Alex Kawilarang

tokoh militer Indonesia

Brigjen Inf. (Purn.) Alexander Evert Kawilarang (23 Februari 1920 – 6 Juni 2000) adalah seorang perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) masa Revolusi Nasional Indonesia dan mantan anggota KNIL. Ia juga adalah pendiri Kesko TT yang kemudian menjadi Kopassus. Pada tahun 1958 ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai atase militer di Amerika Serikat untuk bergabung dengan pemberontakan Permesta di mana ia harus melawan pasukan Kopassus yang ia bentuk sebelumnya. Keterlibatannya dalam Permesta menghentikan karier militernya dengan TNI, tetapi ia tetap populer dan aktif dalam komunitas angkatan bersenjata sampai masa tuanya.

Alex Evert Kawilarang
Alex Evert Kawilarang
Panglima Tentara dan Teritorium III/Siliwangi ke-5
Masa jabatan
10 November 1951 – 14 Agustus 1956
Sebelum
Pendahulu
Sadikin
Sebelum
Panglima Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan ke-1
Masa jabatan
28 Desember 1949 – 19 April 1950
Sebelum
Pendahulu
tidak ada, jabatan baru
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1920-02-23)23 Februari 1920
Meester Cornelis, Batavia, Hindia Belanda
Meninggal6 Juni 2000(2000-06-06) (umur 80)
R.S.C.M., Kenari, Senen, Jakarta Pusat
MakamTaman Makam Pahlawan Cikutra
AnakA. Edwin Kawilarang
Karier militer
PihakIndonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1945–1961
Pangkat Brigadir Jenderal TNI
Panglima Besar (Permesta)
SatuanKNIL (1941–1942)
TT III/Siliwangi (1946–1948 & 1951–1956)
TT I/Bukit Barisan (1948–1950)
TT VII/Wirabuana (1950–1951)
Permesta (1958–1961)
KomandoTT I/Bukit Barisan (TNI)
TT III/Siliwangi (TNI)
TT VII/Wirabuana (TNI)
Permesta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal sunting

Kawilarang lahir di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) pada tanggal 23 Februari 1920.[1] Ia lahir dari sebuah keluarga militer. Ayahnya, Alexander Herman Hermanus Kawilarang, adalah seorang mayor KNIL.[2] Ibunya adalah Nelly Betsy Mogot.[3] Kedua orang tuanya berasal dari Remboken di Sulawesi Utara. Kawilarang adalah seorang suku Minahasa dari sub-suku Toulour. Dia juga merupakan sepupu dari Daan Mogot, direktur Akademi Militer Tangerang yang tewas dalam Pertempuran Lengkong yang berupaya melucuti depot tentara Jepang pada tahun 1946.[4]

Kawilarang mengikuti sistem pendidikan Eropa yang komprehensif. Ia menempuh pendidikan dasarnya di sebuah Europeesche Lagere School (ELS), mula-mula di Tjandi, Semarang dan kemudian di Tjimahi, Jawa Barat.[3] Selesai dari situ, ia melanjutkan ke Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), setara dengan SMP/SMA yang lamanya 5 tahun.[5]

Selesai dari pendidikan menengahnya, Kawilarang mengikuti jejak ayahnya dan masuk pendidikan militer, mula-mula di Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL (Corps Opleiding Reserve Officeren, CORO) pada tahun 1940, yang dilanjutkannya ke Akademi Militer Kerajaan (Koninklijk Militaire Academie) darurat di Bandung dan Garut, Jawa Barat dari tahun 1940 sampai 1942. Teman-teman sekelasnya termasuk AH Nasution dan TB Simatupang.[6] Setelah lulus, Kawilarang ditempatkan di Magelang sebagai komandan peleton dan kemudian ditugaskan kembali ke Bandung sebagai instruktur.[7] Kelak ia juga sempat mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando AD (SSKAD) di Jakarta.[butuh rujukan]

