Ānanda
Ānanda (Pali dan Sanskerta: आनन्द; abad ke-5–ke-4 SM) adalah pelayan utama sekaligus salah satu dari sepuluh murid utama Sang Buddha. Di antara sekian banyak murid Sang Buddha, Ānanda dikenal karena memiliki ingatan yang luar biasa.[note 1] Sebagian besar teks Buddhis awal yang terkandung dalam Sutta-Piṭaka (Pāli: सुत्त पिटक; Sanskerta: सूत्र-पिटक , Sūtra-Piṭaka) didasarkan pada ingatan Ānanda akan ajaran Sang Buddha, yang kemudian dituturkannya secara lisan dalam Sidang Buddhis Pertama. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Penjaga Dhamma[2] atau Penjaga Perbendaharaan Dhamma (Pali: धम्मभण्डागारिक, translit. dhamma bhaṇḍāgārika), di mana dhamma mengacu pada ajaran Sang Buddha.
Bhante, Thera (Yang Mulia, Sesepuh) Ānanda | |
---|---|
![]() Kepala Ānanda, pernah menjadi bagian dari patung batu kapur dari Gua Xiangtangshan utara. Dinasti Qi Utara, 550–577 M. | |
Gelar | Patriark Dharma (tradisi Sanskerta) |
Nama lain | Videhamuni; Dhamma-bhaṇḍāgārika ('Bendahara Dhamma') |
Informasi pribadi | |
Lahir | Abad ke-5–ke-4 SM |
Meninggal | 20 tahun setelah kematian Sang Buddha Di Sungai Rohīni dekat Vesālī, atau Sungai Gangga |
Agama | Buddhisme |
Orang tua | Raja Śuklodana atau Raja Amitodana; Ratu Mrgī (tradisi Sanskerta) |
Dikenal sebagai | Menjadi pelayan Sang Buddha (aggupaṭṭhāyaka);[1] kekuatan memori; belas kasihan kepada wanita |
Kiprah keagamaan | |
Guru | Sang Buddha; Puṇṇa Mantānīputta |
Konsekrasi | Mahākassapa |
Pendahulu | Mahākassapa |
Penerus | Majjhantika Sāṇavāsī |
Siswa
| |
Inisiasi | Tanggal 20 (Mūlasarvāstivāda) atau tahun ke-2 (tradisi lain) dari pelayanan Sang Buddha Nigrodhārāma atau Anupiya, Malla oleh Daśabāla Kāśyapa atau Belaṭṭhasīsa |
Dalam teks Buddhis awal, Ānanda disebut sebagai sepupu Sang Buddha dan murid dari Puṇṇa Mantānīputta. Setelah dua puluh tahun melakukan pelayanan dalam sangha, Ānanda dipilih oleh Sang Buddha untuk menjadi pelayan pribadinya. Ānanda melaksanakan tugasnya dengan penuh pengabdian dan perhatian dan bertindak sebagai perantara antara Sang Buddha dan umat awam, termasuk saṅgha. Ānanda melayani Sang Buddha hingga akhir hidupnya, bertindak tidak hanya sebagai asisten tapi juga sebagai sekretaris dan juru bicara.
Para akademis cenderung skeptis dengan kebenaran historis dari banyak kejadian dalam kehidupan Ānanda, terutama terkait perannya dalam Sidang Pertama. Berdasarkan catatan tradisional yang diambil dari teks-teks awal, komentar-komentar Tipiṭaka (aṭṭhakathā), dan catatan-catatan paska kanonik, dikisahkan bahwa Ānanda memiliki peran penting dalam mendirikan ordo bhikkhunī (Sanskerta: भिक्षुणी, translit: bhikṣuṇī, lit. 'pengemis wanita' ), ketika ia meminta kepada Sang Buddha agar mengizinkan ibu angkatnya, Mahāpajāpati Gotamī (Sanskerta: महाप्रजापती गौतमी , Mahāprajāpatī Gautamī) untuk ditahbiskan. Ānanda juga menemani Sang Buddha di tahun-tahun akhir kehidupannya, sehingga menjadi saksi dari banyak ajaran dan prinsip yang disampaikan Sang Buddha sebelum kematiannya, termasuk prinsip bahwa kaum Buddhis harus menjadikan ajaran dan kedisiplinan Sang Buddha sebagai perlindungan mereka, dan Sang Buddha tidak akan menunjuk pemimpin baru sebagai penggantinya.
Tak lama setelah kematian Sang Buddha, Sidang Buddhis Pertama diadakan. Menurut catatan tradisional, Ānanda mencapai pencerahan tepat sebelum sidang dimulai, yang merupakan syarat untuk mengikuti sidang tersebut. Selama sidang berlangsung, Ānanda menjadi sumber ingatan hidup Sang Buddha, melafalkan banyak khotbah Sang Buddha serta memeriksa keakuratannya. Namun, dalam sidang yang sama, ia mendapat kritik dari Mahākassapa (Sanskerta: महाकाश्यप , Mahākāśyapa) dan para saṅgha karena membiarkan kaum wanita ditahbiskan serta dianggap lalai menghormati Sang Buddha pada beberapa peristiwa penting. Pasca Sidang Pertama, Ānanda mengajar hingga akhir hayatnya dan mewariskan ajaran spiritualnya kepada murid-muridnya, antara lain Sāṇavāsī (Sanskerta: शाणकवासी , Śāṇakavāsī) dan Majjhantika (Sanskerta: मध्यान्तिक , Madhyāntika), yang kemudian berperan penting dalam Sidang Kedua dan Ketiga. Ānanda meninggal 20 tahun setelah kematian Sang Buddha, dan stūpa-stūpa (monumen) dibangun di sungai tempat ia meninggal.
Ānanda adalah salah satu tokoh yang paling dicintai dalam Buddhisme. Dia dikenal karena ingatannya, pengetahuannya, dan welas asihnya, sering dipuji oleh Sang Buddha karena hal-hal tersebut. Dalam tradisi tekstual Sanskerta, Ānanda dianggap sebagai patriark Dhamma yang berdiri dalam garis silsilah spiritual, menerima ajaran dari Mahākassapa dan meneruskannya kepada murid-muridnya. Ānanda dihormati oleh para bhikkhunī sejak awal abad pertengahan atas jasanya dalam mendirikan ordo biarawati dan mengizinkan wanita ditahbiskan. Konon, kisah hidupnya menginspirasi komposer Richard Wagner dan penyair India Rabindranath Tagore saat menciptakan karya-karya mereka.
Nama
suntingKata "ānanda" (आनन्द) dalam bahasa Pāli dan Sanskerta berarti 'kebahagiaan, kegembiraan'.[3][4] Dalam Atthakatha (Komentar Pāli) disebutkan bahwa ketika Ānanda lahir, kerabatnya menyambutnya dengan gembira. Namun, teks-teks dari tradisi Mūlasarvāstivāda menyatakan bahwa karena Ānanda lahir pada hari Sang Buddha mencapai pencerahan. Di hari itu sedang terjadi kegembiraan besar di kota tersebut, dan dari kegembiraan itulah namanya berasal.[1]
Kehidupan
suntingKehidupan lampau
suntingBerdasarkan tradisi teks Pali, cita-cita awal Ānanda untuk menjadi pelayan Buddha sudah terbentuk saat kelahirannya di masa Buddha Padumuttara, beberapa kalpa (Pali: kappa, Sanskerta: kalpa ) sebelum kalpa saat ini. Saat itu, Ānanda terlahir sebagai seorang putra mahkota dan menjadi sangat terkesan dengan seorang bhikkhu bernama Sumana, yang merupakan pelayan dari Buddha Padumuttara.[5] Saat itulah ia mempunyai keinginan untuk menjadi sepertinya di kehidupan mendatang. Pada suatu kesempatan, setelah melayani Buddha Padumuttara dan para muridnya, ia bersujud sambil mendedikasikan perbuatan baik yang telah ia lakukan dan mengumumkan tekadnya kepada Buddha Padumuttara, yang kemudian menegaskan bahwa keinginannya akan terkabul di seratus kalpa di masa depan.[5] Dalam beberapa teks Jataka, dikisahkan Ānanda sering terlahir sebagai saudara Sang Buddha dalam banyak kelahiran.[6] Setelah melalui siklus samsara dalam banyak sekali kehidupan, ia akhirnya terlahir sebagai Ānanda pada masa Buddha Gautama.[7]
Masa muda
suntingĀnanda lahir pada periode waktu yang sama dengan Sang Buddha (Pangeran Siddhattha), yang oleh para akademisi diperkirakan terjadi pada abad ke-5 hingga abad ke-4 SM.[8] Ānanda berasal dari kasta kesatria dari keluarga raja suku Sakya, sama dengan Sang Buddha. Dia memiliki tiga saudara laki-laki yaitu Anuruddha, Mahanama, dan Pandu serta satu saudara perempuan bernama Rohini.[9] Tradisi mengatakan bahwa Ānanda adalah sepupu pertama Sang Buddha,[10] ayahnya adalah saudara Suddhodana (Sanskerta: Śuddhodana ), ayah Buddha.[11] Dalam tradisi tekstual Pāli dan Mūlasarvāstivāda, ayahnya adalah Amitodana (Sanskerta: Amṛtodana ), tetapi Mahāvastu menyatakan bahwa ayahnya adalah Śuklodana—keduanya adalah saudara Suddhodana.[1] Mahāvastu juga menyebutkan bahwa nama ibu Ānanda adalah Mṛgī (Sanskerta; harfiah 'rusa kecil'; Pāli tidak diketahui).[12][1] Tradisi Pāli berdasarkan pernyataan dalam Manorathapūranī menginterpretasikan bahwa Ānanda lahir pada hari yang sama dengan hari lahirnya Pangeran Siddhatta,[1] tetapi teks-teks dari tradisi Mūlasarvāstivāda dan Mahāyāna yang muncul belakangan menyatakan Ānanda lahir pada saat ketika Sang Buddha mencapai pencerahan (ketika Pangeran Siddhattha berusia 35 tahun), dan oleh karena itulah Ānanda jauh lebih muda dari Sang Buddha.[1] Teks dari tradisi Mūlasarvāstivāda dan Mahāyāna ini diperkuat oleh beberapa contoh dalam Teks Buddhis Awal, di mana Ānanda digambarkan lebih muda dari Sang Buddha, seperti bagian di mana Sang Buddha menjelaskan kepada Ānanda bagaimana usia tua mempengaruhi tubuh dan pikirannya. Ini sejalan dengan anggapan bahwa pada saat Buddha meninggal, tidaklah mungkin yang menjadi pelayannya adalah seorang bhikkhu tua, serta masa kehidupan Ānanda yang masih berlanjut puluhan tahun setelahnya.[13] Hal ini juga diperkuat oleh sebuah syair dalam teks Pāli yang berjudul Theragāthā, di mana Ānanda menyatakan bahwa dia adalah seorang "yang masih berlatih" (Pali: sekha) selama dua puluh lima tahun, setelah itu ia mengabdi pada Sang Buddha selama dua puluh lima tahun berikutnya.[note 2][1][13]
Berdasarkan tradisi tekstual Pāli, Mahīśasaka dan Dharmaguptaka, Ānanda menjadi bhikkhu pada tahun kedua setelah Sang Buddha mencapai pencerahan, yaitu selama kunjungan Sang Buddha ke Kapilavatthu (Sanskerta: Kapilavastu ). Dia ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri, bersama dengan banyak pangeran lain dari klan Sakya (Pali: Sākiya, Sanskerta: Śākya ),[1] di hutan mangga yang disebut Anupiya, salah satu bagian dari wilayah Malla.[1] Menurut sebuah teks dari tradisi Mahāsaṅghika, Raja Suddhodana ingin Sang Buddha memiliki lebih banyak pengikut dari kasta khattiya (Sanskerta: kṣatriyaḥ, lit. 'prajurit-bangsawan, anggota kelas penguasa' ), dan lebih sedikit pengikut yang berasal dari kasta brahmana (pendeta). Karena itu ia memerintahkan agar setiap khattiya yang memiliki saudara laki-laki untuk mengikuti Sang Buddha sebagai bhikkhu, atau paling tidak menyuruh saudaranya yang laki-laki untuk mengikuti Sang Buddha. Ānanda mengambil kesempatan ini, dan meminta saudaranya Devadatta untuk tinggal di rumah, sehingga dia bisa pergi untuk menjadi bikkhu.[14] Akan tetapi, garis waktu yang lebih baru dari teks-teks Mūlasarvāstivāda dan Pāli Theragāthā, menyebutkan bahwa Ānanda ditahbiskan jauh setelahnya, sekitar dua puluh lima tahun sebelum kematian Sang Buddha—dengan kata lain, dia masuk dalam sangha Buddha sekitar dua puluh lima tahun lamanya.[1] Beberapa sumber Sanskerta bahkan menyebutkan bahwa Ānanda baru ditahbiskan lebih belakangan.[15] Teks Mūlasarvāstivāda tentang disiplin monastik (Pāli dan Sanskerta: Vinaya ) menceritakan bahwa para peramal telah meramalkan bahwa Ānanda akan menjadi pelayan Sang Buddha. Demi mencegah Ānanda meninggalkan istana untuk ditahbiskan, ayahnya membawanya ke Vesālī (Sanskerta: Vaiśālī ) selama kunjungan Sang Buddha ke Kapilavatthu, tetapi kemudian Sang Buddha tetap saja bertemu dan mengajar Ānanda.[16] Pada catatan yang sama, Mahāvastu menceritakan, bagaimanapun juga, bahwa sebenarnya Mṛgī pada awalnya menentang Ānanda untuk menjalani kehidupan monastik, karena saudaranya Devadatta telah ditahbiskan dan meninggalkan istana. Ānanda menanggapi penolakan ibunya tersebut dengan pindah ke Videha (Sanskerta: Vaideha ) dan tinggal di sana, dan di saat bersamaan bersumpah untuk tidak berbicara satu patah katapun. Hal ini membuatnya mendapatkan julukan Videhamuni (Sanskerta: Vaidehamuni ), artinya 'orang bijak yang pendiam dari Videha'.[17] Ketika Ānanda ditahbiskan, ayahnya membuatnya ditahbiskan di Kapilavatthu di vihara Nigrodhārāma (Sanskerta: Niyagrodhārāma ) dengan banyak upacara, pembimbing Ānanda (Pali: upajjhāya; Sanskerta: upādhyāya ) adalah seorang Daśabāla Kāśyapa.[17]
