Kereta rel listrik Rheostatik

tipe kereta api di Indonesia

Kereta rel listrik seri ED101, atau yang lebih dikenal sebagai KRL Rheostatik adalah kereta rel listrik non-AC yang pernah beroperasi di lintas Commuter Jabodetabek dan KRL Ciujung sejak tahun 1976 hingga tahun 2013, setelah dihapuskannya seluruh operasional KRL non-AC pada tanggal 25 Juli 2013. KRL ini diproduksi bersama secara Completely Built-Up (CBU) oleh Nippon Sharyo, Kawasaki Heavy Industries, dan Hitachi, Ltd. sejak tahun 1976 hingga tahun 1987. KRL dengan jumlah 120 unit ini menggunakan teknologi Rheostat.[1]

KRL Rheostatik
KRL Rheostatik dengan atapers di Stasiun Manggarai.
BeroperasiTidak beroperasi
PembuatNippon Sharyo
Kawasaki Heavy Industries
Hitachi, Ltd.
Digantikan olehKRL Commuter AC
Tahun pembuatan1976-1987
Mulai beroperasi1976-2013
Tahun diafkirkan2013-2014
Jumlah sudah diproduksi120 unit (30 set)
Formasi8 kereta (4+4)
Kapasitas566 penumpang (rata-rata)
OperatorPT KAI Commuter Jabodetabek
JalurKRL Jabotabek
Data teknis
Bodi keretaBaja/Besi Karbon
Baja Nirkarat
Panjang kereta20.000 mm
Lebar3.180 mm
Tinggi3.755 mm
Pintu2-3 pintu di setiap sisi
Kecepatan maksimum100 km/jam
Percepatan2,0 km/h/s
Perlambatan3,5 km/h/s (normal)
4,5 km/h/s (darurat)
Sistem traksiHitachi, Ltd. Kontrol rheostat tipe MMC-HTB-20
Motor traksi: Motor DC seri tipe HS-836-Urb
Daya mesin120 kW × 8 = 960 kW
TransmisiHitachi, Ltd. Motor Generator (MG) 20 kVA
Tipe: HG-544Gr
Sistem listrik1.500 V DC
Metode pengambilan arusPantograf
BogieNT-40 (Unit TC)
ND-112 (Unit M1)
Rem keretaRem dinamis, Electromagnetic Direct Brake (SELR)
Alat perangkaiAAR No. 10A
Kerja majemukHanya sesama KRL Rheostatik
Lebar sepur1067 mm
Gambar teknik KRL Rheostatik Mild Steel.

Kereta ini terbagi menjadi dua tipe, yakni Rheostatik Mild Steel (keluaran 1976-1984) dan Rheostatik Stainless Steel (keluaran 1986 dan 1987). Kereta ini didatangkan bersama KRD MCW 301 dan 302 dan dibuat oleh pabrik yang sama, oleh karena itu desain bodinya cukup mirip. Desain kereta ini juga cukup mirip dengan KRL di Jepang, yaitu KRL JNR seri 101 dan 103. Kereta ini menggunakan teknologi Rheostat, karena selain saat itu teknologi Chopper belum banyak digunakan namun juga untuk mengurangi biaya pembuatan. Teknologinya juga mirip dengan KRL JNR seri 101 dan 103. Penampilan yang mencolok dari KRL ini adalah tutup semboyan berbentuk "dasi kupu-kupu" yang berada di atas kaca kabin masinisnya, meskipun perlahan-lahan hampir keseluruhannya telah dihilangkan.

KRL ini juga merupakan salah satu KRL Ekonomi yang andal, karena jarang bermasalah dibandingkan KRL Ekonomi lain seperti BN-Holec, juga karena dapat melintasi rute Serpong dan Tangerang yang dapat membuat KRL-KRL Ekonomi jenis lain bermasalah akibat beberapa kendala. KRL ini juga tidak memiliki masalah suku cadang seperti KRL BN-Holec yang disebabkan pabriknya (BN-Bombardier dan Holec Ridderkerk) tutup, ini terbukti bahwa masih banyak KRL Rheostatik yang beroperasi sampai akhir masa dinasnya, kecuali unit yang dirucat akibat kecelakaan.

