Sumber hukum Islam

artikel daftar Wikimedia
(Dialihkan dari Sumber-sumber hukum Islam)

Sejumlah sumber hukum Islam telah digunakan dalam fikih Islam untuk mengelaborasi sistem hukum Islam.[1] Dalam Sunni, kitab suci Al-Qur'an, yang diyakini oleh umat Islam sebagai firman Allah yang langsung dan tidak berubah, serta Sunnah, yang merupakan perkataan dan perbuatan dari nabi Islam Muhammad dalam literatur hadis, merupakan sumber hukum utama. Dalam Syi'ah, sunnah juga diperluas dengan menambahkan tradisi yang pernah dilakukan imam.[1]

Tidak semua materi yang ada dalam dalam kitab Islam mampu menjawab secara langsung seluruh pertanyaan atas perkara-perkara baru yang muncul di tengah umat. Oleh karena itu, para fakih mengembangkan metode tambahan untuk mendapatkan keputusan hukum.[1] Menurut mazhab-mazhab fikih Sunni, sumber sekunder hukum Islam adalah ijmak; qiyas; mencari kemaslahatan umum; istihsan; fatwa; keputusan yang diambil oleh generasi pertama umat Islam; dan urf (adat).[2] Mazhab Hanafi lebih sering mengandalkan analogi dan penalaran independen, sementara Maliki dan Hambali menggunakan nash hadis. Mazhab Syafi'i menyeimbangkan hadis dan analogi.[1][3] Di kalangan Syi'ah, fikih mazhab Ja'fari Ushuli menggunakan empat sumber, yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, ijmak, dan akal. Mereka menggunakan ijmak dalam kondisi khusus dan mengandalkan akal untuk menemukan prinsip-prinsip umum berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menggunakan ushul fikih sebagai metodologi untuk menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam keadaan yang berbeda. Mazhab Ja'fari Akhbari lebih mengandalkan sumber kitab suci dan menolak ijtihad.[1][4] Menurut Momen, meskipun ushul fikih Syiah dan empat mazhab Sunni memiliki perbedaan yang cukup besar, ada sedikit perbedaan furu' pada ritual dan kehidupan sosial.[5]

Sumber primer

sunting

Al-Qur'an

sunting
 
Al-Qur'an, salah satu sumber utama Syariat.

Al-Qur'an adalah sumber hukum paling utama dan tertinggi dalam Islam. Al-Qur'an diyakini sebagai wahyu Allah (Tuhan) kepada Muhammad melalui malaikat Jibril di Makkah dan Madinah. Kitab suci tersebut menetapkan landasan moral, filosofis, sosial, politik, dan ekonomi tempat suatu masyarakat harus dibangun. Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah berkaitan dengan masalah filosofis dan akidah, sedangkan yang diturunkan di Madinah berkaitan dengan hukum-hukum praktis. Ayat-ayat Al-Qur'an dikumpulkan semasa hidup Muhammad, dan dibukukan segera setelah kematiannya.[6]

Terdapat tiga bidang utama yang dibahas dalam Al-Qur'an: "akidah (teologi)", "akhlak (etika)", dan "aturan dalam bertingkah laku". Yang nomor tiga ini berkaitan langsung dengan perkara hukum Islam yang memuat sekitar lima ratus ayat, atau sepertiga belas bagian Al-Qur'an. Banyaknya tafsir Al-Qur'an menyebabkan munculnya banyak pendapat dan keputusan. Penafsiran ayat-ayat oleh sahabat Muhammad untuk Sunni dan oleh Imam untuk Syiah dianggap paling shahih, karena mereka tahu alasan, tempat, dan waktu turunnya ayat-ayat tersebut.[1][6]

