Soeman Hasiboean

seorang penulis dan sastrawan Indonesia yang terkenal pada abad ke-20
(Dialihkan dari Suman Hasibuan)

Soeman Hasiboean (EYD: Suman Hasibuan; 4 April 1904 – 8 Mei 1999),[3][4] atau lebih dikenal dengan nama pena Soeman Hs, adalah seorang pengarang Indonesia yang dikenal sebagai pelopor penulisan cerpen dan fiksi detektif dalam sastra negara tersebut. Lahir di Bengkalis, Riau, Indonesia (dulu Hindia Belanda) dari keluarga petani, Soeman belajar untuk menjadi guru dibawah bimbingan pengarang yang lebih senior darinya Mohammad Kasim, seorang penulis.

Soeman Hsb
LahirSoeman Hasibuan
(1904-04-04)4 April 1904
Bengkalis, Riau, Hindia Belanda
Meninggal8 Mei 1999(1999-05-08) (umur 95)
Pekanbaru, Riau, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasPromosi pendidikan, penulisan
Karya terkenal

Ia mulai bekerja sebagai guru Bahasa Melayu setelah menyelesaikan sekolah formal pada tahun 1923 yang pada mulanya di Siak Sri Indrapura, Riau, kemudian di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Pada waktu itu, ia mulai menulis dan berhasil menyelesaikan karya pertamanya, yakni novel berjudul Kasih Tak Terlarai, pada 1929. Selama dua belas tahun, ia telah menerbitkan 5 (lima) buah novel, satu kumpulan cerita pendek, dan 35 cerita pendek serta puisi.

Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942–1945) dan kemudian revolusi, Soeman -meskipun ia tetap seorang guru- juga aktif dalam politik. Pada awalnya menjabat sebagai anggota dewan perwakilan dan sebagai bagian dari Komite Nasional Indonesia untuk Pasir Pengaraian di Pekanbaru.

Setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1949, Soeman menjadi kepala Departemen Pendidikan Provinsi Riau, bekerja untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak dan mendirikan sekolah-sekolah baru, termasuk SMA pertama di Riau dan Universitas Islam Riau (UIR). Ia masih aktif dalam pendidikan hingga kematiannya. Selain menjadi dosen dia juga pengurus Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) yang merupakan badan pengelola (UIR) dan beberapa SLTP serta SLTA di Pekanbaru.

Sebagai seorang pengarang, Soeman menulis cerita-cerita yang bertemakan suspens dan humor, menggambarkan fiksi detektif dan petualangan barat serta sastra Melayu klasik.

Karya tulis berbahasa Melayu buatannya, dengan pengucapan dipengaruhi oleh latar belakang dialek Sumatra Tengah, mudah dibaca dan terhindar dari hal yang berlebihan. Karya paling populer Soeman adalah novel Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan (1932), sementara kumpulan cerita pendek Kawan Bergeloet (1941) dianggap karyanya yang paling terkenal dari sudut pandang sastra.[5]

Meskipun dianggap pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe, Soeman pada akhirnya mendapat pengakuan dari Pemerintah Provinsi Riau. Namanya diabadikan sebagai nama sebuah perpustakaan daerah Provinsi Riau, di Pekanbaru. Bahkan buku-buku karangannya digunakan di sejumlah sekolah di Indonesia.

Kehidupan Awal

sunting

Soeman lahir di Bengkalis, Riau, Indonesia (dulu Hindia Belanda), pada 1904.[a] Ayahnya bernama Wahid Hasibuan, sedangkan ibunya bernama Turumun Lubis, lahir di Kotanopan (yang sekarang merupakan bagian dari Mandailing Natal), tetapi berpindah ke Bengkalis setelah pernikahan untuk menghindari konflik antara keluarga Hasibuan dan sebuah klan rival. Dalam sebuah wawancara 1989, Soeman menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu sumber konflik tersebut, tetapi ia menduga bahwa ayahnya yang merupakan keturunan dari seorang raja Mandailing merasa seolah-olah kurang dihormati.[6]

Di Bengkalis, Wahid dan Turumun menanam nanas dan kelapa. Wahid juga mengajarkan ngaji, yang menjadi pemasukan keuangan dari keluarga Muslim.[7] Karena ayahnya mengajar di rumahnya, Soeman mulai belajar ngaji pada usia muda. Selain itu, ia juga mendengar cerita-cerita kejahatan yang terjadi di kota-kota besar seperti Singapura dari para pedagang yang mengunjungi Wahid.

