Suku Minahasa

suku bangsa di Indonesia
(Dialihkan dari Minahasa)

Suku Minahasa adalah kelompok suku etnis yang berasal dari Semenanjung Minahasa di bagian utara pulau Sulawesi di Indonesia. Wilayah-wilayah administratif tempat bermukim mayoritas orang-orang Minahasa (atau Minahasa Raya) adalah Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, Kota Manado, dan Kota Tomohon. Seluruh kawasan administratif ini terletak di Provinsi Sulawesi Utara dan suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi ini.[4] Hal ini juga yang menyebabkan dalam percakapan awam, orang Minahasa sering kali disamakan dengan sebutan orang Manado yang adalah ibukota Sulawesi Utara.[5] Suku Minahasa merupakan gabungan dari kelompok-kelompok sub-etnis yaitu Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Tombulu, Tondano (Toulour), Tonsawang (Tombatu), Tonsea, dan Tontemboan.[6]

Suku Minahasa
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Sensus 2010)1.251.494[1][2][3]
        Sulawesi Utara1.022.221
        DKI Jakarta36.913
        Sulawesi Tengah30.572
        Jawa Barat30.128
        Papua21.394
        Kalimantan Timur20.413
Bahasa
Bahasa Manado, Bahasa Tombulu, Bahasa Tondano, Bahasa Tonsawang, Bahasa Tonsea, Bahasa Tontemboan, Bahasa Indonesia
Agama
Mayoritas
Kristen
(Protestan dan Katolik)
Minoritas
Islam
Kelompok etnik terkait
Bisaya, Gorontalo, Mongondow, Sangir, Toraja

Etimologi

Sebutan Minahasa berarti "menjadi satu" dan berasal dari kata pokok asa yang merupakan kata kerja yang berarti "satu".[7] Sebutan ini pertama kali muncul dalam laporan Residen Manado J. D. Schierstein kepada Gubernur Maluku tertanggal 8 Oktober 1789. Laporan tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli) dalam peristiwa yang dikenang sebagai "Perang Tateli" menggunakan sebutan Minhasa untuk Landraad (atau Dewan Negeri atau juga Dewan Daerah).[8] Nama ini kemudian dipopulerkan oleh penulis-penulis Belanda pada abad ke-19 dan juga orang-orang Minahasa perantauan di Jawa pada awal abad ke-20.[9] Sebutan-sebutan sebelum munculnya nama Minahasa termasuk antara lain Minaesa (atau Ma'esa) dan Mahasa, keduanya yang mempunyai arti yang sama dengan Minahasa.[10][11][12] Selain itu, nama Malesung pernah digunakan sebagai sebutan untuk wilayah Minahasa.[13]

Asal mula

 
Peta wilayah Minahasa Raya.

Daerah Minahasa termasuk salah satu tempat migrasi pertama orang-orang Austronesia ke arah selatan pada akhir milenium ketiga dan kedua SM.[14] Hipotesis yang diterima secara umum adalah bahwa orang-orang Austronesia awalnya menghuni Taiwan, sebelum bermigrasi dan menempati daerah-daerah di Filipina utara, Filipina selatan, Kalimantan, dan Sulawesi sebelum berpisah menjadi kelompok-kelompok dengan satu menuju barat ke Jawa, Sumatra, dan Malaysia, sementara yang lain bergerak ke timur menuju Oseania.[15]

Menurut mitologi Minahasa, orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Awalnya, keturunan Toar-Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok: Makarua Siouw (dua kali sembilan), Makatelu Pitu (tiga kali tujuh), dan Pasiowan Telu (sembilan kali tiga). Populasi mereka berkembang dengan pesat yang mengakibatkan perselisihan di antara kelompok-kelompok ini. Para pemimpin mereka yang bernama Tona'as kemudian memutuskan untuk bertemu dan membicarakan hal ini dalam pertemuan di bukit Tonderukan yang adalah salah satu puncak dari Gunung Soputan. Dalam pertemuan ini, terjadi tiga macam pembagian yang disebut Pahasiwohan (pembagian wilayah), Pinawetengan un Nuwu (pembagian bahasa), dan Pinawetengan un Posan (pembagian ritual). Pada pertemuan itu keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan. Di tempat berlangsungnya pertemuan ini terdapat sebuah batu peringatan yang disebut Watu Pinawetengan (atau Batu Pembagi).[16][17]

Sub-suku

 
Estimasi peta wilayah sub-etnis Minahasa.

