Dalem Baturenggong

Raja Bali dari Wangsa Kepakisan

Ida Dalem Waturenggong atau Dalem Baturenggong atau Sri Aji Wijaya Kepakisan adalah Raja Bali ke-IV dari Wangsa Kepakisan yang memerintah Kerajaan Gelgel pada periode tahun 1459 sampai 1550. Beliau adalah Raja Bali yang memerintah paling lama dan paling termasyhur di antara raja-raja lainnya, masa pemerintahannya dikenal sebagai era keemasan Kerajaan Bali di bidang sastra, agama, budaya serta militer. Kekuasaan Bali pada masa ini berhasil mencangkup wilayah Pasuruan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Ia digambarkan sebagai penguasa yang bijaksana dan adil serta pelindung dari ajaran Hindu Bali.[1]

Dalem Waturenggong didharmakan pada Pelinggih Meru bertingkat tujuh
Ida Dalem Waturenggong
Ida Dalem Sri Aji Waturenggong Arsa Wijaya Kepakisan
Ida Dalem Baturenggong
Ida Dalem Wijaya Kepakisan
BerkuasaTahun Çaka 1381 - 1472 (1459 - 1550 Masehi)
PendahuluSri Aji Smara Giri Kepakisan
PenerusSri Aji Pemahyun Kepakisan
Pemakaman
Di dharmakan pada bangunan Meru bertingkat 7 dalam Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan
PasanganPermaisuri :
  • Dewi Ayu Pemayun
  • Dewi Ayu Segening

Istri lain :

  • Dewi Ayu Laksmi
  • Ni Luh Sadra
  • Dendeng Mas Sari
  • Gusti Ayu Ularan
  • Ni Ayu Tebuana
KeturunanDari permaisuri :
  • I Dewa Agung Pemayun
  • I Dewa Agung Segening

Dari istri lain :

  • I Dewi Ayu Laksmi
  • I Dewa Mas Pakel
  • I Dewa Ularan
  • Ki Tebuana
  • I Dewa Ayu Mas Sadra
DinastiKepakisan
AyahSri Aji Smara Kepakisan
IbuNi Gusti Ayu Kubon Tubuh
AgamaHindu - Buddha

Sejarah Awal

sunting

Dalam naskah-naskah sejarah tradisional Bali, khususnya yang tercantum dalam Babad Dalem, diceritakan secara panjang lebar mengenai asal-usul dan perjalanan awal kehidupan Sri Dewa Agung Baturenggong, salah satu raja paling termasyhur dalam sejarah Bali. Ia disebut lahir di keraton Puri Agung Sweca Linggarsa Pura dari ibu seorang permaisuri bernama Ni Gusti Ayu Klapodyana, putri dari Gusti Agung Klapodyana, keraton yang terletak di Ibu kota Gelgel. Naskah lokal menyebutkan sejak masa kecilnya, Dewa Agung Baturenggong telah menunjukkan kecerdasan dan ketajaman pikiran sejak usia dini.

Dikisahkan bahwa sejak kecil beliau sering dibawa berkeliling Bali oleh ayahandanya mengunjungi desa-desa rakyat serta desa-desa Bali Aga — wilayah-wilayah Bali tertua yang mempertahankan struktur sosial dan budaya pra-Majapahit. Ayahandanya, yang oleh masyarakat disebut sebagai Dalem Ketut Ngulesir (Ngulesir yang berarti “yang senang bepergian”), dikenal memiliki watak terbuka dan suka mendekatkan diri kepada rakyat sedari remaja sebelum menjabat Raja. Dalam naskah-naskah lokal, ayahnya membawa serta sang pangeran dalam perjalanan spiritual dan administratif ke berbagai penjuru Bali, untuk memperkenalkan anaknya kepada keadaan sosial, keragaman dan akar budaya Bali dari masyarakat pegunungan hingga pesisir.[2]

Salah satu versi kepercayaan masyarakat menyatakan bahwa sang ayah pernah melakukan tapa atau semadi memohon keturunan di Pura Ulun Danu Batur, dengan memohon anugerah dari Dewi Danu Batur agar diberikan seorang anak laki-laki yang kelak menjadi pemimpin agung, bijaksana, dan kuat. Doa itu diyakini dikabulkan oleh Dewi Batur, dan karena itulah anak tersebut — kelak dikenal sebagai Dewa Agung Baturenggong — diyakini memiliki aura spiritual yang tinggi dan keberkahan ilahi oleh Dewi Batur.[3]

Versi lain dari cerita rakyat menyebutkan bahwa Dewa Agung Wijaya (Nama lain saat menjadi pangeran), karena kedekatannya dengan masyarakat Batur dan kepekaannya terhadap kehidupan religius serta adat setempat, telah mendapatkan karunia dari dua entitas suci: Dewi Batur dan Hyang Enggong. Berkat anugerah spiritual inilah beliau kelak dikenal dan dihormati dengan gelar Dalem Waturenggong, yang juga mencerminkan kekuatan spiritual dan kekuasaan duniawinya atas pulau Bali.[4]

Setelah melalui masa kanak-kanak yang penuh bimbingan moral dan spiritual, Dewa Agung Baturenggong naik takhta dalam usia yang masih sangat muda. Karena dianggap belum cukup dewasa untuk memerintah secara penuh, kekuasaan pemerintahan saat itu dijalankan secara de facto oleh pamannya yang menjadi Raja Muda dengan gelar Sri Aji Tegal Besung Kepakisan. Ia adalah adik dari Dalem Ketut, yang sebelumnya berpindah dari Samprangan ke Gelgel untuk membantu pemerintahan sang kakak. Dalem Ketut sebelum wafat telah menetapkan adiknya sebagai raja muda pengganti sementara hingga sang putra (Baturenggong) cukup dewasa.[5]

Meskipun belum memegang kendali penuh, Dalem Waturenggong telah turut membantu pamannya dalam urusan pemerintahan. Melalui pengalaman langsung, beliau memahami tata kelola kerajaan dan memperkuat legitimasi kekuasaannya di masa depan.