Sunnah

sunting

Sunnah adalah sumber primer kedua, serta didefinisikan sebagai "kebiasaan Muhammad" serta "perkataan, perbuatan, dan pemikirannya". Sunnah meliputi perkataan dan ucapan sehari-hari, tindakan, persetujuan, pengakuan atas pernyataan, serta kegiatan sehari-hari Muhammad. Menurut fakih Syiah, sunnah juga mencakup perkataan, perbuatan, dan pengakuan dari Dua Belas Imam dan Fatimah, putri Muhammad, yang diyakini maksum.[1][7]

Pembenaran atas penggunaan sunnah sebagai sumber hukum ada dalam Al-Qur'an, karena dalam Al-Qur'an terdapat perintah untuk mengikuti Sunnah Nabi.[8] Muhammad menegaskan bahwa Kitab dan Sunnah harus diikuti setelah kematiannya.[9] Mayoritas umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan tambahan penting serta penjelasan Al-Qur'an. Dalam fikih, Al-Qur'an memuat perintah dan larangan, tetapi jarang ayat-ayat Al-Qur'an yang banyak membahas masalah agama dan praktik peribadatan. Oleh karena itu, mereka diharapkan mengikuti sunnah Muhammad dan para sahabatnya untuk menemukan apa yang harus ditiru dan apa yang harus dihindari.

Sunnah banyak dicatat dalam riwayat hadis. Pada saat Muhammad masih hidup, ia melarang sahabatnya untuk menuliskan ungkapan atau mencatat perbuatannya, agar tidak tertukar dengan Al-Qur'an. Ia meminta para pengikutnya untuk menyebarkan perkataannya secara lisan. Selama masih hidup, segala keragu-raguan dapat dipastikan benar atau salah cukup dengan bertanya kepada Nabi. Namun, setelah Muhammad wafat, maka muncullah kebingungan tentang bagaimana perilaku Muhammad harus dipraktikkan umat. Dengan demikian hadis mulai dikumpulkan.[7] Terkait kesahihannya, ulum hadis mulai dikembangkan. Ulum hadis adalah metode kritik tekstual yang dikembangkan oleh ulama generasi awal dalam menentukan kesahihan riwayat yang dikaitkan dengan Muhammad. Caranya adalah dengan menganalisis teks riwayat, jalur periwayatan, skala transmisi riwayat, serta orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Atas dasar kriteria tersebut, berbagai klasifikasi hadis berkembang.[10]

Untuk menetapkan kesahihan hadis atau riwayat, harus diperiksa dengan mengikuti sanad. Jadi, para perawi harus mengutip rujukan mereka, sampai ke Muhammad. Semua referensi dalam sanad harus memiliki reputasi dan memiliki ingatan yang kuat.[7] Oleh karena itu, llmu rijal, sebuah ilmu tentang perincian identitas perawi, harus dicermati. Misalnya, harus menganalisis tanggal dan tempat lahir mereka; hubungan keluarga; sanad keilmuan; keimanan dan ketakwaan; akhlak; kemampuan berbahasa; riwayat perjalanan; serta tanggal kematian. Berdasarkan kriteria ini, keandalan (tsiqah) dari perawi dinilai. Juga ditentukan apakah individu tersebut benar-benar dapat meriwayatkannya, yang disimpulkan dari kesezamanan dan kedekatan geografis mereka dengan perawi lain dalam sanad tersebut.[11] Contoh kitab biografi perawi misalnya, " Tahdzīb at-Tahdzīb" karya Ibnu Hajar al-'Asqalani atau "Tadzkirat al-huffāz" karya adz-Dzahabi.[12]

Hadits diklasifikasikan menjadi tiga kategori, menggunakan kriteria berikut: [7]

  1. Sudah tidak diragukan lagi karena dikenal luas dan didukung banyak perawi (mutawatir).
  2. Dikenal tetapi didukung sedikit perawi (masyhur).
  3. Didukung perawi yang sedikit dengan sanad yang sering terputus (wahid).

Dalam sistem peradilan Syariah, seorang qadi (hakim) akan mengadili kasus, termasuk saksi dan barang bukti. kemudian membuat keputusan. Terkadang qadi berkonsultasi dengan seorang mufti atau ahli hukum, untuk meminta pendapat.

