Otto Djaya atau lengkapnya Raden Otto Djaya Suntara merupakan pelukis handal asal Indonesia yang berkarya dalam beberapa zaman: Mulai era Pemerintahan Hindia Belanda, Pendudukan Kerajaan Jepang, Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai Jaman Reformasi. Meski ia bersikeras tidak mau terjebak dalam gaya-gaya klasik manapun, Otto adalah pelukis beraliran ekpresionis. Karya-karya lukisannya digemari dan diakui hingga mancanegara. Salah satu pengkoleksi karyanya adalah Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Otto merupakan seniman lukis sekaligus pejuang kemerdekaan.[1]

Otto Djaya
LahirRaden Otto Djaya Suntara
(1916-10-06)6 Oktober 1916
Kabupaten Pandeglang, Banten, Indonesia
Meninggal23 Juni 2002(2002-06-23) (umur 85)
Pendidikan
Pekerjaan
  • Guru
  • Pelukis
  • Purnawirawan TNI AD (1944-1946, Pangkat Terakhir Mayor)
Tahun aktif1941-2002
Organisasi
Dikenal atasPelukis Ekspresionisme
Suami/istriTiti Hernadi
AnakLaksmi Hendrastuti (1952)
Maya Damayanti (1954)
Asoka Kusuma Djaya (1957)
Sinta Dewi Handayani (1963)
Orang tuaRaden Wirasandi Natadiningrat dan Sarwanah Sunaeni
Penghargaan
  • Asia Raya Prize Dalam Eksibisi Meijisetsu, 1943.
  • Jasa Tiga Bintang Emas Pejuang Kemerdekaan RI (NPV atau Nomor Pokok Veteran: 8.20.585.)

Riwayat Hidup sunting

Raden Otto Djaya Suntara lahir di Rangkasbitung, Kabupaten Pandeglang tanggal 6 Oktober 1916. Ia adalah anak kedua dari pasangan Raden Wirasandi Natadiningrat-Sarwanah Sunaeni. Di atasnya ada Agus Djaya Suminta (1913 – 1994) dan di bawah Otto adalah adik perempuannya, Neneng Khatidjah (1921-2010). Otto bukan berasal dari kalangan berada namun bukan juga dari golongan bawah. Ayahnya merupakan keturunan keluarga ningrat Banten yang bekerja pada Bupati Wedana (atau kepala wilayah Pandeglang) yang notabene berada di bawah Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Tugas ayahnya mengawasi hutan-hutan yang ada di Banten.[1]

Otto menikah di usianya yang ke 35 tahun, umur “terlambat” untuk ukuran laki-laki Indonesia, apalagi di masa-masa itu. Pada tanggal 4 Juni 1951 ia secara resmi menikahi wanita asal Semarang bernama Titi Hernadi. Resepsi pernikahan menyusul kemudian pada tanggal 14 Juli 1951. Keduanya bertemu saat bekerja di perusahaan percetakan Bisnis Indonesia. Mereka tinggal di rumah sendiri di Jalan Bendo No.5, Candi Baru, Semarang, Jawa Tengah.

Suasana lingkungan rumah Otto memang mendukung profesinya sebagai pelukis: Terletak di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Ukurannya pun besar. Selain untuk rumah tinggal, kediaman Otto juga dijadikan guest-house dan galeri untuk menjual lukisan-lukisan karyanya. Otto dan Titi mendapatkan penghasilan yang baik pada masa-masa itu. Mereka dikaruniai empat orang anak. Anak pertama lahir 8 Maret 1952 yang diberi nama Laksmi Hendrastuti. Lalu menyusul Maya Damayanti yang lahir tanggal 6 Juni 1954, Asoka Kusuma Djaya, lahir 14 Juni 1957, dan si bungsu Sinta Dewi Handayani yang lahir pada tanggal 25 Juni 1963.

