Kamp pengasingan Moncongloe

Kamp pengasingan Moncongloe[1] atau disingkat Kamsing Moncongloe (juga disebut Kamp Konsentrasi Moncongloe, Instalasi rehabilitasi Moncongloe/Inrehab Moncongloe[2], Instalasi rehabilitasi Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara/Inrehab Kokamtibda Sulselra, atau Kamp tahanan Tanah Merah Moncongloe) adalah bekas kamp konsentrasi di Desa MoncongloeDesa Pacellekang yang dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp ini mulai dirintis pada 1968 dan mulai digunakan pada Maret 1969 sebagai tempat khusus pembuangan/pengasingan/hukuman bagi para tahanan politik (tapol) yang dianggap dan dicurigai baik terlibat sebagai simpatisan maupun dalam gerakan Partai Komunis Indonesia. Para tapol tersebut berasal dari penjara-penjara di beberapa daerah baik dari dalam maupun dari luar Sulawesi Selatan yang sebelumnya telah ditangkap pascaperistiwa G30S/PKI 1965. Moncongloe adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru Presiden Soeharto di Pulau Sulawesi. Karena over kapasitas tahanan politik di Pulau Jawa, maka Kamp pengasingan Moncongloe didirikan untuk menampung tapol. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan untuk mengeksploitasi para tahanan politik bekerja secara paksa untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas Instalasi rehabilitasi (Inrehab). Keberadaan kamp pengasingan Moncongloe sebagai implikasi pelabelan pemerintah Orde Baru terhadap mereka yang dianggap PKI. Lokasi kamp berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa dan 15 km dari Turikale, ibu kota Kabupaten Maros. Sebelumnya, Kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara. Kamp ini dikelola oleh pemerintah Indonesia era Orde Baru sebagai tempat tahanan terhadap mereka yang dianggap PKI dengan kontrol militer dari Maret 1969 hingga 1979. Kamp pengasingan Moncongloe bersama Kamp Pulau Buru, Kamp Pulau Kemaro, dan Kamp Plantungan menjadi kamp konsentrasi atau pengasingan untuk tapol yang dicurigai simpatisan PKI.

Kamp pengasingan Moncongloe
Peta lokasi Kamp pengasingan Moncongloe
Koordinat5°21′6″S 119°55′22″E / 5.35167°S 119.92278°E / -5.35167; 119.92278
StatusPengasingan
Kelas keamananRehabilitasi
Populasi± 13 ribu (sepanjang 1969–1979)
DibukaMaret 1969
Ditutup1979
GubernurDaftar kepala kamp:
Kapten Rakimin (1969–)
Kapten Bonar Siregar
Kapten Toliu
Kapten Wahyudin Lubis (–1979)
AlamatMoncongloe
KotaKabupaten Maros dan Kabupaten Gowa
ProvinsiSulawesi Selatan
NegaraIndonesia
Kamp pengasingan Moncongloe
Kamp konsentrasi
Sekumpulan tapol terkait PKI di Kamp pengasingan Moncongloe
Nama lainnyaInstalasi rehabilitasi Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara (nomenklatur resmi sejak 1969–1974)

Instalasi rehabilitasi Moncongloe (nomenklatur resmi sejak 1974–1979)

Kamp konsentrasi Moncongloe (penamaan akademis)

Kamp tahanan Tanah Merah Moncongloe (penamaan lokal)
Dikenal karenaPraktik pelanggaran HAM oleh militer terhadap tahanan politik

Tempat pembuangan tahanan politik PKI di Pulau Sulawesi
LetakMencakup sebagian kecil wilayah Kabupaten Maros bagian selatan dan sebagian kecil wilayah Kabupaten Gowa bagian utara
Dibangun olehKomando Daerah Militer XIV/Hasanuddin
Dioperasikan olehKokamtibda Sulselra, Kopkamtib dibawah arahan Pemerintah Indonesia era Orde Baru, Presiden Soeharto
KomandanDaftar panglima Kodam XIV/Hasanuddin:
Brigjen. TNI. Solihin Gautama Purwanegara
Brigjen. TNI. Sayidiman Suryohadiprojo
Brigjen. TNI. Abdul Azis Bustam
Brigjen. TNI. Hasan Slamet
Brigjen. TNI. Sukma Endang
Brigjen. TNI. Kusnadi

Daftar kepala kamp:
Kapten Rakimin (1969–)
Kapten Bonar Siregar
Kapten Toliu
Kapten Wahyudin Lubis (–1979)
Fungsi awalKawasan hutan negara dan lahan perkebunan
Dibangun1968–1969
BeroperasiMaret 1969 – 1979 (untuk tahanan politik terkait PKI)
1978 – 1979 (untuk tahanan militer)
TahananTahanan politik terkait Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (1969–1979)

Tahanan militer (1978–1979)
Jumlah tahanan± 13 ribu tahanan (sepanjang Maret 1969–1979)
Jumlah tahanan tewastidak diketahui
Dibebaskan olehKopkamtib (secara bertahap sejak 20 Desember 1977–1979 berdasarkan surat perintah Nomor: SPRIN/802/TPD/XII/1977, tentang membebaskan dari penahanan penuh menjadi tahanan rumah)
Buku terkenal1. Kamp Pengasingan Moncongloe, 2009, Hal. 1–300

2. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, 2012, Hal. 165–206

3. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, 2013, Hal. 1–177

Kompleks kamp

sunting
 
Gereja yang dibangun oleh para tapol di Kamp Pengasingan Moncongloe, telah mengalami renovasi
 
Masjid yang dibangun oleh para tapol di Kamp Pengasingan Moncongloe, terlihat tak terawat
 
Area pintu masuk ke Kamp Pengasingan Moncongloe
 
Area Kamp pengasingan Moncongloe yang telah dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan singkong

Kamp pengasingan Moncongloe sebagai "pusat rehabilitasi" tahanan politik anggota PKI dan yang tertuduh PKI dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Pintu masuk ke kompleks bangunan kamp ini terdapat di Dusun Moncongloe, Desa Pacellekang. Kompleks kamp Moncongloe berukuran sekitar 120–150 meter persegi terdiri dari:

Barak tahanan
Terdapat 5 buah barak dengan rincian 4 buah barak khusus laki-laki (Barak A–D) dan 1 buah barak khusus perempuan (Barak E). Setiap barak berukuran 6 x 20 m dihuni antara 80 sampai 100 orang tapol. Barak A dan D dihuni oleh tapol golongan B. Dalam barak, ranjang bertingkat, lantai berupa papan tanpa kasur.
Dapur umum
Terdapat 5 buah dapur umum yang tersebar di setiap barak.
Pos jaga
Terdapat 2 buah bangunan pos jaga/tempat piket untuk petugas jaga kamp. Para petugas kamp berjaga di area ini secara piketan.
Jalan
Terdapat 2 buah akses jalan beton, yakni jalan masuk ke kamp dan jalan yang berada di ketinggian untuk memantau situasi kamp.
Pagar kamp
Sepanjang area Kamp Moncongloe dipagari dengan kawat berduri
Masjid
Sebuah masjid dibangun di dalam kamp untuk tapol pemeluk agama Islam. Masjid tersebut berukuran 7 x 10 meter.
Gereja
Sebuah gereja dibangun di dalam kamp untuk tapol pemeluk agama Kristen. Gereja tersebut berukuran 7 x 10 meter.
Poliklinik
Terdapat sebuah poliklinik untuk tempat pengobatan
WC
Koperasi
Aula
Aula ini berukuran 6 x 20 meter.
Lapangan upacara
Sumur
Gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana
Area kebun

[3]

Ir. Rasjidi Amrah yang merupakan tapol dimanfaatkan oleh petugas. Dia menggambar desain masjid dan gereja. Dia pula merancang pembangunan barak. Bahkan di salah satu wilayah di Kabupaten Gowa, membuat desain 300 unit perumahaan tentara yang dikerjakan oleh para tapol. Di sekitaran Kamp pengasingan Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV/Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, dan Home Base Kiwal.[4]

Geografi

sunting

Kamp pengasingan Moncongloe berlokasi jauh dari hingar bingar kota yang berada di daerah perbukitan dengan ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata[4], yang ditumbuhi oleh rimbunnya pepohonan, berada di perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa, sekitar 25 km dari ibu kota Kabupaten Gowa dan 15 km dari ibu kota Kabupaten Maros. Kamp ini terletak 17 km dari Kota Makassar dengan waktu tempuh 40 menit perjalanan darat. Sebelum berubah menjadi kamp pengsingan tahanan politik PKI, area kamp pengasingan Moncongloe adalah wilayah hutan belantara yang cukup lebat. Secara administratif, kamp ini mencakup wilayah Kecamatan Moncongloe di Kabupaten Maros dan Kecamatan Pattallassang di Kabupaten Gowa dan berpusat di Dusun Moncongloe, Desa Pacellekang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Moncongloe (memiliki arti "tempat yang tinggi") atau kerap disebut Tanah Merah[4] (istilah ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an) dipilih sebagai tempat pembinaan atau rehabilitasi dalam bentuk pengasingan karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV Hasanuddin. Kamp tahanan ini memiliki luas 150 m² dengan daya tampung 20 ribu jiwa.

Saat ini area kamp pengasingan Moncongloe meliputi wilayah administratif:

  • Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros (Moncongloe Utara)
  1. Desa Moncongloe
  2. Desa Moncongloe Bulu (pemekaran dari Desa Moncongloe sejak tahun 1989)
  3. Desa Moncongloe Lappara (pemekaran dari Desa Moncongloe sejak tahun 1994)
  • Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa (Moncongloe Selatan)
  1. Desa Je'nemadinging (pemekaran dari Desa Pacellekang sejak tahun 2000)
  2. Desa Pacellekang (pusat kamp di Dusun Moncongloe)
  3. sebagian Desa Panaikang (pemekaran dari Desa Pacellekang sejak tahun 2000)
  4. Desa Sunggumanai (pemekaran dari Desa Pacellekang sejak tahun 2000)

Kebun singkong telah memenuhi sebagian area kamp di perbatasan Kabupaten Gowa dan Maros, Sulawesi Selatan. Beberapa pengembang mulai membangun perumahan di kawasan penyangga pengembangan Kota Makassar ini seiring pengembangan wilayah metropolitan Mamminasata.