Sumber sekunder

sunting

Seluruh fukaha Muslim abad pertengahan menolak pendapat yang sewenang-wenang, dan mengembangkan berbagai sumber sekunder, yang juga dikenal sebagai prinsip hukum atau doktrin, jika sumber primer (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah) tidak membahas masalah baru di kalangan umat.[13]

Ijmak, yang disebut juga konsensus di antara fukahatentang masalah hukum tertentu, adalah sumber hukum Islam yang ketiga. Para fakih juga menunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang membolehkan ijmak sebagai sumber hukum Islam.[14][15] Muhammad bersabda:

  • "Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan",
  • "'Tangan' Allah bersama al-Jama'ah".[14] [16]

Dalam sejarah, ijmak menjadi faktor penting dalam mendefinisikan makna dari sumber-sumber lain dan dengan demikian merumuskan doktrin dan praktik komunitas Muslim.[17] Hal ini karena ijmak merupakan kesepakatan bulat umat Islam atas suatu peraturan atau hukum pada suatu waktu tertentu.[18]

Ada berbagai pandangan tentang ijmak di kalangan umat Islam. Para ahli hukum Sunni menganggap ijmak sebagai sumber hukum, sama pentingnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan tetapi, fukaha Syi'ah menganggap ijmak sebagai sumber penting sekunder, dan sumber yang tidak bebas dari kekeliruan, tidak seperti Al-Qur'an dan Sunnah.[19] Ijmak selalu digunakan untuk merujuk pada kesepakatan baik jangka pendek maupun jangka panjang.[17] Para ulama Sunni maupun Syiah memiliki pandangan tentang siapa yang berhak mengikuti ijmak, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Mazhab Pembentukan ijmak Alasan
Hanafi melalui persetujuan fukaha fukaha adalah ahli dalam masalah hukum
Syafi'i melalui kesepakatan umat dan masyarakat orang tidak dapat menyetujui sesuatu yang keliru
Maliki mengikuti kesepakatan penduduk Madinah Mengikuti tradisi Islam: "Madinah mengusir orang jahat ibarat tungku mengeluarkan pengotor dari besi"
Hambali mengikuti praktik para Sahabat Muhammad mereka paling berpengetahuan tentang masalah agama dan dibimbing dengan benar
Ushuli mengikuti kesepakatan ulama yang hidup sezaman dengan Nabi atau para Imam Syiah yang mengikat mufakat tidak benar-benar mengikat dalam haknya sendiri, melainkan mengikat sebanyak itu merupakan sarana untuk menemukan Sunnah.
Sumber:[1][19]

Pada era modern, ijmak tidak lagi dikaitkan dengan otoritas tradisional serta telah muncul sebagai lembaga demokrasi dan reformasi.[17]

Kias (Qiyas)

sunting

Qiyas, kias, atau penalaran analogis merupakan sumber hukum keempat bagi mayoritas fikih Sunni. Hal ini bertujuan untuk menarik analogi dengan keputusan yang diterima sebelumnya. Syiah tidak menerima qiyas, tetapi menggantinya dengan penggunaan akal; di kalangan Sunni, mazhab Hanbali secara tradisional enggan menerima penggunaan akal sementara Zhahiri sama sekali tidak menerimanya. Qiyas dalam Islam adalah proses penalaran suatu hukum menurut fukaha, yang dihadapkan pada kasus yang belum pernah ada sebelumnya, mendasarkan argumentasi pada logika dalam nash Al-Qur'an dan Sunnah. Qiyas yang baik tidak boleh didasarkan pada penilaian yang sewenang-wenang, melainkan berakar dari sumber primer tersebut.[20]