KRL ini menggunakan cowcather untuk Rel gigi dan teknologi Rheostat (seperti halnya KRL JR 205)

Seluruh unit KRL ini berada dalam perawatan Balai Yasa Manggarai serta tersebar di beberapa depo di Jabodetabek dari awal sampai akhir masa dinasnya. KRL ini pernah berdinas di semua lintas KRL Jabodetabek.

Sebenarnya beberapa KRL ini masih beroperasi hingga tahun berikutnya, 2014. tetapi bukan untuk penumpang, melainkan untuk inspeksi, karena setelah dilihat ke dalam gerbong, tidak ada penumpang alias kosong.

Sejarah[1] sunting

Masa PJKA (1976-1990) sunting

KRL ini terkenal sebagai KRL paling legendaris sepanjang sejarah karena sudah lebih dari 37 tahun menjadi tulang punggung KRL di Indonesia. Pada tahun 1976, KRL ini hadir di Indonesia untuk menggantikan KRL dan lokomotif listrik (termasuk ESS 3202) yang sudah ada sejak penjajahan Belanda.[2] KRL ini terbuat dari dua jenis baja, yaitu mild steel dan stainless steel. KRL ini didatangkan bersamaan dengan KRD MCW 301 dan MCW 302. KRL ini merupakan KRL non-AC yang menggunakan kipas angin dan pintu otomatis, tetapi pintu otomatis KRL tersebut mulai rusak pada dekade 1990-an, saat atapers dan vandalisme merajalela, serta mulai menumpuknya penumpang.

KRL yang terbuat dari mild steel diimpor pada tahun 1976 (20 unit, 5 set), 1978 (20 unit, 5 set), 1983 (24 unit, 6 set), dan 1984 (16 unit, 4 set). Pada KRL yang diimpor tahun 1976, KRL ini memiliki 2 pintu dan tangga untuk memudahkan penumpang yang naik di peron pendek, seperti di Jakarta Kota. KRL yang diimpor pada tahun 1978-1984 memiliki 3 pintu, dan pintu tinggi dengan pijakan kaki.

Sementara untuk KRL yang terbuat dari stainless steel diimpor pada tahun 1986 (20 unit, 5 set) dan 1987 (20 unit, 5 set). KRL ini menggunakan 3 pintu dan pintu tinggi dengan pijakan kaki. KRL Rheostatik Stainless yang didatangkan pada tahun 1987 juga dirakit di PT INKA Madiun, meskipun komponennya tetap didatangkan dari Jepang.[1] Lalu, KRL yang diimpor sejak tahun 1978, yaitu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel dengan 3 pintu pun dilengkapi dengan toilet pada kereta ujungnya.

Pada masa-masa awal KRL Rheostatik Mild Steel beroperasi, KRL ini menggunakan penomoran model lama dengan kode VCW 800 untuk kereta berkabin dan MCW 500 untuk kereta tengah dengan motor traksi, dan penomoran model lama tersebut berlaku sebelum tahun 1986. Sejak tahun 1986, seluruh KRL Rheostatik yang saat itu merupakan KRL kelas ekonomi akhirnya menggunakan sistem penomoran kereta yang baru, menjadi KL3.

Pada masa PJKA, seluruh KRL Rheostatik, baik itu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel, dioperasikan sebagai KRL kelas ekonomi (KL3), dan pada saat itu, beroperasi di sebagian besar jalur di Jakarta dan juga menuju Bogor, mengingat jalur-jalur lain di Jabodetabek pada masa PJKA saat itu belum terelektrifikasi.

Masa Perumka (1991-1999) sunting

Pada masa Perumka, yang dimulai pada tahun 1991, KRL Rheostatik pun mengalami fase kedinasan berikutnya, dimana kereta ini memiliki tiga kelas, tidak seluruhnya kelas ekonomi lagi seperti pada masa PJKA. Pertama, sempat ada satu set yang ditambahkan AC untuk perjalanan kereta api luar biasa (KLB) Presiden Soeharto saat meresmikan jalur layang Manggarai-Jakarta Kota pada tahun 1992, dan setelah digunakan sebagai KLB Presiden Soeharto, KRL ini tetap menjadi KRL kelas eksekutif (KL1) untuk Pakuan AC rute Bogor-Jakarta Kota pp. Meskipun demikian, AC hanya tersedia di kereta berkabin.

