Atapers

sebutan penumpang kereta api yang menaiki atap

Atapers[1] (bentuk tunggal: ataper) adalah penumpang atau kelompok penumpang yang naik kereta api atau kereta rel listrik namun berada di atap keretanya. Istilah ini merupakan istilah populer yang muncul pada dekade 1990-an hingga 2000-an, khususnya di Jabodetabek ketika KRL Commuterline masih berstatus sebagai KRL Ekonomi yang dikelola oleh Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek (Divisi Jabotabek).

Kereta api Lokal Rangkas dengan atapers di keretanya, sekitar tahun 2012-an. Panjang kereta yang hanya tujuh kereta dalam satu rangkaian pada saat itu membuat penumpang yang tidak dapat tempat didalam untuk naik ke atap kereta.
KRL dengan atapers.

Umumnya, KRL yang diasosiasikan terhadap para atapers adalah KRL Rheostatik. Oleh karena bentuk atapnya yang melengkung dan tidak dipasangi penyejuk udara (AC), sehingga mengakibatkan penumpang leluasa untuk naik di atapnya.[2] Meskipun demikian, semua KRL Ekonomi tak luput dari atapers, termasuk KRL AC, ketika Atapers banyak ada di KRL Ekonomi AC, khususnya lintas Bogor. Banyak KRL yang pintunya diganjal, khususnya KRL Tokyu 8000 dan 8500, bahkan Tokyo Metro seri 7000 dan 6000 pun tak luput.

Meskipun atapers biasanya naik di KRL Ekonomi, atapers juga sempat ada di KRL Ekonomi AC, khususnya di lintas Bogor. Namun kebijakan e-ticketing, peningkatan keamanan stasiun dan kereta serta kebijakan tidak memberangkatkan kereta jika masih ada penumpang di atap membuat tidak ada lagi atapers di Indonesia.

Kereta api di India dan Bangladesh juga terkenal karena atapers-nya. Tetapi bedanya, atapers di India dan Bangladesh juga bergelayutan di samping badan kereta, sedangkan di Indonesia sendiri, atapers hanya duduk di atas atap kereta.

Etimologi sunting

Kata atapers berasal dari bahasa Indonesia atap dan diberi sufiks -er (dalam bahasa Inggris berarti 'pelaku suatu perbuatan'). Atapers merupakan bentuk "train surfing" (berselancar di kereta api) yang populer di Indonesia.

Latar belakang sunting

Indonesia, khususnya Jabodetabek sempat memiliki masalah besar dengan atapers atau penumpang yang naik di atap kereta api. Meskipun demikian, sejak zaman Belanda hingga awal kemerdekaan dan berlanjut hingga sebelum krisis ekonomi tahun 1997-1998, penumpang yang naik di atap kereta sudah ada pada saat itu, baik di wilayah Jabodetabek maupun wilayah lainnya. Mulai awal dekade 90-an, atapers belum terlalu banyak namun penumpang yang bergelantungan di pintu kereta dan mengganjal pintu sudah sering terlihat. Sejak akhir dekade 1990-an, khususnya setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998, atapers semakin banyak terlihat terutama pada KRL Jabodetabek.

Hal tersebut terjadi karena kota metropolis dengan penduduk 30 juta jiwa ini tidak memiliki sistem metro tunggal. Lalu lintas Jakarta adalah yang paling parah se-Asia Tenggara, dan mungkin juga salah satu yang terburuk di dunia.

Pemerintah provinsi DKI pun membuat aturan tiga dalam satu, tetapi, malah muncul solusi yang "unik" untuk mengakali peraturan tersebut seperti joki mobil.

Pemerintah provinsi DKI menyadari bahwa aturan tiga dalam satu merupakan kegagalan. Mereka pun membangun jaringan bus rapid transit. Bus rapid transit memang sedikit membuahkan hasil, tetapi karena tidak ada pemisahan dari lalu lintas dan setiap inci jalan raya, jalur bus pun dirampas kembali oleh pengendara sepeda motor maupun mobil pribadi. Sebagai akibatnya, bus pun sering kali ikut terjebak di dalam kemacetan. Panas tropis yang intens dan efek pulau panas perkotaan juga membuat bagian atas kereta menjadi satu-satunya tempat dengan banyak sirkulasi udara segar.

Alasan sunting

Meskipun pemerintah maupun operator memandang bahwa atapers merupakan fenomena yang memalukan dalam sejarah transportasi publik, tetapi masyarakat yang rutin naik kereta api merasa tenang-tenang saja. Alasan yang mendasar dari munculnya atapers adalah:[3][4]

  • Ingin naik kereta api tanpa tiket alias gratis
  • Tidak ada pilihan moda transportasi lain, sementara KRL penuh pada jam-jam berangkat dan pulang kerja, sekolah, ataupun kuliah[5]
  • Ingin merasakan kegembiraan akan pemandangan di luar KRL
  • Kereta penuh sesak oleh penumpang atau mengalami kelebihan muatan
  • Kereta panas karena belum dilengkapi penyejuk udara (AC)
  • Armada yang dimiliki oleh operator tidak seimbang dengan jumlah penumpang harian.