Setelah pamannya wafat, Dewa Agung Baturenggong secara resmi diangkat menjadi raja penuh dan dianugerahi gelar lengkap Ida Dalem Sri Aji Waturenggong Wijaya Kepakisan. Ia menjadi simbol kebangkitan Bali setelah masa transisi panjang pasca pendudukan Majapahit. Pada masa inilah kerajaan Majapahit di Jawa mengalami kemunduran yang signifikan. Banyak adipati di wilayah-wilayah kekuasaannya, termasuk di Bali, tidak lagi mengindahkan perintah dari pusat kekuasaan di Jawa.[6]

Dalem Waturenggong memanfaatkan momentum ini untuk menegaskan kedaulatan Bali. Ia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai adipati bawahan Majapahit seperti ayah dan kakeknya, melainkan sebagai raja penuh yang berdaulat atas seluruh wilayah Bali dan sekitarnya. Ia menyatukan berbagai kelompok bangsawan, memperkuat sistem pemerintahan, dan menjalin hubungan diplomatik serta spiritual yang kuat dengan pendeta-pendeta besar Hindu-Siwa-Buddha.

Era pemerintahan Dalem Waturenggong dikenal sebagai masa keemasan Kerajaan Bali klasik. Selain berhasil menjaga stabilitas politik di Bali, ia juga membawa kemajuan pesat dalam bidang sastra, kesenian, ekonomi, adat-istiadat, serta pengaruh militer. Bali pada masa ini memainkan peran penting dalam percaturan politik kepulauan nusantara, dan kerajaan Gelgel menjadi pusat spiritual sekaligus kekuasaan Hindu yang disegani di kepulauan.[7]

Pemerintahan yang Makmur

sunting

Dalem Baturenggong dikenal luas sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Bali, yang membawa kerajaan Gelgel pada puncak kejayaan di bidang politik, agama, budaya, dan sastra.[8]

Namanya banyak tercantum dalam beberapa prasasti dan Lontar Usana Bali dan Rajapurana Besakih, Rajapurana Batur dengan sebutan "Enggong". Informasi lebih mendalam mengenai Raja ditemukan dalam Babad Dalem, sebuah teks sejarah Bali yang menceritakan silsilah dan pencapaian Raja- Raja Bali dari Wangsa Kepakisan.[9] Dalam teks tersebut, ia disebut sebagai putra Dalem Ketut, dan Dalem Baturenggong dikenal pula karena sikapnya yang tegas menolak penyebaran Islam dari Jawa dan melawan kekuatan-kekuatan seperti Pasuruan dan Mataram.[10]

Pemerintahannya mencapai stabilitas politik yang tinggi. Dalem Waturenggong berhasil mempersatukan seluruh wilayah Bali termasuk Nusa Penida di bawah otoritas kerajaan pusat Gelgel dan memperluas pengaruhnya ke wilayah Pasuruan, Blambangan, Lombok, dan Sumbawa bagian barat.[11] Keberhasilannya tidak hanya menunjukkan kekuatan militer, tetapi juga bukti dari kemampuan diplomasi Kerajaan Gelgel dan pengelolaan pemerintahan yang kuat. Salah satu pencapaian militer Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong adalah dengan adanya pasukan elite kerajaan yang bernama pasukan Dulang Mangap, dipercaya bahwa pasukan ini terdiri dari pasukan 3 bendera; bendera merah dengan tombak bandrang bersilang diisi pasukan bersenjatakan tombak, bendera putih dengan halilintar diisi pasukan penembak, dan bendera hitam dengan aksara suci modre keemasan diisi pasukan bersenjatakan keris dan klewang (pedang).

Kedatangan pendeta suci seperti Dang Hyang Nirartha dari Jawa pada masa pemerintahannya juga menandai reformasi besar-besaran dalam kehidupan keagamaan Bali. Hubungan antara raja dan pendeta membentuk model ideal antara pelindung dan pemimpin spiritual. Nirartha memainkan peran penting dalam menyusun sistem keagamaan yang dikenal sebagai Agama Tirtha, sebuah sinkretisme ajaran Hindu-Siwa dan Buddha, yang diperkuat dan dilembagakan selama masa Dalem Baturenggong.[12]