Tersedia pula KRL Ekspres non-AC kelas bisnis (KL2) yang dilayani dengan KRL Rheostatik berbodi stainless steel. Pada masa Perumka, untuk KRL kelas ekonomi (KL3) dilayani oleh seluruh KRL Rheostatik Mild dan sebagian KRL Rheostatik Stainless. Pada masa Perumka ini pula, KRL Rheostatik yang menjadi kereta kelas ekonomi mulai mengalami penurunan kondisi yaitu pintu yang tidak bisa menutup secara otomatis lagi, karena sering kali kereta ini diganjal pintunya di kala jam sibuk. Lalu, pada tahun 1993, dua rangkaian KRL Rheostatik juga terlibat dalam salah satu kecelakaan kereta api terparah di Indonesia, yaitu kecelakaan kereta api Ratu Jaya pada 2 November 1993, yaitu antara dua KRL Ekonomi yaitu KRL Rheostatik Mild dan Stainless Steel, yang mengakibatkan 2 kereta dari masing-masing set rusak, sehingga 2 kereta sisa dari masing-masing set digabung menjadi KRL "Catdog".

Pada masa-masa ini juga KRL-KRL baru buatan PT INKA Madiun seperti KRL ABB-Hyundai, BN-Holec, dan Hitachi juga beroperasi, tetapi posisi KRL Rheostatik tidak tergeser, karena kebutuhan armada KRL juga terus meningkat dengan elektrifikasi yang sudah selesai pada jalur Bekasi, Serpong, dan Tangerang, ditambah dengan jalur ganda yang sudah diperpanjang dari Depok sampai dengan Bogor pada dekade 90-an ini.

Pada era 90-an akhir, seiring makin banyaknya penduduk, pengguna KRL pun makin meningkat. Atapers muncul pada tahun 90-an akhir, karena jumlah armada KRL yang tidak mengimbangi jumlah penumpang. Pintu KRL Rheostatik pun rusak seluruhnya, dan dari pihak Balai Yasa Manggarai juga tidak pernah memperbaiki pintu KRL ini saat Pemeliharaan Akhir (PA), sampai akhir KRL ini beroperasi. Itulah sebabnya KRL ini pintunya selalu terbuka sejak akhir tahun 90-an. Vandalisme juga sering menimpa KRL ini, terlihat banyak coretan di bodi maupun interior KRL, khususnya saat KRL ini menjadi KRL Ekonomi (KL3).

Era PT Kereta Api & PT Kereta Api Indonesia (2000-2013) sunting

Pada tahun 2000, datanglah KRL AC eks-Jepang pertama di Indonesia, yaitu KRL Toei seri 6000, yang dihibahkan oleh Pemerintah Kota Tokyo, Jepang. Dengan adanya KRL AC seri 6000 yang lebih nyaman untuk layanan Express, sejak tahun 2000 KRL Rheostatik kelas eksekutif dan bisnis pun mulai turun kelas menjadi KRL ekonomi (KL3). Meskipun demikian, KRL Rheostatik Bisnis masih beroperasi sampai dengan tahun 2004 di jalur Tangerang sebagai KRL Express non-AC, dan pada tahun 2004, bersamaan dengan datangnya KRL seri 103 milik JR East, seluruh KRL Rheostatik sudah menjadi kelas ekonomi (KL3) karena perannya sebagai KRL Express sudah digantikan oleh KRL Toei seri 6000 dan JR 103. Bersamaan dengan dijadikannya seluruh KRL Rheostatik baik yang Mild Steel maupun Stainless Steel sebagai KRL kelas ekonomi, toiletnya pun dihilangkan, termasuk pada KRL yang sudah menjadi kelas ekonomi pada masa-masa awal berdinasnya.

Masa-masa KRL Rheostatik sejak tahun 2000 sangatlah memprihatinkan, dengan membludaknya penumpang yang naik ke atap dan bergelantungan di pintu kereta serta naik di kabin masinis, dengan perawatan yang kurang baik dan vandalisme yang marak pada saat itu, membuat KRL ini terlihat lebih tua dibandingkan dengan KRL eks-Jepang yang umurnya kurang lebih sama. Meskipun demikian, KRL Rheostatik masih bisa diandalkan karena ketersediaan suku cadang yang cukup dan juga mampu berdinas pada jalur yang tidak bisa dilewati oleh KRL non-AC lain yang lebih baru seperti KRL BN-Holec dan Hitachi, seperti jalur Serpong dan Tangerang.

