Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang atau Kerajaan Pajang Aksara Jawa :ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ (كسلطانن ڤاجڠ) adalah sebuah kesultanan yang berpusat di Jawa Tengah. Kompleks kesultanannya, pada masa ini tinggal tersisa berupa batas-batas pondasi yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.[1]
Kesultanan Pajang ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ
كسلطانن ڤاجڠ | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
15541–1587 | |||||||||||
Ibu kota | Pajang | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa | ||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||
Pemerintahan | Kerajaan | ||||||||||
Sultan | |||||||||||
• 1554-15831 | Hadiwijaya | ||||||||||
• 1583-1586 | Awantipura | ||||||||||
• 1586-1587 | Prabuwijaya | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Adiwijaya naik takhta | 1554 | ||||||||||
• Sunan Prapen menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya dengan para Adipati Jawa Timur | 1568 | ||||||||||
• Perpindahan kekuasaan ke Mataram | 1587 | ||||||||||
| |||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Bengawan dan Pajang
suntingMasyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat berperadaban tinggi. Di antara bukti penting tingginya peradaban masyarakat Nusantara, adalah keberadaan Prasasti. Baik dalam bentuk lempeng tembaga, maupun pahatan batu. Wilayah sungai Bengawan merupakan kawasan yang banyak ditemui bermacam artefak dan prasasti. Banyak dari prasasti itu, menyimpan informasi terkait besarnya peradaban kuno masyarakat Nusantara.
Bengawan (yang dulu bernama sungai Wulayu), punya peran besar dalam membangun peradaban Nusantara. Khususnya dalam menjembatani antara peradaban pesisir dan peradaban pegunungan. Jalur Bengawan punya peran penting hampir di setiap zaman dan era peradaban. Tepatnya dari zaman Medang Kuno hingga akhir era Kerajaan Majapahit. Dan ini dibuktikan dari banyaknya temuan artefak sekaligus lempeng prasasti.
Pada era Medang Kuno, khususnya zaman transisi dari Medang Jawa Tengah menuju Medang Jawa Timur atau Medang era Pu Sindok (929-947 M), sungai Bengawan berperan penting sebagai jalur transisi. Ini terbukti dari banyaknya prasasti yang membahas Bengawan. Seperti Prasasti Tlang (903 M), Prasasti Sangsang (907 M), hingga Prasasti Pelem (929 - 947 M). Bahkan sampai saat ini, jejak artefak Pu Sindok masih banyak dijumpai di Jipang yang saat ini dikenal dengan Bojonegoro.
Dalam Prasasti Tlang (903 M), menceritakan titik penyeberangan Bengawan. Dalam prasasti itu juga disebutkan kata "Lna" yang bermakna minyak tanah. Sebuah komoditas identik kawasan Telang Malo, wilayah dekat Wonocolo yang masuk dalam kawasan bantaran sungai Bengawan di Bojonegoro. Hal ini menjadi bukti betapa pesatnya peradaban di wilayah Bengawan.
Kawasan Bengawan kembali menjadi titik penting pada periode berikutnya. Yaitu periode Kerajaan Medang Kahuripan yang dipimpin Raja Airlangga. Seperti dikabarkan dalam Prasasti Pucangan Sanskerta (1041 M), prasasti yang ditulis Raja Airlangga. Dalam prasaati itu dijelaskan, Lwaram dan Gunung Pugawat adalah wilayah yang dikunjungi sekaligus dibangun Raja Airlangga, sebagai bukti kebesaran dan kekuasaan pemerintahan Medang Kahuripan.
Pada periode berikutnya, tepatnya pada zaman Kerajaan Singhasari, sungai Bengawan juga memiliki peran penting sebagai penyatu dua wilayah yang terpisah. Dalam Prasasti Maribong (1246 M), terpahat bahwa Raja Wisnuwardhana berterimakasih pada para Brahmana Jipang. Sebab, Brahmana Jipang telah membantu Raja Ken Anggrok dalam menyatukan Jenggala dan Panjalu, pasca dibagi dua oleh Raja Airlangga. Berkat penyatuan Jenggala dan Panjalu itulah, Kerajaan Singhasari bisa didirikan.
