Ekosistem

suatu lingkungan yang terdiri atas komponen hidup dan nonhidup yang berinteraksi sebagai sebuah sistem

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.[1] Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.[1]

Ekosistem padang rumput adalah contoh ekosistem terestrial

Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme.[1] Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.[1]

Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem.[2] Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup.[2] Pengertian ini didasarkan pada Hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan suatu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan".[2] Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain dalam tata surya.[2]

Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut, inilah yang disebut dengan hukum toleransi.[3] Misalnya: Panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang sempit terhadap makanannya, yaitu bambu.[1] Dengan demikian, panda dapat hidup di ekosistem dengan kondisi apapun asalkan dalam ekosistem tersebut terdapat bambu sebagai sumber makanannya.[1] Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir, mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam.[2]

Komponen pembentuk sunting

Ekosistem terbentuk dari unsur lingkungan hidup yang memiliki dua peran yaitu adalah autotrofik dan heterotrofik. Autotrofik merupakan peran unsur lingkungan hidup sebagai penyedia makanan secara mandiri dengan bantuan energi matahari. Sedangkan heterotrofik merupakan peran unsur lingkungan hidup sebagai pemeroleh manfaat dari keberadaan makanan. Makanan yang dihasilkan dapat berupa bahan organik maupun bahan anorganik.[4] Unsur lingkungan hidup yang menjadi pembentuk ekosistem yaitu abiotik, biotik, produsen, konsumen, dan dekomposer.[5]

Abiotik sunting

Abiotik atau komponen tak hidup adalah komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.[6] Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya.[2] Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang memengaruhi distribusi organisme, yaitu:[2]

  1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya.
  2. Air. Ketersediaan air memengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun.
  3. Garam. Konsentrasi garam memengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi.
  4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya memengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
  5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah.
  6. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu.

Biotik sunting

Biotik adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang hidup (organisme). Komponen biotik adalah suatu komponen yang menyusun suatu ekosistem selain komponen abiotik (tidak bernyawa). Berdasarkan peran dan fungsinya, makhluk hidup dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

Heterotrof / Konsumen sunting

Komponen heterotrof terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya .[6] Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil.[6] Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikrob.[6]

Pengurai / dekomposer sunting

Pengurai atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati.[6] Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar.[1] Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.[6] Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur.[6] Ada pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu.[6] Tipe dekomposisi ada tiga, yaitu:[2]

  1. aerobik: oksigen adalah penerima elektron / oksidan
  2. anaerobik: oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan
  3. fermentasi: anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron. komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur.[6] Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.[6]

Ketergantungan sunting

 
Rantai makanan

Ketergantungan pada ekosistem dapat terjadi antar komponen biotik atau antara komponen biotik dan abiotik.[2] Ketergantungan antara komponen biotik dan abiotik terjadi melalui daur biogeokimia yang berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu tempat.[7]

Antar komponen biotik sunting

Ketergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui:[2]

  1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu. Tiap tingkat dari rantai makanan disebut tingkat trofi atau taraf trofi. Karena organisme pertama yang mampu menghasilkan zat makanan adalah tumbuhan maka tingkat trofi pertama selalu diduduki tumbuhan hijau sebagai produsen. Tingkat selanjutnya adalah tingkat trofi kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen primer merupakan tingkat trofi ketiga, terdiri atas hewan-hewan karnivora. Setiap pertukaran energi dari satu tingkat trofi ke tingkat trofi lainnya, sebagian energi akan hilang.[2]
  2. Jaring-jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya.

Antar komponen biotik dan abiotik sunting

Ketergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui siklus materi, seperti:[2]

  1. siklus karbon
  2. siklus air
  3. siklus nitrogen
  4. siklus sulfur

Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu tempat.[2] Ulah manusia telah membuat suatu sistem yang awalnya siklik menjadi nonsiklik, manusia cenderung mengganggu keseimbangan lingkungan.[2]

Jenis sunting

Secara umum ada tiga tipe ekosistem, yaitu ekosistem perairan, ekosistem darat, dan ekosistem buatan.[8]

Ekosistem perairan sunting

 
Ekosistem sungai

Ekosistem air tawar sunting

Ciri-ciri ekosistem air tawar antara lain variasi suhu tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca.[8] Macam tumbuhan yang terbanyak adalah jenis ganggang, sedangkan lainnya tumbuhan biji.[8] Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar. Organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi.[8]

Ekosistem air laut sunting

Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar.[8] Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25 °C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi, sehingga terdapat batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah yang disebut daerah termoklin.[8]