Sejarah

sunting

Nama Moncongloe dalam sejarah Gowa Tallo ditemukan dengan nama Gallarang Moncongloe. Pada saat Kerajaan Tallo menjadi kerajaan otonom, daerah ini dikuasai oleh Karaeng Loe ri Sero bersama beberapa Gallarang lainnya. Sebelum menjadi Gallarang, Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah Moncongloe berada di wilayah administratif Onderafdeling Maros dengan status Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang kepala distrik. Kemudian, setelah bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, daerah sekitar Moncongloe dijadikan markas Kodam XIV Hasanuddin pada tahun 1957. Pada tahun 1984 Moncongloe kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah Maros dan Gowa sebagai wilayah administratif. Moncongloe kemudian dibagi menjadi dua, sebelah utara menjadi wilayah Kabupaten Maros dan sebelah selatan menjadi wilayah Kabupaten Gowa.[5]

Moncongloe erat kaitannya dengan istilah "Tanah Merah". Sedikitnya ada tiga sebab, pertama, struktur tanah Moncongloe yang berbukit-bukit memiliki jenis tanah merah, kedua, daerah ini telah dikenal sebagai rawan kekerasan perampokan karena masih hutan. Dalam sejarah gerakan bandit di Sulawesi Selatan, wilayah hutan yang membentang antara Moncongloe sampai Polongbangkeng seringkali disebut sebagai salah satu tempat persembunyian perampok sejak periode kolonial sampai era 1960-an. Ketiga, Moncongloe merupakan daerah tempat pengasingan tahanan politik PKI (1969-1979). Orang-orang PKI yang seringkali dilabelkan dengan orang-orang merah adalah bukan tidak mungkin menjadi penyebab semakin melekatnya nama Tanah Merah untuk menyebut Moncongloe. Terlepas dari persepsi tentang Moncongloe dan apakah itu direkonstruksi untuk memberi label negatif kepada tahanan politik PKI atau karena merupakan daerah rawan kekerasan dan perampokan, daerah ini merupakan salah satu wilayah yang cukup terisolasi dari segi informasi dan geografis serta senyap dari debat-debat sejarah pada periode Orde Baru. Tentang Moncongloe sebagai tempat pengasingan tahanan politik PKI nyaris tidak ditemukan informasi dalam berbagai literatur.[6]

Di sekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1969 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.[6]

Kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan

sunting

Perbudakan di Moncongloe bermula dari kekalahan PKI dalam perpolitikan pascakemerdekaan Indonesia. Partai ini mulai merebut simpati sebagian masyarakat ketika tokoh-tokoh PKI menjual slogan Islam revolusioner dengan argumentasi al-Quran dan hadis. Tokoh-tokoh PKI berusaha meyakinkan masyarakat bahwa komunis sebagai ajaran sangat relevan dengan Islam.

PKI mulai membuka cabangnya di Makassar pada 1922. Partai ini melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong sebuah surat kabar, Pemberita Makassar. Dengan surat kabar ini, PKI melawan penindasan atas kolonial Belanda. Pendidikan politik kepada rakyat Sulawesi Selatan terus terjadi. Targetnya adalah melawan dan mengusir penjajah Belanda. Upaya itu tidak sepenuhnya berhasil karena dominasi gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia. Dua gerakan ini menilai PKI anti agama. Masyarakat cukup kuat menolak PKI, terutama di daerah pedalaman.

Pada Pemilu 1955 PKI secara nasional sukses dalam perolehan pemilihan DPR. Namun kesuksesan itu tidak terjadi di Sulawesi Selatan. PKI hanya meraup suara 0,25%. Bahkan ketika PKI sukses merebut simpati politik Presiden Soekarno, ternyata tidak berpengaruh dalam merebut simpati elit-elit lokal di daerah ini. Karena lagi-lagi, PKI harus berhadapan dengan agitasi DI/TII di daerah pedalaman, bersaing dengan Masyumi serta berhadapan dengan gerakan Permesta. Setelah gerakan DI/TII dan Permesta berhasil ditumpas TNI, ternyata PKI masih cukup sulit untuk menarik simpati masyarakat Sulawesi Selatan karena mendapat sandungan dari perwira militer yang memiliki fungsi sosial politik dominan di daerah ini.

Ketika terjadi gerakan 30 September di Jakarta, kondisi politik Sulawesi Selatan masih relatif terkendali. Tetapi minggu pertama oktober 1965, gerakan anti komunis di Sulawesi Selatan berkembang sangat cepat. Gerakan anti PKI juga melebar ke masalah etnis. Penjarahan milik warga etnis Tionghoa dan rumah-rumah orang Jawa dilakukan dengan sangat brutal oleh para demonstran. Alat-alat musik tradisional Jawa seperti gamelan tak luput dari amukan massa. Mereka yang dianggap PKI ditangkap. Hal itu terus terjadi sampai awal tahun 1966 mulai dari Makassar sampai ke daerah pedalaman, seperti Bone, Parepare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI. Mereka dimasukkan kedalam penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9.765 orang. Di penjara, para tapol ditindak secara keras, disiksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam. Setelah itu mereka dijebloskan ke kamp pengasingan Moncongloe.

Mereka yang terlibat dalam penangkapan tersebut adalah petugas militer, baik dengan sukarela atau paksaan. Semua tahanan politik PKI tersebut ditahan tanpa waktu yang jelas. Penangkapan itu bahkan dianggap sah menurut hukum meski tanpa surat penangkapan, surat penahanan, apalagi putusan pengadilan. Tak sedikit pula penahanan terjadi karena semata-mata salah tangkap. Seperti kasus penangkapan kelompok Tumbung Tellue-Timbung Limae, sebuah aliran tarekat di Bulukumba. Kelompok tarekat ini ditangkap karena warga menduga mereka PKI hanya karena sering melakukan pertemuan intensif.[4]

Kisah para tahanan politik di Moncongloe

sunting
 
Desain Kamp Pengasingan Moncongloe tahun 1969 oleh Ir. Rasjidi Amrah, perancang kamp sekaligus tapol

Instalasi Rehabilitasi Moncongloe dibuka pada tahun 1969 dan resmi dibubarkan sepuluh tahun berselang. Soemiran adalah salah satu dari ribuan bekas penghuni kamp. Ia adalah lulusan Sekolah Kepolisian di Mojokerto, Jawa Timur, yang melanjutkan belajar di SMA Sawerigading, Makassar, untuk mendapatkan kenaikan pangkat itu. Soemiran saat peristiwa G30 S berlangsung dulu adalah polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar. Ia dijebloskan ke rumah tahanan militer karena dianggap membantu pelarian seorang tokoh PKI dengan kapal ke Jawa. Ia kemudian masuk kamp tersebut pada 1978, ketika semua tahanan politik telah dibebaskan. Kamp Moncongloe berubah menjadi tempat penahanan bagi militer. Setahun kemudian, ia dibebaskan.

Kamp Moncongloe dibuka pada Maret 1969. Tercatat sebelas tahanan politik, yang terdiri atas tujuh laki-laki dan empat perempuan, dibawa ke Moncongloe untuk mendirikan barak darurat. Setelah dua bulan kemudian, masuk 44 tahanan, yang diberi tugas menyiapkan kamp pengasingan. Salah seorang dari 44 tahanan politik, Anwar Abbas, mengisahkan kesaksiannya. Anwar Abbas menunjukkan setumpuk dokumen yang terbungkus plastik. Dokumen tersebut berisi catatan dengan tulisan dari mesin ketik, peta lokasi Moncongloe, beberapa helai foto, serta dua lembar kliping koran. Sebagai tahanan, Anwar bersama lainnya membuka hutan dan membangun kamp. Anwar dan para tahanan lainnya kemudian disebut Kelompok 44. Ia mengaku melakukan pekerjaan di bawah pengawasan ketat anggota polisi militer. Kelompok 44 kemudian membangun kompleks pengasingan dengan lima barak berukuran 120 meter persegi, dengan masjid, gereja, poliklinik, dan aula. Pada bulan Desember 1969, Kamp Moncongloe tercatat menampung tahanan politik di berbagai kota di Sulawesi Selatan. Tahanan yang dikirim dalam Kamp Moncongloe sebelumnya adalah tahanan dari berbagai kota di Sulawesi Selatan, yaitu di Majene, Tana Toraja, Palopo, Makassar, Bulukumba, sampai Selayar.

Pemindahan tahahan berlangsung hingga tahun 1971. Seorang saksi mata desa setempat, Anwar mengisahkan kesaksiannya saat ditahan di kantor polisi di kotanya pada 1965. Seorang pria sepuh tersebut adalah Ketua Pemuda Rakyat Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Selanjutnya, Anwar diminta untuk dipindahkan ke rumah tahanan militer di Makassar, karena seorang temannya yang ditahan di sini telah dibebaskan. Anwar kemudian bebas pada tahun 1977. Kendati demikian, ia mengaku diperlakukan seperti budak oleh para penjaga kamp. Menurut Anwar, tidak ada tahanan yang sampai meninggal karena penyiksaan. Tahanan yang meninggal disebabkan karena sakit. Kebanyakan tahanan menderita hepatitis karena beratnya pekerjaan dan kurangnya asupan gizi. Bekas tahanan, M. Jufri Buape mengatakan para tahanan diharuskan menggarap lahan tentara tanpa dibayar minimal enam jam sehari. Jufri yang merupakan Sekretaris Lekra daerah Sidrap ini berusaha mengingat bentuk hukuman yang ia terima jika pekerjaan tidak sesuai dengan kemauan sang penjaga. Para tahanan juga sering disuruh tentara untuk mengambil kayu di hutan atau bambu untuk dijual. Menurutnya, mereka (tahanan) tidak mendapat bagian. Jufri masih ingat nama para penjaga kamp. "Banyak yang sudah meninggal," ujarnya. Ia mengakui bahwa saat kamp dijabat oleh Kapten Siregar dan Kapten Lubis, kekerasan fisik terhadap para tahanan sering terjadi. Diakui oleh Anwar, para tahanan perempuan sering menjadi korban pelecehan para penjaga. Para tentara yang bertugas menginterogasi tapol melakukan penyiksaan di kamp pengasingan. Selama di kamp, para tahanan politik juga merasakan kerja rodi, yaitu membangun jalan sepanjang 20 kilometer dari Moncongloe ke Daya, Makassar. Para tahanan itu kemudian dibagi dalam beberapa kelompok, yang bertugas mulai mencari batu di gunung sampai mengeraskan jalan.