Para pujangga mengambarkan beliau sebagai Hyang Wisnu dan sejarawan menggambarkan Dalem Baturenggong sebagai penguasa ideal—bijaksana, religius, dan berwibawa, sebagai pelindung para brahmana dan budayawan, serta pendukung utama perkembangan sastra dan kesenian klasik Bali. Di bawah kepemimpinannya, banyak karya sastra keagamaan dikarang oleh para pujangga, dan pura-pura utama diperluas atau didirikan. Kehidupan budaya dan spiritual Bali berkembang pesat, menjadikan Gelgel salah satu pusat peradaban Hindu terakhir di Nusantara.[13] Beberapa legasi kesusastraan Bali saat era Dalem Waturenggong antara lain; Sebun Bangkung, Kawya Dharma Putus, Sarakusuma, Ampik, Ewer, Dharmatatwa, Mahisa Langit, Wasistapraya, Anyang Nirartha, Usana Bali, Sundarigama, Wukir Pedelegan, Rareng Canggu, Wilet, Manyura, Anting Timah, Karasnagara, Sagaragunung, Jagal Tua dan beberapa kitab yang disalin ulang dari Jawa seperti Panji, Sutasoma dan Negarakertagama.

Keberhasilan Dalem Baturenggong tidak hanya terlihat dari kekuatan kerajaannya, tetapi juga dari warisan spiritual dan kebudayaan yang masih terasa hingga saat ini. Banyak praktik keagamaan dan struktur sosial Hindu-Bali modern berakar pada reformasi dan patronase kerajaan pada masa pemerintahannya.[14]

Reformasi Keagamaan

sunting

Dalem Waturenggong dikenal sebagai salah satu raja Bali yang berperan penting dalam penguatan ajaran Hindu Bali.[15] Dalam naskah Babad Dalem, diceritakan bahwa seorang utusan dari Kesultanan Demak bernama Ki Moder datang untuk mengajak sang raja beserta rakyat Bali memeluk agama Islam. Permintaan tersebut ditolak oleh raja. Dalam salah satu versi legenda, Dalem Waturenggong menyatakan bersedia memenuhi permintaan tersebut jika sang utusan mampu mencukur rambut halus di kakinya. Karena tidak berhasil melakukannya, permintaan itu pun ditolak. Maka gagal lah upaya pengislaman di pulau Bali.[16]

Beberapa pendapat menyatakan bahwa penolakan tersebut mungkin dipengaruhi oleh informasi yang dibawa para pengungsi dari Jawa, khususnya dari kalangan Majapahit, mengenai kondisi konflik antaragama yang terjadi di tanah Jawa, terutama akibat perpecahan politik dan keagamaan atau persekusi umat.[17]

Kedatangan Dang Hyang Nirartha

sunting

Reformasi keagamaan di Bali telah dimulai sejak abad ke-11 pada masa pemerintahan Raja Dharma Udayana Warmadewa melalui ajaran pendeta Mpu Kuturan.[18] Namun, perubahan signifikan kembali terjadi pada akhir abad ke-15 seiring dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di wilayah barat Nusantara. Para pujangga dan pendeta dari Jawa kemudian bermigrasi ke Bali, membawa kitab-kitab suci dan ajaran keagamaan untuk melengkapi ajaran-ajaran hindu yang sebelumnya sudah ada di Bali.[19]

Salah satu tokoh penting pada masa ini adalah Dang Hyang Nirartha, yang juga dikenal dengan sebutan Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wawu Rauh, di Lombok beliau dikenal sebagai Pangeran Sangupati yang menciptakan ajaran Watu Telu dan di Sumbawa beliau dikenal sebagai Tuan Semeru. Ia merupakan seorang pendeta Siwa yang lahir dari kalangan keluarga pendeta Buddha Majapahit yang sangat dihormati dalam sejarah keagamaan di Bali. Kedatangannya ke Bali pada tahun 1489 Masehi berperan dalam perumusan ajaran Hindu Bali yang dikenal sebagai Agama Tirtha.[20] Ajaran ini merupakan penyempurnaan dari konsep keagamaan yang sebelumnya dirumuskan oleh Mpu Kuturan dan kemudian konsep Hindu Bali menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia.

Sebelum menetap di Bali, Mpu Nirartha sempat tinggal di Kerajaan Blambangan. Namun karena konflik politik, ia meninggalkan wilayah tersebut dan menetap di Bali, mendarat pertama kali di Perancak, Jembrana. Karena reputasi spiritual dan kemampuannya dalam menjabarkan ajaran agama, ia kemudian dikenal luas di kalangan masyarakat Bali hingga ke pusat kekuasaan di Gelgel. Dalem Waturenggong kemudian mengutus Ki Penyarikan Dauh Bale Agung untuk menjemput beliau ke istana. Di sana, Mpu Nirartha diangkat sebagai guru spiritual kerajaan, penasihat, dan tokoh keagamaan yang sangat dihormati.[21] Keturunannya kelak menggantikan posisi para bujangga Waisnawa sebagai pendeta kerajaan (Bagawanta) hingga masa runtuhnya Kerajaan Gelgel.