Pendidikan sunting

Pada tahun 1923 Raden Wirasandi Natadiningrat memasukkan Otto di sekolah Belanda khusus Bumiputera (Hollandsch-Inlandsche School) di Pandeglang. Ketertarikannya terhadap seni lukis dimulai di sekolah tersebut. Tujuh tahun berikutnya Otto pergi ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya di Meer Vitgebreid Lager Onderwijs, atau sekolah dasar lanjutan selama tiga tahun berikut. Pendidikan formalnya berlanjut di Algemene Middelbare School Bandung pada tahun 1933. Otto lulus ketika ia berusia 20 tahun. Lalu dilanjutkan ke Sekolah Arjuna di Petojo, Jakarta. Diperkirakan selama setahun ia bersekolah disana. Yang jelas Agus Daya sudah menjadi guru di sekolah ini selama periode tahun 1930 –1933.[1]

Pada tanggal 9 Maret 1942 Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian secara resmi wilayah Indonesia jatuh ke tangan Jepang.[2] Meski sudah berkuasa penuh, negeri Sakura tersebut memandang perlu dibentuknya pasukan sukarelawan lokal untuk memperkuat kesatuan tentara yang ada. Inisiatif tersebut disambut hangat kaum nasionalis Indonesia. Pada tanggal 3 Oktober 1943 PETA (Pembela Tanah Air) resmi dibentuk. Jepang lalu mengumumkan perekrutan dan pelatihan prajurit bagi orang lokal untuk mengisi posisi perwira (Komandan Kompi) PETA. Beberapa bulan kemudian atau sekitar tahun 1944 Otto mendaftarkan diri. Selama 3 bulan Otto mendapatkan pendidikan militer ala Jepang, untuk kemudian lulus berpangkat Mayor. Ke depan Mayor Raden Otto Djaya Suntara terlibat langsung dalam revolusi fisik.

Setelah Jepang menyerah kalah dari Pasukan Sekutu dan Republik Indonesia diproklamirkan, Amerika Serikat mengumumkan pengalihan tanggung jawab atas wilayah Indonesia kepada Inggris yang tak lain adalah sekutu Belanda juga. Sebulan setelah pasukan Inggris di Bandara Kemayoran, Jakarta, Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook kembali datang ke Pulau Jawa dengan misi kembali membangun pemerintahan kolonial. Pada tanggal 13 Juli 1946 Komando Pasukan Sekutu Asia Tenggara secara resmi menyerahkan Indonesia kepada Belanda (kecuali Pulau Jawa dan Sumatera).

Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia, memulai negosiasi dengan Gubernur-Jenderal Hubertus van Mook membentuk negara Republik Indonesia yang baru lewat Konferensi Malino Sulawesi. Singkatnya dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai tindak lanjut dari itu, van Mook memprakarsai pendanaan atau beasiswa bagi murid-murid Indonesia untuk belajar di universitas-universitas atau akademi-akademi di Belanda.

Pada akhir tahun 1946 Otto keluar dari dinas militer untuk kemudian melanjutkan profesinya sebagai pelukis. Tidak diketahui apa sebab dia keluar dari dinas kemiliterannya. Yang jelas pada awal tahun 1947 Otto beserta Agus Djaya direkomendasikan oleh Ir. Soekarno dan Menteri Pertahanan untuk disertakan dalam Program Malino. Karena sudah menjadi warga sipil, status Otto saat dikirim ke Belanda adalah pelukis, utusan kesenian dan calon mahasiswa seni, bukan sebagai perwira militer.

Setiba di Belanda Otto Djaya dan abangnya belajar di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten. Namun tidak diketahui apakah mereka lulus (diwisuda) dari akademi tersebut. Data dari arsip Rijksakademie diketahui bahwa masa studi Otto Djaya berakhir pada tanggal 10 Mei 1950. Otto kembali ke tanah air pada awal tahun 1950.