Suku Minahasa merupakan gabungan dari beberapa sub-suku atau sub-etnis di daerah Minahasa Raya. Dari antara kelompok-kelompok sub-etnis terdapat empat sub-etnis utama berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah yaitu Tombulu, Tondano, Tonsea, dan Tontemboan.[18][19][20] Tulisan Graafland pada abad ke-19 menggunakan nama Tou'mbulu untuk Tombulu, Tou'nsea untuk Tonsea, Toulour untuk Tondano, dan Tounpakewa untuk Tontemboan. Perbedaan sebutan untuk dua nama terakhir karena sebutan Toulour dan Tounpakewa berasal dari Bahasa Tombulu.[21] Tapi untuk kesemuanya, kata tou dalam nama-nama tersebut berarti orang. Setiap kelompok sub-etnis ini adalah satu pakasa'an yang berarti "mereka yang bersatu" karena kesamaan leluhur, adat, dan bahasa.[22]

Dari keempat sub-etnis utama tersebut, ada pendapat bahwa Pakasa'an Tondano tidak muncul bersamaan dengan ketiga pakasa'an lainnya. Hal ini terlihat dari catatan Johann Gerard Friedrich Riedel dalam tulisannya pada tahun 1870 yang menyatakan bahwa awalnya terdapat tiga pakasa'an yaitu Tumbuluk (Tombulu), Tountewoh (Tonsea), dan Toungkimbut (Tontemboan).[23] Ketiga pakasa'an inilah yang menurut cerita rakyat melakukan pembagian wilayah di Watu Pinawetengan.[24] Pendapat tentang dari mana asal atau datangnya Pakasa'an Tondano berbeda. Ada yang berpendapat bahwa Pakasa'an Tondano adalah pecahan dari Pakasa'an Tountewoh (Tonsea).[25] Tapi ada pendapat lain bahwa Pakasa'an Tondano berasal dari kelompok yang juga ikutserta dalam pertemuan di Watu Pinawetengan yang bernama Tousendangan.[26] Ada juga yang mencatat nama kelompok asal dari Pakasa'an Tondano adalah Tousingal.[27]

Kelompok-kelompok sub-etnis lainnya adalah Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosokan, dan Tonsawang (Tombatu). Sub-etnis Bantik mendiami daerah Kota Manado dan sekitarnya.[28] Sub-etnis Pasan/Ratahan, Ponosokan, dan Tonsawang mendiami daerah selatan Minahasa Raya.[29] Ada juga beberapa kelompok sub-etnis yang diikutsertakan sebagai bagian dari Suku Minahasa yaitu Babontehu, Borgo, dan Siauw. Sub-etnis Babontehu mendiami Pulau Manado Tua dan pulau-pulau sekitarnya. Sub-etnis Borgo adalah turunan orang-orang Minahasa yang kawin dengan orang-orang Eropa seperti Belanda, Portugis, dan Spanyol.[30] Sedangkan sub-etnis Siauw adalah mereka yang mendiami Pulau Siauw.[29]