Pada 1913, Soeman masuk sebuah sekolah Melayu lokal, disitu guru-gurunya mendorong dia untuk membaca. Soeman membaca sejumlah buku karya pengarang Melayu dan Eropa dari perpustakaan sekolah sebelum ia lulus pada 1918.[b][8]

Bercita-cita menjadi guru, Soeman berupaya masuk kursus untuk menjadi guru potensial di Medan, Sumatera Utara, setelah lulus. Setelah ia masuk kursus, ia menjalani dua tahun belajar di kota tersebut. Salah satu gurunya adalah Mohammad Kasim, yang kemudian kumpulan cerita pendek buatannya Teman Doedoek (1937) menjadi karya pertama dalam kanon sastra Indonesia.[9]

Di luar kelas, Soeman menyimak cerita-cerita Kasim tentang para pengarang dan proses penulisan kreatif; hal tersebut membuatnya ingin menjadi penulis.[10]

Setelah dua tahun di Medan, Soeman melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah normal di Langsa, Aceh, disitu ia tunak sampai tahun 1923. Di sana, ia bertemu dengan calon istrinya, Siti Hasnah.[9]

Setelah lulus, Soeman mendapatkan pekerjaan di HIS Siak Sri Indrapura, sebuah sekolah berbahasa Belanda untuk murid-murid pribumi di Siak Sri Indrapura, Riau.[11] Soeman bekerja sebagai guru Bahasa Melayu selama 7 tahun,[12] .

Tahuni 1930, ia bertemu dengan seorang guru muda dari Jawa yang terlibat dalam gerakan nasionalis. Soeman dan beberapa guru mulai bergabung dengannya untuk diskusi dan memainkan lagu "Indonesia Raya", yang berada di bawah pencekalan pemerintah kolonial Belanda. Saat ketahuan, Soeman dipindahkan ke Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Meskipun menolak pindah, Soeman masih berada di Pasir Pengaraian sampai pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada 1942, kemudian menjadi kepala sekolah.[13]

Karier Menulis

sunting

Soeman mulai menulis pada 1923 tak lama setelah menyelesaikan pendidikannya.[14] Terinspirasi oleh ayahnya, yang berhenti menggunakan nama klan Hasibuan di Bengkalis yang didominasi Melayu, ia memakai nama pena Soeman Hs.[15]

Soeman Hs menyerahkan novel pertamanya, Kasih Tak Terlarai, kepada penerbit negeri Balai Pustaka. Buku tersebut mengisahkan cerita seorang yatim piatu, si Taram, yang kawin lari dengan Sitti Nurhaida, kekasihnya, namun kemudian harus menikahinya kembali setelah sang kekasih kembali ke rumah, diterbitkan pada 1929.[16] Soeman meraih uang sejumlah 37 gulden dari penerbitan tersebut.[17]

 
Pertjobaan Setia (edisi 1955)

Karya tersebut disusul oleh Pertjobaan Setia pada 1931, sebuah novel mengisahkan seorang pria muda bernama Sjamsoeddin yang ingin naik haji sebelum ia dapat menikahi Hajjah Salwiah, seorang putri pedagang kaya. Ketika Sjamsoeddin pulang dari perjalanannya, ia mendapat sebuah bencana dan kemudian ditipu oleh seorang pria yang menginginkan Salwiah. Namun, teman Sjamsoeddin yang bernama Djamin menolong Sjamsoeddin untuk menikahi Salwiah.[18]

