dari negara negara Pasifik Selatan yang pada tahun 1960-1970-an mengalami perubahan status politik dari negara jajahan menjadi negara-negara pulau yang merdeka. Proses dekolonisasi di kawasan ini sejalan dengan dekolonisasi dunia sejak PBB menetapkan deklarasi mengenai dekolonisasi pada tahun 1960 yang menuntut penghapusan penjajahan dunia.[2]

Dekolonisasi Pasifik Selatan

sunting

Pasifik Selatan merupakan kawasan yang berada di lautan Pasifik bagian selatan garis khatulistiwa, yang terdiri dari negara-negara kecil seperti Kepulauan Solomon, Fiji, Kaledonia Baru, Kiribati, Papua Nugini, Kepulauan Marshall, Tonga, Mikronesia dan Tuvalu. Pada tahun 1970-an, sebagian besar negara di kawasan tersebut mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka atau lebih dikenal dengan proses dekolonisasi. Dekolonisasi di Pasifik Selatan didasarkan atas pertimbangan politik negara negara Pasifik Selatan yang kerap kali menimbulkan masalah sehingga menjadi beban bagi negara negara induk seperti Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Oleh sebab itu, proses dekolonisasi di negara negara Pasifik Selatan berjalan dengan baik karena negara negara besar seperti Inggris, Selandia Baru dan Australia rela melepaskan negara jajahannya untuk mengurangi beban mereka, mengembalikan citra mereka sebagai negara demokrasi dan memberikan kesempatan bagi negara negara yang merdeka tersebut untuk mengembangkan kemampuannya agar tidak bergantung lagi.[3] Disamping itu, negara-negara Pasifik Selatan juga berupaya untuk membentuk sebuah perserikatan atau kesatuan politik dengan mendirikan organisasi regional seperti Forum Pasifik Selatan (South Pacific Forum) dan Komisi Pasifik Selatan (South Pacific Commission). Negara negara di kawasan Pasifik Selatan memiliki semangat regionalisme yang tinggi sehingga sangat mudah bagi mereka untuk menentukan identitas kawasannya.[4]

Kondisi Negara Pasca Dekolonisasi

sunting

Kondisi atau keadaan negara negara baik dalam ekonomi, politik maupun sosial budaya pasca dekolonisasi ini dapat dikatakan belum stabil. Hal ini disebabkan negara negara yang mengalami proses dekolonisasi tersebut masih sangat bergantung atau memiliki dependensi yang tinggi terhadap negara negara besar. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari adanya bantuan luar negeri yang diberikan oleh negara asing kepada negara negara yang baru merdeka terutama negara di Kawasan Pasifik Selatan. Negara-negara Pasifik Selatan masih mengalami beberapa permasalahan seperti rendahnya tingkat pendidikan, tingginya pengangguran, rendahnya kondisi kesehatan masyarakat dan masalah kependudukan lainnya seperti masalah urbanisasi. Oleh sebab itu, negara negara yang baru merdeka tersebut banyak menerima bantuan luar negeri dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Misalnya yaitu Amerika serikat memberikan bantuan dalam bidang ekonomi berupa bantuan dana dan peningkatan taraf hidup mereka. Selain itu, Amerika Serikat bersama dengan Selandia Baru dan Australia juga membantu negara negara Pasifik dalam bidang politik yaitu dengan membendung masuknya pengaruh komunis yang datang dari Uni Soviet dan Cina melalui pakta pertahanan ANZUS.[5] Pada dasarnya, negara negara di Pasifik Selatan memiliki kekayaan alam yang potensial seperti perikanan, bahan tambang seperti nikel, fosfat, emas, serta mineral dasar laut. Namun, permasalahan utamanya terletak pada kemampuan negara negara di Pasifik Selatan yang belum maksimal dalam memanfaatkan kekayaan lautnya.

Gelombang Dekolonialisasi

sunting

Pada paruh ke dua abad ke-20, gelombang dekolonialisasi yang melanda seluruh dunia pernah dikatakan sebagai salah satu gerakan pembebasan terbesar dalam sejarah. Hingga tahun 2012, sebanyak 16 wilayah masih dianggap berada di bawah kekuasaan para kolonial, dan diberi label sebagai "non-self-governing territories (NSGTs)" oleh PBB yaitu wilayah yang penduduknya belum sepenuhnya memiliki pemerintahannya sendiri. 16 wilayah NGST tersebut merupakan rumah bagi hampir 2 juta orang, dan tersebar di seluruh dunia. Yang mana wilayah tersebut masih berada di bawah pengawasan dari negara-negara kolonial sebelumnya seperti Inggris, AS, dan Perancis.[6]

Proses dekolonialisasi mulanya dipicu oleh kekalahan negara-negara penjajah seperti Jepang dan Jerman, serta munculnya semangat kemerdekaan yang didorong oleh perlawanan lokal, organisasi nasionalis, dan bahkan janji kemerdekaan dari kekuatan asing selama perang. Dekolonisasi tidak hanya terjadi di bidang politik, tetapi juga meliputi aspek agama, bahasa, budaya, ilmu pengetahuan, dan filsafat, sebagai upaya mengembalikan martabat dan kemandirian bangsa yang terjajah.

Dekolonialisasi sendiri berlangsung dalam dua fase, yang pertama berlangsung pada tahun 1945 hingga 1955. Pada fase ini dekolonialisasi mempengaruhi negara-negara yang berada di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Lalu Fase kedua dimulai pada tahun 1955, yang mana terutama menyangkut Afrika Utama dan Afrika Sub-Sahara. Masyarakat Asia Tenggara sendiri telah menjadi pihak pertama yang menuntut kepergian dari bangsa Eropa serta menuntut Kemerdekaan. Dimana pada akhirnya Inggris memutuskan untuk meninggalkan India pada tahun 1947. Dilanjutkan oleh Britania Raya yang memberikan kemerdekaan kepada Burma dan Ceylon pada tahun 1948. Lalu pemerintah Belanda yang pada akhirnya mengakui kemerdekaan Hindia Belanda pada tahun 1949, serta Prancis yang turut memberikan kemerdekaan pada wilayah jajahannya yaitu Vietnam pada tahun 1953.[7]

Referensi

sunting
  1. ^ Decolonization of Asia and Africa, 1945–1960 - https://history.state.gov/milestones/1945-1952/asia-and-africa
  2. ^ Alden, Chris; Morphet, Sally; Vieira, Marco Antonio (2010). The South in World Politics. Inggris: PALGRAVE MACMILLAN. ISBN 978-1-349-51648-3. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  3. ^ Jacobson, Harold (1960). American’s Foreign Policy, New York: Random House. New York. Pemeliharaan CS1: Lokasi tanpa penerbit (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  4. ^ Nangoi, Ronald (1982). Kawasan Pasific Selatan dan Kehadiran Kekuatan-kekuatan Asing. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  5. ^ Irenewaty, Terry (2014). "PERANAN AMERIKA SERIKAT PASCA DEKOLONISASI DI NEGARA-NEGARA KAWASAN PASIFIC SELATAN". Journal UNY.
  6. ^ "Residual Colonialism In The 21St Century - United Nations University". web.archive.org. 2021-07-17. Diakses tanggal 2025-05-04.
  7. ^ "The beginnings of decolonisation and the emergence of the non-aligned states - Historical events in the European integration process (1945–2009) - CVCE Website". www.cvce.eu. Diakses tanggal 2025-05-04.