Kerajaan Gelgel
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
![]() |
Garis waktu |
![]() |
Kerajaan Gelgel merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Bali, diperkirakan sejak abad ke-14, tepatnya pada tahun 1384 hingga 1686 Masehi. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Samprangan yang lebih dahulu didirikan oleh Sri Aji Kresna Kepakisan pada tahun 1352. Raja pertama Gelgel adalah Dalem Ketut Smara Kepakisan yang kemudian menurunkan raja-raja Gelgel. Pada masa puncak kejayaannya, Kerajaan Gelgel berhasil memperluas kekuasaannya hingga mencakup wilayah Pasuruan, Blambangan, Lombok, dan Sumbawa Barat. Selain pencapaian dibidang militer, kerajaan ini juga menjadi pusat dari perkembangan sastra, adat istiadat dan seni tradisi kebudayaan Hindu Bali[1]. Pusat pemerintahan kerajaan ini terletak di Swecalinggarsapura, Gelgel di Kabupaten Klungkung saat ini.[2]
Kerajaan Gelgel Keratuan Gelgel | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1384–1686 | |||||||||
Ibu kota | Swecalinggarsapura (Gelgel) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Bali, Bahasa Kawi | ||||||||
Agama | Hindu - Buddha | ||||||||
Pemerintahan | Monarki Hindu | ||||||||
• Pendiri Dinasti | Sri Aji Kresna Kepakisan | ||||||||
• Pendiri Gelgel | Dalem Ketut Smara Kepakisan | ||||||||
• Raja Termasyhur | Dalem Baturenggong Wijaya Kepakisan | ||||||||
• Penguasa terakhir | Dalem Di Made Dharma Kepakisan | ||||||||
Era Sejarah | Abad Pertengahan Akhir hingga awal Modern | ||||||||
• Perpindahan Ibukota Kerajaan dari Samprangan ke Gelgel oleh Dalem Ketut Smara Kepakisan | 1384 | ||||||||
• Munculnya Kerajaan Klungkung sebagai penerus Gelgel | 1686 | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | ![]() | ||||||||
Sejarah Pendirian
suntingKerajaan Gelgel merupakan transformasi politik dari Kerajaan Samprangan yang dipimpin oleh Wangsa Kepakisan. Pendirian kerajaan ini tidak dapat dilepaskan dari ekspedisi militer Majapahit ke Bali pada pertengahan abad ke-14. Pada tahun 1343 Masehi, Majapahit di bawah kepemimpinan Patih Gajah Mada berhasil menaklukkan kekuatan lokal Bali dibawah Kerajaan Bedahulu. Sebagai bagian dari strategi penguatan kendali, Majapahit mengangkat seorang bangsawan berdarah brahmana, yakni Sri Aji Kresna Kepakisan, sebagai raja vassal di Bali. Ia diangkat secara resmi pada tanggal 4 Oktober 1352 Masehi (Saka 1274) dan memusatkan kekuasaannya di wilayah Samprangan, dekat dengan Ibukota Bali dibawah Kerajaan Bedahulu terdahulu.[3]
Sri Aji Kresna Kepakisan memerintah hingga wafat pada tahun 1380 Masehi. Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh putra sulungnya, yakni Dalem Samprangan, yang naik tahta pada tahun 1381 Masehi yang kemudian bergelar Sri Aji Agra Samprangan Kepakisan. Namun, kemampuannya dalam mengelola urusan kenegaraan dinilai lemah oleh para petinggi dan bangsawan istana. Sebagai respons terhadap situasi tersebut, I Gusti Agung Klapodyana Anglurah Gelgel—yang menjabat sebagai Adipati Gelgel—menginisiasi percepatan suksesi kekuasaan dalam sebuah sidang di Pura Dalem Tugu, Gelgel.
Karena Dalem Samprangan tidak memiliki keturunan laki-laki, tahta ditawarkan kepada adiknya, Dewa Tarukan. Tetapi, Dewa Tarukan menolak dengan alasan hendak menjalani kehidupan spiritual sebagai seorang bujangga (pendeta). Pilihan kemudian jatuh pada adik bungsu mereka, I Dewa Ketut Smara Giri Angulesir, yang bersedia menerima tahta kerajaan. I Gusti Agung Klapodyana bahkan menawarkan untuk menjadikan karang kepatihan kediamannya di Gelgel sebagai pusat istana pemerintahan baru.