Pada tahun berikutnya, dua terjemahan novel Soeman diterbitkan oleh Balai Pustaka; Kasih Tak Terlarai diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul Asih tan Kena Pisah oleh Soehardja, sementara Pertjobaan Setia diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dengan judul Tjotjoba oleh Martaperdana.[19]

Soeman menerbitkan novel lainnya, Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan, pada 1932. Novel tersebut berkisah tentang Sir Joon, seorang pria yang lamarannya terhadap Nona ditolak setelah ayah Nona, Dago si tukang ransum, ditawari mahar yang lebih tinggi oleh laki-laki lain, si Tairoo. Meskipun telah ditolak Dago, ketika menyadari bahwa Nona telah diculik, Sir Joon menawarkan bantuannya untuk membantu mencarinya. Ia lalu membangun ketidakpercayaan antara Dago dan Tairoo, calon suami Nona. Dalam kemelut situasi yang terjadi setelah itu, Sir Joon diam-diam meninggalkan desa bersama dengan Nona, dan pasangan tersebut kemudian hidup bahagia di Singapura.[20] Untuk novel tersebut, yang lagi-lagi diterbitkan oleh Balai Pustaka, Soeman meraih 75 gulden.[21]

Pada dekade-dekade berikutnya, novelMentjahari Pentjoeri Anak Perawan tersebut menjadi publikasi paling populer buatannya,[22] dan karya tersebut diidentifikasi sebagai novel detektif pertama dalam kanon sastra Indonesia.[2]

Antara 1932 dan 1938, Soeman menerbitkan dua novel berikutnya, Kasih Tersesat (diserialisasikan dalam Pandji Poestaka pada 1932) dan Teboesan Darah (diterbitkan dalam Doenia Pengalaman pada 1939).[23]

Novel Teboesan Darah menandai kembalinya Sir Joon, yang muncul dalam beberapa cerita detektif lainnya karya pengarang lainnya.[24]

Soeman juga menerbitkan 35 cerita pendek dan puisi, yang sebagian besar terdapat di majalah Pandji Poestaka namun juga di Pedoman Masjarakat dan Poedjangga Baroe.[25] Tujuh cerita Pandji Poestaka karya Soeman dikompilasikan dalam Kawan Bergeloet, bersama dengan lima cerita asli.[26] Dengan kumpulan cerita pendek tersebut, yang diterbitkan pada 1941, Soeman menjadi salah satu penulis cerita pendek pertama dalam kanon sastra Indonesia.[27]

Penjajahan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia

sunting

Setelah Jepang menjajah Hindia Belanda pada 1942, Soeman diangkat menjadi kepala sekolah oleh pasukan penjajah. Ia kemudian terlibat dalam politik dengan terpilih pada Shūsangikai, sebuah Dewan Perwakilan Regional yang disponsori Jepang, untuk Riau. Ia kemudian menyatakan bahwa, karena ia terpilih ketimbang dipilih oleh pasukan Jepang—dan memiliki bekingan kuat dalam masyarakat, yang berguna untuk revolusi—ia merasa berada di bawah pengawasan ketat.[28] Keadaan tersebut berlanjut sampai Jepang keluar dari Indonesia dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[29]

Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan pada 17 Agustus 1945, beritanya tidak mencapai Riau sampai bulan September. Pada bulan berikutnya, Soeman terpilih pada Komite Nasiona Indonesia untuk Pasir Pengaraian yang baru dibentuk, dan kemudian menjadi ketuanya.

Pada masa jabatannya, ia menghadapi perselisihan antara bekas staf kolonial yang lebih menginginkan Belanda kembali dengan orang-orang yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Pasukan Belanda kembali ke Jawa, dan konflik fisik terjadi antara pasukan Sekutu dan pasukan Republik Indonesia di Surabaya.