Para pendukung qiyas sering merujuk pada ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menggambarkan penerapan kegiatan atau perihal yang serupa oleh umat Muslim masa lampau. Menurut mereka, Muhammad bersabda, "Jika tidak ada perintah yang diwahyukan, aku akan menilai di antara kamu menurut akal."[21] Selanjutnya, mereka mengeklaim bahwa dia memberikan hak penalaran kepada orang lain. Pada akhirnya, mereka mengeklaim praktik tersebut disetujui oleh ijmak, atau mufakat, di antara sahabat Muhammad.[20] Sarjana studi Islam Bernard G. Weiss telah menunjukkan bahwa meski qiyas diterima sebagai sumber hukum keempat oleh generasi selanjutnya, keabsahannya bukanlah kesimpulan sebelumnya di antara para fukaha Muslim awal.[22] Dengan demikian masalah penalaran analogis dan keabsahannya merupakan masalah yang kontroversial sejak awal, meskipun praktik tersebut akhirnya diterima oleh mayoritas fukaha Sunni.

Keberhasilan dan penyebaran Islam membawanya ke dalam kontak dengan berbagai budaya, masyarakat, dan tradisi, seperti Bizantium dan Persia. Dengan kontak seperti itu, muncul masalah baru yang harus diatasi oleh hukum Islam. Selain itu, ada jarak yang signifikan antara Madinah, ibu kota Islam, dan umat Islam di pinggiran negara Islam. Sejauh ini fukaha harus menemukan solusi Islam baru tanpa pengawasan ketat dari pusat hukum Islam (di Madinah). Pada masa Dinasti Umayyah, konsep qiyas disalahgunakan oleh para penguasa. Bani Abbasiyah, yang menggantikan Bani Umayyah, mendefinisikannya dengan lebih ketat, dalam upaya untuk menerapkannya secara lebih konsisten.[20]

Prinsip utama di balik proses qiyas didasarkan pada pemahaman bahwa setiap keputusan hukum menjamin tujuan yang bermanfaat tanpa merugikan masyarakat. Jadi, jika sebab suatu perintah dapat disimpulkan dari sumber primer, maka deduksi analogis dapat diterapkan pada kasus-kasus dengan sebab-sebab yang serupa. Misalnya, minuman anggur haram karena merupakan khamr yang memabukkan. Dengan demikian qiyas mengarah pada kesimpulan bahwa segala yang memabukkan itu haram.[20]

Mazhab Hanafi mendukung qiyas. Imam Abu Hanifah, seorang praktisi qiyas yang penting, mengangkat qiyas ke posisi yang sangat penting dalam hukum Islam. Abu Hanifah memperluas prinsip kaku yang mendasarkan putusan pada Al-Qur'an dan Sunnah untuk memasukkan pendapat serta kebebasan berpikir oleh fukaha. Untuk menanggapi masalah yang muncul, dia mendasarkan penilaiannya, seperti fukaha lainnya, pada makna eksplisit sumber-sumber primer (Al-Qur'an dan sunnah). Akan tetapi, ia tetap mempertimbangkan “ruh” ajaran Islam, serta apakah putusan itu akan sesuai dengan tujuan Islam. Keputusan tersebut mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan umat.[20]

Pengetahuan kita adalah sebuah pendapat, itulah hal terbaik yang bisa kita capai. Apa pun yang menghasilkan kesimpulan berbeda berhak atas pendapatnya sendiri, sebagaimana kita berhak atas pendapat kita.

Mazhab Syafi'i menerima qiyas sebagai sumber hukum yang sah. Meski Imam Syafi'i, menganggapnya sebagai sumber hukum yang lemah, ia membatasi qiyas pada kasus-kasus yang memang memerlukan qiyas. Ia mengkritisi dan menolak deduksi analogis yang tidak berakar kuat pada al-Qur'an dan sunnah. Menurut Syafi'i, jika qiyas tidak didasarkan pada sumber primer, dampaknya sangat berbahaya. Salah satu konsekuensi tersebut bisa berupa berbagai putusan yang berbeda dalam subjek yang sama. Situasi seperti itu, menurutnya, akan merusak prediktabilitas dan keseragaman sistem hukum yang sehat. [23]