Wilayah Sungai Bengawan kembali berperan penting pada masa pendirian Kerajaan Majapahit. Hal ini sesuai data yang terpahat pada Prasasti Adan-adan (1301 M) yang ditulis oleh Dyah Wijaya Jayawardhana, pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam lempeng Prasasti Adan-adan yang ditemukan di bantaran Bengawan Bojonegoro itu, ditulis secara detail bahwa pendiri Majapahit telah memberikan sebuah hadiah tanah kepada Paduka Rajarsi, seorang Brahmana yang tinggal di wilayah Bengawan Jipang (Bojonegoro). Hadiah itu ditulis lengkap beserta batas-batas tanahnya, yang tentu, melintasi kawasan sungai Bengawan.
Wilayah Bengawan bahkan menjadi pengiring Masa Keemasan Kerajaan Majapahit. Dalam masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk tersebut, sungai Bengawan mengalami puncak kemakmuran. Ini dibuktikan dari keberadaan Prasasti Naditira (1358 M) yang dirilis zaman Raja Hayam Wuruk. Dalam Prasasti itu, Raja Hayam Wuruk membuka dan meresmikan cukup banyak penyebrangan sungai Bengawan.
Hingga akhir masa Kerajaan Majapahit, kawasan Bengawan masih punya peran sangat penting. Ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Pamintihan (1437 M) yang dirilis oleh Raja terakhir Majapahit bernama Dyah Suraprabhawa alias Bhre Pandansalas (1466-1468 M). Dalam Prasasti Pamintihan, dijelaskan secara detail tentang sebuah hadiah tanah di wilayah ekosistem Gunung Pandan (Bojonegoro). Hadiah ini diberikan Raja Pandansalas kepada seorang yang loyal padanya, yang bernama Arya Surung.
Kesultanan Pajang, secara geografis, memiliki hubungan dengan Bhre Pajang (penguasa kawasan selatan di akhir masa Majapahit). Kesultanan Pajang yang berdiri pada paruh kedua abad 16 M itu, punya hubungan khusus dengan keberadaan sungai Bengawan. Sebab, sungai Bengawan menjadi aset penting Kesultanan Pajang, khususnya dalam menghubungkan wilayah antara Giri Gresik (pesisir utara), Jipang (bengawan) dan Tembayat (pegunungan selatan). Giri, Jipang, dan Tembayat merupakan wilayah penting yang menjadi pondasi berdirinya Kesultanan Pajang.
Berdirinya Pajang
suntingKesultanan Pajang menjadi kesultanan pertama di Pulau Jawa yang pusat pemerintahannya terletak di kawasan pedalaman, yakni di Pajang.[2] Pada masa pembentukan Kesultanan Pajang, kerajaan Islam di daerah pesisir Pulau Jawa mengalami keruntuhan.
Menurut karya sastra berjudul Babad Tanah Jawa (1874 M) yang ditulis Pakubuwana dan penulis Belanda bernama Johannes Jacobus Meinsma, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Adiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggana meninggal.[3] Kondisi ini menimbulkan permasalahan di Jipang Panolan (Bojonegoro) dan Pajang. Kedua wilayah di Jawa Tengah itu sama-sama menuntut hak atas takhta Demak. Arya Panangsang, keponakan Sultan Trenggana, yang memerintah Kadipaten Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut. Namun penguasa Pajang, Jaka Tingkir, menghalangi usahanya. Konflik pun meluas.
Dalam tinjauan literatur, sastra Babad Tanah Jawa (1874 M), memiliki banyak ketidak sesuaian data. Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud, menyatakan Babad Tanah Jawa bukan karya ilmiah, tapi sastra pujangga. Menurut dua ahli sejarah Belanda itu, Babad Tanah Jawa tak bisa dipertanggungjawabkan karena bercampur pakem cerita dongeng.