Pelukis dan Pejuang sunting

Otto adalah veteran perang RI. Sebagai mantan prajurit PETA Otto menerima penghargaan jasa tiga bintang emas di era kepemimpinan Presiden Suharto (terdaftar dengan Nomor Pokok Veteran: 8.20.585[3]). Meski karier militernya sangat singkat hanya dua tahun (1944-1946), Otto pernah terlibat langsung dalam pertempuran fisik. Yang unik dari dirinya adalah meski berstatus sebagai tentara Otto tetap produktif menghasilkan karya-karya lukisan.[1]

Ketika menjadi taruna saat mengikuti pelatihan militer PETA di Bogor, waktu-waktu istirahatnya selalu diisi dengan melukis. Menurutnya, melukis adalah salah satu cara agar dirinya tetap "waras" di kamp pelatihan. Bukannya apa-apa, latihan fisik di PETA itu sangat keras. Selama tiga bulan para kadet digembleng fisiknya siang malam dan terisolasi dari dunia luar. Seusai latihan mereka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali istirahat lalu tidur. Namun, Otto memaksakan diri menggunakan waktu-waktu istirahatnya dengan melukis dan melukis. Ternyata para serdadu Jepang meminati karya-karya indah Otto. Semua lukisannya laku terjual. Bahkan ada beberapa yang dibawa ke Jepang untuk kemudian dijual disana.

Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mayor Otto Djaya datang ke Asrama Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), Balai Muslimin Indonesia di Jakarta. Tidak diketahui dalam rangka apa ia datang ke sana. Yang jelas, sebelum kedatangannya ada himbauan dari Subianto Djojohadikusumo selaku Ketua Umum PP STI kepada sesama pengurus, A. Karim Halim, agar mahasiswa STI menuliskan berbagai semboyan revolusi di trem, kereta api, bus, tembok-tembok gedung, dan di berbagai tempat strategis lainnya. Singkatnya, mengetahui latar belakang Mayor Otto adalah pelukis, Karim memintanya untuk menuliskan berbagai semboyan revolusi seperti himbauan tadi.[4]

Untuk diketahui Subianto Djojohadikusumo adalah salah satu pemuda yang mendatangi dan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 15 Agustus 1945 sore untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada hari itu juga. Pertemuan dilakukan di halaman belakang Institut Koningin Wilhelmina, Jalan Pegangsaan Timur No. 15. Kelak, Pada tanggal 25 Januari 1946, Taruna Subianto Djojohadikusumo beserta adiknya Sujono Djojohadikusumo dan 35 taruna Akademi Militer Tangerang lainnya gugur dalam insiden perundingan perlucutan senjata dengan tentara Jepang di Hutan Lengkong, Tangerang.

Atas permintaan STI itu Mayor Otto pun lantas setuju. Dilakukanlah aksi corat-coret seperti yang diminta, mulai dari pool trem di belakang Balai Muslimin, Stasiun Senen, Stasiun Gambir, Stasiun Manggarai, dan lain-lain. Penduduk Jakarta dibuat gempar dengan aksi tersebut. Dengan gembira mereka membaca slogan-slogan revolusi ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris. Selanjutnya aksi corat-coret tersebut diikuti dan menyebar cepat ke berbagai kota besar di Pulau Jawa: Bogor, Bandung, Cirebon, dan Semarang.

Keterlibatan Mayor Otto Djaya (beserta Agus Djaya) dalam pertempuran pertama kali ketika ia beserta pasukannya (Resimen III Divisi III plus masyarakat sipil Sukabumi) mendapat tugas menghadang Pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Bulan Desember 1945, tentara Sekutu memasuki kawasan Sukabumi dalam rangka mengamankan jalan-jalan antara Bogor dan Sukabumi. Tidak berimbang, Sekutu bersenjata lengkap plus tank-tank amphibinya sedangkan pasukan Indonesia hanya menggunakan senjata pampasan dari pasukan Jepang yang telah menyerah. Pasukan Indonesia terjepit. Beruntung, berkat hujan deras dan kabut yang tebal, Resimen III Divisi III berhasil lolos dari kepungan Sekutu. Ribuan orang dinyatakan gugur dalam kontak bersenjata yang kemudian dikenal sebagai pertempuran Bojong Kokosan itu.[1]