Pada tahun 2009, Balai Yasa Manggarai membuat satu rangkaian KRL Rheostatik dengan kabin rakitan, yaitu KRL "Djoko Lelono" dan pada tahun 2011, dibuatlah satu rangkaian dengan kabin rakitan lagi yaitu KRL "Marcopolo". KRL "Djoko Lelono" juga pintunya sudah bisa kembali berfungsi seperti pada masa-masa awal kereta ini beroperasi. Dan bersamaan dengan dipensiunkannya KRL Ekonomi, KRL ini juga perlahan-lahan dipensiunkan, dan terakhir kali beroperasi pada 24 Juli 2013.

Perubahan bentuk fisik KRL Rheostatik sunting

Sepanjang karier KRL ini dari tahun 1976 sampai dengan 2013, banyak perubahan yang dialami oleh KRL ini, dari mulai skema warna bodi kereta, bentuk kaca depannya, ataupun interiornya.

Penurunan kondisi juga mulai terasa awal 90-an, bahkan sangat terasa pada akhir tahun 90-an sampai awal 2000-an, sampai pada tahun 2010 kondisi KRL ini cukup membaik dan tidak seburuk dulu, bahkan 1 set KRL Djoko Lelono I (8 kereta per set) pintunya berfungsi kembali. Sayang, pada akhirnya KRL ini harus pensiun dan hanya berdiam dirucat di pelataran Stasiun Purwakarta.

Livery KRL Rheostatik sunting

Dari masa ke masa, seiring perubahan status PJKA dari jawatan hingga persero, KRL Rheostatik terus mengalami perubahan livery sejak awal beroperasi hingga akhir masa dinasnya. Karakteristik yang menonjol dari KRL Rheostatik yang berbodi mild steel antara lain dapat diberi aneka warna daripada KRL yang berbodi stainless steel.

Rheostatik Mild Steel sunting

 
KRL Rheostatik mild steel dengan warna orange kecoklatan dengan garis kuning. (livery dekade 2000-an awal)
 
KRL Rheostatik ketika menggunakan livery Perumka. (livery dekade 90-an awal)

KRL ini awalnya menggunakan livery warna merah di bagian body dan kuning di muka KRL pada awalnya, sampai tahun 1990. Tahun 1991, seiring perubahan status perusahaan kereta dari PJKA ke Perumka, KRL ini dicat merah biru dengan garis putih, seperti KA ekonomi lokal/jarak jauh, dengan wajah berwarna merah dan logo Perumka di wajah KRL serta pintu berwarna putih. Mulai era inilah, pintu KRL mulai tidak berfungsi, akibat diganjal penumpang saat kereta dalam kondisi penuh.

Pada tahun 90-an akhir, sejak peluncuran kereta argo dengan livery baru, semua kereta (kecuali KA ekonomi) dicat dengan livery baru garis biru tua-biru muda. KRL ini dicat putih-hijau dengan garis biru tua-biru muda, dan livery ini cukup lama bertahan, tepatnya sampai akhir tahun 2004. Bahkan awal 2005 masih ditemukan kereta dengan livery ini.

Pada era livery putih-hijau juga, perlahan-lahan KRL ini mulai mengalami perubahan kaca depan dari 3 kaca kotak yang menyatu (seperti KRL JR East 103), menjadi 2 kaca kotak yang menyatu sebelum diubah menjadi kaca kecil yang membulat. Penurunan kondisi KRL ini juga terjadi paling signifikan saat itu karena mulai adanya "atapers" dan makin menumpuknya penumpang.

 
KRL Rheostatik ketika menggunakan livery hijau susu. (livery dekade 2000-an akhir)

Tahun 2000-an, warna KRL berubah menjadi orange kecoklatan dengan garis kuning, meskipun banyak KRL yang masih memakai livery sebelumnya sampai 2004, bahkan hingga 2005 awal. Tahun 2005 ke atas KRL ini menjadi warna orange kecoklatan dengan garis kuning dan orange, dan pada tahun 2009 beberapa set sempat dicat dengan warna hijau tua dengan garis hijau susu.

Tahun 2010, KRL ini dicat putih dengan garis orange, dan livery ini merupakan livery terakhir KRL ini sampai akhir masa dinasnya. Lampu kabut juga dipasang di KRL ini mulai era 2010 ke atas.

