Dalem Seganing

Raja Bali dari Wangsa Kepakisan

Ida Dalem Segening atau Ida Dalem Sri Aji Anom Segening Kepakisan atau Radia Anom Segening adalah raja Bali ke-VI dari Wangsa Kepakisan yang memerintah pada tahun 1583 - 1633 Masehi (1505 - 1559 Saka) adalah putra dari Raja Dalem Waturenggong dan ibu seorang permaisuri bernama Dewi Ayu Segening putri Ki Dukuh Segening. Beliau naik tahta setelah kakaknya mengundurkan diri pada tahun 1582 Masehi dan menjadi Raja yang ditemui oleh para penjelajah Belanda pada tahun 1597 Masehi. Masa kepemimpinannya disebut sebagai masa yang lebih tentram dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya, tetapi mendapatkan berbagai tantangan karena koloni-koloni Bali mulai mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan dari arah barat dan timur. Ia mewariskan tahtanya kepada putra mahkota bernama Ida Dalem Anom Pemayun namun dengan cepat mengundurkan diri dan memberikannya pada adiknya, Ida Dalem Di Made.[1]

Dalem Seganing didharmakan pada Pelinggih Meru bertingkat lima
Ida Dalem Seganing
Ida Dalem Sri Aji Anom Seganing Kepakisan
Ida Dalem Seganing
Ida Dalem Anom Seganing
BerkuasaTahun Çaka 1505 - 1559
(1583 - 1633 Masehi)
PendahuluSri Aji Pemayun Kepakisan (Dalem Bekung)
PenerusSri Aji Dharma Dimadya Kepakisan (Dalem Di Made)
Pemakaman
Di dharmakan pada bangunan Meru bertingkat 5 dalam Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan
Pasangan
  • Gusti Ayu Pacekan
  • Gusti Ayu Bakas
  • Gusti Ayu Kaler Pranawa
  • Dewa Ayu Gedong Artha
  • Ni Luh Pasek Panji
  • Ni Gusti Luh Made Manikan
KeturunanDari permaisuri :
  • Ida I Dewa Agung Anom Pemayun
  • Ida I Dewa Agung Dimade
  • Ida Dewi Rani Gowang

dari istri lain :

  • I Dewa Karangasem
  • I Dewa Cau
  • I Dewa Blayu
  • I Dewa Sumerta
  • I Dewa Pemeregan
  • I Dewa Lebah
  • I Dewa Sidan
  • I Dewa Kabetan
  • I Dewa Pasawahan
  • I Dewa Kulit
  • I Dewa Bedahulu
  • I Dewa Rabitan
  • I Dewa Anom Manggis
  • I Gusti Barak Panji Sakti
  • I Gusti Mambal Sakti
  • Pangeran Tangkas Kori Agung
DinastiKepakisan
AyahSri Aji Wijaya Kepakisan
IbuNi Dewi Ayu Seganing
AgamaHindu - Buddha

Kehidupan awal

sunting

Dewa Anom Segening, juga dikenal sebagai Radia Anom Segening (dalam beberapa sumber disebut sebagai raden, kemungkinan karena menjabat sebagai wakil raja), merupakan salah satu putra dari Dalem Waturenggong yang dilahirkan oleh permaisurinya, Dewi Ayu Segening putri dari Ki Dukuh Segening, sumber yang banyak mencantumkan nama raja ini adalah naskah Rajapurana Besakih, Usana Bali, Babad Dalem serta sumber luar Bali seperti Mataram, VOC dan Sulawesi.[2]

Ia tercatat sebagai adik dari Dalem Bekung. Pada masa mudanya, ia dan kakaknya pernah menjadi korban penyekapan oleh pamannya, Dewa Anggunan dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Batan Jeruk. Pemberontakan tersebut berakhir pada tahun 1556 Masehi dengan kematian Gusti Batan Jeruk di Desa Bungaya.[3]

Dewa Anom Segening dikenal sebagai seorang pemimpin yang cakap dalam urusan kenegaraan Kerajaan Gelgel setia mendukung kakaknya dan kerap membantu Kyai Maginte, perdana menteri pada masa pemerintahan Dalem Bekung. Dalem Bekung sendiri dikenal sebagai raja yang pasif, paranoid dan sering menyerahkan berbagai urusan negara kepada Kyai Maginte dan Dewa Anom Segening, beberapa pendapat mengatakan hal ini kemungkinan karena trauma yang dialami sang raja saat Pemberontakan Gusti Batanjeruk .[4]