Para tahanan diperlakukan laiknya budak yang segenap hidupnya diabdikan pada sang majikan. Para tahanan yang setiap hari dibebani dengan kerja membuka lahan kebun dengan menerabas lebatnya hutan untuk dipersembahkan kepada sang majikan, elit militer. Demikian kerja yang harus dilakukan oleh setiap tahanan sepanjang waktu, tanpa seorang pun yang berani melakukan perlawanan, mungkin pernah berpikir untuk melarikan diri, hanya dalam pikiran. Karena, setiap penentangan selalu berbuah tendangan sepatu laras, tamparan, dan berbagai jenis kekerasan.

Pasca Gerakan 30 September

sunting
 
Penangkapan para Pemuda Rakyat, onderbouw PKI di depan Lapangan Militer Hasanuddin, Makassar pasca peristiwa G30S 1965

Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Ketika PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang pasca peristiwa G30S 1965, maka implikasi politik tidak hanya mempengaruhi konstalasi elit dan hubungan partai politik, namun lebih jauh telah menyebabkan hilangnya hak-hak hidup orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Tidak semua tahanan Moncongloe adalah anggota PKI. Namun semua tahanan memiliki status sama sebagai tahanan politik mendapat perlakuan sama. Hal ini disebabkan karena metode penangkapan secara membabi buta.

Kamp Moncongloe, saksi bisu penderitaan tapol Orde Baru di Sulsel. Kamp pengasingan ini menampung hampir seribu tahanan politik. Pasca Gerakan 30 September 1965, Orde Baru melakukan "pembersihan" kader-kader Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang bernasib nahas, di mana nyawa melayang dalam seremoni barbar penjagalan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai jutaan orang. Hilang hingga lenyap, meninggalkan cerita-cerita sadis yang membangkitkan bulu roma.

Soeharto membangun fondasi kekuasaan otoriternya dan duduk di atas tahta berbau kekerasan selama tiga puluh dua tahun. Namun cerita miris tak berhenti sampai di bagian pembantaian massal. Orde Baru turut menangkapi orang-orang yang diduga terkait dan memiliki hubungan bahasa pemerintah waktu itu dengan PKI sebagai organisasi terlarang menurut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966.

Salah satu upaya untuk membasmi paham Komunisme-Marxisme, pemerintah turut mendirikan kamp-kamp pengasingan di berbagai kota di Indonesia. Kamp ini digunakan sebagai tempat rehabilitasi simpatisan PKI. Namun, makna kata "rehabilitasi" yang selalu identik dengan konotasi positif justru tidak berlaku dalam hal ini. Di Sulawesi Selatan sendiri, salah satu kamp PKI terletak di Moncongloe, perbatasan Kabupaten Maros dan Gowa.

Kamp ini pertama kali dirintis tahun 1968. Pola pemanfaatannya dinyatakan sebagai program transmigrasi lokal. Pada Maret 1969, 11 orang tapol dari Kotamadya Makassar diberangkatkan ke Moncongloe, masing-masing tujuh orang laki-laki dan empat orang perempuan. Beberapa bulan kemudian tapol lain didatangkan sebanyak 44 orang. Dan pada akhir 1969, fasilitas kamp sudah selesai. Dimana terdapat barak laki-laki ukuran 6 x 20 meter sebanyak empat buah, barak wanita 1 buah, tempat piket, 1 buah poliklinik, masjid ukuran 7 x 10 meter, gereja ukuran 7 x 10 meter, aula 6 x 20 meter, koperasi, dan lapangan upacara. Dengan luas keseluruhan kamp adalah 150 meter persegi.

Latar belakang pemilihan kamp

sunting

Pada 1966, Kolonel Inf. Solichin yang menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin, mengeluarkan kebijakan baru untuk perumahaan satuan-satuan tempur, berupa pembukaan home base. Lokasinya disiapkan Pemerintah Daerah atas pertimbangan taktik dan strategi jangka panjang dalam rangkaian Perang Rakyat Semesta (Perata). Salah satunya adalah pembukaan lokasi di Moncongloe tahun 1969. Pola pemanfataan ini disebutkan pula sebagai transmigrasi lokal, sebagai upaya pemindahan Tapol dari Makssar menuju Moncongloe, yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Gowa dan Maros. Alasan pemisahaan Tapol dengan tahanan lain, untuk kemandarian dan tentu saja untuk memutus pemikiran dan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penumpasan dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI pascatragedi G30S, jumlah tapol bertambah secara drastis sehingga penjara-penjara tidak mampu menampung tapol dan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tapol. Kemudian muncul Moncongloe sebagai tempat pembinaan dalam bentuk pengasingan sehingga tapol dapat mandiri. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mampu dikontrol oleh militer sebab Moncongloe dikelilingi markas militer Kodam XIV/Hasanuddin. Selain itu, Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tapol PKI. Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan tapol. Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa. Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.[4]

Tahanan Kamp Moncongloe didatangkan secara bertahap dari kurun waktu 1969 hingga 1971. Terletak 17 kilometer dari Makassar, Moncongloe yang memiliki arti "Tempat yang Tinggi" bisa ditempuh dengan waktu 40 menit perjalanan darat. Jauh dari hingar bingar kota, tempat ini menyimpan memori pahit. Moncongloe dipilih karena dianggap aman dan mudah dikendalikan lantaran dikelilingi markas Kodam XIV/Hasanuddin. Kamp seluas 150 meter persegi ini menampung 911 jiwa, dengan rincian 859 pria dan 52 wanita. Mereka berasal dari sejumlah kota di seantero Sulsel seperti Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar. Mereka datang secara bertahap ke Moncongloe dari tahun 1969 sampai 1971. Namun seperti penghuni kamp-kamp PKI lainnya, mayoritas diantaranya adalah korban salah tangkap dan dituduh sebagai simpatisan organisasi berlambang palu-arit. Setelah mendekam beberapa lama, tapol Moncongloe harus memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi seiring waktu, mereka pun wajib memenuhi kebutuhan militer entah itu atas nama institusi atau kepentingan pribadi para petugas. Alhasil muncullah eksploitasi berlapis. Sekadar memenuhi kebutuhan pribadi pun menjadi sukar.

Dalam upaya memperkuat hegemoninya, pemerintah Orde Baru melakukan kontrol yang ketat terhadap orang-orang yang dianggap komunis. Mereka harus disterilkan dan diisolasi dari masyarakat. Sulawesi Selatan sebagai salah satu basis PKI yang cukup berkembang pada tahun 1960-an tidak luput dari perhatian pemerintah. Orang-orang yang dianggap komunis atau memiliki hubungan dengan PKI di daerah ini ditangkap dan diasingkan serta mendapat kontrol negara yang kuat melalui militer. Kontrol militer menyangkut mengendalikan tapol PKI melalui berbagai instrumen yang bertujuan untuk memperkuat hegemoni. Kontrol militer terlihat sejak periode penangkapan dan pemenjaraan. Secara fisik kontrol dilakukan dengan menerapkan aturan-aturan ketat terhadap tapol. Kontrol dalam penjara bermula Oktober 1965 sampai Maret 1966 dimana jumlah tapol meningkat dengan cepat hingga mencapai 9.765 orang untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Mereka berasal dari latar belakang etnik berbeda-beda, di tempatkan di penjara-penjara yang tersebar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Etnik Tionghoa, Bugis-Makassar, dan Melayu memperlihatkan politik sehari-hari yang berbeda selama dalam penjara dan kamp pengasingan.

Pada awal penahanan, para tahanan politik hanya mendapat jatah makanan yang minim, dan aturan besuk diberlakukan sangat disiplin, yaitu sekitar pukul 13.00 siang hari dalam waktu yang singkat. Awal tahun 1966, jatah makanan dihentikan. Para tahanan hanya berharap bantuan dari keluarga yang membesuk. Jadwal besuk diperbolehkan setiap hari Kamis dan dibatasi hanya 30 orang pembesuk. Kebijakan ini merugikan para tahanan politik, karena sebagian besar kebutuhan pangan bertumpu pada keluarga mereka. Makanan yang diperoleh di Penjara tidak mencukupi kebutuhan fisik para tahanan politik. Di samping itu, pembesuk semakin berkurang dari hari ke hari karena semakin merosotnya keadaan ekonomi keluarga tahanan politik. Keluarga tahanan politik sebagian sudah tidak memiliki asset karena rumah-rumah mereka sebagian telah dimusnahkan oleh massa atau diambil alih oleh pemerintah orde baru dan keluarga tahanan politik dikucilkan di lingkungan masyarakat sehingga akses ekonomi mereka tertutup.