Sejarah

Deskripsi pertama tentang Minahasa oleh bangsa Eropa berasal dari dokumen Portugis pada tahun 1552. Sebelumnya pada tahun 1523, pelaut Portugis Simao d'Abreu adalah orang Eropa pertama yang melihat semenanjung Minahasa pada saat ia melewati dan mencatat kekagumannya pada Pulau Manado Tua.[31] Kemudian Spanyol dan Belanda datang ke Minahasa pada awal abad ke-17.[32] Pada akhir abad ke-17, kepala-kepala walak (atau daerah tempat tinggal bersama) dari berbagai daerah Minahasa datang bersama dan memutuskan untuk mengadakan perjanjian dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) dalam usaha memerangi serangan dari daerah Kerajaan Bolaang Mongondow. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 10 Januari 1679 dan dilakukan antara gubernur VOC yang berkedudukan di Maluku yaitu Robertus Padtbrugge dengan 23 kepala walak. Nama-nama walak yang termasuk dalam perjanjian tersebut adalah Aris, Bantik, Kakas, Kakaskasen, Klabat, Klabat Atas, Langowan, Pasan (yang juga mewakili Pinosokan dan Ratahan), Remboken, Rumoong, Sarongsong, Tombariri, Tombasian, Tomohon, Tompaso, Tondano, Tonkimbut Atas, Tonkimbut Bawah, Tonsawang, dan Tonsea.[33] Namun hubungan dengan Belanda tidak selalu baik, seperti pada tahun 1808 dengan terjadinya Perang Tondano antara Minahasa dengan Hindia Belanda. Salah satu alasan terjadinya perang ialah Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk Hindia Belanda yang akan dikirim ke Pulau Jawa.[34]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jawa, Minahasa termasuk daerah yang cukup awal ikut bergabung dalam republik yang baru dibentuk. Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya Peristiwa Merah Putih pada tanggal 14 Februari 1946 di mana prajurit-prajurit Minahasa dalam Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) melucuti senjata dari pimpinan militer Belanda kemudian mengibarkan Sang Saka Merah Putih di tangsi militer Belanda di Teling, Manado.[35] Di samping itu, orang-orang Minahasa di Jawa bergabung dalam wadah Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan ikutserta dalam Revolusi Nasional Indonesia.

Sebuah gerakan yang melibatkan orang-orang Minahasa terjadi pada tahun 1958 yang bernama Perjuangan Rakyat Semester (Permesta) yang menentang kebijakan pemerintah Indonesia di Jawa. Salah satu alasan utama dari gerakan ini adalah karena ajang politik dan upaya pembangunan Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain.[36][37][38]

Agama

Mayoritas orang Minahasa menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, persentase penduduk di kabupaten dan kota di Minahasa Raya yang menganut agama Kristen Protestan adalah 74%. Jika Kota Manado yang adalah ibukota Provinsi Sulawesi Utara tidak diikutsertakan, maka persentase ini menjadi 78%. Selain itu, penduduk yang beragama Islam adalah 15% dan penduduk yang beragama Kristen Katolik adalah 6%.[39]

Mulanya gereja-gereja Protestan di Minahasa termasuk dalam wadah Indische Kerk yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1934, Indische Kerk digantikan oleh Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang merupakan denominasi regional yang berdiri sendiri. Setahun sebelumnya pada tahun 1933, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) didirikan oleh di antaranya B.W. Lapian dan Sam Ratulangi dengan memisahkan diri dari Indische Kerk. Selanjutnya denominasi-denominasi Protestan lain juga berdiri sehingga pada tahun 1955 terdapat 20 denominasi: empat denominasi Protestan, 11 denominasi Pantekosta, dua denominasi Kemah Injil, dua denominasi Adventis, dan satu denominasi Baptis. Pada tahun 1990 jumlah denominasi menjadi 54 denominasi dengan GMIM yang terbesar meliputi 75% dari semua penganut agama Kristen Protestan.[40]

Agama asli Minahasa ialah Tonaas Walian yang masih mempunyai sejumlah pemeluk.[41]