Menurut tradisi Pāli, guru pertama Ānanda adalah Belaṭṭhasīsa dan Puṇṇa Mantānīputta. Ajaran Puṇṇa-lah yang menuntun Ānanda mencapai tingkat sotāpanna (Sanskerta: śrotāpanna ), sebuah pencapaian sebelum pencerahan. Ānanda kemudian mengungkapkan hutang budinya kepada Puṇṇa.[12][18] Tokoh penting lainnya dalam kehidupan Ānanda adalah Sāriputta (Sanskerta: Śāriputra ), salah satu murid utama Buddha. Sāriputta sering mengajarkan Ānanda tentang poin-poin penting dari doktrin Buddhis;[19] Mereka memiliki kebiasaan untuk saling berbagi satu sama lain, dan hubungan mereka digambarkan sebagai persahabatan yang baik.[20] Dalam beberapa teks Mūlasarvāstivāda, seorang pelayan Ānanda juga disebutkan yang membantu memotivasi Ānanda ketika dia dilarang untuk mengikuti Sidang Buddhis Pertama. Dia adalah seorang "Vajjiputta" (Sanskerta: Vṛjjiputra ), yaitu seseorang yang berasal dari konfederasi Vajji.[21] Menurut teks-teks selanjutnya, seorang bhikkhu yang tercerahkan yang juga disebut Vajjiputta (Sanskerta: Vajraputra ) memiliki peran penting dalam kehidupan Ānanda. Dia mendengarkan ajaran Ānanda dan menyadari bahwa Ānanda belum tercerahkan. Vajjiputta mendorong Ānanda untuk mengurangi berbicara dengan umat awam dan memperdalam latihan meditasinya dengan menyepi ke dalam hutan, nasehat yang sangat berpengaruh pada Ānanda.[22][23]
Mengikuti Sang Buddha
suntingDalam dua puluh tahun pertama saṅgha, Sang Buddha memiliki beberapa pelayan pribadi.[12] Namun, setelah dua puluh tahun, yaitu ketika Sang Buddha berusia 55 tahun,[note 3] Sang Buddha mengumumkan bahwa ia membutuhkan seorang pelayan tetap.[11] Sang Buddha telah bertambah tua, dan pelayan-pelayannya sebelumnya tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik.[12] Awalnya, beberapa murid utama Sang Buddha menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi pelayan, tetapi Sang Buddha tidak menerima mereka. Sementara itu Ānanda tetap diam. Ketika dia ditanya mengapa, dia berkata bahwa ia memiliki keyakinan bahwa Sang Buddha akan lebih tahu siapa yang harus dipilih, dan Sang Buddha menanggapinya dengan memilih Ānanda.[note 4] Ānanda setuju untuk mengambil posisi tersebut, dengan syarat dia tidak menerima keuntungan materi apapun dari Sang Buddha.[note 5] [11][12][24] Menerima manfaat seperti itu akan menyebabkan dirinya rentan terhadap kritik yang mengatakan bahwa ia memilih posisi itu karena adanya motif tersembunyi. Dia juga meminta agar Sang Buddha mengizinkannya untuk meneruskan undangan atas namanya kepada Sang Buddha, mengizinkannya untuk mengajukan pertanyaan tentang doktrinnya, dan meminta agar Sang Buddha dapat mengulangi ajaran apabila Sang Buddha memberikan kotbah di saat Ānanda tidak ada.[11][12][24] Permintaan ini akan membantu orang untuk mempercayai Ānanda dan menunjukkan bahwa Sang Buddha bersimpati kepada pelayannya.[12] Lebih jauh lagi, Ānanda menganggap hal tersebut sebagai keuntungan nyata dari menjadi seorang pelayan, itulah sebabnya dia memintanya.[3]
Sang Buddha menyetujui persyaratan Ānanda, dan Ānanda menjadi pelayan Sang Buddha, menemani Sang Buddha dalam sebagian besar perjalanannya. Ānanda mengurus kebutuhan praktis sehari-hari Sang Buddha, dengan melakukan hal-hal seperti membawakan air dan membersihkan tempat tinggal Sang Buddha. Ia digambarkan sebagai orang yang taat dan setia, bahkan menjaga tempat tinggal pada malam hari.[12][3] Ānanda berperan sebagai lawan bicara dalam banyak percakapan yang terekam. Dia merawat Buddha selama 25 tahun,[note 6][10][12] sebuah tugas yang membutuhkan banyak cucuran keringat.[25] Hubungannya dengan Buddha digambarkan sebagai hangat dan saling percaya:[26][27] ketika Sang Buddha jatuh sakit, Ānanda juga ikut-ikutan sakit;[12] ketika Sang Buddha bertambah tua, Ānanda terus merawatnya dengan penuh pengabdian.[3]
Ānanda terkadang benar-benar mempertaruhkan nyawanya untuk gurunya. Pada suatu waktu, bhikkhu pemberontak Devadatta mencoba membunuh Sang Buddha dengan melepaskan seekor gajah liar yang sedang mabuk di hadapan Sang Buddha. Ānanda melangkah di depan Sang Buddha untuk melindunginya. Ketika Sang Buddha menyuruhnya untuk menyingkir, dia menolak, meskipun biasanya dia selalu mematuhi Sang Buddha.[12] Menggunakan kekuatan supranatural (Pali: iddhi; Sanskerta: ṛiddhi ) Sang Buddha kemudian memindahkan Ānanda ke samping dan menjinakkan gajah tersebut dengan cara menyentuhnya dan berbicara kepadanya dengan penuh cinta kasih.[28]
Ānanda sering bertindak sebagai perantara dan sekretaris, menyampaikan pesan-pesan dari Sang Buddha, memberitahukan Sang Buddha tentang berita, undangan, atau kebutuhan umat awam, dan menasihati umat awam yang ingin memberikan hadiah kepada saṅgha.[12][29] Pada suatu waktu, Mahāpajāpatī, ibu angkat Sang Buddha, mengajukan permintaan untuk mempersembahkan jubah yang digunakan secara pribadi bagi Sang Buddha. Dia berkata bahwa meskipun dia telah membesarkan Buddha di masa mudanya, dia tidak pernah memberikan apa pun secara pribadi kepada pangeran muda tersebut; dan dia sekarang ingin melakukannya. Sang Buddha awalnya bersikeras agar dia memberikan jubah tersebut kepada komunitas secara keseluruhan daripada melekat pada dia secara pribadi. Namun, Ānanda kemudian menjadi penengah dan menyarankan agar Sang Buddha menerima jubah itu. Akhirnya Sang Buddha menerimanya, tetapi tidak tanpa menunjukkan kepada Ānanda bahwa perbuatan baik seperti memberi harus selalu dilakukan demi perbuatan itu sendiri, bukan demi orangnya.[30]
Teks-teks Pali mengatakan bahwa Sang Buddha terkadang meminta Ānanda untuk menggantikannya sebagai guru,[31][32] dan sering dipuji oleh Sang Buddha atas ajaran-ajarannya.[note 7][33] Ānanda sering diberi peran mengajar yang penting, seperti secara rutin mengajar Ratu Mallikā, Ratu Sāmāvatī, (Sanskerta: Śyāmāvatī ) dan beberapa orang dari kelas penguasa.[34][35] Suatu ketika Ānanda mengajar sejumlah selir Raja Udena (Sanskerta: Udayana ). Mereka sangat terkesan dengan ajaran Ānanda, sehingga mereka memberinya lima ratus jubah kepadanya, yang kemudian diterima Ānanda. Setelah mendengar tentang hal ini, Raja Udena mengkritik Ānanda karena keserakahannya; Ānanda menjawab dengan menjelaskan bagaimana setiap jubah tersebut akan digunakan dengan hati-hati, digunakan kembali dan didaur ulang oleh komunitas monastik, sehingga mendorong raja untuk memberikan lima ratus jubah lagi.[36] Ānanda juga berperan dalam kunjungan Sang Buddha ke Vesālī. Dalam cerita ini, Sang Buddha mengajarkan teks terkenal Ratana Sutta kepada Ānanda, yang kemudian dibacakan oleh Ānanda di Vesālī, membebaskan kota dari penyakit, kekeringan dan roh jahat dalam prosesnya.[37] Bagian lain yang terkenal di mana Sang Buddha mengajarkan Ānanda adalah bagian tentang persahabatan spiritual (Pali: kalyāṇamittata). Dalam bagian ini, Ānanda menyatakan bahwa persahabatan spiritual adalah setengah dari kehidupan suci; Sang Buddha mengoreksi Ānanda, menyatakan bahwa persahabatan seperti itu adalah keseluruhan kehidupan suci.[38][39] Singkatnya, Ānanda bekerja sebagai asisten, perantara dan juru bicara, membantu Sang Buddha dalam banyak hal, sambil mempelajari ajarannya dalam prosesnya.[40]
Menahan godaan
suntingDari sisi penampilan, Ānanda mempunyai paras yang menarik.[12] Dalam teks Pāli diceritakan bahwa ada seorang bhikkhunī di Kosambi yang terpikat dengan Ānanda, dan berpura-pura sakit agar Ānanda mengunjunginya. Ānanda kemudian mengunjunginya dan menjelaskan mengenai tubuh, nafsu keinginan dan kesombongan. Ketika dia menyadari kesalahannya, dia mengakui kesalahannya kepada Ānanda.[note 8][41] Catatan lain menceritakan bahwa ada seorang wanita dari kasta rendah bernama Prakṛti (di Tiongkok dikenal sebagai 摩登伽女; Módēngqiénǚ) yang jatuh cinta pada Ānanda, dan membujuk ibunya Mātaṅgī untuk menggunakan mantra ilmu hitam untuk memikatnya. Hal ini berhasil, dan Ānanda terpikat dan masuk ke rumahnya, tetapi kemudian sadar dan meminta pertolongan kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengajarkan Prakṛti untuk merenungkan hal-hal yang menjijikkan dari tubuh manusia, dan akhirnya Prakṛti ditahbiskan sebagai bhikkhunī dan melepaskan kemelekatannya pada Ānanda.[42][43] Menurut cerita versi Asia Timur di dalam Śūraṃgamasūtra, Sang Buddha mengirim Mañjuśrī untuk menolong Ānanda, yang menggunakan pelafalan untuk melawan mantra sihir tersebut. Sang Buddha kemudian melanjutkan pengajarannya pada Ānanda dan para pendengar lainnya tentang sifat Buddha.[44]
Membentuk ordo bikkhuni
suntingDalam perannya sebagai perantara antara Buddha dan umat awam, Ānanda terkadang memberikan saran kepada Sang Buddha untuk melakukan perubahan dalam disiplin monastik.[45] Yang paling penting, teks-teks awal menghubungkan penyertaan wanita dalam saṅgha awal (tatanan monastik) dengan Ānanda.[46] Lima belas tahun setelah pencerahan Sang Buddha, ibu angkatnya Mahāpajāpatī datang menemuinya untuk memintanya ditahbiskan sebagai bhikkhunī Buddhis yang pertama. Pada awalnya, Sang Buddha menolak ini. Lima tahun kemudian, Mahāpajāpatī kembali datang untuk meminta kepada Sang Buddha sekali lagi, kali ini dia bersama dengan para pengikut wanita Sākiya lainnya, termasuk mantan istri Sang Buddha, Yasodharā (Sanskerta: Yaśodarā ). Mereka telah berjalan 500 km, tampak kotor, lelah dan tertekan, dan Ānanda merasa kasihan pada mereka. Oleh karena itu Ānanda mengkonfirmasi dengan Sang Buddha apakah wanita bisa tercerahkan juga. Meskipun Sang Buddha mengiyakan hal ini, ia belum mengizinkan para wanita Sākiya untuk ditahbiskan. Ānanda kemudian berdiskusi dengan Sang Buddha bagaimana Mahāpajāpatī merawatnya selama masa kecilnya, setelah kematian ibu kandungnya.[47][48] Ānanda juga menyebutkan bahwa para Buddha sebelumnya juga telah menahbiskan bhikkhunī.[49] Pada akhirnya, Sang Buddha mengizinkan wanita Sākiya untuk ditahbiskan, yang menjadi awal dari ordo bhikkhunī.[47] Ānanda membuat Mahāpajāpatī ditahbiskan dengan menerima seperangkat aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Aturan-aturan ini kemudian dikenal sebagai garudhamma, aturan yang menggambarkan adanya hubungan subordinat dari komunitas bhikkhunī dengan para bikkhu atau biksu.[50][48] Cendekiawan yang mendalami agama-agama di Asia, Reiko Ohnuma berpendapat bahwa hutang Sang Buddha terhadap ibu angkatnya Mahāpajāpatī mungkin menjadi alasan utama untuk kelonggaran yang diberikan sehubungan dengan pembentukan ordo bhikkhunī.[51]
Banyak cendekiawan yang menafsirkan kisah ini menganggap bahwa pada awalnya Sang Buddha enggan mengizinkan wanita untuk ditahbiskan, dan Ānanda yang berhasil membujuk Sang Buddha untuk mengubah pikirannya. Sebagai contoh, Indolog dan penerjemah I.B. Horner menulis bahwa "ini adalah satu-satunya contoh, ketika Sang Buddha dibujuk terlalu berlebihan saat argumen".[52] Namun, beberapa cendekiawan menafsirkan penolakan awal Sang Buddha lebih sebagai ujian tekad, mengikuti pola yang tersebar luas dalam Kanon Pāli dan dalam prosedur monastik yang mengulangi permintaan tiga kali sebelum akhirnya diterima.[53][54] Beberapa juga berpendapat bahwa Sang Buddha diyakini oleh umat Buddha sebagai mahatahu, dan oleh karena itu tidak mungkin digambarkan berubah pikiran. Cendekiawan lain berpendapat bahwa bagian-bagian lain dalam teks-teks tersebut menunjukkan bahwa Sang Buddha sejak awal memang bermaksud untuk mendirikan suatu ordo bhikkhunī.[52] Meskipun demikian, selama penerimaan wanita ke dalam ordo monastik, Sang Buddha memberi tahu Ānanda bahwa Ajaran Sang Buddha akan bertahan lebih pendek karena hal ini.[55][50] Pada saat itu, ordo monastik Buddhis terdiri dari pria-pria yang hidup membujang dan mengembara, tanpa banyak institusi monastik. Mengizinkan wanita untuk bergabung dengan kehidupan membujang Buddhis mungkin akan menyebabkan pertikaian, serta godaan di antara kedua jenis kelamin.[56] Namun, garudhamma dimaksudkan untuk memperbaiki masalah ini, dan mencegah dispensasi dari pembatasan.[57]