Beberapa tahun berlalu, dalam situasi genting akibat intrik skandal yang melibatkan panglima kerajaan Kyai Pande Basa dan raja Dalem Bekung, Dewa Anom Segening bertindak sebagai pemimpin yang menjaga keamanan istana serta melindungi Dalem Bekung. Sumber lain menyebutkan bahwa ia turut memimpin pengepungan besar-besaran untuk menangkap Kyai Pande Basa di kediamannya.[5]

Karena skandal yang menyeret nama raja, Dalem Bekung akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan menyerahkan takhta kepada adiknya, Pada tahun 1583 Masehi, Dewa Anom Segening kemudian naik takhta dengan gelar Sri Aji Anom Segening Kepakisan atau Dalem Seganing.[6]

Masa Pemerintahan

sunting

Dalem Seganing naik takhta pada tahun 1583, menggantikan pemerintahan kakaknya yang dianggap tidak stabil. Ia melakukan berbagai reformasi terhadap kebijakan yang dianggap tidak relevan, serta menunjukkan keterlibatan yang lebih aktif dalam mengelola pemerintahan kerajaan. Dalam menjalankan tugasnya, beliau dibantu oleh perdana menteri tua, Kyai Maginte, yang merupakan keturunan dari Pangeran Asak.[7] Setelah kematian Kyai Maginte pada tahun 1602, para putranya dilantik sebagai pejabat Kerajaan oleh Dalem Segening ; Kyai Agung Widia diangkat sebagai perdana mentri dan Kyai Agung Kaler Pranawa atau dalam catatan belanda sebagai (Kiljoer) diangkat sebagai sekretaris raja.

Menurut catatan dalam Babad Dalem, masa pemerintahannya digambarkan sebagai periode yang lebih stabil, tenteram, damai, dan makmur di Bali dibandingkan masa pemerintahan pendahulunya sempat terjadi pembangkangan oleh seorang pejabat pemerintah bernama Ki Pinatih kemungkinan karena kecemburuan politik atas terangkatnya Kyai Agung Widia sebagai perdana mentri yang baru, pembangkangan ini dengan segera di redam oleh sang perdana mentri.

Meskipun wilayah internal kondusif, Dalem Segening menghadapi tantangan eksternal berupa upaya dari kerajaan-kerajaan tetangga di luar Bali yang berusaha merebut koloni-koloni Kerajaan Gelgel, seperti Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Untuk beberapa waktu, beberapa wilayah vasal Kerajaan Gelgel bahkan sempat jatuh ke tangan kekuatan Islam dari Jawa dan Sulawesi.[8]

Kampanye Militer ke Pasuruan

sunting

Dalam naskah Babad disebutkan bahwa terdapat utusan dari Blambangan memohon bantuan dari kerajaan Gelgel sebagai kerajaan patronnya untuk menghadapi ancaman dari Pasuruan, Dalem Segening dengan segera mengutus Kyai Jelantik untuk membantu vasal Gelgel di Blambangan yang mulai mendapatkan tekanan dari Kesultanan Islam di Jawa.[9]

Terdapat teks legenda yang menyebut bahwa Kyai Jelantik, dalam kondisi duka karena merasa telah durhaka kepada orang tuanya, memohon jalan untuk menebus dosanya. Ia kemudian menerima wangsit dari para leluhur bahwa jalan penebusan dosa adalah melalui jalan gugur di peperangan.

Saat menghadap Dalem Segening, Kyai Jelantik dengan penuh keyakinan menerima tugas tersebut dan menyatakan kesiapannya untuk berjuang hingga akhir di Blambangan.Beliau juga sempat mengarang sebuah sastra berjudul Dalu Dening Kadalurung sebelum berangkat ke Jawa. Kerajaan Gelgel dikatakan mengerahkan lebih dari 20.000 pasukan yang terdiri atas prajurit Bali, Sasak, dan Sumbawa untuk mendukung Blambangan melawan Pasuruan.[10]

Hal ini dipertegas lagi dengan adanya catatan Belanda pada 25 Januari 1597, kapal-kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman singgah di Bali untuk mengisi perbekalan. Dalam catatan mereka, disebutkan bahwa Kerajaan Gelgel tengah mempersiapkan ekspedisi militer ke Pasuruan, dan mereka sempat berkesempatan melihat Dalem Segening yang sedang berada di atas kereta kencananya menginspeksi pasukan dan perbekalan.[11]