Di tengah kondisi yang buruk, tapol berusaha bertahan hidup dengan melakukan berbagai pola. Diantaranya memelihara ikan di kolam-kolam kecil, berkebun di depan penjara, dan memanfaatkan saluran air kemudian disaring untuk keperluan air minum pada musim kemarau. Ei Ken Heng, seorang tapol yang memiliki keahlian dalam bidang farmasi menjadi tumpuan bagi tapol. Setiap makanan dan minuman yang diusahakan sendiri tapol, seperti ikan saluran air, kodok, dan tumbuh-tumbuhan diperiksa terlebih dahulu untuk melihat aman atau tidaknya untuk dikonsumsi. Ei Ken Heng memotivasi tahanan politik untuk berinisiatif untuk menanam sayur-sayuran dan buah-buahan di depan penjara. Sayuran yang telah ditanam tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kekurangan gizi para tahanan Jenis sayur yang ditaman seperti bayam dan buah tomat, cabai dan lain sebagainya. Sayur biasanya dicampur dengan kuah daging, tapol hanya mengambil beberapa lembar dari sayur tersebut kemudian dicampur dengan kuah daging. Selain menanam sayur, tahanan juga memanfaatkan segala daya mereka untuk mempertahankan hidup. Seperti pemeliharaan ikan-ikan kecil di saluran air (got) penjara kemudian dijadikan lauk pauk. Kondisi tahanan politik dalam penjara yang semakin hari semakin buruk sehingga muncul provokasi perlawanan terhadap petugas penjara. Resistensi tahanan politik dengan koordinasi cukup rapi, mereka melakukan perlawanan secara tersembunyi dan penuh kehati-hatian, mencuri makanan di dapur atau menyembunyikan makanan, mengelabui petugas dengan berpura-pura sakit untuk menghindari kerja bakti, dan lain sebagainya. Upaya tapol ini sama sekali tidak diketahui oleh petugas penjara. Dalam bentuk nyata mereka melakukan perlawanan dengan cara aksi mogok makan. Aksi ini dimaksudkan memprotes jatah makan yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan manusia. Boleh jadi perlawanan yang diberikan dengan cara mogok makan itu sebuah langkah tepat untuk menekan pihak penjara agar meningkatkan jatah makan mereka, atau sekaligus sebuah langkah frustasi sehingga memilih sekalian tidak makan daripada menerima jatah makan sangat sedikit. Respon tahanan politik terhadap kontrol militer berujung pada upaya resistensi yang solid. Ini disadari oleh Teperda sebagai suatu yang harus diselesaikan. Bentuk kesadaran ini sehingga pihak Kodam XIV/Hasanuddin mulai memikirkan langkah-langkah konkret agar para tahanan dapat bertahan dan tidak membutuhkan dana yang banyak. Banyaknya tapol yang meninggal dan resistensi tahanan politik serta persediaan dana yang minim menjadi pertimbangan perlunya pemanfaatan tahanan politik di lokasi tertentu yang mudah dikontrol oleh militer. Pemikiran ini menjadi cikal bakal berdirinya Kamp Pengasingan tahanan politik Moncongloe. Hal ini juga berdasarkan kewenangan-kewenangan yang diberikan Pangkopkamtib kepada Kodam XIV/Hasanuddin untuk menyelesaikan pengamanan dan pembinaan tapol.

Moncongloe: Dari hutan menjadi kamp pengasingan

sunting

Pembebasan tahanan politik

sunting

Pada 20 Desember 1977, melalui surat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dilaksanakan pengembalian 10.000 orang tahanan G30S/PKI ke masyarakat, dari mulai Digul, Buru, hingga Moncongloe. Hari itu, ratusan tapol di Kamp pengasingan Moncongloe begitu senang. Lalu dipilihlah sebanyak 150 tapol, untuk menjadi perwakilan pelepasan di aula TNI di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Makassar. Rupanya setelah pembebasan dari Kamp Moncongloe, kehidupan para tapol tidak berjalan baik. Tempat awal bekerja sudah tak menerima. Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap diujung kanan ET – Eks Tapol. Bahkan orang-orang mencibir. Bahkan beberapa orang Tapol tak diterima lagi di kalangan keluarga dan masyarakat.

Garis waktu

sunting

Kamp pengasingan Moncongloe diisi oleh para tapol yang sebelumnya mendekam di penjara di wilayah Kodim kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap periode Oktober 1965–Maret 1966 terkait Gerakan 30 S/PKI di Sulawesi Selatan.

  • 1968: Kamp pengasingan Moncongloe mulai dirintis
  • Maret 1969: Gelombang pertama, 11 tahanan politik dari penjara di Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe terdiri 7 laki-laki dan 4 perempuan. Karena jumlahnya 11, maka para tapol ini disebut angkatan 11
  • Mei 1969: Gelombang kedua, 44 tahanan politik dikirim ke Kamsing Moncongloe. Karena jumlahnya 44, maka para tapol ini disebut angkatan 44
  • Desember 1969: Beberapa fasilitas infrastruktur di Kamsing Moncongloe telah dibangun
  • September 1970: Gelombang ketiga, 44 tahanan dikirim
  • 1971: Sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar dikirim ke Kamsing Moncongloe
  • Juni 1971: Para tapol didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar
  • Desember 1971: Jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki
  • 1972
  • 20 Desember 1977: Tapol mulai dibebaskan menjadi tahanan rumah
  • 1978: Kamsing Moncongloe dijadikan tahanan militer
  • 1979: Seluruh tapol baik sipil maupun militer dibebaskan
  • 2012: Komnas HAM RI memutuskan adanya pelanggaran HAM berat di Kamsing Moncongloe

Tapol yang menghuni inrehab Moncongloe sebanyak 911 orang yang terdiri atas 52 perempuan dan 859 laki-laki yang berasal dari berbagai daerah yang berlangsung secara bergelombang mulai 1969 sampai 1971. 250 tapol didatangkan dari penjara Makassar pada tahun 1969 dan menjelang pemilihan umum 1971, tapol didatangkan dari Majene, Mamasa, Pinrang, Parepare, Barru, Pangkep, Maros, Palopo, Tana Toraja, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, dan Kepulauan Selayar. Akan tetapi tidak semua penghuni Inrehab Moncongloe murni anggota PKI. Sebagian dari mereka hanya karena korban salah tangkap atau mereka yang di-PKI-kan.

Daftar penjara sebelum dipindahkan ke kamp konsentrasi

sunting

Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban. Beberapa penjara atau kamp yang bersifat sementara dibuat untuk menahan para tahanan politik baik anggota PKI maupun yang tertuduh sebagai PKI. Para tahanan politik tersebut dipenjara pelbagai penjara di Sulawesi Selatan, diantaranya sebagai berikut:

  • Penjara Rajawali Makassar
  • Penjara Kodim Majene
  • Penjara Pangkep
  • Lapas Parepare
  • Penjara Kodim Parepare
  • Penjara Kodim Watampone
  • Penjara Poltabes Makassar
  • Penjara Karebosi Makassar
  • Penjara Kodim Toraja
  • Rumah Tahanan Militer (RTM) Jalan Rajawali Makassar

Pengklasifikasian tahanan

sunting

Seperti pada kamp-kamp pengasingan lain di wilayah Indonesia, para tahanan politik di Kamp Moncongloe juga memiliki golongan berdasarkan status keterlibatan mereka terkait PKI. Klasifikasi tersebut sebagai berikut:

Golongan A

Tahanan golongan A adalah mereka yang menjadi pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pentolan organisasi partai.

Golongan B

Golongan B adalah tahanan terpelajar yang menjadi penggerak lapangan.

Golongan C

Golongan C adalah simpatisan dan orang-orang yang dicurigai terlibat PKI dan organisasinya. [3]

Penderitaan tahanan dan pelanggaran HAM

sunting
 
(alm.) Muhammad Jufri Buape, eks tahanan politik di Kamp pengasingan Moncongloe saat diwawancarai dan memberikan kesaksian tentang perlakuan para tahanan politik di Kamp pengasingan Moncongloe

Tahanan politik PKI sebagai orang-orang yang mendapat pelabelan sosial yang selalu digolongkan sebagai masyarakat tidak bersih lingkungan dengan berbagai stempel buruk yang dikenakan kepada mereka. Tetapi pada saat yang sama, para petugas militer di dalam kamp pengasingan juga mengandalkan sumber tenaga dan pikiran para tahanan politik untuk kepentingan pribadi dan institusi militer. Tapol diarahkan untuk membuka lahan perkebunan dan membangun infrastruktur untuk kepentingan militer. Hal ini membuka ruang kontrol dan eksploitasi tenaga tahanan politik secara besar-besaran, sehingga dapat dikatakan bahwa militer satu-satunya unsur yang paling diuntungkan atas pembukaan kamp pengasingan di Moncongloe. Tapol selama masa pengasingan di mana kontrol militer dan strategi bertahan tapol berjalan beriring dan berdinamika. Periode pengasingan menyimpan sejumlah kisah sehari-hari mereka sebagai tahanan memperlihatkan perjuangan tidak kalah sulitnya sebagai kelompok sosial yang distigma buruk oleh negara. Tapol tidak hanya berurusan dengan aksi-aksi politis yang tergabung dalam komunitas tapol, tetapi politik mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau strategi bertahan selama dalam pengasingan, seperti tempat tidur, makanan, air, menghindari kekerasan petugas, menghindari korve, mencari penghasilan tambahan, mencuri hasil kebun petugas, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah komunitas yang diikat dengan ikatan ideologis dan etnik.

Pelecehan seksual

Kamp pengasingan Moncongloe kerap menjadi tempat pelecehan seksual. Beberapa laporan wawancara eks tapol bahwa wanita-wanita yang merupakan tapol telah menjadi sasaran pelecehan, perkosaan hingga hamil oleh petugas kamp. Mereka yang hamil banyak yang melakukan aborsi karena tidak dinikahi.

Tapol sakit tanpa pengobatan

Selama di Kamp pengasingan Moncongloe, ada beberapa tapol mengalami jatuh sakit bahkan sampai meninggal dunia di dalam tahanan. Beberapa tahanan tersebut terkena jenis penyakit, seperti sakit jantung, sesak napas, muntah darah, hepatitis, dan lain-lain.

Praktik perbudakan

Setiap pagi para tahanan politik berkunjung ke rumah-rumah perwira, dipekerjakan sebagai pembantu, atau pun menjadi pekerja perintis jalan, membuka lahan, dan membuat beberapa bangunan. Para tapol juga mendapatkan waktu, antara pukul 16.00 hingga 18.00 mengelola lahan. Menanam tomat, singkong, dan beberapa jenis sayuran.

Pasca ditangkap, para tahanan politik menghuni sel tahanan Kodim-Kodim daerah tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Bersama ratusan tahanan lain, setiap hari diperintahkan membuat jalan, ke sungai mengambil kerikil dan memanggulnya. Batu-batu itu harus sama semua, tak boleh ada yang lebih kecil, tak ada yang boleh lebih besar. Kalau banyak bentuk, akan kena sanksi, bisa dipukul.

Kerja paksa yang diterapkan kepada tahanan politik di Sulawesi Selatan pada masa lalu adalah suatu kejahatan sangat serius. Hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan umum hak-hak asasi manusia, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik. Pemerintah bersama dengan militer telah memperlakukan tapol seperti budak/hamba. Pada era Orde Baru, pemerintah telah melakukan suatu kejahatan besar dengan menangkap dan menahan belasan ribu orang selama bertahun-tahun tanpa proses hukum. Selain itu, mempekerjakan tapol dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas militer tanpa memberikan upah. Tahanan politik seperti sapi perah yang setiap saat harus dimanfaatkan untuk pembangunan.