Ekosistem estuari sunting

Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut.[8] Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Ekosistem estuari memiliki produktivitas yang tinggi dan kaya akan nutrisi.[1] Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton.[8] Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan.[8]

Ekosistem pantai sunting

Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin.[8] Tumbuhan yang hidup di ekosistem ini menjalar dan berdaun tebal.[8]

Ekosistem sungai sunting

Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah.[8] Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen dan makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air.[8] Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang.[8] Ekosistem sungai dihuni oleh hewan seperti ikan kucing, gurame, kura-kura, ular, buaya, dan lumba-lumba.[8]

Ekosistem terumbu karang sunting

Ekosistem ini terdiri dari coral yang berada dekat pantai.[1] Efisiensi ekosistem ini sangat tinggi.[1] Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan sisa organik lain.[6] Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara karang dan ganggang.[6] Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi gurita, bintang laut, dan ikan karnivora.[6] Kehadiran terumbu karang di dekat pantai membuat pantai memiliki pasir putih.[1]

Ekosistem laut dalam sunting

Kedalamannya lebih dari 6.000 m.[6] Biasanya terdapat lele laut dan ikan laut yang dapat mengeluarkan cahaya.[6] Sebagai produsen terdapat bakteri yang bersimbiosis dengan karang tertentu.[6]

Ekosistem lamun sunting

Lamun atau seagrass adalah satu‑satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang hidup di lingkungan laut.[9] Tumbuh‑tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal.[9] Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai‑tangkai yang merayap yang efektif untuk berbiak.[9] Berbeda dengan tumbuh‑tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat‑zat hara.[9] Sebagai sumber daya hayati, lamun banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.[9]

Ekosistem darat sunting

 
Ekosistem hutan hujan tropis memiliki produktivitas tinggi.
 
Ekosistem taiga merupakan hutan pinus dengan ciri iklim musim dingin yang panjang.
 
Ekosistem tundra didominasi oleh vegetasi perdu.

Penentuan zona dalam ekosistem terestrial ditentukan oleh temperatur dan curah hujan.[2] Ekosistem terestrial dapat dikontrol oleh iklim dan gangguan.[2] Iklim sangat penting untuk menentukan mengapa suatu ekosistem terestrial berada pada suatu tempat tertentu.[2] Pola ekosistem dapat berubah akibat gangguan seperti petir, kebakaran, atau aktivitas manusia.[2]

Hutan hujan tropis sunting

Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropis dan subtropis.[8] Ciri-cirinya adalah curah hujan 200–225 cm per tahun.[8] Spesies pepohonan relatif banyak, jenisnya berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung letak geografisnya.[8] Tinggi pohon utama antara 20–40 m, cabang-cabang pohon tinggi dan berdaun lebat hingga membentuk tudung (kanopi).[8] Dalam hutan basah terjadi perubahan iklim mikro, yaitu iklim yang langsung terdapat di sekitar organisme.[8] Daerah tudung cukup mendapat sinar matahari, variasi suhu dan kelembapan tinggi, suhu sepanjang hari sekitar 25 °C.[8] Dalam hutan hujan tropis sering terdapat tumbuhan khas, yaitu liana (rotan) dan anggrek sebagai epifit.[8] Hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.[8]

Sabana sunting

Sabana dari daerah tropis terdapat di wilayah dengan curah hujan 40 – 60 inci per tahun, tetapi temperatur dan kelembaban masih tergantung musim.[9] Sabana yang terluas di dunia terdapat di Afrika; namun di Australia juga terdapat sabana yang luas.[9] Hewan yang hidup di sabana antara lain serangga dan mamalia seperti zebra, singa, dan hyena.[1]

Padang rumput sunting

Padang rumput terdapat di daerah yang terbentang dari daerah tropis ke subtropis.[6] Ciri-ciri padang rumput adalah curah hujan kurang lebih 25–30 cm per tahun, hujan turun tidak teratur, porositas (peresapan air) tinggi, dan drainase (aliran air) cepat.[6] Tumbuhan yang ada terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput yang keduanya tergantung pada kelembapan.[6] Hewannya antara lain: bison, zebra, singa, anjing liar, serigala, gajah, jerapah, kangguru, serangga, tikus dan ular.[6]

Gurun sunting

Gurun terdapat di daerah tropis yang berbatasan dengan padang rumput.[9] Ciri-ciri ekosistem gurun adalah gersang dan curah hujan rendah (25 cm/tahun).[9] Perbedaan suhu antara siang dan malam sangat besar.[9] Tumbuhan semusim yang terdapat di gurun berukuran kecil.[9] Selain itu, di gurun dijumpai pula tumbuhan menahun berdaun seperti duri contohnya kaktus, atau tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air.[9] Hewan yang hidup di gurun antara lain rodentia, semut, ular, kadal, katak, kalajengking, dan beberapa hewan nokturnal lain.[9]