Babad Bali juga mencatat bahwa pertempuran berlangsung sengit, dengan kedua belah pihak saling menyerang menggunakan senjata tajam dan api. Suara tembakan berdentuman, mayat bergelimpangan, dan darah mengalir bak sungai. Dalam sebuah pertempuran, Kyai Jelantik terkepung dan akhirnya gugur dalam tradisi puputan. Beberapa pendapat menafsirkan bahwa Kyai Jelantik sejatinya tidak sepenuhnya berniat untuk memenangkan perang secara strategis, melainkan lebih termotivasi oleh tekad pribadinya untuk menunaikan janji kepada leluhur dan menggapai kematian yang terhormat di medan laga sebagai bentuk penebusan spiritual.[12] akibat gugurnya Kyai Jelantik, Pasukan Bali kemudian mundur hingga ke Ibukota Blambangan dan gagal mempertahankan Blambangan, yang akhirnya jatuh ke tangan Pasuruan pada tahun 1601 Masehi setelah 4 tahun berperang. Meski demikian, Pasuruan tidak mampu melanjutkan ekspansinya lebih jauh ke timur dan hanya terhenti di Blambangan.[13]Setelah beberapa waktu Blambangan kembali berdiri dan dengan segera menjadi vassal dari Kerajaan Gelgel

Kabar mengenai gugurnya Kyai Jelantik mengguncang istana Gelgel. Dalem Segening disebut merasa tidak percaya dengan kekalahan tersebut. Namun, meskipun terjadi kekalahan, tidak ada kerajaan lain yang berani melakukan serangan langsung terhadap pusat kekuasaan Kerajaan Gelgel.[14]

Konflik di Lombok dan Sumbawa

sunting

Lombok dan Sumbawa pada abad ke-16 merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Bali. Seorang penjelajah Belanda, Steven van der Hagen, mencatat kunjungannya ke Lombok pada tahun 1603 dan menyusun laporan panjang mengenai kondisi sosial-politik di pulau tersebut.[15]

Lombok digambarkan sebagai pulau yang subur, serupa dengan Bali. Setiap tahun, wilayah ini mengirimkan upeti dalam bentuk beras, kapas, dan jenis kayu tertentu (kemungkinan besar kayu cendana atau kayu jati) kepada pusat kekuasaan di Bali.[16] Memasuki abad ke-16, nilai-nilai kepercayaan lokal mulai tergeser dengan masuknya dakwah Islam dari Jawa yang disebarkan oleh para pendakwah ke masyarakat Sasak.

Kebangkitan Kesultanan Gowa-Tallo di Sulawesi memperumit situasi geopolitik. Kesultanan tersebut mulai merasuki wilayah koloni Bali, termasuk membantu pemberontakan lokal terhadap kekuasaan Kerajaan Gelgel. Sumbawa berhasil ditaklukkan oleh pasukan Gowa pada tahun 1618, yang kemudian memicu serangkaian konflik di Lombok. Melalui jaringan agennya di Sumbawa, Gowa mulai memasuki Lombok dari arah timur, dan berhadapan langsung dengan pasukan Bali.[17]

Karena perlawanan gabungan dari Sumbawa, Sasak, dan Sulawesi, Bali akhirnya menarik diri dari wilayah Lombok pada tahun 1618 atau 1619. Namun, Dalem Segening merespon dengan segera mengirim ekspedisi militer untuk merebut kembali Lombok, yang kemudian menghasilkan pembagian kekuasaan: bagian barat dikuasai oleh pasukan Bali dan bagian timur oleh kekuatan dari Sulawesi.[18]

Dengan munculnya pengaruh VOC di wilayah barat Nusantara dan meningkatnya ancaman terhadap kepentingan Gowa, Sultan Alauddin dari Sulawesi mengirim utusan ke Kerajaan Gelgel untuk merundingkan perdamaian. Dalam perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Seganing pada tahun 1624, disepakati bahwa Gowa-Tallo akan mundur dari Lombok dan mengakui bahwa wilayah tersebut adalah wilayah vasal Bali, sebagai gantinya Sumbawa dilepas dari klaim Bali. Gowa-Tallo juga meminta Gelgel untuk tidak menjalin hubungan militer dengan VOC.[19]