Perlakuan terhadap tapol '65 pada rezim Orde Baru jauh lebih tidak manusiawi daripada sistem perbudakan (ata) pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan. Meskipun ata dicabut kemerdekaan dan harga dirinya pada zaman kerajaan, mereka masih diberikan makanan dan tempat tinggal yang layak oleh para majikannya. Sedangkan kerja paksa dialami oleh tapol '65 jauh lebih mengerikan. Mereka dikerjapaksakan secara terus-menerus tanpa diberikan makanan dan tempat tinggal yang layak sehingga ada yang sakit dan meninggal karena kelelahan serta kelaparan, disiksa bahkan dibunuh secara tidak manusiawi. Kerja paksa yang dilakukan tapol '65 di bawah kontrol Orde Baru dengan kekuatan militernya sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang menginginkan kebebasan dari cengkeraman feodalisme dan kolonialisme. Tragedi kemanusiaan peristiwa '65 yang diikuti serangkaian pelanggaran HAM terhadap tapol '65 merupakan suatu kemunduran proses demokratisasi dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan.

Kerja paksa bagi tapol tidak hanya berdampak penghancuran fisik, tetapi juga penghancuran secara psikis. Para tapol selain berusaha menghidupi dirinya sendiri, juga menanggung beban untuk menghidupi keluarganya. Pemerintah Orde Baru sengaja membuat tapol dan keluarganya miskin, putus asa, dan bahkan meninggal karena kelaparan secara perlahan-lahan. Hingga saat ini banyak eks tapol merasakan dampak dikerjapaksakan. Beberapa di antaranya sakit, tidak memiliki tempat tinggal, diasingkan dari lingkungan masyarakat tempat mereka lahir dan besar, dan anak cucu mereka ikut menanggung beban karena tidak diberi akses untuk bekerja di pemerintahan. Tahanan politik dihinakan harkat dan martabatnya sebagai manusia serta diperlakukan layaknya budak tahanan yang kalah perang pada zaman kerajaan. Padahal saat penangkapan dan kerja paksa dilakukan tapol Sulawesi Selatan dan Tenggara, mereka tidak mengetahui peristiwa 1965, tidak melakukan perlawanan sama sekali apalagi berperang melawan militer dan pemerintah setempat. Kalah perang dimaknai sebagai pasrah dan menerima keadaan tanpa perlawanan. Harus diakui bahwa tapol khususnya di Sulawesi Selatan sangat berjasa dan berkontribusi terhadap pembangunan beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Tenaga mereka dimanfaatkan seperti hamba sahaya untuk kemajuan daerah ini. Pemerintah bekerja sama dengan militer telah mengeksploitasi tapol seperti tahanan perang. Bangunan monumental hasil karya tapol sampai saat ini masih dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Selatan.

Keterangan saksi-saksi tersebut di bawah ini menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perbudakan, yakni: Bahwa saksi A ditahan sejak September 1970, setelah dipindahkan dari Penjara Makassar. Saksi merupakan tahanan gelombang ketiga yang dikirim ke Moncongloe, Di sana terdapat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Saksi bersama tahanan lainnya membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Saksi bersama dengan tahanan lain dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi mengerjakan kebun 1 kebun tentara sampai dengan tahun 1977. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene, Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Selama tinggal di Moncongloe, ia ikut memugar gedung Kodam lama, Gedung Chandra Kirana bersama seorang kapten dari Zeni Bangunan Kodam XIV/Hasanudin, pembangunan 100 unit rumah sederhana prajurit Kodam XIV di Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Pekerjaan rutin selama di Kamp Moncongloe adalah mengerjakan kebun petugas dari CPM dan petugas sipil, serta mengerjakan perkerjaan lainnya, seperti membuat gambar desain. Jika mereka melihat tahanan malas mereka akan marah. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Kegiatan saksi di Moncongloe adalah membuka hutan menjadi ladang dan berkebun. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Selama ditahan di Kamp Moncongloe mengerjakan membuka hutan untuk dijadikan ladang dan kebun. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja, dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara, seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar antara 4 sampai 6 ha. Saksi-saksi juga diperlakukan, seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke Daya. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkut ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun, dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas Kamsing Moncongloe. Selama bekerja para saksi tidak pernah mendapatkan upah. Beberapa saksi hanya diberi beras ½ liter per hari dan diberikan pada setiap satu minggu. Dengan demikian ditemukan petunjuk tentang pelanggaran delik dan unsur dimana para pelaku menggunakan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas satu orang atau lebih, seperti menjual, membeli, meminjamkan atau tukar-menukar orang atau orang-orang tersebut. Petunjuk ini dapat dipergunakan dalam proses hukum selanjutnya.

Unsur perbuatan itu dilakukan sebagai bagian serangan yang tersebar luas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil; Bahwa, tindakan para pelaku dalam hal ini apparatus yang bertugas di Kamp Moncongloe yang melakukan sendiri maupun memerintahkan orang lain dapat dikategorikan sebagai bentuk serangan dengan penggunaan kewenangan dan dan sarana berupa kantor untuk menangkap dan menahan para korban dalam jangka waktu yang sangat lama atau setidak-tidaknya dimulai pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1978. Korban-korban yang dimaksud merupakan penduduk sipil berjumlah setidak-tidaknya berjumlah 1000 orang yang diidentifikasi oleh pelaku sebagai anggota, pengurus, atau simpatisan PKI.

Perampasan Kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas ketentuan) pokok hukum internasional. Bahwa saksi A ditahan di Kamp Moncongloe sejak September 1970 sampai dibebaskan pada 20 Desember 1977. Saksi ditempatkan di Moncongloe merupakan tahanan gelombang ketiga yang berjumlah 44 orang. Setiap barak 1 berukuran 6 x 20 m dihuni oleh; antara 80 sampai 100 orang. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene, Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi tersebut diatas, didapat petunjuk tentang tindakan para pelaku yang merampas kemerdekaan lebih dari satu orang dengan cara menempatkan para korban didalam satu wilayah yang sepenuhnya dalam control para pelaku. Dengan demikian, ditemukan petunjuk tentang adanya pelanggaran delik dan unsur a quo yang dapat dipergunakan dalam proses hukum selanjutnya. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Bahwa saksi A ditahan di Kamp Moncongloe sejak September 1970 sampai dibebaskan pada 20 Desember 1977. Saksi ditempatkan di Moncongloe merupakan tahanan gelombang ketiga yang berjumlah 44 orang. Setiap barak berukuran 6 x 20 m dihuni oleh; antara 80 sampai 100 orang. Disana terdapat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Saksi dibebaskan pada 20 Desember 1977 bersama 466 tahan lainnya. Selama saksi ditahan tidak pernah mendapat surat penangkapan maupun penahanan. Bahwa saksi B ditahan di Kamp Mocongloe sejak 1972 setelah dipindahkan dari LP Majene Sulawesi Selatan. Saksi berada di Moncongloe sampai 20 Desember 1977. Saksi dibebaskan pada 20 Desember 1977, berdasarkan surat perintah Nomor: SPRIN/802/TPD/XII/1977, tentang Membebaskan dari penahanan penuh menjadi tahanan rumah. Bahwa selama sasksi ditahan di Kamp Moncongloe tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Bahwa saksi C ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1970 sampai Agustus 1974. Dalam surat Pembebasan dari Teperda Sulselra tanggal 8 Agustus 1974 dinyatakan bahwa saksi masuk dalam klasifikasi C3. Selama saksi ditahan saksi tidak pernah mendapat surat perintah penangkapan maupun penahanan, selain itu saksi juga tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Bahwa saksi D ditahan di Kamp Moncongloe sejak 1971 sampai Desember 1977. Dalam surat pembabasan dinyatakan bahwa saksi masuk dalam klasifikasi B2 bersama Mukhlis salah satu pengurus PKI Sulawesi Selatan. Selama ditahan saksi tidak pernah menerima surat perintah penangkapan maupun penahanan. Selain itu saksi tidak pernah diajukan ke pengadilan.

Selama di Moncongloe, tapol tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupannya tapi juga harus mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan militer baik kepentingan institusi maupun kepentingan pribadi petugas inrehab. Ada beberapa pola eksploitasi tenaga tapol, pertama korve dan konsentrasi tapol di kamp inrehab, tapol dibagi dalam beberapa regu korve yang terdiri dari korve penebang pohon, korve gergaji, korve pencari batu, korve penebang bambu. Kedua, tapol dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor kodim dan perumahan militer serta rumah pribadi anggota militer. Ketiga, tapol bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV/Hasanuddin. Tapol terkadang mengalami eksploitasi berlapis adanya kepentingan pribadi petugas inrehab dan kepentingan institusi militer sehingga untuk memenuhi kebutuhan pribadi tapol sangat susah. Selama di penampungan, tapol hidup bersama dengan para tapol terkait PKI lainnya. Mereka bertahan hidup dengan berkebun menanam ubi kayu di atas lahan Tanah Merah yang sangat gersang. Perjuangan para tapol terkait PKI untuk bertahan hidup di penampungan Tanah Merah dulu sangat berat. Selain lokasi yang berada di tengah hutan, juga berada dalam bayang-bayang intimidasi kala itu.

Eksploitasi sangat dirasakan oleh tapol karena hasil dari pekerjaan hanya dinikmati oleh petugas inrehab sehingga resistensi bukanlah hal baru yang dilakukan oleh tapol. Bentuk resistensi yang paling sederhana dilakukan adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas terutama kebun yang jaraknya jauh dari lokasi inrehab sehingga pengawasan pun longgar. Bentuk resistensi lainnya adalah merusak kebun petugas secara sembunyi-sembunyi dan melakukan hal-hal yang merugikan petugas inrehab. Di waktu lain, politik akomodasi menjadi jalan untuk bertahan dengan jalan berusaha mendekati petugas secara personal dengan cara memberikan hasil hutan kepada petugas sehingga terhindar dari perlakuan keras petugas inrehab.