Pada tahun berikutnya, Soeman terpilih pada Dewan Perwakilan Regional untuk Riau, yang berbasis di Pekanbaru.[30]

Setelah Operasi Kraai pada 1948, ketika pasukan Belanda menduduki ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta dan menangkap sebagian besar anggota pemerintahan Sukarno, Soeman menjadi komandan pasukan gerilya di Riau. Disamping melanjutkan perjuangan, ia ditugaskan untuk menjadi para pejuang baru untuk mendukung sebab-sebab republik. Dalam misi tersebut, ia ikut membantu dengan jaringan ekstensifnya sebagai guru sekolah jangka panjang. Beberapa pejuang adalah mantan muridnya . Meskipun pasukannya berada di bawah ancaman senjata, Soeman memimpin mereka dalam pertarungan melawan pasukan pribumi yang bersekutu dengan Belanda selama beberapa kali.[31]

Pengajar dan Kehidupan Selanjutnya

sunting

Setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949, Soeman dipanggil ke Pekanbaru dan diangkat menjadi Kepala Cabang Regional dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas utamanya adalah mendirikan dan menyusun kembali sistem pendidikan di Riau, setelah tiga tahun pendudukan dan empat tahun revolusi.

Pada masa revolusi meja-meja kayu yang berlaci dikeping untuk kayu bakar, bangunan-bangunan sekolah digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari pasukan musuh, dan sebagian besar murid tidak dapat menghadiri kelas secara giat. Selain itu, Departemen Pendidikan tidak memiliki dana yang cukup untuk mendukung pembangunan kembali sekolah-sekolah.

Pada tiga tahun berikutnya, Soeman memimpin proyek-proyek kerja komunal yang didedikasikan untuk memulihkan fasilitas pendidikan Riau dan meraih bantuan sukarela dari masyarakat.[32]

Peristiwa tersebut disusul oleh periode pembangunan infrastruktur pendidikan lanjutan. Untuk membantu para guru Sekolah Dasar (SD) melanjutkan pendidikan mereka, Soeman mengambil peran dengan mendirikan sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta pada 1953.[c]

Pada tahun berikutnya, ia membantu pendirian Sekolah Menengah Atas (SMA Setia Dharma) di Pekanbaru, SMA pertama di Riau. Menteri Pendidikan Mohammad Yamin menghadiri acara pembukaannya. Dalam sambutannya Soeman membandingkan situasi di Riau dengan Aceh dan Sumatera Utara dan menyatakan bahwa orang-orang di Riau seolah-olah dianaktirikan. Ia meminta Yamin untuk mengirimkan guru-guru pemerintah guna mendukung Setia Dharma. Meskipun Yamin keberatan dengan permintaan Soeman dan tidak mengirimkan satu pun guru ke Setia Dharma, ia memerintahkan sebuah SMA negeri dibuka di Riau.[33]

Soeman melanjutkan bekerja untuk mendirikan sekolah-sekolah baru di Riau. Pada akhir 1950an, melihat berkembangnya sekolah-sekolah dari organisasi Kristen, Soeman, bekerjasama dengan Muslim lainnya di Riau, mulai mendirikan sekolah-sekolah Islam pada tingkat Taman Kanak-Kanan (TK), SD, SMP, dan SMA. Pada 1961, Gubernur Riau Kaharuddin Nasution mengundang Soeman dan mengajaknya untuk bergabung dengan Badan Pemerintah Harian[d] dari pemerintah provinsi.[e] Ia dan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau (YLPI) bekerja dengan pemerintah untuk mendirikan Universitas Islam Riau.[34] Soeman menghadiri acara pembukaan secara resmi universitas itu tahun 1962.[35]

Meskipun ia secara resmi pensiun sebagai guru untuk bergabung dengan Badan Pemerintah Harian, dari 1960an Soeman terlibat dalam beberapa yayasan pendidikan. Ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau (YLPI)serta ketua badan kepengurusan Setia Dharma, Yayasan Pendidikan Riau, dan Lembaga Sosial Budaya Riau. Ia juga mengutamakan hubungan dengan pemerintah provinsi.