Kedatangan Mpu Astapaka

sunting

Kedatangan Mpu Astapaka, seorang pendeta Buddha ke Bali, berkaitan dengan niat Dalem Waturenggong untuk melaksanakan upacara suci di istana. Mpu Nirartha menyampaikan bahwa ajaran Siwa-Hindu tidak akan lengkap tanpa kehadiran unsur ajaran Buddha karena keduanya sama-sama berpijak pada prinsip dharma.[22]

Menanggapi hal tersebut, raja mengutus seorang pejabat istana ke Jawa untuk menjemput Mpu Angsoka, saudara Mpu Nirartha. Namun, Mpu Angsoka menolak dan mengirim putranya, Mpu Astapaka, sebagai wakil. Menurut sumber lokal Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1530 M. Karena usianya yang masih muda, sebagian pejabat kerajaan meragukan kemampuannya. Dalam sebuah kisah, raja mengujinya dengan menyembunyikan seekor angsa dalam lubang tertutup kain. Ketika ditanya, Mpu Astapaka menjawab bahwa yang tersembunyi adalah seekor ular naga. Awalnya jawaban ini dianggap sebagai lelucon hingga akhirnya Ular Naga besar benar keluar dari lobang tersebut, hal ini kemudian dianggap sebagai pertanda kekuatan spiritual, sehingga ia mendapatkan kepercayaan oleh Raja dan para petinggi kerajaan.[23] Raja kemudian menetapkan sebuah maklumat bahwa upacara kematian bagi dirinya dan keturunannya yang menjadi raja di Bali harus menggunakan simbol Naga Banda. Tradisi ini juga diberlakukan bagi para pendeta Buddha (Kasogatan) di Bali. Kedatangannya membawa banyak kitab-kitab aliran Buddha ke Bali seperti kitab Sang Hyang Kamahayanikan.

Kedatangan Pendeta Sidakarya

sunting

Dengan kemajuan sastra, agama, budaya, serta kekuatan militer pada masa Kerajaan Gelgel dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong, banyak masyarakat Hindu dari luar Bali datang dan menjadikan wilayah Blambangan dan Bali sebagai benteng terakhir ajaran Hindu di Nusantara.[24]

Salah satu tokoh yang datang adalah seorang pendeta dari Keling di Jawa. Ia menghadap ke istana Gelgel, tetapi karena penampilannya yang sederhana dan berpakaian lusuh, ia tidak diperkenankan menemui Dalem oleh para pengawal raja. Menurut legenda, sang pendeta kemudian mengutuk semua upacara keagamaan yang dilakukan di istana dan pura kerajaan agar tidak sempurna. Menyadari kesalahan tersebut, Dalem Waturenggong meminta maaf dan memohon agar kutukan dicabut. Pendeta itu menerima permintaan maaf tersebut dan kemudian dianugerahi gelar Dalem Sidakarya.[25] Sejak saat itu, semua upacara keagamaan besar di Bali dianggap tidak lengkap tanpa percikan tirta yang telah diberkati oleh Pedanda Sidakarya. Sebagai penghormatan, sang pendeta juga diberi sebidang tanah di daerah Badung, yang kemudian dikenal dengan nama Sidakarya.

Ekspansi Militer

sunting

Kampanye Militer ke Blambangan

sunting

Ekspansi militer Kerajaan Gelgel ke Blambangan pertama kali tercatat terjadi pada periode awal abad ke 16 atau tahun 1501 atau 1512 Masehi. Informasi mengenai peristiwa ini bersumber dari sejumlah dokumentasi teks tradisional Bali dan Jawa Timur, seperti Babad Dalem, Satria Ularan, serta Teks Jawa Balumbung.[26]

Menurut teks-teks kronik tersebut, hubungan antara Dinasti Blambangan dan Dinasti Gelgel memiliki akar genealogi yang sama, yakni dari Wangsa Kepakisan. Sri Aji Bima Chili Kepakisan, Adipati penguasa Blambangan pada periode 1352 Masehi, merupakan kakak dari Sri Aji Kresna Kepakisan, pendiri Wangsa Kepakisan-Bali. Dengan demikian, tokoh-tokoh seperti Bima Koncar atau Menak Koncar dan Dalem Waturenggong sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan sebagai sepupu.[27]

Keinginan Dalem Waturenggong untuk meminang Ni Bas, putri dari Bima Koncar (juga dikenal dalam teks Bali sebagai Sri Dalem Juru), merupakan bagian dari strategi politik untuk memperkuat aliansi antara Bali dan Blambangan sebagai benteng terakhir Hindu Dharma menghadapi ekspansi Islam di Pulau Jawa.[28] Namun, rencana tersebut gagal akibat intrik politik di internal istana Blambangan. Bima Cili / Bima Jili, putra dari Bima Koncar dengan seorang selir, dan juga saudara dari Ni Bas, memainkan peran penting dalam menggagalkan perjodohan tersebut.[29]

Bima Cili, yang merupakan salah satu pejabat tinggi istana Blambangan, sempat mengusulkan agar Ni Bas dipersunting oleh penguasa Pasuruan untuk membentuk koalisi anti-Islamisasi dan menjaga Blambangan dari barat. Namun, situasi menjadi rumit ketika utusan dari Bali juga tiba untuk meminang Ni Bas. Dalam teks Bali, Bima Cili digambarkan menyebarkan fitnah terhadap Dalem Waturenggong, mengirim seorang telik untuk menggambarkannya sebagai raja yang buruk rupa, dengan tujuan menjatuhkan citra raja Gelgel di mata istana Blambangan.[30]