Pengasingan terhadap tapol berakhir pada tahun 1979 namun tidak berarti persoalan hidup mereka selesai, mereka tetap memikul berbagai hukuman kolektif, justru kehidupan mereka lebih berat, karena dikucilkan dalam pengasingan itu wajar namun dikucilkan ditengah kehidupan sosial akan mengarah pada depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal itu bukan perkara mudah apalagi dengan status sebagai eks tapol yang harus menerima stigmatisasi “tidak bersih lingkungan” yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah Orde Baru.

Pembebasan tapol hanya merupakan perubahan pengontrolan negara terhadap tapol dari kontrol fisik dalam Kamp Inrehab menjadi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, pemerintah mengeluarkan berbagai ketentuan yang membatasi dan mengontrol secara efektif ruang gerak eks tapol. Lebih parah lagi stigma tidak bersih lingkungan tidak berhenti pada tapol itu saja tapi menjalar sampai anak dan cucu mereka hingga melahirkan suatu bentuk pengasingan baru di tengah lingkungan masyarakat.

Sejarah komunitas tapol Mongcongloe menjadi implikasi perkembangan politik setelah gerakan 30 September 1965 di Sulawesi Selatan. Sesuai laporan Komnas HAM tahun 2012, penghuni kamp Moncongloe mengalami berbagai perlakuan keji. Penderitaan mereka tergambar jelas dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966 yang rilis pada 2012 silam. Dengan mewawancarai para tapol penghuninya, praktek perbudakan digambarkan secara rinci. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, didapat petunjuk tentang adanya perbudakan dengan cara penggunaan para tahanan untuk membangun barak, pagar, WC, aula-masjid, poliklinik, pos jaga, gereja dan dapur umum. Para tahanan dipekerjakan di beberapa proyek tentara seperti membuka kebun-kebun pribadi milik tentara, yang luasnya tergantung pada pangkat yang dimiliki tentara yang bersangkutan. Luasnya berkisar 4 sampai 6 hektar. Saksi-saksi juga diperlakukan seperti budak yang diperas tenaganya dengan membuat jalan sepanjang kurang 23 km dari Moncongloe ke Daya. Untuk membuat jalan tersebut, tahanan disuruh mengambil batu dari gunung dan mengangkutnya ke jalan raya. Selain itu, tahanan disuruh menggarap tanah perkebunan, menanam sampai memanen, membangun dan memperbaiki rumah perorangan milik petugas, mengambil dan menyusun kayu-bambu yang dijual untuk kepentingan petugas kamp Moncongloe.

Kamp Moncongloe adalah satu dari sekian banyak riwayat panjang pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Hidup di kawasan tersebut terhitung mengerikan. Sepanjang tahun 1971–1972, wilayah Moncongloe dilanda kemarau panjang. Udara di kamp pengasingan Moncongloe begitu terik. Tanah-tanah seperti terbakar, sungai mengering, singkong begitu susah bertumbuh. Daun-daun liar yang dijadikan sayur semua mati. Tak ada pasokan air bersih hingga listrik. Ladang nanas dan singkong yang jadi tumpuan hidup acap kali dirusak oleh babi hutan dan monyet. Moncongloe yang penuh belukar dan tandus pun sudah memberi ujian hidup untuk para tapol. Ada juga pelecehan seksual dialami para tahanan wanita yang dilakukan oleh petugas kamp. Tak ada upah untuk pekerjaan mereka. Beberapa saksi yang diwawancarai Komnas HAM bahkan mengaku hanya diberi beras setengah liter sehari dan diberikan setiap satu minggu. Belum lagi menyoal banyaknya tahanan yang dijebloskan tanpa surat penahanan atau melalui proses peradilan. Laporan khusus majalah Tempo pada 2012 silam pun menyebut banyak tahanan menderita Hepatitis saking beratnya pekerjaan yang dibebankan sekaligus minimnya asupan gizi.

Perlawanan

Periode pengasingan tahanan politik dapat dikatakan sebagai periode perbudakan tahanan politik. Pada periode ini, tenaga tahanan politik dieksploitasi untuk kepentingan militer, seperti kerja paksa yang dibebankan kepada mereka, membuka lahan perkebunan untuk anggota militer, dan bekerja di rumah-rumah militer tanpa mendapat upah. Ada tiga pola eksploitasi tenaga kerja tahanan politik di Moncongloe: pertama, korve dan konsentrasi tahanan politik di Kamp Inrehab. Kedua, tahanan politik dikerahkan untuk bekerja pada proyek pembangunan unit kantor Kodim dan perumahan militer, serta ada juga yang membangun rumah pribadi anggota militer. Ketiga, Tahanan politik bekerja di rumah-rumah anggota Kiwal Kodam XIV/Hasanuddin. Ketiga pola eksploitasi ini dilakukan oleh militer kepada semua tahanan politik. Tidak ada perlakukan khusus yang diberikan petugas berdasarkan etnisitas dan/atau perbedaan daerah asal, tetapi terdapat pola berbeda dalam merespon kontrol militer. Perbedaan latar belakang sosial budaya tahanan politik mencerminkan pola dan strategi politik sehari-hari yang berbeda dalam menghadapi kontrol militer. Kontrol yang berlapis dilakukan oleh militer terhadap tahanan politik, baik untuk kepentingan pribadi maupun institusi militer, dan kontrol itu digeneralisir pada semua level hubungan-hubungan sosial tahanan politik melahirkan pola resistensi dan akomodasi tahanan politik sebagai strategi untuk bertahan hidup. Pada situasi tertentu tahanan politik melakukan resistensi terhadap kontrol dan pada lain waktu sikap akomodasi menjadi pilihan tepat. Motivasi dan tujuan politik resistensi dan akomodasi, secara personal pada diri tahanan politik juga menunjukkan keberagamanan latar belakang mereka. tahanan politik berasal dari latar belakang berbeda-beda sehingga menunjukkan ekspresi berbeda terhadap kontrol yang ditujukan kepadanya.[6]

Pada respon paling kecil menghadapi kontrol adalah bermalas-malasan bekerja di kebun petugas. Prilaku resistensi ini, misalnya selalu dilakukan oleh Cak Gun yang mendapat tugas bekerja di kebun petugas yang paling jauh dari kamp Inrehab. Kebun yang sulit dijangkau dengan jalan kaki dimanfaatkan oleh Cak Gun untuk bermalas-malasan bekerja di kebun petugas. Bentuk perlawanan semacam ini dilakukan secara personal. Akan tetapi kecenderung resistensi dengan sikap bermalas-malas hampir dialami oleh tahanan politik setiap ada kesempatan. Bentuk perlawanan ini tidak dimaksudkan untuk merubah sistem dominasi militer tetapi sebuah tindakan yang timbul akibat represif dari militer itu sendiri. Kejenuhan dan frustasi mewarnai pola-pola seperti ini. Politik terhadap kontrol militer yang laindengan melakukan pengrusakan kebun-kebun petugas secara sembunyi-sembunyi. Salah satukasus yang dialami oleh Anwar Abbas, dalam proses pengerjaan kebun-kebun petugas yang dibebankan kepadanya secara sengaja memotong akar-akar singkong sehingga tidak menghasilkan apa-apa pada saat panen. Upaya resistensi ini sebagai bentuk penolakan tersembunyi terhadap korve yang dibebankan kepada tahanan politik. Pengrusakan kebun-kebun petugas dilakukan dengan keberanian dan kesiapan mental yang cukup baik, karena resiko resistensi ini sangat besar pula. tahanan politik yang melakukan resistensi dalam aksi merusak milik pribadi petugas biasanya dilakukan oleh anggota PKI yang memang telah terbentuk dalam dirinya sikap anti kemapanan. Namun, sikap protes tersebut tidak dapat disalurkan dalam bentuk frontal sehingga dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk merugikan petugas. Kasus politik tahanan politik lain diperlihatkan oleh Anwar Abbas dengan melakukan pembunuhan binatang-binatang ternak milik petugas inrehab. Alasan pembunuhan ternak itu, bahwa apabila ternak terlalu banyak maka akan menyulitkan tahanan politik untuk memeliharanya. Anak-anak kambing milik petugas terpaksa dibunuh oleh Anwar Abbas pada saat dilahirkan agar dapat mengurangi beban tahanan politik. Modus perlawanan ini dilakukan bekerjasama dengan Dr. Untung dengan melakukan analisa-analisa kematian anak-anak kambing tersebut dengan argumentasi yang direkayasa. Penjelasan-penjelasan yang dibuat-buat oleh Dr. Untung dimaksudkan untuk menjaga keselamatan tahanan politik lain.[6]