Pada tahun 1384 Masehi (Saka 1306), I Dewa Ketut Smara Giri Angulesir secara resmi dinobatkan sebagai raja Bali dengan gelar Ida Dalem Ketut Sri Aji Smara Kepakisan. Keratonnya kemudian dikenal dengan nama Puri Agung Swecalinggarsapura, yang terletak di Gelgel. Sejak saat itu, pemerintahan di Samprangan mulai ditinggalkan, dan sebagian besar pejabat tinggi kerajaan berpindah ke Gelgel. Peristiwa ini menandai transformasi resmi entitas politik kerajaan Bali dari Kerajaan Samprangan menjadi Kerajaan Gelgel.[4]
Desa Gelgel
suntingSebelum menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Bali selama tiga abad, Desa Gelgel telah dikenal sebagai salah satu desa tua di Bali yang sama tuanya dengan desa-desa Bali Aga. Sebuah naskah Bali tertua yang berisi candrasengkala menyebutkan desa ini didirikan bersamaan dengan Pura Dasar Bhuana, yang dibangun oleh Mpu Dwijaksara tahun 1267 Masehi di atas bekas ashrama Mpu Ghana, seorang brahmana yang hidup pada masa pemerintahan Sri Udayana Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatni sekitar tahun 988 Masehi. Versi lain menyebutkan Gelgel sudah ada sejak 988 Masehi yang dibangun oleh Mpu Ghana dan murid-muridnya.
Setelah penaklukan Bali oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi, seorang bangsawan dari kalangan Arya bernama Sira Arya Kuthawaringin ditugaskan sebagai adipati di wilayah ini dan mendirikan keratonnya bernama Puri Jero Agung di Gelgel. Ia memimpin wilayah Gelgel dan daerah sekitarnya, meliputi Tojan, Kamasan, Klotok, Dukuh Nyuhaya, Kacangpaos, Siku, serta daerah Klungkung utara.
Salah satu peninggalannya adalah Pura Dalem Jagat. Pada tahun 1383 Masehi, putranya, I Gusti Agung Klapodyana, memprakarsai suksesi kerajaan di pura tersebut. Sejak saat itu, pura ini dikenal sebagai Pura Dalem Tugu. Ia juga menghibahkan purinya kepada Dalem Ketut Smara Kepakisan untuk dijadikan keraton kediaman raja. Semenjak saat itu Gelgel terus berkembang menjadi sebuah Ibukota yang besar.
Wilayah Kekuasaan
suntingSetelah wafatnya Dalem Ketut Smara Kepakisan pada tahun 1458 Masehi, tahta kerajaan diwariskan kepada putra mahkotanya, yaitu I Dewa Agung Baturenggong. Ia secara resmi dinobatkan sebagai raja pada tahun 1459 Masehi, dan bergelar Dalem Sri Aji Wijaya Kepakisan, meskipun naskah-naskah diluar keraton lebih mengenalnya dengan nama Dalem Waturenggong.
Pada masa pemerintahannya, situasi politik di Pulau Jawa mengalami kemunduran drastis seiring melemahnya hegemoni Kerajaan Majapahit akibat konflik internal dan tekanan eksternal. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Bali untuk memutuskan hubungan subordinatnya dengan Majapahit. Sejak saat itu, Raja Bali tidak lagi tunduk terhadap otoritas Jawa dan secara de facto dan de jure memproklamasikan kemerdekaan Kerajaan Bali sebagai entitas mandiri.