Fitnah ini menimbulkan kemarahan besar di istana Gelgel. Dalem Waturenggong, melalui Dewan Manca Agung yang beranggotakan para bangsawan dan kerabat sepupunya dari keturunan Sri Aji Tegal Besung, memutuskan untuk melancarkan ekspedisi militer ke Blambangan. Pimpinan ekspedisi tersebut adalah Kyai Ularan, yang sebelumnya menjabat sebagai penguasa Takmung sekaligus mertua dari Dalem Waturenggong.[31]

Pujangga Bali mendramatisir kekuatan pasukan Gelgel dengan menyebutkan bahwa jumlahnya hanya sekitar 1.600 orang pasukan dari resimen elite Dulang Mangap dan 25 kapal perang. Namun, para sejarawan memperkirakan bahwa jumlah kekuatan yang dikerahkan kemungkinan lebih besar dari angka tersebut.[32]

Tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk menangkap hidup-hidup Bima Koncar dan keluarganya. Namun, ketika pasukan Gelgel tiba, sebagian keluarga kerajaan Blambangan telah melarikan diri ke wilayah Pasuruan meminta perlindungan dari Patih Udara. Bima Koncar sendiri berhasil dibunuh dan dipenggal oleh Kyai Ularan. Meskipun ekspedisi tersebut berhasil menaklukkan Blambangan dan menjadikannya sebagai negara vasal Kerajaan Gelgel, Kyai Ularan dianggap gagal menjalankan perintah Dalem karena tidak mampu menangkap keluarga kerajaan secara utuh dan membunuh saudara sepupunya. Ia akhirnya dihukum dan diasingkan ke wilayah Bali Utara, di mana keturunannya masih menetap hingga kini.[33]

Versi lain dari peristiwa ini menyebut bahwa penyerangan ke Blambangan juga dimotivasi oleh keinginan Dalem Waturenggong untuk membalas dendam terhadap perlakuan terhadap gurunya, Mpu Nirartha. Sebelumnya, Mpu Nirartha sempat diusir dari Blambangan karena dituduh merusak citra keluarga kerajaan.[34]

Setelah menang dalam menaklukan Blambangan, militer Bali dialihkan ke timur, Lombok dan Sumbawa Barat dapat ditaklukkan dan menjadi bawahan Dalem Baturenggong.[35][36]

Penulis Mendes Pinto Fernao dari Portugis (c. 1509-1583), dalam karyanya Peregrinacam, menuduh bahwa Bali adalah sebuah pulau kafir (non muslim) yang tergantung pada kerajaan Demak Islam Jawa, tetapi memberontak pada tahun 1546.[37] Informasi ini mungkin tidak cukup dapat dipercaya karena kemungkinan yang dimaksudkan adalah Kerajaan Hindu Blambangan vasal dari Kerajaan Gelgel. Namun, sumber-sumber Eropa dari akhir abad ke-16 dan ke-17 menggambarkan kerajaan Gelgel adalah kerajaan yang mandiri dan kuat dalam hal yang mengingatkan pada kronik-kronik, dan tampaknya mengandaikan ekspansi politik yang kuat antara jatuhnya Majapahit (sekitar 1527) dan kunjungan Belanda pertama ke Bali (1597).

Kampanye Militer ke Lombok

sunting

Pada tahun 1520 setelah keberhasilan Kerajaan Gelgel dalam menaklukkan Blambangan, perhatian politik Dalem Waturenggong mulai diarahkan ke wilayah timur, terutama Pulau Lombok. Wilayah ini dianggap penting secara strategis karena posisinya di jalur perdagangan antara Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Selain itu, Pulau Lombok pada masa itu menjadi tempat berkuasanya tokoh lokal bernama Sri Krahengan, seorang penguasa yang dalam beberapa teks tradisional Bali digambarkan sebagai pemimpin para bajak laut di Selat Lombok.[38]

Dalam catatan babad lokal, masyarakat pesisir Bali Timur mengadukan gangguan yang terus-menerus terjadi di laut, termasuk perampokan dan penyerangan kapal - kapal Bali yang melewati Selat Lombok. Gangguan ini dinilai menghambat perekonomian dan kestabilan wilayah Bali bagian timur. Untuk itu, Dalem Waturenggong menggelar sidang kerajaan bersama para penasehat spiritual dan politik, termasuk Dang Hyang Nirartha, untuk menentukan langkah diplomatik dan militer yang akan diambil.[39]

Sebagai langkah awal, Dalem mengutus Dang Hyang Nirartha ke Lombok sebagai perwakilan diplomatik. Misi Dang Hyang Nirartha terdiri atas dua tujuan utama: pertama, menghentikan aktivitas maritim Sri Krahengan yang dianggap mengganggu; dan kedua, mempererat hubungan politik dengan mengusulkan pernikahan antara putri Sri Krahengan dan Dalem Waturenggong atau keluarga istana Gelgel. Perjanjian ini diharapkan bisa menjadikan kerajaan Krahengan sebagai sekutu Gelgel dan sebagai pos perbentengan Hindu Dharma di wilayah timur.[40]

Namun, negosiasi tersebut berakhir gagal. Menurut beberapa teks tradisional seperti Babad Dwijendra, Sri Krahengan menolak permintaan Gelgel dan menolak usulan pernikahan serta mengusir Dang Hyang Nirartha dari Lombok.[41]