Meskipun demikian, perjanjian ini tidak sepenuhnya ditaati. Kedua belah pihak terbukti melanggar isi kesepakatan: Sulawesi secara diam-diam terus membantu bangsawan Sasak ditimur untuk lepas dari pengaruh Bali, sementara Dalem Segening enggan melepas klaim Sumbawa sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Hal ini akan terus berlangsung sampai ditandatanganinya Perjanjian Bongaya.[20] Sebuah teks dari luar Bali pada tahun 1631-33 menyebutkan Kerajaan Gelgel sempat mengambil alih Bima dari tangan Sulawesi dan mengirim bantuan ke Kesultanan Bima untuk memberontak melawan kekuasaan Sulawesi para bangsawan Bali yang berada di Lombok utara kemungkinan besar ikut campur dalam permasalahan ini dan menerima perintah dari Gelgel. Hal ini juga dicatat dalam kronik Bali bahwa pada tahun 1630 Masehi, Dalem Seganing mengirim I Gusti Agung Widia untuk menggempur kekuasaan Kesultanan Makasar di Lombok timur dan Sumbawa.

Pemberontakan di Nusa Penida

sunting

Menurut Babad Nusa Penida, diceritakan bahwa terdapat seorang penguasa lokal di Nusa Penida, yang merupakan vasal dari Kerajaan Gelgel, melakukan pemberontakan. Penguasa tersebut dikenal dalam naskah sebagai Dalem Bungkut, dan digambarkan menjalankan pemerintahan secara tirani dan semena-mena. Tindakan ini akhirnya terdengar hingga ke pusat pemerintahan di Gelgel.

Pada tahun 1625, Raja Dalem Seganing mengutus Kyai Jelantik Bogol untuk menumpas pemberontakan tersebut. Dalam sebuah legenda lokal, disebutkan bahwa Kyai Jelantik Bogol dan Dalem Bungkut terlibat dalam duel sengit. Pertarungan tersebut berakhir dengan gugurnya Dalem Bungkut.

Atas keberhasilannya menumpas pemberontakan, Gusti Jelantik Bogol kemudian diangkat sebagai senapati Kerajaan Bali yang bertanggung jawab menjaga keamanan di wilayah Mandala Bali. Sebagai penghargaan atas jasanya, ia juga dianugerahi sebuah keris pusaka bernama Ki Mrecu Jiwa oleh Raja Dalem Segening.[21][22]

Catatan dan Hubungan dengan Bangsa Eropa

sunting

Kedatangan bangsa Eropa ke Bali pertama kali tercatat pada tahun 1586 Masehi, yakni sekitar tiga tahun setelah Dalem Seganing naik takhta. Peristiwa ini diawali dengan karamnya sebuah kapal Portugis di perairan Bukit Pecatu. Berdasarkan hukum "tawan karang" yang berlaku saat itu, kapal asing yang memasuki wilayah daratan Bali tanpa izin, sah untuk dirampas oleh pemerintah Bali, termasuk awak dan seluruh muatannya.[23] Dari perampasan kapal ini, Kerajaan Gelgel mendapatkan 5 orang awak, rempah - rempah, emas , bubuk mesiu dan 5 pucuk meriam.

Pada tahun yang sama, kapal berbendera Inggris di bawah pimpinan Kapten Thomas Cavendish sempat singgah di Bali untuk mengisi perbekalan, namun ia tidak berlama-lama dan segera melanjutkan pelayaran ke Selat Magellan di Filipina.[24]

Ekspedisi Belanda pertama datang pada tanggal 25 Januari 1597, terdiri atas tiga kapal yang masing-masing berlabuh di Jembrana, Kuta, dan Labuan Amuk. Armada ini dipimpin oleh Komodor Cornelis de Houtman. Setelah mendapatkan izin mendarat, dua anggota awak kapal, yakni Arnoudt Lintgens dan Manuel Rodenburg, dikirim sebagai utusan menghadap Dalem Segening di Gelgel.[25]

Lintgens dan Rodenburg mencatat bahwa masyarakat Bali sangat ramah, berbeda dengan perlakuan yang mereka terima di beberapa wilayah Nusantara lainnya. Mereka menyaksikan Bali tengah mempersiapkan ekspedisi militer ke Jawa. Dalam kunjungannya ke istana, mereka diperkenankan melihat langsung Dalem Segening. Ia digambarkan sebagai pria berusia 40 tahun, bertubuh tegap, mengenakan busana mewah serta perhiasan emas, menaiki kereta kerajaan yang ditarik oleh dua ekor kerbau putih, dan dikawal oleh lebih dari 200 prajurit dan banyak pejabat kerajaan. Seorang putra mahkota yang masih berumur 20 tahun (Dewa Agung Anom Pemayun) sedang dipersiapkan menjadi Raja selanjutnya.