Pada 1966 secara resmi Soeman menjadi bagian dari Dewan Perwakilan Regional. Pada 1976, atas rekomendasi Gubernur Riau, Arifin Achmad, ia naik haji menggunakan kas negara.[f][36]

Soeman meninggal di Pekanbaru pada 8 Mei 1999. Ia masih aktif dalam berbagai aspek pendidikan di Riau sampai tahun sebelumnya. [27]

Gaya dan Proses Kreatif

sunting
Sebuah cerita pendek tentang Soeman, buatan Yayasan Lontar

Soeman mengkredit kisah-kisah petualangan Alexandre Dumas dan pengarang-pengarang serupa, yang ia baca dalam terjemahan, untuk memahami genre petualangan dan detektif. Soeman memahami penggunaan suspens pada cerita-cerita tersebut, yang diset dalam karya-karya yang biasanya mempengaruhi para pengarang Melayu seperti Marah Rusli.[37] Menurut kritikus kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana, Soeman, dalam pembangunan suspensnya, memimikkan kisah-kisah detektif Barat ketimbang mengadaptasi gaya penyetingan Timur.[38] Namun, pengaruh-pengaruh tradisional tampak dalam karya-karya Soeman. Ia mengkredit unsur-unsur komedi dari cerita-cerita pendeknya untuk aspek-aspek humor pada sastra cerita rakyat Melayu seperti kisah "Lebai Malang".[37]

Penyair Eka Budianta menyatakan bahwa teman umum dalam karya-karya Soeman adalah memperkuat cinta dan kemampuannya untuk mengatasi masalah.[39] Soeman menulis kekuatan cinta dan pernikahan atas dasar cinta dalam menanggapi perlakuan wanita dalam budaya adat (tradisional). Di kalangan Melayu Riau, pernikahan perjodohan adalah hal umum, dan wanita terkadang dinikahkan dengan seorang pria yang lebih tua dari ayahnya. Sebelum pernikahan, wanita muda tidak boleh ke luar dan tidak diperkenankan berinteraksi dengan pria manapun kecuali orang-orang yang dipilih suaminya.[40] Selain itu, Soeman menggunakan Kasih Tak Terlarai untuk mengkritik kesalahan asuh anak yatim piatu setelah diadopsi.[40]

Beberapa karakter buatan Soeman tidak teridentifikasi sebagai Pribumi-Nusantara, yang meliputi Nona (nama umum di kalangan etnis Tionghoa) dan Sir Joon (orang Eurasia). Hal tersebut merupakan bagian dari sebuah penawaran untuk menghibur para pembaca dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, serta orang-orang yang tinggal di Singapura.[41] Hal tersebut juga menyajikan kritikan lembut bagi Soeman. Dalam sebuah wawancara, Soeman berkata: "Roman saya selalu mendobrak adat yang kaku. Nah, untuk menggambarkan itu, sengaja saya pilih tokoh orang asing, yang lebih diterima jika memberontak adat. Itu hanya strategi kepengarangan, biar cerita kita diterima."[42]

Diksi Soeman dalam cerita-cerita pendek buatannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang Sumatra timur-nya, dengan pengucapan Melayu dan pengaruh Jawa yang lebih sedikit ketimbang beberapa penulis kontemporer.[43] Namun, seperti halnya para penulis sejawatnya dari generasi Poedjangga Baroe, ia tetap menggunakan istilah Melayu klasik seperti alkisah dan maka. Ia dikritik karena menggunakan kalimat yang bertele-tele ketimbang sastra sebelumnya, bukannya berupaya untuk menggunakan gaya yang lebih ringkas dan langsung dan menghindari kiasan.[44] Dalam sebuah artikel 1936, Alisjahbana berkata bahwa, di tangan Soeman, "bahasa Melayu yang telah kaku dan beku dikarenakan susunan tetap dan aturannya, menjadi cair kembali".[g][45]