Dalem Waturenggong dikenang sebagai penguasa paling termasyhur dalam sejarah Kerajaan Gelgel. Masa kepemimpinannya dianggap sebagai periode keemasan Bali diberbagai bidang, konsolidasi politik dan perluasan wilayah yang signifikan, serta meletakkan dasar bagi ekspansi pengaruh Bali ke berbagai kawasan di sekitarnya.[1]
Wilayah awal Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali dan Nusa Penida. Namun, pada puncak kejayaannya, sekitar abad ke-16 hingga ke-17, kekuasaan kerajaan ini meluas hingga mencakup wilayah Pasuruan, Blambangan di Jawa Timur, serta Pulau Lombok dan Sumbawa di sebelah timur.[5]
Sistem pemerintahan
suntingKerajaan Gelgel merupakan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sama dengan kerajaannya, yaitu Manawa Sasana.[6] Sistem ini mengikuti ajaran agama Hindu, sehingga raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Selanjutnya terdapat sebuah dewan penasehat yang disebut rakryan Mahamantri dengan tugas membantu raja dalam menjalankan pemerintahan. Dewan ini terdiri dari Rakryan Mahamantri I Hino, Rakryan Mahamantri I Halu dan Rakryan Mahamantri I Sirikan. Tugas dari dewan penasehat kemudian dilaksanakan oleh dewan pelaksana yang disebut mantra ri pakirakiran. Anggotanya terdiri dari Rakryan Mapatih, Rakryan Demung, Rakryan Tumenggung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan.[7] Sistem pemerintahan dari Kerajaan Gelgel sepenuhnya berpusat di Desa Gelgel.[8]
Kemasyarakatan
suntingPada masa Kerajaan Gelgel terjadi perkembangan stratifikasi sosial dalam masyarakat Bali. Masyarakatnya dibedakan menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Bali Hindu adalah masyarakat Bali yang merupakan keturunan rakyat dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Bali Aga adalah masyarakat pribumi. Sistem kasta wangsa hanya diberlakukan terhadap masyarakat Bali Hindu, sedangkan Bali Aga dianggap sebagai orang biasa yang tidak memiliki hak untuk membentuk wangsa.[9] Setelah wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel meluas hingga ke Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, kerajaan ini mulai terlibat hubungan politik dengan masyarakat dari Suku Bugis, Suku Makassar, dan Suku Sasak.[10]
Sejarah
suntingSejarah awal
suntingSejarah Gelgel dijelaskan secara rinci dalam kronik tradisional (babad), khususnya karya abad ke-18 Masehi berjudul Babad Dalem. Menurut teks-teks ini, penaklukan Bali Hindu oleh kerajaan Majapahit diikuti dengan dinasti bawahan di Samprangan (di masa sekarang, kabupaten Gianyar), dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Pelantikan ini terjadi pada masa Majapahit Gajah Mada (wafat 1364). Penguasa Samprangan pertama Sri Aji Kresna Kepakisan memiliki tiga putra. Yang tertua, Dalem Samprangan, menggantikan ayahnya, tetapi ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya Dalem Ketut Ngelesir, dijemput oleh Kiyai Klapodhyana, Anglurah Gelgel yang bergelar I Gusti Agung Bendesa Gelgel untuk menggantikan Ida Dalem Ille dan memberikan Keratonnya sehingga berdirlah kerajaan baru di Gelgel, sementara kekuasaan Samprangan memudar. Ia kemudian mengunjungi Majapahit dan menerima pusaka sakti dari raja Hayam Wuruk. Setelah beberapa saat kerajaan Majapahit jatuh ke dalam kekacauan dan lenyap, meninggalkan Dalem Ketut dan kerajaan Bali-nya sebagai pewaris budaya Hindu-Jawa.[11] Catatan tradisional ini bermasalah karena mencakup kesulitan kronologis yang tidak dapat didamaikan; penguasa Majapahit Hayam Wuruk meninggal pada 1389, sedangkan kejatuhan Majapahit terjadi jauh kemudian, pada awal abad ke-16.