Terlebih, banyak sumber-sumber literatur yang lebih tua dibanding Babad Tanah Jawa, yang tak pernah menyebut nama Joko Tingkir. Nama Joko Tingkir dan Mas Karebet pertamakali muncul pada Babad Tanah Jawa (1874 M), sebelumnya tidak pernah ada.
Sementara dalam catatan-catatan yang ditulis jauh lebih lama, seperti tulisan Rijklof van Goens (d. 1682 M) dan Francoise Valentijn (d. 1722 aM), nama pemimpin Kesultanan Pajang selalu disebut dengan nama Sultan Pajang, dan tak ditemukan nama Joko Tingkir maupun Mas Karebet.
Data-data dari catatan Rijklof van Goens (d. 1682 M) dan Francoise Valentijn (d. 1722 M), itu didukung sejumlah manuskrip peninggalan Kesultanan Pajang yang masih terawat di sejumlah pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur. Khususnya Manuskrip Padangan, Manuskrip Lasem, Manuskrip Gresik, dan Manuskrip Singgahan.
Dalam manuskrip-manuskrip dan catatan ilmiah yang berusia lebih tua daripada Babad Tanah Jawa (1874 M), tak ditemukan nama Joko Tingkir ataupun Mas Karebet, yang ada nama Sultan Adiwijaya atau Sultan Pajang.
Perkembangan
suntingSesuai catatan Rijklof van Goens, sejak diresmikan Giri Kedaton pada awal abad 16 M, seluruh garis pantai “Laut Jawa” berada di bawah komando Kesultanan Pajang. Wilayah Madura, Surabaya, Giri, Jipang, Jepara hingga Banten adalah kawasan yang membawa spirit ideologi Kesultanan Pajang.
Meski usianya tak begitu panjang, legasi dan pengaruh Kesultanan Pajang cukup kuat bertahan lama. Sebab, Kesultanan Pajang membangun ideologi kebudayaan. Khususnya dalam literatur Islam Jawi. Huruf Al Jawi bahkan menjadi identitas resmi kebudayaan Kesultanan Pajang.
Huruf Al Jawi sudah populer di Pulau Jawa sejak abad 14 M (Trengganu, 1326 M), bersamaan kedatangan Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik. Huruf Al Jawi kian populer ketika Syekh Jumadil Kubro berdakwah di wilayah Bengawan Jipang (Raffles, 1817). Penggunaan huruf Al Jawi kian bergema ketika Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri mulai memproduksi teks-teks Al Jawi sebagai wasilah dakwah.
Saat Sunan Giri meresmikan pendirian Kesultanan Pajang, huruf Al Jawi secara resmi menjadi huruf administratif yang digunakan Sultan Pajang dalam membangun ideologi Kesultanan Pajang. Huruf Al Jawi adalah bukti otentik Kesultanan Pajang mampu membangun budaya hibrida, merangkul dan merukunkan tradisi lama (Jawa) dan tradisi baru (Islam).
Bukti legasi Kesultanan Pajang, yang sulit terbantahkan, terdapat pada Naskah Merapi-Merbabu (1592 M). Dalam naskah bernomor PN 9 L 110, terdapat pembukaan pupuh yang berbunyi: “Bismillahirrahmanirahim“. Selain itu, pada naskah bernomor PN 7 L 29, terdapat tulisan tentang dialog Rasulullah SAW.
Harus diketahui, Merapi-Merbabu adalah wilayah di kawasan pegunungan (pedalaman Jawa). Wilayah dalam ring satu Kesultanan Pajang. Sementara tahun 1592 M menjadi periode puncak Kesultanan Pajang dalam membawa Islam ke wilayah selatan (pegunungan). Ini bukti penting bahwa Kesultanan Pajang, secara empiris, menjunjung tinggi tradisi keilmuan dan ramah pada perbedaan.