Selama pendudukan Jepang, orang-orang Manado, Ambon, dan Indo sering ditangkap secara acak karena kedekatan mereka dengan Belanda. Banyak yang disiksa dengan kejam oleh polisi militer Jepang (Kempeitai). Kawilarang disiksa beberapa kali oleh pasukan Jepang pada tahun 1943 dan 1944. Dia selamat, tetapi menderita cacat seumur hidup di lengan kanannya dan banyak bekas luka.[8] Pada tahun 1944, ayah Kawilarang diduga tewas ketika ia menjadi seorang tawanan di kapal kargo Jepang Junyo Maru (lihat kartu tahanan ayahnya di situs Arsip Nasional Belanda). Kapal itu membawa 3.000 tawanan Manado, Ambon, Indo-Eropa, Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika Serikat, dan juga lebih dari 3.500 Romusha ketika kapal itu ditenggelamkan oleh sebuah kapal selam Inggris bernama HMS Tradewind.[1]

Untuk sisa masa perang, Kawilarang bekerja di Sumatra, yang terakhir adalah sebagai kepala pabrik karet di Tanjung Karang (sekarang Bandar Lampung) di Sumatera Selatan.[1][9]

Revolusi Nasional Indonesia sunting

 
Kawilarang (kedua dari kiri) menerima transfer kedaulatan di Tapanuli

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 11 Desember 1945 Kawilarang menjadi perwira penghubung dengan pasukan Inggris di Jakarta dengan pangkat mayor.[butuh rujukan] Pada bulan Oktober 1945, ia ditugaskan sebagai staf Komandemen I Jawa Barat di Purwakarta.[10] Pada bulan Januari 1946, ia menjadi Kepala Staf Resimen Infanteri Bogor Divisi II Jawa Barat dengan pangkat letnan kolonel.[11] Pada bulan Agustus 1946, ia menjadi komandan Brigade II/Surya Kencana yang meliputi Sukabumi, Bogor, dan Cianjur. Brigade ini termasuk dalam Divisi Siliwangi yang baru terbentuk.[12][13] Ia memimpin brigade ini selama Agresi Militer Belanda I. Dia juga sempat memimpin secara singkat Brigade I/Tirtayasa ketika brigade tersebut dipindahkan ke Yogyakarta.[1]

Pada pertengahan tahun 1948, Kawilarang termasuk dalam kontingen pemerintah dan pejabat militer ke Bukittinggi di Sumatera Barat. Langkah ini untuk mengantisipasi agresi militer Belanda yang kedua dan untuk mempersiapkan pembentukan pemerintah darurat Indonesia di luar Jawa. Pada tanggal 28 November 1948 Kawilarang menjabat sebagai Komandan Sub Teritorium VII/Tapanuli, Sumatra Timur bagian selatan. Salah satu tugasnya adalah menghentikan pertikaian antar kelompok tentara di daerah itu.[14] Pada tanggal pada 1 Januari 1949 pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Kawilarang juga ditunjuk sebagai Wakil Gubernur Militer PDRI untuk wilayah yang sama dengan Ferdinand Lumban Tobing ditunjuk sebagai Gubernur.[15][16]

Pada 28 Desember 1949 ia menjabat sebagai Gubernur Militer wilayah Aceh dan Sumatera Utara merangkap Wakil Koordinator Keamanan dengan pangkat kolonel. Pada 21 Februari 1950, ia mendapatkan kepercayaan tambahan sebagai Panglima Tentara dan Territorium (TT) I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan untuk mengantisipasi pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar.[17] Selama kariernya, Kawilarang juga pernah menjadi panglima teritorial di dua komando daerah penting lainnya: Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (sekarang Kodam XIV/Hasanuddin) pada bulan 15 April 1950 dan Tentara dan Territorium III/Siliwangi (sekarang Kodam III/Siliwangi) pada bulan 10 November 1951.[18] Pada tanggal 17 Oktober 1952, Kawilarang bersama-sama dengan sejumlah tokoh militer lainnya (antara lain AH Nasution dan TB Simatupang) terlibat dalam apa yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, yang menentang campur tangan pemerintah dalam urusan militer.[butuh rujukan]

Pasukan Ekspedisi ke Indonesia Timur sunting

 
Kawilarang (tengah) dengan Soeharto (kanan)
 
Kawilarang (kiri) dengan Slamet Rijadi di Ambon

Dalam usia yang baru menginjak 30 tahun, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Operasi Pasukan Ekspedisi pada tanggal 15 April 1950.[19] Ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan dari mantan pasukan KNIL yang termasuk di antaranya Andi Azis di Makassar, Sulawesi Selatan. Pasukan ekspedisi ini terdiri dari beberapa brigade, termasuk yang dipimpin oleh Suharto dan Joop Warouw.[20] Pada tanggal 8 Agustus 1950, pertempuran berhenti setelah terjadi negosiasi antara Kawilarang dan Jenderal Belanda bernama Scheffelaar.[21]