4 Januari 1946 Sukarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta untuk mendirikan pemerintahan sementara. Otto beserta seniman-seniman lainnya, termasuk Agus Djaya, hijrah mengikuti Presiden Sukarno. Misi mereka adalah mendukung revolusi dengan membuat propaganda lewat karya-karya seni. Di kota pelajar itu Otto dan Agus mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat (SPR). SPR merupakan ide pelukis senior Affandi dan Hendra Gunawan yang juga mendapatkan sambutan positif dari Presiden Sukarno. Sanggar ini boleh dibilang memegang peranan penting atas perkembangan seni rupa di Indonesia. Banyak pelukis-pelukis SPR melukiskan potret-potret para pejuang revolusi maupun ketika mereka sedang bertempur di medan laga.

Meski dengan keterbatasan alat, Otto dan seniman lain tetap semangat untuk berkarya. Wajar saja, saat itu Indonesia terisolasi dari dunia luar. Berdirinya STR membuat Yogyakarta terkenal sebagai pusat kesenian bangsa. Selepas dari Yogyakarta, Otto lalu berkesempatan mengikuti Bung Karno tur keliling nusantara. Tugas Otto adalah melukis Sukarno ketika berorasi. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri buat seorang Otto Djaya.

Inspirasi sunting

Otto Djaya mulai tertarik pada seni lukis dan mempelajarinya saat ia bersekolah di Hollandsch-Inlandsche. Tahun 1928, atau ketika ia berusia 12, ia mulai mengikuti kelas seni pertamanya. Ketertarikannya itu berlanjut hingga ia bersekolah di Bandung, di Meer Vitgebreid Lager Onderwijs. Kala itu Otto melukis dengan gaya bebas sederhana. Otto melukis apa yang ia rasa dan ia lihat.[1] Hal demikian mungkin membentuk Otto dewasa dalam karya-karyanya ke depan menjadi seorang pelukis bohemian, non-konformis, yang mendefinisikan refleksi dan estetika pribadinya sendiri.[5]

Meski demikian, Otto merupakan pengagum pelukis Eropa kenamaan berdarah Yahudi Marc Chagall (1887-1985). Sebagai bentuk kekagumannya ia lalu pergi ke Paris untuk menemui idolanya tersebut. Otto mengakui bahwa ia mengagumi Chagall karena selera humornya dan cara dia menggambarkan realita sosial. Pengaruh Chagall dapat terlihat di lukisan-lukisan seorang Otto Djaya.[1]

Karya-karya Otto sangat khas. Ia melukiskan hal-hal yang dekat dengan kehidupan nyata sehari-hari yang dituangkan dalam suanana yang sarkas sehingga menjadi lucu. Hal demikian mencerminkan jiwa kritisnya. Dalam lukisannya ia banyak menampilkan tokoh Punakawan. Karakteristik Otto lainnya adalah goresannya yang mendetail. Tubuh manusia maupun binatang ia gambarkan secara gamblang. Gaya lukisan model ini disebut lukisan figuratif, yang notabene dihindari oleh kebanyakan Orang Muslim. Gaya lukisan Otto pun ditengarai mirip dengan pelukis-pelukis asal Eropa yang tergabung dalam Cobra (Copenhagen, Brussels, and Amsterdam).[6] Tidak bisa dipungkiri juga bahwa Agus Djaya, abang Otto, juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan gaya-gaya melukis Otto Djaya[1]

Pameran sunting

6 Mei-6 Juni 1941. Otto Djaya dan 30 anggota Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menggelar Pameran di Gedung Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka memamerkan 61 lukisan bertema pemandangan dan keseharian orang Indonesia. Pameran ini merupakan tonggak sejarah baru bagi seniman gambar Indonesia, khususnya seniman-seniman Persagi. Tidak mudah bagi pelukis Bumiputera untuk berpameran di Kunstkring, bahkan sekadar diundang untuk melihat-lihat pameran. Pertama tentu saja karena politik diskriminasi penjajah, faktor lainnya adalah, kebanyakan pelukis Indonesia otodidak, bukan lulusan akademi. Sebelumnya, proposal Agus Djaya dan S. Sudjojono untuk menggelar pameran berkali-kali ditolak.[1]