Adat dan budaya

Bahasa dan huruf

Pembagian sub-etnis Minahasa termasuk dari segi bahasa di mana orang-orang dalam satu kelompok sub-etnis mempunyai dan memakai bahasa yang relatif sama. Dengan ini, bahasa-bahasa yang ada di Minahasa terdiri dari Bahasa Bantik, Bahasa Ponosokan, Bahasa Ratahan, Bahasa Tombulu, Bahasa Tondano, Bahasa Tonsawang, Bahasa Tonsea, dan Bahasa Tontemboan.[42] Kesemua bahasa-bahasa ini termasuk dalam Rumpun bahasa Austronesia.[43] Berdasarkan kesamaan leksikostatistik, bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Minahasa adalah Tombulu, Tondano, Tonsawang, Tonsea, dan Tontemboan. Ketiga bahasa lainnya dimasukkan ke dalam kelompok lain di mana Bahasa Ponosokan dimasukkan ke dalam kelompok Gorontalo-Mongondow dan Bahasa Bantik dan Ratahan dimasukkan ke dalam kelompok Sangihe-Talaud.[42]

Dalam rumpun bahasa Minahasa, bahasa Tombulu, Tondano, dan Tonsea mempunyai kesamaan leksikal yang cukup tinggi di mana kesamaan antara ketiga bahasa ini antara 89%-90%. Kemudian disusul oleh Bahasa Tontemboan yang mempunyai kesamaan dengan ketiga bahasa sebelumnya antara 73%-83%. Bahasa Tonsawang merupakan bahasa yang paling rendah kesamaannya dengan bahasa-bahasa lain dalam rumpun bahasa Minahasa dengan kesamaan antara 54%-65%. Hal ini mungkin disebabkan karena daerah sub-etnis Tonsawang lebih terisolasi dibandingkan dengan daerah sub-etnis lainnya dan juga karena penutur bahasa ini berjumlah paling sedikit.[44]

Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya di Watu Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini sedang dalam proses terjemahan.

Kesenian

 
Tarian Maengket.
 
Tarian Kabasaran.
 
Ansambel kolintang.
 
Musik bambu.

Tarian Maengket adalah tarian yang biasanya dibawakan oleh sejumlah pasangan laki-laki dan perempuan dengan ditambah satu orang sebagai pemimpin yang mengangkat suara untuk memulai nyanyian yang mengiringi gerakan tarian. Tarian yang pada awalnya dilakukan hanya pada saat selesai panen padi sekarang tarian ini bertambah dua babak yang melambangkan peristiwa kehidupan lainnya. Babak yang pertama disebut Maowey Kamberu adalah tarian pengucapan syukur atas selesainya panen padi. Kemudian babak kedua disebut Marambak adalah semangat kegotong-royongan dalam membangun rumah baru dan babak yang ketiga disebut Lalayaan melambangkan bagaimana pemuda-pemudi zaman dahulu mencari jodoh.[45]

Tarian Kabasaran adalah tarian yang pada awalnya merupakan tarian perang. Tarian Kabasaran hanya dilakukan oleh para Waranei yaitu rakyat yang menjadi penjaga keamanan desa yang sekaligus prajurit perang. Para penari mengenakan pakaian berwarna merah dan rias wajah yang terlihat garang. Ketika pertunjukan berlangsung, para penari tidak pernah bersenyum dan bergerak seperti orang yang hendak berperang dengan mengayunkan pedang dan tombak mereka. Seperti tarian Maengket, tarian Kabasaran mempunyai tiga babak. Babak yang pertama disebut Cakalele di mana para penari berkejaran dan melompat–lompat. Kemudian babak yang kedua disebut Kumoyak di mana para penari mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Babak yang ketiga disebut Lalayaan di mana para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang.[46]

Kolintang adalah alat musik tradisional yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh sekelompok pemusik. Kata kolintang berasal dari sebutan dalam bahasa daerah Minahasa maimo kumolintang yang berarti mari kita (membunyikan) tong ting tang. Komposisi sebuah ansambel kolintang terdiri dari alat-alat musik yang dinamakan berdasarkan suara yang dihasilkan:[47]