Warisan

sunting
 
Perpustakaan Soeman HS di Pekanbaru

Karya-karya Soeman sering kali digunakan untuk mengajarkan sastra untuk murid-murid SMP dan SMA, utamanya di Riau, dimana pada 1970an, karya-karya tersebut didistribusikan oleh pemerintah provinsi.[46] Salah satu cerita pendek Soeman, "Papan Reklame", masuk dalam sebuah bacaan terbitan Cornell University Press untuk murid-murid asal Indonesia,[47] dan HB Jassin memasukkan salah satu puisi Soeman, "Iman", dalam antologi Pudjangga Baroe (1963).[48] Pada 1993, Mentjahari Pentjoeri Anak Perawan diadaptasi ke dalam sebuah serial televisi buatan August Melasz.[49]

Sampai akhir hayat Soeman, buku-bukunya hanya sedikit diterbitkan ulang dan dibicarakan,[50] dan sebuah profil 2014 buatan Pusat Tanjungpinang untuk Penyajian Nilai-Nilai Kebudayaan menyebut Soeman sebagai seorang pengajar dan penulis yang terlupakan.[1] Namun, karya-karya Soeman masih diantologikan, dan pada 2008, Perpustakaan Soeman HS di Pekanbaru dinamakan dengan namanya. Rancangannya mengingatkan pada alas baca al-Qur'an dan merefleksikan budaya Islam Melayu, perpustakaan berdinding kaca dan enam lantai tersebut dioperasikan olen pemerintah Riau.[51] Pada 2010, Yayasan Sagang secara anumerta menganugerahkan Soeman dengan Penghargaan Sagang Kencana untuk jasa-jasanya dalam menyajikan budaya Melayu.[52]

Pengakuan

sunting

Soeman telah dikategorikan sebagai pengarang kecil dari periode Poedjangga Baroe. Sarjana sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa, meskipun puisi Soeman umumnya berbentuk konvensional,[53] cerita-cerita detektifnya "tidak bersahaja namun enak dibaca". Namun, ia menganggap kumpulan cerita pendek Soeman, Kawan Bergeloet, karya buatannya paling terkenal dalam bidang sastra, memiliki sketsa "sangat terobservasi dan tergambar secara realistis".[5] Sementara itu, Alisjahbana memuji penggunaan inovatif Melayu Soeman namun menganggap alur cerita pengarang tersebut tidak konsenkuensial dan tidak logis, dengan akting naratif "seperti anak-anak yang mengkilatkan permainannya dengan sekejap mata, tetapi juga langsung menyembunyikannya untuk membangkitkan rasa penasaran pada temannya".[h] Ia menganggap karya Soeman baik untuk dibaca karena nilai hiburannya.[54]

Dalam sebuah film yang menyoroti Soeman yang dibuat oleh Yayasan Lontar, Budianta menyatakan bahwa:

Karya-karyanya boleh dikata sedikit. Karya-karyanya boleh dikata kurang disukai, tidak terlalu monumental, tetapi kehadiran Soeman Hs sebagai penulis cerita humor dan penulis cerita detektif, itu tidak bisa diabaikan. Kalau kita mau bercerita tentang pelopor penulis humor atau pelopor cerita detektif, Soeman Hs itu bapaknya. Dia bisa dianggap bapak cerita humor dan detektif.

— Eka Budianta, dalam (Nasution 1998, 11:30–12:08)