KRL Rheostatik hasil retrofit Balai Yasa Manggarai (BY MRI)

Pada era livery putih-orange, terdapat 2 set hasil modifikasi Balai Yasa Manggarai, yaitu "Djoko Lelono I" yang terdiri dari 6 kereta sebelum diubah menjadi 8 kereta, dan "Marcopolo", yang terdiri dari 4 kereta per setnya. Bahkan KRL Djoko Lelono I pintunya bisa kembali berfungsi. Sayangnya, semua KRL tersebut juga ikut dibawa ke Purwakarta, Jawa Barat.

KRL Rheostatik Stainless Steel sunting

 
KRL Rheostatik stainless steel dengan garis orange dan kuning. (livery dekade 2000-an awal)

KRL ini selalu polos dengan garis di bodinya. Pada awal beroperasi, KRL ini menggunakan garis merah, dengan logo PJKA di wajah KRL.

Di era Perumka, KRL ini menggunakan garis biru muda-putih-biru tua untuk kelas eksekutif dan bisnis, dan merah-putih-biru pada kelas ekonomi, mulai tahun 1991 sampai 2000, dan saat KRL ini semua turun pangkat menjadi kelas ekonomi seluruhnya, livery ini masih dipakai sampai semua KRL selesai menjalani perawatan akhir.

Di era PT Kereta Api Indonesia, awalnya KRL-KRL itu menggunakan garis kuning-orange kemerahan, kemudian orange-kuning, lalu merah-kuning, dan terakhir merah kuning dengan wajah KRL berwarna putih sampai akhir masa dinasnya. Pada masa-masa akhir dinas KRL ini juga ada beberapa yang dipasang lampu kabut (fog lamp).

Bentuk kaca depan sunting

Rheostatik Mild Steel sunting

KRL Mild Steel awalnya menggunakan kaca depan seperti KRL JR East seri 101 dan seri 103 yaitu berbentuk persegi panjang yang dibagi menjadi 3 persegi yang menyatu, tetapi pada tahun 90-an akhir, kaca KRL tersebuti diubah menjadi 2 kaca depan kotak besar yang menyatu, lalu akhirnya diubah menjadi 2 kaca kotak dengan sudut yang melengkung dengan ukuran yang lebih kecil, untuk menghindari pelemparan batu. Lalu, ukurannya diperbesar pada tahun 2000-an. Teralis besi mulai dipasang pada tahun 2000-an ke atas.

Rheostatik Stainless Steel sunting

Bentuk kaca KRL Rheostatik Stainless Steel tidak berubah sejak dulu, sejak pertama kali beroperasi. Perubahan yang ada hanyalah penambahan teralis besi pada tahun 2000-an ke atas.

Djoko Lelono I, New Marcopolo,[3] dan Catdog sunting

Kisah paling menyedihkan mungkin juga dapat diambil dari sejumlah KRL Rheostatik yang mengalami modifikasi, yaitu KRL "Djoko Lelono I", "New Marcopolo", dan "Catdog".

KRL "Djoko Lelono I" sunting

KRL Djoko Lelono I adalah KRL non-AC yang kabin masinisnya aerodinamis dan inovatif hasil kerja Balai Yasa Manggarai. Mulai operasi kembali setelah modifikasi pada tahun 2009, KRL ini memiliki wajah kabin yang konon terinspirasi dari KA Intercity-Express (ICE) di Eropa. Pintu penumpang juga sudah diaktifkan kembali sehingga dapat membuka dan menutup seperti sediakala. Awalnya memiliki stamformasi 6 kereta (4M 2T), tetapi akhirnya menjadi 8 kereta (4M 4T) agar memuat lebih banyak penumpang.

Namun, dengan inovasi yang ditanamkan tersebut, tak mampu menyelamatkan KRL Djoko Lelono I ini, dari giliran perucatan. KRL Djoko Lelono I diberangkatkan ke Purwakarta dan kini ditumpuk disana hingga sekarang.

KRL "New Marcopolo" sunting

Ada juga KRL lain, yaitu "New Marcopolo". KRL ini juga dimodifikasi interiornya, juga kabin masinisnya, serta dilengkapi kisi-kisi aliran udara pada bagian langit-langit kereta yang mungkin dipergunakan sebagai antisipasi jika dipasangi AC. Namun, hal itu urung dilakukan mengingat KRL ini menyusul rekan-rekannya untuk menetap (dirucat) di Purwakarta.