Imam Malik menerima qiyas sebagai sumber hukum yang sah. Menurut Malik, jika hukum dalam sumber-sumber primer efektif digunakan untuk menangani suatu kasus baru, maka qiyas dapat menjadi alat yang cocok. Malik, mencoba melewati kepatuhannya pada "analogi ketat" dan mengusulkan pernyataan berdasarkan sesuatu yang dianggap oleh para fakih sebagai "kepentingan publik".[23]

Istihsan

sunting

Abu Hanifah mengembangkan sumber baru yang dikenal sebagai istihsan.[24] Istihsan didefinisikan sebagai:

  • Upaya untuk mencari kemudahan dan kenyamanan,
  • Upaya untuk mengadopsi toleransi dan moderasi,
  • Upaya untuk mengesampingkan alasan analogis, jika perlu.[25]

Diilhami dari prinsip nurani, sumber-sumber semacam ini merupakan upaya terakhir jika tidak ada sumber yang diterima oleh masyarakat untuk menangani suatu masalah. Hal ini diharapkan akan memberi kepuasan pada keputusan, menghilangkan kesulitan, serta membawa kemudahan bagi umat.[23] Istihsan dibenarkan langsung oleh ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."[25] Meskipun pengikut utamanya adalah Abu Hanifah dan murid-muridnya (seperti Abu Yusuf), Malik dan murid-muridnya memanfaatkannya sampai taraf tertentu. Sumber tersebut menjadi sasaran diskusi dan argumentasi yang luas,[26] dan lawan-lawannya mengeklaim bahwa itu sering menyimpang dari sumber-sumber primer. [23]

Doktrin ini berguna di dunia Islam luar Timur Tengah tempat umat Muslim menghadapi lingkungan dan tantangan yang tidak sama dengan yang di Arab.[24] Contoh istihsan misalnya: Jika sebuah sumur tercemar najis, maka tidak boleh digunakan untuk taharah. Istihsan menganggap bahwa menimba sedikit air dari sumur dapat menghilangkan kotoran. Qiyas menganggap bahwa meski mengambil sedikit saja air, konsentrasi kecil najis akan selalu tetap berada di dalam sumur (atau dinding sumur) sehingga membuat sumur tetap najis. Jika qiyas digunakan berarti masyarakat tidak boleh menggunakan sumur, tetapi justru menjadi kesulitan. Dengan demikian istihsan diterapkan, dan masyarakat dapat mengambil sebagian air dari sumur untuk taharah.[25]

Istislah

sunting

Imam Malik bin Anas mengembangkan sumber tersier yang disebut al-maslahah al-mursalah, yang berarti mengutamakan kepentingan masyarakat umum. Menurut sumber hukum Islam ini, pernyataan dapat diputuskan sesuai dengan “pemaknaan teks wahyu untuk kepentingan umum”. Dalam hal ini, ulama menggunakan kebijaksanaannya untuk kepentingan umum. Sumber ini ditolak oleh mazhab fikih Sunni yang lain seperti Syafi'i, Hambali, dan Zhahiri.[23]

Istidlal

sunting

Imam Syafi'i menyetujui suatu kasus ketika ia harus lebih fleksibel dalam menetapkan qisas. Mirip dengan Abu Hanifah dan Malik, ia mengembangkan sumber hukum tersier. Mazhab Syafi'i menggunakan metode istidlal atau penyimpulan, untuk mencari petunjuk serta sumbernya. Penarikan penyimpulan memungkinkan para fakih untuk menghindari analogi yang ketat dalam kasus ketika tidak ada preseden yang jelas Dalam hal ini, kepentingan umum dibedakan sebagai dasar legislasi.[23]

Ulama membagi istidlal menjadi tiga jenis. Pertama, ekspresi hubungan yang ada antara satu proposisi dan proposisi lainnya tanpa sebab efektif yang spesifik. Kedua, istidlal bisa berarti anggapan keadaan, yang tidak terbukti telah berhenti, masih berlanjut. Jenis istidlal yang terakhir adalah ketetapan hukum yang diwahyukan sebelum Islam.[27]