Peran Walisongo
suntingKesultanan Pajang didirikan Para Wali sebagai representasi kehadiran Islam di Pulau Jawa. Baik di wilayah Pesisir (utara Jawa), maupun wilayah pegunungan (selatan Jawa). Pendirian Kesultanan Pajang dibidani sejumlah Wali yang memiliki basis dakwah di kawasan pesisir, tengah, dan selatan Pulau Jawa.
Dalam karya sastra Babad Tanah Jawa (1874 M) yang dipopulerkan Pakubuwana dan JJ. Meinsma, menyebut bahwa anggota Walisongo berjumlah sebanyak sembilan orang. Sebab, Songo berarti sembilan. Di antara anggotanya adalah; (1) Sunan Ampel, (2) Sunan Bonang, (3) Sunan Giri, (4) Sunan Gunung Jati, (5) Sunan Kalijaga, (6) Sunan Drajat, (7) Sunan Udung, (8) Sunan Muria, dan (9) Syaikh Maulana Maghribi.
Secara literatur, istilah Walisongo muncul pertama pada Babad Tanah Jawa. Pakem standar yang menyebut jumlah Wali ada sembilan orang, sumber tertuanya adalah karya sastra di era Pakubuwana dan JJ. Meinsma. Sebelum era sastra Babad Tanah Jawa, tak ditemui istilah Walisongo, namun Walisana.
Sementara karya turunan dari Babad Tanah Jawa seperti Babad Kartasura, Babad Banten, Babad Bandawasa, Babad Pathi, Babad Ajisoko, Babad Wirasaba, Babad Brebes, Babad Brawijaya, Babad Dipanegara, Babad Kebumen, Babad Trunojoyo juga memiliki informasi yang tak jauh berbeda dari sumber utamanya, yaitu Babad Tanah Jawa.
Pakem jumlah Wali sebanyak sembilan orang, berdampak pada kerap terjadinya kesalahan logika periodisasi. Misalnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik digolongkan kedalam generasi Sunan Ampel. Padahal, Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah wafat, bahkan ketika Sunan Ampel belum memulai gerakan dakwah. (Sunyoto, 2012)
Dalam Kitab Walisana, literatur yang jauh lebih tua dibanding sastra Babad Tanah Jawa, memberi informasi sedikit berbeda. Literatur yang ditulis pada awal abad 16 M tersebut tidak menyebut Walisongo, tapi Walisana. "Sana" merupakan bahasa Jawa kuno berarti tempat atau daerah. Walisana berarti Wali di suatu daerah.
Berdasar Kitab Walisana, jumlah Wali pada awal abad 16 M sebanyak delapan orang. Yaitu; (1) Sunan Ampel di Surabaya, (2) Sunan Gunung Jati di Cirebon, (3) Sunan Ngudung di Jipang, (4) Sunan Giri di Gresik, (5) Sunan Bonang di Tuban, (6) Sunan Alim di Majagung, (7) Sunan Mahmud di Drajat, dan (8) Sunan Kali.
Istilah Walisana berkonsep Wali Wolu Siji Tinari. Setiap zaman dan era selalu memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda, berbasis titik kewilayahan dakwahnya. Walisana tidak berbasis pakem nama seperti Babad Tanah Jawa, tapi berbasis kewilayahan dakwah. Dalam konsep Walisana, memungkinkan cukup banyak nama Wali di tiap kewilayahan zaman.
Lahirnya Kesultanan Pajang pada awal abad 16 M, selain dipengaruhi hubungan baik antara Bhre Pandansalas dan Bhre Pajang (dua penguasa di periode akhir Majapahit), juga dibidani sejumlah Wali. Di antaranya Sunan Giri yang berdakwah di Pesisir Utara Jawa, Sunan Ngudung yang berdakwah di Bengawan (tengah) Jawa, dan Wali Tembayat yang berada di Pegunungan (selatan) Jawa.