Mereka juga mencatat arsitektur megah istana Puri Agung Sweca Linggarsa Pura dengan tembok bata tinggi dan ukiran bali rumit. Dalam audiensi resmi, mereka diterima di balai pertemuan tempat raja duduk di atas singgasana tinggi berhias permadani dan ornamen dan perabotan emas yang diimpor dari Sumatra. Di sisi raja duduk Kiljoer atau Gusti Kaler Pranawa, sekretaris kerajaan yang menjadi perantara utama dalam setiap pertemuan dengan raja. Mereka menulis bahwa tidak ada seorang pun yang boleh bertemu raja tanpa ijin dari si Pate Kiljoer

Dalem Segening disebut menunjukkan ketertarikan besar terhadap dunia luar. Ia tampak terkejut saat ditunjukkan peta dunia oleh utusan Belanda, dan mencatat bahwa Pulau Bali tampak sangat kecil di peta tersebut. Ketika ditanya siapa penguasa Belanda, mereka menjawab bahwa Pangeran Maurits dari Nassau seorang bangsawan yang sudah berusia dewasa namun belum menikah dan belum memiliki keturunan. Dalem tertawa dan menyebut bahwa dirinya memiliki lebih dari 200 istri dan anak umur 15 tahun disini sudah boleh menikah.

Sebagai tanda persahabatan, raja menulis surat resmi untuk Pangeran Maurits dari Nassau dan menyatakan bahwa mereka dipersilakan tinggal lebih lama dan Belanda boleh berdagang di Bali. Ia juga sempat meminta membeli beberapa meriam dari kapal Belanda, tetapi permintaan ini ditolak. Ekspedisi Belanda meninggalkan Bali pada 25 Februari 1597.[26]

Sebagai tanggapan atas surat Dalem Segening, Belanda secara resmi mengirim Cornelis van Heemskerk pada tahun 1601 membawa surat resmi persahabatan dan permintaan untuk membuka hubungan dagang dari Pangeran Maurits dari Nassau. Namun, setelah berdirinya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), urusan diplomatik dialihkan kepada perusahaan dagang ini.

Tahun 1603, Steven van der Hagen tiba di Bali dan mencatat bahwa pulau ini sangat subur. Tahun 1604, Wijbrandt van Warwijck memohon izin kepada Dalem Segening untuk mendirikan pos dagang untuk menyimpan hasil bumi dari wilayah timur Nusantara. Permohonan ini dikabulkan, tetapi pada tahun 1621 izin tersebut dicabut karena diketahui bahwa pos tersebut disalahgunakan sebagai tempat transaksi perdagangan budak. Sejak saat itu, Belanda dilarang berdagang di Bali oleh Dalem Seganing.[27] Perdagangan Bali dengan dunia luar akhirnya dilakukan dengan pedagang swasta seperti Inggris, Perancis, Denmark,Belanda, Tiongkok, dan berbagai suku di Indonesia.[28]

Akibat memburuknya hubungan, Belanda mulai mengalihkan fokus dagangnya ke Sulawesi dan Maluku. Meskipun mereka sempat meminta Bali untuk bersekutu melawan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, permintaan tersebut ditolak. Dalem Segening menyatakan bahwa tidak lagi menganggap kerajaan Islam di Jawa sebagai musuh.