  1. Loway yang membunyikan suara-suara bass
  2. Cella yang membunyikan suara di atas suara-suara bass
  3. Karua yang berfungsi sebagai tenor pertama
  4. Karua rua yang berfungsi sebagai tenor kedua
  5. Uner yang berfungsi sebagai alto pertama
  6. Uner rua yang berfungsi sebagai alto kedua
  7. Katelu yang berfungsi sebagai alto ketiga
  8. Ina esa yang berfungsi sebagai melodi pertama
  9. Ina rua yang berfungsi sebagai melodi kedua
  10. Ina taweng yang berfungsi sebagai melodi ketiga

Musik Bambu adalah alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu. Yang dimaksud dengan musik bambu di Minahasa saat ini adalah berbentuk sebuah orkestra instrumental yang bisa beranggotakan sampai 50 orang pemusik. Pada awalnya tipe musik ini hanya dimainkan dengan sebuah suling, tapi kemudian ditambah alat-alat musik lain sehingga membentuk sebuah orkestra. Dalam perkembangannya alat-alat musik tiup lainnya yang ditambah adalah seperti korno, klarinet, saxsofon, dan bas (overton, cello, dan tuba). Selain itu, alat-alat musik tanpa ditiup juga ditambah untuk melengkapi bunyi dan harmonisasi musik, antara lain bas drum (tambur besar), snar drum (tambur kecil), symbal, dan kapuraca.[48]

Masakan khas

Masakan khas Minahasa lebih dikenal dengan sebutan Masakan Manado. Pada umumnya hidangan dari Minahasa adalah hidangan yang pedas karena memakai cabai yang banyak. Terdapat juga beberapa hidangan yang menggunakan daging dari hewan yang tidak biasanya dimakan. Selain itu hidangan kue-kue dari Minahasa menerima pengaruh dari hidangan Eropa. Masakan-masakan yang populer adalah tinutuan (juga dikenal sebagai bubur manado) yang berisi campuran berbagai macam sayuran tanpa mengandung daging, brenebon yang berupa sup dengan isi kacang merah, sayuran, dan daging babi atau daging sapi, tinorangsak berupa hidangan daging hangat dan pedas, dan masakan yang menggunakan bumbu pedas bernama woku. Banyak hidangan juga menggunakan daging cakalang fufu dari ikan cakalang yang dibumbu dan diasap. Hidangan-hidangan ini termasuk cakalang goreng, cakalang santan, dan mi cakalang. Masakan yang tidak pedas juga ada, tapi masakan-masakan inipun bisa secara terpisah dicampur dengan bumbu-bumbu pedas seperti dabu-dabu dan rica-rica. Adapun hidangan yang menggunakan daging hewan eksotis termasuk yang menggunakan daging kelelawar (paniki), daging anjing, dan daging tikus. Salah satu contoh kue dari Minahasa adalah klappertaart yaitu kue yang terbuat dari kelapa.

Orang Minahasa dan kiprahnya

Pejuang-pejuang kemerdekaan

 
A. A. Maramis dan Sam Ratulangi.

Salah satu orang Minahasa yang dikenal secara nasional di Indonesia adalah Gerungan Saul Samuel Jacob (Sam) Ratulangi. Pahlawan Nasional Indonesia dan peraih gelar doktor dari Universitas Zurich ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, ia memperjuangkan konsep nasionalisme Indonesia. Ratulangi termasuk dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan diangkat menjadi gubernur pertama Provinsi Sulawesi. Dua pahlawan nasional asal Minahasa lainnya yang bermarga Maramis adalah Maria Walanda Maramis beserta keponakannya Alexander Andries Maramis (A. A.) Maramis. Maria berjuang untuk mengembangkan keadaan wanita pada awal abad ke-20 di antaranya dengan mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT). Sedangkan Alex ikutserta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian menjadi Menteri Keuangan serta duta besar Indonesia di beberapa negara.