Masa keemasan
suntingJelas dari perbandingan sumber eksternal dan asli bahwa Gelgel adalah pemerintahan yang kuat di Bali pada abad ke-16 M. Putra Dewa Ketut, Dalem Baturenggong, diperkirakan memerintah pada pertengahan abad ke-16. Dia menerima di istananya seorang Brahmana bijak bernama Nirartha yang telah melarikan diri dari kondisi kacau di Jawa. Hubungan pelindung-pendeta yang subur terjalin antara penguasa dan Nirartha, yang terlibat dalam kegiatan sastra yang luas. Pada masa Dalem Baturenggong, Lombok dan Sumbawa Barat diperkirakan berada di bawah kekuasaan Gelgel. Setelah kematiannya, putranya Dalem Bekung memimpin pemerintahan yang bermasalah yang ditandai oleh dua pemberontakan serius oleh bangsawan istana (secara tradisional terjadi pada 1558 dan 1578), dan kekalahan militer yang parah terhadap kerajaan Jawa Pasuruan.
Saudara laki-laki dan penerusnya Dalem Seganing adalah seorang raja yang sukses dengan masa pemerintahannya relatif lama dan bebas dari masalah internal. Daftar tanggal asli menempatkan kematiannya pada tahun 1623, meskipun beberapa sejarawan telah menempatkannya kemudian. Putra Dalem Seganing, Dalem Di Made, mengirimkan ekspedisi lain yang gagal melawan Jawa, yang dikalahkan oleh raja Mataram.[12] Di usia tuanya ia kehilangan kekuasaan dari menteri utamanya (patih), Anglurah Agung (Gusti Agung Maruti). Teks-teks asli tertentu menempatkan kematiannya pada tahun 1642, tetapi para sejarawan juga telah mengusulkan tahun 1651 atau c. 1665 sebagai tanggal yang benar.[13]
Sumber Belanda dan Portugis mengkonfirmasi keberadaan kerajaan yang kuat di abad 16 dan 17 M, dimana daerah tetangga Lombok, Sumbawa Barat dan Blambangan adalah tetangga yang dinamis. Disisi raja (dalem) berdiri menteri senior milik keluarga Agung dan Ler, dan garis keturunan dari para pembimbing Brahmana.[14] Kerajaan Gelgel terancam oleh kerajaan laut Makassar di c. 1619, yang menghilangkan kepentingannya di Sumbawa dan setidaknya sebagian Lombok.[15]
Belanda muncul pertama kali di pulau itu pada tahun 1597 dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa Gelgel. Hubungan selanjutnya antara Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan raja-raja Gelgel biasanya baik, meskipun usaha-usaha kerjasama politik yang konkret kebanyakan tidak berhasil. Portugis di Malaka mengirimkan ekspedisi misionaris yang gagal pada tahun 1635.[16]
Sumber-sumber Eropa menggambarkan Bali dalam hal ini sebagai pulau padat penduduk dengan lebih dari 300.000 orang dan produksi pertanian berkembang. Pada awal abad ke-17, perkembangan itu dikaitkan dengan jaringan ekonomi Kepulauan Asia Tenggara melalui pedagang dari daerah Pasisir di pantai utara Jawa. Para pedagang ini menukar lada dari bagian barat nusantara dengan kain kapas yang diproduksi di Bali, yang kemudian dibawa ke Indonesia bagian timur dan Filipina. Namun, tidak ada kategori yang signifikan dari pedagang asli Bali.[17]
Fragmentasi dan kejatuhan
suntingMenurut sumber-sumber pribumi dan Belanda, pertempuran internal pecah pada 1651 setelah kematian seorang penguasa Gelgel, dan masalah-masalah internal berlanjut selama dekade-dekade berikutnya. Menteri kerajaan Anglurah Agung menetapkan dirinya sebagai penguasa Gelgel dari setidaknya 1665 tetapi menghadapi tentangan dari berbagai sudut. Akhirnya pada 1686, Anglurah Agung Maruti diserang oleh Panglima Perang Ida Dewa Agung Jambe yaitu Rakriyan Gusti Kubontubuh, Ki Gusti Hyang Taluh, Ki Gusti Ngurah Sidemen, Ki Dukuh Pemedilan, Ki Gusti Panji Sakti dan Ki Gusti Nyoman Pemedilan sehingga Anglurah Agung Maruti melarikan diri dan dikejar oleh Kyayi Gusti Ngurah Tubuh/Kyayi Nyanyap sehingga Sagung Maruti mengalami kekalahan. Setelah peristiwa ini, seorang keturunan dari garis kerajaan lama yang disebut Dewa Agung Jambe mengukuhkan dirinya sebagai penguasa atas yang baru, dengan kedudukannya di Klungkung (Semarapura).[18]