Pada waktu yang sama, Kawilarang juga mengorganisikan kekuatan melawan pemberontakan Kahar Muzakkar dan gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Pertempuran di Maluku lebih sengit karena lawannya adalah mantan tentara KNIL asal Maluku yang tergabung dalam pasukan Green Caps.[22] Pada akhirnya perlawanan dapat ditumpas pada bulan November 1950. Kolonel Slamet Riyadi merupakan salah satu komandan pasukan di bawah Kawilarang yang tewas pada hari terakhir kampanye militer tersebut.[23]

Menampar Soeharto sunting

Pada waktu menjabat sebagai Panglima TT VII/Indonesia Timur, Kawilarang baru saja melapor kepada Presiden Soekarno bahwa keadaan di Makassar sudah aman. Namun Soekarno malah menyodorkan sebuah radiogram yang baru saja diterimanya yang melaporkan bahwa pasukan KNIL Belanda sudah menduduki Makassar. Ternyata Brigade Mataram, pasukan yang seharusnya mempertahankan kota Makassar, telah melarikan diri ke Lapangan Udara Mandai. Kawilarang marah besar dan segera kembali ke Makassar. Setibanya di lapangan udara ia langsung memarahi komandan Brigade Mataram, Letkol Soeharto, sambil menempelengnya. Dalam satu wawancara, Kawilarang membantah bahwa ia menyerang Soeharto, tetapi ia mengakui bahwa dia harus menegurnya pada waktu itu.[24]

Kopassus sunting

Pengalaman pertempuran di Maluku mendorong Kawilarang untuk membentuk pasukan yang menjadi cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).[25] Beberapa sumber mencatat bahwa ide pasukan khusus ini adalah gagasan Kawilarang dan Riyadi.[26][27] Pada 15 April 1952, Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III (Kesko TT) di Batujajar, Jawa Barat, ketika ia menjadi Panglima TT III/Siliwangi.[28] Dia meminta Moch. Idjon Djanbi, seorang mantan komando KNIL, untuk melatih unit tersebut.[29] Pada tahun 1999, setahun sebelum kematiannya, Kawilarang menjadi anggota kehormatan Kopassus dan menerima baret merah dalam upacara memperingati ulang tahun ke-47 Kopassus.[30]

Atase Militer di Amerika Serikat sunting

Pada bulan Agustus 1956, Mayjen Nasution sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat menunjuk Kawilarang sebagai Atase Militer Indonesia di Amerika Serikat dengan pangkat brigadir jenderal.[31] Terdapat sumber yang mengatakan bahwa tujuan pengangkatan Kawilarang sebagai atase militer adalah menghilangkan pengaruhnya sebagai Panglima TT III/Siliwangi di Jawa Barat sehingga kedudukan panglima bisa dipegang oleh seorang perwira yang tidak akan mengancam Nasution atau bahkan seorang yang pro-Nasution.[31][32][33] Langkah serupa dilakukan Nasution dengan mengganti Panglima TT VII/Indonesia Timur dari Joop Warouw ke Ventje Sumual.[34][35] Hanya sehari sebelum upacara serah-terima jabatan, Kawilarang memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani karena kegiatannya yang diduga korupsi.[36] Langkah ini didukung oleh Zulkifli Lubis yang merupakan lawan dari Nasution.[37] Nasution akhirnya membatalkan perintah Kawilarang dan Abdulgani dibebaskan.[38] Mengenai penunjukan ke Washington, Kawilarang sendiri menyatakan bahwa posisi itu ditawarkan oleh Nasution dan ia menerimanya karena Kawilarang ingin memperoleh lebih banyak pengetahuan militer di luar negeri.[39]

