Tafsir

penjelasan dari perkataan di hadits

Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, seperti yang bisa dipahami dari Qs.Al-Furqan: 33. Ucapan yang telah ditafsirkan berarti ucapan yang tegas dan jelas.

Cara Penafsiran sunting

Dalam menafsirkan Al-Quran, Ibnu Taimiyyah memberikan beberapa tahap yang dikutip Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya. Pertama ayat dengan ayat, kalau meragu akan makna suatu ayat, sambungkan dengan ayat lainnya. Buya Hamka mengambil contoh Surat Thaha ayat 67 dan merincikannya dengan Surat al-A'raf ayat 116 sehingga, ayat yang mujmal (atau umum) dirincikan dengan ayat lain yang mufashshal (atau merinci).[1] Setelah itu, ayat tersebut ditafsirkan dengan Sunnah, lalu dengan tafsir para sahabat. Jika tidak ditemukan dalam keduanya maka digunakan pendapat tabiin —itupun harus dengan disaring dulu, dicari mana yang paling dekat dengan Quran dan Sunnah.[1]

Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, dalam menafsirkan al-Quran, maka yang utama adalah berdasar kepada Sunnah, yakni segala perkataan (aqwal) maupun perbuatan (af'al) Rasulullah dan perbuatan orang lain —yakni sahabat-sahabatnya RA— yang disetujui oleh beliau. Karena itulah seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan berlawanan kepada Sunnah.[2] Karena itu, orang yang menafsir Quran dengan ayat-ayat hukum tak berpedoman kepada Sunnah Rasul, maka dia tidak berpedoman kepada syariat. Tidak bisa berdasar kepada kehendaknya sendiri. Menurutnya, ini dikecualikan untuk nash Quran yang tak perlu tafsiran, karena sudah sangat jelas, tapi bertemu hadits ahad yang bukan hadits masyhur, sedang isinya berlawanan dengan nash yang jelas dari Quran.[2]

Di luar itu, ada pula penafsiran dengan akal, yang menurut ulama Zamakhsyari tidaklah mengapa menafsir dengan akal yang sehat. Menafsir dengan begini juga diikuti oleh Al-Ghazali, yang menurutnya adanya penafsiran yang berlain-lainan antara tabiin dan sahabat juga menjadi indikasi adanya penafsiran dengan ra'yi atau pemikiran. Karena itu menurutnya, menafsirkan al-Quran tidak boleh semata akal, dan tidak bisa pula hanya mengandalkan naqal atau dalil saja.[3]

Karena itulah, al-Qashthalani, ulama pensyarah Shahih Bukhari menyatakan boleh saja menafsir Quran dengan pendapat yang baru dengab syarat sesuai ketentuan bahasa Arab, dan tidak melawan pokok-pokok dasar ajaran agama.[3] Karena itu, ia menyebut 4 syarat supaya tafsir dengan akal diterima:[3]

  • mengerti bahasa Arab
  • tidak menyalahi dasar dari Sunnah Nabi Muhammad
  • tidak berkeras pandangan mempertahankan suatu mazhab, lalu dibelokkanlah maksud ayatnya supaya sesuai mazhabnya
  • ahli dalam bahasa tempat dia menafsir.

Makna sunting

Tafsir secara akar kata berasal dari kata ف-س-ر (fa-sa-ra) atau فَسَّرَ (fassara) yang bermakna بَيَنَ bayana (menjelaskan), dan وضَّحَ waddhaha (menerangkan). Dari sisi istilah, ada dua definisi:[4]

  • menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya adalah, "Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul, dan nasikh mansukh.
  • Adapun menurut Az-Zarqani, "Tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur'an dengan menyingkap maknanya (dilalah), dengan maksud yang diinginkan Allah SWT, sebatas kemampuan manusia." Definisi ini lebih ringkas daripada definisi di atas.

Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada nabi ﷺ, berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata.

Pembagian Tafsir sunting

Tafsir dapat dibagi menjadi dua jenis:

Tafsir riwayat sunting

Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran.

Tafsir dirayah sunting

Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat.

Tafsir dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda nabi:

"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan dirinya di neraka, dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran dengan ra'yunya (nalar) maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka." (HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)

"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan." (HR. Abi Dawud dari Jundab).

Hadis-hadis di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu atau sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran.

Mufassir sunting

Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan sebuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip. Para mufassir di Indonesia di antaranya adalah : Hamka dengan karyanya Tafsir Al-Azhar sebanyak 9 jilid, Muhammad Quraish Shihab dengan karyanya Tafsir Al-Misbah sebanyak 15 jilid dan Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan [5] dengan karyanya Tafsir Midadurrahman sebanyak 115 jilid dan menjadi mufassir yang mendapatkan penghargaan MURI sebagai Penulis tafsir terpanjang dan tertebal di seluruh dunia.[6]

Haluan-haluan penafsiran sunting

Di antara penafsir Quran, ada Imam az-Zamakhsyari, dia punya "Tafsir al-Kasysyaf" yang bercorak Mu'tazilah.[7] Imam ar-Razi juga punya tafsir Quran yang mempertahankan mazhab Syafii.[7] Al-Alusi, pengarang Ruhul Ma'ani membawa mazhab Hanafi.[7]

Referensi sunting

  1. ^ a b Hamka (1967), hlm.30 – 32.
  2. ^ a b Hamka (1967), hlm.21 – 22.
  3. ^ a b c Hamka (1967), hlm.34 – 35.
  4. ^ Fath, Amir Faishol "Pemikiran Moderat dalam Tafsir al-Qur'an" hlm. 42 – 70 dalam Ismail, Ahmad Satori [et al.] (2012). Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan lil-'Alamin. Jakarta:Pustaka IKADI. ISBN 978-979-15486-1-6.
  5. ^ Internasional, Asyraf. "Tentang Profil Shohibul Faroji". 
  6. ^ MURI, Tafsir Midadurrahman. "Tentang Tafsir Midadurrahman". 
  7. ^ a b c Hamka (1967), hlm.35 – 36

Kepustakaan

Pranala luar sunting