Selain itu, pencurian buah labu dari kebun milik petugas kerap kali dilakukan untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar Moncongloe. Pencurian labu dilakukan utamanya di kebun-kebun petugas yang melakukan kontrol kuat terhadap tahanan politik. Modus pencurian ini dibagi atas berbagai orang yang melakukan pengintaian atau pengamatan terhadap petugas dengan mempelajari saat-saat kapan petugas tersebut menuju ke kota Makassar. Pada saat petugas tidak ada di tempat, tahanan politik mencuri labu kemudian sebagian diberikan kepada penduduk dan sebagian lagi diberikan kepada Tahanan politik lain. Politik resistensi membunuh ternak dan mencuri hasil kebun petugas dilakukan dengan aksi bersama. Beberapa tahanan politik melakukan aksi ini dengan berkordinasi dengan tahanan politik yang lain. Mereka merencanakan, mengamati keberadaan petugas kemudian melakukan aksi. Sebagian besar tahanan politik yang melakukan resistensi adalah mereka yang berasal dari anggota-anggota PKI dengan pengetahuan resistensi yang cukup baik. Politik akomodasi nampaknya lebih diperlihatkan oleh sejumlah tahanan politik, terutama mereka yang berasal etnik Tionghoa. Politik akomodasi dapat dilihat dalam berbagai prilaku tahanan politik yang berusaha mendekati petugas inrehab secara personal dengan memberikan hasil-hasil hutan kepada petugas. Salah satu contoh, untuk melunakkan hati petugas, Go Kee Iet kerapkali memberikan minyak ular yang didapat di hutan. Tahanan politik etnik Thiongkoa lebih jeli melihat kebutuhan-kebutuhan atau kegemaran-kegemaran petugas untuk menghindari perlakukan keras dari petugas. Sikap akomodasi juga dilakukan dengan memberikan sanjungan atas kehebatan petugas (militer) dalam berbagai bidang. Politik akomodasi ini mendapat tempat yang cukup baik dalam kamp pengasingan karena kelebihan-kelebihan mereka dalam berbagai aspek. Misalnya pengetahuan mereka tentang obat-obatan herbal dengan mudah mendapat kepercayaan petugas. Demikian pula kelebihan mereka dalam bidang perdagangan sehingga Tahanan politik etnik Tionghoa mendapat tugas kerja untuk mengelolah koperasi tahanan politik. Unit Usaha Produksi Koperasi Tahanan politik Moncongloe ditangani oleh Go Kee Iet, seorang Tahanan politik etnik Tionghoa. Go Kee Iet bertugas menghitung jumlah produksi hutan masuk dan keluar, seperti bambu, kayu untuk tiang rumah, batu gunung dan lain sebagainya. Mengenai hasil penjualan bambu, kayu dan batu gunung diserahkan kepada petugas Inrehab. Koperasi menjadi tumpuan bagi tahanan politik untuk memperbaiki kehidupannya, kendatipun pada akhirnya koperasi ini berkembang di bawah kontrol petugas, bahkan menjadi sarana bagi petugas Inrehab untuk mengeksploitasi sumber daya tahanan politik. Dalam catatan Munir dikatakan bahwa: “Sedikit saya bisa memberikan bayangan sebagai salah satu cara untuk meringankan saya ialah bahwa di sana (Moncongloe) kami ada mempunyai koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari tahanan politik semua dari pelaksananya (pengurusnya) dari tahanan politik juga tetapi akan pengawasan petugas (CPM). Catatan ini memperlihatkan koperasi tahanan politik sebagai tumpuan harapan, namun tetap menjadi sarana eksploitasi tahanan politik. Menghadapi kondisi demikian, Go Kee Iet bekerjasama dengan tahanan politik lain terkadang menyelundupkan hasil-hasil hutan untuk dijual kependuduk setempat, atau ditukar dengan kebutuhan sehari-hari.Respon lain diperlihatkan Tahanan politik dengan sikap disiplin terhadap pekerjaan yang diberikan kepada tahanan politik. Beberapa tahanan politik berdisiplin dalam kehidupan seharihari, baik dalam bekerja, beribadah, maupun padasaat upacara setiap hari senin. tahanan politik memperlihatkan sikap seperti ini pada dasarnya sebagai bentuk sindiran halus bahwa kepribadian tahanan politik pada dasarnya tidak seperti yang dipersepsikan oleh pemerintah sebagai orang jahat dan kejam. Tahanan politik juga ingin menunjukkan kekerdilan seorang petugas yang mengeksploitasi tenaga tahanan politik untuk kepentingan pribadi. Politik sehari-hari tahanan politik di atas memperlihatkan pola yang berbeda antar tahanan politik itu sendiri. Nampaknya faktor etnisitas, budaya dan latar belakang tahanan politik memberi ruang perbedaan respon terhadap kontrol. Etnik Tionghoa lebih memiliki politik akomodasi dengan petugas dengan memanfaatkan keahlian mereka, sedangkan politik tahanan politik etnik Melayu lebih memperlihatkan resistensi terhadap kontrol militer. Kendatipun demikian, antara tahanan politik etnik Tionghoa dan tahanan politik etnik Melayu selalu bekerjasama pada aspek tertentu, seperti tahanan politik etnik Tionghoa tetap membantu tahanan politik lain dalam menjual hasil-hasil hutan secara gelap ke penduduk setempat, serta memberi ruang komunikasi yang baik di antara tahanan politik.[6]

Kontrol dan politik sehari-hari tahanan politik senantiasa berubah, berdinamika seiring dengan perubahan-perubahan kontrol militer. Respon tahanan politik juga memperlihatkan pola yang beragam. Di dalam kamp pengasingan Moncongloe tampak bahwa terdapat politik sehari-hari tahanan politik lebih bersifat akomodatif terhadap petugas militer. Akomodatif tahanan politik lebih diperlihatkan dalam bentuk pemberian makanan dan obat-obatankepada petugas militer. Kemudian perlawanan yang terencana dilakukan oleh tahanan politik, seperti mencuri hasil kebun militer, merusak kebun-kebun militer, membunuh ternak militer dan lain sebagainya. Bertahan di tengah perbudakan militer melalui kerja paksa dan kontrol direspon olehtahanan politik dengan beragam strategi. Kemudian pada titik balik tertentu, tampaknya bahwa keberadaan kamp pengasingan Moncongloe telah memperkuat solidaritas antara tahanan politik satu dengan yang lain yang diekspresikan melalui politik resisten sehari-hari. Politik resisten sehari-hari pada dasarnya dilakukan dalam rangka memperjuangkan atau mendapatkan sumber-sumber yang langka (makanan, hiburan pengobatan dan lain sebagainya) serta keamanan diri. Pola resistensi kadang-kadang individual dan kadang-kadang berkelompok sesuai dengan target yang ingin dicapai, tetapi akhir tahun1969 terdapat resistensi massal ketika bahan-bahan kebutuhan pokok semakin kurang, kontrol militer semakin kuat, sementara solidaridas tahanan politik juga semakin menguat dan diekspresikan dalam politik resistensi kolektif yang kuat pula.[6]

Simpulan

Penyelidikan peristiwa yang menyusul terjadinya peristiwa yang dikenal umum sebagai “Peristiwa Gerakan 30 September” atau terdapatnya bukti permulaan yang cukup telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk tindak pidana Perbudakan, Perampasan Kemerdekaan dan Penganiayaan dalam peristiwa yang terjadi di kamp Moncongloe, Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu setidak-tidaknya pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1978.[7]

Sasaran tahanan

sunting

Pasca peristiwa Gerakan 30 September, para tentara menangkapi pihak-pihak yang terlibat PKI di Sulawesi Selatan. Orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang berafiliasi PKI, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Badan Pendidikan Rakyat (BDR), Panitia Pendidikan Rakyat (PPR) di tingkat daerah menjadi sasaran penangkapan dan ditahan di Penjara Kodim.

Sanksi sosial

sunting

Setelah para tapol keluar dari kamp pengasingan dan hidup di tengah masyarakat biasa. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, dimana memori kolektif masyarakat setempat yang telah dikuasai pemerintahan Orde Baru mengenai pandangan negatif terhadap tapol PKI masih sangat kuat. Keluar dari kamp para tahanan menemukan kekerasan belum selesai. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, label PKI adalah sebuah status sosial yang tidak memiliki tempat yang setara dengan orang lain di ruang-ruang publik, bahkan juga berlaku bagi anak cucu mereka. Ada seorang tapol Moncongloe mengisahkan drama hidupnya yang memilukan ketika harus rela menahan air mata tanpa menemui keluarga di tengah penyamaran guna menghindari kejaran para intel, meskipun akhirnya tertangkap juga. Hampir semua tapol Moncongloe adalah orang hilang dan mati. Mereka dianggap mati oleh keluarganya. Di sisi lain, mereka pun harus membuang jauh harapan untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta. Komunitas tapol ini selalu terpinggirkan karena dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kamp pengasingan Moncongloe ditutup secara resmi pada 1979, namun eks tapol di kamp ini harus mengalami diskriminasi dan trauma yang mendalam. Mulai dari stigma masyarakat yang sudah kadung melekat hingga kesulitan menemukan pekerjaan yang cocok. Komnas HAM secara jelas mengatakan ada pelanggaran HAM terjadi seperti perbudakan, perampasan, kemerdekaan dan penganiayaan.

Setelah dilepaskan dari Kamp pengasingan Moncongloe, para tahanan politik harus mendapatkan perlakuan diskriminasi sebagai berikut:

  1. Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap pada ujung kanan ET – Eks Tapol
  2. Eks tapol tidak diterima bekerja sebagai pegawai pada perusahaan swasta
  3. Eks tapol tidak diterima bekerja sebagai pegawai negeri
  4. Eks tapol mendapatkan cibiran dan gunjingan serta pengucilan dari masyarakat
  5. Beberapa eks tapol tak diterima lagi di kalangan keluarga dan masyarakat
  6. Beberapa eks tapol terpaksa harus menyembunyikan identitas asli dan riwayat hidupnya
  7. Beberapa eks tapol diancam untuk tutup mulut tentang perlakuan di kamp pengasingan selama era Orde Baru
  8. Beberapa eks tapol tinggal menetap di sekitar kamp pengasingan karena takut untuk kembali ke tempat asalnya
  9. Beberapa eks tapol setelah keluar dari kamp harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pekerjaan sembarang
  10. Eks tapol tetap dipantau oleh intel pemerintahan Orde Baru