Daftar pustaka pilihan

sunting

Catatan penjelas

sunting
  1. ^ Tanggal tidak dicatat. Soeman kemudian menyatakan bahwa ia diberitahukan tahun kelahirannya oleh ayahnya, namun ia tidak memastikan apakah informasi tersebut akurat (Kasiri 1993, hlm. 92).
  2. ^ Dalam sebuah wawancara 1994, Soeman berkata bahwa seseorang telah berkata bahwa ia telah membaca seluruh ratusan buku di perpustakaan sekolah tersebut (Nasution 1998, 7:30–7:50).
  3. ^ Sebagian besar guru hanya menempuh pendidikan tingkat SD (Kasiri 1993, hlm. 102).
  4. ^ Fungsinya sama dengan Badan Perwakilan Regional.
  5. ^ Setelah kemerdekaan Indonesia, Riau menjadi bagian dari Provinsi Sumatra Tengah. Sutradara Tengah terbagi dalam tiga provinsi (Sumatera Barat, Jambi, dan Riau) di bawah hukum No. 61 1958.
  6. ^ Dalam sebuah wawancara 1989, Soeman berkata bahwa ia menganggap rekomendasi Achmad sebagai sebuah permintaan atas reaksi gubernur terhadap kritikan Soeman yang ditujukan kepada kebijakan-kebijakannya (Kasiri 1993, hlm. 117).
  7. ^ Asli: "... bahasa Melajoe lama jang telah kakoe dan bekoe oleh karena telah tetap soesoenan dan atjoeannja, mendjadi tjair kembali..."
  8. ^ Asli: "... seperti kanak-kanak jang mengilatkan sekedjap mata permainannja, tetapi segera menjemboenjikannja poela oentoek membangkitkan 'keinginan hendak tahoe' pada temannja."

Referensi

sunting
  1. ^ a b Tanjungpinang, 2014.
  2. ^ a b Kasiri 1993, hlm. 89.
  3. ^ [1]
  4. ^ TAHUKAH ANDA? - Melihat Sepeda Ontel Peninggalan Sastrawan Riau Soeman HS
  5. ^ a b Teeuw 2013, hlm. 73.
  6. ^ Kasiri 1993, hlm. 91.
  7. ^ Tanjungpinang, 2014; Muhammad 2002, hlm. 201; Kasiri 1993, hlm. 93.
  8. ^ Kasiri 1993, hlm. 92–93; Nasution 1998, 7:07.
  9. ^ a b Kasiri 1993, hlm. 94–95.
  10. ^ Kasiri 1993, hlm. 107.
  11. ^ Kasiri 1993, hlm. 95.
  12. ^ Rampan 2000, hlm. 455; Eneste 1981, hlm. 92.
  13. ^ Rampan 2000, hlm. 455; Kasiri 1993, hlm. 96–97.
  14. ^ Kasiri 1993, hlm. 106.
  15. ^ Muhammad 2002, hlm. 201.
  16. ^ Eneste 1981, hlm. 92.
  17. ^ Kasiri 1993, hlm. 111; Alisjahbana 1941, hlm. 7.
  18. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 1992, hlm. 23–24.
  19. ^ Kasiri 1993, hlm. 111.
  20. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 1992, hlm. 33–34.
  21. ^ Kasiri 1993, hlm. 112.
  22. ^ Nasution 1998, 21:09–21:12.
  23. ^ Rampan 2000, hlm. 455; Jassin 1963, hlm. 309
  24. ^ Teeuw 2013, hlm. 72; Jedamski 2009, hlm. 397–398.
  25. ^ Kratz 1988, hlm. 566–567.
  26. ^ Balai Pustaka 1941, hlm. 3–4.
  27. ^ a b Rampan 2000, hlm. 455.
  28. ^ Rampan 2000, hlm. 455; Kasiri 1993, hlm. 99.
  29. ^ Kasiri 1993, hlm. 99.
  30. ^ Kasiri 1993, hlm. 100.
  31. ^ Rampan 2000, hlm. 455; Kasiri 1993, hlm. 100–101.
  32. ^ Kasiri 1993, hlm. 101–102.
  33. ^ Muhammad 2002, hlm. 201–202.
  34. ^ Muhammad 2002, hlm. 202; Kasiri 1993, hlm. 104–105.
  35. ^ Kasiri 1993, hlm. 105.
  36. ^ Eneste 1981, hlm. 92; Kasiri 1993, hlm. 116–118
  37. ^ a b Kasiri 1993, hlm. 109–110.
  38. ^ Alisjahbana 1941, hlm. 12.
  39. ^ Nasution 1998, 9:12–9:57.
  40. ^ a b Kasiri 1993, hlm. 107–108.
  41. ^ Kasiri 1993, hlm. 109.
  42. ^ Muhammad 2002, hlm. 203.
  43. ^ Rosidi 1968, hlm. 36.
  44. ^ Kasiri 1993, hlm. 112–113.
  45. ^ Alisjahbana 1941, hlm. 5.
  46. ^ Kasiri 1993, hlm. 114.
  47. ^ Wolff 1978, hlm. 161.
  48. ^ Nasution 1998, 21:50; Jassin 1963, hlm. 310.
  49. ^ Eneste 2001, hlm. 50.
  50. ^ Muhammad 2002, hlm. 203; Nasution 1998, 3:41
  51. ^ Tanjungpinang, 2014; Herawati & Yogiyanti 2015.
  52. ^ Riau Pos 2015, Peraih Anugerah Sagang.
  53. ^ Teeuw 2013, hlm. 47.
  54. ^ Alisjahbana 1941, hlm. 9–10.