Gedung Kunstkring dibuka untuk pertama kali pada 17 April 1914. Gedung ini dijadikan pusat ekshibisi seni dan restoran mewah. Hingga awal 1939 banyak pergelaran seni digelar di Gedung Kunstkring (arti dalam bahasa Indonesianya Lingkaran Seni). Lukisan karya Pablo Picasso dan Vincent van Gogh pernah dipamerkan di sana. Tempat ini sekarang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini disewa dan dikelola Grup Hotel Tugu dan Restoran.[7]

Gedung Kunstkring didirikan atas prakarsa pecinta seni di Batavia, Nederlandsch-Indische Kunstkring, atau Kelompok Seni Rupa Murni Hindia Belanda. Yang boleh menjadi anggota adalah orang Eropa. Bumiputera boleh menjadi anggota dengan syarat dianggap memiliki pengaruh. Syarat lainnya, seniman itu setidaknya harus memiliki salah satu orang tua yang berkebangsaan Belanda. Setelah di Batavia, Kunstkring-Kunstkring lain bermunculan. Tahun 1942 Jepang menduduki Hindia Belanda, otomatis eksistensi Kunstkring terhenti.[1]

20 November 1943. Poetera dan Keimin Bunka Shidosho menggelar empat belas pameran, dimana Otto terlibat di dalamnya. Otto memenangkan Asia Raya Prize pada eksibisi Meijisetsu.

1944. Otto Djaya mengadakan eksibisi tunggal dengan tema “Semangat Keprajuritan dan Patriotisme”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan perjuangan prajurit membela tanah air. Pameran digelar di pusat kebudayaan di Jakarta. Pameran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pameran yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidoshu bagi para seniman Indonesia dan Jepang.

29 Agustus 1945. Mayor Otto Djaya diminta Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) menulis semboyan-semboyan revolusi di tempat-tempat umum di sekitaran Jakarta. Aksi tersebut menuai sambutan baik oleh warga Jakarta. Aksi coretan Otto tersebut menular di kota-kota besar lainnya.[4]

1946. Otto Djaya menggelar eksibisi solo di Museum Nasional Jakarta sekembalinya dari medan perang, atau setelah ia memutuskan berhenti dari dinas kemiliterannya. Otto memamerkan karya-karya lukisnya dari garis depan medan pertempuran.

20 Februari 1947. Karya Agus dan Otto Djaya digelar Kementerian Pendidikan Seni dan Ilmu Sains Republik di Museum di Koningsplein, Kings Square, Jakarta. Gubernur Jenderal van Mook hadir dan membeli beberapa lukisan mereka.[8]

10 Oktober 1947 Otto Djaya mengelar pameran tunggal di Belanda yang digelar di Amstelstroom Museum Stedelijk. 81 karyanya dipamerkan, baik yang dibuat di Belanda maupun ketika ia berada di Indonesia. 2 lukisan masing-masing dibuat tahun 1942-1943, 3 lukisan tahun 1944, 3 lukisan 1945, 51 lukisan tahun 1946, dan 22 lukisan yang dibuat tahun 1947.[1]

Pada tahun yang sama Otto dan Agus Djaya menggelar pameran di Galeri Barbizon di area Saint Germain, Paris, Perancis. Awalnya pameran akan digelar di Museum Seni Modern Paris, namun dibatalkan mengingat museum tersebut sedang ditutup untuk sementara waktu. Para pengunjung menyukai karya keduanya. Mereka menyebut Otto sebagai pendongeng cerita.