Kerajaan Klungkung bertahan hingga abad ke-20. Namun, kerajaan baru tidak mampu mengumpulkan kelompok elit di Bali seperti yang dilakukan Gelgel. Para penguasa (Dewa Agung) Klungkung tetap memegang jabatan sebagai raja tertinggi, tetapi pada kenyataannya pulau itu terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil (Karangasem, Sukawati, Buleleng, Tabanan, Badung, dan lainnya). Situasi fragmentasi politik ini berlanjut hingga penaklukan kolonial Belanda antara tahun 1849 dan 1908. Dengan pindahnya kursi kerajaan, Gelgel sendiri berubah menjadi desa yang dikelola oleh cabang sampingan dari dinasti Dewa Agung. Sekitar tahun 1730-an, penguasa Gelgel saat itu diserang dan dibunuh oleh tiga pangeran Karangasem, yang ayahnya telah ia bunuh.[19]
Pada tahun 1908, selama intervensi Belanda di Bali, penguasa lokal menyerang pasukan tentara kolonial Belanda, yang merupakan katalis untuk puputan dari Istana Klungkung (18 April 1908) di mana dinasti kerajaan dan para pengikutnya melakukan serangan bunuh diri terhadap pasukan Belanda yang bersenjata lengkap.[20]
Keruntuhan
suntingKekuasaan dari Kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-kerajaan di luar Pulau Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah Dalem Seganing mulai berkuasa pada tahun 1605, satu per satu wilayah Kerajaan Gelgel diserang dan direbut oleh kerajaan lain. Kesultanan Gowa juga merebut Pulau Sumba pada tahun 1633 dan menyerang Pulau Lombok pada tahun 1640.[21]
Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan Ki Agung Maruti memberontak dan merebut kekuasaan di Kerajaan Gelgel. Raja Dalem Di Made bersama para bangsawan lain yang mendukungnya, mengungsi ke desa Guliang. Pada tahun 1686, Dewa Agung Jambe dengan Pasukan dan Panglima Perangnya Rakriyan Gusti Kubontubuh, Ki Gusti Hyang Taluh, Ki Gusti Ngurah Sidemen, Ki Gusti Panji Sakti dan Ki Gusti Pemedilan menyerang Maruti. Pada tahun 1687, Maruti dikalahkan dan Dewa Agung Jambe kemudian mendirikan Kerajaan Klungkung dengan pusat pemerintahannya berada di Klungkung.[2] dengan Maha Patih Rakriyan Gusti Kubontubuh di Pekandelan Klungkung.
Peninggalan Kebudayaan
suntingAsta Bumi
suntingKerajaan Gelgel mempunyai sistem tata ruang dan tata kota tradisional yang disebut Asta Bumi.[22] Asta Bumi digunakan untuk mengatur letak dapur, pekarangan dan tempat ibadah di dalam sebuah rumah. Selain itu, Asta Bumi juga digunakan dalam mengatur letak pura utama, pemukiman dan pemakaman.[23]
Pura Dasar Buana Gelgel
suntingPura Dasar Buana Gelgel menjadi simbol persatuan politik di Bali setelah Kerajaan Majapahit berkuasa di wilayah ini pada tahun 1343.[24] Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, pura ini menjadi tempat penyembahan bagi semua paham keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu Siwa, Hindu Pakraman, dan Hindu Pamongan.[25]
Keagamaan