Pada 2 Februari 1633, utusan Belanda bernama Jan van Oosterwijck tiba di Bali untuk membawa misi kerja sama. Namun gagal bertemu raja, karena saat itu istana tengah mempersiapkan upacara kematian Dalem Segening, ia tidak diterima langsung oleh raja yang baru. Ia hanya ditemui oleh permaisuri dan beberapa pejabat tinggi Kerajaan Gelgel yang menyampaikan bahwa Kerajaan Gelgel tetap dalam pendirian keputusan Dalem Seganing sebelumnya dan memilih untuk hidup berdampingan secara damai, baik dengan Kompeni VOC maupun kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.[29]

Di beberapa teks Belanda, dari luar bisa dilihat bahwa Kerajaan Gelgel di Bali disebut relatif stabil dan kuat pada paruh pertama abad ke-17. Penguasanya sempat kehilangan kontrol atas Blambangan di Jawa Timur, Lombok, dan Sumbawa namun kembali merebutnya dari tangan kerajaan lain. Akan tetapi, aktivitas perang dengan Kerajaan Makassar di Sulawesi Selatan membuat penguasa Gelgel kehilangan Sumbawa pada sekitar tahun 1618-19 dan sempat mengacaukan kekuasaan Gelgel di Lombok.[30]

Keluarga

sunting

Sumber Belanda maupun naskah lokal menyebutkan bahwa Dalem Seganing memiliki banyak istri dan melahirkan banyak putra. Namun, hanya beberapa nama yang tercatat dalam kronik istana maupun luar istana. Sejarawan berpendapat bahwa ini adalah salah satu strategi politiknya dalam menjaga kestabilan dan kondusifitas internal Kerajaan Gelgel dengan merangkul semua golongan sebagai istri dari Dalem Segening.

Anak dari permaisuri

sunting
  • Ida I Dewa Agung Anom Pemayun, putra mahkota yang sempat ditunjuk sebagai penerus, namun karena tidak didukung oleh para pejabat istana, ia menanggalkan mahkotanya dan menyerahkannya kepada adiknya. Ia dikenal memilih untuk tinggal di Purasi, desa yang sangat jauh dari Gelgel
  • Ida I Dewa Agung Dimade, pangeran yang kemudian menggantikan Dalem Segening setelah kakaknya menolak takhta dan dikenal sebagai raja terakhir Kerajaan Gelgel
  • Ida Dewi Rani Gowang, satu-satunya putri Dalem Segening yang namanya tercatat dalam kronik Babad Dalem.

Anak dari istri lainnya

sunting

Dari istri selir atau golongan lainnya beliau menurunkan beberapa putra, diantaranya; I Dewa Karangasem atau Karangamla, I Dewa Cau, I Dewa Blayu, I Dewa Sumerta, I Dewa Pemeregan, I Dewa Lebah, I Dewa Sidan, I Dewa Kabetan, I Dewa Pasawahan, I Dewa Kulit, I Dewa Bedahulu, I Dewa Rabitan.

Beberapa putranya terkenal karena menurunkan dan membuat wangsa baru sebagai sub dinasti dari Dalem Seganing diantaranya :

  • I Dewa Anom Manggis Kuning, beribu dari seorang putri bangsawan keturunan Dewa Gedong Artha. Ia menurunkan Wangsa Manggis Kuning dan para raja di Gianyar dan namanya banyak disebut dalam kronik Kerajaan Gianyar
  • I Gusti Barak Panji Sakti, beribu dari seorang selir. Ia diperintahkan untuk meninggalkan istana dan tinggal di Desa Panji, tempat ibunya berasal. Dalam satu versi disebutkan bahwa wibawa dan ketokohannya melebihi sang putra mahkota dan membahayakan reputasi raja, tetapi versi lain menyatakan bahwa Dalem Segening memang menghendaki putra ini untuk memimpin dan membangun daerah Bali Utara.
  • I Gusti Mambal Sakti, kemudian menurunkan para penguasa daerah Sibang, wilayah yang kemudian masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mengwi, Badung dan Klungkung.
  • Pangeran Tangkas Kori Agung, lahir pada tahun 1606. Ia adalah putra Dalem Segening yang kemudian diadopsi oleh keturunan Arya Kanuruhan.

Kematian

sunting

Dalem Seganing diperkirakan wafat pada akhir tahun 1632 atau awal tahun 1633, sebagaimana tercatat dalam laporan kegagalan Jan van Oosterwijck, utusan VOC, yang tidak berhasil menemui raja untuk membahas perjanjian kerja sama antara VOC dan Kerajaan Gelgel.[31] Dalam sebuah teks, beliau dikatakan meninggal pada tahun 1623 namun kemungkinan adalah kesalahan penulisan oleh para pujangga Bali karena diketahui Dalem Seganing membuat traktat perdamaian dengan Sultan Alaudin dari Gowa-Tallo pada tahun 1624.

