Gregorius Sidharta

Gregorius Sidharta Soegijo (30 November 1932 – 4 Oktober 2006) adalah seorang pematung terkenal Indonesia. Ia juga dianggap sebagai tokoh pembaruan seni patung Indonesia.

Gregorius Sidharta
LahirGregorius Sidharta Soegijo
(1932-11-30)30 November 1932
Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal4 Oktober 2006(2006-10-04) (umur 73)
Surakarta, Indonesia
Sebab meninggalKanker paru-paru
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPematung

Latar belakang

sunting

Sidharta dilahirkan sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ia mulai belajar melukis di Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta, yang kemudian dilanjutkannya di Akademi Seni Rupa Indonesia juga di Yogyakarta. Sebelum beralih ke seni patung, ia sempat mempelajari dasar-dasar melukis dari tokoh-tokoh pelukis seperti Hendra Gunawan dan Trubus pada tahun 1950-an. Pada tahun 1953 ia dikirim belajar di Jan van Eyck Academie di Maastricht, Belanda selama tiga tahun oleh misi Gereja Katolik.

Karya dan aktivitas

sunting

Nama Gregorius Sidharta mulai mencuat ketika ia menyajikan karyanya yang berjudul "Tangisan Dewi Betari" yang kini menjadi koleksi sebuah museum di Jepang. Karya patungnya itu melawan konvensi seni patung Barat maupun lokal, karena bentuknya yang pipih, sehinga dianggap bukan patung.

Sidharta juga menggunakan media yang tak lazim dalam seni patung, seperti beras atau mata uang. Ia juga menjelajahi berbagai media seni rupa lainnya, seperti seni lukis, cetak saring, keramik, dan kerajinan tangan.

Karya-karyanya yang lain yang membuatnya terkenal antara lain adalah "Tonggak Samudra", monumen Pelabuhan Peti Kemas di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, "Garuda Pancasila" di atas podium Gedung MPR/DPR, patung Bung Karno di makamnya di Blitar, tata ruang Monumen Proklamasi, yang menghadirkan deretan pilar deformasi dari bentuk sayap garuda, yang menjadi latar belakang tokoh Proklamasi, Soekarno-Hatta, rancangan Piala Citra yang merupakan perpaduan seni tradisional wayang dan modern, dan patung "Mekatronik". Ia pernah menampilkan karya-karyanya di pameran Taman Patung Olimpiade Seoul, Korea Selatan (1986), Taman Patung ASEAN di Manila, Filipina, pameran patung di Plaza Elgala di Fukuoka, Jepang.

Menjelang akhir hayatnya, Sidharta masih aktif berkarya. Karyanya yang terakhir adalah sebuah salib yang diberinya judul "Crucifix 2006". "Saat ini masih ada satu lagi patung yang belum sempat diberi judul, berupa patung wanita duduk," kata Bima, anak bungsunya.

Sidharta juga berjasa karena mendirikan Studio Seni Patung ITB dan mendirikan Institut Kesenian Jakarta.

Selama hidupnya, sejak tahun 1957 Sidharta banyak melakukan pameran tunggal maupun bersama, antara lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Singapura, Manila, New Delhi, India, Polandia, dan Norwegia. Rencananya, kalau kesehatannya memungkinkan, ia masih ingin melakukan pameran tunggal di Daleri Dhaupin, Singapura pada April 2007. Sebelumnya, galeri itu pernah memajang beberapa karya Sidharta dalam sebuah ekshibisi patung.

Menderita sakit dan kematian

sunting

Sidharta meninggal dunia pada usia 74 tahun karena kanker paru-paru. Ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Dr. Oen, Surakarta, setelah sebelumnya sempat dirawat satu malam di tempat yang sama. Penyakit kanker paru-parunya telah diidapnya selama satu tahun. Ia juga pernah dirawat di Bethesda, Yogyakarta, dan di situlah penyakitnya diketahui. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Universitas Nasional, Singapura, dan di sana diketahui bahwa tumor yang diidapnya pada tulang kompresi sudah menjalar ke paru-paru. Kemoterapi yang dijalaninya tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Moerdani di Astana Bonoloyo, Kadipiro, Solo, pada 5 Oktober 2006.

Keluarga

sunting

Sidharta meninggalkan seorang istri, Maria Sri Noerna Moerdani, dan empat orang anak, Maria Antoinette Marisa Sandra, Brigitta Rina Aninda, Dionne Mira Trisani dan Gregorius Bima Bathara, serta delapan orang cucu.

Penghargaan

sunting

Gregorius Sidharta pernah mendapatkan berbagai penghargaan atas karya-karyanya, antara lain:

  • Anugerah Seni dari Badan Musjawarah Kebudajaan Nasional (1952)
  • Anugerah Seni DKI Jakarta tahun (1982)
  • Penghargaan Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (1986)
  • Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan, Komunikasi dan Karya Sastra (1990)
  • Penghargaan Rencana Monumen Proklamator di Jakarta

Pranala luar

sunting