5 Maret - 4 April 1948. Beberapa pelukis termasuk Otto dan Agus menggelar pameran di Museum Stedelijk yang bertema “Amsterdamse Schilders Van Nu” (Pelukis-Pelukis Amsterdam Sekarang). Pameran ini menampilkan karya-karya ekspresi seni yang timbul pasca Perang Dunia II. Otto menampilkan 3 karyanya yakni, “Visite”, “Gewijd Avondmaal”, dan “Javaanse Danseres”. Masing-masing terjual seharga 300 Gulden, 150 Gulden dan 230 Gulden.

1949. Otto mengikuti Eksposisi Le Grand Prix de Peinture de Monaco di Monte Carlo dan menerima “Premiere Mention Honorabile“.[8]

22 April 1950. Ini merupakan eksibisi perpisahan bagi Otto dan Agus. Diselenggarakan Sentral Budaya Internasional di Amsterdam. Eksibisi ini dibuka oleh Raden Djumhana (Deputi Komisaris Tinggi Republik Indonesia Serikat).[1]

1951. Beberapa lukisan Otto Djaya yang disimpan di Belanda dipamerkan dalam acara Biennale di Sao Paulo, Brazil. Otto absen dalam acara tersebut. Adalah anggota Persagi, Kusnadi (1921-1990), yang bertanggung jawab menyeleksi lukisan-lukisan Indonesia untuk dipamerkan di sana. Pelaksanaan pameran menuai sukses besar.[8]

25 Februari-15 Maret 1952. Sebuah eksebisi diadakan di Galeri John Heller, jl. 47 East 108, New York, USA. Memamerkan lukisan-lukisan Indonesia Modern: Karya Otto, “Dream of Maya” dan “Dream”, karya Affandi, "Emiria Sunassa", karya Hendra, S. Sudjojono, Sudyardjo dan Zaini. Galeri Heller merupakan salah satu galeri yang paling aktif dan dianggap penting di Amerika Serikat pada tahun 1952.[1]

27 Maret 1952. Beberapa institusi kebudayaan di Bogor menggelar eksibisi tunggal bagi Otto Djaya.

15-24 Mei 1952. Dua karya Otto dipamerkan di toko-toko Army & Navy di London. Eksibisi ini sebenarnya lebih mengutamakan memamerkan karya-karya Affandi (58 lukisan dan gambar tinta). Ikut juga dipamerkan karya-karya anak bangsa lainnya seperti, Salim (8 lukisan), Mochtar Apin (5 lukisan), Hendra Gunawan (4 lukisan), Saptohudoyo (3 lukisan), Agus Djaya, dan Effendi (masing-masing 2 lukisan). Lalu dipamerkan juga karya-karya milik Kerton, Baharudin, Suromo, Sudibio, Sudardo, Henk Ngantung, Trubus, dan Sudiardjo (masing-masing1 lukisan).

3 Juli 1952 Otto dan Agus Djaya menggelar pameran di Semarang. Karya-karya Otto mendapatkan pujian dari Koran De Locomotief.

19 Juli 1952 Abang-beradik ini kembali menggelar eksibisi di Gedung Rakyat, Semarang. Diselenggarakan pada acara sekolah Kung Li Shueh Hsiao.

18 Desember 1954. Otto dan Agus Djaya menggelar pameran di Semarang. Rencananya Presiden RI Pertama akan hadir ke acara tersebut. Sayangnya, dibatalkan. Otto sangat kecewa, namun hubungan Otto-Sukarno tetap baik-baik saja. Harian De Locomotief kembali mengangkat pameran Otto.

18 April 1952. Soekarno meminta pelukis-pelukis anak bangsa untuk memamerkan karya-karyanya saat perhelatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Sudarso, Affandi dan Hendra Gunawan menyambut para delegasi peserta konferensi dengan eksibisi pameran lukisan. Otto sendiri menampilkan sebuah karya yang lalu dikoleksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

1956. Terbit buku seri pertama yang mengangkat koleksi lukisan-lukisan Presiden Ir. Sukarno di Istana Negara. Ada 206 karya lukis yang dimasukkan dalam buku tersebut, termasuk dua diantaranya adalah karya Otto Djaya. Sebanyak 6.000 eksemplar dibagikan kepada para kepala negara, menteri, politisi, perorangan dan kolektor seni.