Pahlawan nasional asal Minahasa lainnya yang juga ikutserta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Bernard Wilhelm (B. W.) Lapian yang terlibat dalam Peristiwa Merah Putih di Manado pada tahun 1946, tokoh geologi Arie Frederik Lasut yang dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1949, Robert Wolter Mongisidi yang berjuang di Sulawesi Selatan dan juga dibunuh oleh Belanda, dan Lambertus Nicodemus (Babe) Palar yang memperjuangkan kedaulatan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pierre Tendean adalah Pahlawan Revolusi Indonesia yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September.

Kakak beradik Alex Mendur dan Frans Mendur, dan kakak beradik Justus Umbas dan Frans "Nyong" Umbas, dan juga Alex Mamusung, Oscar Ganda, dan Malvin Jacob adalah pemuda-pemuda Minahasa yang tergabung dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Merekalah yang mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) pada tahun 1946 yang merekam saat-saat berharga terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang paling berharga dari semuanya adalah foto-foto upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 yang diambil oleh Frans Mendur.

Terdapat juga orang Minahasa yang turut serta dalam perjuangan militer untuk kemerdekaan. Di antaranya Alex Evert Kawilarang yang menjadi Panglima Tentara Territorium di Sumatera Utara (sekarang Kodam I/Bukit Barisan), Jawa Barat (sekarang Kodam III/Siliwangi), dan Sulawesi Selatan (sekarang Kodam XIV/Hasanuddin). Selain Kawilarang, orang-orang Minahasa yang berada di Jawa dan ikut serta dalam pergolakan kemerdekaan di antaranya Adolf Gustaaf Lembong yang sempat berperang gerilya melawan Jepang di Filipina, Elias Daniel (Daan) Mogot yang adalah salah satu pendiri Akademi Militer Tangerang yang gugur dalam Pertempuran Lengkong, Herman Nicolas Ventje Sumual yang menjadi salah satu pemimpin sektor penyerangan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, dan Jacob Frederick "Joop" Warouw yang terlibat Pertempuran Surabaya.

Militer

Ada dua orang Minahasa yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut yaitu Rudolf Kasenda dan Bernard Kent Sondakh. Johny Lumintang sempat menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) dan Arie Jeffry Kumaat sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Perwira-perwira TNI lainnya termasuk Willy Ghayus Alexander Lasut, Evert Ernest (E. E.) Mangindaan, Gustaf Hendrik Mantik, Cornelis John (C. J.) Rantung, Frits Johannes (Broer) Tumbelaka, dan Hein Victor Worang yang kesemuanya juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara.

Pemerintahan

Selain A. A. Maramis, beberapa orang Minahasa lainnya juga pernah menjabat sebagai menteri nasional di antaranya Freddy Jaques (F. J.) Inkiriwang sebagai Menteri Perindustrian, Frits Laoh sebagai Menteri Perhubungan, Herling Laoh sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perhubungan, Gustaaf Adolf (G. A.) Maengkom sebagai Menteri Kehakiman, Evert Ernest (E. E.) Mangindaan sebagai Menteri Perhubungan, Arnold Mononutu sebagai Menteri Penerangan, Wilhelm Johannis Rumambi juga sebagai Menteri Penerangan, dan Theo Leo Sambuaga sebagai Menteri Perumahan Rakyat dan Permukiman.

Perempuan-perempuan pelopor

Beberapa wanita asal Minahasa (atau Wewene Minahasa) telah menjadi pelopor dalam berbagai bidang. Marie Thomas adalah wanita pertama yang lulus dari School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia). Selain Maria, Anna Warouw juga adalah lulusan STOVIA, tepatnya lulusan wanita kedua. Sedangkan di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Jeanne Mandagi adalah wanita pertama yang diangkat sebagai jenderal. Selain itu, Augustine Magdalena Waworuntu adalah salah satu wanita pertama di Indonesia yang menjabat sebagai wali kota. Ia menjadi Wali Kota Manado pada tahun 1950.