Permesta sunting

Karena adanya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena (di antaranya) kurangnya otonomi daerah, maka pada tanggal 2 Maret 1957, Ventje Sumual mendeklarasikan Piagam Perjuangan Semesta dan gerakan Permesta.[40] Pusat gerakan tersebut adalah di Manado dan Minahasa di Sulawesi Utara. Gerakan ini bersatu dengan gerakan terpisah di Sumatra yang disebut Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kawilarang memantau situasi dari Washington dan kemudian menyimpulkan bahwa pemerintah pusat di Jawa yang menjadi penyebab krisis regional tersebut.[41] Pada bulan Maret 1958, ia memberi tahu Duta Besar Indonesia untuk AS, Mukarto, bahwa ia akan berangkat ke Sulawesi Utara.[42] Ia meninggalkan jabatannya pada 22 Maret 1958.[36] Sekembalinya ke tanah air, ia menjabat sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI (1958) dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat mayor jenderal dari Februari 1959 hingga Februari 1960. Ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa Kawilarang belum sepenuhnya menerima sisi PRRI karena menurutnya PRRI sejalan dengan ekstrimis agama.[43][44] Kawilarang adalah satu-satunya perwira yang tidak segera diberhentikan oleh pemerintah pusat secara tidak hormat atas partisipasi mereka dalam Permesta dan PRRI.[45] Karena keraguannya terhadap PRRI, pemerintah pusat masih berharap bahwa dia akan berubah pikiran.[43][44] Namun ia tetap mendukung Permesta dan menjadi Panglima angkatan bersenjata Permesta.[46][47]

Pada tahun 1961 pasukan dari pemerintah pusat berhasil meredam perlawanan pasukan Permesta. Pasukan dari Jakarta ini terdapat perwira-perwira yang dulu di bawah pimpinan Kawilarang.[48] Konflik ini dapat diselesaikan secara damai melalui upaya FJ Tumbelaka. Beberapa upacara diadakan pada bulan April dan Mei 1961 di mana pemerintah Indonesia secara resmi menerima kembali pasukan Permesta. Kawilarang berpartisipasi dalam upacara pada tanggal 14 April yang dihadiri oleh Mayjen Hidayat dan Brigjen Achmad Yani dari TNI, keduanya kenal baik dengan Kawilarang.[49] Namun menurut Kawilarang, sebelumnya telah tercapai kesepakatan bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak komunis di Jawa. Karenanya, Kawilarang merasa menyesal ketika Nasution tidak menepati janjinya.

Des Alwi, seorang tokoh pemuda 1945 menyebut Kawilarang sebagai seorang tentara asli yang jujur dan tidak main politik. Tindakannya menempeleng Soeharto tampaknya tidak pernah dimaafkan oleh presiden kedua RI itu, sehingga sampai Kawilarang meninggal, ia tidak pernah berbicara dengan bekas atasannya itu. Baru setelah Soeharto turun dari jabatannya dan digantikan oleh B.J. Habibie, Kawilarang memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya.[butuh rujukan] Juga karena perannya dalam Permesta, ia tidak pernah menerima penghargaan militer seperti perwira-perwira sesamanya. Pada tanggal 15 April 1999, Kawilarang akhirnya memperoleh pengakuan atas jasa-jasanya dalam ikut membentuk Kopassus. Pada peringatan hari jadi Kopassus ke-47, Kawilarang diterima sebagai Warga Kehormatan Kopassus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Sebagai tandanya, ia dianugerahi sebuah baret merah dan pisau komando.

Kehidupan sipil sunting

Pada tahun 1961, Kawilarang menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Soekarno melalui Keppres 322/1961.[50] Namanya kemudian direhabilitasi. Kawilarang kemudian pensiun dari dinas TNI, namun pangkatnya diturunkan menjadi kolonel purnawirawan. Ia tetap aktif dalam komunitas pensiunan militer dan Pepabri (Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-POLRI).[51] Pada akhir 1960an, ia pernah mengajukan proposal untuk pendirian pabrik tepung terigu dan diberikan izin oleh Soemitro Djojohadikoesoemo, selaku Menteri Perindustrian dan Perdagangan saat itu. Namun, kemudian izin tersebut dialihkan oleh Soeharto kepada Bogasari.[52] Pada tahun 1972, Kawilarang menjabat sebagai wakil manajer umum Jakarta Racing Management, yang mengelola pacuan kuda di Pulomas, Jakarta Timur.[53] Kompetisi balap kuda nasional tahunan diberi nama AE Kawilarang Memorial Cup.[54]