Terdapat beberapa perbedaan kronologis dalam catatan tradisional tentang pembentukan tatanan bhikkhunī. Menurut tradisi tekstual Pāli dan Mahīśasaka, ordo bhikkhunī didirikan lima tahun setelah pencerahan Sang Buddha, tetapi, menurut sebagian besar tradisi tekstual, Ānanda baru menjadi pelayan dua puluh tahun setelah pencerahan Sang Buddha. Lebih jauh lagi, Mahāpajāpatī adalah ibu angkat Sang Buddha, dan karena itu pasti jauh lebih tua darinya. Namun, setelah ordo bhikkhunī didirikan, Mahāpajāpatī masih sering melakukan pertemuan dengan Sang Buddha, seperti yang dilaporkan dalam Pāli dan Teks Buddhis Awal Tionghoa. Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, dapat disimpulkan bahwa pembentukan tatanan bhikkhunī sebenarnya sudah terjadi pada awal terbentuknya sangha. Jika ini yang terjadi, maka peran Ānanda dalam mendirikan ordo bikkhuni menjadi lebih kecil kemungkinannya. Oleh karena itu, beberapa cendekiawan menafsirkan nama-nama dalam catatan tersebut, seperti Ānanda dan Mahāpajāpatī, sebagai simbol yang mewakili kelompok-kelompok dan bukannya individu-individu tertentu.[53]
Menurut teks, peran Ānanda dalam mendirikan ordo bhikkhunī membuatnya populer di kalangan komunitas bhikkhunī. Ānanda sering mengajar para bhikkhunī,[3][58] sering mendorong wanita untuk ditahbiskan, dan ketika dia dikritik oleh bhikkhu Mahākassapa, beberapa bhikkhunī mencoba membelanya.[59][60] Menurut Indolog Oskar von Hinüber, sikap Ānanda yang pro-bhikkhunī mungkin menjadi alasan mengapa sering terjadi perdebatan antara Ānanda dan Mahākassapa, yang pada akhirnya membuat Mahākassapa menuduh Ānanda melakukan beberapa pelanggaran pada saat Sidang Buddhis Pertama. Von Hinüber lebih lanjut berpendapat bahwa pembentukan tatanan bhikkhunī mungkin diprakarsai oleh Ānanda setelah wafatnya Sang Buddha, dan pengenalan Mahāpajāpatī sebagai orang yang memintanya hanyalah seperangkat sastra untuk menghubungkan penahbisan wanita dengan pribadi Sang Buddha, melalui ibu angkatnya. Von Hinüber menyimpulkan hal ini berdasarkan beberapa pola dalam teks-teks awal, termasuk jarak yang terlihat jelas antara Sang Buddha dan ordo bhikkhunī, dan seringnya terjadi diskusi dan perbedaan pendapat yang terjadi antara Ānanda dan Mahākassapa.[61] Beberapa cendekiawan telah melihat kebenaran dalam argumen von Hinüber sehubungan dengan kelompok yang pro dan kontra,[62][63] tetapi pada tahun 2017, tidak ada bukti definitif yang ditemukan mengenai teori pendirian ordo bhikkhunī setelah kematian Sang Buddha.[64] Sarjana studi Buddhis Bhikkhu Anālayo telah menanggapi sebagian besar argumen von Hinuber, dengan menulis: "Selain membutuhkan terlalu banyak asumsi, hipotesis ini bertentangan dengan hampir 'semua bukti yang tersimpan di dalam teks secara bersamaan",[note 9] dengan berargumen bahwa disiplin monastiklah yang menciptakan jarak antara Sang Buddha dan para bhikkhunī, dan meskipun demikian, ada banyak bagian dalam teks-teks awal di mana Sang Buddha berbicara secara langsung dengan para bhikkhunī.[65]
Kematian Sang Buddha
suntingMeskipun telah lama berinteraksi ditambah dengan kedekatannya dengan Sang Buddha, teks-teks Pali menggambarkan bahwa Ānanda belum juga mencapai pencerahan. Karena itulah, seorang banthe bernama Udāyī (Sanskerta: Udāyin ) mengejek Ānanda. Namun, Sang Buddha menegur Udāyī sebagai respon atas ejekan tersebut dan mengatakan bahwa Ānanda pasti akan tercerahkan dalam kehidupan ini.[note 10][66][67]
Mahā-parinibbāna Sutta menceritakan perjalanan panjang selama satu tahun terakhir yang dilakukan Sang Buddha bersama Ānanda dari Rājagaha (Sanskerta: Rājagṛha ) ke kota kecil Kusināra (Sanskerta: Kuśingarī ) sebelum Sang Buddha meninggal di sana. Sebelum mencapai Kusināra, Sang Buddha melakukan retret musim hujan (Pali: vassa, Sanskerta: varṣā ) di Veḷugāma (Sanskerta: Veṇugrāmaka ), keluar dari daerah Vesālī yang menderita kelaparan.[68] Di sini, Sang Buddha yang saat itu berusia delapan puluh tahun mengungkapkan keinginannya untuk berbicara dengan saṅgha sekali lagi.[68] Sang Buddha sakit parah di Vesālī, yang membuat beberapa muridnya khawatir.[69] Ānanda mengerti bahwa Sang Buddha ingin meninggalkan instruksi terakhir sebelum kematiannya. Sang Buddha menyatakan, bahwa ia telah mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan, tanpa menyembunyikan rahasia apapun seperti yang biasanya akan dilakukan oleh seorang guru yang menggenggamnya dengan "kepalan tertutup". Dia juga memberi kesan kepada Ānanda dengan berpikiran bahwa saṅgha seharusnya tidak terlalu bergantung pada seorang pemimpin, bahkan walaupun pemimpin itu adalah Sang Buddha sendiri.[70][71] Dia kemudian melanjutkannya dengan pernyataan yang dikenal luas yaitu menjadikan ajarannya sebagai perlindungan, menjadikan dirinya sendiri sebagai perlindungan, tanpa bergantung pada perlindungan yang lain, dan juga ketika setelah Sang Buddha sudah tiada.[72][73] Bareau berpendapat bahwa ini adalah salah satu bagian teks yang paling kuno, yang ditemukan dengan sedikit variasi dalam lima tradisi tekstual awal:
“Terlebih lagi, episode yang sangat indah ini, yang menyentuh dengan kemuliaan dan kebenaran batin sehubungan dengan Ānanda dan Sang Buddha, tampaknya kembali jauh ke belakang, pada saat para penulis, seperti para siswa lainnya, masih menganggap Sang Bhagavā [Buddha] sebagai seorang manusia, seorang guru yang sangat terhormat dan tidak ternoda, yang kepadanya perilaku dan kata-kata yang sepenuhnya manusiawi dipinjamkan, sehingga seseorang bahkan tergoda untuk melihat ke sana ingatan akan kejadian nyata yang menurut laporan Ānanda diceritakan kepada Komunitas pada bulan-bulan setelah Parinirvāṇa [kematian Sang Buddha]."[74]
Teks yang sama berisi kisah di mana Sang Buddha, dalam berbagai kesempatan, memberikan petunjuk bahwa dia bisa memperpanjang hidupnya hingga satu kalpa penuh melalui pencapaian supranatural, tapi ini adalah kekuatan yang harus diminta untuk digunakan.[75][note 11] Akan tetapi Ānanda terdistraksi, sehingga tidak menyadari petunjuk tersebut. Belakangan, Ānanda membuat permintaan tersebut, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa itu sudah terlambat, karena dia akan segera meninggal.[73][77] Māra, personifikasi jahat dalam Buddhis, telah mengunjungi Sang Buddha, dan Sang Buddha telah menyampaikan akan meninggal dalam tiga bulan.[78] Ketika Ānanda mendengar hal ini, dia menangis. Sang Buddha menghiburnya, menunjukkan bahwa Ānanda telah menjadi pelayan yang hebat, peka terhadap kebutuhan orang yang berbeda.[3] Jika dia bersungguh-sungguh dalam upayanya, dia akan segera mencapai pencerahan.[12] Dia kemudian menunjukkan kepada Ānanda bahwa semua hal yang berkondisi tidak kekal: semua orang pasti akan meninggal dunia.[79][note 12]
Pada hari-hari terakhir kehidupan Sang Buddha, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Kusināra.[80] Sang Buddha menyuruh Ānanda menyiapkan tempat untuk berbaring di antara dua pohon sal, jenis pohon yang sama dengan yang digunakan ibu Sang Buddha untuk melahirkan.[81] Sang Buddha kemudian meminta Ānanda mengundang klan Malla dari Kusināra untuk memberikan penghormatan terakhir mereka.[82][83] Setelah kembali, Ānanda bertanya kepada Sang Buddha apa yang harus dilakukan dengan tubuhnya setelah kematiannya, dan dia menjawab bahwa jenazahnya harus dikremasi, memberikan instruksi terperinci tentang bagaimana ini harus dilakukan.[73] Karena Sang Buddha melarang Ānanda untuk terlibat langsung, melainkan menyuruhnya untuk menginstruksikan para Malla untuk melakukan ritual, instruksi ini oleh banyak sarjana ditafsirkan sebagai larangan bahwa monastik tidak boleh terlibat dalam pemakaman atau pemujaan stūpa (bangunan dengan relik). Sarjana studi Buddhis Gregory Schopen telah menunjukkan, bahwa larangan ini hanya berlaku untuk Ānanda, dan hanya berkaitan dengan upacara pemakaman Sang Buddha.[84][85] Juga telah ditunjukkan bahwa instruksi mengenai pemakaman ini berasal dari masa yang cukup belakangan, baik dalam hal penyusunan maupun penyisipan ke dalam teks, dan tidak ditemukan dalam teks-teks paralel, selain dari Mahāparinibbāna Sutta.[86] Ānanda kemudian melanjutkan dengan menanyakan bagaimana para umat harus menghormati Sang Buddha setelah kematiannya. Sang Buddha menjawab dengan menyebutkan empat tempat penting dalam hidupnya yang dapat dikunjungi sebagai bentuk penghormatan, yang kemudian menjadi empat tempat utama ziarah umat Buddha.[87][70] Sebelum Sang Buddha meninggal, Ānanda menyarankan agar Sang Buddha pindah ke kota yang lebih bermakna, tetapi Sang Buddha menunjukkan bahwa kota tersebut dulunya adalah ibu kota yang besar.[80] Ānanda kemudian bertanya siapa yang akan menjadi guru berikutnya setelah Sang Buddha tiada, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa ajaran dan disiplinnya yang akan menjadi guru.[73] Ini berarti bahwa keputusan harus dibuat dengan mencapai konsensus dalam saṅgha.,[88] dan secara lebih umum, bahwa sekarang telah tiba waktunya bagi para biarawan dan umat-umat Buddhis untuk menjadikan teks-teks Buddhis sebagai otoritas, karena Sang Buddha akan segera wafat.[89]
Sang Buddha memberikan beberapa instruksi sebelum kematiannya, termasuk arahan kepada mantan kusirnya, Channa (Sanskerta: Chandaka ) yang dijauhi oleh sesama bhikkhu lainnya, untuk merendahkan harga dirinya.[70] Di saat-saat terakhirnya, Sang Buddha bertanya apakah ada orang yang memiliki pertanyaan yang ingin mereka ajukan kepadanya, sebagai kesempatan terakhir untuk menghilangkan keraguan. Ketika tidak ada yang menjawab, Ānanda mengungkapkan kegembiraannya bahwa semua murid Sang Buddha yang hadir telah mencapai tingkat yang telah melampaui keraguan terhadap ajaran Buddha. Namun, Sang Buddha menunjukkan bahwa Ānanda berbicara atas dasar keyakinan dan bukan karena pandangan terang meditatif—sebuah celaan terakhir.[90] Sang Buddha menambahkan bahwa, dari semua lima ratus bhikkhu yang mengelilinginya saat itu, bahkan bhikkhu yang "paling akhir" atau "paling terbelakang" (Pali: pacchimaka) telah mencapai tahap awal sotapanna. Dimaksudkan sebagai dorongan, Sang Buddha sebenarnya sedang menunjuk pada Ānanda.[91] Selama Nirwana terakhir Sang Buddha, Anuruddha mampu menggunakan kekuatan meditasinya untuk memahami tahap-tahap apa saja yang telah dilalui Sang Buddha sebelum mencapai Nirwana akhir. Namun, Ānanda tidak mampu melakukannya, menunjukkan kematangan spiritualnya yang lebih rendah.[92] Setelah kematian Sang Buddha, Ānanda membacakan beberapa syair, mengungkapkan rasa urgensi (Pali: saṃvega), yang sangat tersentuh oleh peristiwa dan dampaknya: "Mengerikan sekali guncangannya, bulu kuduk para pria berdiri, / Ketika Buddha yang sempurna meninggal dunia."[93]
Tak lama setelah sidang, Ānanda membawa pesan sehubungan dengan arahan Sang Buddha kepada Channa secara pribadi. Channa menjadi rendah hati dan mengubah cara hidupnya, mencapai pencerahan, dan hukumannya dicabut oleh saṅgha.[94][95] Ānanda kemudian melakukan perjalanan ke Sawati (Sanskerta: Śrāvastī ), di mana dia bertemu dengan penduduk yang sedih, yang dia hibur dengan ajaran-ajaran tentang ketidakkekalan. Setelah itu, Ānanda pergi ke tempat tinggal Sang Buddha dan melakukan rutinitas yang biasanya selalu dia lakukan ketika Sang Buddha masih hidup, seperti menyiapkan air dan membersihkan tempat tinggal. Dia kemudian memberi hormat dan berbicara seolah-olah Sang Buddha masih ada di sana. Komentar Pāli menyatakan bahwa Ānanda melakukan ini sebagai bentuk pengabdian, tetapi juga karena dia "belum terbebas dari hawa nafsu".[96]
Sidang Pertama
suntingLarangan