Bahaya sunting

Rupanya, praktik ini menuai kecaman. Ada berbagai macam bahaya yang akan menghantui, antara lain atapers akan jatuh dari atap kereta apabila berada di pinggir atap yang miring. Selain itu, peluang untuk tersetrum oleh kabel listrik aliran atas (LAA) dapat terjadi karena interaksi antara pantograf dengan LAA.[6]

Salah satu insiden terakhir yang disebabkan oleh atapers antara lain, pada 8 April 2013, terjadi pelemparan kaca Stasiun Citayam, Stasiun Depok, dan Stasiun Universitas Indonesia akibat dari amukan para atapers, meskipun sudah ditertibkan.[7]

Tindakan sunting

PT Kereta Api Indonesia telah melaksanakan langkah preventif guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan dari atapers selama dekade 2000-an hingga 2010-an. Di antaranya, penambahan anjing pelacak, ceramah ustaz, dan pemasangan alat penyemprot cat ketika kereta lewat di dekatnya. Selain itu juga dengan memasang bola pejal dari beton seberat 3 kg dan alat sapu-sapu atap yang berbentuk seperti sapu lidi. Namun usaha itu sia-sia; banyak dari atapers melempari "senjata" yang disiapkan KAI itu dengan batu, yang mengakibatkan alat tersebut tidak berfungsi.[8]

Ketika KAI membentuk KCJ, anak perusahaannya yang ditugasi untuk mengoperasikan KRL, telah terjadi perubahan yang signifikan. Pemberlakuan tiket elektronik dan penambahan armada baru dari KRL bekas Jepang telah "menyulap" sistem perkeretaapian Jabodetabek yang semrawut menjadi nyaman dipandang. Selain itu, KCJ juga melakukan rekrutmen petugas pengamanan kereta api.[9]

Pada tanggal 28 Februari 2013, sempat terjadi bentrokan oleh para atapers terhadap polisi dan petugas hingga ada petugas yang terluka. Alasan yang mendasari bentrok tersebut disebabkan dari salah satu usaha PT KAI yang kemudian sukses yaitu, membuat peraturan yang menegaskan, jika masih ada penumpang di atas atap kereta (termasuk bergelantungan di pintu, mengganjal pintu otomatis di KRL, bergelantungan di lokomotif maupun naik di kabin masinis), maka kereta tidak akan dijalankan. Akhirnya, setelah kejadian bentrok tersebut, atapers tidak ada lagi saat ini, baik di KRL Commuter Jabodetabek maupun pada KRD, kereta jarak jauh dan lokal.[10]

Buntut kejadian sunting

Seiring waktu, karena meningkatnya jumlah korban jiwa dari nge-atap di atas KRL, jumlah atapers pun telah menurun secara signifikan. Akhirnya, sejak Juli 2013 dan seterusnya, tidak ada penumpang yang naik di atap kereta di Indonesia, karena sistem pengamanan yang lebih baik untuk menghindari pengendara bebas naik kereta seenaknya. Itu karena sebagian besar para atapers adalah penumpang gratisan, alias tidak memiliki tiket untuk naik kereta.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Suryakusuma, Julia (January 25, 2012). "'Surfing', 'Bowling' and other deadly games". The Jakarta Post.  (perlu berlangganan)
  2. ^ Majalah KA Edisi Juni 2014
  3. ^ "The commissioners of riding". NaNevskom.ru (in Russian language). 11 June 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 January 2014. Diakses tanggal 17 August 2012. 
  4. ^ "A new kind of sports appeared in Moscow — "train surfing"". MetroNews.ru (in Russian language). 14 February 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 January 2014. Diakses tanggal 17 August 2012. 
  5. ^ Kotarumalos, Ali (January 17, 2012). "Indonesia cracks down on train 'surfers' - again". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 3, 2012. 
  6. ^ "South Africa's train-surfing problem". BBC News. 27 June 2006. Diakses tanggal 15 August 2012. 
  7. ^ Kompas: Diturunkan, Atapers Lempari Kaca Stasiun
  8. ^ Ketika Atapers Tak Lagi Eksis di Commuter Line
  9. ^ KAI Sukses Halau Atapers Berkat E-Ticket
  10. ^ DetikForum: Bentrok Dengan Atapers, Polisi Terluka Kena Lempar Batu

Bacaan lanjutan sunting

Pranala luar sunting