Pada saat kedatangan utusan VOC itu, Kerajaan Gelgel tengah mempersiapkan upacara kematian bagi Dalem Segening. Ia diperkirakan wafat pada usia 76 atau 86 tahun setelah memerintah Bali selama hampir setengah abad terhitung sejak tahun 1583. Tidak terdapat catatan merinci soal kematiannya namun diperkirakan karena usia lanjut atau penyakit yang sering diderita orang tua.

Tahta seharusnya diwariskan kepada putra sulungnya, Ida Dewa Anom Pemayun. Namun, karena intrik politik di lingkungan pejabat istana, Dewa Anom Pemayun memilih untuk menanggalkan hak atas takhta dan menyerahkannya kepada adiknya, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Di Made.

Referensi

sunting
  1. ^ Adrian Vickers (1989). Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus. hlm. 41–45. Pemeliharaan CS1: Lokasi penerbit (link)
  2. ^ Tim Penyusun Sejarah Bali, Sejarah Bali: Dari Prasejarah hingga Modern, Pustaka Bali, 2004, hlm. 115.
  3. ^ I Wayan Warna, dkk., Babad Dalem: Teks dan Terjemahan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bali, 1991, hlm. 132.
  4. ^ Ida Bagus Gde Rai, Sistem Pemerintahan Kerajaan Bali Kuno, Universitas Udayana, 1988, hlm. 78.
  5. ^ Babad Pulasari, naskah lontar koleksi Gedong Kirtya, Singaraja.
  6. ^ Lontar Babad Dalem, transliterasi dan terjemahan oleh I Gusti Putu Phalgunadi, 2002.
  7. ^ I Wayan Warna et al., *Babad Dalem: Teks dan Terjemahan*, Parisada Hindu Dharma, 1986, hlm. 121.
  8. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, *Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XVI dan XVII*, Grafiti Press, 1985, hlm. 239.
  9. ^ I Wayan Warna et al., *Babad Dalem*, hlm. 125.
  10. ^ Ibid., hlm. 127.
  11. ^ Laporan Ekspedisi Belanda, dalam M.C. Ricklefs, *A History of Modern Indonesia since c. 1200*, Stanford University Press, 2008, hlm. 33.
  12. ^ I Wayan Warna et al., *Babad Dalem: Teks dan Terjemahan*, Parisada Hindu Dharma, 1986, hlm. 126–128.
  13. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, *Kerajaan Islam Pertama di Jawa*, hlm. 242.
  14. ^ I Wayan Warna et al., *Babad Dalem*, hlm. 129.
  15. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, *Kerajaan Islam Pertama di Jawa*, Grafiti Press, 1985, hlm. 243–245.
  16. ^ M.C. Ricklefs, *A History of Modern Indonesia since c. 1200*, Stanford University Press, 2008, hlm. 34.
  17. ^ Adnan Amal, *Sulawesi dalam Arus Sejarah*, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 157–158.
  18. ^ I Wayan Warna et al., *Babad Dalem*, hlm. 132.
  19. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, *Kerajaan Islam Pertama di Jawa*, hlm. 248.
  20. ^ Adnan Amal, *Sulawesi dalam Arus Sejarah*, hlm. 160.
  21. ^ Babad Nusa Penida, naskah lontar, disimpan di Gedong Kirtya, Singaraja.
  22. ^ Ardhana, I Ketut. Nusa Penida dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Denpasar: Pustaka Larasan, 2008.
  23. ^ I Wayan Warna et al., Babad Dalem: Teks dan Terjemahan, Parisada Hindu Dharma, 1986, hlm. 112.
  24. ^ Adrian B. Lapian, Orang Nusantara di Laut, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 83.
  25. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Press, 1985, hlm. 245–247.
  26. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, hlm. 248.
  27. ^ Adnan Amal, Sulawesi dalam Arus Sejarah, Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm. 158.
  28. ^ W.A. Hanna, Bali Chronicles. Singapore: Periplus 2004, p. 39.
  29. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, hlm. 252.
  30. ^ H.J. de Graaf, 'Lombok in de 17e eeuw', Djåwå 21 1941.
  31. ^ H.J. de Graaf & Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Grafiti Press, 1985, hlm. 252.

Lihat pula

sunting

Bacaan lanjutan

sunting
  • Adrian Vickers, Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus 1989.
Didahului oleh:
Dalem Bekung
Raja Bali
1583 - 1633
Diteruskan oleh:
Dalem Di Made