Wafat sunting

Pada tanggal 6 Juni 2000, Kawilarang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo di Jakarta. Dia disemayamkan di Ruang Soedirman di Markas Kodam III/Siliwangi di Bandung yang kemudian diikuti dengan upacara militer yang dipimpin oleh Pangdam III/Siliwangi Mayjen Slamet Supriyadi. Kawilarang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra di Bandung.[55]

Keluarga sunting

Kawilarang menikah dua kali. Pertama dengan Petronella Isabella van Emden pada tanggal 16 Oktober 1952.[56] Mereka bercerai pada tahun 1958. Kedua dengan Henny Olga Pondaag, mantan istri Ventje Sumual, sahabatnya dalam perjuangan Permesta. Dari pernikahannya yang pertama, ia memperoleh dua orang anak: Aisabella Nelly Kawilarang dan Alexander Edwin Kawilarang. Dari pernikahannya yang kedua, ia memperoleh seorang anak yakni Pearl Hazel Kawilarang.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Simatupang (1972), p. 126.
  2. ^ Matanasi (2011), p. 46.
  3. ^ a b Ramadhan KH (1988), p. 13.
  4. ^ Ramadhan KH (1988), p. 65.
  5. ^ Ramadhan KH (1988), p. 14.
  6. ^ Anderson (1972), p. 234.
  7. ^ Ramadhan KH (1988), pp. 16, 17.
  8. ^ Ramadhan KH (1988), p. 25.
  9. ^ Anderson (1972), p. 425.
  10. ^ Anwar (2004), p. 253.
  11. ^ Ramadhan KH (1988), p. 61.
  12. ^ Ramadhan KH (1988), p. 93.
  13. ^ Gayantari (2007), p. 30.
  14. ^ Abin (2016), pp. 149, 150.
  15. ^ Simatupang (1972), p. 238.
  16. ^ Suprayitno (2011), p. 96.
  17. ^ Ramadhan KH (1988), p. 176.
  18. ^ Indonesia (April 1983), pp. 114, 118.
  19. ^ Conboy (2003), p. 8.
  20. ^ van Dijk (1981), p. 165.
  21. ^ RIIA (1950), p. 538.
  22. ^ Conboy (2003), pp. 6, 9.
  23. ^ Conboy (2003), p. 10.
  24. ^ Jenkins (1984), p. 200.
  25. ^ Conboy (2003), p. 16.
  26. ^ TEMPO (2002), p. 20.
  27. ^ Sebastian (2006), p. 172.
  28. ^ Kingsbury (2003), p. 94.
  29. ^ Conboy (2003), p. 19.
  30. ^ Kompas (8 Juni 2000).
  31. ^ a b Vey (April 1971), p. 161.
  32. ^ Kahin (1995), p. 51.
  33. ^ Hill (2010), pp. 47, 49
  34. ^ Vey (April 1971), p. 160.
  35. ^ Morrison (1999), p. 9.
  36. ^ a b van der Kroef (April 1957), p. 49.
  37. ^ Hill (2010), p. 47
  38. ^ Vey (April 1971), p. 162.
  39. ^ Ramadhan KH (1988), p. 285.
  40. ^ Harvey (2009), p. 15.
  41. ^ Harvey (2009), p. 103.
  42. ^ Ramadhan KH (1988), p. 292.
  43. ^ a b Conboy (2003), pp. 50, 51.
  44. ^ a b Harvey (2009), p. 123.
  45. ^ Lev (1966), pp. 54, 55.
  46. ^ Asnan et al. (2006), p. 140.
  47. ^ Johnson (2015), p. 206.
  48. ^ Conboy (2003), p. 51.
  49. ^ Palohoon (Mei 2017).
  50. ^ Depdagri (2011), p. 21.
  51. ^ Jenkins (1984), p. 120.
  52. ^ Adam (2009), p. 205.
  53. ^ Ramadhan (1992), p. 254.
  54. ^ Bramantoro (Januari 2017).
  55. ^ JakartaPost (2000).
  56. ^ Ramadhan KH (1988), p. 272.