suntingMenurut teks, Sidang Buddhis Pertama diadakan di Rājagaha.[97] Dalam vassa pertama setelah kematian Sang Buddha, Mahākassapa (Sanskerta: Mahākāśyapa ) sebagai bhikkhu yang memimpin meminta Ānanda untuk membacakan khotbah-khotbah yang telah didengarnya, sebagai perwakilan dalam sidang ini.[11][97][note 13] Ada aturan yang dikeluarkan bahwa hanya murid-murid yang tercerahkan (arahat) yang diizinkan untuk menghadiri sidang, untuk mencegah adanya kekotoran batin yang bisa mengaburkan ingatan para murid. Akan tetapi, Ānanda belum mencapai pencerahan, berbeda dengan para anggota sidang lainnya, yang terdiri dari 499 arahant.[99][100] Oleh karena itu Mahākassapa tidak mengizinkan Ānanda untuk hadir. Meskipun dia tahu bahwa kehadiran Ānanda di sidang tersebut diperlukan, dia tidak ingin bersikap berat sebelah dengan memberikan pengecualian terhadap peraturan tersebut.[21][101] Tradisi Mūlasarvāstivāda menambahkan bahwa Mahākassapa pada awalnya mengizinkan Ānanda untuk bergabung sebagai seorang pelayan yang membantu selama dewan, tetapi kemudian terpaksa mengeluarkannya ketika muridnya Anuruddha melihat bahwa Ānanda belum tercerahkan.[21]
Ānanda merasa direndahkan, tetapi menjadi terdorong untuk memfokuskan upayanya untuk mencapai pencerahan sebelum sidang dimulai.[102][103] Teks-teks Mūlasarvāstivāda menambahkan bahwa dia merasa termotivasi ketika dia mengingat kata-kata Sang Buddha bahwa dia harus menjadi tempat berlindung bagi dirinya sendiri, dan ketika dia dihibur dan dinasihati oleh Anuruddha dan Vajjiputta (pelayan dari Ānanda).[21] Pada malam sebelum acara, ia berusaha keras untuk mencapai pencerahan. Setelah beberapa saat, Ānanda beristirahat dan memutuskan untuk berbaring untuk beristirahat. Dia kemudian mencapai pencerahan saat itu juga, di tengah-tengah antara berdiri dan berbaring. Dengan demikian, Ānanda dikenal sebagai murid yang mencapai pencerahan "tanpa melakukan salah satu dari empat pose tradisional" (berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring).[104][105] Keesokan paginya, untuk membuktikan pencerahannya, Ānanda melakukan pencapaian supranatural dengan menyelam ke dalam bumi dan muncul di tempat duduknya di sidang (atau, menurut beberapa sumber, dengan cara terbang di udara).[21] Cendekiawan seperti Buddhologis André Bareau dan sarjana agama Ellison Banks Findly merasa skeptis dengan banyaknya rincian dalam kisah ini, termasuk jumlah peserta dalam sidang, dan kisah pencerahan Ānanda sebelum sidang.[106] Bagaimanapun juga, saat ini kisah perjuangan Ānanda pada malam sebelum sidang masih diceritakan di kalangan umat Buddhis sebagai bentuk nasihat dalam praktik meditasi agar: jangan menyerah, atau menafsirkan latihan meditasi dengan terlalu kaku.[105]
Pembacaan
suntingSidang Pertama dimulai ketika Ānanda diminta untuk melafalkan khotbah-khotbah dan menentukan mana yang otentik dan mana yang tidak.[107][108] Mahākassapa meminta detail dari setiap khotbah yang dibacakan Ānanda, dengan menyebutkan di mana, kapan, dan kepada siapa khotbah itu diberikan,[3] dan di akhir sesi ini, para bhikkhu sepakat bahwa ingatan dan semua yang dilafalkan Ānanda adalah benar,[109] setelah itu kumpulan kotbah (Pali: Sutta Piṭaka, Sanskerta: Sūtra Piṭaka ) dianggap telah selesai dan ditutup.[108] Dengan ini, Ānanda memainkan peran penting dalam sidang ini,[10] di mana menurut teks dinyatakan bahwa dia mengingat 84.000 topik pengajaran, di antaranya 82.000 diajarkan oleh Sang Buddha dan 2.000 lainnya diajarkan oleh para muridnya.[110][111][note 14] Banyak khotbah Buddhis awal dimulai dengan kata-kata "Demikianlah yang telah saya dengar" (Pali: Evaṃ me sutaṃ, Sanskerta: Evaṃ mayā śrutam ), yang menurut sebagian besar tradisi Buddhis, adalah kata-kata Ānanda,[112][note 15] yang menunjukkan bahwa dia, sebagai orang yang melaporkan teks (Sanskerta: saṃgītikāra ) tersebut, mendengarnya secara langsung dan tidak menambahkan apa pun ke dalamnya.[114][115] Dengan demikian, khotbah-khotbah yang diingat Ānanda kemudian menjadi kumpulan khotbah-khotbah Kanonik,[11] bersama dengan Abhidhamma (Abhidhamma Piṭaka) menurut tradisi tekstual Haimavāta, Dharmaguptaka dan Sarvāstivāda (dan secara implisit, kronik Pāli pasca-kanonik).[110][98][116] Akan tetapi sarjana agama Ronald Davidson mencatat, bahwa tidak ada satupun catatan mengenai Ānanda yang mempelajari Abhidhamma.[117] Menurut beberapa catatan Mahāyāna yang mucnul kemudian, Ānanda juga membantu dalam melafalkan teks-teks Mahāyāna, yang diadakan di tempat yang berbeda di Rājagaha, tetapi dalam periode waktu yang sama.[118][119] Kitab komentar Pāli menyatakan bahwa setelah sidang, ketika tugas pembacaan dan penghafalan teks-teks dibagi-dibagi, Ānanda dan murid-muridnya diberi tugas untuk menghafal Dīgha Nikāya.[21][116]
Tuduhan
suntingDalam sidang yang sama, Ānanda dituduh oleh anggota saṅgha atas beberapa kelalaiannya seperti mengijinkan wanita untuk bergabung dengan ordo monastik;[120][107] lupa meminta Sang Buddha untuk menentukan pelanggaran mana dalam disiplin monastik yang dapat diabaikan;[note 16] menginjak jubah Sang Buddha dan kemudian menjahitnya;[121] mengizinkan para wanita menghormati tubuh Buddha terlebih dahulu sehingga tubuhnya dinodai oleh air mata mereka;[121] dan karena lalai tidak meminta kepada Sang Buddha untuk terus melanjutkan kehidupan selama satu zaman.[121] Ānanda tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai pelanggaran, tetapi dia tetap mau mengakuinya secara resmi, "... dengan keyakinan akan pendapat para bhikkhu senior yang terhormat."[122][123]—dikarenakan Ānanda ingin mencegah timbulnya kekacauan dalam saṅgha.[124] Sehubungan dengan penahbisan wanita, Ānanda menjawab bahwa dia melakukan itu dengan usaha keras, karena Mahāpajāpati adalah ibu angkat Sang Buddha yang telah lama menafkahinya.[125] Sehubungan dengan tidak meminta Sang Buddha untuk terus hidup, banyak tradisi tekstual yang menyebutkan bahwa Ānanda menjawab bahwa ia terganggu oleh Māra,[126] meskipun teks Tiongkok awal menyebutkan bahwa alasan mengapa Ānanda tidak meminta Sang Buddha untuk memperpanjang hidupnya adalah karena takut hal tersebut akan mengganggu masa waktu Buddha Maitreya sebagai Buddha selanjutnya.[127]
Menurut tradisi Pāli, tuduhan tersebut dijatuhkan setelah Ānanda mencapai pencerahan dan melakukan semua pelafalan; tetapi tradisi Mūlasarvāstivāda mengatakan bahwa tuduhan itu diajukan sebelum Ānanda tercerahkan dan memulai pelafalan. Dalam versi ini, ketika Ānanda mendengar bahwa dia dilarang mengikuti sidang, dia berkeberatan karena dia tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan ajaran dan disiplin Sang Buddha. Mahākassapa kemudian membuat daftar tujuh tuntutan untuk melawan keberatan Ānanda. Tuduhan-tuduhan tersebut serupa dengan lima tuduhan yang diberikan dalam Pāli.[21] Tradisi tekstual lainnya mencantumkan tuduhan-tuduhan yang sedikit berbeda, berjumlah total keseluruhan sebelas tuduhan, beberapa di antaranya hanya disebutkan dalam satu atau dua tradisi tekstual.[128] Mempertimbangkan bahwa seorang murid Sang Buddha yang tercerahkan terlihat telah mengatasi semua kesalahan, tampaknya tuduhan-tuduhan tersebut lebih mungkin diberikan sebelum pencapaian Ānanda daripada sesudahnya.[127]
Indolog von Hinüber dan Jean Przyluski berpendapat bahwa catatan tentang Ānanda yang didakwa melakukan pelanggaran selama sidang menunjukkan adanya ketegangan di antara aliran-aliran Buddhis awal yang saling bersaing, yaitu aliran yang menekankan khotbah-khotbah (Pali: sutta, Sanskerta: sūtra ) dan aliran yang menekankan disiplin monastik. Perbedaan-perbedaan ini telah mempengaruhi kitab suci masing-masing aliran: misalnya tradisi tekstual Pāli dan Mahīśāsaka menggambarkan seorang Mahākassapa yang lebih kritis terhadap Ānanda dibandingkan dengan apa yang digambarkan oleh tradisi Sarvāstivāda,[63][129] yang mencerminkan preferensi mereka terhadap disiplin di atas khotbah dibandingkan dengan tradisi Pāli dan Mahīśāsaka.[130] Contoh lainnya adalah pengulangan-pengulangan saat Sidang Pertama. Teks-teks Pāli menyatakan bahwa Upāli, orang yang bertanggung jawab atas pelafalan disiplin monastik, melafalkan sebelum Ānanda melafalkan: sekali lagi, ini menunjukkan adanya preferensi disiplin monastik di atas khotbah.[131] Setelah menganalisis enam tinjauan dari berbagai tradisi tekstual yang berbeda dari Mahāparinibbāna Sutta secara ekstensif, Bareau melihat adanya dua lapisan di dalam teks, yaitu yang lebih tua dan yang lebih baru, yang lebih tua disusun oleh yang menekankan khotbah, sedangkan yang lebih baru disusun oleh yang menekankan disiplin monastik; yang lebih tua menekankan sosok Ānanda, sedangkan yang lebih baru menekankan sosok Mahākassapa. Lebih lanjut, dia juga berpendapat bahwa bagian tentang Māra yang menghalangi Sang Buddha dimasukkan pada abad ke-4 SM, dan bagian di mana Ānanda disalahkan atas perbuatan Māra disisipkan dalam bagian kelupaan Ānanda pada abad ke-3 SM. Di sisi lain. bagian di mana Sang Buddha sedang sakit dan mengingatkan Ānanda untuk menjadikan dirinya sebagai tempat perlindungannya sendiri, menurut Bareau dianggap sebagai bagian teks yang sangat kuno, mendahului bagian-bagian yang menyalahkan Māra dan Ānanda.[132] Sebagai kesimpulannya, Bareau, Przyluski dan Horner berpendapat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepada Ānanda adalah interpolasi yang muncul belakangan. Akan tetapi, Findly tidak sependapat, karena catatan dalam teks-teks disiplin monastik sesuai dengan yang tertulis di Mahāparinibbāna Sutta di mana karakter Ānanda digambarkan secara umum seperti yang ada dalam teks-teks.[133]
Historisitas
suntingTradisi menyatakan bahwa Sidang Pertama berlangsung selama tujuh bulan.[110] Para akademisi meragukan apakah seluruh kanon benar-benar dibacakan selama Sidang Pertama,[134] karena teks-teks awal berisi catatan-catatan yang berbeda mengenai subjek-subjek penting seperti meditasi.[135] Akan tetapi, meskipun demikian, bisa saja versi-versi awal yang dibacakan ini adalah apa yang sekarang dikenal sebagai Vinaya-piṭaka dan Sutta-piṭaka.[136] Namun demikian, banyak akademisi, sejak akhir abad ke-19 dan seterusnya, telah menganggap bahwa historisitas Sidang Pertama adalah tidak mungkin. Beberapa sarjana, seperti orientalis Louis de La Vallée-Poussin dan D.P. Minayef, berpikir pasti ada pertemuan setelah kematian Sang Buddha, tetapi hanya tokoh-tokoh utama dan beberapa peristiwa sebelum atau sesudah Sidang Pertama yang dianggap sebagai peristiwa sejarah.[94][137] Sarjana lain, seperti Bareau dan Indolog Hermann Oldenberg, menganggap bahwa catatan Sidang Pertama ditulis setelah Sidang Kedua dan penulisannya berdasarkan catatan dalam Sidang Kedua, di mana tidak ada masalah besar yang harus dipecahkan setelah kematian Sang Buddha, atau kebutuhan lain untuk menyelenggarakan Sidang Pertama.[106][138] Banyak materi di catatan tersebut, dan terlebih lagi di catatan selanjutnya yang lebih berkembang di kemudian hari, membahas tentang Ānanda sebagai perantara yang tidak ternoda yang meneruskan ajaran Buddha yang sah.[139] Di sisi lain, arkeolog Louis Finot, Indolog E. E. Obermiller dan Indolog Nalinaksha Dutt sampai pada batas-batas tertentu berpendapat bahwa Sidang Pertama adalah otentik, karena adanya korespondensi antara teks Pāli dan tradisi Sanskerta.[140] Indolog Richard Gombrich, mengikuti argumen Bhikkhu Sujato dan Bhikkhu Brahmali, menyatakan bahwa "sangat masuk akal untuk yakin... bahwa sebagian besar Kitab Pāli memang melestarikan Buddha-vacana, 'kata-kata Sang Buddha', yang ditransmisikan kepada kita melalui muridnya Ānanda dan Sidang Pertama".[141]
Peran dan karakter
sunting"Dia melayani Sang Buddha mengikutinya ke mana-mana seperti bayangan, membawakannya kayu gigi dan air, mencuci kakinya, menggosok tubuhnya, membersihkan selnya dan memenuhi semua tugasnya dengan sangat hati-hati. Pada siang hari, dia siap mencegah keinginan sekecil apa pun dari Sang Buddha. Pada malam hari, dengan tongkat dan obor di tangan, dia pergi sembilan kali mengelilingi sel Buddha dan tidak pernah meletakkannya karena dia akan tertidur dan gagal menjawab panggilan ke Sang Buddha."