Pemberontakan Mataram
suntingMenurut karya sastra Babad Tanah Jawa (1874 M) yang dipopulerkan Sunan Pakubuwana Surakarta dan penulis Belanda bernama Johannes Jacobus Meinsma, terjadi perang antara Arya Jipang (penguasa Jipang) dengan Joko Tingkir dalam rangka memperebutkan tahta kerajaan Demak. Menurut sumber karya JJ. Meinsma itu, dari kemenangan Joko Tingkir inilah, kelak ia diangkat sebagai Sultan Pajang.
Babad Tanah Jawa juga melaporkan, pada 1582, saat Sutawijaya memimpin Mataram Islam dengan penuh kegemilangan, ia memberontak pada Sultan Pajang. Penyebabnya, Sutawijaya lebih membela adik iparnya yang bernama Tumenggung Mayang, saat menerima hukum buang ke Semarang oleh Sultan Pajang.
Perang besar antara Sutawijaya Mataram dengan Sultan Pajang pun tak terhindarkan. Babad Tanah Jawa menceritakan, dalam peperangan maha dahsyat itu, Mataram Islam mengalami kemenangan, meski pasukan Kesultanan Pajang berjumlah lebih besar.
Sejumlah sejarawan seperti Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud tak begitu mempercayai cerita Babad Tanah Jawa karya JJ. Meinsma tersebut. Keduanya menyatakan Babad Tanah Jawa karya JJ. Meinsma bukan karya ilmiah, tapi sastra pujangga.
Keruntuhan
suntingBerdasar sastra Babad Tanah Jawa (1874 M) karya penulis Belanda JJ. Meinsma dan Pakubuwana, yang menjadi sumber dari sejumlah naskah Babad di pulau Jawa, khususnya babad-babad yang merupakan karya turunan dari sastra Pakubuwana diceritakan:
Di bawah kekuasaan raja baru, Kerajaan Pajang telah melakukan pemberontakan besar dan perluasan istana kerajaan. Namun pemerintahannya tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1591, tiga tahun kemudian ia meninggal. Sebagai penggantinya, raja Mataram yang saat itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja di Jawa Tengah, menunjuk putra Pangeran Benawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya untuk memerintah Pajang sebagai vasal (wilayah asosiasi) Mataram. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda-Ing Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II memerintah Pajang tanpa kesulitan besar meskipun dengan usianya yang masih muda.[4]
Pada tahun 1617 hingga 1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan tersebut dibantu oleh sekelompok masyarakat yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang tersebut disertai penghancuran besar-besaran, dan penduduk desa setempat diangkut secara paksa untuk membantu pembangunan kota kerajaan yang baru. Setelah bencana tersebut, sisa-sisa daerah Pajang selama sebagian besar abad ketujuh belas menjadi lemah terhadap perkembangan ekonomi dan politik, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. Ia kemudian memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, Kartasura, di Pajang.[5]
Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang, setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan Surabaya. selama masih memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang masih memiliki hubungan yang baik dengan keluarga raja-raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad ketujuh belas, perlawanan terhadap ekspansi Sultan Agung terpusat di sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya (sekarang Madiun), sebagai seorang vasal Pajang yang terakhir juga ikut melarikan diri ke Surabaya.[5]
Daftar Pejabat
suntingDaftar Sultan
suntingNo. | Sultan | Mulai Jabatan | Akhir Jabatan | Jabatan Sebelumnya |
Termuat Dalam |
---|---|---|---|---|---|
1. | Jaka Tingkir | 1554 | 1583 | Adipati Pajang | *Babad Tanah Jawi |
2. | Arya Pangiri | 1583 | 1586 | Adipati Demak | *Babad Tanah Jawi |