Daftar tokoh yang ditahan

sunting
Tokoh yang pernah ditahan di Kamp pengasingan Moncongloe
No. Nama Jenis kelamin Tahun lahir Pekerjaan Tahun ditangkap Sebab ditangkap Referensi
Andi Zemmeng Laki-laki Kepala penerangan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara [8]
Anwar Abbas Laki-laki 1947 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kepolisian Pangkep kemudian dipindahkan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar; Mei 1969 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe Ketua Pemuda Rakyat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI [2][9]
Bagio Laki-laki [8]
Hatipa Perempuan [8]
Jakaria Daeng Passeleng Laki-laki 1946 Pegawai di Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Sebagai penjaga laboratorium Fisika sejak tahun 1964 31 Oktober 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim 1408/BS Makassar; 1965-1966 dipindahkan ke Kamp interogasi Malino; 1966 dibebaskan; Juni 1967 ditangkap kembali dan dipenjara di Penjara Kodam Baru Jl. Ahmad Yani, Makassar kemudian di Penjara Kodam Lama Jl. Monginsidi, Makassar; September 1967 dipindahkan ke Penjara Karebosi Jl. Ahmad Yani, Makassar; 1969 dipindahkan ke Kamp pengasingan Moncongloe Wakil ketua Central Sub Seksi (CSS) Kecamatan Bontoala, Kotamadya Makassar, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI; ditangkap pada 31 Oktober 1965 di tempatnya bekerja karena menjadi anggota PKI; Juni 1967 ditangkap kembali karena terkait PKI gaya baru di Jl. Sunu Malimongan Baru, Makassar [8]
Jaruddin Laki-laki [8]
Lasanu Laki-laki 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Parepare; 1969 dipindahkan ke Kamp pengasingan Moncongloe [8]
(alm.) Muhammad Jufri Buape Laki-laki 1942/1944 Anggota polisi Pamong Praja Kabupaten Sidenreng Rappang 1965 ditangkap dan ditahan di Kodim Parepare kemudian di Lapas Parepare; 1971 diasingkan ke Kamp Moncongloe; 20 Desember 1977 dibebaskan Sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pengurus Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI [2][9][3]
Norma Intan Perempuan [8]
P.L. Payung Laki-laki 1940 Guru Sekolah Dasar di Rantepao, Tana Toraja 28 Oktober 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Toraja; 1971 diasingkan ke Kamp Moncongloe [3]
Ir. Rasjidi Amrah Laki-laki 1945 Insinyur Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin asal Kabupaten Majene; pengajar di Sekolah Menengah Pelayaran Makassar, sekarang Akademi Ilmu Pelayaran Indonesia (AIPI) 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Makassar, kemudian dipindahkan ke Penjara Kodim Majene lalu akhirnya dibawa ke Kamp pengasingan Moncongloe Ditangkap saat mengurus proses beasiswa pendidikan untuk program Full Study ke Uni Soviet [3]
Rasyid Laki-laki [8]
Ribut Sugiyo Laki-laki 1944 Anggota polisi dengan pangkat kopral asal Kota Madiun, Jawa Timur yang bertugas di Satuan Perintis Poltabes Makassar 1968 ditangkap dan dipenjara di Penjara Poltabes Makassar kemudian berlanjut di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar yang berlokasi di Jalan Rajawali; 1978 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe Dianggap berafiliasi dengan PKI karena akrab dengan seorang temannya yang diduga anggota PKI [10]
(alm.) Soemiran Laki-laki Anggota polisi yang bertugas di Pelabuhan Makassar; lulusan Sekolah Kepolisian di Mojokerto, Jawa Timur, yang melanjutkan belajar di SMA Sawerigading, Makassar, untuk mendapatkan kenaikan pangkat 1965 ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar; 1978 diasingkan ke Kamp pengasingan Moncongloe Dianggap membantu pelarian seorang tokoh PKI dengan kapal ke pulau Jawa [2][9]
Susanti Perempuan Tenaga kesehatan sebagai instruktur kesehatan dan pengajar teori dan praktik yang bekerja di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, seperti Makassar, Parepare, Palopo, dan Kendari 1965 Dianggap terlibat PKI saat bertugas di Kotamadya Makassar [8]
Waris Thahir Laki-laki 1945 Pegawai Negeri di kantor Walikota Parepare Desember 1965 ditangkap dan dipenjara di Penjara Kodim Parepare [3]
Wempi Laki-laki 1946 1965 Anggota Pemuda Rakyat Kotamadya Parepare asal Manado, onderbouw/organisasi yang berafiliasi dengan PKI [3]
Zakaria Laki-laki [8]
  • Abdul Munir Mas'ud
  • Andi Muhammad Hustin, anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kabupaten Barru
  • Andy
  • Arnold Roring, ketua pertama organisasi Pemuda Rakyat Parepare; pegawai perusahaan listrik MPS Parepare sebelum berganti nama menjadi Perusahaan Listrik Negara (PLN)
  • Damin Rasyid Mole, ketua organisasi Pemuda Rakyat Parepare; guru sekolah rakyat
  • dr. Untung, seorang dokter ahli makanan
  • Ei Ken Heng
  • Go Kee Iet
  • Gunawan "Cak Gun"
  • Ismoyo
  • Jhonli, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin
  • Kadullah
  • Kasman Suparlan
  • Maryana Bado
  • Maryani
  • Mujitno
  • Mukhlis, pengurus PKI Sulawesi Selatan
  • Munir
  • Sarmanto Sarmo, karyawan di perusahaan semen Tonasa Kabupaten Pangkep mulai ditahan sejak 1965. Dia ditahan karena bergabung di SOBSI dan menduduki posisi sebagai sekretaris.
  • Supardi
  • Suparti
  • Supenno

Pada budaya populer

sunting
 
Sampul depan buku "Kamp Pengasingan Moncongloe", 2009
  • "Kamp Pengasingan Moncongloe", karya Taufik Ahmad, Penerbit Desantara Depok, tahun 2009, 6 bab, 278 halaman
Kamp Pengasingan Moncongloe merupakan buku jenis sejarah dan politik yang diterbitkan pada tahun 2009 karya sejarawan Universitas Negeri Makassar Taufik Ahmad. Ia juga adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. Buku yang dipublikasikan oleh Desantara ini awalnya merupakan hasil tesis S3 dari Taufik Ahmad yang diangkat menjadi buku tentang representasi kronik kamp tahanan politik Moncongloe terkait PKI yang diasingkan. Buku ini mulai mengulas kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan, riwayat Moncongloe dari hutan menjadi kamp pengasingan tapol, kondisi tahanan politik di Moncongloe, hingga pembebasan tahanan politik di Kamp Moncongloe.
  • "Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi", karya Eko Rusdianto, Penerbit EA Books, tahun 2009
  • "Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia" pada bagian bab "Kerja Paksa Tapol Membangun Sulsel" hal. 165–206, karya Anak Agung Gde Putra dkk, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, tahun 2012, ISBN 9789798981432
  • "South Sulawesi: The Militery, Prison Camps and Forced Labour" dalam Douglas Kammed dan Katharine Mc Gregor (ed) The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68, karya Taufik Ahmad, Penerbit NUS Press Singapura, tahun 2012
  • "Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965", karya Kurniawan, Penerbit Tempo Publishing, tahun 2013, ISBN 9786021410516
  • "Mengenal Orde Baru", karya Dhianita Kusuma Pertiwi, Penerbit Buku Mojok Group, tahun 2021, ISBN 9786239694005

Cerpen

sunting
  • Kita Saling Mencintai dan Kita Memilih Jalan Berbeda adalah judul cerita pendek (cerpen) karangan Andi Makkaraja yang dimuat dan diterbitkan pada 15 September 2020 dalam buku kumpulan cerpen Kereta Kematian (Kabupaten Sukabumi, Jejak Publisher, 2020, Hal. 88-94, ISBN 9786232473911). Cerpen ini mendapatkan predikat peringkat ke-10 pada "Lomba Menulis Cerpen Ke-8 Tulis.me". Cerpen ini menceritakan tentang Bahar dan Mala sepasang kekasih yang saling mencintai di Bulukumba, Sulawesi Selatan, namun hubungan mereka diuji dengan pengejaran Bahar oleh pasukan tentara 710 pimpinan Letnan Umpa'. Bahar dikejar oleh para tentara karena dianggap PKI. Mala yang merupakan kekasih Bahar duluan tertangkap dan ditahan di Kamp Militer Tanete, Bulukumba. Mala yang sedang ditahan menghimbau Bahar untuk bersembunyi dan tak menemuinya. Kekhawatiran dan ketakutan Mala karena di Kamp pengasingan Moncongloe ia akan menjadi budak dan disiksa. Pada cerpen ini, Kamp pengasingan Moncongloe secara gamblang dinarasikan sebagai tempat perbudakan, kerja rodi, penyiksaan, dicap orang merah namanya akan tercemar sehingga dijauhi negara dan dijauhi orang-orang tercinta.[11]

Majalah

sunting
  • Majalah Catatan Kaki "Kaki Tangan Demokrasi dan Keadilan": Edisi Januari 2018 "Terang Yang Tak Kunjung Terbit", karya UKPM UH, Penerbit Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UH), tahun 2018
Majalah Catatan Kaki Edisi Januari 2018 "Terang Yang Tak Kunjung Terbit" mencoba menggali fakta sejarah dari aral lokal dari peristiwa politisida, khususnya di Makassar dan cerita dibalik Kamp pengasingan Moncongloe di mana para tahanan politik menderita selama bertahun-tahun. Dengan gaya reportase, majalah ini memberikan ulasan hasil wawancara beberapa eks tapol yang pernah ditahan di kamp tersebut.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Tim redaksi kebudayaan.kemdikbud.go.id (4 Juni 2014). "Kamp Pengasingan Moncongloe". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 28 Maret 2023. 
  2. ^ a b c d Maghiszha, Dinar Fitra (21 September 2019). "G30S 1965 - Moncongloe, Kamp Tahanan Politik (Tapol) di Gowa, Sulawesi Selatan". www.tribunnewswiki.com. Diakses tanggal 28 Maret 2023. 
  3. ^ a b c d e f g Rusdianto, Eko (18 Februari 2020). "Orang-orang Pembuangan". www.ekorusdianto.net. Diakses tanggal 13 April 2023. 
  4. ^ a b c d e Ruslan, Heri (26 Juli 2012). "Moncongloe, Kamp Auschwitz di Indonesia (Bag II)". news.republika.co.id. Diakses tanggal 7 April 2023. 
  5. ^ Makkasau, Andi Fahry (4 Agustus 2019). "Gallarang Appaka, dari Gowa-Tallo ke Maros". palontaraq.id. Diakses tanggal 15 April 2023. 
  6. ^ a b c d e f Ahmad, Taufik (1 Juni 2013). "Bertahan Melalui Perbudakan: Sejarah Alternatif Tanah Merah". Jurnal Al-Qalam. 19: 11–16. 
  7. ^ Komnas HAM RI (23 Juli 2012). "Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966" (PDF). stopimpunity.org. Diakses tanggal 2 April 2023. 
  8. ^ a b c d e f g h i j UKPM UH (Januari 2018). "Terang Yang Tak Kunjung Terbit - Majalah Catatan Kaki". Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UH). hlm. 12–14. 
  9. ^ a b c Kurniawan (2013). Pengakuan Algojo 1965. Tempo Publishing. ISBN 9786021410516. 
  10. ^ Hakim, Eka (30 September 2019). "Nestapa Eks Tapol PKI di Lokasi Penampungan Tanah Merah Gowa". www.liputan6.com. Diakses tanggal 12 April 2023. 
  11. ^ Nur Khafidhin, dkk (2020). Kereta Kematian. Jejak Publisher. hlm. 196. ISBN 9786232473911.