KRL "Catdog" sunting

Pada tahun 1993, terjadi kecelakaan kereta api Ratu Jaya 1993 di daerah Ratu Jaya, Depok, tepatnya di antara Stasiun Depok dan Citayam (saat itu jalur masih single track), yaitu kejadian tabrakan antar kereta (head to head/head-on collision), yaitu KRL ekonomi Rheostatik Mild dan Stainless steel. Karena 2 kereta dari masing-masing set rusak dan tidak bisa beroperasi lagi, maka 2 kereta dari masing-masing set yang tersisa digabungkan, menjadi kereta yang unik.

Selama tahun 1993 sampai 2000-an, rangkaian ini menggunakan livery Perumka. Lalu mulai tahun 2000 sampai kereta ini berhenti beroperasi, skema warna yang digunakan adalah skema warna KRL Rheostatik Stainless, dimana bagian dari KRL yang merupakan KRL Mild Steel ikut dicat dengan warna yang sama dengan KRL Rheostatik Stainless, agar KRL ini tidak terlalu terlihat seperti gabungan 2 jenis kereta berbeda. Pada awalnya, KRL ini belum dikirim ke Purwakarta untuk diafkirkan dan sempat disimpan di Stasiun Nambo, tetapi akhirnya KRL ini dikirim menuju Stasiun Cikaum.

Pengafkiran KRL Rheostatik sunting

Sejak tak lagi dioperasikannya seluruh KRL ekonomi non-AC, KRL Rheostatik disimpan di Depo KRL Depok dan Balai Yasa Manggarai. KRL Rheostatik dengan body mild steel sebagian dikirim ke Stasiun Purwakarta dan Stasiun Cikaum untuk diafkirkan. Sementara KRL Rheostatik stainless steel ada yang masih disimpan di Depo KRL Depok atau di Balai Yasa Manggarai, karena tidak menutup kemungkinan untuk direkondisi menjadi KRL AC, tetapi akhirnya ada juga yang ikut dirucat ke Purwakarta. Akan tetapi, komponen dan instrumen KRL Rheostatik yang masih berfungsi dengan baik terlebih dahulu dilepas dan disimpan sebelum dibawa ke Purwakarta dan Cikaum untuk dirucat, sedangkan bogie dan rodanya ditumpuk disana juga.

Tetapi, sampai saat ini belum ada tanda-tanda KRL ini akan dihancurkan menjadi besi tua, tetapi hanya ditumpuk saja di Purwakarta, kemungkinan hanya untuk mengosongkan depo maupun Balai Yasa Manggarai agar dapat memuat KRL JR East 205 yang baru.

Lalu, akhirnya sisa KRL Rheostatik yang tidak dikirim ke Purwakarta pun dikirim ke Stasiun Cikaum. Yaitu KRL Rheostatik Catdog dan satu trainset KRL Rheostatik batch 1 produksi 1976, yang ironisnya sudah diberi stiker Benda Cagar Budaya oleh divisi heritage turut dikirim ke Stasiun Cikaum. Menjelang akhir tahun 2018, beberapa KRL Rheostatik di Stasiun Purwakarta pun sudah ada yang ditandai untuk dirucat. Sampai saat ini, masih belum ada tanda-tanda KRL ini akan dipreservasi, padahal KRL ini adalah KRL paling legendaris di Indonesia dan sangat bersejarah karena merupakan KRL modern pertama di Indonesia.

Pada awal tahun 2019, hampir seluruh KRL Rheostatik yang ditumpuk di Purwakarta sudah dirucat, kecuali beberapa kereta yang ditandai untuk tidak dirucat. Terdiri atas 1 kepala kabin trainset KRL Rheostatik,2 kereta motor tengah produksi 1983,dan 8 unit KRL Rheostatik trainset Djoko Lelono. Sebelumnya, penandaan antara kereta yang tidak dirucat dan yang dirucat telah dilakukan pada akhir tahun 2018.

Referensi sunting

  1. ^ a b Majalah KA Edisi Juni 2014
  2. ^ "Indonesian Heritage Railway: Lokomotif listrik ESS3201". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-08-08. Diakses tanggal 2014-06-19. 
  3. ^ Sejarah tipe kereta rel listrik di Jakarta

Pranala luar sunting