suntingKerajaan Gelgel menetapkan sistem keagamaan Hindu Trimurti.[26] Pada masa awal pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Kerajaan Gelgel berkuasa dengan menempatkan perwakilan raja secara turun-temurun di setiap desa. Selain itu, para penguasa di desa-desa diwajibkan melakukan sumpah setia kepada raja dengan ritual Balik Sumpah. Ritual ini berupa kegiatan bekeliling desa dengan menggunakan kerbau. Ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kepercayaan lokal masyarakat Bali dan menggantikannya dengan kepercayaan agama Hindu dengan dewa utamanya yaitu Siwa.[27]
Pura Kawitan Pasek Gelgel
suntingPura Kawitan Pasek Gelgel terletak di bagian selatan dari Pura Dasar Buana Gelgel. Pura ini dikelola oleh dua belas keluarga utama dan dibantu oleh dua ribu keluarga cabang yang tinggal tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Di dalam pura ini terdapat dua lembar prasasti. Satu prasasti terbuat dari tembaga, sedangkan prasasti yang lainnya berbahan perak. Prasasti berbahan tembaga merupakan piagam yang diberikan oleh Raja Gelgel kepada sekretarisnya yang bernama I Gusti Dauh Bale Agung. Sedangkan prasasti yang berbahan perak merupakan piagam raja yang diberikan kepada Pasek Gelgel. Ia adalah seorang tokoh masyarakat yang bertugas sebagai pemangku Pura Dasar Buana Gelgel.[28] Kedua prasasti ini saling berhubungan dan membahas kisah penganugerahan jabatan sekretaris dan pengelola Pura Dasar Buana oleh Dalem Waturenggong kepada I Gusti Dauh Bale. Setelah I Gusti Dauh menjadi pertapa, Pasek Gelgel dipilih menjadi pemangku di Pura Dasar Buana Gelgel secara turun-temurun.[29]
Daftar Raja - raja Gelgel
suntingKerajaan Gelgel sebagai negara vasal di bawah Majapahit sejak 1384 sampai 1478 dan sebagai Kerajaan Mandiri tahun 1478 - 1686.
Diawali oleh Kerajaan Samprangan (1352 - 1384)
Kyai Anglurah Gelgel meminta Dewa Ketut Ngulesir sebagai Raja Bali dan bertahta di Gelgel
Daftar raja - raja Gelgel :
- Dalem Ketut, dikenal juga dengan nama Dalem Ketut Ngelesir atau Sri Aji Smara Kepakisan sebagai raja pertama yang bertahta di Gelgel (1384 - 1458) [saudara Dalem Samprangan]
- Dalem Baturenggong dikenal juga dengan nama Sri Aji Wijaya Kepakisan (1459 - 1550) [anak Dalem Ketut] (Gelgel merdeka dari Majapahit dan berkuasa atas Pasuruan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa Barat)
- Dalem Bekung dikenal juga dengan nama Sri Aji Pamahyun Kepakisan (1551 - 1582) [anak Dalem Baturenggong]
- Dalem Sagening dikenal juga dengan nama Sri Aji Seganing Kepakisan (1583 - 1625) [anak Dalem Baturenggong]
- Dalem Di Made (1627 - 1651) [anak Dalem Sagening]
Terjadi perebutan tahta oleh I Gusti Agung Maruti (1651)
- I Gusti Agung Maruti(perebutan kekuasaan, Pemberontakan Maruti, 1651 sampai Oktober 1686. Akibat pemberontakan ini, Gelgel mulai runtuh dan pemerintahan tituler berikutnya dipindah ke Klungkung oleh Dewa Agung Jambe I setelah berhasil mengambil alih Tahta Gelgel.
Referensi
sunting- ^ a b Kartini 2011, hlm. 121.
- ^ a b Suwitha 2019, hlm. 5.
- ^ "Kerajaan Gelgel: Sejarah, Masa Kejayaan, Raja-raja, dan Keruntuhan". Kompas.com. 16 November 2021. Diakses tanggal 10 Mei 2025.
- ^ "Sri Aji Kresna Kepakisan". Wikipedia bahasa Indonesia. Diakses tanggal 10 Mei 2025.
- ^ Kerajaan Gelgel 2021.
- ^ Alit 2017, hlm. 5.
- ^ Alit 2017, hlm. 4.
- ^ Ketut Laksemi Nilotama, Sangayu (2009). "Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali". ITB Journal of Visual Art and Design. 3 (1): 43–56. doi:10.5614/itbj.vad.2009.3.1.4. ISSN 1978-3078.
- ^ Suwitha 2019, hlm. 8.