diterjemahkan oleh Ellison Banks Findly, Manorathapūranī[142]
Ānanda diakui sebagai salah satu murid terpenting Sang Buddha.[143] Dalam daftar murid yang diberikan dalam Aṅguttara Nikāya dan Saṃyutta Nikāya, masing-masing murid dinyatakan sebagai yang terbaik dalam beberapa kualitas.[note 17] Ānanda disebutkan lebih sering daripada murid lainnya: Ānanda disebut sebagai yang terbaik dalam hal perilaku, perhatian kepada orang lain, kekuatan ingatan, pengetahuan dan keteguhan hati.[8][144] Ānanda adalah subjek dari khotbah pujian yang disampaikan oleh Sang Buddha tepat sebelum kematian Sang Buddha, seperti yang dijelaskan dalam Mahāparinibbāna Sutta:[note 18] ini adalah khotbah tentang seorang pria yang baik hati, tidak egois, populer, dan penuh perhatian kepada orang lain.[144] Di dalam beberapa teks ia digambarkan sebagai seseorang yang penuh welas asih dalam hubungannya dengan umat awam, sifat welas asih yang ia pelajari dari Sang Buddha.[145] Sang Buddha menyampaikan bahwa baik bhikkhu maupun umat awam senang melihat Ānanda, dan senang mendengarnya melafalkan dan mengajarkan ajaran Sang Buddha.[146][147] Selain itu, Ānanda dikenal karena kemampuannya dalam berorganisasi, membantu Sang Buddha dalam tugas-tugas seperti sekretaris.[148] Dalam banyak hal, Ānanda tidak hanya melayani kebutuhan pribadi Sang Buddha, tetapi juga kebutuhan saṅgha yang masih muda dan sedang berkembang.[149]
Selain itu, karena kemampuannya mengingat banyak ajaran Buddha, dia digambarkan sebagai yang terdepan dalam "telah mendengar banyak" (Pali: bahussuta, Sanskerta: bahuśruta , Pinyin: Duowen Diyi).[27][150] Ānanda dikenal karena daya ingatnya yang luar biasa, yang sangat penting dalam membantunya mengingat ajaran-ajaran Buddha. Dia juga mengajar beberapa murid-murid lainnya untuk menghafal doktrin Buddhis. Karena alasan ini, Ānanda dikenal sebagai "Bendahara Dhamma" (Pali: Dhamma-bhaṇḍāgārika, Sanskerta: Dharma-bhaṇḍāgārika ),[8][103] Dhamma (Sanskerta: Dharma ) mengacu pada ajaran Buddha.[29] Sebagai orang yang telah menemani Sang Buddha selama sebagian besar hidupnya, Ānanda dalam banyak hal merupakan ingatan hidup Sang Buddha, yang tanpanya saṅgha akan menjadi jauh lebih buruk.[103] Selain kemampuan ingatannya, Ānanda juga menonjol dalam hal tertentu. Sebagai sepupu Sang Buddha, ia berani mengajukan pertanyaan langsung kepada Sang Buddha. Sebagai contoh, setelah kematian Mahāvira dan konflik-konflik yang terjadi di antara komunitas Jain, Ānanda bertanya kepada Sang Buddha bagaimana masalah seperti itu dapat dicegah setelah kematian Sang Buddha.[151][152][note 19] Akan tetapi, Findly berpendapat bahwa tugas Ānanda untuk menghafal ajaran Buddha secara akurat dan tanpa distorsi, merupakan "anugerah sekaligus beban". Ānanda dapat mengingat banyak khotbah kata demi kata, tetapi hal tersebut dilakukan karena kebiasaannya untuk tidak merenungkan ajaran-ajaran itu, karena takut bahwa perenungan mungkin akan mendistorsi ajaran-ajaran yang sudah didengarnya.[154] Pada beberapa kesempatan, Ānanda diperingatkan oleh murid-murid lainnya bahwa ia harus menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berbicara dengan umat awam, dan lebih banyak meluangkan waktu untuk berlatih sendiri. Meskipun Ānanda secara teratur berlatih meditasi selama berjam-jam, ia kurang berpengalaman dalam konsentrasi meditasi dibandingkan murid-murid terkemuka lainnya.[155] Dengan demikian, penilaian terhadap karakter Ānanda hanya berdasarkan pencapaiannya sebagai seorang bhikkhu, pencapaiannya sebagai seorang pelayan, dan sebagai orang yang menghafal khotbah.[154]
Dari sudut pandang sastra dan pedagogis, Ānanda sering berfungsi sebagai semacam sosok kontras dalam teks, yaitu menjadi murid yang belum tercerahkan yang menghadiri seorang Buddha yang tercerahkan.[156][157] Karena orang biasa dapat mengenali ajaran melalui Ānanda, Sang Buddha dapat menyampaikan ajarannya melalui Ānanda kepada massa dengan mudah.[156][158] Karakter Ānanda dalam banyak hal bertentangan dengan karakter Buddha: belum tercerahkan dan sering melakukan kesalahan. Namun, pada saat yang sama, ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk melayani Sang Buddha.[159] Dalam teks-teks awal, Sang Buddha digambarkan sebagai sosok ayah sekaligus guru bagi Ānanda, tegas namun penuh dengan kasih sayang. Ānanda sangat sayang dan terikat pada Sang Buddha, rela mengorbankan nyawa untuknya.[27] Dia berduka dan sangat terkejut atas kematian Sang Buddha dan Sāriputta, yang dengannya dia menjalin persahabatan yang erat.[20] Keyakinan Ānanda terhadap Buddha, bagaimanapun, lebih bersifat keyakinan pada sosok pribadi Buddha, ketimbang keyakinannya pada ajaran Buddha. Ini adalah pola yang muncul kembali dalam catatan yang mengarah pada pelanggaran yang dituduhkan oleh Ānanda selama Sidang Pertama.[160] Selain itu, kelemahan Ānanda yang dijelaskan dalam teks-teks adalah bahwa ia terkadang lamban dalam berpikir dan kurang memiliki perhatian penuh, yang menjadi jelas karena perannya sebagai pelayan Sang Buddha: ini terlihat pada hal-hal kecil tidak hanya perilaku, melainkan juga pada hal-hal yang lebih penting, seperti menahbiskan seorang pria yang jelas tidak memiliki potensi sebagai murid, atau mengganggu Buddha di saat yang tidak tepat.[161] Contoh lain, suatu kali Mahākassapa menkritik Ānanda dengan kata-kata keras saat mengetahui fakta bahwa Ānanda bepergian dengan banyak bhikkhu muda yang tampaknya belum terlatih sehingga telah membangun reputasi buruk.[12] Dalam episode lain yang dijelaskan dalam teks Sarvāstivāda, Ānanda adalah satu-satunya murid yang bersedia mengajarkan kekuatan batin kepada Devadatta, di mana kekuatan tersebut selanjutnya digunakan untuk mencoba menghancurkan Sang Buddha. Akan tetapi, menurut sebuah teks Mahīśāsaka, ketika Devadatta membelot melawan Sang Buddha, Ānanda tidak terpengaruh olehnya, dan memberikan suara yang menentang Devadatta dalam sebuah pertemuan resmi.[162] Pertumbuhan spiritual Ānanda yang terlambat banyak dibahas dalam teks-teks Buddhis, di mana disimpulkan secara umum bahwa Ānanda memang lebih lambat dibandingkan murid-murid lainnya karena keterikatannya pada dunia dan keterikatannya pada pribadi Sang Buddha, keduanya berakar pada perannya sebagai perantara antara Sang Buddha dan komunitas awam.[163]
Menyampaikan ajaran
suntingSetelah kematian Sang Buddha, beberapa sumber mengatakan bahwa Ānanda menghabiskan sebagian besar masa hidupnya tinggal di India Barat, yaitu di daerah Kosambī (Sanskerta: Kausambī ), tempat di mana dia mengajar sebagian besar muridnya.[164][13] Sumber lain mengatakan bahwa dia tinggal di vihara di Veḷuvana (Sanskerta: Veṇuvana ).[165] Beberapa murid Ānanda menjadi terkenal dengan caranya sendiri. Menurut sumber-sumber Sanskerta pasca-kanonik seperti Divyavadāna dan Aśokavadāna, sebelum kematian Sang Buddha, Sang Buddha bercerita kepada Ānanda bahwa murid terakhirnya, Majjhantika (Sanskerta: Madhyāntika ) akan melakukan perjalanan ke Udyāna, Kashmir, untuk membawa ajaran Buddha di sana.[166][167] Mahākassapa membuat prediksi yang kemudian terbukti benar bahwa salah satu murid Ānanda lainnya di masa depan, yaitu Sāṇavāsī (Sanskerta: Śāṇakavāsī, Śāṇakavāsin or Śāṇāvasika ), akan memberikan banyak hadiah kepada saṅgha di Mathurā, di mana hadiah tersebut akan diberikan pada saat pesta di mana dananya berasal dari keuntungan yang diperoleh dari bisnisnya yang sukses. Setelah peristiwa ini, Ānanda kemudian berhasil meyakinkan Sāṇavāsī untuk menjadi bhikkhu dan menjadi muridnya.[168][169] Ānanda meyakinkan Sāṇavāsī dengan menunjukkan bahwa Sāṇavāsī saat itu hanya memberikan banyak hadiah berupa materi, tetapi belum memberikan "hadiah Dhamma". Ketika dimintai penjelasan, Ānanda menjawab bahwa Sāṇavāsī akan memberikan hadiah Dhamma setelah menjadi bhikkhu, yang kemudian menjadi alasan yang cukup bagi Sāṇavāsī untuk memutuskan menjadi bhikkhu.[168]
Kematian dan relik
suntingĀnanda terus mengajar hingga akhir hayatnya.[11] Berdasarkan teks Mūlasarvāstivāda, suatu hari Ānanda mendengar seorang bhikkhu muda salah melafalkan sebuah syair, dan memberinya nasehat. Ketika bhikkhu tersebut melaporkan hal ini kepada gurunya, gurunya menyanggah dengan mengatakan bahwa "Ānanda sudah tua dan ingatannya sudah menurun..." Hal ini mendorong Ānanda untuk mencapai Nibbana akhir. Dia mewariskan "pemeliharaan doktrin [Buddha]" kepada muridnya Sāṇavāsī dan berangkat ke sungai Gangga.[170][171] Namun, menurut teks Pāli, ketika Ānanda sudah hampir meninggal, ia berubah pikiran dan memutuskan untuk menghabiskan saat-saat terakhirnya di Vesālī, dan berangkat ke sungai Rohīni.[3] Versi Mūlasarvāstivāda menjelaskan lebih banyak dan menyebutkan bahwa sebelum mencapai sungai, Ānanda bertemu dengan seorang resi bernama Majjhantika (sesuai dengan ramalan sebelumnya) dan lima ratus pengikutnya, yang kemudian masuk agama Buddha.[7] Beberapa sumber menambahkan bahwa Ānanda menyampaikan pesan Buddha kepadanya.[168] Ketika Ānanda menyeberangi sungai, dia diikuti oleh Raja Ajātasattu (Sanskerta: Ajātaśatrū ), yang ingin menyaksikan kematiannya dan tertarik dengan jenazahnya sebagai relik.[7][3] Ānanda pernah berjanji kepada Ajāsattu bahwa dia akan memberitahunya kapan ia akan meninggal, dan sesuai janji tersebut, Ānanda saat itu memberitahunya.[172] Di seberang sungai, sekelompok Licchavi dari Vesālī telah menunggunya dengan alasan yang sama. Dalam teks Pāli, saat itu ada dua kelompok yang tertarik, yaitu klan Sākiya dan Koliya.[7][3] Ānanda menyadari bahwa kematiannya di kedua sisi sungai dapat membuat salah satu pihak marah.[173] Melalui pencapaian supernatural, ia melesat ke udara untuk melayang dan bermeditasi di udara, membuat tubuhnya terbakar, dengan reliknya mendarat di kedua tepi sungai.[7][3] Dalam beberapa versi catatan, ada yang menyebutkan tubuhnya terbelah menjadi empat bagian.[174] Dengan cara ini, Ānanda telah memuaskan semua pihak yang terlibat.[7][3] Dalam beberapa versi lain dari kisah tersebut, termasuk versi Mūlasarvāstivāda, kematiannya terjadi di atas perahu di tengah sungai, bukan di udara. Jenazahnya dibagi menjadi dua, sesuai dengan keinginan Ānanda.[175][7] Majjhantika kemudian berhasil melaksanakan misi tersebut sesuai dengan ramalan Buddha.[166]
Meskipun tidak ada Teks Buddhis Awal yang menuliskan tanggal kematian Ānanda, menurut biksu peziarah Tiongkok Faxian (337–422 Masehi), Ānanda hidup hingga 120 tahun.[3] Namun kalau mengikuti garis waktu yang belakangan, Ānanda diperkirakan hidup hingga usia 75–85 tahun.[164] Sarjana bidang studi Buddha L. S. Cousins memperkirakan tanggal kematian Ānanda adalah dua puluh tahun setelah kematian Sang Buddha.[176] Teks Buddhis Awal mengatakan bahwa Ānanda telah mencapai Nirwana akhir dan tidak akan terlahir kembali. Tetapi menurut Sūtra Teratai Mahāyāna, Ānanda dinyatakan akan terlahir kembali sebagai Buddha di masa depan. Dia akan memiliki jalan yang lebih panjang dari Buddha saat ini, Buddha Gautama, namun karena Ānanda telah bercita-cita menjadi seorang Buddha dengan menerapkan proses "pembelajaran yang baik", maka pencerahannya kelak akan sangat megah dan luar biasa.[7][177]
Setelah kematian Ānanda, para sesepuh melengkapi Theragatha dengan tiga kuatrain yang didedikasikan untuk parinirvana-nya, di mana mereka menyebut Ānanda penjaga Dhamma, mata seluruh dunia dan sumber kebijaksanaan.[178] Murid terakhir Ānanda, Majantika,[179] bersama dengan Sanavasa dan empat atau lima murid lainnya, membentuk mayoritas pada Sidang Buddhis Kedua.[180][13] Seorang murid dari Majantika adalah Upagupta yang digambarkan sebagai guru dari Kaisar Ashoka (abad ke-3 SM). Sumber-sumber Pali pasca-kanonik menyatakan bahwa Sanavasa memainkan peran utama dalam Sidang Buddhis Ketiga.[181] Meskipun tidak banyak yang dapat dipastikan secara historis, Cousins berpendapat bahwa setidaknya salah satu tokoh utama dalam Sidang Kedua adalah murid Ānanda, karena hampir semua tradisi tekstual menyebutkan hubungan dengan Ānanda.[182]
Raja Ajatasattu dikatakan telah membangun stupa di atas relik Ānanda. Stupa tersebut terletak di Sungai Rohini, namun menurut sumber lain, dikatakan bahwa lokasinya ada di Sungai Gangga. Licchhavi juga membangun stupa di sisi sungai mereka.[183] Peziarah Tiongkok Xuanzang (602-664) kemudian mengunjungi kedua stupa tersebut.[184][185] Faxian juga melaporkan bahwa dia telah mengunjungi stupa yang didedikasikan untuk Ānanda di Sungai Rohini[183] dan di Mathura.[186] Juga, menurut versi Mulasarvastivadin dari Sakmukta Agama, disebutkan bahwa Kaisar Ashoka mengunjungi lokasi tersebut dan memberikan persembahan paling mewah yang pernah dia berikan kepada sebuah stupa.[177] Dia menjelaskan kepada para menterinya bahwa dia melakukan hal tersebut karena “tubuh Tathagata adalah tubuh Dharma, yang bersifat murni alami. Dia [Ānanda] mampu menjaga itu semua; karena alasan inilah persembahan [baginya] lebih unggul [dari semua yang lain]." Ungkapan "tubuh Dharma" di sini mengacu pada ajaran Buddha secara keseluruhan.[181]
