Dalem Bekung, juga dikenal sebagai I Dewa Pamayun, adalah seorang raja Bali yang berkuasa memerintah Kerajaan Gelgel pada paruh kedua abad ke-16. Ia adalah keturunan seorang perwira dari Majapahit di Jawa, dan memerintah dari istana mereka (puri) di Gelgel. Ia adalah putra sulung Dalem Watu Renggong. Karena umurnya masih muda, dalam menyelenggarakan pemerintahannya, mereka di dampingi oleh lima orang yaitu: I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pasedangan. Mereka adalah putra dari I Dewa Tegal Besung, adik dari Dalem Watu Renggong. Jabatan patih agung pada saat itu dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk, dan semua kebijakan pemerintahan ada di tangan Patih Agung Batanjeruk. Situasi seperti ini lama kelamaan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pejabat kerajaan. Tampaknya gelagat Batanjeruk untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan kedua raja yang masih muda itu telah di ketahui oleh penasihat raja Dang Hyang Astapaka. Penasihat raja ini telah menasihati Batanjeruk agar tidak melakukan hal yang membahayakan, karena pengikut raja cukup kuat. Namun, nasihat Dang Hyang Astapaka itu tidak dihiraukan oleh Batanjeruk sehingga ia meninggalkan istana kerajaan Gelgel menuju ke sebuah desa bernama Budakeling yang terletak di daerah Karangasem, Bali.[1]

Intrik dan pemberontakan sunting

Sumber utama untuk pemerintahannya adalah Babad Dalem, sebuah kronik dari abad ke-18.[2] Ia adalah putra dari Dalem Baturenggong yang sukses, dan diangkat ke tahta saat masih kecil. Pada tahun 1556, pamannya, I Dewa Anggungan, ingin merebut kerajaan, dan didukung oleh bangsawan Batan Jeruk. Dewa Anggungan mengambil Dalem Bekung dan saudaranya I Dewa Anom Saganing sebagai tahanan, tetapi segera ditentang oleh mayoritas pengikut kerajaan. Kedua bayi pangeran itu berhasil diselamatkan, dan Batan Jeruk melarikan diri, akhirnya dibunuh oleh tentara loyalis.[3] Sanak saudaranya kemudian mendirikan kerajaan Karangasem di Bali Timur. Dewa Anggungan terhindar tetapi kehilangan status sebagai kasta Ksatria.

Ketika sudah cukup untuk memerintah atas namanya sendiri, Dalem Bekung terbukti menjadi penguasa yang pasif dan pengecut, yang menyebabkan hilangnya prestise kerajaan dan disiplin antara grandees (pengikut). Dia meninggalkan urusan negara pada menteri utamanya, Nginte. Dalam periode ini Brahmana yang terkenal bijak Dang Hyang Nirartha, yang telah memberi dampak yang mendalam pada budaya elit agama di Bali, meninggal. Sebuah konflik antara bangsawan Kiyayi Pande dan Gusti Talabah meningkat menjadi pemberontakan skala penuh di mana Kiyayi Pande melakukan serangan putus asa terhadap pasukan raja. Pada akhirnya ia dikalahkan dan dibunuh dengan upaya maksimal, tertanggal tahun 1578 oleh berbagai teks. Setelah pemberontakan ini, Dalem Bekung harus meninggalkan istana Gelgel. Versi akhir dari Babad Dalem menegaskan bahwa saudaranya Dalem Seganing mengambil alih sebagai raja menggantikan dia pada saat itu.[4]

Dikalahkan orang Jawa sunting

Menjelang akhir hidup Dalem Bekung, sebuah ekspedisi militer diselenggarakan untuk mendukung kerajaan Blambangan di Jawa Timur melawan Pasuruan, sebuah pelabuhan dan kerajaan kecil di pesisir utara Jawa. Ekspedisi, yang dipimpin oleh bangsawan I Gusti Putu Jelantik, berlayar ke Panarukan di Jawa Timur, dan berbaris ke tanah Pasuruan. Namun, ia harus mengalami kekalahan pahit dan I Gusti Putu Jelantik pun tewas. Beberapa saat setelah musibah ini, Dalem Bekung meninggal. Namanya sebenarnya nama panggilan, yang berarti 'punya anak yang'. Saudaranya Dalem Seganing mungkin naik takhta atau melanjutkan pemerintahan.[5]

Ketika ekspedisi Belanda yang pertama, di bawah Cornelis de Houtman, mengunjungi Bali pada 1597, mereka bertemu seorang raja yang mungkin antara Dalem Bekung atau Dalem Seganing. Raja digambarkan sebagai seorang pria yang sangat kokoh ketika berdiri dan berusia sekitar 40-50 tahun. Orang-orang Belanda memberikan cerita-cerita indah tentang keindahan kerajaan yang mereka lihat di Bali, yang cukup sesuai dengan deskripsi dalam kronik-kronik Bali kemudian. Pada saat kunjungan mereka, sebuah ekspedisi Bali yang besar sedang disiapkan untuk membantu kerajaan Hindu Blambangan melawan Pasuruan Muslim. Catatan Belanda kemudian menunjukkan bahwa ekspedisi itu sia-sia, karena Blambangan jatuh ke Pasuruan pada tahun c.1597. Telah dikemukakan bahwa ini pastilah ekspedisi Jelantik yang disebutkan dalam Babad Dalem. Hipotesis lain menempatkan pemerintahan Dalem Bekung jauh di kemudian hari, pada tahun 1630-an.[5]

Referensi sunting

  1. ^ C.C. Berg, De Middeljavaansche Historische Traditie (Santpoort : C.A. Mees, 1927), halaman 138-139.
  2. ^ I Wayan Warna et al. (tr.), Babad Dalem. Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Bali, 1986.
  3. ^ Tahun meninggalnya I Gusti Arya Batanjeruk disebutkan dalam tahun caka dalam bentuk Candre Sengkala yang berbunyi: Brahmana Nyaritawang Kawahan Wani, dihitung terbalik, yang artinya ; Wani = 1, Kawahan = 4, Nyaritawang = 1, dan Brahmana = 8, jadi tahun caka 1418 atau 1556 M. lihat C.C. Berg, De Middeljavaansche Historische Traditie, ibid. halaman 146.
  4. ^ I B. Rai Putra, Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra 1991, p. 59.
  5. ^ a b C.C. Berg, De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees 1927, pp. 144-54.

Lihat pula sunting

Didahului oleh:
Dalem Baturenggong
Raja Bali
c. 1558-1580
Diteruskan oleh:
Dalem Seganing