1961. Terbit buku volume III dan IV sebagai lanjutan buku seri pertama yang terbit pada tahun 1956 tentang koleksi lukisan Istana Kepresidenan RI.

1964. Lima set volume buku tentang Koleksi Lukisan dan Patung Sukarno dipublikasikan. Buku ini merupakan edisi internasional yang dicetak di Jepang. Empat buah karya Otto masuk dalam buku tersebut. Diperkirakan dalam tahun yang sama Otto Djaya melakukan eksebisi di Jakarta. Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Howard Palfrey Jones, menghadiri pameran tersebut.

13-28 April 1968 Sebagai veteran perang kemerdekaan, Mayor (Purn) Otto Djaya dan Letkol (Purn) Agus Djaya ikut dalam sebuah pameran yang dibesut PIVEKA (Persatuan Isteri Veteran & Karyawati) dan Departemen Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jalan Proklamasi No.56 Menteng. Acara ini digelar untuk menggalang dana bagi Kongres Nasional II Legiun Veteran Indonesia. Turut hadir Presiden ke-2 RI Suharto. Otto dan Agus Djaya menyumbangkan seratus lukisannya untuk dijual di pameran tersebut.

23 Maret-6 April 1972. Digelar pameran lukisan karya-karya Otto di Erasmus Huis Jakarta.

9-14 Januari 1978. Otto Djaya menggelar eksebisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Otto memamerkan 41 karya lukisannya yang dibuat tahun 1976-1977.

Tahun 1979 Otto kembali menggelar pameran kali kedua di Erasmus Huis.

1980. Otto menggelar pameran yang disponsori oleh Lembaga Indonesia Amerika (LIA) dan Dewan Kesenian di Surabaya.

1981. Kali ini Otto menggelar sebuah eksibisi tunggal di Gedung Mitra Budaya, Menteng, Jakarta. Disponsori Pusat Kebudayaan Mitra yang didirikan tahun 1954 yang bertujuan menyokong seniman-seniman Jakarta yang mulai eksis setelah tahun 1949.

1982 Otto Djaya memamerkan tiga puluh lukisan di Ruangan Opal di Hotel Presiden di Jakarta. Pameran ini diponsori Karate-Do Goju-Kai Indonesia. Dalam perhelatan tersebut karya-karya Otto dibeli para pengusaha Jepang.

1983 PPIA Australia (organisasi perkumpulan mahasiswa Indonesia di Australia) menghelat pameran karya Otto di Jakarta. Duta Besar Amerika untuk Indonesia, John Herbert Holdridge, membuka pameran tersebut.

3 Mei 1984, Otto Djaya dan Agus Djaya menggelar pameran di Galeri Seni Rupa Oet di Jalan Palatehan, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pameran dibuka Menteri Turisme, Pos dan Telekomunikasi Achmad Tahir. Media-media lokal ternama seperti Berita Buana, Harian Pelita, Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, memberikan apresiasi positif atas lukisan Otto Djaya.

1987. Otto menggelar eksibisi tunggal di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Pameran dibuka Ketua MPR RI, H. Amir Machmud.

10-18 Agustus 1995 Otto Djaya menyelenggarakan eksibisi tunggal di Gedung B Galeri Nasional Indonesia Jakarta. Eksibisi ini sekaligus merayakan setengah abad Kemerdekaan RI. Otto memamerkan karya tentang episode sejarah Indonesia sejak Proklamasi. Sayangnya, Otto tidak bisa menghadiri langsung pameran tersebut karena terserang stroke.

12-24 Januari 1996. Menyambut usia Otto yang ke 80 tahun, Galeri Cipta II di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menggelar pameran tunggal karya-karya Otto. Ada 50 lukisan yang dipamerkan, 23 diantaranya merupakan karya-karya terbarunya.

24 Juni-7 Juli 1999. 35 lukisan karya Otto Djaya dipamerkan dalam sebuah eksibisi tunggal di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Semua karya Otto ludes terjual.