Warisan
suntingĀnanda digambarkan sebagai seorang pembicara yang fasih,[187] yang sering mengajarkan tentang diri dan tentang meditasi.[188] Ada banyak teks Buddhis yang dikaitkan dengan Ānanda, antara lain Atthakanāgara Sutta, teks tentang metode meditasi untuk mencapai Nirwana; sebuah versi dari Bhaddekaratta Sutta (Sanskerta: Bhadrakārātrī , Pinyin: shanye), teks tentang hidup di saat ini;[189][190] Sekha Sutta, teks tentang pelatihan tingkat yang lebih tinggi dari seorang siswa Buddha; Subha Suttanta, teks tentang praktik yang diilhami Buddha untuk diikuti orang lain.[191] Dalam Gopaka-Mogallānasutta, terjadi percakapan antara Ānanda, brahmana Gopaka-Mogallāna dan menteri Vassakara yang merupakan pejabat tertinggi di wilayah Magadha.[192][193] Dalam percakapan yang terjadi tak lama setelah kematian Sang Buddha ini, Vassakara bertanya apakah sudah diputuskan siapa yang akan menggantikan Sang Buddha. Ānanda menjawab bahwa tidak ada penerus yang ditunjuk, tetapi komunitas Buddhis mengambil ajaran dan disiplin Buddha sebagai tempat berlindung.[194][193] Selain itu, saṅgha tidak lagi memiliki Buddha sebagai guru, tetapi mereka akan menghormati para bhikkhu yang berbudi luhur dan dapat dipercaya.[193] Selain sutta-sutta ini, satu bagian dari Theragāthā juga dikaitkan dengan Ānanda.[195] Bahkan dalam teks-teks yang dikaitkan dengan Sang Buddha sendiri, Ānanda terkadang digambarkan memberi nama pada teks tertentu, atau menyarankan perumpamaan kepada Sang Buddha untuk digunakan dalam ajarannya.[12]
Di Buddhisme Asia Timur, Ānanda dianggap sebagai salah satu dari sepuluh murid utama.[196] Dalam banyak teks Sanskerta India dan Asia Timur, Ānanda dianggap sebagai patriark kedua dalam silsilah patriark yang mentransmisikan ajaran Buddha, dengan Mahākassapa sebagai yang pertama dan Majjhantika[197] atau Saṇavāsī[198] menjadi yang ketiga. Ada sebuah catatan yang berasal dari tradisi tekstual Sarvāstivāda dan Mūlasarvāstivāda yang menyatakan bahwa sebelum Mahākassapa meninggal, dia mewariskan ajaran Sang Buddha kepada Ānanda sebagai pewaris otoritas secara resmi, lalu menyuruh Ānanda untuk meneruskan ajaran tersebut kepada murid Ānanda, Saṇavāsī.[199][200] Kemudian, tepat sebelum Ānanda meninggal, dia melakukan seperti yang diperintahkan Mahākassapa kepadanya.[21] Sarjana studi Buddhis Akira Hirakawa dan Bibhuti Baruah meragukan hubungan antara guru dan murid antara Mahākassapa dan Ānanda, dengan alasan bahwa ada ketidakharmonisan di antara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam teks-teks awal.[164][13] Terlepas dari itu, jelas dari teks-teks tersebut yang dimaksud adalah transmisi ajaran, bukanlah upajjhāya (guru yang menasbihkan seseorang menjadi muridnya). Tidak ada sumber yang menunjukkan bahwa Mahākassapa adalah upajjhāya dari Ānanda.[201] Dalam ikonografi Mahāyāna, Ānanda sering digambarkan berada di sisi kanan Sang Buddha, sementara Mahākassapa di sisi kiri.[202] Namun, dalam ikonografi Theravāda, Ānanda biasanya tidak digambarkan dengan cara ini,[203] dan motif transmisi Dhamma melalui daftar silsilah patriark tidak ditemukan dalam sumber-sumber Pāli.[204]
Karena Ānanda berperan penting dalam mendirikan komunitas bhikkhunī, dia dihormati oleh para bhikkhunī sepanjang sejarah Buddhis. Jejak paling awal dari hal ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Faxian dan Xuanzang,[59][205] yang melaporkan bahwa para bhikkhunī memberikan persembahan kepada sebuah stūpa untuk menghormati Ānanda pada saat hari-hari penting seperti hari peringatan ataupun hari perayaan tertentu. Dalam konteks yang sama, di Tiongkok abad ke-5 hingga ke-6 di Tiongkok dan abad ke-10 di Jepang, teks-teks Buddhis yang disusun merekomendasikan wanita untuk menjunjung tinggi delapan sila semi-monastik sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur kepada Ānanda. Di Jepang, hal ini dilakukan dalam bentuk ritual penebusan dosa yang disebut keka (Hanzi: 悔過). Pada abad ke-13, di Jepang minat yang mirip seperti kultus terhadap Ānanda telah berkembang di sejumlah biara, di mana gambar dan stūpa digunakan dan upacara diadakan untuk menghormatinya. Saat ini, pendapat para ahli terbagi mengenai apakah pemujaan Ānanda di kalangan para bhikkhunī tersebut dianggap sebagai ekspresi ketergantungan mereka pada tradisi monastik laki-laki, atau malah sebaliknya, dianggap sebagai ekspresi legitimasi dan kemandirian mereka.[206]
Teks-teks Vinaya Pāli mengaitkan desain jubah bhikkhu Buddha dengan Ānanda. Seiring berkembangnya Buddhisme, semakin banyak umat awam yang mulai menyumbangkan kain mahal untuk jubah, sehingga itu membuat para bhikkhu menjadi beresiko untuk dicuri. Untuk mengurangi nilai komersialnya, para bhikkhu memotong kain yang dipersembahkan menjadi potongan-potongan kecil, sebelum mereka menjahitnya menjadi jubah. Sang Buddha meminta Ānanda untuk merancang model jubah Buddha, yang terbuat dari potongan-potongan kain kecil. Ānanda merancang model jubah standar, berdasarkan sawah-sawah di Magadha, yang per bagiannya dibagi berdasarkan tanggul tanah.[207][12] Tradisi lain yang terkait dengan Ānanda adalah pembacaan paritta. Umat Buddhis Theravāda menjelaskan bahwa kebiasaan memercikkan air selama pembacaan paritta berasal dari tradisi saat kunjungan Ānanda ke Vesālī, yaitu ketika dia melafalkan Ratana Sutta dan memercikkan air dari mangkuk dana makanannya.[37][208] Tradisi ketiga yang kadang-kadang dikaitkan dengan Ānanda adalah penggunaan pohon Bodhi dalam Buddhisme. Dijelaskan dalam teks Kāliṅgabodhi Jātaka bahwa Ānanda menanam pohon Bodhi sebagai simbol pencerahan Sang Buddha, agar orang-orang mempunyai kesempatan untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.[12][209] Pohon dan kuil ini kemudian dikenal sebagai Pohon Bodhi Ānanda,[12] yang konon tumbuh dari benih Pohon Bodhi asli di mana Buddha digambarkan telah mencapai pencerahan.[210] Banyak kuil Pohon Bodhi di Asia Tenggara mengikuti contoh ini.[209] Saat ini, Pohon Bodhi Ānanda kadang-kadang diidentikkan dengan sebuah pohon di reruntuhan Jetavana, Sāvatthi, berdasarkan catatan Faxian.[210]
Dalam seni
suntingAntara tahun 1856 dan 1858, Richard Wagner menulis draf naskah opera libretto berdasarkan cerita legenda tentang Ānanda dan gadis kasta rendah Prakṛti. Dia hanya meninggalkan sketsa prosa yang terputus-putus dari sebuah karya yang di kemudian hari diberi judul Die Sieger. Topik tersebut selanjutnya mengilhami opera berikutnya Parsifal.[211] Selanjutnya, draft tersebut digunakan oleh komposer Jonathan Harvey dalam opera Wagner Dream pada tahun 2007.[212][213] Dalam cerita legenda versi Wagner, yang didasarkan pada terjemahan Eugène Burnouf, seorang orientalis, mantra gaib dari ibu Prakṛti tidak bekerja pada Ānanda, dan Prakṛti pun akhirnya menghadap Sang Buddha untuk menjelaskan keinginannya terhadap Ānanda. Sang Buddha menjawab bahwa persatuan antara Prakṛti dan Ānanda adalah mungkin terjadi, tetapi Prakṛti harus menyetujui persyaratan yang diberikan oleh Sang Buddha. Prakṛti menyetujuinya, dan kemudian terungkap bahwa Buddha ternyata memiliki maksud yang berbeda dengan apa yang dia pikirkan: Sang Buddha meminta Prakṛti untuk ditahbiskan sebagai bhikkhunī, dan menjalani kehidupan selibat dan akan menjadi semacam saudara perempuan bagi Ānanda. Pada awalnya, Prakṛti menangis karena kaget, tetapi setelah Sang Buddha menjelaskan bahwa situasi tersebut bisa terjadi karena hasil dari karma-nya dari kehidupan sebelumnya, dia pun memahami dan dengan senang hati menjalani kehidupannya sebagai seorang bhikkhunī.[214] Terlepas dari tema spiritual, Wagner juga menyoroti kelemahan dari sistem kasta sehingga membuat Sang Buddha mengkritiknya.[211]
Mengambil inspirasi dari filosofi Schopenhauer, Wagner membandingkan keselamatan yang didorong oleh nafsu keinginan dan keselamatan spiritual yang sejati: dengan mencari pembebasan melalui orang yang dicintai, Prakṛti hanya memperkuat "keinginannya untuk hidup" (bahasa Jerman: Wille zum Leben), sehingga menghalanginya untuk mencapai pembebasan. Dengan menjadi bhikkhunī, dia berusaha untuk keselamatan spiritualnya. Dengan demikian, catatan Buddhis awal tentang penahbisan Mahāpajāpati sebagai bhikkuni pertama digantikan oleh Prakṛti. Menurut Wagner, dengan mengizinkan Prakṛti menjadi bhikkhunī, Sang Buddha juga menyelesaikan tujuan hidupnya sendiri: "Dia menganggap keberadaannya di dunia, tujuannya adalah untuk memberi manfaat bagi semua makhluk, dan tujuan tersebut telah tercapai, karena dia telah mampu menawarkan pembebasan—tanpa perantara—juga kepada wanita."[215]
Legenda yang sama tentang Ānanda dan Prakṛti juga diadaptasi menjadi drama prosa pendek berjudul Chandalika yang dibuat oleh penyair India Rabindranath Tagore. Chandalika mengangkat tema konflik spiritual, kasta dan kesetaraan sosial, serta mengandung kritik tajam terhadap masyarakat India. Sama seperti dalam kisah tradisional, Prakṛti jatuh cinta pada Ānanda, setelah Ānanda meningkatkan harga dirinya dengan menerima hadiah air darinya yang berkasta rendah. Selanjutnya ibu Prakṛti membacakan mantra untuk memikat Ānanda. Namun, dalam drama Tagore, diceritakan bahwa Prakṛti kemudian menyesali perbuatannya dan mencabut mantra tersebut.[216][217]
Catatan
sunting- ^ AN 1.119
- ^ Theragāthā 17.1042-1046
- ^ Menurut tradisi Mūlasarvāstivāda, Sang Buddha berusia 50.[15]
- ^ Menurut tradisi Mūlasarvāstivāda, Ānanda lahir pada saat yang sama ketika Sang Buddha menjadi tercerahkan, dan karena itu lebih muda dari para siswa terkemuka lainnya. Alasan mengapa murid-murid lain tidak dipilih mungkin karena mereka terlalu tua untuk tugas itu.
- ^ Ananda mengajukan 4 syarat: 1. Sang Buddha tidak boleh memberikan jubah kepadanya, 2. Sang Buddha tidak boleh memberikan dana makanan yang diperuntukkan Sang Buddha kepadanya, 3. Sang Buddha tidak boleh menerima tempat tinggal yang diperuntukkan Sang Buddha kepadanya, 4. Sang Buddha tidak boleh mengikutsertakan dirinya dalam undangan pribadi yang ditujukan pada Sang Buddha
- ^ AN 10.115
- ^ MN 88, AN 3.80, AN 3.78, AN 10.115
- ^ AN 4.159
- ^ Anālayo mengutip von Hinüber dengan kalimat ini
- ^ AN 3.80
- ^ Ada perdebatan di antara aliran-aliran Buddhis awal mengenai arti kata “eon” dalam konteks ini. Beberapa aliran berpendapat bahwa ‘eon’ merujuk pada usia manusia yang penuh, sementara aliran lain berpendapat bahwa makhluk yang telah mencapai pencerahan mampu menciptakan “usia baru hanya dengan kekuatan meditasinya”[76]
- ^ Menurut John Powers, Buddha hanya meninggalkan Vesālī pada titik ini, dan bukan sebelumnya.[77]
- ^ Ini adalah versi yang paling terkenal dari kisah tersebut. Namun, teks-teks dari tradisi Sarvāstivāda, Mūlasarvāstivāda, dan Mahīśāsaka menyebutkan bahwa yang dimaksud sebenarnya adalah Añña Koṇḍañña (Sanskrit: Ājñāta Kauṇḍinya), karena Koṇḍañña adalah murid tertua.[98]
- ^ Sumber lain menyebutkan bahwa ia mengingat 60.000 kata dan 15.000 bait,[110] atau 10.000 kata.[112]
- ^ Beberapa komentator Mahāyāna berpendapat bahwa dalam beberapa kasus, kata-kata ini merupakan ucapan seorang “bodhisattva” (seseorang yang berusaha menjadi Buddha) seperti Mañjuśrī.[113]
- ^ Buddha menyebutkan kepada Ānanda bahwa “aturan-aturan kecil” dapat dihapuskan.[77]
- ^ AN 1.119
- ^ DN 16.
- ^ Buddha menjawab dengan pembahasan tentang peran seorang guru, murid, dan ajaran, dan menyimpulkan bahwa ia sendiri telah menyampaikan ajarannya dengan baik. Ia melanjutkan bahwa perselisihan tentang disiplin monastik bukanlah masalah yang begitu besar, tetapi perselisihan tentang “jalan dan cara” itulah yang menjadi masalah.[153]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g h i j Witanachchi 1965, hlm. 529.
- ^ Hecker 2006, hlm. 3.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Buswell & Lopez 2013, Ānanda.
- ^ Larson, Paul. "Ananda". Dalam Leeming, David A.; Madden, Kathryn; Marlan, Stanton (ed.). Encyclopedia of Psychology and Religion. Springer-Verlag. hlm. 35. ISBN 978-0-387-71802-6.
- ^ a b Thera & Hecker 1997, hlm. 158.
- ^ Hecker 2006, hlm. 43.
- ^ a b c d e f g h Witanachchi 1965, hlm. 535.
- ^ a b c Sarao, K. T. S. (2004). "Ananda". Dalam Jestice, Phyllis G. (ed.). Holy People of the World: A Cross-cultural Encyclopedia. ABC-CLIO. hlm. 49. ISBN 1-85109-649-3.
- ^ Hecker 2006, hlm. 5.
- ^ a b c Powers, John (2013). "Ānanda". A Concise Encyclopedia of Buddhism. Oneworld Publications. ISBN 978-1-78074-476-6.
- ^ a b c d e f g Keown 2004, hlm. 12.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Malalasekera 1960, Ānanda.
- ^ a b c d e Hirakawa 1993, hlm. 85.
- ^ Bareau, André (1988). "Les débuts de la prédication du Buddha selon l'Ekottara-Āgama" [The Beginning of the Buddha's Ministry According to the Ekottara Āgama]. Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis). 77 (1): 94. doi:10.3406/befeo.1988.1742.
- ^ a b Witanachchi 1965, hlm. 530.
- ^ Witanachchi 1965, hlm. 529-30.