Kegagalan diplomatik ini membuat Dang Hyang Nirartha, dalam teks spiritual Bali, mengeluarkan kutukan terhadap kerajaan Krahengan bahwa kelak ia akan kehilangan kewibawaan dan jatuh secara spiritual maupun politik. Sepulangnya ke Gelgel, Nirartha menyarankan kepada Dalem Waturenggong untuk melakukan ekspedisi militer sebagai bentuk penegakan wibawa kerajaan.[42]

Pada tahun 1520 Masehi, Dalem kemudian memobilisasi kekuatan militer yang sebelumnya berpengalaman dalam penaklukan Blambangan. Ia memimpin langsung ekspedisi ini bersama para panglima kerajaan. Armada yang terdiri dari 25 kapal perang dan ratusan prajurit berlayar menuju Lombok dan mendarat di pesisir kerajaan Krahengan. Pertempuran berlangsung sengit, tetapi pada akhirnya pasukan Gelgel berhasil menaklukkan wilayah tersebut. Dalam berbagai versi teks lontar, tidak disebutkan dengan jelas nasib Sri Krahengan pasca penaklukan. Beberapa menyebutkan bahwa ia melarikan diri ke arah timur, sementara yang lain mengisyaratkan bahwa ia wafat.[43]

Sebagai simbol kemenangan, Dalem Waturenggong memerintahkan pembangunan sebuah pura kerajaan di lokasi penaklukan tersebut, yang diberi nama Pura Linggih. Pada masa selanjutnya, terutama saat ekspansi Kerajaan Karangasem ke Lombok, pura ini direnovasi dan diperbesar menjadi Pura Lingsar, yang hingga kini menjadi simbol penting hubungan budaya dan spiritual antara masyarakat Bali dan Sasak.[44]

Pasca kemenangan militer, Dalem Waturenggong pada tahun 1520 , ia juga menjalin pernikahan politik dengan seorang bangsawan Sasak bernama Dendeng Mas Sari. Dari pernikahan ini lahirlah seorang anak bernama I Dewa Mas Pakel yang kemudian diangkat sebagai penguasa di wilayah Lombok dan Sumbawa. Penempatan ini dipercaya sebagai strategi politik Dalem untuk menjaga kestabilan dan kesinambungan kekuasaan pusat di wilayah timur.[45]

Setelah kampanye ini dan masuknya Lombok dalam mandala Gelgel, Dang Hyang Nirartha dengan leluasa melanjutkan perjalanan spiritual ke wilayah timur lainnya seperti Sumbawa sebagai bagian dari misi penyebaran pengaruh ajaran Hindu Dharma. Perjalanan ini diabadikan dalam naskah-naskah keagamaan seperti Dwijendra Tattwa dan Babad Dwijendra, yang menempatkan Nirartha sebagai tokoh suci dan pelindung wilayah Hindu terakhir di Nusantara.[46]

Kehidupan Spiritual

sunting

Dalem Waturenggong dikenal tidak hanya sebagai penguasa yang kuat secara politik, tetapi juga memiliki sisi spiritual yang menonjol. Dalam teks Babad Dalem, disebutkan bahwa ia sempat di-diksa (diinisiasi sebagai pendeta) oleh gurunya, Dang Hyang Nirartha, sebelum kedatangan Mpu Astapaka ke Bali.[47]

Awalnya beliau menunda-nunda upacara tersebut, namun kemudian bersedia menjalani diksa setelah mendapatkan wejangan dari gurunya. Setelah upacara, ia menerima ajaran tatwa dan filsafat yang memperkuat sisi spiritual dalam pemerintahannya.[48]

Dalem Waturenggong juga dikenal dekat dengan masyarakat Bali Aga, terutama di daerah Batur. Dalam prasasti Raja Purana Batur, diceritakan bahwa beliau pernah menengahi perselisihan di wilayah tersebut dan mengeluarkan sebuah raja mudra (piagam kerajaan) yang memberikan otonomi lokal kepada wilayah Batur, dipimpin oleh wakil raja yang disebut sesanglingan.[49]

Kematian

sunting

Dalem Waturenggong wafat pada usia yang sangat tua. Tidak terdapat catatan resmi mengenai penyebab kematiannya, tetapi beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau berkuasa selama hampir 90 tahun. Dalam salah satu candrasengkala disebutkan bahwa beliau wafat pada tahun Saka Sapangrenga Sang Pandita Muang Catur Janna, yang diperkirakan setara dengan tahun 1550 Masehi.[50] Setelah wafat, beliau dipuja sebagai leluhur suci dan dikenal dengan gelar spiritual Raja Batara Dewateng Enggong. Upacara kematiannya berlangsung sangat megah dengan adanya unsur kebudayaan Bali baru seperti penggunaan Naga Banda.

Sejumlah sejarawan meragukan kemungkinan pemerintahan Dalem Waturenggong berlangsung selama itu, mengingat panjangnya masa kekuasaan yang disebutkan dalam teks tradisional beberapa pendapat menyebut bahwa panjangnya era kekuasaan Dalem Waturenggong sebagai artian beliau adalah Raja Besar di Bali. Namun, menurut sumber di luar lingkungan istana, seperti Teks Ki Mantri Tutuwan, dijelaskan bahwa pada masa-masa awal pemerintahan yang disebut sebagai era Dalem Waturenggong, sejatinya kekuasaan dijalankan oleh pamannya, Sri Aji Tegal Besung, yang memerintah sebagai wali raja selama beberapa periode.[51] Setelah pamannya wafat, barulah Dalem Waturenggong mengambil alih pemerintahan secara penuh.