Hutan gugur sunting

Hutan gugur terdapat di daerah beriklim sedang yang memiliki empat musim, ciri-cirinya adalah curah hujan merata sepanjang tahun.[6] Jenis pohon sedikit (10 s/d 20) dan tidak terlalu rapat.[6] Hewan yang terdapat di hutam gugur antara lain rusa, beruang, rubah, bajing, burung pelatuk, dan rakun (sebangsa luak).[6]

Taiga sunting

Taiga terdapat di belahan bumi sebelah utara dan di pegunungan daerah tropis, ciri-cirinya adalah suhu di musim dingin rendah.[8] Biasanya taiga merupakan hutan yang tersusun atas satu spesies seperti konifer, pinus, dan sejenisnya.[8] Semak dan tumbuhan basah sedikit sekali, sedangkan hewannya antara lain moose, beruang hitam, ajag, dan burung-burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.[8]

Tundra sunting

Tundra terdapat di belahan bumi sebelah utara di dalam lingkaran kutub utara dan terdapat di puncak-puncak gunung tinggi.[8] Pertumbuhan tanaman di daerah ini hanya 60 hari.[8] Contoh tumbuhan yang dominan adalah sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan perdu, dan rumput alang-alang.[8] Pada umumnya, tumbuhannya mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin.[8]

Karst sunting

Karst berawal dari nama kawasan batu gamping di wilayah Yugoslavia.[9] Kawasan karst di Indonesia rata-rata mempunyai ciri-ciri yang hampir sama yaitu, tanahnya kurang subur untuk pertanian, sensitif terhadap erosi, mudah longsor, bersifat rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah, gaya permeabilitas yang lamban dan didominasi oleh pori-pori mikro.[9] Ekosistem karst mengalami keunikan tersendiri, dengan keragaman aspek biotis yang tidak dijumpai di ekosistem lain.[9]

Ekosistem buatan sunting

 
Sawah merupakan salah satu contoh ekosistem buatan

Ekosistem buatan adalah ekosistem yang diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.[8] Ekosistem buatan mendapatkan subsidi energi dari luar, tanaman atau hewan peliharaan didominasi pengaruh manusia, dan memiliki keanekaragaman rendah.[1] Contoh ekosistem buatan adalah:[8]

Ekosistem kota memiliki metabolisme tinggi sehingga butuh energi yang banyak.[2] Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari luar, serta memiliki pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas.[2]

Ekosistem ruang angkasa bukan merupakan suatu sistem tertutup yang dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa tergantung input dari luar.[1] Semua ekosistem dan kehidupan selalu bergantung pada bumi.[1]

Dampak kerusakan ekosistem sunting

Ekosistem bersifat timbal balik, artinya jika ekosistem rusak maka akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini terjadi karena adanya peristiwa memakan dan dimakan. Misalnya, bila terjadi kerusakan ekosistem hutan maka akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup makhluk hidup didalamnya yang disebabkan oleh pengaruh berkurangnya bahan makanan (produsen) dan dapat ,menyakibatkan kepunahan.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Hutagalung RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm. 13-15
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t (Inggris) Campbell NA, Reece JB. 2009. Biology. USA: Pearson Benjamin Cummings. Page. 415-419.
  3. ^ ITB. 2004. Ekosistem sebagai lingkungan hidup manusia. Diakses pada 11 April 2010.
  4. ^ Rizal 2017, hlm. 21-22.
  5. ^ Rizal 2017, hlm. 22.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Anonim. 2000. Susunan dan Macam Ekosistem[pranala nonaktif permanen] Diakses pada 11 Apr 2010.
  7. ^ Susilawati dan Bachtiar, N. (2018). Biologi Dasar Terintegrasi (PDF). Pekanbaru: Kreasi Edukasi. hlm. 171. ISBN 978-602-6879-99-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-04-15. Diakses tanggal 2021-01-31. 
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Aryulina D, et al. 2004. Biologi SMA untuk kelas X. Jakarta: Esis.Hlm. 211-215.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Anonim. 2010. Ekosistem[pranala nonaktif permanen] Diakses pada 11 Apr 2010.

Daftar pustaka sunting

  1. Rizal, Reda (2017). Analisis Kualitas Lingkungan (PDF). Jakarta: Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. ISBN 978-602-19087-6-1.