Sumber referensi

  • Abin, Dewi A. Rais (2016). Hidayat: Father, Friend, and a Gentleman [Hidayat: Ayah, Teman, dan seorang Pria Berwibawa] (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-060-6. 
  • Adam, Asvi Warman (2009). Nursam, M., ed. Pelurusan Sejarah Indonesia (edisi ke-2). Yogyakarta: Ombak. ISBN 978-602-8335-15-7. 
  • Anwar, Rosihan (2004). Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-141-4. 
  • Asnan, Gusti; Henley, David; Pasande, Diks; Raben, Remco; Velthoen, Esther (2006). "Nation, Region and the Ambiguities of Modernity in Indonesia in the 1950s". Dalam Nordholt, Henk Schulte; Hoogenboom, Ireen. Indonesian Transitions [Transisi-Transisi di Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 115–162. ISBN 979-979-245-844-1. 
  • Conboy, Kenneth J. (2003). Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces [Kopassus: Di Dalam Pasukan Khusus Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Equinox Publishing. ISBN 9-7995-8988-6. 
  • Gayantari, Sri Indra; Alfian, Magdalia (2007). Sejarah Pemikiran Indonesia: 1945-1966. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 
  • Harvey, Barbara (2009). Permesta: Half a Rebellion [Permesta: Pemberontakan Setengah Hati] (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. 
  • Hill, David T. (2010). Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922–2004) as Editor and Author [Pers dan Politik di Indonesia: Sebuah Riwayat Kritis tentang Mochtar Lubis (1922–2004) sebagai Editor dan Pengarang]. London: RoutledgeCourzon. ISBN 978-041-566-684-8. 
  • "Col. Kawilarang Buried in Bandung" [Kolonel Kawilarang dimakamkan di Bandung]. Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Jakarta. 9 June 2000. 
  • Jenkins, David (1984). Suharto and His Generals: Indonesia's Military Politics, 1975–1983 [Suharto dan Jenderal-Jenderalnya: Politik Militer Indonesia, 1975–1983] (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University. ISBN 978-087-763-030-2. 
  • Johnson, John J. (2015). Role of the Military in Underdeveloped Countries [Peranan Militer di Negara-Negara Berkembang] (dalam bahasa Inggris). Princeton: Princeton Legacy Library. ISBN 978-069-162-327-6. 
  • "AE Kawilarang Dimakamkan di Bandung". Kompas. Jakarta. 8 Juni 2000. 
  • van der Kroef, Justus M. (April 1957). "Instability in Indonesia" [Ketidakstabilan di Indonesia]. Far Eastern Survey (dalam bahasa Inggris). 26 (4): 49–62. doi:10.1525/as.1957.26.4.01p11054. 
  • Lev, Daniel S. (1966). The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957–1959 [Transisi ke Demokrasi Terpimpin: Politik di Indonesia, 1957–1959] (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University. 
  • Matanasi, Petrik (2011). Pribumi Jadi Letnan KNIL. Yogyakarta: Trompet. 
  • Morrison, James (1999). Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958 [Kaki di Atas Api: Operasi Rahasia CIA di Indonesia, 1957–1958] (dalam bahasa Inggris). Naval Institute Press. 
  • Ramadhan Karta Hadimadja (1988). A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
  • Ramadhan Karta Hadimadja (1992). Memoar Ali Sadikin: Gubernur Jakarta Raya, 1966-1977. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
  • Royal Institute of International Affairs (2–16 August 1950). "Chronology, 2 August 1950 - 16 August 1950" [Kronologi, 2 Agustus 1950 - 16 Agustus 1950]. Chronology of International Events and Documents (dalam bahasa Inggris). 6 (16): 521–554. 
  • Sebastian, Leonard (2006). Realpolitik Ideology: Indonesia's Use of Military Force [Ideologi Realpolitik: Penggunaan Kekuatan Militer di Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Singapore: ISEAS. ISBN 978-981-230-311-0. 
  • Simatupang, Tahi Bonar (1972). Report from Banaran: Experiences During the People's War [Laporan dari Banaran: Pengalaman Selama Perang Rakyat] (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Anderson, Benedict; Graves, Elizabeth. Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University. 
  • Suprayitno (2011). "Jalan Keluar yang Buntu: Federasi Sumatra Sebagai Gagasan Kaum Terpojok". Dalam van Bemmelen, Sita; Rabe, Remco. Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 64–105. ISBN 978-979-461-772-4. 
  • "From Brown to Red" [Dari Cokelat ke Merah]. TEMPO (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Arsa Raya Perdana. 16 April 2002. 

Pranala luar sunting

Jabatan militer
Didahului oleh:
Sadikin
Pangdam Siliwangi
1951 – 1956
Diteruskan oleh:
Dadang Suprajogi