Seni dan olah raga

Beberapa seniman terkenal dari Minahasa termasuk penyanyi Once Mekel, Pance Pondaag, dan Maya Rumantir, dan pemeran Lidya Kandou, Rima Melati, dan Anna Tairas. Juga terdapat sutradara Frank Rorimpandey dan Wim Umboh. Di arena olah raga, khususnya bulutangkis, terdapat beberapa orang Minahasa yang berprestasi mewakili Indonesia di ajang bulutangkis dunia yaitu Flandy Limpele, Liliyana Natsir, Greysia Polii, dan Rosiana Tendean. Di olah raga sepak bola, skuat tim nasional sepak bola Indonesia pernah diisi nama-nama pemain dari etnis Minahasa seperti Jendri Pitoy, Ferry Rotinsulu, Ronny Pasla dan Francis Wewengkang, juga Erents Alberth Mangindaan yang pernah menjadi pelatih Skuat Garuda di tahun 1966–1970.

Galeri gambar

Lihat pula

Referensi

Sumber referensi

  • Aris Ananta; Evi Nurvidya Arifin; M. Sairi Hasbullah; Nur Budi Handayani; Wahyu Pramono (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity [Demografi Kesukuan Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 
  • Bellwood, Peter (1995). "Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion, and Transformation" [Prasejarah Austronesia di Asia Tenggara: Tanah Air, Ekspansi, dan Transformasi]. Dalam Bellwood, P.; Fox, J.; Tryon. The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives [Bangsa Austronesia: Perspektif Historis dan Komparatif] (dalam bahasa Inggris). Canberra: Australian National University Press. 
  • Graafland, Nicolaas (1867). Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahassa. Roterdam: Wajt dan Anakh. 
  • Harvey, Barbara S. (1977). Permesta: Half a Rebellion [Permesta: Setengah Pemberontakan] (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. 
  • van Klinken, Gerry; Nordholt, Henk Schulte, ed. (2007). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV. 
  • Leirissa, R. Z. (1997). Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Liwe, Amelia Joan (2010) (dalam bahasa Inggris). From Crisis to Footnote: The Ambiguous Permesta Revolt in Post-Colonial Indonesia (Tesis PhD). Madison: University of Wisconsin, Madison. 
  • Merrifield, Scott; Salea, Martinus (1996). North Sulawesi Language Survey [Survei Bahasa di Sulawesi Utara] (dalam bahasa Inggris). Dallas: Summer Institute of Linguistics. 
  • Molsbergen, Dverhardus Cornelis Godée (1928). Geschiedenis van de Minahassa tot 1829 [Sejarah Minahasa sampai tahun 1829] (dalam bahasa Belanda). Batavia: Landsdrukkerij. 
  • Akhsan Na'im; Hendry Syaputra (2011). Sumarwanto; Tono Iriantono, ed. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 
  • Renwarin, Paul Richard (2006) (dalam bahasa Inggris). Matuari and Tona'as: The Cultural Dynamics of the Tombulu in Minahasa (Tesis PhD). Universiteit Leiden. 
  • Riedel, Johann Gerard Friedrich (1870). Aasaren Tuah Puhuna ne Mahasa. Batavia: Landsdrukkerij. 
  • Schouten, M. J. C. (1983). Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society [Kepemimpinan dan Mobilitas Sosial dalam Masyarakat Asia Tenggara] (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV Press. 
  • Watuseke, F. S. (1987). "Tondano and not Toulour" [Tondano dan bukan Toulour]. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). 143 (4): 552–554. Diakses tanggal 2020-07-14. 
  • Wenas, Jessy (2007). Sejarah dan Kebudayaan Kebudayaan Minahasa. Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara. 
  • Wigboldus, Jouke S. (1987). "A History of the Minahasa c. 1615-1680" [Sejarah Minahasa c. 1615-1680]. Archipel (dalam bahasa Inggris) (34). 
  • Wuysang, Cynthia Erlita Virgin (2014) (dalam bahasa Inggris). Defining Genius Loci dan Qualifying Cultural Landscape of the Minahasa Ethnic Community in the North Sulawesi, Indonesia (Tesis PhD). Adelaide: University of Adelaide. 

Pranala luar