30 September-9 Oktober 2016. Galeri Nasional Indonesia mengadakan pameran karya-karya lukis Otto Djaya bertajuk "100 Tahun Otto Djaya". Diinisiasi oleh Inge-Marie Holst dan Hans Peter Holst (pasaggan suami-istri pengagum dan kolektor lukisan-lukisan Otto Djaya). Pameran ini digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia dan diperlihatkan sekitar 200 karya almarhum Otto Djaya.[5]

Akhir Hayat sunting

Titi Hernadi lebih dahulu meninggalkan suaminya pada tanggal 12 November 1990. Sepeninggal istrinya itu, Otto tinggal berdua dengan anak ketiganya Asoka Kusuma Djaya. Empat tahun sepeninggal Titi, Otto dan Asoka memilih pindah ke Depok, sekaligus membangun sebuah studio lukis di sana. Asoka bertindak sebagai kurator merangkap pengelola bagi acara-acara ayahnya. Asoka sama seperti Otto, seorang seniman jebolan Institut Kesenian Jakarta Cikini.

Pada tanggal 10 Agustus 1995 Otto Djaya terkena serangan stroke, atau sesaat sebelum pembukaan pameran lukisan karya-karya Otto di Gedung B Galeri Nasional Indonesia Jakarta, menyambut 50 Tahun Proklamasi RI. Pasca stroke, Otto sulit berbicara, apalagi bergerak. Selama enam bulan Otto mendapatkan rehabilitasi medis. Ternyata stroke tidak bisa membuat Otto beristirahat melukis. Otto adalah tipe orang yang pantang menyerah.[1] Karena tidak sanggup berjalan jauh, Otto mengkonsumsi koran, menonton televisi dan film yang bagus-bagus. Dia enggan menonton sinetron.[3]

Sebagai bukti keproduktifannya pasca serangan Stroke, Otto menggelar pameran di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. 23 dari 50 lukisan Otto merupakan karya-karya terbarunya. Asoka tinggal mendampingi ayahnya di Depok hingga Otto Djaya menyusul Titi Hernadi dan Agus Djaya. Mayor (Purn.) Raden Otto Djaya Suntara akhirnya tutup usia pada bulan 23 Juni 2002 dalam umurnya yang ke-86 tahun. Pelukis sekaligus pejuang kemerdekaan itu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir.

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n Holst, Inge-Marie (2016). Dunia Sang Otto Djaya, 1916 - 2002 (edisi ke-3 Dalam Bahasa Indonesia). 
  2. ^ Hutagalung, Batara R. (2010). Serangan Umum 11 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (edisi ke-I). Yogyakarta: LkiS. ISBN 979-1283-94-X. 
  3. ^ a b Ibrahim, Muchtaruddin; Lismiarti; Shalfiyanti; Riama, Espita; Maryam Sanggupri Buchori, Andi; Haryono, P. Suryo; Wulandari, Triana; Gunawan, Restu (2000). Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan V. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 
  4. ^ a b Hakiem, Lukman (23 Januari 2019). "Henriette Roland Holst dan Misteri Prabowo Baca Sajak". republikaonline. Diakses tanggal 7 April 2019. 
  5. ^ a b "Press Release : 100 Tahun Otto Djaya (1916 - 2002)". galerinasional. Diakses tanggal 7 April 2019. 
  6. ^ Armenia, Resty (06 Oktober 2016). "Otto Djaya, Ruang Sempit di Indonesia dan Pengakuan di Eropa". cnnindonesia. Diakses tanggal 8 April 2014. 
  7. ^ Triana, Neli (21 April 2014). "Kunstkring Jadikan Menteng Lebih Bermakna". kompas online. Diakses tanggal 9 April 2019. 
  8. ^ a b c Indra, Rahman (07 Oktober 2016). "Jejak Langkah dan Sepak Terjang Otto Djaya". cnnindonesia. Diakses tanggal 8 April 2019.