Setelah wafat, takhta kerajaan Bali diwariskan kepada putra mahkotanya yang masih belia, yaitu Dewa Agung Pamayun. Setelah naik takhta, putranya dikenal dengan gelar Sri Aji Pemayun Kepakisan atau lebih dikenal sebagai Dalem Bekung.[52]

Keluarga

sunting

Menurut Babad Dalem dan dokumen diluar istana, Dalem Waturenggong memiliki lebih dari 200 istri, termasuk para permaisuri (padmi) dan selir dari berbagai golongan di Bali namun hanya beberapa yang tercatat dalam kronik.[53]

Dari permaisurinya, beliau memiliki dua putra utama, yakni Dewa Agung Pemayun sebagai pewaris kerajaan dikenal dengan nama Dalem Bekung dan Dewa Agung Segening yang kelak juga menjadi raja di Bali. Dewa Pemayun lahir dari permaisuri bernama Dewi Ayu Pemayun, sedangkan Dewa Segening lahir dari Dewi Ayu Segening, putri dari Ki Dukuh Segening, seorang pemuka spiritual di Bali pada masa itu.[54]

Selain kedua putra tersebut, Dalem Waturenggong juga memiliki dua putri. Putri pertama, Dewi Ayu Laksmi, dikisahkan dalam Babad Dalem dan ' bhisama raja (perintah raja) telah dibawa lari oleh salah satu anggota trah brahmana Bujangga Waisnawa. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan mendalam pada Dalem, hingga beliau mencabut status para pendeta Bujangga Waisnawa sebagai pendeta kerajaan dan mengusir mereka dari Gelgel.[55]

Putri lainnya adalah Dewi Ayu Mas Kuning, lahir dari selir bernama Ni Luh Sadra, putri Ki Dukuh Suladri. Dari garis keturunan ini kemudian lahirlah trah Pungakan DenBencingah.[56]

Dalem Waturenggong juga memiliki putra bernama I Dewa Ularan, lahir dari Gusti Ayu Ularan, yang merupakan putri dari Kyai Ularan—panglima Kerajaan Gelgel yang memimpin ekspedisi militer ke Blambangan.[57]

Putra lainnya, Ki Tebuana, lahir dari seorang ibu yang merupakan keturunan Bendesa Manik Mas. Selain itu, pasca ekspedisi ke Lombok, Dalem dianugerahi seorang bangsawan Sasak bernama Dendeng Mas Sari. Dari pernikahan tersebut lahirlah I Dewa Mas Pakel, yang kemudian dikirim ke Lombok sebagai wakil Gelgel untuk memerintah di wilayah tersebut.[58]