- ^ a b Witanachchi 1965, hlm. 529–30.
- ^ Shaw 2006, hlm. 35.
- ^ Findly 2003, hlm. 371–2.
- ^ a b Witanachchi 1965, hlm. 533.
- ^ a b c d e f g h Witanachchi 1965, hlm. 532.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Vajraputra.
- ^ Findly 2003, hlm. 372.
- ^ a b Hellmuth 2006, hlm. 8.
- ^ Findly 2003, hlm. 376.
- ^ Mcneill, William (2011). Berkshire Encyclopedia of World History (Edisi 2nd). Berkshire Publishing Group. hlm. 270. ISBN 978-1-61472-904-4.
- ^ a b c Findly 2003, hlm. 375.
- ^ Malalasekera 1960, Nālāgiri.
- ^ a b Bodhi, Bhikkhu (2013). "Early Buddhist Disciples". Dalam Johnston, William M. (ed.). Encyclopedia of Monasticism. Routledge. hlm. 389. ISBN 978-1-136-78716-4. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-04-09. Diakses tanggal 2022-07-13.
- ^ Findly 2003, hlm. 387.
- ^ Shaw 2006, hlm. 18.
- ^ Findly 2003, hlm. 368.
- ^ Findly 2003, hlm. 377.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Mallikā; Śyāmāvatī.
- ^ Bailey, Greg; Mabbett, Ian (2003). The Sociology of Early Buddhism (PDF). Cambridge University Press. hlm. 28. ISBN 978-0-511-06296-4. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 15 Februari 2017. Diakses tanggal 12 September 2018.
- ^ Findly 2003, hlm. 389–90.
- ^ a b Buswell & Lopez 2013, Ratanasutta.
- ^ Bodhi, Bhikkhu (2013). "Discourses". Dalam Johnston, William M. (ed.). Encyclopedia of Monasticism. Routledge. hlm. 394. ISBN 978-1-136-78716-4. Diarsipkan dari asli tanggal 2023-04-09. Diakses tanggal 2022-07-13.
- ^ Shaw 2006, hlm. 12.
- ^ Findly 2003, hlm. 375, 377.
- ^ Attwood, Jayarava (1 January 2008). "Did King Ajātasattu Confess to the Buddha, and did the Buddha Forgive Him?". Journal of Buddhist Ethics: 286. ISSN 1076-9005. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 11 September 2018.
- ^ Ambros 2016, hlm. 243–4.
- ^ Wilson, Liz (1996). Charming Cadavers: Horrific Figurations of the Feminine in Indian Buddhist Hagiographic Literature. University of Chicago Press. hlm. 107–8. ISBN 978-0-226-90054-4.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Śūraṅgamasūtra.
- ^ Findly 2003, hlm. 379–80.
- ^ Violatti, Cristian (9 Desember 2013). "Siddhartha Gautama". World History Encyclopedia. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 25 Agustus 2014. Diakses tanggal 29 Agustus 2018.
- ^ a b Ambros 2016, hlm. 241.
- ^ a b Ohnuma 2006, hlm. 862.
- ^ Ohnuma 2006, hlm. 872–3.
- ^ a b Hinüber 2007, hlm. 230–1.
- ^ Ohnuma 2006, hlm. 871.
- ^ a b Ohnuma 2006, hlm. 865.
- ^ a b Krey, Gisela (2014). "Some Remarks on the Status of Nuns and Laywomen in Early Buddhism". Dalam Mohr, Thea; Tsedroen, Jampa (ed.). Dignity and Discipline: Reviving Full Ordination for Buddhist Nuns. Simon and Schuster. ISBN 978-0-86171-830-6.
- ^ Ohnuma 2006, hlm. 865 n.9.
- ^ Jerryson, Michael (2013). "Buddhist Traditions and Violence". Dalam Juergensmeier, Mark; Kitts, Margo; Jerryson, Michael (ed.). The Oxford Handbook of Religion and Violence. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-975999-6.
- ^ Powers 2007, hlm. 53.
- ^ Raksachom, Krisana (2009). ปัญหาการตีความพระพุทธตำรัสต่อพระอานนท์หลังการบวชของพระนางมหาปชาบดีโคตมี [Problems in Interpreting the Buddha's Words to Ven. Ānanda after Ven. Mahāpajāpati Gotamī's Ordination] (PDF). Journal of Buddhist Studies, Chulalongkorn University (dalam bahasa Thai). 16 (3): 88. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 1 Oktober 2018. Diakses tanggal 22 September 2018.
- ^ Findly 2003, hlm. 384.
- ^ a b Ambros 2016, hlm. 209.
- ^ Hinüber 2007, hlm. 233–4.
- ^ Hinüber 2007, hlm. 235–7.
- ^ Ohnuma, Reiko (2013). "Bad Nun: Thullanandā in Pāli Canonical and Commentarial Sources" (PDF). Journal of Buddhist Ethics. 20: 51. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 1 October 2018.
- ^ a b Findly 1992, hlm. 253–4.
- ^ Muldoon-Hules, Karen (2017). Brides of the Buddha: Nuns' Stories from the Avadanasataka. Lexington Books. hlm. 4. ISBN 978-1-4985-1146-9.
- ^ Anālayo, Bhikkhu (2008). "Theories on the Foundation of the Nuns' Order: A Critical Evaluation" (PDF). Journal of the Centre for Buddhist Studies. 6: 125. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 11 September 2018.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Udāyin.
- ^ Hecker 2006, hlm. 15.
- ^ a b Buswell & Lopez 2013, Mahāparinibbānasuttanta; Veṇugrāmaka.
- ^ Powers 2007, hlm. 54.
- ^ a b c Buswell & Lopez 2013, Mahāparinibbānasuttanta.
- ^ Harvey 2013, hlm. 26.
- ^ Obeyesekere, Gananath (2017). "The Death of the Buddha: A Restorative Interpretation". The Buddha in Sri Lanka: Histories and Stories. Taylor & Francis. ISBN 978-1-351-59225-3.
- ^ a b c d Lopez 2017, hlm. 88.
- ^ Bareau 1979, hlm. 80:"En outre, cet épisode très beau, touchant de noblesse et de vraisemblance psychologique tant en ce qui regarde Ânanda qu'en ce qui concerne le Buddha, paraît bien remonter très loin, à l'époque où les auteurs, comme les autres disciples, considéraient encore le Bienheureux comme un homme, un maître éminemment respectable mais nullement divinisé, auquel on prêtait un comportement et des paroles tout à fait humaines, de telle sorte qu'on est même tenté de voir là le souvenir d'une scène réelle qu'Ânanda aurait racontée à la Communauté dans les mois qui suivirent le Parinirvâna."
- ^ Buswell & Lopez 2013, Māra.
- ^ Jaini, P. S. (1958). "Buddha's Prolongation of Life". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 21 (3): 547–8, 550. doi:10.1017/S0041977X0006016X.
- ^ a b c Powers 2007, hlm. 55.
- ^ Olson 2005, hlm. 33.
- ^ Hansen 2008, hlm. 45, 51.
- ^ a b Buswell & Lopez 2013, Kuśingarī.
- ^ Olson 2005, hlm. 34.
- ^ Warder, A. K. (2000). Indian Buddhism (PDF) (Edisi 3rd). Motilal Banarsidass Publishers. ISBN 81-208-0818-5. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 11 September 2015.
- ^ Ray 1994, hlm. 361.
- ^ Silk, Jonathan A. (2005) [2002]. "What, If Anything, Is Mahāyāna Buddhism?" (PDF). Dalam Williams, Paul (ed.). Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies, 3: The Origins and Nature of Mahāyāna Buddhism. Routledge. hlm. 398. ISBN 0-415-33229-X. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 20 October 2015.
- ^ Ray 1994, hlm. 339, 359.
- ^ Bareau 1979, hlm. 67, 71, 73.
- ^ Lopez 2017, hlm. 3, 88–9.
- ^ Powers, John (2015). "Buddhas and Buddhisms". Dalam Powers, John (ed.). The Buddhist World. Routledge. ISBN 978-1-317-42016-3.
- ^ Ray 1994, hlm. 363–4.
- ^ Findly 1992, hlm. 256.
- ^ Freedman 1977, hlm. 26–7.
- ^ Ray 1994, hlm. 369, 392 n.80.
- ^ Hansen 2008, hlm. 53.
- ^ a b Prebish 2005, hlm. 226.
- ^ Mukherjee 1994, hlm. 466.
- ^ Strong, John S. (1977). ""Gandhakuṭī": The Perfumed Chamber of the Buddha". History of Religions. 16 (4): 398–9. doi:10.1086/462775. JSTOR 1062638. S2CID 161597822.
- ^ a b c Thorp, Charley Linden (3 April 2017). "The Evolution of Buddhist Schools". World History Encyclopedia. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 29 August 2018. Diakses tanggal 29 August 2018.
- ^ a b Prebish 2005, hlm. 230.
- ^ Powers 2007, hlm. 56.
- ^ Prebish 2005, hlm. 225–6.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Mahākāśyapa.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Īryāpatha; Mahākāśyapa.
- ^ a b c Filigenzi 2006, hlm. 271.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda; Īryāpatha.
- ^ a b Shaw 2006, hlm. 17–8.
- ^ a b Prebish 2005, hlm. 231.
- ^ a b Keown 2004, hlm. 164.
- ^ a b MacQueen 2005, hlm. 314.
- ^ Powers 2007, hlm. 57–8.
- ^ a b c d Buswell & Lopez 2013, Council, 1st.
- ^ Lamotte 1988, hlm. 148.
- ^ a b Gwynne, Paul (2017). "Books". World Religions in Practice: A Comparative Introduction. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-118-97227-4.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Evaṃ mayā śrutam.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Saṃgītikāra.
- ^ Lamotte 2005a, hlm. 190.
- ^ a b Norman 1983, hlm. 8.
- ^ Davidson 1990, hlm. 305.
- ^ Lamotte 2005b, hlm. 256.
- ^ Davidson 1990, hlm. 308.
- ^ Chakravarti, Uma. The Social Dimensions of Early Buddhism. Munshiram Manoharlal Publishers.
- ^ a b c Hecker 2006, hlm. 69.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda; Cāpālacaitya; Council, 1st.
- ^ Hinüber 2007, hlm. 235–6.
- ^ Freedman 1977, hlm. 470.
- ^ Ohnuma 2006, hlm. 867.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Cāpālacaitya.
- ^ a b Ch'en, Kenneth (1958). "The Mahāparinirvānasūtra and The First Council". Harvard Journal of Asiatic Studies. 21: 132. doi:10.2307/2718621. JSTOR 2718621.
- ^ Tsukamoto 1963, hlm. 820.
- ^ Tsukamoto 1963, hlm. 821.
- ^ Findly 1992, hlm. 254.
- ^ Freedman 1977, hlm. 487.
- ^ Bareau 1979, hlm. 70, 79–80.
- ^ Findly 1992, hlm. 268.
- ^ Harvey 2013, hlm. 88.
- ^ Gombrich, Richard (2006). How Buddhism Began: The Conditioned Genesis of the Early Teachings (Edisi 2nd). Routledge. hlm. 96–7. ISBN 978-0-415-37123-0.
- ^ Hirakawa 1993, hlm. 69.
- ^ Mukherjee 1994, hlm. 453.
- ^ Mukherjee 1994, hlm. 454–6.
- ^ MacQueen 2005, hlm. 314–5.
- ^ Mukherjee 1994, hlm. 457.
- ^ Gombrich 2018, hlm. 73.
- ^ Findly 2003, hlm. 376–7.
- ^ Kinnard, Jacob (2006). "Buddhism" (PDF). Dalam Riggs, Thomas (ed.). Worldmark Encyclopedia of Religious Practices. Thomson Gale. hlm. 62. ISBN 0-7876-6612-2. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 11 September 2018.
- ^ a b Satu atau lebih kalimat sebelum ini menyertakan teks dari suatu terbitan yang sekarang berada pada ranah publik: Rhys Davids, Thomas William (1911). . Dalam Chisholm, Hugh (ed.). Encyclopædia Britannica. Vol. 1 (Edisi 11). Cambridge University Press. hlm. 913. ;
- ^ Findly 2003, hlm. 395.
- ^ Hansen 2008, hlm. 51.
- ^ Findly 2003, hlm. 378.
- ^ Pāsādika, Bhikkhu (2004). "Ānanda" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. (ed.). Encyclopedia of Buddhism. Vol. 1. Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 17. ISBN 0-02-865719-5. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 12 September 2015.
- ^ Findly 2003, hlm. 370.
- ^ Buswell & Lopez 2013.
- ^ Clasquin 2013, hlm. 7.
- ^ Gethin 2001, hlm. 232.
- ^ Gethin 2001, hlm. 232-4.
- ^ a b Findly 2003, hlm. 375–6.
- ^ Findly 2003, hlm. 372, 390–1.
- ^ a b Shaw 2006, hlm. 115.
- ^ Swearer, Donald K. (1995). The Buddhist World of Southeast Asia. SUNY Press. hlm. 209. ISBN 978-0-7914-2459-9.
- ^ Findly 2003, hlm. 379.
- ^ Filigenzi 2006, hlm. 270–1.
- ^ Findly 1992, hlm. 261–3.
- ^ Findly 2003, hlm. 378–9.
- ^ Bareau, André (1991). "Les agissements de Devadatta selon les chapitres relatifs au schisme dans les divers Vinayapitaka". Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis). 78 (1): 92, 94–5, 107, 109–10. doi:10.3406/befeo.1991.1769.
- ^ Findly 2003, hlm. 373.
- ^ a b c Baruah 2000, hlm. 10.
- ^ a b Buswell & Lopez 2013, Madhyāntika.
- ^ Baruah 2000, hlm. 8.
- ^ a b c Strong 1994, hlm. 65.
- ^ Baruah 2000, hlm. 8, 453.
- ^ Witanachchi 1965, hlm. 534–5.
- ^ John S. Strong (2007). Relics of the Buddha. hlm. 45–46. ISBN 978-0691117645.
- ^ Ray 1994, hlm. 109.
- ^ Vogel, Jean-Philippe (1905). "Le Parinirvàna d' nanda, d'après un bas-relief gréco-bouddhique" [Ānanda's Parinirvāna, According to a Greco-Buddhist Bas-relief]. Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis). 5 (1): 418. doi:10.3406/befeo.1905.2660.
- ^ Strong 1994, hlm. 66.
- ^ Higham, Charles F. W. (2004). Encyclopedia of Ancient Asian Civilizations (PDF). Facts On File. hlm. 10. ISBN 0-8160-4640-9.
- ^ Cousins, L. S. (2005). "The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools". Dalam Skorupski, T. (ed.). The Buddhist Forum Volume II: Seminar Papers 1988–90. Routledge. hlm. 30. ISBN 978-1-135-75237-8. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 17 September 2018.