- ^ MSi, Sabarudin (2019-10-29). "KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG LOLOAN, JEMBRANA, BALI". Jurnal Sosiologi Reflektif. 14 (1): 1. doi:10.14421/jsr.v14i1.1722. ISSN 2528-4177.
- ^ I Wayan Warna dkk. (1986), Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidkan dan Kebudayaan Provinsi Tingkat I Bali.
- ^ H. Hägerdal (1998), 'Dari Batuparang ke Ayudhya; Bali and the Outside World, 1636-1655', Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 154-1, p.66-7.
- ^ H. Creese (1991), 'Babad Bali sebagai sumber sejarah; Sebuah reinterpretasi dari jatuhnya Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147-2.
- ^ P.A. Leupe (1855), 'Schriftelijck rapport gedaen door den predicant Justus Heurnius', Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 3, hlm. 250-62.
- ^ H.J. de Graaf (1958), De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 255-63; H.J. de Graaf (1961), De regering van Sunan Mangu-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677, Vol I. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 25-7.
- ^ H. Jacobs (1988), Dokumen Jesuit Makasar (1615-1682). Roma: Institut Sejarah Yesuit, hal. 35; C. Wessels (1923), 'Een Portugeesche missie-poging op Bali in 1635', Studiën: Tijdschrift voor Godsdienst, Wetenschap en Letteren 99, hlm. 433-43.
- ^ B. Schrieke (1955), studi sosiologis Indonesia, Vol. I. Den Haag & Bandung: Van Hoeve, hal. 20-1.
- ^ H.J. de Graaf (1949), 'Goesti Pandji Sakti, vorst van Boeleleng', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 83-1.
- ^ H. Hägerdal (2001), penguasa Hindu, rakyat Muslim; Lombok dan Bali pada abad XVII dan XVIII. Bangkok: Teratai Putih, hal. 29.
- ^ M. Wiener (1995), Alam yang terlihat dan tidak terlihat; Kekuasaan, sihir dan penaklukan kolonial di Bali. Chicago: Pers Universitas Chicago.
- ^ Alit 2017, hlm. 2.
- ^ Rosada dan Hariski 2016, hlm. 64.
- ^ Rosada dan Hariski 2016, hlm. 76.
- ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 340.
- ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 342–343.
- ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 342.
- ^ Sukayasa et al 2018, hlm. 341.
- ^ Mardika 2020, hlm. 25.
- ^ Mardika 2020, hlm. 27.
Catatan
sunting
Jurnal
sunting- Alit, Dewa Made (Februari 2017). "Prahara Di Kerajaan Gelgel: Studi Kasus Pembrontakan I Gusti Agung Maruti terhadap Dalem Dimade Tahun 1651". Social Studies. 5 (1): 1–12. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2020-07-26. Diakses tanggal 2020-08-24. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
- Diana, Nina (Juli 2016). "Islam Masuk ke Bali dan Dampaknya terhadap Perkembangan Islam di Bali". Tamaddun. 4 (2): 49–68. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Kartini, Indriana (2011). "Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim di Bali". Masyarakat Indonesia. XXXVII (2): 115–145. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Mardika, I Made (2020). "Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian Warisan Budaya di Desa Gelgel, Klungkung, Bali". Postguard Community Service Journal. 1 (1): 24–28. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Rosada dan Hariski, M. H. S. (April 2016). "Asta Bumi dalam Perspektif Sejarah (Studi Kasus Kota di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram Provinsi Nus Tenggara Barat". Paedagoria. 13 (1): 64–79. doi:10.31764/paedagoria.v7i1.182. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
- Suwitha, I Putu Gede (2019). "Wacana Kerajaan "Majapahit Bali": Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer". Sejarah Citra Lekha. 4 (1): 3–14. doi:10.14710/jscl.v4i1.19903. ISSN 2443-0110. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
Prosiding
sunting- Sukayasa, I. W.; et al. (2018). Prosiding Seminar Nasional:Agama, Adat, Seni, dan Sejarah di Zaman Milenial (PDF). Denpasar: UNHI Press. ISBN 978-602-52255-1-2. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)