Referensi

sunting
  1. ^ Adrian Vickers (1989). Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus. hlm. 41–45. Pemeliharaan CS1: Lokasi penerbit (link)
  2. ^ I Wayan Warna, Babad Dalem, Dinas Kebudayaan Bali, 2005.
  3. ^ Lontar Usana Bali dan wawancara adat dengan pemangku di Pura Batur, 2010.
  4. ^ Komang Adnyana, Mitologi dan Politik Kekuasaan di Bali, Universitas Udayana Press, 2013.
  5. ^ Babad Pasek dan Babad Samprangan memuat transisi kekuasaan ini secara rinci.
  6. ^ Adrian Vickers, Bali: A Paradise Created, Penguin Books, 1989.
  7. ^ Raka Sudewi, Kerajaan Bali Kuno, Balai Kajian Sejarah, 2011.
  8. ^ Stuart-Fox, David. Pura Besakih: A Study of Balinese Religion and Society. PhD Thesis, Australian National University, Canberra, 1987, hlm. 146–148.
  9. ^ Creese, Helen. Bali's Royal Pasts: A Study of the Legitimation and Genealogy in Balinese Historical Narratives. KITLV Press, 2012.
  10. ^ Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created. Tuttle Publishing, 2012.
  11. ^ Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1300. Stanford University Press, 1993.
  12. ^ Jordaan, Roy E. The Śivagrha Inscription of Central Java: A Reinterpretation. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 151, No. 2 (1995), pp. 236-256.
  13. ^ Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Jakarta: Gramedia, 1982.
  14. ^ Hobart, Mark, and Ramseyer, Urs. The People of Bali. Wiley-Blackwell, 1996.
  15. ^ Ni Wayan Mudiani. (2019). Sejarah Agama Hindu di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
  16. ^ I Made Bandem & Fred Eiseman. (1995). Bali: Sekala and Niskala. Volume I.
  17. ^ Ardhana, I. Ketut. (2005). Bali Dalam Kuasa Kolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  18. ^ I Gusti Putu Phalgunadi. (1991). The Indonesian Mahabharata: Adiparwa. New Delhi: Abhinav Publications.
  19. ^ Jaya, I Nyoman. (2011). Penyebaran Agama Hindu di Nusantara. Denpasar: UHN Press.
  20. ^ Jendra, I Made. (2007). Agama Tirtha dan Peran Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Widya Dharma.
  21. ^ Arsana, I Ketut. (2010). Biografi Dang Hyang Nirartha. Gianyar: Dharma Sastra Foundation.
  22. ^ Sudharta, I B. Rai Putra. (2003). Hindu Dharma dan Ajaran Buddha di Bali. Denpasar: Paramita.
  23. ^ Djelantik, I Gusti Bagus. (1998). Legenda dan Mitos Bali Kuno. Denpasar: Pustaka Bali.
  24. ^ Tim Penyusun Sejarah Bali. (2009). Bali Tempo Doeloe. Denpasar: Pustaka Lontar.
  25. ^ Pitana, I Gede. (2002). Upacara Keagamaan dan Simbolisme dalam Tradisi Bali. Denpasar: Balipustaka.
  26. ^ Babad Dalem, Lontar Bali, disalin ulang oleh I.B. Rai Putra, (Denpasar: Balai Kajian Sejarah, 1998).
  27. ^ Ardhana, I Ketut. Bali: Colonial Encounters 1906–1950. Yogyakarta: Ombak, 2005.
  28. ^ Creese, Helen. Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Java and Bali. Armonk: M.E. Sharpe, 2004.
  29. ^ Babad Balumbung, Lontar Jawa Timur, transliterasi oleh Hadiwijaya, Surabaya: Yayasan Budaya Jawa Timur, 1997.
  30. ^ Satria Ularan, dalam Kumpulan Lontar Puri Klungkung, disunting oleh I Gusti Ngurah Wirya, Klungkung: Arsip Puri, 1980.
  31. ^ Hanna, Willard A. Bali Chronicles. Singapore: Periplus Editions, 2004.
  32. ^ Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created. Berkeley: Periplus Editions, 1989.
  33. ^ Babad Dalem, I.B. Rai Putra, op. cit.
  34. ^ Tim Penyusun. Mpu Kuturan dan Mpu Nirartha: Tokoh Pembaharu Agama di Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali, 2011.
  35. ^ C.C. Berg, De Middeljavaansche Historische Traditie (Santpoort: C.A. Mees, 1927), halaman 138-139.
  36. ^ C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees. hlm. 138–44. Pemeliharaan CS1: Lokasi penerbit (link)
  37. ^ Fernão Mendes Pinto (1989). The Travels of Mendes Pinto. Chicago & London: The University of Chicago Press. hlm. 392.
  38. ^ Satria Ularan, dalam Kumpulan Lontar Puri Klungkung, disunting oleh I Gusti Ngurah Wirya, Klungkung: Arsip Puri, 1980.
  39. ^ Tim Penyusun. Mpu Kuturan dan Mpu Nirartha: Tokoh Pembaharu Agama di Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali, 2011.
  40. ^ Ardhana, I Ketut. Bali-Lombok Relations: From Pre-Colonial Times to the 20th Century. Denpasar: Udayana University Press, 2004.
  41. ^ Babad Dwijendra, transliterasi oleh I Wayan Suarjana, Denpasar: Yayasan Dharma Duta, 1995.
  42. ^ Dwijendra Tattwa, edisi transliterasi oleh I Made Titib, Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam, 1999.
  43. ^ Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created. Berkeley: Periplus Editions, 1989.
  44. ^ Pitana, I Gede. Pura Lingsar: Simbol Pluralisme di Lombok. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi NTB, 2007.
  45. ^ Babad Dalem, disunting oleh I.B. Rai Putra, Denpasar: Balai Kajian Sejarah, 1998.
  46. ^ Dwijendra Tattwa, edisi transliterasi oleh I Made Titib, Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam, 1999.
  47. ^ Babad Dalem, ed. I B. Rai Putra, Denpasar: Balai Kajian Sejarah Bali, 1998.
  48. ^ Dwijendra Tattwa, ed. I Made Titib, Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam, 1999.
  49. ^ Prasasti Brajapurana Batur, transliterasi I Made Suatjana, dalam Prasasti dan Wacana Hukum di Bali, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2005.
  50. ^ Babad Dalem, ed. I B. Rai Putra, Denpasar: Balai Kajian Sejarah Bali, 1998.
  51. ^ Ki Mantri Tutuwan, transkripsi oleh I Made Suatjana, dalam Teks Lontar Tradisional Bali, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2006.
  52. ^ Pitana, I Gede. Dinasti Kepakisan dan Suksesi Kekuasaan di Bali, Denpasar: Udayana University Press, 2008.
  53. ^ Babad Dalem, ed. I B. Rai Putra, Denpasar: Balai Kajian Sejarah Bali, 1998.
  54. ^ Dwijendra Tattwa, ed. I Made Titib, Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam, 1999.
  55. ^ Babad Dalem, ibid.
  56. ^ Pitana, I Gede. Dinasti Kepakisan dan Suksesi Kekuasaan di Bali, Udayana University Press, 2008.
  57. ^ Babad Blambangan, transkripsi oleh I Made Suatjana, Dinas Kebudayaan Bali, 2005.
  58. ^ Prasasti Lingsar, transliterasi oleh I Ketut Ginarsa, dalam Prasasti Kerajaan Gelgel dan Pengaruhnya di Nusa Tenggara, 2009.

Lihat pula

sunting

Bacaan lanjutan

sunting
  • I Wayan Warna et al. (tr.) (1986), Babad Dalem; Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Bali.
  • Margaret J. Wiener (1995), Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Didahului oleh:
Dalem Ketut
Raja Bali
1459 - 1550
Diteruskan oleh:
Dalem Bekung