- ^ a b The Venerable Balangoda Ānanda Maitreya:. Princeton University Press. 2021-03-09. hlm. 299–313.
- ^ Yakan. Cham: Springer International Publishing. 2016. hlm. 361–361.
- ^ Baruah 2000, hlm. 11.
- ^ Baruah 2000, hlm. 8-11.
- ^ a b Buddhism : critical concepts in religious studies. Paul Williams. London: Routledge. 2005. ISBN 0-415-33226-5. OCLC 57493685. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-06-07. Diakses tanggal 2022-08-11. Pemeliharaan CS1: Lain-lain (link)
- ^ Cousins, L. S. (2005). "The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools". Dalam Skorupski, T. (ed.). The Buddhist Forum Volume II: Seminar Papers 1988–90. Routledge. hlm. 30. ISBN 978-1-135-75237-8. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 17 September 2018.
- ^ a b Paultre de Lamotte, Jacques (1988). "Fiscalité des O.P.C.V.M". Revue française d'économie. 3 (1): 81–95. doi:10.3406/rfeco.1988.1169. ISSN 0769-0479.
- ^ Holy people of the world : a cross-cultural encyclopedia. Phyllis G. Jestice. Santa Barbara, Calif.: ABC-CLIO. 2004. ISBN 1-85109-649-3. OCLC 57407318. Pemeliharaan CS1: Lain-lain (link)
- ^ Higham, Charles (2004). Encyclopedia of ancient Asian civilizations. New York: Facts On File. ISBN 0-8160-4640-9. OCLC 51978070. Diarsipkan dari asli tanggal 2008-07-15. Diakses tanggal 2022-08-11.
- ^ Collected papers on Buddhist studies. Padmanabh S. Jaini (Edisi 1st ed). Delhi: Motilal Banarsidass Publishers. 2001. ISBN 81-208-1776-1. OCLC 47208728. Pemeliharaan CS1: Lain-lain (link)
- ^ Bodhi, Bhikkhu (2013). "Early Buddhist Disciples". Dalam Johnston, William M. (ed.). Encyclopedia of Monasticism. Routledge. hlm. 389. ISBN 978-1-136-78716-4.
- ^ Findly 2003, hlm. 381.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Atthakanāgarasutta; Bhaddekarattasutta.
- ^ Norman 1983, hlm. 48.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Sekhasutta; Subhasuttanta.
- ^ Clasquin 2013, hlm. 10.
- ^ a b c Wijayaratna 1990, hlm. 153.
- ^ Clasquin 2013, hlm. 10–11.
- ^ Reynolds, Frank; Shirkey, Jeff (2006). Safra, Jacob E.; Aguilar-Cauz, Jorge (ed.). Britannica Encyclopedia of World Religions. Encyclopaedia Britannica. hlm. 47. ISBN 978-1-59339-491-2. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-10-02. Diakses tanggal 2019-09-17.
- ^ Nishijima, Gudo Wafu; Cross, Shodo (2008). Shōbōgenzō : The True Dharma-Eye Treasury (PDF). Numata Center for Buddhist Translation and Research. hlm. 32 n.119. ISBN 978-1-886439-38-2. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 2 August 2017.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Damoduoluo chan jing; Madhyāntika.
- ^ Welter, Albert (2004). "Lineage" (PDF). Dalam Buswell, Robert E. (ed.). Encyclopedia of Buddhism. Vol. 2. Macmillan Reference USA, Thomson Gale. hlm. 462–3. ISBN 0-02-865720-9. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2018-06-29. Diakses tanggal 2019-09-16.
- ^ Baruah 2000, hlm. 9, 453.
- ^ Strong 1994, hlm. 62.
- ^ Hirakawa 1993, hlm. 86.
- ^ Buswell & Lopez 2013, Er xieshi.
- ^ Edkins, Joseph (2013). Chinese Buddhism: A Volume of Sketches, Historical, Descriptive and Critical. Routledge. hlm. 42–3. ISBN 978-1-136-37881-2.
- ^ Lamotte 1988, hlm. 210.
- ^ Gyatso, Janet (2014). "Female Ordination in Buddhism: Looking into a Crystal Ball, Making a Future". Dalam Mohr, Thea; Tsedroen, Jampa (ed.). Dignity and Discipline: Reviving Full Ordination for Buddhist Nuns. Simon and Schuster. ISBN 978-0-86171-830-6.
- ^ Ambros 2016, hlm. 210–12, 214, 216–8, 245–6.
- ^ Wijayaratna 1990, hlm. 36.
- ^ Gombrich, Richard (1995). Buddhist Precept and Practice: Traditional Buddhism in the Rural Highlands of Ceylon. Routledge. hlm. 240. ISBN 978-0-7103-0444-5.
- ^ a b Gutman, Pamela; Hudson, Bob (2012). "A First-Century Stele from Sriksetra". Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient. 99 (1): 29. doi:10.3406/befeo.2012.6151.
- ^ a b Svasti, Pichaya (4 Mei 2017). "The Path to Nirvana". Bangkok Post. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 1 Oktober 2018. Diakses tanggal 24 September 2018.
- ^ a b Wagner, R. (10 August 1889) [1856]. "Sketch of Wagner's 'Die Sieger'". The Musical World. 69 (32): 531. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 1 October 2018.
- ^ "Jonathan Harvey's Wagner Dream, Opera on 3 - BBC Radio 3". BBC. May 2012. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 7 November 2015.
- ^ App 2011, hlm. 42–3.
- ^ App 2011, hlm. 33–4, 43.
- ^ App 2011, hlm. 34–5:"... und somit seine erlösenden, allen Wesen zugewendeten Weltlauf als volendet ansieht, da er auch dem Weibe—unmittelbar—die Erlösung zusprechen konnte."
- ^ Jain, R. (2016). "Tagore's Drama Synthesis of Myths, Legends and Folklores: A Medium of Social Reformation". Dialogue – A Journal Devoted to Literary Appreciation. 12 (1): 71. ISSN 0974-5556. Diarsipkan dari asli tanggal 2 Oktober 2018. Diakses tanggal 1 Oktober 2018.
- ^ Chowdurie, Tapati (27 April 2017). "Quenching Prakriti's Thirst..." The Hindu. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 1 October 2018. Diakses tanggal 24 September 2018.
Daftar Pustaka
sunting- Witanachchi, C. (1965), "Ānanda", dalam Malalasekera, G. P. (ed.), Encyclopaedia of Buddhism, vol. I, Pemerintahan Sri Lanka, OCLC 2863845613
- Thera, Nyanaponika; Hecker, Hellmuth (1997), Bodhi (ed.), Great Disciples of the Buddha: Their Lives, Their Works, Their Legacy, Wisdom Pubns, ISBN 0861711289
- Hecker, Hellmuth (2006), Ananda Penjaga Dhamma, diterjemahkan oleh Lestoro, Dhammacitta Press
- Ambros, Barbara R (27 June 2016), "A Rite of Their Own: Japanese Buddhist Nuns and the Anan kōshiki", Japanese Journal of Religious Studies, 43 (1): 207–50, doi:10.18874/jjrs.43.1.2016.207-250
- App, Urs (2011), Richard Wagner and Buddhism, UniversityMedia, ISBN 978-3-906000-00-8
- Bareau, André (1979), "III. La composition et les étapes de la formation progressive du Mahàparinirvânasûtra ancien" [3. The Composition and the Episodes of the Progressive Formation of the ancient Mahāparinirvānasūtra], Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient (dalam bahasa Prancis), 66 (1): 45–103, doi:10.3406/befeo.1979.4010
- Baruah, Bibhuti (2000), Buddhist Sects and Sectarianism (PDF), Sarup & Sons, ISBN 978-81-7625-152-5, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 14 September 2018
- Buswell, Robert E. Jr.; Lopez, Donald S. Jr. (2013), Princeton Dictionary of Buddhism (PDF), Princeton University Press, ISBN 978-0-691-15786-3, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 12 June 2018
- Clasquin, Michel (1 March 2013), "On the Death of the Charismatic Founder: Re-viewing Some Buddhist Sources", Journal for the Study of Religions and Ideologies, 12: 3–18, ISSN 1583-0039, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 8 September 2018
- Davidson, R.M. (1990), "An Introduction to the Standards of Scriptural Authenticity in Indian Buddhism" (PDF), Chinese Buddhist Apocrypha, hlm. 291–325, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 18 September 2018
- Filigenzi, Anna (2006), "Ananda and Vajrapāṇi: An Inexplicable Absence and a Mysterious Presence in Gandhāran Art" (PDF), dalam Brancaccio, Pia; Behrendt, Kurt (ed.), Gandhāran Buddhism: Archaeology, Art, and Texts, University of British Columbia Press, hlm. 270–85, ISBN 978-0-7748-1080-7, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 18 August 2018
- Findly, Ellison Banks (September 1992), "Ānanda's Hindrance: Faith (saddhā) in Early Buddhism" (PDF), Journal of Indian Philosophy, 20 (3): 253–73, doi:10.1007/BF00157758, S2CID 169332149, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 17 September 2018, diakses tanggal 17 September 2018
- Findly, Ellison Banks (2003), Dāna: Giving and Getting in Pāli Buddhism, Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 978-81-208-1956-6
- Freedman, Michael (June 1977), The Characterization of Ānanda in the Pāli Canon of the Theravāda: A Hagiographic Study (PhD thesis), McMaster University
- Gethin, Rupert (2001), The Buddhist Path to Awakening (PDF) (Edisi 2nd.), Oneworld Publications, ISBN 1-85168-285-6, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 14 September 2018, diakses tanggal 14 September 2018
- Gombrich, R. (2018), Buddhism and Pali, Mud Pie Books, ISBN 978-0-9934770-4-1
- Hansen, Anne (2008), "Modernism and Morality in Colonial Cambodia" (PDF), dalam Kent, Alexandra; Chandler, David (ed.), People of Virtue: Reconfiguring Religion, Power and Moral Order in Cambodia Today, Nordic Institute of Asian Studies, hlm. 35–61, ISBN 978-87-7694-036-2, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 24 August 2018
- Harvey, Peter (2013), An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices (PDF) (Edisi 2nd), New York: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-85942-4, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 12 June 2018
- Hinüber, O. von (5 November 2007), "The Advent of the First Nuns in Early Buddhism" (PDF), Indogaku Chibettogaku Kenkyū [Journal of Indian and Tibetan Studies], Association for the Study of Indian Philosophy: 222–37, ISSN 1342-7377, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 10 September 2018, diakses tanggal 10 September 2018
- Hirakawa, Akira (1993), A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna (PDF), Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 978-81-208-0955-0, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 11 September 2015
- Jaini, P.S. (2001), Collected Papers on Buddhist Studies (PDF), Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 81-208-1776-1, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 2022-10-09
- Keown, Damien (2004), A Dictionary of Buddhism, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-157917-2
- Lamotte, Etienne (1988) [1958], Histoire du Bouddhisme Indien, des origines a l'ere Saka [History of Indian Buddhism: From the Origins to the Śaka Era] (PDF) (dalam bahasa Prancis), Université catholique de Louvain, Institut orientaliste, ISBN 90-683-1-100-X, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 15 February 2015
- Lamotte, Étienne (2005a) [1984], "The Assessment of Textual Authenticity in Buddhism" (PDF), dalam Williams, Paul (ed.), Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies, 1: Early History in South and Southeast Asia, Routledge, hlm. 188–198, ISBN 0-415-33227-3, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal October 20, 2015
- Lamotte, Étienne (2005b) [1960]. "Mañjuśrī" (PDF). Dalam Williams, Paul (ed.). Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies, 3: The Origins and Nature of Mahāyāna Buddhism. Routledge. ISBN 0-415-33229-X. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal October 20, 2015.
- Lopez, Donald S. Jr. (2017), Hyecho's Journey: The World of Buddhism, University of Chicago Press, ISBN 978-0-226-51806-0
- MacQueen, Graeme (2005) [1981–2], "Inspired Speech in Early Mahāyāna Buddhism" (PDF), dalam Williams, Paul (ed.), Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies, 3: The Origins and Nature of Mahāyāna Buddhism, Routledge, hlm. 312–43, ISBN 0-415-33229-X, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal October 20, 2015
- Malalasekera, G.P. (1960), Dictionary of Pāli Proper Names, vol. 1, Pali Text Society, OCLC 793535195
- Mukherjee, B. (1994), "The Riddle of the First Buddhist Council – A Retrospection", Chung-Hwa Buddhist Journal, 7: 452–73, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 17 September 2018
- Norman, K. R. (1983), Pāli Literature: Including the Canonical Literature in Prakrit and Sanskrit of all the Hīnayāna Schools of Buddhism (PDF), Harrassowitz, hlm. 8, ISBN 3-447-02285-X, diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 2022-10-09
- Ohnuma, Reiko (December 2006), "Debt to the Mother: A Neglected Aspect of the Founding of the Buddhist Nuns' Order", Journal of the American Academy of Religion, 74 (4): 861–901, doi:10.1093/jaarel/lfl026
- Olson, Carl (2005), The Different Paths of Buddhism: A Narrative-Historical Introduction, Rutgers University Press, ISBN 978-0-8135-3778-8
- Powers, John (2007), Introduction to Tibetan Buddhism, Shambhala Publications, ISBN 978-1-55939-835-0
- Prebish, Charles S. (2005) [1974], "Review of Scholarship on Buddhist Councils" (PDF), dalam Williams, Paul (ed.), Buddhism: Critical Concepts in Religious Studies, 1: Early History in South and Southeast Asia, Routledge, hlm. 224–43, ISBN 0-415-33227-3, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal October 20, 2015
- Ray, R.A. (1994), Buddhist Saints in India: A Study in Buddhist Values and Orientations (PDF), Oxford University Press, ISBN 0-19-507202-2, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 17 September 2018
- Shaw, Sarah (2006), Buddhist Meditation: An Anthology of Texts from the Pāli Canon (PDF), Routledge, ISBN 978-0-415-35918-4, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 11 September 2018
- Strong, John S. (1994), The Legend and Cult of Upagupta: Sanskrit Buddhism in North India and Southeast Asia, Motilal Banarsidass Publishers, ISBN 978-81-208-1154-6
- Tsukamoto, K. (1963), "Mahākaśyapa's Precedence to Ānanda in the Rājagṛha Council", Indogaku Bukkyogaku Kenkyu [Journal of Indian and Buddhist Studies], 11 (2): 824–817[sic], doi:10.4259/ibk.11.824, diarsipkan dari versi aslinya tanggal 21 September 2018
- Wijayaratna, Mohan (1990), Buddhist Monastic Life: According to the Texts of the Theravāda Tradition (PDF), Cambridge University Press, ISBN 0-521-36428-0, diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 20 September 2018, diakses tanggal 17 September 2018
Pranala luar
sunting- Kannakatthala Sutta, Pusat Meditasi Vipassana Graha Diarsipkan 10 Mei 2011 di Wayback Machine.