Ijtihad

sunting

Fakih Syiah berpendapat bahwa jika solusi tidak dapat ditemukan dalam sumber primer, akal harus dikerahkan untuk menyimpulkan segala hal berdasarkan sumber primer. Penggunaan akal oleh fakih untuk untuk menetapkan sebuah keputusan, bila sudah diterapkan disebut ijtihad (secara harfiah berarti "mengerahkan diri"). Para fakih Syiah berpendapat bahwa qiyas adalah jenis ijtihad yang khusus. Akan tetapi, mazhab Sunni Syafi' berpendapat bahwa qiyas dan ijtihad adalah sama. [28]

Para fakih Sunni menerima ijtihad sebagai mekanisme untuk menyimpulkan keputusan. Akan tetapi, mereka mengumumkan penghentian praktiknya selama abad ke-13. Alasannya, pusat-pusat pembelajaran Islam (seperti Baghdad, Nishapur, dan Bukhara) telah jatuh ke tangan bangsa Mongol. Dengan demikian, "keran ijtihad" akhirnya ditutup.[28] Dalam Sunni, ijtihad digantikan dengan taklid atau penerimaan doktrin yang dikembangkan sebelumnya.[29] Belakangan dalam sejarah Sunni, ada contoh-contoh penting dari para ahli hukum yang menggunakan akal untuk menetapkan sebuah hukum dari sumber-sumber primer. Salah satunya adalah Ibnu Taimiyyah (w. 728/1328), juga Ibnu Rusyd (Averroes w. 595/1198).[29]

Terdapat pembenaran dalam Al-Qur'an dan Sunnah untuk menyelenggarakan ijtihad. Misalnya, selama percakapan dengan Mu'adz bin Jabal, Muhammad bertanya kepada Mu'adz bagaimana dia akan menilai sesuatu. Mu'adz menjawab bahwa ia akan merujuk dahulu ke Al-Qur'an, kemudian ke Sunnah dan akhirnya melakukan ijtihad untuk membuat penilaian. Muhammad setuju.[30]

Orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad disebut mujtahid. Para pendiri mazhab dianggap sebagai mujtahid semacam itu. Para mujtahid juga merangkap sebagai mufti dan bisa mengeluarkan fatwa. Beberapa mujtahid mengaku sebagai mujadid, atau "pembaharu agama". Orang-orang seperti itu diperkirakan muncul di setiap abad. Dalam Syiah mereka dianggap sebagai juru bicara dari Imam yang bersembunyi.[29]

Adat istiadat

sunting

Urf adalah kebiasaan dan praktik masyarakat tertentu. Meskipun ini tidak secara formal termasuk dalam hukum Islam,[31] Syariat mengakui kebiasaan yang berlaku pada masa Muhammad yang tidak dihapus dengan turunnya Al-Qur'an. Praktik-praktik yang kemudian diubah juga dibenarkan, karena tradisi Islam mengatakan apa yang orang pada umumnya anggap baik juga dianggap baik oleh Allah. Menurut beberapa sumber, urf memegang otoritas setara ijmak, dan lebih dari qiyas. Urf adalah padanan Islam untuk "hukum umum".[32]

Urf mulai diakui oleh Abū Yūsuf (w. 182/798), pemimpin awal mazhab Hanafi. Namun, hukum tersebut dianggap sebagai tradisi dan bukan sebagai sumber hukum formal. Belakangan, as-Sarakhsi (w. 483/1090) menentangnya bahwa adat tidak dapat mengalahkan nash.[31]

Menurut fikih Sunni, dalam penerapan adat istiadat, adat sebagai sumber hukum harus berlaku umum di suatu daerah, bukan hanya di daerah lainnya yang terisolasi. Jika memang bertentangan dengan nash, maka harus dihapus. Akan tetapi, jika bertentangan dengan qiyas, maka diutamakan. Para fukaha umumnya waspada dalam memberi keputusan karena mereka lebih mengutamakan kebiasaan yang telah hidup di masyarakat daripada pendapat doktoral dari para ulama.[32] Ulama Syi'ah tidak menganggap adat sebagai sumber hukum, begitu pula mazhab Hanbali atau Zhahiri dari Sunni.