Karya yang dikutip

sunting
  • Alisjahbana, Sutan Takdir (1941). "Soeman Hs". Kawan Bergeloet (dalam bahasa Indonesian). Batavia: Balai Pustaka. hlm. 5–13. OCLC 20651467. 
  • Balai Pustaka (1941). "Pengantar". Kawan Bergeloet (dalam bahasa Indonesian). Batavia: Balai Pustaka. OCLC 20651467. 
  • Eneste, Pamusuk, ed. (1981). Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gramedia. OCLC 8785600. 
  • Eneste, Pamusuk (2001). Bibliografi Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Magelang: Yayasan Indonesiatera. ISBN 978-979-9375-17-9. Diakses tanggal 13 August 2011. 
  • Herawati, Elly; Yogiyanti, Nadira Octova (28 December 2015). "Wisata Edukasi ke Perpustakaan Soeman HS Pekanbaru". VIVA.co.id (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-16. Diakses tanggal 16 April 2016. 
  • Jassin, HB (1963). Pudjangga Baru Prosa dan Puisi (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 9399495. 
  • Jedamski, D.A. (2009). "The Vanishing Act – Sherlock Holmes in Indonesia's National Awakening". Dalam Jedamski, D.A. Chewing Over the West: Occidental Narratives in Non-Western Readings (PDF). Cross/Cultures. 119. Amsterdam: Rodopi. hlm. 349–379. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-09-03. Diakses tanggal 3 September 2012. 
  • Kasiri, Julizar (1993). "Soeman Hs: Guru yang Berjiwa Guru". Memoar: Senarasi Kiprah Sejarah (dalam bahasa Indonesian). 3. Jakarta: Grafiti Press. hlm. 89–118. ISBN 978-979-444-274-6. 
  • Kratz, Ernst Ulrich (1988). A Bibliography of Indonesian Literature in Journals: Drama, Prose, Poetry. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-979-420-108-4. 
  • Mahayana, Maman S.; Sofyan, Oyon; Dian, Achmad (1992). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4. 
  • Muhammad, Aulia A (2002). Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia (dalam bahasa Indonesian). 2002: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-668-401-4. 
  • Nasution, Arswendy (1998). Soeman Hasibuan (streamed video) (dalam bahasa Indonesian). Lontar Foundation. OCLC 56795585. 
  • "Peraih Anugerah Sagang dan Sagang Kencana Diumumkan". Riau Pos (dalam bahasa Indonesian). 12 October 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-16. Diakses tanggal 16 April 2016. 
  • Rampan, Korrie Layun (2000). Leksikon Susastra Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 978-979-666-358-3. 
  • Rosidi, Ajip (1968). Tjerita Pendek Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 348467. 
  • "Soeman HS: Tokoh Sastra dan Pendidikan yang Terlupakan" (dalam bahasa Indonesian). Tanjungpinang Center for Preserving Cultural Values. 6 June 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-12. Diakses tanggal 12 April 2016. 
  • Teeuw, A. (2013). Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-94-015-0768-4. 
  • Wolff, John Ulrich (1978). Indonesian Readings. Ithaca: Cornell University Press. OCLC 923614542. 

Pranala luar

sunting