3. | Pangeran Benawa | 1586 | 1587 | Adipati Jipang | *Babad Tanah Jawi |
Daftar Menteri dan Staf
suntingNama | Jabatan | |
---|---|---|
Sunan Giri | Mufti ( Pemimpin Fatwa ) | |
Sunan Kalijaga | Penasihat |
Daftar Kepala Daerah
suntingNama | Jabatan | Termuat Dalam |
---|---|---|
Ki Panjawi | Adipati Pati ( Kabupaten Pati ) | Babad Tanah Jawi |
Ki Ageng Pemanahan | Adipati Mataram ( Kota Yogyakarta ) | Babad Tanah Jawi |
Arya Pangiri | Adipati Demak (Kabupaten Demak ) | Babad Tanah Jawi |
Panji Wiryakrama | Adipati Surabaya ( Kota Surabaya ) | Babad Tanah Jawi |
Raden Pratanu | Adipati Madura (Kabupaten Sumenep ) | Babad Tanah Jawi |
Arya Pamalad | Adipati Tuban (Kabupaten Tuban ) | Babad Tanah Jawi |
Pangeran Benawa | Adipati Jipang (Kabupaten Blora ) | Babad Tanah Jawi |
Saat Menjadi bawahan Majapahit
suntingPajang menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Pajang[6][7][8]
Bhre Pajang yang pernah menjabat ialah :
1. Rajasaduhita Iswari Dyah Nirtaja 1350-1388
2. Suhita 1389-1415
3. Sureswari 1429-1450[9]
Saat menjadi bawahan Kesultanan Mataram
suntingSetelah terjadi Perpindahan kekuasaan ke Mataram (1587) status Pajang berubah kembali menjadi Kadipaten.
- Pangeran Gagak Baning (1587-1591), adik dari Panembahan Senapati
- Pangeran Sidawini (1591-1617)[10]
Referensi
sunting- ^ "Sumber Sejarah Kerajaan Pajang; Raja-raja, Runtuhnya, dan Peninggalan-peninggalan". VOI - Waktunya Merevolusi Pemberitaan. Diakses tanggal 2021-05-29.
- ^ Sidiq, R., Najuah, dan Lukitoyo, P. S. (2020). Rikki, A., dan Simarmata, J., ed. Sejarah Indonesia Periode Islam (PDF). Yayasan Kita Menulis. hlm. 44. ISBN 978-623-6761-12-0.
- ^ Riyadi, M. I., dan Muzakki, M. H. (2019). Prihantoro, Hijrian Angga, ed. Multikulturalisme Pada Zaman Kasultanan Pajang Abad Ke-16 M: Telaah Terhadap Serat Nitisruti (PDF). Bantul: Trussmedia Grafika. hlm. 11. ISBN 978-602-5747-75-5.
- ^ de Graaf 2019, hlm. 374.
- ^ a b de Graaf 2019, hlm. 375.
- ^ "Kitab Pararaton (terjemahan)". majapahitprana.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2021.
- ^ "Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama". historynote.wordpress.com. hlm. Pupuh 5 dan 6. Diakses tanggal 19 Desember 2021.
- ^ "Silsilah Lengkap Pararaja Majapahit Versi Siwi Sang". siwisang.wordpress.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022.
- ^ "Tokoh Majapahit Paling Berpengaruh dalam Prasasti Waringin Pitu 1447 M". kompasiana.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022.
- ^ "Kesultanan Pajang". id.wikipedia.org. Diakses tanggal 17 Juli 2022.
Daftar pustaka
sunting- Any, Andjar (1980). Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi. Semarang: Aneka Ilmu.
- Any, Andjar (1979). Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu.
- Prawirayuda, Prawirayuda; Sastradiwirya, Sastradiwirya (1989). Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
- Olthof, W. L. (2007). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi. ISBN 9789791681629.
- de Graff, H.J.; Pigeaud, TH. G. TH. (2019). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan V edisi revisi. Yogyakarta: MataBangsa. ISBN 9789799471239.
- hayati, Chusnul (2000). Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI (PDF). Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional.
- Moedjianto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9780230546868.
- Purwadi, Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
- Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 9780230546868.
- Muljana, Slamet (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.