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ a b c d e f g h Mutahhari, Morteza. "Jurisprudence and its Principles". Tahrike Tarsile Qur'an. Diakses tanggal 2008-07-26. 
  2. ^ "Shari'ah and Fiqh". USC-MSA Compendium of Muslim Texts. University of Southern California. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2008. Diakses tanggal 2008-07-26. 
  3. ^ Motahhari, Morteza. "The Role of Ijtihad in Legislation". Al-Tawhid. Diakses tanggal 2008-07-26. 
  4. ^ Momen (1985), pp. 185–187 and 223–234
  5. ^ Momen (1985), p. 188
  6. ^ a b Nomani and Rahnema (1994), pp. 3–4
  7. ^ a b c d Nomani and Rahnema (1994), pp. 4–7
  8. ^ [Qur'an Al-Hasyr:7]
  9. ^ Qadri (1986), p. 191
  10. ^ "Hadith", Encyclopedia of Islam.
  11. ^ Berg (2000) p. 8
  12. ^ See:
  13. ^ Makdisi, John (1985). "Legal Logic and Equity in Islamic Law", The American Journal of Comparative Law, 33 (1): 63–92
  14. ^ a b Mahmasani, S. Falsafe-e Ghanoongozari dar Eslam. Tehran: Amir Kabir. p. 143
  15. ^ Verses Qur'an Al-Baqarah:143, Qur'an Ali Imran:103, Qur'an Ali Imran:110, Qur'an An-Nisa’:59, Qur'an An-Nisa’:115 and Qur'an At-Taubah:119 are presented by Mahmasani.
  16. ^ Muslehuddin, M. Philosophy of Islamic Law and the Orientalists. New Delhi: Taj printers, 1986. p. 146
  17. ^ a b c Encyclopædia Britannica, Ijma.
  18. ^ "Id̲j̲māʿ", Encyclopaedia of Islam
  19. ^ a b Nomani and Rahnema (1994), pp. 7–9
  20. ^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), pp. 9–12
  21. ^ Mahmasani, S. Falsafe-e Ghanoongozari dar Eslam. Tehran: Amir Kabir. p. 140
  22. ^ Bernard G. Weiss, The Search for God's Law: Islamic Jurisprudence in the Writings of Sayf al-Din al-Amidi, p. 633. Salt Lake City: University of Utah Press, 1992.
  23. ^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), pp. 13–15
  24. ^ a b Encyclopædia Britannica, Istihsan
  25. ^ a b c Hasan (2004), pp. 157–160
  26. ^ Hallaq, "Considerations on the Function and Character of Sunnī Legal Theory".
  27. ^ Hodkinson, Keith. Muslim Family Law: A Sourcebook. India: Routledge, 1984.
  28. ^ a b Nomani and Rahnema (1994), pp. 15–16
  29. ^ a b c Ijtihad, Encyclopaedia of Islam
  30. ^ ʻAlwānī (1973), p. 9
  31. ^ a b "Urf", Encyclopaedia of Islam
  32. ^ a b Hasan (2004), pp. 169–71

Referensi

sunting

Ensiklopedia

sunting
  • The New Encyclopædia Britannica (edisi ke-Rev). Encyclopædia Britannica, Incorporated. 2005. ISBN 978-1-59339-236-9. 
  • Libson, G.; Stewart, F.H. "ʿUrf." Encyclopaedia of Islam. Edited by: P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Brill, 2008. Brill Online. 10 April 2008

Bacaan lebih lanjut

sunting

Pranala luar

sunting

Sunni

Syiah